Anda di halaman 1dari 450

DIPAKSA MENIKAH (INTAN – RICKO)

Di sebuah ruang kamar VIP rumah sakit HUSADA berbaring laki - laki berusia
56 tahun bernama Bambang. Dia mulai sakit beberapa hari yang lalu, entah apa
penyebabnya, karena selama ini dia baik - baik saja. Semakin hari sakitnya
semakin parah dan tubuhnya melemah. Dokter pun sudah angkat tangan.
Istrinya setiap hari menangis di sampingnya. Dia memiliki 2 orang anak, 1
orang laki - laki berusia 28 tahun bernama Ricko, dan 1 orang perempuan
berusia 20 tahun bernama Sita.

Dia juga memiliki sahabat dekat yang kedekatannya melebihi keluarganya


bernama Pak Ramli. Setiap ada masalah mereka selalu saling membantu.
Bahkan jika dia dinas di luar daerah yang jauh dari rumahnya, dia selalu
menginap di rumah sahabatnya tersebut. Oh iya Pak Bambang adalah seorang
polisi sedangkan Pak Ramli adalah seorang pengusaha kecil. Mereka tidak
sengaja bertemu di jalan dan akhirnya hubungan mereka semakin dekat.

Karena beberapa hari yang lalu sibuk dengan pekerjaan, hari ini Pak Ramli baru
bisa menjenguk Pak Bambang di rumah sakit. Perjalanan dari rumah Pak Ramli
ke rumah sakit menempuh waktu 3 jam.

Saat Pak Ramli dan Pak Bambang berbincang - bincang di dalam kamar, istri
Pak Ramli dan istri Pak Bambang berbincang - bincang di luar kamar.

"Maaf Pak Bambang, saya baru bisa menjenguk hari ini," ucap Pak Ramli pada
Pak Bambang meminta maaf.

"Tidak apa - apa Pak Ramli, terima kasih sudah datang menjenguk saya," balas
Pak Bambang dengan tersenyum.

"Bagaimana keadaan Pak Bambang?" tanya Pak Ramli prihatin.

"Rasanya, umur saya sudah tidak lama lagi Pak," jawab Pak Bambang pesimis.

"Jangan bicara seperti itu Pak, Pak Bambang harus kuat," kata Pak Ramli
memberi semangat.

"Pak Ramli, hubungan kita sudah sangat dekat seperti saudara. Saya tidak
pernah bertemu dengan orang, teman, ataupun sahabat sebaik Pak Ramli. Kalau
saya pergi nanti, hubungan kita hanya akan tinggal kenangan," ujar Pak
Bambang panjang lebar.

"Pak Bambang pasti sembuh, jangan bicara yang tidak - tidak Pak," kata Pak
Ramli.

"Saya berharap kita bisa menjadi keluarga yang sesungguhnya. Sebelum saya
pergi, saya ingin menikahkan anak laki - laki saya Ricko dengan putri Pak
Ramli," kata Pak Bambang.

"Tapi, putri saya masih sekolah Pak. Dia masih SMA dan ia tidak akan mau
menikah mudah," balas Pak Ramli.

"Saya mohon Pak, saya ingin menjalin hubungan keluarga dengan Pak Ramli
sebelum saya meninggal. Saya sudah tidak kuat lagi, saya mohon
pernikahannya dilaksanakan di kamar ini. Di depan saya 3 hari lagi," ujar Pak
Bambang memohon.

"Iya Pak, akan saya bicarakan dengan istri dan anak saya dulu. Semoga mereka
mau menyetujuinya," balas Pak Ramli mengiyakan permintaan Pak Bambang.

Sesampainya di rumah, hari sudah malam. Pak Ramli mendiskusikan


perbincangannya dengan Pak Bambang pada istrinya, tentu saja istrinya
menolak. Anak gadisnya masih sekolah, masa depannya masih panjang. Tidak
mungkin dia membiarkan anaknya menikah muda.

"Bu, Pak Bambang sudah banyak membantu kita. Ayolah kita penuhi
permintaan terakhirnya," bujuk Pak Ramli pada istrinya.

"Tapi Pak, Intan masih muda, apa bapak tega merenggut masa depan anak
kita?" ucap Bu Romlah istri Pak Ramli.

"Pokoknya 3 hari lagi Intan harus menikah dengan anak Pak Bambang. Titik!"
seru Pak Ramli lalu berdiri
meninggalkan istrinya di ruang tengah sendirian.

Setelah itu Bu Romlah menghampiri kamar Intan. Ia melihat anak gadisnya


yang tertidur lelap lalu menitikkan air matanya karena tidak bisa berbuat apa -
apa untuk anaknya. Ia sangat paham dengan sifat suaminya yang keras kepala
dan tidak bisa dibantah.

Ke esokan harinya saat sarapan pagi bersama, Pak Ramli mengutarakan


maksudnya pada Intan.
"Intan, 2 hari lagi kamu harus menikah dengan anak teman Bapak," ucap Pak
Ramli pada Intan tiba - tiba.

"Intan kan masih sekolah Pak, apalagi 2 hari lagi? Bapak bercanda ya?" balas
Intan tidak percaya.

"Bapak serius Intan, lusa kamu ikut Bapak ke rumah sakit. Kamu tahu kan
Bapak tidak suka dibantah!" ucap Pak Ramli tegas.

"Tapi Pak, gimana dengan sekolah Intan? Tinggal beberapa bulan lagi Intan
lulus Pak," ujar Intan pada bapaknya.

"Kamu masih bisa melanjutkan sekolahmu bahkan kuliah pun kamu juga bisa
Intan," balas Pak Ramli.

"Tapi Intan masih belum mau menikah Pak, Intan masih ingin bebas. Intan
selalu menuruti kata - kata Bapak. Bahkan saat Bapak melarang Intan pacaran,
Intan juga nurut sama Bapak. Intan mohon Pak jangan nikahkan Intan. Bu,
tolong Intan Bu," mohon Intan pada ibunya dan mulai menangis. Ibunya hanya
bisa menunduk sambil meneteskan air matanya.

"Cepat habiskan sarapanmu! Segera berangkat ke sekolah!" perintah bapaknya.


Intan pun menghabiskan makanannya meskipun rasanya sangat sulit untuk
menelan. Ia sudah tidak nafsu makan lagi.

Di sekolah Intan tampak murung tidak ceria seperti biasanya. Melly, Vina dan
Rita sahabat Intan merasakan ada yang tidak beres dengan sikap Intan. Saat
istirahat biasanya Intan yang mengajak mereka ke kantin duluan, tapi kali ini
tidak, Intan tetap di bangkunya. Ia melipat tangan di atas meja dan
menyembunyikan wajahnya di sana.

"Kamu kenapa Ntan?" Tanya Melly yang kebetulan sebangku dengan Intan.
Vina dan Rita yang duduk di depan mereka pun memutar kursi mereka ke
belakang menghadap Intan.

"Aku mau dinikahkan sama Bapak," jawab Intan lirih setelah itu air matanya
menetes.

"Kenapa tiba - tiba dinikahkan Ntan? Kamu ketahuan pacaran?" tanya Vina
penasaran karena ketiga sahabat Intan itu tahu kalau bapaknya Intan melarang
Intan untuk pacaran.
"Enggak, aku juga enggak tahu kenapa bapak tiba - tiba menyuruh aku
menikah. Bahkan aku belum tahu siapa calon suamiku, wajahnya, usianya, dan
pekerjaannya. Yang aku tahu, aku akan menikah di rumah sakit 2 hari lagi,"
jelas Intan pada ketiga sahabatnya itu. Melly pun memeluk Intan begitu juga
Vina dan Rita.

"Sabar ya Ntan, mungkin bapak kamu ada alasan lain," ucap Melly
menenangkan hati Intan.

"Yup betul, Positive thinking aja Ntan. Kita selalu ada untuk kamu," tambah
Rita memberikan semangat sambil tersenyum.

"Iya Ntan, enak kali nikah. Ada yang nemenin bobok, Hahaha," timpal Vina
yang membuat Melly dan Rita ikut tertawa juga. Intan hanya tersenyum
mendengarkan candaan Vina.

"Yuk ke kantin lapar nih," ajak Melly. Mereka berempat pun akhirnya pergi
menuju kantin bersama.

Sesampainya di kantin, seperti biasa mereka berempat memesan bakso dan es


jeruk makanan favorit mereka. Sambil menunggu pesanan datang tiba - tiba
Adit menghampiri mereka dan duduk di samping Intan.

"Hai Ntan, kamu kenapa, matamu sembab?" tanya Adit yang melihat Intan
tidak seceria biasanya.

"Eggak apa - apa Dit, kamu sudah makan?" tanya Intan mengalihkan
pembicaraan.

"Sudah, dari tadi aku nungguin kamu, kamu kenapa?" Tanya Adit penasaran
karena ini pertama kalinya ia melihat Intan seperti ini.

"Mmmm aku, aku agak enggak enak badan Dit," jawab Intan berbohong. Ia
tidak mau mengatakan yang sebenarnya pada Adit. Ia tahu Adit dari dulu
menyukainya. Bahkan beberapa kali menyatakan cintanya, tapi Intan
menolaknya karena larangan bapaknya untuk berpacaran.

"Kenapa kamu masuk sekolah kalo sakit Ntan? Ayo ke UKS," ajak Adit sambil
menarik tangan Intan.

"Eggak usah Dit, aku enggak apa - apa kok," tolak Intan sambil melepaskan
tangannya dari tarikan tangan Adit.

"Ya udah aku ke kelas dulu, kalo ada apa - apa kamu hubungi aku ya?" ucap
Adit sebelum pergi. Intan pun mengangguk dan tersenyum.

Setelah bertemu klien, siang itu Ricko menjenguk papanya yang masih berada
di rumah sakit. Setiap wanita yang berpapasan dengannya entah itu perawat,
dokter, atau anggota keluarga pasien langsung jatuh cinta dengan ketampanan
dan kegagahan tubuh Ricko. Ricko ke rumah sakit masih menggunakan kemeja
navy dengan setelan jas hitam dan dasi melilit di lehernya. Setelah sampai di
ruangan papanya Ricko segera duduk di samping papanya.

"Bagaimana keadaan Papa?" tanya Ricko dengan lembut dan menggenggam


tangan papanya dengan kedua tangannya.

"Semakin lemah, Papa rasanya sudah tidak kuat lagi Rick. Oh iya kamu tahu
sahabat Papa Pak Ramli kan?" tanya Pak Bambang pada Ricko.

"Iya, kenapa Pa?" tanya Ricko.

"Papa berniat menikahkan kamu sama anak Pak Ramli Rick. Papa ingin
menjalin hubungan keluarga dengan beliau sebelum Papa meninggal," ucap Pak
Bambang pada Ricko.

"Tidak bisa Pa, Papa tahu kan, Ricko sudah punya Rossa?" tolak Ricko.

"Iya Papa tahu, tapi Papa sudah meminta Pak Ramli untuk menikahkan anaknya
dan kamu 2 hari lagi di depan Papa Rick," jawab Pak Bambang.

"Enggak bisa Pa, Ricko enggak mau. Lagipula mengurus pernikahan itu butuh
waktu, tidak bisa hitungan hari," balas Ricko.

"Lusa, kamu hanya perlu menikah di depan penghulu Rick, surat - suratnya bisa
kamu urus setelahnya. Ayolah Ricko, kabulkan permohonan Papa untuk yang
terakhir," ucap Pak Bambang memohon.

"Ricko akan memikirkannya lagi Pa, Ricko harus kembali ke perusahaan


sekarang. Beristirahatlah semoga cepat sembuh Pa," ucap Ricko lalu mencium
punggung tangan papanya.
Setelah kepergian Ricko, Pak Bambang segera menelepon Pak Ramli untuk
menanyakan bagaimana kelanjutan dari pernikahan anak mereka.

Pak Bambang bertanya, "Bagaimana Pak, apa anak Pak Ramli setuju dengan
rencana kita?"

Pak Ramli menjawab, "Tentu saja Pak, semuanya beres. Tinggal panggil Pak
penghulu saja. Lusa saya akan membawa anak saya ke rumah sakit."

Pak Bambang membalas, "Terima kasih Pak, saya sangat bahagia


mendengarnya."

Pak Ramli menanggapi, "Sama - sama Pak, saya juga bahagia bisa menjadi
bagian dari keluarga Pak Bambang. Jangan banyak pikiran, semoga cepat
sembuh."

Setelah menyelesaikan percakapannya dan menutup sambungan teleponnya,


Pak Ramli segera menelepon sekolah Intan. Ia meminta izin untuk Intan tidak
masuk sekolah mulai besok selama 3 hari karena ada urusan keluarga. Pihak
sekolah pun mengizinkannya tanpa menanyakan lebih detail.

Di perusahaan, Ricko tidak bisa berkonsentrasi. Ia memikirkan permintaan


papanya terus - menerus. Di sisi lain ia juga memikirkan perasaan Rossa
kekasihnya.

"Apa yang harus aku lakukan, aku bahkan tidak tahu anak Pak Ramli seperti
apa dan berapa usianya?" gumam Ricko di dalam ruangannya.

Tidak berapa lama Rossa masuk ke dalam ruangan Ricko tanpa mengetuk pintu
seperti biasanya, karena Ricko membebaskannya keluar masuk kantornya.
Rossa melihat keanehan pada wajah Ricko.

"Ada apa Sayang?" tanya Rossa sambil berdiri di belakang Ricko yang duduk
di kursi lalu memeluk leher Ricko dari belakang.

"Sakit papaku semakin parah," jawab Ricko tanpa memandang ke arah Rossa.

"Mmm maaf, aku belum bisa menjenguknya, akhir - akhir ini aku sangat sibuk,"
balas Rossa sok prihatin.
Bukankah itu semakin bagus kalau ia cepat mati? Maka tidak ada lagi yang
menghalangiku menikah dengan Ricko, batin Rossa.

Rossa pun tersenyum licik, karena memang selama ini Pak Bambang belum
menyetujui hubungan Ricko dengan Rossa. Pak Bambang merasa Rossa
bukanlah wanita yang cocok untuk Ricko.

"Tidak apa - apa Sayang, ada apa kamu ke sini?" tanya Ricko sambil menarik
tangan Rossa hingga kini Rossa duduk di pangkuannya.

"Tentu saja merindukanmu, sudah 3 hari kita tidak bertemu. Apa kamu tidak
merindukanku?" tanya Rossa dengan manja.

"Tentu saja Sayang, sudah sore ayo pulang," ajak Ricko sambil menurunkan
Rossa dari pangkuannya lalu menggandeng tangannya ke luar kantor.

Keesokan harinya Intan diajak orang tuanya memilih kebaya untuk persiapan
pernikahannya besok. Intan hanya bisa pasrah, bapaknya orang yang berwatak
keras, semua perintahnya tidak bisa dibantah. Kalaupun dibantah, ia akan
mengatai Intan anak durhaka, tidak berbakti pada orang tua dan akan
mengusirnya dari rumah. Intan masih belum siap untuk hidup mandiri di
usianya yang masih sekolah.

Setelah pulang ke rumah, Intan memandangi kebaya putih yang menggantung


di sudut kamarnya itu. Ia tersenyum getir lalu menangis dan memejamkan
matanya.

"Sebentar lagi aku akan menikah, aku tidak tahu hidupku akan bahagia atau
lebih buruk dari sekarang. Aku tidak pernah membayangkan hidupku akan
berakhir seperti ini. Dulu aku membayangkan ketika dewasa aku akan menikah
dengan laki - laki yang aku cintai dan mencintaiku. Tapi sekarang semua
hanyalah angan - angan semata. Adit, maafkan aku, penantianmu selama ini sia
– sia," gumam Intan. Tidak lama kemudian Intan pun tertidur.

Keesokan harinya Bu Romlah mengetuk pintu kamar Intan, tapi tidak ada
sahutan dari Intan. Bu Romlah pun membuka pintu kamar Intan yang memang
tidak dikunci. Ia mendapati Intan sedang menangis di meja belajarnya, Bu
Romlah pun mendekatinya.
"Sabar Nak," ucap Bu Romlah sambil mengelus rambut Intan penuh cinta. Intan
pun memandang ibunya lalu memeluknya.

"Bu, Intan enggak mau menikah Bu, tolong Intan," Mohon Intan sambil
menangis tersedu - sedu.

"Ibu tidak bisa berbuat apa - apa Nak. Kamu tahu Pak Bambang kan? Ia orang
yang baik, anaknya juga pasti baik seperti papanya. Ayo cepat mandi dan pakai
kebayamu," tukas Bu Romlah lalu keluar dari dalam kamar Intan.

Intan pun bergegas mandi dan memakai kebayanya sebelum bapaknya marah.

Intan dan kedua orang tuanya sudah sampai di ruangan Pak Bambang. Intan
menghampiri Pak Bambang dan Bu Sofi istri Pak Bambang lalu mencium
punggung tangan mereka bergantian. Tukang rias sudah menunggu sejak
beberapa menit yang lalu sebelum Intan datang. Setelah Intan datang, ia pun
segera dirias sebelum akad nikah dilakukan.

Saat dirias Intan berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh, tapi sayangnya
air mata itu mengalir tanpa bisa dicegah. Tukang riasnya pun kewalahan
menyeka air mata Intan.

"Dek, jangan menangis terus dong, make up-nya nanti jadi luntur loh," ucap
tukang riasnya.

"Maaf Mbak," jawab Intan sambil terisak.

Intan pun berusaha menenangkan perasaanya dan berusaha untuk lapang dada
menerima pernikahan ini. Ia menghirup nafas dalam - dalam lalu
menghembuskannya lewat mulut dengan kasar.

Setelah dirias Intan pun duduk bersama kedua orang tuanya di dalam ruangan
Pak Bambang. Pak penghulu sudah datang saat Intan dirias tadi, namun calon
mempelai prianya belum datang juga. Sudah satu jam Pak penghulu menunggu.
Pak Bambang pun mulai gelisah, ia mencoba menelepon Ricko, tapi ponselnya
tidak bisa dihubungi. Akhirnya ia menelepon Lia sekretaris Ricko.

Pak Bambang bertanya, "Di mana Ricko?"

Lia menjawab, "Sedang rapat bersama klien Pak."

Pak Bambang berkata, "Cepat suruh dia ke rumah sakit sekarang! Kalau tidak,
katakan padanya jangan pernah menemuiku lagi."

Lia membalas, "Tapi Pak ..."

Belum sempat Lia melanjutkan kata – katanya, Pak Bambang sudah


memutuskan sambungan teleponnya.

"Bagaimana Pak, ini jadi apa tidak akad nikahnya?" tanya Pak penghulu.

"Tolong tunggu satu jam lagi ya Pak," balas Pak Bambang memohon, Pak
penghulu pun menyetujuinya.

Semoga laki - laki itu tidak datang dan pernikahan ini batal, batin Intan
berharap.

Sementara itu di perusahaan, Ricko sedang rapat di ruang rapat. Tiba - tiba Lia
masuk lalu membisikkan sesuatu di
telingan Ricko. Ricko pun mengangguk mengerti.

Papa benar - benar serius dengan ucapannya?, batin Ricko. Ia pun memanggil
asistennya si Romi untuk melanjutkan rapatnya.

Setelah Ricko pamit undur diri dari rapat, ia segera melajukan mobilnya ke
rumah sakit dengan kecepatan penuh.

Setengah jam berlalu Ricko belum juga menunjukkan batang hidungnya, Intan
pun semakin senang, hatinya berbunga - bunga. Ia menunggu sambil
memainkan ponsel di tangannya.

Sudah 45 menit berlalu, dan belum ada tanda - tanda kedatangan Ricko.
Senyum Intan pun semakin mengembang. Ia izin untuk ke toilet sebentar karena
dari tadi ia menahan keinginannya untuk buang air kecil karena terlalu gugup.

Saat Intan keluar dari toilet, ia merasa bahwa jumlah orang di ruangan itu
bertambah. Ia melihat orang di ruangan itu satu - persatu dan pandangan Intan
jatuh pada laki - laki berumur nan tampan memakai setelan Jas hitam di
samping Pak Bambang. Intan pun tertegun di depan pintu toilet. Ia mendengar
laki - laki itu memohon pada Pak Bambang supaya membatalkan pernikahan
ini.
"Pa, Ricko enggak bisa melakukan pernikahan ini Pa. Pernikahan bukan hal
untuk main – main," ucap Ricko pada Pak Bambang.

"Siapa yang main - main Rick? Cepat lakukan pernikahan ini sekarang atau
pergi dan jangan pernah temui Papa
lagi sekalipun Papa sudah terkubur di dalam tanah," ucap Pak Bambang
memalingkan mukanya dari Ricko. Ricko pun tampak berpikir sejenak lalu
mengangguk dengan mantab.

"Baiklah, kalau itu bisa membuat papa senang, Ricko akan menikah sekarang,"
ucap Ricko tiba - tiba. Ia pun berdiri dan bergegas mengambil wudlu ke toilet
melewati Intan yang dari tadi berdiri di sana. Intan lalu beranjak dari depan
toilet dan duduk di samping ibunya.

Setelah berwudlu Ricko duduk di depan Pak penghulu. Sebelum akad nikah
dimulai, Pak penghulu menanyakan maharnya. Karena memang tidak ada
persiapan, Ricko pun mengeluarkan uang dari dompetnya 10 lembar uang 100
ribuan sejumlah satu juta rupiah.

Setelah itu Pak penghulu dan Ricko berjabat tangan dan memulai akad nikah.

"Qobiltu nikahaha watajwijaha bil mahril madzkur," ucap Ricko dengan


lantang.

Kata "SAH" pun terdengar dari semua orang yang hadir di dalam ruangan itu.
Intan hanya bisa menunduk dan memejamkan matanya, tubuhnya merasa
gemetar. Ibunya pun menuntunnya duduk di samping Ricko dan menyuruhnya
mencium punggung tangan Ricko. Pak Bambang merasa lega dan bahagia, ia
pun berpelukan dengan pak Ramli.

Setelah pernikahan tadi pagi, Pak Ramli dan Bu Romlah kembali pulang ke
rumah, sedangkan Intan tetap di rumah sakit bersama Ricko, Pak Bambang,
dan Bu Sofi.

"Intan, malam ini kamu pulang sama Ricko ya? Besok kalian urus surat
pernikahan kalian di KUA," ucap Pak Bambang pada Intan.

"Iya Pak Dhe," balas Intan sambil tersenyum.

"Kok panggilnya ‘pak dhe’? Sekarang kamu sudah jadi menantu Pak Dhe, jadi
panggilnya ‘papa’," jelas Pak
Bambang sambil tersenyum.

"Iya Pa," balas Intan.

Sore hari Intan ikut pulang ke rumah Ricko. Selama perjalanan tidak ada yang
berbicara. Intan lebih memilih memandang keluar dari kaca jendela mobil.
Setelah memarkirkan mobil di garasi, Ricko turun dari mobil diikuti Intan. Intan
memandang ke sekeliling rumah itu.

"Kok sepi Mas?" tanya Intan pada Ricko.

"Tentu saja, ini rumahku sendiri bukan rumah papa," jawab Ricko datar.

Setelah sampai di depan pintu sebuah kamar, Ricko membukanya.

"Ini kamarmu," ucap Ricko lalu pergi ke lantai atas ke kamarnya sendiri.

Intan pun masuk ke kamar itu lalu menutup pintunya. Ia melihat ke sekeliling
lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.

"Hmm kasurnya nyaman banget, kamarnya juga besar, ada kamar mandi
dalam juga," gumam Intan senang. Ia pun segera membuka tas yang ia bawa
tadi yang berisi pakaian ganti, handuk dan perlengkapan yang akan ia
butuhkan. Ia mengambil handuk dan pakaian ganti lalu masuk ke dalam kamar
mandi.

Setelah mandi dan berganti pakaian, Intan berbaring di atas tempat hingga
akhirnya tertidur pulas karena tubuhnya merasa sangat lelah.

Sementara itu Ricko di kamarnya di lantai atas sedang duduk di sofa membaca
e-mail yang di kirim Lia sekretarisnya. Ia membaca dan membalas e-mail itu
lalu membaringkan tubuhnya di ranjang.

"Apa - apaan papa ini, masa menyuruhku menikahi anak ABG dan polos seperti
itu. Apa yang harus aku katakan pada Rossa nanti?" gumam Ricko. Ia pun
memejamkan matanya sambil berpikir hingga akhirnya tertidur pulas.

Malam hari Intan merasa haus dan lapar, ia pun keluar dari dalam kamarnya
mencari letak dapur, karena ini pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di
rumah ini dan belum berkeliling untuk mengetahui isi dari rumah ini.

Sesampainya di dapur, Intan membuka tudung saji di meja makan dan


menemukan roti tawar beserta berbagai macam rasa selai. Ia pun mengoles
selai nanas di atas selembar roti lalu memakannya. Setelah itu ia membuka
kulkas dan menemukan berbagai macam buah. Ia pun mengambil sebuah apel
dan menuang susu ke dalam gelas lalu duduk di meja makan sambil memakan
apelnya.

Ricko menuruni tangga lalu berjalan ke dapur dan melihat Intan sedang duduk
di meja makan, ia pun menghampirinya dan duduk di sampingnya.

"Berapa umurmu?" tanya Ricko pada Intan.

"Delapan belas tahun, Mas," jawab Intan singkat.

"Kamu masih sekolah?" tanya Ricko lagi.

"Iya, SMA kelas 3," jawab Intan. Ricko pun menghembuskan nafas dengan
kasar dan memejamkan matanya sebentar.

Ya ampun papa, bahkan kamu menikahkan aku dengan anak yang masih
sekolah, batin Ricko gemas.

"Apa kamu senang dengan pernikahan ini?" tanya Ricko lagi.

"Tentu saja tidak, aku dipaksa bapak. Aku belum mau menikah, aku masih
ingin sekolah, kuliah, bekerja, dan menikah suatu saat nanti dengan orang
yang kucintai dan mencintaiku tentunya," jawab Intan.

"Okey, mari kita membuat perjanjian," ucap Ricko bersemangat.

"Perjanjian apa?" tanya Intan tidak mengerti.

"Setelah satu tahun pernikahan ini ayo kita bercerai. Aku akan membiayai
sekolah dan kuliahmu serta memberimu uang lebih setelah kita bercerai. Dan
selama setahun ini kita tidur di kamar terpisah. Aku tidak akan menyentuhmu.
Jangan pernah mencampuri urusanku. Kalau ada yang tahu kita tinggal satu
rumah kamu harus mengaku sepupuku. Gimana deal?" Ujar Ricko pada Intan.
"Oke deal. Aku sangat setuju." jawab Intan semangat 45. Ia sangat senang.
Akhirnya ia masih bisa bebas meskipun sudah menikah.

"Oh iya maaf aku lupa memberimu makan. 2 hari ini pembantuku libur. Ibunya
sedang sakit. Mungkin mulai besok dia sudah kembali. Kamu mau makan apa?
Akan aku pesankan online." Ucap Ricko sambil mengeluarkan ponsel dari
sakunya.

"Nggak usah mas. Aku sudah kenyang." jawab Intan menolak.

"Apa kamu bisa memasak?" Tanya Ricko ingin tahu.

"Ya sedikit. Kadang aku membantu ibuku memasak." Jawab Intan jujur.

"Tolong Masakkan untukku. Aku lapar. Carilah bahannya di kulkas. Aku


tunggu di sini." Ucap Ricko meminta tolong.

Intan pun segera menghabiskan susunya. Setelah itu berdiri dan pergi ke dapur
lalu membuka kulkas mengambil telur, daun bawang, dan wortel. Setelah itu ia
memakai celemek yang ada di gantungan pojokan. Ia mengambil wadah lalu
mencuci wortel dan daun bawang. Setelah itu mengirisnya kecil - kecil. Lalu
memecahkan telur dan mengocoknya bersama wortel dan irisan daun bawang
tidak lupa menambahkan garam, merica bubuk dan penyedap. Ricko
menyaksikan punggung Intan yang sedang memasak dengan cekatannya. ia pun
tersenyum.

Saat Intan menggoreng masakannya baunya tercium sangat harum membuat


perut Ricko semakin lapar. Tidak berapa lama Intan menaruh sepiring omelet di
meja makan tepatnya di depan Ricko lengkap dengan sendok, garpu dan saos.
Ricko pun segera menyantapnya.

"Auw sssshhhhhh hah hah hah." Eluh Ricko.

"Kenapa Mas?" Tanya Intan panik.

"Panas." jawab Ricko.

"Hati - hati Mas. Pelan - pelan makannya. Nich minum." Ucap Intan sambil
menyerahkan segelas air putih. Ricko pun menerimanya lalu meminumnya.

"Kamu nggak makan?" Tanya Ricko saat melihat Intan hanya menungguinya
makan.

"Nggak Mas. Aku udah kenyang." Tolak Intan.

"Ayo makan. Kamu kan belum makan. Aaaa" Ucap Ricko sambil menusuk
omelet lalu mengarahkan ke mulut Intan dan menyuruhnya membuka mulutnya.
Intan pun terpaksa menerima suapan Ricko. Intan mengunyahnya dengan
menunduk. Wajahnya memerah. Ini pertama kalinya ia makan di suapi laki -
laki.

"Masakanmu enak..." ucap Ricko tiba - tiba.

"Makasih Mas..." balas Intan sambil tersenyum.

Setelah Ricko selesai makan Intan mencuci piring dan membersihkan meja
makan serta dapur. Sedangkan Ricko menonton televisi di ruang tengah. Selesai
bersih - bersih Intan bermaksud kembali ke kamarnya namun tiba - tiba listrik
padam.

"MAS... MAS RICKO... TOLONG INTAN!" Teriak Intan hampir menangis.

"Ada apa?" Tanya Ricko saat sudah di depan Intan menggunakan senter ponsel
dan melihat Intan sedang berjongkok di samping tangga.

"Aku takut gelap hiks hiks." Jawab Intan mulai menangis lalu memeluk Ricko.

"Ada aku. Jangan menangis lagi." Ricko membalas pelukan Intan.

"Apa kamu mau tidur?" Tanya Ricko. Intan mengangguk. Ricko pun mengantar
Intan ke dalam kamarnya. Membaringkannya di ranjang dan menyelimutinya.

"Jangan pergi. Aku takut. Ini pertama kalinya aku di sini" Ucap Intan saat
Ricko akan pergi.

"Lalu?" Tanya Ricko.

"Temani aku Mas. Aku mohon. Aku benar - benar takut." Ucap Intan memohon
hampir menangis. Akhirnya Ricko pun menemani Intan.
"Jangan menangis. Aku akan menemanimu di sini." Balas Ricko lalu berbaring
di samping Intan. Intan pun memeluknya dan menyembunyikan kepalanya di
dada Ricko hingga ia tertidur.

'Rambutnya wangi banget.' Batin Ricko sambil memeluk Intan. Ricko pun
berusaha menenangkan dirinya sendiri yang baru pertama kali tidur sambil
meluk gadis. Ada sesuatu yang tidak beres. Tiba - tiba juniornya bereaksi. Ia
pun berusaha menekan perasaan aneh itu hingga ia pun ikut tertidur juga.

Pagi hari Intan membuka matanya. Ia merasakan ada sesuatu yang berat di
perutnya. Ia pun merabanya dan menemukan tangan laki - laki. Ia kaget lalu
melempar tangan itu ke belakang. Ia menoleh ke belakang dan mendapati tubuh
Ricko sedang tidur seranjang dengannya dan memeluknya.

"Aaaaaa kenapa Mas Ricko tidur di sini?" Teriak Intan sambil mendudukkan
dirinya lalu menarik selimut hingga dadanya. Ricko yang mendengar teriakan
Intan segera membuka matanya.

"Masih pagi kenapa kamu teriak - teriak sih?" Ucap Ricko sambil
mengerjapkan matanya berusaha membuka matanya dengan lebar.

"Kenapa Mas Ricko tidur disini? Bukannya tadi malam kita sudah bikin
perjanjian kalo kita tidur di kamar yang berbeda?" Ucap Intan menjelaskan.

"Hey gadis kecil coba di ingat lagi ya? Saat listrik padam kamu ngapain?" Balas
Ricko lalu bangun dan pergi keluar dari kamar Intan. Intan pun mencoba
mengingat kejadian tadi malam dan betapa malu dirinya. Ia yang meminta
Ricko tidur disini dan yang mulai memeluknya. Sekarang malah nuduh Ricko
yang salah. Intan pun segera mandi dan berganti pakaian lalu pergi ke dapur
membuat sarapan pagi.

Ricko menuruni tangga dan melihat punggung Intan sedang memasak di dapur.
Ia pun duduk di meja makan.

"Buatkan aku kopi." Ucap Ricko membuat Intan yang fokus memasak menjadi
kaget.

"Oke!" Balas Intan tanpa menoleh.


Tidak berapa lama Intan menyuguhkan kopi di meja makan beserta sarapan
pagi berupa sayur capjay dan telur ceplok karena hanya itu bahan yang tersedia
di kulkas. Ia mengambilkan nasi untuk Ricko.

"Segini cukup?" Tanya Intan sambil menunjukkan nasi di piring yang ia


pegang. Ricko pun mengangguk.

"Aku akan bekerja. Kamu jaga rumah ya?" Ucap Ricko setelah selesai makan
dan berdiri hendak naik ke kamarnya.

"Antar aku pulang Mas. Besok aku harus sekolah. Dan bukankah kita akan
mengurus surat pernikahan kita hari ini?" Tanya Intan.

"Aku sudah menyuruh seseorang untuk mengurusnya. Kita tinggal menunggu


suratnya jadi dan tanda tangan. Nanti sore aku akan mengantarmu pulang
setelah pulang kerja. Nggakpapa kan?" Balas Ricko.

"Nggak mau. Aku takut di rumah sendirian." Jawab Intan.

"Kalo gitu ikut aku ke kantor. Aku ada meeting hari ini." Ucap Ricko
memberikan penawaran. Setelah berpikir sejenak Intan pun setuju.

Sesampainya di perusahaan semua mata tertuju ke arah Intan yang mengekor di


belakang Ricko. Intan merasa malu lalu ia menarik lengan Ricko dan berjalan di
sampingnya.

"Kenapa semua orang melihatku seperti itu Mas?" Bisik Intan di samping
Ricko.

"Mungkin penasaran. Ingat kalau di tanya semua orang bilang kalau kamu
sepupuku. Oke?" ujar Ricko pada Intan.

"Siap bos!" Balas Intan sambil mengacungkan jempolnya.

Setelah sampai di ruangan kantornya Ricko segera duduk di kursinya lalu


menyalakan laptop.

"Sebentar lagi aku meeting di ruangan sebelah. Kalo butuh sesuatu bilang saja
pada sekretarisku di luar pintu ini." ucap Ricko pada Intan. Intan pun
mengangguk mengerti.

Setelah Ricko keluar ruangan Intan merasa bosan. Ia mengirim pesan ke grup
whatsapp yang terdiri dari Intan, Rita, Melly dan Vina.

Intan : Lagi apa guys? Bosen nich ????

Melly : Makan somay

Rita : Kamu jadi nikah?

Vina : udah malam pertama belum Ntan? Hahaha

Intan : @Rita jadi lah. Kamu tahu kan bapak ku gimana?

Intan : @Vina mau tahu aja apa mau tahu banget? Hahaha

Karena bel masuk tanda istirahat sudah selesai telah berbunyi, ketiga teman
Intan pun tidak membalas pesan Intan.

Siang hari Intan merasa lapar. Ia pun keluar ruangan dan melihat ke meja
sekretaris tapi tidak ada orangnya. Ia menengok ke ruangan sebelah pintunya
masih belum terbuka. Ricko masih belum selesai dengan meetingnya.

"Gimana ini?" Gumam Intan sambil memegangi perutnya.

"Ada yang bisa di bantu Mbak?" Tanya seseorang dari belakang Intan. Intan
pun menoleh dan tampaklah Romi asistent Ricko.

"Aku lapar. Bisa kah aku mendapatkan makanan? Atau pinjamkan aku uang
nanti aku akan menggantinya." Ucap Intan terus terang tanpa malu - malu
karena dia memang sudah sangat lapar.

"Ikutlah denganku ke kantin. Aku akan mentraktirmu makan. Mmm aku Romi
asistennya Pak Ricko. Kamu siapa?" Tanya Romi sambil mengulurkan
tangannya kepada Intan.

"Intan. Sepupunya Mas Ricko." jawab Intan sambil membalas uluran tangan
Romi dan tersenyum.

Romi pun berjalan ke kantin. Intan mengikuti di belakangnya. Intan memesan


nasi soto dan es jeruk begitu juga Romi memesan menu yang sama.
Sementara itu Ricko keluar dari ruangan meeting dan masuk ke dalam ruangan
kantornya. Ia tidak menemukan Intan di ruangannya. Ia pun memanggil Lia
sekretarisnya dan menanyakan dimana Intan.

"Dimana Intan? Gadis yang di ruangan ku tadi pagi?"


Tanya Ricko pada Lia.

"Saya tidak tahu Pak. Tadi saya fotokopi di lantai bawah sebentar." Jawab Lia
jujur.

"Cari dia sampai ketemu!" Perintah Ricko. Lia pun pergi ke luar ruangan Ricko.
Ricko pun mengeluarkan ponsel nya berniat mau menelpon Intan, sayangnya
mereka belum bertukar nomor hp sejak kemarin.

"Kemana anak ini? Sudahlah lagian dia sudah dewasa. Nanti juga balik sendiri."
Gumam Ricko. Ia pun menelpon OB untuk membelikan makanan dan
mengantar ke ruangannya.

Setengah jam kemudian Intan masuk ke ruangan Ricko dan menemukan Ricko
sedang bekerja di depan laptopnya. Intan pun tidak mau mengganggunya. Ia
segera duduk di sofa dan membaringkan tubuhnya disana.

"Dari mana kamu?" Tanya Ricko tanpa mengalihkan pandangannya dari


laptopnya.

"Makan siang di kantin." Jawab Intan jujur.

"Sama siapa? Bukankah tadi aku bilang kalau perlu apa - apa minta sama
sekretarisku!" Ucap Ricko kali ini memandang ke arah Intan.

"Tadi aku sudah mencarinya tapi mejanya kosong. Terus ada laki - laki
namanya Romi nawarin makan ke kantin ya udah aku ikut aja. Aku juga sudah
sangat lapar." balas Intan sedikit takut. Suaranya semakin lirih karena ia tahu
dari nada bicaranya Ricko sepertinya sedang marah. Ricko pun tidak membalas
jawaban Intan. Tidak berapa lama OB masuk membawa makanan untuk Ricko.
Ricko pun makan tanpa bersuara. Intan yang melihat Ricko makan merasa
bosan dan mengantuk. Akhirnya ia tertidur di sofa. Ricko pun membiarkan
Intan tidur sambil melanjutkan pekerjaannya.
Sore hari Intan bangun dan sadar kalo ia tertidur di kantor Ricko. Ia pun
melihat ke sekeliling dan melihat Ricko masih bekerja di depan laptopnya.

"Masih lama mas? Maaf aku ketiduran." Tanya Intan lalu menutupi mulutnya
yang sedang menguap.

"Ayo jenguk papa ke rumah sakit." Ajak Ricko sambil mematikan laptopnya lalu
memakai jas nya yang ia lepas tadi.

"Oke." jawab Intan setuju.

Sesampainya di ruangan Pak Bambang, Intan dan Ricko mencium punggung


tangan Pak Bambang dan Bu Sofi bergantian.

"Gimana keadaan Papa?" Tanya Ricko yang duduk di kursi samping ranjang Pak
Bambang.

"Masih sama. Rick setelah papa meninggal berjanjilah kamu tidak akan
menceraikan Intan!" Ucap Pak Bambang serius.

"Papa jangan berpikir yang tidak - tidak. Aku akan mengantar Intan pulang
dulu. Papa istirahatlah!" Ucap Ricko berpamitan.

"Apa kamu sudah mengurus surat nikahmu Rick?" Tanya Pak Bambang.

"Ya. Aku sudah menyuruh seseorang untuk mengurusnya Pa." Jawab Ricko.
Pak Bambang pun merasa lega.

Sebelum mengantar Intan pulang, Ricko pulang ke rumahnya terlebih dahulu


untuk mandi dan berganti pakaian sekalian mengambil barang - barang Intan.

Sebelum sampai di rumah Intan, Ricko mengajak Intan makan malam dulu di
tengah - tengah perjalanan mereka. Intan pun menurut saja ia juga merasa lapar.
Karena terlalu banyak mampir akhirnya mereka sampai di rumah Intan sudah
jam 10 malam.

"Assalamu'alaikum..." ucap Intan sambil mengetuk pintu. Tidak berapa lama


pintu terbuka dan tampaklah Pak Ramli. Intan dan Ricko pun mencium
punggung tangan Pak Ramli bergantian.
"Saya permisi pulang dulu Pak." Ucap Ricko saat Intan sudah masuk ke dalam
rumah.

"Tunggu Rick" Cegah Pak Ramli.

"Iya pak. Ada apa?" Tanya Ricko sopan.

"Sudah malam. Menginaplah disini. Sekarang ini rumah kamu juga." Ucap Pak
Ramli saat melihat Ricko yang terlihat lelah. Ya memang Ricko sangat lelah ia
harus mondar mandir dari rumah, perusahaan, rumah sakit, dan rumah Intan.

"Baiklah. Terima kasih Pak." Ucap Ricko menyetujui tawaran Pak Ramli.
Ricko pun mengikuti Pak Ramli masuk ke dalam rumah.

"Ini kamarnya Intan. Masuk saja. Anggap rumah sendiri ya?" Ucap Pak Ramli
setelah itu ia masuk ke kamarnya sendiri.

Ricko pun membuka pintu kamar Intan dan melihat Intan sedang berganti
pakaian. Intan hanya menggunakan celana dalam saja dan akan memakai
piyama tidurnya. Karena setiap tidur Intan selalu melepas bra nya.

"Aaaaa kenapa mmm...mmm..." Intan belum menyelesai kan kata - katanya tapi
sudah di bungkam tangan Ricko. Ricko mendadak panik ketika Intan berteriak
takut di dengar Pak Ramli. Intan pun berontak sekuat tenaganya karena ia malu
posisinya kini sedang telanjang. Tentu saja ia tidak bisa mengalahkan tenaga
Ricko yang tubuhnya lebih besar darinya.

"Jangan berteriak! Aku akan melepaskanmu." Ucap Ricko pelan di telinga


Intan. Intan pun mengangguk. Setelah lepas dari tangan Ricko Intan segera
memakai piyamanya. Ricko yang melihatnya hanya bisa menelan ludahnya dan
matanya tak berkedip. Ini pertama kalinya ia melihat gadis telanjang nyata di
depan mata. Biasanya ia hanya melihat di video porno yang ia tonton. Tanpa
bisa di cegah sesuatu di dalam celana dalamnya menegang.

"Kenapa Mas Ricko masuk ke kamarku?" Tanya Intan setelah memakai


piyamanya.

"Aku menginap disini. Disuruh Pak Ramli" Jawab Ricko sambil duduk di tepi
tempat tidur.
"Lalu kenapa ke kamar ku? Biasanya Pakdhe Bambang kalo menginap disini
tidurnya di ruang tamu Mas." Balas Intan.

"Sekarang aku suamimu. Jadi Pak Ramli nyuruh aku tidur di kamar ini." Ucap
Ricko sambil melepas kaosnya.

"Hey kenapa Mas Ricko melepas kaos gitu?" Tanya Intan malu dan takjub
dengan badan Ricko yang padat dan kekar.

"Aku mau tidur dan nggak bawa pakaian ganti. Nanti pakaianku kusut. Ayo
tidur aku lelah." Ucap Ricko lalu merebahkan dirinya di kasur Intan. Intan pun
terpaksa tidur satu ranjang lagi dengan Ricko. Ia menaruh guling di tengah -
tengah di antara mereka. Intan tidur miring membelakangi Ricko.

Tengah malam Ricko merasa kebelet ingin buang air kecil. Ia membangunkan
Intan.

"Ntan... Intan..." Panggil Ricko sambil menggoyang - goyang tubuh Intan.

"Hmmmm..." Gumam Intan masih dengan memejamkan matanya.

"Dimana kamar mandinya?" Tanya Ricko.

"Di belakang sampingnya dapur." Jawab Intan lirih.

Ricko pun turun dari ranjang dan keluar kamar menuju kamar mandi sesuai
petunjuk Intan. Setelah dari kamar mandi Ricko kembali ke kamar Intan dan
melihat posisi tidur Intan telentang. ia dapat melihat dengan jelas pucuk
payudara Intan dari luar piyamanya karena tadi Intan memang tidak memakai
bra. Ricko ingin merabanya tapi ia sudah membuat perjanjian untuk tidak
menyentuhnya. Jadi ia mengurungkan niatnya lalu kembali tidur di samping
Intan.

Pagi hari ketika Ricko bangun Intan sudah tidak ada di sampingnya. Ia pun
melihat jam di ponselnya ternyata sudah jam 7 pagi. Ia pun memakai kaosnya
dan keluar dari kamar Intan.

"Dimana Intan Bu?" Tanya Ricko pada Bu Romlah yang sedang menyapu di
ruang tengah.

"Sudah berangkat ke sekolah jam enam tadi Rick. Kalo mau sarapan langsung
ke meja makan saja ya..." Jawab Bu Romlah.

"I - iya Bu. Ricko mandi dulu saja." Balas Ricko lalu masuk ke kamar Intan lagi
mencari handuk Intan. Setelah itu ia keluar dan menuju kamar mandi.

Setelah mandi ia duduk di meja makan dan makan sarapan yang tersedia di
meja makan. Ricko mengambil lele goreng dan sayur rebus serta bumbu pecel.

"Mmmmm enak banget dari pada masakan Bi Ira." Gumam Ricko setelah
menyuap sarapannya.

Sementara itu di luar rumah, tetangga Bu Romlah pada penasaran sama mobil
yang terparkir di depan rumah Bu Romlah. Ketika Bu Romlah menyapu teras
rumah, tetangganya nyamperin.

"Ini mobil siapa mbak?" Tanya Bu Tina.

"Ricko anaknya Pak Bambang." Jawab Bu Romlah sambil terus menyapu.

"Bukannya Pak Bambang sakit dan sudah lama nggak menginap di sini mbak?"
Tanya Bu Tina lagi.

"Lalu kenapa mbak? Memangnya nggak boleh kalau anaknya juga menginap di
sini? Kita itu sudah seperti keluarga dengan Pak Bambang." Balas Bu Romlah.

"Ya nggakpapa sich. Ya udah aku pulang dulu mau jemur cucian." Pamit Bu
Tina lalu pergi.

'Jangan sampai tetangga tau kalau Intan sudah menikah. Bisa - bisa mereka
mengira Intan hamil di luar nikah karena menikah di saat ia masih sekolah.'
Batin Bu Romlah.

Setelah menyapu, Bu Romlah masuk ke dalam rumah dan mendapati Ricko


sedang sarapan di dapur.

"Mau minum apa? Kopi apa teh Rick?" Tanya Bu Romlah pada Ricko.

"Nggak usah repot - repot Bu. Air putih ini saja udah cukup." Jawab Ricko
sungkan.
"Nggak usah sungkan. Kamu sudah jadi bagian dari keluarga ini sekarang.
Kamu sudah ibu anggap anak ibu sendiri. Ibu buatin kopi ya?" Ujar Bu Romlah.

"Iya Bu makasih." Balas Ricko.

"Oh iya Bu, Ricko minta nomor hp-nya Intan ya?" tambah Ricko.

"Dari kemarin kemana saja? Dua hari bersama masa' belum tukeran no hp?"
Tanya Bu Romlah nyindir. Ricko hanya membalas dengan tersenyum. Setelah
mendapatkan no ponsel Intan, Ricko segera pamit untuk pergi bekerja.

Setelah guru Biologi keluar kelas, Melly, Vina, dan Rita segera mengerubungi
Intan.

"Udah ngapain aja?" Tanya Vina nggak sabar.

"Maksudnya?" Tanya Intan balik.

"Sama suami mu." jelas Rita tau ke arah mana pertanyaan Vina.

"Sssssttttt jangan keras - keras nanti yang lain pada tahu. Ini hanya rahasia kita
berempat okey?" Ujar Intan sambil berbisik. Ketiga temannya pun menyatukan
jempol dan jari telunjuk mereka menandakan OK.

"Yuk ke kantin dulu. Udah laper nich. Nanti keburu bel masuk malah nggak
makan kita." Ajak Melly. Yang lain pun setuju.

Sesampainya di kantin seperti biasa Adit menghampiri Intan.

"Kamu kenapa nggak masuk 3 hari Ntan?" Tanya Adit khawatir.

"Mmmm aku... aku di ajakin bapak menjenguk temannya yang sakit di rumah
sakit luar kota Dit." Jawab Intan.

"Kenapa aku telfon nggak di angkat?" Tanya Adit lagi.

"Ada bapak. Aku takut di marahi Dit. Kamu kan sudah tahu aku dilarang bapak
pacaran selama masih sekolah." Jawab Intan.

"Iya aku paham. Aku akan tetap menunggumu Ntan." Ujar Adit sambil
tersenyum.
"Dit... mendingan kamu jangan nunggu aku. Kamu bebas pacaran dengan yang
lain." Balas Intan menyarankan. Intan tahu bahwa pernikahannya dengan Ricko
hanya satu tahun saja. Tapi kemarin Intan mendengar Pak Bambang meminta
Ricko berjanji untuk tidak menceraikan Intan. Intan tidak tahu bagaimana akhir
dari pernikahannya.

"Tapi aku hanya menyukaimu Ntan. Aku akan sabar menunggumu..." Balas
Adit sungguh - sungguh.

Siang hari saat Intan pulang sekolah ia sudah tidak menemukan Ricko di
rumahnya. Ia merasa lega. Akhirnya ia bisa bebas seperti biasa di rumahnya. Bu
Romlah menghampiri Intan yang sedang berbaring di ranjangnya.

"Kamu kemarin ngapain aja sama Ricko Ntan?" Tanya Bu Romlah sambil
duduk di tepi ranjang Intan.

"Nggak ngapa - ngapain Bu. Kemarin Intan masak di rumahnya Mas Ricko
terus ikut ke kantornya. sorenya ke rumah sakit jenguk Pakdhe Bambang terus
pulang kesini" Jawab Intan jujur.

"Berarti kalian bersama terus kan ya? Lalu kenapa nggak tukeran nomor hp?"
Tanya Bu Romlah heran.

"Oh iya Intan baru ingat kalo belum punya nomor hp-nya Mas Ricko. Hahaha.
Ibu kok tahu?" Tanya Intan balik.

"Tadi sebelum pergi Ricko minta nomor hp kamu. Oh iya Ntan rencananya
kamu mau tinggal disini apa pulang ke rumah Ricko?" Tanya ibunya ingin tau.

"Nggak tahu Bu. Pengennya Intan sih tetep tinggal disini. Ada Bapak sama Ibu
dan Johan (adeknya Intan) juga. Intan juga masih sekolah. Rumahnya Mas
Ricko itu besar Bu tapi nggak ada penghuninya. Intan takut kalo di tinggal
sendirian di rumah itu." Jawab Intan.

"Ya sudah terserah kamu saja Ntan. Kamu diskusikan dulu sama Ricko
sekarang dia suami kamu. Kalo kalian mau tinggal di sini juga nggakpapa."
Ujar Bu Romlah sambil berdiri meninggalkan Intan yang beristirahat siang.
Rossa akhir - akhir ini sangat sibuk. Pekerjaan menjadi model membuatnya
harus mondar mandir ke luar kota. Hingga ia tidak tahu kalau Ricko sudah
menikah. Ricko pun memang sengaja merahasiakan pernikahannya dari
siapapun karena ia berencana bercerai setelah pernikahannya berusia satu tahun.
Hari ini Rossa libur sehingga ia bisa makan siang bareng Ricko.

"Sayang... kapan kita akan menikah?" Tanya Rossa menginginkan kepastian.


Karena mereka sudah pacaran selama 2 tahun.

"Tunggu sampai papa sembuh dan merestui hubungan kita sayang." Jawab
Ricko dengan tenang setelah itu memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

"Kalau papa kamu meninggal gimana?" Tanya Rossa pelan takut Ricko
tersinggung.

"Jangan mendahului takdir. Jalani saja seperti air mengalir" Balas Ricko.

"Rick... aku nggak mau di gantungin gini terus. Kalau kamu nggak serius
mending kita putus aja." Ujar Rossa tegas.

"Sabar sayang. Tunggu satu tahun lagi. Okey?" Ucap Ricko sambil
menggenggam tangan Rossa di atas meja. Rossa pun mengangguk setuju.

Setelah makan bersama Rossa, Ricko ke rumah sakit menjenguk papanya. Dia
tidak mengajak Rossa karena Pak Bambang tidak suka dengan Rossa dan juga
di mata keluarganya ia sudah menikah dengan Intan. Disana ada mamanya dan
juga Sita adiknya Ricko.

"Mana Intan Rick?" Tanya Pak Bambang yang melihat Ricko datang sendirian.

"Sekolah Pa..." Jawab Ricko singkat lalu mencium punggung tangan Pak
Bambang.

"Kamu pulangkan dia kerumahnya?" Tanya Pak Bambang lagi.

"Iya Pa. Dia kan masih harus sekolah? Nggak mungkin kan ikut Ricko kemana
- mana terus?" Balas Ricko.

"Jarak dari rumah kamu ke sekolah dia sama dengan jarak dari rumahnya Rick.
Ajak dia pulang ke rumahmu. Sekarang dia istrimu." Ucap Pak Bambang. Ia
ingin Ricko menyayangi dan memperlakukan Intan seperti istrinya. Kalau
mereka tinggal satu rumah kemungkinan suatu saat akan tumbuh rasa cinta di
antara mereka. Itu yang di inginkan Pak Bambang.

"Ya nanti setelah pulang kerja Ricko akan menjemputnya Pa..." Jawab Ricko.

"Aku ikut Kak?" Ucap Sita bersemangat.

"Nggak. Kamu di sini aja sama Mama." Jawab Ricko menolak. Sita pun
cemberut.

Setelah pulang dari rumah sakit Ricko mengemudikan mobilnya ke perusahaan


sebentar menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Setelah itu ia pulang ke
rumahnya mengambil beberapa pakaian karena ia nggak mau tidur telanjang
lagi di rumah Intan. Setelah itu ia pergi ke rumah Intan.

Ricko merasa sangat lelah. Jarak dari rumah sakit ke perusahaannya menempuh
waktu 1 jam perjalanan. Dari perusahaan ke rumahnya kurang lebih satu 1 jam
juga. Jarak dari rumahnya ke rumah Intan 1 jam juga. Dari rumah sakit ke
rumah Intan menempuh waktu 3 jam.

Ricko sampai di rumah Intan jam 11 malam. Rumahnya sudah gelap pertanda
yang punya rumah sudah tidur semua. Ricko pun mengeluarkan ponsel dari
sakunya dan menelpon Intan.

Intan yang sudah tidur dari jam sepuluh menjadi terbangun gara - gara
ponselnya yang berbunyi. Ia mengambil ponselnya dan melihat ada panggilan
masuk dari nomor asing. Ia pun mengabaikannya lalu berbaring kembali.
Setelah itu ponselnya berdering lagi dan ada panggilan dari nomor yang sama.
Akhirnya Intan pun menggeser tanda hijau di layar ponselnya.

Intan : "Hallo..." dengan suara serak khas bangun tidur.

Ricko : "Buka pintu! Aku di depan."

Intan : "Ngapain kesini lagi?"

Ricko : "Sekarang aku suamimu. Cepat buka aku tunggu!"

Setelah menaruh ponselnya, Intan keluar kamar dan membuka pintu ruang
tamu. Setelah pintu terbuka Ricko segera masuk. Setelah Ricko masuk Intan
mengunci pintu kembali lalu mengikuti Ricko ke kamarnya.

"Ada apa kesini malam - malam Mas?" Tanya Intan ingin tahu.

"Menjemputmu pulang ke rumahku." Jawab Ricko lalu melepas jasnya dan


melonggarkan dasinya.

"Aku nggak mau Mas. Di rumah kamu sepi. Terus nanti aku sekolahnya
gimana? Motorku kan disini?" Ujar Intan menolak.

"Kamu istriku sekarang. Papa yang nyuruh aku jemput kamu. Di garasiku ada
motor matic. Kamu bisa pake itu. Aku mau mandi sekarang." Ucap Ricko
sambil melepas kemejanya.

"Bentar aku rebusin air panas dulu ya? Ini sudah malam nanti Mas Ricko sakit
kalau mandi air dingin." Tawar Intan. Ricko pun mengangguk. Setelah Intan
keluar kamar Ricko merebahkan tubuhnya di ranjang Intan dan akhirnya
tertidur.

Setelah menyiapkan air hangat di kamar mandi, Intan pergi ke kamarnya


bermaksud memberitahu Ricko kalau airnya sudah siap. Tapi saat tiba di kamar
ia melihat Ricko tertidur lelap. Ia pun menggoyang tubuh Ricko.

"Mas... Mas Ricko... air hangatnya sudah aku siapin di kamar mandi." Ucap
Intan sambil menggoyang - goyang tubuh Ricko. Ricko pun membuka matanya
lalu duduk.

"Pinjam handuk." Ucap Ricko. Intan pun mengambilkan handuk baru di


almarinya.

"Handuk yang kamu pakai biasanya saja. Tadi pagi aku juga pakai itu." Ucap
Ricko menolak handuk baru. Karena ia di sini hanya satu hari saja. Intan pun
memberikan handuknya.

"Tolong buatin kopi juga ya?" Ucap Ricko meminta tolong. Intan pun
mengangguk dan pergi ke dapur lagi.

Setelah mandi Ricko duduk di depan Intan yang sedang duduk di meja makan
setelah membuat kopi.
"Besok pagi kemasi barang kamu yang perlu di bawa sekalian semua buku
sekolah kamu." Ucap Ricko lalu meniup kopinya.

"Apa nggak tanya bapak dulu Mas? Oh iya di rumah Mas Ricko sepi. pulang
sekolah aku nggak ada temannya kalau di sana." Balas Intan.

"Tanya aja. Pasti bapak kamu setuju. Kamu pulang sekolah jam berapa? Nanti
kalau nggak ada meeting penting aku pulang cepet." Ujar Ricko.

"Jam 2 an Mas." Jawab Intan.

"Oke. Bisa di atur." Balas Ricko.

Pagi hari ketika Ricko membuka matanya Intan sudah bangun membantu
ibunya memasak di dapur. Karena hari ini tanggal merah, semua keluarga Intan
berkumpul di rumah.

Setelah selesai membantu ibunya memasak Intan ke kamarnya bermaksud


membangunkan Ricko. Ternyata Ricko sudah membuka matanya tapi enggan
untuk bangun.

"Ayo bangun Mas. Cepat mandi lalu sarapan." Ucap Intan sambil melipat
selimut yang di pakai Ricko.

"Aku capek banget Ntan. Kamu bisa mijit nggak?" Tanya Ricko berharap Intan
mau memijit punggungnya.

"Bisa sich tapi sekedar mijit aja. Apa perlu di panggilin tukang pijit?" Tanya
Intan.

"Nggak. Kamu aja yang mijit." Jawab Ricko lalu tengkurap. Intan mengambil
lotion miliknya lalu memijit punggung Ricko.

'Enak juga punya istri. Makan ada yang masakin, tidur ada yang nemenin,
capek ada yang mijitin, mandi air hangat pun ada yang nyiapin. Andai dia
Rossa pasti bisa di ajak bikin anak juga. Hehehe. ' Batin Ricko. Tidak berapa
lama Ricko pun tertidur kembali.

Intan sudah merasa sangat lapar. Ia membangunkan Ricko untuk sarapan pagi.
Ricko pun bangun ikut sarapan bersama Pak Ramli, Bu Romlah, Johan dan
Intan. Setelah makan Ricko pun mengutarakan maksudnya untuk mengajak
Intan pulang ke rumahnya. Pak Ramli setuju - setuju saja. Intan sudah besar dan
sekarang ia sudah menikah. Pak Ramli yakin Ricko bisa menjaga Intan dengan
baik.

Setelah mencuci piring Intan membereskan dan mengepak barang - barangnya


yang ia perlukan. Ia tidak membawa semua barangnya. Karena suatu saat ia
akan kembali pulang ke rumah ini jika waktunya sudah tiba. Ricko
membantunya memasukkan barang Intan ke dalam mobil. Setelah semua beres,
Intan dan Ricko pamit pulang ke rumah mereka. Setelah kepergian mereka
tetangga depan Bu Romlah mendekati Bu Romlah yang kebetulan masih ada di
teras.

"Intan mau kemana mbak? Kok bawa barang banyak gitu?" Tanya Bu Tina
ingin tahu.

"Ngekost yang dekat sekolahnya mbak. Kan sudah semester akhir. Jadi sering
ada bimbel pagi." Jawab Bu Romlah berbohong.

"Kok anaknya Pak Bambang menginap di sini lagi mbak?" tanya Bu Tina lagi.

"Ya nggakpapa mbak. Ricko sudah saya anggap seperti anak saya sendiri"
Balas bu Romlah.

"Gitu ya mbak. Ya sudah saya pulang dulu. Nanti di cari bapaknya anak -
anak." Pamit Bu Tina.

Selama perjalanan pulang, Ricko dan Intan saling diam. Tiba - tiba Intan
teringat sesuatu.

"Mas... stok bahan makanan di rumah kamu kemarin sepertinya tinggal sedikit.
Apa nggak belanja sekalian?" Tanya Intan.

"Mmm boleh. Kita ke supermarket dulu kalo gitu." Jawab Ricko sambil
mengemudi.

"Jangan. Kita ke pasar tradisional yang dekat sekolahku aja Mas. Lebih fresh
barangnya." ucap Intan menyarankan.

"Pasar tradisional kan kotor Ntan? Becek. Kamu nggakpapa?" Tanya Ricko
khawatir.
"Nggakpapa Mas. Aku udah biasa kok." Balas Intan sambil tersenyum.

'Kalo Rossa pasti nggak mau. Yang jijiklah, panaslah. Beda banget sama Intan.'
Batin Ricko.

Ricko pun melajukan mobilnya ke pasar tradisional yang dekat dengan sekolah
Intan. Setelah memarkirkan mobil, Ricko dan Intan turun dari mobil. Ricko
mengikuti Intan belanja.

"Bu, beli ayamnya setengah kilo ya..." Ucap Intan pada penjual ayam potong.

"Iya mbak. Di potong jadi berapa?" Tanya penjual ayam.

"delapan Bu..." Jawab Intan.

"17 ribu Mbak..." Ucap penjual ayam setelah membungkus ayam dan
menyerahkan ayam kepada Intan.

"Mas... bayar dong... kok cuma di lihatin?" Ucap Intan pada Ricko yang dari
tadi hanya melihat.

"Eh iya." Balas Ricko sambil mengeluarkan uang 50 ribu dari dompetnya.

Setelah membeli ayam Intan pindah ke penjual ikan. Disana ada gurame,
mujaer, lele, cumi, tuna, dll

"Mas Ricko mau ikan apa?" Tanya Intan pada Ricko.

"Mmmm terserah kamu. Aku bisa makan apa saja." Jawab Ricko bingung
melihat banyak ikan.

Intan pun membeli gurame, cumi, dan lele. Setelah Intan menerima ikannya
Ricko yang membayarnya.

Intan juga membeli sayur, buah, telur dan daging. Melihat bawaan di tangan
Intan yang banyak Ricko berinisiatif membantu membawa barang bawaan
Intan.
"Sini biar aku aja yang bawa." Pinta Ricko lalu mengambil kresek di tangan
Intan. Intan pun memberikannya karena memang sangat berat.

Setelah sampai di rumah, Intan segera memasukkan belanjaannya ke dalam


kulkas lalu membereskan barang - barangnya yang ia bawa dari rumah ke
kamarnya. Setelah semua beres Intan membaringkan tubuhnya di ranjang dan
akhirnya tertidur.

Siang hari Ricko merasa lapar. Ia ke kamar Intan yang pintunya terbuka lebar.
Berharap Intan akan memasak untuk makan siang tapi sayangnya saat sampai di
kamar Intan ia melihat Intan sedang tidur. Ia tahu Intan lelah karena itu ia tidak
membangunkannya.

Ia pun keluar kamar Intan dan menutup pintu kamarnya. Ia ke garasi dan
mengeluarkan motornya lalu membeli makan di warung dekat rumahnya.

"Somay nya 2 porsi Pak." Ucap Ricko pada penjual somay.

"Pake pare nggak Mas?" Tanya penjual somay.

"Nggak usah Pak. Sambelnya di pisah ya." Jawab Ricko.

Di rumah Intan bangun dari tidurnya dan terkejut ternyata sudah jam 3 sore. Ia
pun keluar kamarnya dan melihat Ricko masuk ke dalam rumah dengan
membawa kresek di tangannya.

"Ayo makan!" Ajak Ricko sambil berjalan ke dapur. Intan pun mengikutinya
dan mengambil 2 piring lalu menuang somay di atas piring dan membawanya
ke meja makan.

"Mas Ricko umur berapa sich?" Tanya Intan ingin tahu sambil memakan somay
nya.

"28." Jawab Ricko jujur.

"Idih.... tua amat Mas" Ujar Intan nyinyir.

"Nggak lah. Kamu aja yang terlalu muda." Balas Ricko.

"Umur segitu kok belum nikah? Nggak punya pacar?" Tanya Intan penasaran.
"Punya. Tapi belum di restui papa." Jawab Ricko apa adanya.

"Ooooh. Terus kalo kita udah cerai mas mau nikah sama dia?" Tanya Intan lagi.

"Nggak tahu. Papa nggak suka sama pacarku. Lagian sekarang aku juga sudah
menikah sama kamu. Kamu denger sendiri kan kemarin papa nggak bolehin
kita cerai?" Ujar Ricko mengingat kata - kata papanya kemarin.

"Ya... aku mendengarnya. Jadi?" Tanya Intan.

"Nggak tahu. Nggak usah bahas itu lagi. Jalani saja semuanya. Kamu tahu kan
kesehatan papa semakin memburuk akhir - akhir ini. Aku nggak mau
mengecewakannya." Ucap Ricko khawatir dengan papanya.

"Iya aku tahu Mas..." Balas Intan paham dengan perasaan Ricko. Intan sudah
menganggap Pak Bambang seperti bapaknya sendiri. Pak Bambang orang baik
dan sering membantu keluarganya. Intan tidak akan melupakan kebaikan Pak
Bambang.

"Oh iya pembantuku tidak kembali lagi karena ibunya sakit, jadi dia ingin
merawatnya di kampung. Kamu nggakpapa kan tiap hari masak untuk kita?
masalah bersih - bersih nanti aku panggil pembantunya mama saja biar kesini 2
hari sekali." Ujar Ricko lalu memasukkan somay suapan terakhir ke mulutnya.

"Okey. Terserah Mas Ricko aja. Oh iya Mas... mmmm.... Intan boleh pacaran
nggak?" Tanya Intan hati - hati.

"Nggak boleh!" Jawab Ricko singkat.

"Mas Ricko curang! Mas kan punya pacar? Kenapa aku nggak boleh?" Tanya
Intan sedikit menaikkan nada suaranya.

"Aku suamimu sekarang! Pak Ramli nitipin kamu ke aku. Jadi sekarang kamu
tanggung jawabku. Kalo ada apa - apa sama kamu, Pak Ramli akan nyalahin
aku Ntan!" Balas Ricko nggak kalah tinggi. Intan merasa di bentak. Hatinya
sakit. tiba - tiba matanya berkaca - kaca.

Intan berusaha keras agar airmatanya tidak jatuh. Setelah menghabiskan


makanannya, ia mencuci piring lalu masuk ke dalam kamar dan menutup
pintunya. Ia mengambil handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk
membersihkan tubuhnya. Di dalam kamar mandi Intan mengguyur tubuhnya
sambil menangis.
"Udah umur 18 tahun masih aja nggak boleh pacaran. Bapak sama Mas Ricko
sama aja! " Gumam Intan.

Selesai mandi Intan membelit handuk di dadanya dan keluar dari dalam kamar
mandi. Ia menyisir rambutnya lalu menguncirnya ke atas. Karena terlalu lama
menangis rasa kantuk pun datang. Ia merebahkan dirinya di ranjang dan
akhirnya tertidur.

Ricko tidak tahu dan tidak mengerti kalau Intan menangis karena bentakannya.
Setelah makan tadi ia kembali ke kamarnya di lantai atas lalu mandi. Setelah
mandi ia menyalakan laptop di kamarnya lalu melihat file - file pekerjaanya.
Karena terlalu fokus Ricko tidak menyadari kalau sekarang sudah jam 7 malam.
Karena tadi hanya makan somay sekarang Ricko mulai merasa lapar lagi. Ia
segera keluar kamarnya dan turun berharap Intan sudah memasak seperti
biasanya. Namun ia tidak menemukan Intan di dapur. Di meja makan pun tidak
ada makanan sama sekali. Kini ia menghampiri kamar Intan.

"Ntan... Intan... kamu nggak masak?" Tanya Ricko sambil mengetuk pintu
kamar Intan. Namun tidak ada sahutan dari Intan. Ricko pun membuka pintu
kamar Intan yang ternyata tidak di kunci. Ricko masuk dan melihat Intan tidur
di ranjang hanya menggunakan handuk yang membelit di dadanya dan hampir
melorot.

"Ini pingsan apa tidur sich?" Gumam Ricko. Ia pun mengguncang tubuh Intan.

"Ntan... Intan..." Panggil Ricko.

"Mmmmmm...." Gumam Intan dan menggeliat lalu membuka matanya.

"Kenapa kamu nggak pake baju?" Tanya Ricko penasaran. Intan pun melihat
tubuhnya dan melihat ia hanya memakai handuk yang hampir melorot.

"AAAAA.... KELUAR!" Teriak Intan lalu berdiri mendorong Ricko keluar


kamarnya.

"Ntan aku lapar. Kamu nggak masak?" Tanya Ricko saat di dorong Intan.

"Sebentar aku ganti baju dulu." jawab Intan sambil mendorong Ricko.
"Aku tunggu di meja makan ya?" Ucap Ricko.

"Iya!" Balas Intan.

Tidak berapa lama Intan keluar dan menuju dapur. Ketika akan membuka
kulkas Ricko mencegahnya.

"Mata kamu kenapa?" Tanya Ricko yang melihat mata Intan bengkak.

"Nggak kenapa - napa." Jawab Intan singkat lalu memalingkan wajahnya dari
Ricko.

"Kamu nangis? Kenapa?" Tanya Ricko sambil memegang dagu Intan dan
mengarahkan wajah Intan ke arahnya. Intan pun menepis tangan Ricko dan
akan beranjak pergi namun tangannya di pegang Ricko.

"Kenapa? Kamu nggak betah di sini?" Tanya Ricko lagi. Intan tidak
menjawabnya. Tiba - tiba tubuhnya bergetar. Ia menangis lagi. Ricko pun
memeluk tubuhnya.

"Jangan menangis. Kalo nggak mau cerita ya sudah. Nggakpapa. Nggak usah
masak. Aku keluar dulu beli nasi goreng ya..." Ujar Ricko sambil melepas
pelukannya dan menuju kamarnya mengambil jaket dan kunci motor.

"Ikut..." ucap Intan saat Ricko akan pergi. Ia takut di rumah sendirian.

"Ambil jaketmu!" Perintah Ricko sambil mengeluarkan motornya. Intan pun


bergegas ke kamarnya mengambil jaket dan memakainya lalu keluar ke arah
Ricko. Ricko memasang helm di kepala Intan. Setelah itu Ricko membonceng
Intan ke arah jalan raya mencari tukang nasi goreng di pinggir jalan. Setelah
memarkirkan motornya Ricko memesan 2 bungkus nasi goreng.

Pagi hari Intan bangun lebih pagi dari biasanya karena mulai sekarang ia harus
memasak di rumah Ricko. Selesai memasak ia kembali ke kamarnya dan mandi.
Setelah memakai seragamnya Intan keluar dari kamarnya dan sarapan sendiri
karena Ricko belum bangun.

Ketika Intan akan mengeluarkan motor dari garasi ia baru ingat kalau kunci
motornya di bawa Ricko dan ia juga belum mendapat uang saku. Ia pun
menaiki tangga dan menuju kamar Ricko tapi ia bingung kamar Ricko yang
mana karena di atas ada 4 pintu kamar dan ini pertama kalinya ia naik ke atas.
Ia pun mengetuk pintu pertama.

"Mas... Mas Ricko..." Panggil Intan sambil mengetuk pintu. Tapi tidak ada
sahutan dari dalam. Ia pun penasaran dengan isi dari kamar itu. Ia membukanya
dan tampaklah almari kaca yang semuanya berisi buku - buku tebal.

"Hmmm sepertinya ruang perpustakaan eh salah ruang kerja mungkin?"


Gumam Intan memprediksi. Ia pun menutup kembali pintu itu.

"Kalau ngetuk pintu satu - satu dan nunggu jawaban Mas Ricko yang belum
tentu udah bangun aku bisa telat nich. Oke langsung buka aja kalo gitu!" Ujar
Intan. Ia pun membuka pintu kedua isinya kamar kosong lalu menutup kembali
pintu itu. Setelah itu ia langsung membuka pintu kamar ke 3 dan tampaklah
Ricko sedang berdiri di depan almari sedang memilih baju dan bertelanjang
bulat.

"AAAAA....." Teriak Intan lalu menutup pintu kembali. Ricko juga kaget
karena pintu kamarnya tiba - tiba terbuka dan tampak Intan di sana.

"Hei... kamu nggak bisa ngetuk dulu apa?" Tanya Ricko dari dalam kamar.

"Aku buru - buru Mas. Mana kunci motornya?" Jawab Intan dari balik pintu.
Ricko pun membuka pintu kamarnya setelah membelitkan handuk di
pinggangnya.

"Nich!" Ucap Ricko sambil memberikan kunci motor kepada Intan.

"STNK?" Tanya Intan lagi sambil menyodorkan telapak tangannya pada Ricko.

"Masuk!" Ajak Ricko. Intan pun ikut masuk ke kamar Ricko. Ternyata kamar
Ricko lebih besar dari kamar yang Intan tempati. Ricko mengambil dompetnya
dan mengeluarkan STNK lalu memberikannya pada Intan.

"Mmmmm uang saku?" Pinta Intan sambil menyodorkan telapak tangannya.

"Berapa biasanya?" Tanya Ricko.


"20 ribu." Jawab Intan. Ricko pun mengeluarkan uang 50rb. Intan menerimanya
dengan senang hati karena uang sakunya naik.

"Untuk 2 hari." Ucap Ricko.

"Makasih Mas..." Ujar Intan lalu berbalik hendak pergi.

"Hei salim dulu!" Ucap Ricko sambil mengulurkan tangannya. Intan pun
berbalik dan mencium punggung tangan Ricko lalu bergegas turun dan
melajukan motornya pergi ke sekolah.

Setelah memakai pakaiannya, Ricko menuruni tangga dan duduk di meja


makan. Ia membuka tudung saji dan melihat gurame asam manis. Segera ia
mengambil nasi dan lauk lalu menyantapnya dengan lahap.

"Mmmmmm enak juga..." Gumam Ricko.

Setelah sarapan ia segera mengemudikan mobilnya ke perusahaan.

Di perusahaan Romi sudah menunggu Ricko di ruangannya.

"Ada apa? Tumben pagi - pagi kamu sudah di ruanganku?" Tanya Ricko pada
Romi.

"Mmmm sepupumu nggak kesini lagi Rick?" Tanya Romi ingin tahu.

"Kenapa?" Tanya Ricko sambil menyalakan laptopnya.

"Dia cantik. Umur berapa sich?" Tanya Romi penasaran.

"18. Eh jangan bilang kamu suka dia?" Tanya Ricko curiga.

"Sepertinya begitu Rick. Hehe" Jawab Romi mesem - mesem.

"Nggak boleh! Dia masih sekolah!" cegah Ricko.

"Nggakpapa. Bakalan aku tunggu Rick..." Balas Romi tetap ngotot.

"Pokoknya nggak boleh!" Ujar Ricko menghalangi keinginan Romi.

"Terserah! Pokoknya aku harus dapetin dia!" Ucap Romi bersikukuh.


"Awas kamu kalau macam - macam sama Intan Rom!" Ancam Ricko. Romi
hanya tersenyum misterius lalu pergi dari ruangan Ricko.

Siang ini Rossa menelpon Ricko mengatakan kalau ia telah menanda tangani
kontrak untuk modelling di luar negri tepatnya Singapura. Lusa ia akan
berangkat. Nanti sore ia ingin bertemu untuk yang terakhir sebelum berangkat.
Ricko pun menyetujuinya.

"Intan nanti gimana di rumah sendirian?" Gumam Ricko memikirkan Intan


yang selalu merasa takut di rumahnya sendirian. Ia pun melihat jam tangannya
dan menunjukkan jam 14.15. Itu artinya Intan sudah pulang sekolah. Ia pun
menelpon Intan.

Ricko : "Kamu dimana?"

Intan : "Di sekolah sedang kerja kelompok. Ada apa Mas?"

Ricko : "Hari ini aku pulang telat. Kamu nggakpapa kan di rumah sendirian?"

Intan : "Iya nggakpapa. Aku belajar kelompok dulu ya Mas. Assalamu'alaikum"

Ricko : "Wa'alaikum salam"

Setelah menutup telponnya dengan Intan, Ricko segera keluar kantornya dan
melajukan mobilnya ke mall dimana ia dan Rossa janjian. Saat ia memasuki
area parkiran, Rossa sudah menunggu di sana.

"Hai sayang..." sapa Rosaa saat melihat Ricko keluar dari mobilnya.

"Ayo masuk!" Ajak Ricko sambil memeluk bahu Rossa.

Seperti biasa mereka nonton di bioskop saat berkencan. Setelah itu Ricko
mengikuti Rossa berbelanja keperluan yang akan ia bawa ke Singapura.

Saat melewati food court Ricko merasa seperti melihat Intan sedang duduk
dengan seorang laki - laki. Ricko pun mengajak Rossa masuk ke food court
juga untuk memastikan apakah itu benar Intan.

'Siapa laki - laki itu? Apa pacarnya?' Batin Ricko menerka - nerka.
"Mau pesan apa sayang?" Tanya Rossa membuyarkan pikiran Ricko.

"Kopi seperti biasa." Jawab Ricko. Setelah itu Rossa pergi memesan makanan
dan minuman. Ricko menyaksikan Intan tertawa lepas dengan laki - laki itu.
Saat bersama Ricko, Intan belum pernah tertawa lepas seperti itu. Ricko tidak
bisa mendengar pembicaraan mereka karena jarak mereka yang terlalu jauh dan
suasana mall yang berisik.

Tidak berapa lama Intan dan laki - laki itu berdiri lalu pergi meninggalkan food
court. Kebetulan pesanan yang di pesan Rossa datang.

"Berapa lama kamu di Singapura?" Tanya Ricko sambil menunggu kopinya


agak dingin.

"Sekitar tiga bulanan. Kamu jangan nackal ya saat aku tinggal?" Jawab Rossa
sambil mencubit hidung Ricko. Ricko hanya tertawa. Nyatanya sekarang dia
malah sudah menikah dengan wanita lain.

Setelah menikmati makanan dan minumannya Rossa melanjutkan belanjanya


dan Ricko mengikutinya. Tidak terasa hari sudah malam. Ricko pun melihat
jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 7 malam. Akhirnya Ricko
mengajak Rossa pulang.

Sesampainya di rumah, Ricko memasukkan mobilnya ke garasi dan melihat


motornya sudah terparkir disana. Itu tandanya Intan sudah pulang ke rumah.
Saat Ricko memasuki rumah, suasana rumah sangat sepi. Ricko mengira Intan
sudah tidur. Ia pun naik ke atas menuju kamarnya. Setelah mandi dan ganti baju
Ricko turun membuat kopi di dapur.

Tidak berapa lama Intan pulang di antar Adit. Saat memasuki rumah Intan
melihat mobil Ricko sudah terparkir di garasi. Intan pun masuk ke dalam rumah
tanpa menimbulkan suara. Ia mengendap - endap seperti maling. Saat ia akan
membuka pintu kamarnya ia mendengar suara dari dapur yang membuat
jantungnya berdebar - debar hebat.

"Dari mana?" Tanya Ricko saat melihat Intan mengendap - endap masuk ke
dalam rumah. Intan pun berbalik dan melihat Ricko sedang menikmati kopi di
meja makan.

"Jalan sama temen Mas..." Jawab Intan jujur. Lalu ia membuka pintu kamarnya,
masuk dan menutupnya kembali sebelum Ricko bertanya lebih lanjut.

Setelah masuk ke kamarnya Intan mengambil handuk lalu masuk ke kamar


mandi karena dari tadi ia belum mandi. Ia berendam air hangat di dalam bathup.

"Segarnya. . . ." Gumam Intan.

Setelah mandi seperti biasa Intan keluar dari kamar mandi hanya menggunakan
handuk yang di lilitkan di dadanya. Saking asyiknya ngeringin rambut pakai
handuk lain ia nggak menyadari Ricko sudah berbaring di ranjangnya sejak
tadi.

"Kamu mandi apa tidur? Lama banget di kamar mandi?" Ujar Ricko tiba - tiba
membuat Intan kaget.

"Kenapa Mas Ricko di sini? Keluar aku mau ganti baju!" Ucap Intan mengusir
Ricko dari kamarnya.

"Jelasin dulu tadi kamu habis dari mana?" Tanya Ricko sambil melihat pucuk
payudara Intan yang membayang di balik handuknya karena handuk Intan
memang tipis.

"Besok saja Mas... Aku capek. Ayo keluar dari kamarku!" Usir Intan.

"Kamu pacaran? Bukannya aku sudah bilang kamu nggak boleh pacaran!" Ujar
Ricko masih berbaring di ranjang Intan.

"Enggak. Aku nggak pernah pacaran. Bapak nggak ngijinin." Jawab Intan
sambil mengambil piyama di almari.

"Lalu yang antar kamu tadi siapa?" Tanya Ricko ingin tahu.

"Dia temanku Mas. Udah ah keluar! Aku mau tidur." Ucap Intan sambil
menarik tangan Ricko. Karena Ricko nggak mau bangun, Intan pun tertarik dan
jatuh ke dada Ricko. Intan melotot menatap wajah Ricko yang jaraknya hanya
5cm dari wajahnya. Sedangkan Ricko tersenyum manis. Ricko bisa merasakan
betapa kenyal dan padat payudara kecil Intan di dadanya. Jantung Intan
berdetak kencang takut di apa - apain Ricko karena sekarang ia hanya
menggunakan handuk yang hampir melorot. Intan segera berdiri dan
merapatkan handuknya lagi lalu mengambil piyamanya dan masuk ke dalam
kamar mandi.

Setelah memakai piyamanya, Intan keluar dari dalam kamar mandi dan melihat
Ricko masih berbaring di ranjangnya.

"Kenapa masih belum pergi?" Tanya Intan kesal dengan muka cemberut.

"Aku mau tidur disini. AC kamarku mati." Jawab Ricko sambil memejamkan
matanya.

"Kamar di rumah ini kan banyak Mas?" Tanya Intan.

"Aku sudah PW (Posisi Wenak). Ayo tidur!" Ujar Ricko sambil menarik
selimut. Intan pun terpaksa tidur bersama Ricko untuk ke sekian kalinya. Ia
berbaring di samping Ricko dan memunggunginya.

Pagi hari saat Ricko membuka matanya ia melihat ranjang di sampingnya sudah
kosong. Ia pun keluar kamar dan melihat Intan sedang memasak di dapur.

'Wangi banget. Bikin perut lapar.' Batin Ricko. Ia pun duduk di meja makan
sambil memperhatikan punggung Intan yang sedang memasak. Intan memasak
masih memakai piyama lengan pendek dan celana selutut yang ia pakai tidur
tadi malam lalu di lapisi celemek di bagian depan tubuhnya. Rambutnya di ikat
sembarangan ke atas memamerkan lehern
ya yang jenjang, putih dan mulus. Ricko melihat tubuh Intan dari atas hingga ke
bawah.

'Lumayan...' Batin Ricko.


Saat Intan berbalik mau menaruh masakannya di meja makan, ia melihat Ricko
disana.

"Kamu bangun jam berapa?" Tanya Ricko pada Intan.

"Jam empat Mas." Jawab Intan sambil menaruh ayam kecap dan kopi panas di
atas meja makan.

"Aku mau sarapan sekarang. Aku lapar." Ucap Ricko. Intan pun mengambilkan
nasi lalu menaruh di atas meja depan Ricko.

"Hari ini kamu kemana?" Tanya Ricko pada Intan karena hari ini hari Minggu.

"Nggak kemana - mana. Mau bersih - bersih dan nyuci." Jawab Intan sambil
menaruh lauk di piring Ricko.

"Nggak usah. Nanti pembantu mama mau kesini. Ayo ikut aku jenguk papa."
Ujar Ricko lalu memasukkan suapan pertama ke mulutnya.

"Oke. Aku mandi dulu Mas." Balas Intan seraya berdiri hendak pergi ke
kamarnya tapi di cegah Ricko.

"Temani aku makan. Ayo sarapan bersama." Ujar Ricko. Intan pun mengambil
piring untuk makan bersama Ricko.

Sesampainya di rumah sakit Intan dan Ricko mencium punggung tangan Pak
Bambang dan Bu Sofi bergantian.

"Ricko nggak jahat kan sama kamu?" Tanya Pak Bambang pada Intan.

"Enggak Pakdhe..." Jawab Intan sambil tersenyum.

"Kok panggil Pakdhe lagi?" Ujar Pak Bambang kurang suka.

"Iya Pa..." Ucap Intan malu - malu karena belum terbiasa.

"Rick kamu makin gemukan sekarang?" Ujar Pak Bambang pada Ricko yang
melihat pipi Ricko agak sedikit cabi.

"Masa' sih Pa?" Tanya Ricko tidak percaya sambil membelai pipinya.

"Iya Rick. Sepertinya Intan merawatmu dengan sangat baik." Ucap Bu Sofi
menambahi sambil tersenyum senang.

Tidak berapa lama perawat mengantar makan siang untuk pasien. Bu Sofi pun
menerimanya lalu menaruh di meja samping Pak Bambang.

"Pakdhe... eh Papa mau makan? Biar Intan suapi ya mumpung masih hangat?"
Ucap Intan menawari Pak Bambang makan. Pak Bambang pun mengangguk
sambil tersenyum. Intan membuka makanan itu lalu menyuapi Pak Bambang
dengan pelan - pelan. Ricko dan Bu Sofi menyaksikan Intan menyuapi Pak
Bambang dengan penuh perhatian.
"Tuh lihat Rick, Intan sama mertuanya perhatian gitu apalagi sama suaminya?
Kamu aja makin gemukan sekarang. Kamu belum apa - apain dia kan?" Ucap
Bu Sofi pada Ricko sambil berbisik.

"Apa - apain gimana Ma?" Tanya Ricko pura - pura nggak ngerti.

"Sudahlah. Ingat Intan masih sekolah. Jangan di bikin hamil." Ucap Bu Sofi
pada Ricko.

"Di bikin hamil gimana Ma? Orang Ricko nggak ngapa - ngapain dia. Malah
kita tidur di kamar yang berbeda. Ricko masuk kamarnya aja di usir." Jelas
Ricko pada mamanya. Mamanya tertawa terbahak - bahak membuat Pak
Bambang dan Intan menoleh ke arah mereka.

"Ada apa?" Tanya Pak Bambang ingin tahu.

"Nanti saja Mama critain Pa..." Ucap Bu Sofi sambil menahan tawanya.

Sore hari Ricko dan Intan pamit pulang pada Pak Bambang dan Bu Sofi. Di
tengah perjalanan Intan baru ingat kalau beras di rumah tinggal sedikit.

"Mas mampir beli beras ya. Di rumah tinggal sedikit." Ucap Intan tiba - tiba.

"Mau beli dimana?" Tanya Ricko sambil tetap mengemudi.

"Di toko yang dekat perumahan Mas Ricko aja. Selain harganya lebih murah.
Kita juga membantu menambah rizki mereka untuk menyekolahkan anak
mereka. Kalo kita beli di supermarket harganya lebih mahal dan lagian yang
punya juga sudah kaya." ucap Intan membandingkan. Ricko pun berpikir yang
di katakan Intan ada benarnya juga.

Sesampainya di rumah pembantu yang membersihkan rumah sudah pulang.


Intan segera masuk ke dalam kamarnya dan merebahkan tubuhnya. Perjalanan
jauh membuatnya merasa sangat lelah.

Begitu juga dengan Ricko ia istirahat di kamarnya. Tidak berapa lama


ponselnya berdering. Ricko mengambil ponselnya dan melihat ID pemanggil
yang menunjukkan nama pemanggil "Sayangku". Ricko pun segera menggeser
tombol hijau pada layar ponselnya.
Ricko : "Hallo."

Rossa : "Sayang..."

Ricko : "Iya ada apa sayang?"

Rossa : "besok aku berangkat ke Singapura."

Ricko : "Iya aku tahu..."

Rossa : "Kamu nggakpapa kan aku tinggal 3 bulan?"

Ricko : "Nggakpapa. Sudah biasa. Mau di antar ke bandara?"

Rossa : "Nggak usah sayang. Aku berangkat sama tim crew. Udah dulu ya aku
mau mandi. Bye sayang muach"

Setelah menaruh ponselnya kantuk Ricko pun menjadi hilang. Ia segera masuk
ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya dengan mandi air hangat.

Malam hari Ricko turun dari kamarnya. Suasana rumah sangat sepi. Ia pun
membuka kamar Intan dan tampaklah Intan sedang belajar karena besok try out.
Ricko pun masuk dan duduk di tepi ranjang Intan.

"Ntan..." Panggil Ricko.

"Hmmm..." Sahut Intan tanpa menoleh ke Ricko tetap fokus membaca bukunya
di meja belajar.

"Kamu sudah makan?" Tanya Ricko.

"Belum." Jawab Intan singkat.

"Ayo makan di luar." Ajak Ricko.

"Kemana?" Tanya Intan masih fokus ke bukunya. Ricko pun mendekati Intan
lalu menutup bukunya dan menarik tangannya. Intan pun menurut saja karena
memang perutnya sudah lapar. Ricko mengajaknya masuk ke dalam mobil lalu
melajukan mobilnya ke jalan raya. Setelah 20 menit perjalanan akhirnya Ricko
memarkirkan mobilnya di sebuah rumah makan yang menjual berbagai macam
olahan seafood.
"Nggak alergi seafood kan?" Tanya Ricko saat akan membuka pintu mobil.

"Enggak Mas." Jawab Intan lalu membuka pintu mobil dan keluar mengikuti
Ricko. Setelah itu mereka duduk dan pelayan pun menghampiri mereka.

"Silahkan... ini menunya..." Sapa pelayan sambil menaruh buku menu di depan
Ricko dan Intan.

"Kamu pesan apa?" Tanya Ricko pada Intan.

"Terserah as Ricko aja." Jawab Intan pasrah.

"Mbak pesan 1 porsi kepiting jumbo saos plus 2 porsi nasi. Minumnya 2 es
jeruk. Itu saja." Pesan Ricko pada pelayan. Pelayan itu pun pergi setelah
mencatat dan mengulang pesanan Ricko.

"Kenapa?" Tanya Ricko pada Intan yang dari tadi terlihat diam.

"Apanya mas?" Tanya Intan balik.

"Kenapa diam?" Tanya Ricko.

"Mengingat - ingat yang aku baca tadi. Besok aku try out jadi malam ini aku
harus belajar." Jawab Intan jujur. Ricko pun berdiri dan berjalan ke arah kasir
lalu mengucapkan sesuatu yang Intan tidak bisa mendengarnya. Setelah itu
Ricko duduk kembali ke mejanya.

20 menit kemudian pesanan mereka datang berupa bungkusan.

"Ayo pulang." Ajak Ricko sambil membawa makanannya.

"Lo Mas, nggak jadi makan disini?" Tanya Intan heran.

"Nggak. Kita makan di rumah saja." Balas Ricko sambil berjalan keluar. Intan
mengikuti di belakang Ricko.

Sesampainya di rumah Intan mengeluarkan makanan dari bungkusnya lalu


menaruhnya di atas meja makan. Ricko membuka kepiting itu lalu mengambil
dagingnya dan menaruh di piring Intan.

"Makanlah setelah itu belajar lagi!" Perintah Ricko menyuruh Intan makan.
Intan pun memakannya hingga nasinya habis. Setelah itu ia masuk ke dalam
kamarnya untuk melanjutkan belajarnya. Ricko pun makan sendirian setelah
kepergian Intan.

Setelah makan Ricko masuk ke kamar Intan dan melihat Intan tertidur di meja
belajarnya. Ia merasa kasihan lalu memindahkan Intan ke tempat tidur dengan
menggendongnya. Setelah membaringkan Intan di ranjang, Ricko
menyelimutinya dan ikut berbaring di sampingnya. Ricko memandangi wajah
Intan yang tertidur dengan lelapnya. Lalu menyingkirkan rambut yang
menutupi wajahnya.

'Cantik juga. Mandiri dan tidak manja. Bisa segalanya. Sekarang dia istriku.'
Batin Ricko lalu mencium kening Intan. Ricko pun tidur di kamar Intan lagi.

Ke esokan harinya Intan bangun jam lima pagi. Ia melihat Ricko tidur di
sampingnya. Ia pun bertanya - tanya kenapa Ricko bisa tidur di kamarnya.

"Mas... Mas Ricko bangun!" Panggil Intan sambil menggoyang - goyang tubuh
Ricko. Ricko pun membuka matanya.

"Ada apa?" Tanya Ricko sambil mengucek matanya.

"Kenapa tidur disini?" Tanya Intan.

"Tadinya mau nemenin kamu belajar. Tapi kamu ketiduran. Jadi aku nemenin
kamu tidur sekalian." Jawab Ricko sekenanya. Intan pun mengingat - ingat
kejadian semalam dan dia memang ingat kalau ia tertidur di meja belajar.

"Mas Ricko mindahin aku ke ranjang?" Tanya Intan penasaran.

"Iya." Jawab Ricko singkat karena merasa masih mengantuk.

"Makasih Mas. Oh iya aku kesiangan. pagi ini aku nggak masak." Ucap Intan
lalu bangun dan berlari ke kamar mandi.

Saking terburu - burunya Intan tidak membawa handuk ke dalam kamar mandi.
Setelah mandi ia baru sadar kalau tadi setelah bangun tidur ia langsung berlari
masuk ke dalam kamar mandi. Ia berharap Ricko sudah bangun dan pergi dari
kamarnya. Intan membuka pintu kamar mandi pelan - pelan lalu mengintip ke
dalam kamarnya. Ia merasa lega karena Ricko sudah pergi. Intan pun keluar
kamar mandi dalam keadaan telanjang lalu mengambil handuknya dan
mengeringkan badannya. Setelah itu ia memakai seragamnya, menyisir
rambutnya, memakai bedak dan lip balm serta lotion ke tangan dan kakinya
tidak lupa menyemprotkan parfum ke bajunya.

Setelah itu Intan keluar dari kamarnya sambil memakai jam tangan di tangan
kirinya dan melihat Ricko duduk di meja makan dengan secangkir kopi, susu,
dan roti di depannya.

"Makan roti dan minum susu dulu sebelum berangkat!" Ujar Ricko pada Intan.
Intan pun melihat jam tangannya masih jam 05.45. Ia pun duduk di samping
Ricko dan memakan roti yang di siapkan Ricko. Setelah itu menghabiskan
susunya.

"Hati - hati jangan ngebut. Semoga lancar ujiannya. Nich uang sakunya." Ucap
Ricko sambil memberikan uang 50 ribu. Intan pun menerimanya lalu salim
kayak anak ke bapaknya.

Setelah kepergian Intan, Ricko menelpon sekretarisnya.

Lia : "Halo Pak?"

Ricko : "Nanti belikan aku sarapan dan taruh di meja ruanganku."

Lia : "Baik Pak"

Setelah mematikan sambungan telponnya Ricko segera kembali ke kamarnya


lalu mandi dan bersiap - siap pergi ke perusahaan.

Sesampainya di perusahaan Ricko segera memasuki ruangannya dan


menemukan sarapan di mejanya. Ia pun segera menyantapnya karena ia
membiasakan sarapan pagi. Tidak berapa lama Romi asisten sekaligus
sahabatnya masuk keruangannya.

"Tumben sarapan di kantor? Pembantu kamu cuti?" Tanya Romi sambil duduk
di sofa ruangan Ricko.

"Dia sudah berhenti." Jawab Ricko lalu menyuap makanannya.


"Mau nyari lagi?" Tanya Romi.

"Enggak." Jawab Ricko.

"Kamu bisa ngurus rumah gede gitu sendirian?" Tanya Romi penasaran.

"Ada Intan di rumah." Jawab Ricko santai.

"Eh asyik dong. Bagi nomor hp-nya Intan dong..." Pinta Romi sambil
mengeluarkan ponselnya.

"Nggak ada." Jawab Ricko.

"Kalian kan serumah? Masa' nggak punya sich? Sini ponsel kamu!" Ujar Romi
lalu mengambil ponsel Ricko yang ada di atas meja.

"Jangan ganggu dia Rom!" Ucap Ricko sambil menyaut ponselnya kembali dari
tangan Romi.

"Kenapa bro?" Tanya Romi yang penasaran dengan sikap Ricko.

"Dia istriku!" Jawab Ricko jujur pada sahabatnya itu. Romi pun tertawa.

"Hahaha. Kamu gila Rick? Sepupu sendiri di katain istri. Rossa kamu taruh
mana?" Ucap Romi tak percaya. Kemarin Intan sendiri yang mengatakan kalau
dia sepupunya Ricko. Lagian dia masih sekolah nggak mungkin menikah di
kala ia masih sekolah.

"Terserah kalau kamu nggak percaya!" Balas Ricko lalu berdiri dan pergi untuk
meeting dengan klien.

"Kamu kira aku percaya? Lucu sekali bercandamu Rick. Hahaha." Gumam
Romi saat Ricko sudah pergi.

Karena hari ini try out Intan pulang jam 10 pagi. Ia pulang ke rumah ibunya
karena merasa rindu sudah 1 minggu tidak bertemu dengan ibunya.

"Gimana Ntan? Kamu betah disana?" Tanya Bu Romlah pada Intan yang
rebahan di kamarnya.

"Iya Bu. Mas Ricko baik sama Intan. Uang saku Intan juga di tambahin." Jawab
Intan jujur.

"Syukurlah kalo begitu. Ibu selalu mikirin kamu takut nggak betah disana. Kalo
ada apa - apa kamu bilang sama bapak dan ibu ya Ntan" Ucap Bu Romlah
khawatir.

Sore hari Intan pulang kembali ke rumah Ricko. Setelah berganti pakaian Intan
menyiram bunga dan tanaman yang lainnya di halaman depan rumah Ricko.
Tidak berapa lama mobil Ricko datang dan masuk ke garasi. Ricko keluar dari
mobilnya dan melihat Intan sedang menyiram tanaman. Ia pun tersenyum
senang. Setelah itu ia pergi ke kamarnya berganti pakaian lalu duduk di kursi
teras rumah sambil memperhatikan Intan yang tengah menyiram tanaman.

Setelah mematikan kran air dan menggulung selangnya, Intan duduk di


samping Ricko. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi lalu
menggeliat semaksimal mungkin. Ricko yang melihatnya tersenyum geli.

"Capek?" Tanya Ricko.

"Hmmmm." Jawab Intan sambil memejamkan matanya dan menyandarkan


kepalanya di sandaran kursi lalu menengadah ke atas.

"Sini aku pijitin." Tawar Ricko sambil menarik tangan Intan.

"Nggak usah Mas. Makasih" Tolak Intan melepas tangan Ricko.

"Kenapa?" Tanya Ricko.

"Geli." Jawab Intan.

"Beneran nggak mau nich?" Tanya Ricko lagi. Intan mengangguk.

"Ayo mandi. Sudah sore." Ajak Ricko sambil berdiri. Intan pun mengikuti
Ricko masuk ke dalam rumah.

Setelah Intan mandi dan berganti pakaian, lalu ia menyisir rambutnya dan
mendengar bel rumah berbunyi. Ia pun keluar kamar untuk membuka pintu
ruang tamu. Tampaklah wajah Romi yang tersenyum manis saat melihat Intan
yang membuka pintu.
"Hai..." Sapa Romi sambil melambaikan tangannya.

"Mas Romi ya?" Tanya Intan mengingat pernah bertemu Romi di perusahaan
Ricko.

"Yup betul. Boleh aku masuk?" Tanya Romi canggung karena Intan
mengajaknya bicara di depan pintu.

"Oh iya maaf. Silahkan masuk Mas." Jawab Intan mempersilahkan masuk. Saat
Romi akan duduk di sofa, Ricko turun dari tangga dan melihat Romi di
rumahnya.

'Ngapain tu anak kesini?' Batin Ricko geram. Ia pun menghampiri Romi yang
duduk di ruang tamunya.

"Mau minum apa Mas?" Tanya Intan sebelum pergi ke dapur.

"Apa aja boleh." Jawab Romi sambil tersenyum dan memandang Intan. Ricko
yang melihat Romi memandang Intan seperti itu tentu saja tidak suka.

"Air putih saja! Romi suka minum air putih." Sahut Ricko. Intan pun
mengangguk lalu pergi.

"Ngapain kamu kesini?" Tanya Ricko pada Romi saat Intan sudah pergi.

"Hei apa yang salah? Biasanya aku juga main kesini kan? Aku mau mengenal
Intan biar lebih dekat lagi." Jawab Romi tersenyum nakal.

"Nggak boleh. Aku sudah bilang dia istriku. Jangan dekati dia!" Balas Ricko
sewot.

"Hei dia masih sekolah kan? Nggak mungkin boleh menikah. Kalau tahu pihak
sekolah dia bisa dikeluarkan. Bukankah kamu masih pacaran sama Rossa?
Kalau memang kamu sudah menikah dengan Intan mana surat nikahmu? Aku
pengen lihat sekarang!" Tantang Romi sambil menyodorkan telapak tangannya.
Itu membuat Ricko sakit kepala karena surat nikahnya belum jadi sampai
sekarang.

"Surat nikah belum jadi. Udah ya mending kamu pulang. Dia harus belajar
besok ujian." Usir Ricko.

"Tuh kan kamu bohong? Kamu nggak bisa nunjukkin ke aku kalo Intan
istrimu." Balas Romi. Ketika Ricko akan membalas kata - kata Romi, Intan
datang dengan 2 cangkir kopi. Setelah menaruh kopi di meja ruang tamu, Intan
masuk ke kamarnya. Romi memperhatikan itu.

"Tu lihat? Kalo suami istri itu tidurnya sekamar. La ini dia tidur di kamar
bawah. Aku kan tahu kamarmu di atas Rick." Ucap Romi. Ricko pun kehabisan
kata - kata. Ia tidak bisa membuktikan ke Romi kalau Intan istrinya. Ia hanya
bisa memijat celah di antara kedua alisnya.

Sementara itu Intan sedang belajar di kamarnya. Ujian semakin dekat. Ia harus
giat belajar agar mendapat nilai yang memuaskan. Ia tidak ingin mengecewakan
kedua orang tuanya. Setelah lulus ia ingin kuliah dan setelah itu bekerja. Ia
tidak tahu sampai kapan akan menjadi istri Ricko yang kaya. Meskipun mereka
suami istri sekarang, itu hanyalah sebuah status di atas kertas karena mereka
tidak ingin mengecewakan Pak Bambang dan Pak Ramli. Intan dan Ricko
terpaksa melakukan pernikahan ini. Ricko tidak ingin mengecewakan Pak
Bambang yang sedang sakit. Sedangkan Intan tidak berani melawan Pak Ramli
yang keras kepala. Ricko memperlakukan Intan dengan baik karena memang ia
berhati baik. Ia juga sadar kalau sekarang Intan istrinya jadi ia bertanggung
jawab sepenuhnya terhadap Intan baik menafkahi secara materi, melindungi dan
menjaganya. Intan pun melakukan tugasnya sebagai istri. Ia memasak,
membersihkan rumah dan tidak pernah melawan apapun yang di ucapkan
Ricko. Sungguh mereka sudah seperti suami istri beneran hanya satu yang
belum melengkapi pernikahan mereka yaitu "kikuk - kikuk" para readers pasti
sudah paham. Hehehe

Setelah Romi pulang, Ricko ke kamar Intan dan duduk di tepi ranjangnya. Ia
memperhatikan punggung Intan yang sedang serius belajar mengerjakan soal -
soal latihan.

"Kamu jangan terlalu dekat dengan Romi." Ucap Ricko tiba - tiba memecah
keheningan.

"Kenapa Mas?" Tanya Intan tetap fokus ke soal - soal yang ia kerjakan.

"Dia suka sama kamu." Jawab Ricko to the point.

"Lalu kenapa? Mas Ricko cemburu?" Tanya Intan sambil membalikkan


tubuhnya menghadap ke arah Ricko.

"Bukan begitu. Bukankah bapak kamu melarang kamu pacaran? Lagian


sekarang kamu istriku. Kamu harusnya bisa menjaga dirimu dari laki - laki lain
selain suamimu." Jawab Ricko tegas.

"Ya aku tahu. Tapi apa salahnya aku berteman dengan mereka? Aku juga harus
berjaga - jaga apabila suatu saat nanti kita bercerai." Balas Intan.

"Apa kamu sungguh - sungguh ingin bercerai? Bahkan surat nikah kita saja
belum jadi." Tanya Ricko.

"Entahlah. Aku juga nggak tahu Mas. Kalau aku cerai sama Mas Ricko, nanti
aku jadi janda muda. Siapa yang mau menikah sama janda? Terus pasti nanti di
marahi bapak juga. Apa yang harus aku lakukan? Masa depanku sudah hancur.
Sekarang aku hanya bisa belajar dengan sungguh - sungguh agar suatu saat
nanti aku bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah dan bisa menopang
hidupku sendiri." Ucap Intan lalu airmatanya menetes. Ia benar - benar tidak
menyangka kalau hidupnya akan seberantakan ini. Selama ini ia memendam
perasaan ini sendirian. Ia tidak pernah mengatakan kepada siapapun. Ini
pertama kalinya ia mengungkapkannya pada Ricko. Ricko pun baru kali ini
melihat sisi rapuh Intan. Ia mendekati Intan lalu memeluknya.

"Jangan menangis... Kamu tidak akan pernah menjadi janda." Ucap Ricko
lembut sambil membelai rambut Intan.

"Maksudnya?" Tanya Intan tidak mengerti sambil memandang wajah Ricko.

"Kita tidak akan bercerai. Kamu akan selalu menjadi istriku selamanya" Jawab
Ricko sungguh - sungguh. Intan pun membalas pelukan Ricko dengan erat.
Airmatanya kini mengalir semakin deras. Kini akhirnya ia merasa lega. Tidak
khawatir lagi dengan masa depannya yang berakhir menjadi janda muda.

Ricko sudah memikirkan ini beberapa hari yang lalu. Ia sudah mulai merasa
nyaman dengan kehadiran Intan di sisinya. Intan lebih perhatian dari pada
Rossa. Cintanya terhadap Rossa juga mulai memudar karena Rossa terlalu
sibuk dan mereka jarang berkomunikasi apalagi bertemu. Seandainya mereka
menikah bagaimana rumah tangga mereka nanti.

Malam hari karena sudah terbiasa tidur seranjang dengan Intan, kini Ricko tidak
betah tidur di kamarnya sendiri. Dari tadi ia sudah berusaha memejamkan
matanya tapi tidak bisa tidur juga. Ia sudah mencoba berbagai posisi dari
telentang, tengkurep, meluk guling, miring kanan, miring kiri, tapi tetap saja ia
tidak bisa tidur.

Akhirnya ia bangun lalu menuruni tangga dan membuka pintu kamar Intan yang
memang tidak pernah di kunci. Ia melihat Intan yang tidur telentang dengan
nyenyaknya. Ia pun mendekati ranjang Intan lalu merebahkan tubuhnya di
samping Intan. Seperti biasa ia mengamati Intan dari atas hingga kebawah. Saat
matanya sampai di dada Intan ingin sekali Ricko menyentuh benda itu tapi ia
selalu menahannya. Karena setiap tidur Intan selalu melepas bra nya untuk
menjaga kesehatan payudaranya sehingga menonjollah puncak dadanya dari
balik piyamanya.

"Selamat malam istriku..." Ucap Ricko pelan lalu mengecup kening Intan.
Setelah itu ia memasukkan tubuhnya ke dalam selimut yang di pakai Intan.

Ke esokan hari nya seperti biasa Intan bangun jam 4 pagi untuk memasak
sebelum berangkat ke sekolah. Ia membuka matanya lalu menggeliat dan
menoleh ke samping betapa kagetnya ia saat melihat Ricko tidur di ranjangnya.
Ia pun mencoba mengingat kejadian sebelum tidur dan ia ingat betul kalau
Ricko tidak tidur di kamarnya. Tapi kenapa ketika bangun Ricko sudah tidur di
sampingnya.

Intan pun bangun lalu menguncir rambutnya dan masuk ke kamar mandi
mencuci mukanya untuk menghilangkan rasa kantuk. Setelah itu ia keluar
kamarnya menuju dapur meninggalkan Ricko yang tidur nyenyak di kamarnya.

Intan memasak seperti biasanya. Ia rela dan ikhlas memasak untuk Ricko. Ada
pepatah yang mengatakan bahwa cinta berawal dari perut naik ke hati. Artinya
ketika seseorang dihidangkan makanan yang dipadu dengan "bumbu" kasih
sayang, akan muncul rasa cinta usai menyantap nikmatnya menu tersebut.
Mungkin itu yang terjadi pada Ricko saat ini.

Setelah menaruh masakannya, kopi, dan susu di meja makan, Intan kembali ke
kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Ia melihat Ricko masih belum
bangun juga. Intan pun membangunkannya.

"Mas... Mas Ricko bangun... " Panggil Intan sambil menggoyang - goyang
tubuh Ricko. Ricko pun berusaha membuka matanya.

"Ada apa?" Tanya Ricko sambil memicingkan matanya karena silau cahaya
lampu.
"Bangun... Sudah pagi. Aku mau mandi." Jawab Intan sambil merapikan
selimut yang di pakai Ricko.

"Aku akan bangun setelah kamu mandi. Aku masih mengantuk." Balas Ricko
lalu memeluk guling dan tidur lagi.

"Kenapa Mas Ricko bisa tidur disini?" Tanya Intan. Ricko tidak menjawabnya
karena sudah tertidur lagi. Intan pun mengambil handuk dan seragamnya lalu
masuk ke dalam kamar mandi.

Setelah mandi dan berganti pakaian di dalam kamar mandi, Intan keluar dari
dalam kamar mandi. Ia duduk di meja rias menyisir rambutnya, memakai
bedak, lip balm, dan lotion serta menyemprotkan parfum pada bajunya. Setelah
itu ia membangunkan Ricko lagi.

"Mas... Bangun sudah siang lo..." Ucap Intan membangunkan Ricko dengan
menepuk pipi Ricko dengan pelan. Ricko mencium bau wangi pada tangan
Intan. Ia pun membuka matanya dan melihat Intan sudah siap berangkat
sekolah.

"Kenapa Mas Ricko bisa tidur disini?" Tanya Intan sambil memakai jam
tangannya.

"Aku tidak bisa tidur di kamarku. Jadi aku kesini." Jawab Ricko dengan suara
serak khas bangun tidur.

Setelah mendengarkan alasan Ricko, Intan keluar kamarnya menuju meja


makan dan Ricko mengikutinya. Ricko duduk di samping Intan lalu meminum
kopinya.

"Mau makan sekarang Mas?" Tanya Intan sambil mengambil nasi dan menaruh
di piringnya.

"Hmmm." Jawab Ricko tanda setuju. Intan pun mengambilkan Ricko nasi,
sayur, dan ikan lalu menaruhnya di depan Ricko. Ricko memperhatikan Intan
yang melayaninya bak raja. Ia tersenyum senang. Baru kali ini ada orang yang
memperhatikannya sampai seperti ini.

"Terima kasih..." Ucap Ricko sambil mengacak rambut Intan.


"Eh jangan Mas... Tuh kan berantakan lagi..." Ujar Intan sambil merapikan
rambutnya lagi. Ricko hanya tersenyum lalu menyantap sarapannya.

"Nanti setelah ujian langsung pulang ya! Ayo ke KUA tanda tangan dan
mengambil surat nikah." Ucap Ricko ketika Intan mau pergi ke sekolah. Intan
pun mengangguk mengerti. Saat memasuki garasi Intan menemukan ban
motornya kempes. Ia pun kembali masuk ke rumah dimana Ricko masih
menghabiskan sarapannya.

"Mas... Ban motornya kempes. Gimana nich?" Ucap Intan panik.

"Biar aku antar. Tunggu aku mandi sebentar." Jawab Ricko lalu naik ke
kamarnya di atas. Intan menunggunya di meja makan sambil membersihkannya.

Sudah 10 menit Intan menunggu tapi Ricko belum juga turun. Intan pun naik ke
atas ke kamar Ricko. Intan mengetuk pintunya.

"Mas..." Panggil Intan di depan pintu kamar Ricko.

"Masuk!" Jawab Ricko dari dalam kamar. Intan pun membuka pintu dan
melihat Ricko sedang mengancingkan lengan kemejanya. Karena sudah siang
Intan berinisiatif mengambil dasi Ricko yang tergeletak di ranjang dan
memasangkannya di leher Ricko. Ricko tertegun dengan tindakan Intan. Ia
memandang ke arah Intan dan mata mereka bertemu. Intan pun langsung
menunduk dan segera menyelesaikan memasang dasi di leher Ricko.

"Terima kasih..." Ucap Ricko sambil tersenyum saat Intan sudah selesai
memasang dasi di lehernya.

"Ayo berangkat Mas. Sudah siang nich" Ucap Intan seraya menarik tangan
Ricko keluar dari kamar setelah mengambil jas dan tas Ricko yang tergeletak di
ranjang.

Di dalam mobil mereka sama - sama diam. Ricko fokus mengemudi karena ia
sedikit ngebut takut kalau Intan terlambat. Tapi di dalam hatinya ia sangat
bahagia. Ia pun tersenyum senang.

"Nanti pulangnya aku naik ojek aja Mas..." Ucap Intan sebelum keluar dari
mobil Ricko.

"Oke. Tunggu aku dirumah ya..." Balas Ricko sambil tersenyum.


Setelah keluar dari mobil dan menutup pintunya, Intan berjalan ke gerbang
sekolahnya. Disana Adit sudah menunggu kedatangan Intan. Mereka masuk
gerbang sekolah bersama - sama dan Ricko melihatnya.

"Siapa laki - laki itu? Dia selalu saja dekat dengan Intan." Gumam Ricko
penasaran. Intan memang belum cerita apa - apa ke Ricko tentang siapapun
teman - temannya. Setelah itu Ricko melajukan mobilnya ke perusahaan.

"Kamu di antar siapa?" Tanya Adit yang melihat Intan turun dari mobil tadi.

"Oh itu su... eh sepupuku yang waktu itu kamu antar aku pulang kerumahnya.
Kan sekarang aku tinggal sama dia." Jawab Intan bohong karena tidak ingin
rahasia pernikahannya diketahui siapapun kecuali sahabat - sahabatnya.

"Nanti pulangnya kamu di jemput?" tanya Adit ingin tahu.

"Enggak Dit. Aku naik ojek." Jawab Intan.

"Aku antar ya?" Tawar Adit senang.

"Nggak usah repot - repot Dit. Aku naik ojek aja." Tolak Intan.

"Udahlah nggakpapa. Nanti selesai ujian ketemu di parkiran ya?" ucap Adit
sebelum mereka berpisah karena berbeda kelas. Intan pun mengangguk setuju.

Selesai ujian Intan segera keluar dari ruangan ujian dan hendak pergi ke
parkiran. Tapi tiba - tiba ada suara yang memanggilnya sehingga Intan menoleh
ke belakang.

"Ada apa?" Tanya Intan.

"Kenapa buru - buru? Jalan - jalan yuk?" Ajak Melly yang kebetulan 1 ruangan
dengan Intan.

"Nggak bisa Mel, aku buru - buru." Tolak Intan.

"Mau kemana?" Tanya Melly penasaran.

"Ke KUA sama Mas Ricko." Jawab Intan berbisik takut ada yang
mendengarnya.
"Ngapain?" Tanya Melly

"Ambil surat nikah. Udah dulu ya nanti Mas Ricko nunggu aku kelamaan."
Jawab Intan lalu pergi ke parkiran.

Di parkiran Adit sudah menunggu Intan. Adit senang akhirnya sebentar lagi
mereka akan lulus dari SMA dan berharap bapaknya Intan mengijinkan Intan
untuk berpacaran. Sudah 2 tahun Adit menunggu Intan. Tanpa Adit tahu bahwa
Intan sudah menikah dan penantiannya selama ini sia - sia. Intan tahu Adit
menyukainya sejak dulu tapi Intan belum bisa mempublikasikan pernikahannya
pada siapapun termasuk Adit.

"Mau kemana dulu Ntan?" Tanya Adit saat Intan sudah duduk di
boncengannya.

"Langsung pulang saja Dit." Jawab Intan. Adit pun melajukan motornya pelan -
pelan agar bisa lebih lama berduaan dengan Intan. Intan yang di bonceng bener
- bener greget sama Adit.

'Ni motor kecepatan berapa sich? Lama banget nyampenya. Panas banget lagi
tadi lupa nggak bawa jaket.' Batin Intan kesal.

"Dit, cepetin dikit dong. Panas nich!" Ujar Intan pada Adit. Adit pun menambah
kecepatan motornya alias ngebut. Intan kaget dan berpegangan erat pada
pinggang Adit. Adit semakin senang Intan menempel pada tubuhnya.

"Dit, pelan - pelan dong! Jangan ngebut gini!" Ujar Intan sedikit berteriak di
telinga Adit sambil memukuli bahu Adit.

"Katanya tadi minta di cepetin Ntan?" Tanya Adit pura - pura bodoh.

"Tapi nggak ngebut gini juga kale?" Jawab Intan. Adit pun menurunkan
kecepatan motornya.

Setelah sampai di rumah, Intan segera turun dari motor Adit dan mengucapkan
terima kasih lalu membuka gerbang dan masuk.

"Eh nggak di suruh mampir nich?" Tanya Adit berharap Intan ngebolehin
masuk dan ngobrol lebih lama.
"Nggak. Di rumah nggak ada orang Dit." Jawab Intan.

"Emang kamu tinggal disini sama siapa?" Tanya Adit penasaran.

"Sepupuku." Jawab Intan.

"Berdua aja? Nggak takut di apa -apa in?" Tanya Adit khawatir.

Tin tin tin suara klakson mobil Ricko yang baru datang menghentikan obrolan
mereka. Adit pun menggeser motornya supaya mobil Ricko bisa lewat.
Sedangkan Intan membuka pintu pagar lebar - lebar. Setelah memarkirkan
mobilnya di halaman rumah, Ricko keluar dari mobilnya dan melihat Intan
sedang ngobrol dengan laki - laki yang waktu itu.

"Kalau sudah selesai segera masuk!" Perintah Ricko pada Intan lalu masuk ke
dalam rumah.

"Udah dulu ya Dit. Aku masuk dulu." Ucap Intan mengusir Adit secara halus.
Adit pun segera melajukan motornya pergi dari rumah Ricko.

Ketika Intan masuk ke dalam rumah Ricko sudah menunggunya di ruang


keluarga. Intan pura - pura tidak melihatnya dan pergi menuju kamarnya.
Sebelum Intan sempat membuka pintu kamarnya Ricko mengeluarkan
suaranya.

"Siapa dia?" Tanya Ricko ingin tahu.

"Temanku Mas..." Jawab Intan sambil memegang gagang pintu tanpa menoleh
ke arah Ricko.

"Jangan jalan sama dia lagi!" Perintah Ricko.

"Kenapa?" Tanya Intan berbalik menghadap Ricko.

"Aku tidak suka. Sepertinya dia menyukaimu." Ucap Ricko jujur.

"Nggak bisa Mas. Aku harus alasan apa sama dia? Aku sudah mengatakan
kamu sepupuku dan aku nggak mungkin bilang kalau aku sudah menikah."
Balas Intan masih berdiri di depan pintu kamarnya.

"Apa kamu menyukainya?" Tanya Ricko curiga.


"Dia baik. Aku tidak ada alasan untuk menjauhinya. Aku mau ganti baju dulu
Mas." Ujar Intan menyudahi perdebatan mereka lalu masuk ke dalam kamar
dan menutup pintunya.

Setelah berganti pakaian Intan keluar dari kamarnya dan tidak menemukan
sosok Ricko. Ia pun menunggu Ricko di ruang tengah hampir setengah jam.
Karena kesal akhirnya Intan menyusul Ricko di kamar lantai atas. Sesampainya
di depan pintu Intan mengetuk pintu itu.

"Mas... Mas Ricko..." Panggil Intan. Namun tidak ada jawaban. Ia


mengulanginya sekali lagi tapi hasilnya nihil. Intan pun membuka pintu itu dan
kamar itu kosong. Ketika Intan hendak keluar kamar dan menutup pintunya
terdengar suara Ricko dari dalam kamar. Intan pun menoleh ke arah sumber
suara.

"Ada apa?" Tanya Ricko yang baru saja keluar dari kamar mandi hanya
menggunakan handuk yang di lilitkan di pinggangnya. Intan yang melihatnya
merasa malu. Ia berbalik membelakangi Ricko.

"Aku tunggu di bawah Mas..." Ucap Intan lalu menutup pintu dan turun
menunggu Ricko di ruang tengah. Tidak berapa lama Ricko turun dan duduk di
samping Intan.

"Berangkat sekarang?" Tanya Intan sambil berdiri.

"Tunggu!" Ucap Ricko sambil menarik tangan Intan. Intan pun duduk kembali.

"Ada apa lagi?" Tanya Intan kesal.

"Setelah mendapat surat nikah nanti, kamu akan menjadi istriku yang
sesungguhnya. Aku sudah berjanji untuk tidak akan menceraikanmu. Jadi
jagalah sikapmu. Jangan dekat - dekat dengan pria lain!" Ujar Ricko serius.

"Iya aku tahu. Dia hanya temanku sekolah Mas. Tadi dia yang nawarin mau
antar aku pulang. Dan ini pertama kalinya aku boncengan sama dia dari
sekolah." Ucap Intan jujur.

"Oke. Aku percaya padamu. Ayo berangkat!" Balas Ricko lalu berdiri dan
berjalan keluar rumah dimana mobilnya berada. Intan mengikuti di
belakangnya.

Di dalam mobil Intan memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia


sekarang seorang istri dari om - om umur 28 tahun. Apakah Ricko juga akan
meminta haknya sebagai seorang suami? Intan yang memikirkannya jadi takut
sendiri. Pacaran dan berciuman saja ia belum pernah. Malah sekarang tiba - tiba
ia sudah menikah.

"Mas. Mmmmm. . ." Ujar Intan mengurungkan kata - katanya.

"Apa?" Tanya Ricko sambil fokus mengemudi.

"Lupakan! Nggak jadi." Ucap Intan. Ricko pun menepikan mobilnya di bahu
jalan.

"Bicara!" Ucap Ricko penasaran sambil memandang Intan.

"Mmmm apa Mas Ricko juga akan meminta itu?" Tanya Intan takut dan malu.
Dadanya berdebar - debar saat mengatakannya.

"Itu apa?" Tanya Ricko pura - pura bodoh. Tentu saja ia mengerti apa yang di
maksud Intan.

"Mmmmm seperti yang dilakukan suami istri pada umumnya." Jawab Intan
bertele - tele.

"Tentu saja. Aku laki - laki normal yang punya nafsu. Kalau tidak melakukan
pada istrinya lalu sama siapa?" Ucap Ricko sungguh - sungguh.

"Tapi aku masih sekolah Mas. Aku takut... " Jawab Intan takut dan hampir
menangis.

"Tenang saja. Aku tidak akan melakukannya sekarang. Tapi ketika aku
mengingikannya jangan pernah menolaknya!" Balas Ricko lalu menyalakan
mobilnya lagi dan melajukannya ke jalan raya menuju KUA.

Setelah menandatangani berkas dan mendapatkan buku nikah, Ricko dan Intan
menjenguk Pak Bambang di rumah sakit.

Ricko menunjukkan buku nikahnya pada Pak Bambang. Pak Bambang merasa
lega dan bahagia akhirnya anaknya menikah juga. Apalagi dengan wanita
pilihannya. Ia sangat tidak rela Ricko menikah dengan Rossa karena Pak
Bambang merasa Rossa bukan wanita baik - baik. Apalagi ia seorang model
yang tubuhnya di pamerkan disana sini. Dan Pak Bambang juga yakin kalau
Rossa juga sering tidur dengan laki - laki lain untuk memanjat ketenarannya.

Sore hari Ricko dan Intan sudah sampai di rumah setelah menjenguk Pak
Bambang di rumah sakit. Setelah turun dari mobil Intan segera masuk ke
kamarnya dan kali ini ia mengunci pintunya. Ia takut sewaktu - waktu Ricko
masuk ke kamarnya seperti beberapa hari ini. Ia segera mandi lalu belajar untuk
ujian besok.

Di kamarnya Ricko sedang berbaring di ranjangnya sambil memikirkan cara


bagaimana memutuskan Rossa. Sudah lama perasaan Ricko tarhadap Rossa
memudar karena kurangnya komunikasi. Dan tadi siang sebelum mandi ia juga
mendapatkan informasi dari mata - mata yang ia kirim untuk mengawasi Rossa
di luar negri. Rossa di sana tidak hanya bekerja tetapi juga berkencan dengan
model laki - laki yang akhir - akhir ini namanya sangat tenar. Bahkan mereka
menginap di kamar yang sama.

"Dasar wanita murahan!" Umpat Ricko sambil meninju bantalnya.

Ricko pun keluar kamar menuruni tangga lalu ke dapur menyeduh kopi instan
sendiri. Ia tahu Intan sedang belajar sehingga ia tidak mengganggunya.

Sudah jam 7 malam Intan belum keluar juga dari kamarnya. Seharusnya ia
sudah memasak dan menyiapkan makan malam untuk mereka. Ricko pun ke
kamar Intan dan membuka pintunya tapi pintunya tidak bisa di buka karena di
kunci dari dalam.

"Tumben di kunci?" Gumam Ricko. Ia pun mengetuk pintu kamar Intan. Tidak
berapa lama Intan keluar.

"Kenapa di kunci?" Tanya Ricko ingin tahu.

"Mmmm aku tidak sengaja menguncinya Mas. Ada apa?" Tanya Intan tanpa
dosa.

"Kamu nggak masak? Aku lapar." Ucap Ricko sambil mengelus perutnya.
"Okey. Aku akan masak sekarang." Balas Intan lalu pergi ke dapur.

Setelah masakan Intan di hidangkan di meja makan, Ricko dan Intan makan
malam bersama.

"Mulai malam ini tidurlah bersamaku di kamar atas!" ucap Ricko di sela
makannya.

"Tapi Mas..." Ucap Intan terputus.

"Jangan membantah aku suamimu sekarang!" Ujar Ricko tegas.

"Nggak di apa - apain kan?" Tanya Intan khawatir.

"Enggak. Kalo nggak khilaf." Balas Ricko santai. Intan pun melotot bergidik
ngeri.

'Bapak. . . Ibu. . . Tolooong. . . ' jerit Intan dalam hati.

Setelah makan dan mencuci piring Intan hendak pergi ke kamarnya tapi di
cegah Ricko.

"Mau kemana? Ayo ke atas!" Ajak Ricko sambil menggandeng tangan Intan.

"Aku... aku mau ambil buku dan ganti piyama dulu Mas. Mas Ricko ke atas
dulu aja. Nanti aku nyusul. Hehe." Balas Intan tersenyum kaku.

"Okey. Aku tunggu di atas." Ucap Ricko lalu ia menaiki tangga menuju
kamarnya.

Setelah itu Intan masuk ke kamarnya, membuka almari dan mencari piyama
tebal dan panjang. Kali ini ia tidak mau melepas bra nya ketika tidur. Ia juga
menyiapkan buku yang banyak dan tebal untuk di pelajari sehingga ia terlihat
sibuk di kamar Ricko nantinya.

"Ide yang sangat bagus Intan. Ha.ha.ha" ujar Intan tertawa bangga ala pahlawan
bertopeng.

Setelah mengganti piyamanya, seperti biasa Intan menggosok gigi dan mencuci
mukanya. Setelah itu ia keluar kamarnya dan berjalan menaiki tangga menuju
kamar Ricko dengan membawa beberapa buku di tangannya. Sesampainya di
depan pintu kamar Ricko, Intan menarik nafas dalam - dalam lalu
menghembuskannya pelan - pelan.

"Tenang Intan... Tidak akan terjadi apa - apa. Okey?" Gumam Intan
menenangkan perasaannya sendiri yang dari tadi dag dig dug nggak karuan.
Setelah itu Intan mengetuk pintu dan membukanya. Tampaklah Ricko sedang
berbaring dan bersandar pada sandaran di ranjangnya memainkan ponselnya.

Setelah masuk Intan menutup pintu tanpa menguncinya untuk berjaga - jaga
kalau terjadi sesuatu ia bisa melarikan diri dengan cepat. Intan duduk di sofa
lalu membuka buku dan membacanya.

Sudah satu jam berlalu. Intan merasa bosan dan mengantuk. Buku yang ia baca
sebenarnya sudah sering ia baca dan ia sudah menghafalnya.

'Kenapa Mas Ricko belum tidur juga sich?' Batin Intan. Ia mengintip Ricko dari
balik bukunya dan Ricko tahu itu.

Ricko sudah tahu kalau Intan hanya berusaha menghindarinya. Mulai dari pintu
kamarnya yang di kunci. Akhirnya Ricko pun berinisiatif mengajak Intan tidur
di kamarnya. Karena sudah malam dan lelah Ricko menaruh ponselnya di nakas
lalu menghampiri Intan.

"Sampai kapan kamu mau membaca buku terus?" Tanya Ricko sambil
mengambil buku Intan lalu menutupnya dan menaruhnya di sofa.

"Eeeh besok aku ujian. Aku harus belajar Mas." Ucap Intan menolak bukunya
di ambil Ricko.

"Ayo tidur!" Ajak Ricko sambil menggendong tubuh Intan ala bridal style.
Setelah itu membaringkannya di ranjang dan menyelimutinya. Intan pun pasrah.
Ia menarik slimut itu hingga menutupi dadanya.

Setelah membaringkan Intan, Ricko mematikan lampu utama lalu tidur di


samping Intan. Ia memasukkan tubuhnya ke dalam selimut yang sama dengan
Intan. Ia bisa melihat Intan sangat tegang dengan pencahayaan lampu tidur.

"Kenapa kamu tegang sekali? Bukankah kita sudah sering tidur bersama? Kamu
harus terbiasa mulai sekarang." Ucap Ricko pada Intan.
"Iya Mas..." Balas Intan lalu memiringkan tubuhnya membelakangi Ricko.
Ricko pun menggeser tubuhnya ke arah Intan lalu memeluknya dari belakang.
Intan tersentak kaget. Jantungnya berdetak lebih kencang.

"Mas... Lepas aku gerah!" Ucap Intan berusaha melepas pelukan Ricko.

"Kalau gerah lepas bajumu!" Ucap Ricko dengan entengnya dan tetap memeluk
Intan. Intan pun semakin ngeri. Ia menyesal telah memakai piyama tebal.

Ricko menghirup aroma tubuh Intan yang selalu wangi menurutnya. Tanpa
komando junior Ricko mulai menegang. Intan bisa merasakannya karena tubuh
Ricko menempel pada tubuhnya. Jantung Intan semakin berdetak lebih kencang
dari sebelumnya. Ia benar - benar takut. Ia merasa tidak nyaman dan gelisah.
Ricko bisa merasakan debaran jantung Intan. Ia sendiri juga gugup.

"Tidurlah. Tidak akan terjadi apa - apa. Percayalah!" Ucap Ricko berbisik di
telinga Intan. Intan pun mengangguk dan memejamkan matanya.

Ke esokan harinya Intan bangun kesiangan lagi karena tadi malam tida bisa
tidur dengan nyenyak. Motornya juga belum di bawa ke tukang tambal ban.
Akhirnya Intan pun membangunkan Ricko.

"Mas... bangun! Ini sudah siang. Tolong antar aku ke sekolah!" ucap Intan
sambil menggoyang tubuh Ricko.

"Jam berapa sekarang?" Tanya Ricko sambil berusaha membuka matanya..

"Setengah enam." Jawab Intan. Ricko pun segera membuka matanya lalu duduk
di tepi ranjang.

"Mandilah dulu! Aku akan bersiap - siap." Perintah Ricko. Intan pun segera
keluar dari kamar Ricko lalu menuruni tangga dan masuk ke kamarnya.

Setelah siap Intan menyantap roti dengan selai di meja makan dan meminum
susu. Namun Ricko belum juga turun. Intan pun menyusul Ricko ke kamar atas.
Karena terburu - buru Intan lupa mengetuk pintu dan langsung membuka pintu
kamar Ricko. Untungnya Ricko sudah memakai celana dan kemejanya. Intan
pun menyambar dasi di ranjang lalu mengikatnya di leher Ricko. Ricko pun
tersenyum senang. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Intan dan akan
menciumnya. Sayangnya Intan memundurkan tubuhnya ketika sudah selesai
mengikat dasi di leher Ricko.
'sial!' Batin Ricko geram.

Dalam perjalanan ke sekolah Ricko sangat ngebut. Ia sangat kecewa karena


gagal mencium Intan. Intan sangat takut baru kali ini Ricko mengemudi ngebut
kayak gini.

"Mas pelan - pelan dong! Aku takut..." Ucap Intan memperingatkan Ricko.
Ricko pun mengurangi kecepatannya dan Intan bernafas lega.

"Pulang nanti kamu naik ojek ke rumah bapak saja. Nanti sore aku jemput!"
Ucap Ricko sebelum Intan turun dari mobilnya.

"Iya Mas..." Jawab Intan lalu turun dari mobil. Seperti biasa Adit menunggunya
di gerbang sekolah. Ricko melihat itu. Ia semakin geram.

"Kamu nggak bawa motor lagi?" Tanya Adit.

"Iya. Kemarin lupa bawa ke tukang tambal ban." Jawab Intan sambil jalan ke
arah ruangannya dan Adit mengikutinya.

"Pulangnya aku antar lagi ya?" Tawar Adit.

"Nggak usah Dit. Nanti aku naik ojek aja, soalnya mau pulang ke rumah bapak.
Kalo bapak tahu mampus aku." Jelas Intan.

"Oke deh kalo gitu. Aku ke kelas ku dulu ya?" Pamit Adit lalu pergi.

Setelah melihat Intan masuk ke gerbang sekolah, Ricko mengemudikan


mobilnya ke perusahaan. Di tengah perjalanan Ricko menelpon sekretarisnya
untuk menyiapkan sarapan di mejanya.

Sesampainya di perusahaan Ricko segera masuk ke ruangan kantornya. Ia


terbiasa sarapan pagi sehingga ia merasa lapar ketika tidak sarapan di rumah.
Romi yang melihat Ricko buru - buru segera menyusul ke dalam ruangan
Ricko.

"Tumben akhir - akhir ini sarapan di kantor terus?" Tanya Romi sambil duduk
di kursi depan Ricko.
"Si Intan kesiangan terus bangunnya. Jadi tidak sempat masak. Aku juga harus
mengantar ke sekolahnya karena ban motornya kempes." Jawab Ricko setelah
menelan makanan di mulutnya.

"Hmmmm romantisnya sama sepupu. Kalau dia jadi istriku pasti lebih romantis
lagi Rick!" Ucap Romi berandai - andai.

"Jangan berandai - andai dengan istri orang. Dia istriku sekarang Rom!" Ucap
Ricko tidak senang.

"Hei kamu juga berandai - andai kan Rick? Intan sendiri yang bilang kalau dia
sepupumu. Sekarang kamu bilang dia istrimu. Kamu juga tidak bisa
membuktikan kalau kalian sudah menikah? Gimana hubunganmu dengan
Rossa?" Balas Romi tak mau kalah.

"Terserah! Masalah Rossa aku sedang memikirkan cara untuk


memutuskannya." Jawab Ricko lalu meminum air putih di depannya.

"Waw kamu benar - benar menyukai Intan? Sampai - sampai mau memutuskan
Rossa?" Tanya Romi.

"Bukan urusanmu. Keluar dari ruanganku! Aku akan mulai bekerja." Usir
Ricko.

"Siap bos!" Balas Romi lalu keluar dari ruangan Ricko.

Selesai ujian Intan keluar dari gerbang sekolah lalu naik ojek yang berjajar di
depan sekolahnya. Sesampainya di rumah, Intan segera masuk dan melihat
ibunya sedang menonton televisi di ruang tengah.

"Tumben pulang kesini Ntan? Kamu berantem sama Ricko?" Tanya ibunya
heran.

"Enggak Bu. Mas Ricko yang nyuruh Intan pulang kesini setelah pulang
sekolah. Katanya nanti mau di jemput." Jawab Intan.

"Oh ya sudah kamu istirahat dulu saja kalo gitu. Kalo mau makan langsung ke
belakang saja." Ujar Bu Romlah.

"Iya Bu." Balas Intan lalu masuk ke kamarnya yang sudah lama tidak ia
tempati.
Sementara itu Ricko hari ini sangat - sangat sibuk. Ia harus meeting beberapa
kali dan menyurvey lokasi proyek di beberapa daerah. Sehingga ia tidak bisa
pulang sore.

Jam di rumah Intan sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tapi Ricko
belum datang juga.

"Apa dia lupa? Jam segini belum datang juga..." Gumam Intan di dalam
kamarnya. Ia pun memutuskan tidur dari pada menunggu Ricko yang belum
tentu kapan datangnya.

Jam 11 malam Ricko baru sampai di rumah Pak Ramli. Semua lampu di rumah
itu sudah mati pertanda penghuni rumah sudah tidur. Seperti biasa Ricko
menelpon Intan. Tidak berapa lama Intan pun muncul dari balik pintu ruang
tamu.

"Malam banget Mas pulangnya?" Tanya Intan dengan suara serak khas bangun
tidur.

"Iya hari ini banyak urusan yang harus di selesaikan. Ayo pulang sekarang."
Ajak Ricko.

"Apa nggak menginap disini saja Mas? Ini udah malam banget lo..." Ujar Intan
menyarankan.

"Enggak. Kita pulang aja." Tolak Ricko tegas.

Intan pun menuruti kemauan Ricko. Ia membangunkan adiknya si Johan untuk


mengunci pintu ketika Intan dan Ricko pulang.

Dalam perjalanan pulang Intan tidak kuat menahan kantuknya. Jadi ia tertidur
di dalam mobil. Ricko melihatnya dan tersenyum lalu mengelus rambut Intan.

"Maaf sudah telat menjemputmu..." Ucap Ricko pelan. Tentu saja Intan tidak
mendengarnya.

Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, Ricko menggendong Intan yang


tertidur lelap ke kamar lantai bawah. Lalu ia pergi ke kamarnya di lantai atas
untuk mandi dan berganti pakaian. Setelah itu ia kembali ke kamar Intan dan
tidur di samping Intan. Ia mencium kening dan pipi Intan lalu memeluknya.

Pagi harinya Intan bangun dan merasakan berat dan panas di sekitar tubuhnya.
Ia pun membuka matanya dan melihat tangan Ricko memeluknya. Lalu ia
menyentuh kening Ricko dan Intan merasakan panas yang tidak biasa.

'Sepertinya dia sakit.' Batin Intan.

Intan pun menyingkirkan tangan Ricko dari tubuhnya pelan - pelan. Lalu ia
bangun mengambil air hangat dan sapu tangan untuk mengompresnya. Ricko
yang merasakan ada benda basah di keningnya segera membuka matanya. Ia
melihat Intan sedang mengompresnya.

"Kamu sakit Mas?" Tanya Intan khawatir.

"Enggak." Jawab Ricko singkat.

"Tapi kamu demam?" Tanya Intan khawatir.

"Nanti juga sembuh sendiri. Kamu libur sekolah kan hari ini?" Tanya Ricko.

"Iya Mas." Jawab Intan.

"Ayo temani aku tidur lagi." Ujar Ricko sambil menarik tangan Intan. Intan pun
berbaring telentang di samping Ricko. Ricko memeluknya dengan erat dan
menempelkan hidungnya di leher Intan. Intan merasa tidak nyaman dan geli.

"Geli Mas..." Kata Intan sambil memiringkan kepalanya kegelian. Ricko pun
tersenyum nakal. Ia menjulurkan lidahnya lalu menjilat leher Intan. Tubuh Intan
tersentak kaget. Ini pertama kalinya ia di perlakukan seperti ini oleh seorang
laki - laki.

"Aaaahh Mas Ricko mau ngapain?" Desah Intan lalu mendorong tubuh Ricko.
Tapi Ricko memeluknya dengan erat sehingga Intan tidak bisa bergerak.

"Kenapa?" Tanya Ricko lirih.

"Geli. Lepaskan aku Mas!" Pinta Intan. Ricko tetap memeluknya dan tidak mau
melepaskannya. Ia bisa merasakan jantung Intan berdetak sangat kencang.

"Ayo tidur!" Ajak Ricko lalu memejamkan matanya.


"Nggak. Aku harus masak!" Ujar Intan menolak.

"Delivery aja." Ucap Ricko dengan mata terpejam.

"Mas Ricko nggak kerja?" Tanya Intan.

"Enggak. Aku ingin bersantai di rumah seharian. Lagian kalau aku kerja siapa
yang nemenin kamu di rumah? Ayo tidur." Balas Ricko. Intan tidak punya
alasan lagi untuk menolak. Terpaksa ia berbaring lagi menemani Ricko tidur
meskipun matanya tidak mengantuk. Ia memejamkan matanya. Tidak berapa
lama Intan merasakan tangan Ricko naik ke dadanya. Intan pun menurunkan
tangan itu pelan - pelan. Beberapa detik kemudian tangan itu naik lagi ke dada
Intan. Dan lagi - lagi Intan menurunkannya. Ricko mengulanginya lagi dan
Intan semakin geram dengan kelakuan Ricko.

"Mas Ricko!" Teriak Intan kesal.

"Berani teriak sama suamimu?" Ucap Ricko masih dengan memejamkan


matanya.

"Maaf bukannya begitu tapi... " Balas Intan menyesal.

"Aku baru akan menyentuh dadamu, tapi kamu sudah seperti itu. Istri macam
apa kamu?" Ucap Ricko lalu bangun dan turun dari ranjang.

Setelah itu ia keluar dari kamar Intan lalu menaiki tangga menuju kamarnya
sendiri di lantai atas. Ia sangat - sangat lelah. Kemarin ia bekerja hingga larut
malam. Lalu menjemput Intan di rumah Pak Ramli. Tenaganya benar - benar
terkuras habis. Ia ingin dimanjakan istrinya. Tapi istrinya menolaknya.

Intan benar - benar menyesal telah membuat Ricko marah. Tidak seharusnya ia
menolak Ricko. Bagaimanapun juga sekarang Ricko adalah suaminya. Ricko
berhak atas setiap inci tubuhnya. Intan segera masuk ke dalam kamar mandi
untuk membersihkan diri. Setelah mandi ia berganti pakaian, menyisir
rambutnya, memakai bedak, dan lotion seperti biasa. Setelah itu ia keluar dari
kamarnya lalu menaiki tangga menuju kamar Ricko.

Sesampainya di depan pintu kamar Ricko, Intan menarik napas dalam - dalam
lalu menghembuskannya pelan - pelan. Dadanya berdebar - debar. Setelah itu ia
membuka pintu kamar Ricko dan tampaklah Ricko sedang bersandar pada
ranjangnya dengan ponsel di tangannya.

Meskipun sedang di rumah, Ricko juga tetap bekerja melalui ponselnya. Intan
mendekat ke arah Ricko, lalu berbaring di samping Ricko. Ricko yang melihat
Intan tiba - tiba berbaring di sampingnya tentu saja heran.

"Maafin aku Mas..." Ucap Intan memohon sambil memeluk Ricko. Ricko masih
diam saja pura - pura memainkan ponselnya.

"Mas..." Panggil Intan. Ricko pun menoleh dan melihat Intan seperti sedang
memohon. Tentu saja Ricko tidak menyia - nyiakan kesempatan ini. Ia segera
menaruh ponselnya di nakas lalu memandang wajah Intan.

"Apa?" Tanya Ricko.

"Maafin aku..." Jawab Intan.

"Iya. Lalu kenapa tadi meneriakiku?" Tanya Ricko lagi.

"Aku masih belum terbiasa. Aku harap Mas Ricko mengerti. Aku akan
mencobanya pelan - pelan Mas. Maafin aku." Jawab Intan.

"Apa kamu mau mencobanya sekarang?" Tanya Ricko lagi.

Intan pun menganggukan kepalanya. Setelah mendapatkan persetujuan dari


Intan, Ricko mencium bibir Intan pelan - pelan. Ricko tahu ini ciuman pertama
bagi Intan karena Intan begitu kaku dan tidak membalasnya. Intan pun
memejamkan matanya berusaha menerima apapun yang dilakukan Ricko pada
tubuhnya.

Tangan Ricko masuk ke dalam kaos Intan dan meraba dadanya. Sesuatu yang
sangat ingin Ricko sentuh selama ini. Intan pun pasrah dengan apapun yang
dilakukan Ricko, tapi hatinya masih belum rela.

Air matanya pun mengalir dari pelupuk matanya. Isak tangis mulai terdengar.
Ricko menjadi tidak tega melakukannya. Ia juga tahu minggu depan Intan akan
menghadapi ujian akhir. Ia tidak ingin membuat Intan trauma yang bisa
mempengaruhi semangat belajarnya. Ricko tahu ia tidak boleh egois. Istrinya
masih remaja polos yang selisih umur 10 tahun dengannya. Ia akan menahan
keinginannya dan menunggu sampai Intan selesai ujian.
"Keluarlah! Sebentar lagi ada orang yang datang mengantar makanan." Ucap
Ricko pada Intan. Intan merasa lega sesuatu yang ia takutkan tidak terjadi. Ia
bersyukur Ricko masih punya rasa kasihan padanya.

"Aku sudah memesan makanan dan memanggil tukang tambal ban. Pembantu
mama juga akan datang sebentar lagi. Kamu turunlah dulu. Aku mandi
sebentar." Ucap Ricko lalu masuk ke dalam kamar mandi.

Intan pun turun dan kembali ke kamarnya lalu mencuci muka untuk menghapus
bekas air matanya. Tidak berapa lama makanan pesanan Ricko pun datang.
Intan menerimanya lalu menyiapkannya di meja makan. Beberapa saat
kemudian Ricko turun dan duduk di meja makan bersama Intan untuk sarapan
bersama.

Intan menyantap sarapan dengan menundukkan kepalanya. Ia terlalu malu


untuk menatap wajah Ricko di depannya. Ricko melihat tingkah Intan yang
tidak biasa jadi merasa tidak enak.

"Kenapa kamu menunduk terus dari tadi?" Tanya Ricko pada Intan di sela
sarapannya.

"Tidak apa - apa Mas..." Jawab Intan masih dengan kepala menunduk.

"Tatap aku saat berbicara!" Ucap Ricko dengan tenang. Intan pun mengangkat
kepalanya lalu memandang wajah Ricko.

"Anggap saja kejadian tadi tidak pernah terjadi!" Ucap Ricko pada Intan. Intan
menganggukkan kepalanya.

'Gimana bisa di anggap tidak terjadi? Orang jelas - jelas kejadian tadi masih
membayang di ingatanku.' Batin Intan.

Intan pun memejamkan matanya. Menghirup napas dalam - dalam lalu


menghembuskannya dengan kasar melalui mulutnya agar hatinya lebih tenang.
Ricko mendekatinya lalu memeluknya.

"Aku minta maaf..." Ucap Ricko pelan. Intan menganggukkan kepalanya.

'Ya ampun gini banget ya resikonya kalo nikah sama cewek yang usianya jauh
dibawah kita? Harus banyak ngalahnya. Di apa - apain dikit aja udah takut dan
nangis. Gimana bisa di ajak begituan?' Batin Ricko.

Tidak berapa lama pembantu mamanya Ricko datang. Seperti biasa ia akan
merendam pakaian di mesin cuci dulu setelah itu membersihkan lantai atas.

"Bersihkan kamarku dulu Bi!" Perintah Ricko ketika melihat pembantunya akan
menaiki tangga.

"Iya Mas." Jawab pembantu itu.

Setelah makan seperti biasa Intan membersihkan meja makan lalu mencuci
piring. Ricko mengawasi Intan dari meja makan.

"Ambilkan aku obat di laci itu!" Perintah Ricko sambil menunjuk salah satu laci
di dapur setelah melihat Intan selesai mencuci piring. Intan pun membuka laci
yang di tunjuk Ricko lalu mengambil obat penurun panas dan memberikannya
kepada Ricko.

Saat Ricko meminum obatnya, tukang tambal ban datang. Intan pun
menggunakan kesempatan ini untuk menjauh dari Ricko. Intan segera keluar
untuk menemui dan menunggu tukang tambal ban hingga selesai
menyelesaikan pekerjaannya. Tidak berapa lama Ricko menyusulnya.

"Nggak perlu di tunggu. Dia sudah sering datang ke rumah ini. Ayo masuk!"
Ajak Ricko. Intan pun menurutinya. Ia tidak punya alasan untuk menolak
ajakan Ricko.

Kini mereka duduk di sofa ruang tengah sambil menyalakan televisi. Ricko
melihat berita selebriti tanah air. Di televisi itu menyiarkan Rossa yang tengah
fashion show dengan pakaian sangat mini dan belahan dada yang sangat rendah.
Ricko sudah biasa melihat Rossa yang berpakaian seperti itu. Tapi beda lagi
dengan Intan. Ia merasa malu dan ngeri dengan cara berpakaian yang seperti
itu.

"Kenapa?" Tanya Ricko saat melihat Intan nyengir - nyengir jijik.

"Mmmm pakaiannya mini dan ketat sekali." Jawab Intan.

"Kamu tahu dia?" Tanya Ricko ingin tahu apakah Intan mengenal Rossa.

"Tentu saja. Dia Rossalinda model yang sedang naik daun beberapa tahun
terakhir." Jawab Intan percaya diri.
"Kamu tahu kekasihnya?" Tanya Ricko lagi.

"Tidak. Tidak ada yang tahu kekasihnya karena Rossalinda menyembunyikan


identitas kekasihnya." Jawab Intan lagi.

Memang sampai saat ini tidak ada yang tahu siapa kekasih dari model terkenal
bernama Rossalinda. Karena Ricko sendiri yang meminta agar hubungan
mereka tidak di expose hingga mereka mendapatkan restu dari kedua orang
tuanya. Hingga hubungan mereka berjalan 2 tahun papa Ricko masih belum
merestui hubungan mereka dan tiba - tiba menikahkannya dengan Intan gadis
yang usianya jauh dibawa Ricko dan masih berstatus pelajar SMA.

"Mas Ricko kamarnya sudah selesai di bersihkan..." Ujar pembantunya setelah


menuruni tangga.

"Terima kasih Bi. Oh iya di depan ada tukang tambal ban. Nanti kalau orangnya
sudah selesai tolong di urus ya? Aku naik ke atas dulu." Ucap Ricko pada
pembantunya.

"Iya Mas." Jawab pembantunya. Lalu melanjutkan membersihkan ruangan yang


lainnya.

"Ayo naik!" Ajak Ricko pada Intan. Intan pun ikut naik ke atas dan masuk ke
kamar Ricko. Ricko merasa tidak enak badan sehingga ia ingin beristirahat di
rumah seharian.

"Temani aku tidur." Ucap Ricko sambil membaringkan tubuhnya di ranjang.

"Hanya tidur?" Tanya Intan tidak percaya.

"Iya memangnya mau apa?" Tanya Ricko.

"Nggakpapa Mas." Jawab Intan lalu merebahkan tubuhnya di ranjang Ricko.


Ricko memeluknya dan tidak berapa lama Intan mendengar nafas Ricko yang
teratur pertanda sudah tidur.

'Eh beneran tidur? Panasnya juga sudah mulai turun.' Batin Intan.

Ketika Intan akan memejamkan matanya ponsel Ricko bergetar, tapi yang
punya tidak bangun juga. Intan pun meraba meja nakas lalu mengambil ponsel
itu dan melihat ID pemanggil. Itu adalah permintaan video call dari kontak
bernama "Sayangku" dengan foto kontak Rossalinda.

'Jadi pacar Mas Ricko selama ini model cantik Rossalinda? Pantesan nggak ada
yang tahu. Jika aku di bandingkan sama dia tentu saja nggak ada apa - apanya.
Dia lebih cantik, dewasa, dan pastinya lebih cocok sama Mas Ricko. Pantesan
Mas Ricko nempel terus sama aku akhir - akhir ini. Ternyata di tinggal
pacarnya ke luar negri? Aku cuma buat pelampiasan saja. Nanti kalo pacarnya
sudah balik aku bakal di campakkan kayak sampah. Eh ponselnya bergetar lagi.
Di bangunin nggak ya? Tapi kan Mas Ricko lagi sakit?' Batin Intan.

Intan pun menaruh ponsel Ricko lagi di meja nakas lalu menyingkirkan tangan
Ricko dari tubuhnya pelan - pelan agar Ricko tidak terbangun. Setelah itu ia
keluar dari kamar Ricko, turun dari tangga dan masuk ke kamarnya mengambil
jaket, dompet, hp dan kunci motor. Pembantunya sedang menyapu halaman
belakang jadi ia tidak tahu kalau Intan keluar rumah. Kebetulan sekali saat Intan
keluar motornya sudah terparkir di dalam garasi. Ia pun segera mengeluarkan
motor itu lalu mengemudikannya menjauhi rumah Ricko.

Ia sangat kecewa karena merasa sudah di permainkan Ricko. Selama ini ia


sudah berusaha menjadi istri yang baik dan bahkan hampir menyerahkan
tubuhnya pada Ricko, tapi nyatanya Ricko masih menjalin hubungan dengan
kekasihnya. Apa arti pernikahannya selama ini? Ia pergi tanpa tujuan. Mau
pulang ke rumah takut di tanyain yang macam - macam sama ibunya. Ia pun
mengemudikan motornya ke rumah Melly.

Hari sudah semakin siang. Ricko merasa lapar karena sudah masuk waktunya
makan siang. Ia pun membuka matanya dan tidak menemukan Intan di sisinya.
Ia bangun lalu keluar kamarnya dan menuruni tangga berharap menemukan
Intan sedang memasak di dapur. Tapi yang ia lihat hanya pembantunya yang
sedang menyetrika.

"Dimana Intan?" Tanya Ricko pada pembantunya.

"Bukannya tadi naik ke atas sama Mas Ricko? Setelah itu bibi nggak
melihatnya lagi Mas." Jawab pembantunya.

Ricko pun membuka pintu kamar Intan dan lagi - lagi tidak menemukan sosok
istrinya. Ia membuka pintu kamar mandi dan ternyata kosong juga. Ia ke garasi
dan melihat kalau motornya tidak ada itu artinya Intan pergi dari rumah
membawa motornya. Ia segera naik tangga kembali ke kamarnya dan
mengambil ponselnya. Ia mengabaikan beberapa tanda panggilan tak terjawab.
Ia membuka aplikasi di ponselnya untuk mengetahui dimana Intan berada
sekarang. Karena ia sudah memasang GPS pada motor yang dibawa Intan yang
langsung menyambung ke ponselnya.

Ricko pun akhirnya mengawasi kemanapun Intan pergi dari ponselnya. Ia


membawa ponselnya kemana - mana. Ia turun dan menyuruh pembantunya
memasak dengan bahan yang ada di kulkas.

"Kenapa dia pergi nggak pamit? Dan lokasi ini 8 kilometeran dari rumah.
Rumah siapa ini? Apa lelaki itu? Makanya dia pergi diam - diam?" Gumam
Ricko.

Sementara itu Intan di rumah Melly sedang belajar bersama. Intan tidak cerita
apa - apa kepada sahabatnya tentang rumah tangganya. Ia hanya butuh teman
untuk mengalihkan rasa kesalnya dengan belajar bersama Melly. Melly pun
tidak curiga dengan Intan yang tiba - tiba datang. Intan belajar, makan, dan
sekaligus tidur siang di rumah Melly. Tanpa Intan tahu, Ricko di rumah
khawatir, marah, dan menunggu kepulangannya.

"Ntan sudah sore loh. Kamu nggak pulang? Bukannya ngusir tapi aku takut
kamu di marahi." Ucap Melly pada Intan khawatir.

"Nanti ya Mel. Sudah lama aku nggak main ke rumah kamu. Aku masih kangen
nich..." Jawab Intan bohong. Sebenarnya ia tidak ingin pulang dan tidak ingin
bertemu Ricko. Ia merasa menjadi wanita paling bodoh yang bisa dipermainkan
laki - laki dewasa seperti Ricko.

Jam 7 malam Intan baru keluar dari rumah Melly. Sebelum pulang Intan
mampir dulu ke apotek membeli pil KB. Ia takut sewaktu - waktu Ricko
melakukannya dan ia tidak mau hamil. Ia masih ingin menyelesaikan
sekolahnya dan lanjut kuliah. Ricko pun melihat setiap pergerakan Intan.

"Ngapain di berhenti di apotek? Apa dia membeli obat untukku?" Gumam


Ricko.

Setelah Intan mendapatkan obatnya dengan dalih membelikan ibunya, Intan pun
pulang kembali ke rumah Ricko. Rumah itu gelap seperti tidak berpenghuni.

"Apa Mas Ricko pergi?" Guman Intan. Tapi saat ia masuk ke garasi mobil
Ricko ada di sana. Ia pun berpikir kalau Ricko sudah tidur karena sekarang
sudah jam 8 malam. Intan masuk ke dalam rumah mengendap - endap hendak
masuk ke kamarnya. Saat ia melewati ruang tengah tiba - tiba ia mendengar
suara Ricko di kegelapan. Intan pun menghentikan langkahnya, menggigit bibir
bawahnya dan memejamkan matanya.

"Dari mana kamu?" Tanya Ricko dingin. Lalu menyalakan lampu.

"Mmm dari rumah teman Mas." Jawab Intan takut. Ricko pun mendekatinya.

"Kamu tahu sekarang jam berapa? Suamimu sedang sakit di rumah. Kamu
malah kelayapan nggak jelas. Sudah keluar nggak ijin, malam hari baru pulang.
Apa setiap hari kamu seperti ini hah?" Ucap Ricko dengan marah. Intan
mendengarkannya masih dengan mata terpejam. Ia sangat takut. Ini pertama
kalinya Ricko marah padanya.

"Asal kamu tahu, aku tidak menyentuhmu karena aku tidak mau mengganggu
ujianmu. Tapi kalau kamu seperti ini. Ayo masuk kamar!" Ucap Ricko sambil
menarik tangan Intan ke kamar Intan lalu melepaskannya di atas ranjang.

"Mas Ricko mau apa?" Tanya Intan ketakutan dan panik saat melihat Ricko
melepas kaosnya. Setelah itu Ricko naik ke atas tubuh Intan.

"Layani suamimu malam ini sayang..." Bisik Ricko di telinga Intan. Intan
membelalakkan matanya. Jantungnya berdebar - debar. Spontan ia mendorong
tubuh Ricko berharap bisa kabur. Tapi tenaga Ricko lebih kuat darinya. Ricko
membuka paksa jaket dan kaos yang dipakai Intan. Lalu membuka pengait bra
Intan dan membuangnya ke lantai. Intan menutupi payudaranya yang tidak
terbungkus apa - apa. Ia mulai menangis. Ia benar - benar ketakutan.

"Mas... jangan... aku mohon..." Ucap Intan memohon sambil menangis. Ricko
tidak menjawabnya. Ia mencekal kedua tangan Intan di kedua sisi kepalanya
lalu menciumi serta menghisap bibir, leher, dan dada Intan sehingga
meninggalkan tanda merah di beberapa tempat. Intan menangis dan pasrah tidak
bisa melawan. Setelah itu Ricko melepaskan tangan Intan, turun dari tubuhnya,
mengambil kaosnya lalu keluar dari kamar Intan dan membanting pintunya.
Intan segera mengambil selimut di dekatnya lalu menutupi tubuhnya.

Tengah malam saat Intan sudah tertidur lelap, Ricko kembali ke kamar Intan. Ia
membuka pintu kamar Intan dan menemukan Intan masih belum memakai
pakaiannya hanya menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia menghampiri Intan
lalu membuka selimut itu pelan - pelan. Ia membuka tutup salep di tangannya
lalu mengoleskannya di bagian tubuh Intan yang kemerahan akibat ulahnya.

"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Hanya saja aku ingin
memberimu pelajaran agar tidak pulang malam lagi. Kamu tidak tahu betapa
khawatirnya aku seharian menunggumu pulang. Kamu pergi tanpa pamit. Aku
sudah berjanji tidak akan menyentuhmu sebelum ujian. Selamat malam."
Gumam Ricko setelah menutupi tubuh Intan dengan selimut lalu mengecup
keningnya dan pergi ke luar kembali ke kamarnya.

Ke esokan paginya Intan membuka matanya . Ia membuka selimutnya dan


melihat bekas merah di tubuhnya sudah sedikit memudar dan tidak sakit lagi. Ia
segera bangun dan pergi ke kamar mandi untuk mandi. Setelah berganti pakaian
ia keluar kamarnya dan melihat Ricko sudah memakai pakaian siap berangkat
kerja sedang menyeruput kopinya di meja makan dengan beberapa makanan di
meja makan. Ia sudah memesan makanan dari luar sebelum Intan bangun. Intan
mendekatinya dan duduk di samping Ricko.

"Apa sudah baikan?" Tanya Ricko dengan penuh perhatian.

"Hmmm terima kasih sudah mengobatiku semalam." Jawab Intan lirih. Saat
Ricko mengobatinya tadi malam sebenarnya Intan terbangun karena merasa
perih. Tapi ia pura - pura tidur. Tentu saja Intan mendengar semua ucapan
Ricko tadi malam. Ia sadar memang ia yang salah sehingga membuat Ricko
marah. Seandainya Ricko adalah bapaknya mungkin hukumannya akan lebih
parah dari ini.

"Makanlah! Aku sudah memesan makanan. Jadi kamu tidak perlu masak."
Ucap Ricko lalu menghabiskan kopinya.

"Mas... apakah Rossalinda kekasihmu?" Tanya Intan pelan dan menatap Ricko.

"Iya. Kamu tahu darimana?" Tanya Ricko balik sambil menatap Intan juga.

"Kemarin dia melakukan video call ke ponselmu. Tapi kamu tidur." Jawab
Intan. Ricko pun segera mengecek ponselnya yang ada di meja depannya.

"Jadi kamu pergi gara - gara ini? Kamu cemburu?" Tanya Ricko menyelidik.

"Enggak. Aku kecewa. Kita sudah menikah. Tapi Mas Ricko masih menjalin
hubungan dengan wanita lain bahkan kalian berpacaran. Apa setelah Mas Ricko
bosan denganku lalu Mas Ricko akan menikah dengan dia?" Tanya Intan
antusias.

"Bagaimana lagi? Istriku tidak bisa melayaniku. Aku juga butuh seseorang
untuk memuaskan nafsuku. Aku laki - laki dewasa yang normal." Jawab Ricko
memancin Intan.

"Jadi Mas Ricko sudah pernah tidur dengannya?" Tanya Intan tak percaya.

"Aku tanya dulu. Emang kamu bisa melakukan tugasmu sebagai istri?" Tanya
Ricko menyindir.

"Tentu saja. Aku memasak, membersihkan rumah, bahkan menemanimu tidur."


Jawab Intan bersemangat.

"Lalu yang tadi malam apa? Bukankah kamu menolakku?" Tanya Ricko.

"Itu... karena Mas Ricko menakutiku. Pagi harinya aku sudah menawarkan
diriku." Jawab Intan tidak mau kalah.

"Kalau begitu ulangi lagi sekarang!" Tantang Ricko dengan tenang.

"Tidak mau!" Jawab Intan. Ia kesal karena mengira Ricko sudah pernah tidur
dengan Rossa.

"Kalau begitu cepat bereskan barang - barangmu! Aku antar pulang ke


rumahmu." Perintah Ricko dengan santai.

"Maksud Mas Ricko apa? Mau nyeraiin aku? Lalu menikah dengannya?" Tanya
Intan panik. Masa' iya di usianya yang masih sekolah ia sudah berstatus janda.
Intan benar - benar ngeri membayangkannya.

"Hahaha. Kamu berpikir terlalu jauh. Aku mau ke luar negri. Nggak mungkin
aku ninggalin kamu disini sendirian. Bawa semua bukumu yang perlu di
pelajari. Belajarlah dengan baik di sana." Ucap Ricko sambil mengelus puncak
kepala Intan.

"Hmmmm" Balas Intan sambil mengunyah makanannya.

Setelah sarapan Intan mengepak bukunya dan beberapa pakaiannya serta


kebutuhan lainnya di kamarnya. Ricko menunggunya duduk di tepi ranjang
Intan sambil membalas email yang masuk melalui ponselnya.
Setelah semua beres, Ricko membawa barang bawaan Intan ke dalam mobilnya.
Lalu melajukan mobilnya ke rumah Pak Ramli. Sesampainya di rumah Pak
Ramli, Ricko membawakan barang Intan masuk ke dalam kamarnya. Intan pun
mengikutinya.

"Mas... berapa lama kamu pergi?" Tanya Intan ingin tahu.

"Kurang lebih semingguan. Nich uang belanjamu." Balas Ricko sambil


menaruh barang Intan lalu mengeluarkan uang dari dalam sakunya sebanyak 2
juta rupiah. Ia sudah mempersiapkan ini sebelumnya.

"Banyak amat Mas?" Tanya Intan sekaligus senang.

"Karena kamu istriku. Aku pergi dulu. Jaga dirimu baik- baik." Pamit Ricko
sambil membelai puncak kepala Intan lalu berbalik hendak pergi.

"Mas..." Panggil Intan. Ricko pun berbalik ketika sudah di ambang pintu. Intan
menabraknya lalu memeluknya dengan erat.

"Segeralah kembali. Aku menunggumu..." Ucap Intan. Dadanya terasa sesak.


Air matanya menetes. Ricko pun membalas pelukan Intan lalu mencium
keningnya. Intan menengadahkan kepalanya. Ricko menghapus air mata Intan
dengan ibu jarinya.

"Jangan menangis. Akan aku usahakan segera kembali secepatnya. Jangan


memikirkan Rossa lagi. Aku sudah tidak mencintainya." Ucap Ricko. Intan pun
menganggukkan kepalanya. Ricko memegang dagu Intan lalu mencium
bibirnya dengan lembut. Intan memejamkan matanya menikmati ciuman Ricko
yang tidak menuntut seperti biasanya. Ricko melepaskan ciumannya saat
merasakan Intan sudah kehabisan napas.

"Aku pergi dulu. Sampai jumpa." Pamit Ricko sambil tersenyum lalu keluar
dari kamar Intan. Intan mengikutinya hingga halaman rumah dan menyaksikan
kepergian Ricko hingga mobilnya tidak terlihat lagi.

Hati Intan merasa sedih. Ia sudah terbiasa dengan kehadiran Ricko di setiap
waktunya. Tiba - tiba Ricko harus pergi dalam waktu yang cukup lama. Bahkan
Ricko baru saja pergi 5 menit yang lalu Intan sudah merasa rindu. Tidak berapa
lama Bu Romlah datang dari pasar.

"Lo Ntan, kamu pulang? Ada apa?" Tanya Bu Romlah heran melihat Intan di
rumahnya dengan mata sembab.

"Mas Ricko mau ke luar negri Bu. Jadi Intan di suruh menginap di sini." Jawab
Intan jujur hampir mewek.

"Kenapa kamu menangis?" Tanya Bu Romlah penasaran karena jarang sekali


bahkan hampir tidak pernah melihat anaknya menangis kecuali waktu bayi.

"Intan sayang sama Mas Ricko Bu. Hiks hiks." Balas Intan lalu menangis.

"Sabar... Baru di tinggal pergi gitu aja sudah nangis. Hahaha." Ucap Bu Romlah
menertawakan Intan. Intan pun jadi cemberut.

Sementara itu Ricko mengemudikan mobilnya ke bandara sambil menelpon


Romi untuk menangani urusan perusahaan selama ia pergi ke luar negri. Ia akan
menemui Rossalinda dan memberikan kejutan dengan kedatangannya yang tiba
- tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya. Ia sudah tidak sabar untuk segera
mengakhiri hubungannya dengan Rossa secepatnya. Ia tidak ingin ada salah
paham lagi dengan Intan. Sekarang ia menyayangi Intan entah itu karena
seringnya berinteraksi atau karena Intan sudah menjadi istrinya. Baginya Intan
sangat lucu, selalu membuat hatinya senang meskipun kadang juga
menyebalkan karena tidak patuh terhadapnya.

Sore hari Pak Ramli pulang dari bekerja. Ia melihat Intan di rumahny. Tentu
banyak tanda tanya di otaknya.

"Kenapa kamu pulang?" Tanya Pak Ramli ingin tahu.

"Mas Ricko ke luar negri Pak. Jadi Intan di suruh menginap di rumah." Jawab
Intan.

"Oh ya sudah kirain Bapak kamu bertengkar sama Ricko." Balas Pak Ramli.

'Kenapa sich tiap pulang di kirain berantem mulu sama Mas Ricko.' Batin Intan.
Intan pun akhirnya masuk ke kamarnya untuk belajar karena 2 hari lagi ujian
akhir akan di mulai.
Sesampainya di Singapura, Ricko naik taksi dan langsung menuju hotel tempat
Rossalinda menginap yang di beritahukan oleh mata - matanya. Ia menunggu di
lobby hotel sambil membaca koran menunggu Rossa pulang pemotretan.

Satu jam kemudian Rossa datang bersama dengan laki - laki yang merangkul
pinggangnya tanpa malu - malu seperti pasangan kekasih lalu masuk ke dalam
lift. Ricko masih memperhatikannya dari jauh. Tidak berapa lama Ricko berdiri
dan masuk ke lift berikutnya.

Ia sudah tahu nomor kamar Rossalinda. Setelah Rossa masuk ke kamarnya,


tidak berapa lama Ricko memencet bel nya. Rossa pun membukanya. Ia
mengira yang datang adalah pelayan. Saat pintunya terbuka Rossa kaget bukan
main.

"Sayang?" Seru Rossa terkejut.

"Kejutan... " Ucap Ricko sambil tersenyum.

"Ke... kenapa nggak kasih kabar dulu?" Tanya Rossa gugup.

"Namanya juga kejutan. Apa aku nggak boleh masuk? Kenapa kita ngobrol di
depan pintu?" Tanya Ricko.

"Mmm tentu saja. Tapi..." Ucap Rossa menggantung. Ia bingung harus


memberikan alasan apa.

"Siapa sayang?" Terdengar suara laki - laki dari dalam kamar Rossa. Ricko pun
mendengarnya.

"Ada orang di kamarmu? Siapa?" Tanya Ricko pura - pura tidak tahu sambil
celingak celinguk ke dalam kamar Rossa. Rossa pun semakin panik. Ia tidak
ada persiapan apapun. Ia tidak pernah menyangka kalau Ricko akan
menyusulnya ke Singapura. Tidak berapa lama laki - laki itu pun muncul di
belakang Rossa hanya menggunakan boxer saja.

"Siapa dia? Kenapa dia ada di kamarmu? Kalian tidur bersama?" Tanya Ricko
menyelidik.

"Mmmm..." Rossa tidak bisa menjawabnya. Ia bingung.


"Aku kekasihnya. Kamu siapa?" Jawab laki - laki itu. Rossa hanya bisa
memejamkan matanya dan menggigit bibirnya mendengar pengakuan laki - laki
itu.

"Bukan siapa - siapa. Hanya orang luar yang tidak penting." Balas Ricko sambil
menatap Rossa.

"Mulai sekarang jangan pernah temui aku lagi. Ki-ta pu-tus!" Ucap Ricko pada
Rossa lalu pergi meninggalkan pasangan itu.

"Ricko... tunggu!" Panggil Rossa hendak mengejar Ricko tapi tangannya di


tarik laki - laki itu.

Ricko pun segera masuk ke dalam lift dan turun ke lantai dasar. Ia menuju ke
resepsionis untuk memesan kamar. Ia merasa sangat lelah. Ia belum istirahat
sejak mengantar Intan pulang tadi pagi.

Setelah mendapatkan kartu kamar, Ricko segera menuju kamarnya. Ia mandi air
hangat dan berendam sebentar. Setelah itu memesan makanan hotel via telpon.
Sambil menunggu makanan datang Ricko berbaring di ranjangnya dan akhirnya
tertidur karena terlalu lelah.

Satu jam kemudian pelayan hotel memencet bel pintu kamarnya untuk
mengantar makanan. Ricko pun terbangun dan membuka pintu serta
membiarkan pelayan itu masuk menaruh makanan di meja.

Setelah pelayan itu keluar Ricko menyantap makanannya. Ia jadi teringat Intan.
Biasanya mereka selalu makan bersama. Kini ia tengah makan sendirian. Ia
hendak menelpon istrinya itu tapi Ricko tahu biasanya jam segini Intan sedang
belajar. Sehingga Ricko mengurungkan niatnya itu takut mengganggu belajar
Intan.

Ke esokan harinya seperti biasa Intan bangun pagi membantu ibunya memasak
di dapur. Sambil memasak ibunya memulai perbincangan.

"Ntan, di rumah Ricko kamu ngapain aja?" Tanya ibunya sambil menggoreng
ikan.

"Masak, sekolah, belajar, ya sama aja Bu kayak di rumah ini. Cuma kalau
bersih - bersih Mas Ricko manggil pembantunya mama 2 hari sekali." Jawab
Intan sambil motongi sayuran.
"Kamu juga tidur sama Ricko?" Tanya ibunya ingin tahu.

"I- iya Bu." Jawab Intan ragu. Ibunya sudah mulai bertanya kemana - mana.
Intan bingung menjawabnya.

"Jangan pakai KB ya Ntan. Kata orang kalau belum pernah punya anak nggak
boleh pakai KB. Nanti jadi mandul." Ujar Bu Romlah memperingatkan. Ia
nggak mau kalau Intan jadi mandul dan nggak bisa memberikan keturunan pada
Ricko yang berakhir Ricko harus menikah lagi dengan wanita lain.

"Tapi Intan masih sekolah Bu. Kalo Intan hamil gimana? Bisa - bisa Intan di
keluarkan dari sekolah. Intan juga masih belum siap kalo punya anak. Intan
mau kuliah." Jawab Intan.

"Bentar lagi kamu lulus. Kuliah kan boleh kalo hamil? Ntan... Kasihan Pak
Bambang. Biarkan dia melihat cucunya sebelum meninggal. Sakitnya sudah
makin parah." Saran Bu Romlah.

"Iya Bu..." Jawab Intan pasrah.

Setelah selesai memasak, Intan dan seluruh keluarganya sarapan bersama -


sama. Lalu Pak Ramli berangkat bekerja dan Johan berangkat ke sekolah.
Karena tidak ada kegiatan lagi Intan belajar lagi untuk mengisi waktu
senggangnya.

Setelah bangun pagi dan sarapan Ricko segera bersiap - siap untuk terbang ke
Malaysia mengurusi bisnisnya. Saat cek out di lobby, Rossa melihatnya. Ia pun
menghampiri Ricko.

"Sayang..." Panggil Rossa pada Ricko. Ricko pun berbalik dan melihat sosok
Rossa disana.

"Apa? Di antara kita sudah tidak ada apa - apa lagi. Dan asal kamu tahu, aku
sudah menikah. Jadi jangan mencariku lagi." Ucap Ricko pada Rossa.

"Kapan? Tidak mungkin. Kamu pasti bohong kan?" Tanya Rossa tidak percaya.

"Aku pergi dulu." Balas Ricko lalu pergi meninggalkan Rossa yang masih
terpaku tidak percaya.
Keluar dari hotel Ricko segera naik taksi ke bandara karena ia sudah memesan
tiket penerbangan pagi.

2 hari kemudian

Kini tiba saatnya Intan menghadapi ujian. Ia sudah sangat siap karena setiap
harinya ia belajar dengan sungguh - sungguh tanpa gangguan dari Ricko. Saat
tiba di sekolah bel masih belum berbunyi. Intan pun membaur dengan sahabat -
sahabatnya.

"Lama nggak ketemu jadi kangen nich. . ." Ucap Intan pada sahabat -
sahabatnya.

"Eh kirain udah lupa ma kita - kita secara udah ada yang nemenin." sindir Vina.

"Apa an sich ..." Balas Intan malu. Yang lainnya pun tertawa.

Tidak berapa lama bel tanda masuk berbunyi. Semua siswa masuk ke dalam
kelasnya masing - masing. Intan mengerjakan soal dengan sungguh - sungguh.
Ia berharap bisa mendapatkan nilai yang memuaskan agar orang tuanya bangga.
Ia juga berharap bisa melanjutkan kuliah tanpa halangan apapun misalnya
hamil. Setelah Ricko pulang nanti Intan ingin mendiskusikan ini dengannya.
Intan masih ingat dengan kata - kata Ricko yang akan menyentuhnya setelah
ujian akhir selesai. Yang artinya waktu itu sebentar lagi akan datang. Intan tidak
menantikannya tapi waktu terus berjalan.

Sudah 4 hari Ricko pergi ke luar negri tanpa ada kabar. Ia juga tidak
menghubungi Intan sama sekali. Untungnya Intan tinggal bersama keluarganya
jadi ia tidak kesepian.

Pulang sekolah rumah Intan sepi. Semua orang sedang tidak ada di rumah. Intan
pun masuk ke kamarnya berganti pakaian lalu berbaring di ranjangnya dan
bernyanyi.

Aku selalu bersabar


Menantikan dirimu
Karena aku sayang padamu
Dengan kesungguhanku

Aku rela bersabar


Menantikan dirimu
Karena hanya dirimu, sayang
Yang selalu kurindu

Walau kadang hati bertanya


Mungkinkah kau dan aku
Namun bunga cinta di dada
Telah bersemi dan tumbuh
Kasih jangan buat hatiku
Patah jadi dua

Ujian hari terakhir akhirnya berjalan dengan lancar. Intan merasa puas dengan
hasil belajarnya yang tidak sia - sia. Kini ia merasa lega akhirnya ia akan segera
lulus SMA. Tapi sekarang yang membuatnya takut adalah kedatangan Ricko. Ia
takut Ricko akan menepati janjinya. Beberapa hari yang lalu memang ia
mengharapkan Ricko segera kembali. Tapi sekarang ia berharap Ricko di luar
negri lebih lama lagi.

"Intan..." Sapa Adit saat bertemu di parkiran.

"Iya Dit, ada apa?" Tanya Intan.

"Jalan yuk? Kan ujian sudah berakhir?" Ajak Adit. Ia masih ingin mengejar
Intan karena ia memang belum tahu kalau Intan sudah menikah.

"Maaf Dit nggak bisa. Keluargaku sudah menunggu di rumah." Tolak Intan
beralasan. Ia tidak mau memberikan harapan palsu pada Adit.

"Kamu kenapa? Setiap aku ajak jalan selalu menolak? Kamu tahu kan aku
menyukaimu sejak lama Ntan. Tapi aku terus bersabar karena bapak kamu
nggak ngijinin kamu pacaran. Sebentar lagi kita lulus Ntan. Apa salahnya kalau
kita semakin dekat?" Ujar Adit sedikit emosional.

"Maaf Dit. Mending kamu lupain aku. Lagian aku nggak ada perasaan apa - apa
sama kamu. Aku hanya menganggap mu teman." Balas Intan lalu melajukan
motornya ke luar gerbang sekolah.

Dulu memang Intan sempat ada perasaan dengan Adit karena berulang kali Adit
menyatakan perasaannya pada Intan. Tapi Intan tidak bisa menerimanya karena
larangan orang tuanya. Namun setelah ia dinikahkan paksa dengan Ricko, Intan
membuang semua perasaannya terhadap Adit. Ia berusaha menerima Ricko
sebagai suaminya. Meskipun kadang - kadang Ricko itu baik. Dan kadang -
kadang menakutkan.

Sesampainya di rumah seperti biasa Intan berganti pakaian. Setelah itu


menonton televisi di ruang tengah karena sudah selesai ujian jadi ia tidak perlu
belajar lagi.

Ia menyalakan televisi secara acak dan tiba - tiba Intan melihat berita
kecelakaan pesawat dari luar negri menuju Indonesia. Ia menjadi teringat
Ricko. Ia segera ke kamarnya mengambil ponsel dan menghubungi Ricko.
Berharap Ricko tidak menjadi korban dalam pesawat itu. Tapi sayangnya
ponsel Ricko tidak bisa di hubungi. Intan semakin cemas. Di rumahnya sepi
tidak ada orang. Intan bingung harus ngapain.

"Ibu kemana sich? Kok belum pulang juga?" Gumam Intan. Yang Intan tahu
Ricko pergi ke luar negri tapi ia tidak tahu luar negri yang mana karena Ricko
tidak memberi tahu nya dan juga tidak mengabarinya sama sekali.

"Mas Ricko... Hiks hiks" Intan menangis di kamarnya.

"Apa?" Tiba - tiba terdengar suara Ricko di ambang pintu. Intan pun melongok
ke arah pintu dan melihat sosok Ricko disana. Intan mengucek matanya. Ia kira
ia sedang berhalusinasi.

"Kenapa?" tanya Ricko heran melihat tingkah Intan. Ia pun mendekat dan
duduk di tepi ranjang. Intan menyentuh pipi Ricko untuk membuktikan bahwa
Ricko yang di hadapannya adalah nyata. Ia pun langsung memeluk Ricko
sambil menangis.

"Mas... Aku khawatir. hiks hiks." Ucap Intan menangis sambil memeluk Ricko.

"Aku sudah di sini. Ayo pulang!" Ucap Ricko mengajak Intan pulang ke
rumahnya.

"Di rumah nggak ada orang. Aku belum pamit." Ucap Intan.

"Ibu ada di depan." Ucap Ricko dengan tenang. Intan pun melepas pelukannya
lalu keluar mencari ibunya.

"Bu... Intan mau pulang sama Mas Ricko." Ucap Intan pada ibunya.
"Iya pulanglah. Kalian sudah lama nggak ketemu. Pasti kangen." Ucap ibunya
pada Intan. Intan pun tersenyum.

Setelah Intan mengepak barang - barang miliknya, ia pun kembali pulang


bersama Ricko.

Sesampainya di rumah Intan menurunkan barang - barangnya dari mobil lalu


membawanya masuk ke dalam kamarnya. Ia memasukkan pakaiannya ke dalam
almari. Sedangkan Ricko berbaring di ranjang Intan sambil memainkan
ponselnya mengecek pasar saham.

"Mas Ricko mau makan?" Tanya Intan setelah membereskan barang -


barangnya.

"Delivery order saja. Kamu mau makan apa?" Tanya Ricko sambil membuka
aplikasi G-food.

"Terserah Mas Ricko aja." Jawab Intan sambil menutup almarinya. Lalu duduk
di tepi ranjang.

"Kenapa nggak pernah ngabari Mas?" Tanya Intan pada Ricko. Ricko pun
menaruh ponselnya setelah memesan makanan lalu menarik Intan ke dalam
pelukannya.

"Aku tidak mau mengganggu belajarmu. Bagaimana ujiannya? Lancar?" Tanya


Ricko lalu mengecup bibir Intan kilas. Intan pun mengangguk. Wajahnya
bersemu merah.

"Iya semuanya lancar. Mas... aku mau kuliah." Ucap Intan mengutarakan
keinginannya.

"Iya boleh. Tapi jangan jauh - jauh. Di sekitar sini saja. Tidak boleh ke luar
kota." Jawab Ricko tegas.

"Teman - temanku ada yang ke Jogja dan Bandung Mas." Balas Intan.

"Mereka masih lajang. Kamu sudah menikah. Siapa yang menemani suamimu
kalau kamu pergi?" Ucap Ricko. Intan pun berpikir dan membenarkan kata -
kata Ricko.
"Mas apa kamu menginginkan anak?" Tanya Intan sambil memandang Ricko.

"Tentu saja. Semua pernikahan pasti bertujuan memiliki keturunan. Percuma


kalau banyak harta tapi tidak punya anak." Jawab Ricko.

"Tapi aku masih ingin kuliah Mas. Bisakah di tunda sampai aku lulus kuliah
dulu?" Tanya Intan berharap Ricko menyetujuinya.

"Nggak bisa. Umurku sudah 28 tahun. Jangan menundanya lagi." Jawab Ricko
lalu mencium bibir Intan. Intan membelalakkan matanya karena terkejut.

"Mmm... Mmm..." Intan berontak sambil memukul dada Ricko.

"Apa?" Tanya Ricko setelah melepas ciumannya.

"Umurku masih 18 tahun. Masih terlalu muda untuk punya anak Mas." Jawab
Intan.

"Sudah resiko kamu menikah dengan pria dewasa." Balas Ricko lalu mencium
bibir Intan kembali. Kali ini Ricko melumatnya dan memasukkan lidahnya ke
mulut Intan. Tentu saja Intan terkejut. Ricko naik ke atas tubuh Intan.

"Mas..." Ucap Intan seraya mencegah Ricko melepas kaosnya.

"Kenapa?" Tanya Ricko.

"Aku takut..." Jawab Intan sambil memandang Ricko.

"Aku akan melakukannya dengan pelan - pelan sayang..." Balas Ricko sambil
tersenyum.

Ricko pun kembali mencium bibir Intan. Tangannya menyelinap ke dalam kaos
Intan lalu menaikkannya ke atas dan bermain di dada Intan.

Intan memejamkan matanya merasakan serangan yang diberikan Ricko. Ricko


menurunkan ciumannya di leher dan tulang selangka Intan. Ia mencium dan
menghisap di sana sehingga meninggalkan beberapa tanda merah. Intan
menutup mulut dengan tangannya supaya tidak mengeluarkan suara desahan.

"Lepaskan saja tidak apa-apa." Ucap Ricko sambil menarik tangan Intan dari
mulutnya.
"Aaaahhh..." Desah Intan tertahan. Ia merasa geli, malu dan aneh karena ini
pertama kalinya ia di sentuh laki - laki.

Ricko pun semakin bersemangat ketika mendengar desahan Intan. Ia melepas


kemejanya dan membuangnya ke sembarang arah. Ia juga melepas kaos Intan.
Intan merasa merinding karena tidak memakai pakaian di hadapan Ricko di
tambah lagi tangan Ricko menggerayanginya ke mana - mana.

Ketika Ricko hendak melepas rok Intan, tiba - tiba bel rumah berbunyi. Ricko
pun memakai kembali kemejanya dan menyelimuti Intan dengan selimut.

Ricko keluar membuka pintu ruang tamu dan tampaklah anggota G-food
dengan makanan di tangannya. Ricko pun menerimanya dan menaruhnya di
meja makan. Ia kembali ke kamar Intan.

"Ayo makan dulu." Ajak Ricko lalu mengambil kaos Intan dan
memakaikannya. Intan pun menuruti apapun yang di lakukan Ricko.

Intan mengambil piring lalu memindahkan makanan yang di beli Ricko tadi ke
dalam piring. Ricko memperhatikan setiap gerakan dan tubuh Intan. Tubuh
Intan tinggi sekitar 165 cm. Berat badannya sekitar 48 kg an. Ricko menjadi
tidak tega untuk melakukan itu pada Intan karena Intan memang masih kecil
dan polos. Beda dengan dirinya yang 10 tahun lebih tua dari Intan. Cara
berpikir pun pasti berbeda. Sebagai pria dewasa di otak Ricko hanyalah sex dan
bekerja. Sedangkan di otak Intan yang masih di usia sekolah tentu saja yang di
pikirkan hanyalah belajar dan belajar. Ia tidak ingin memaksakan keinginannya
pada Intan. Tapi Intan istrinya. Pada siapa lagi dia melampiaskan nafsunya
kalau bukan pada Intan.

Ricko terus memandangi Intan. Intan merasa tidak nyaman karena di pandangi
terus sama Ricko.

"Kenapa Mas Ricko ngelihatin aku terus?" Tanya Intan sambil menutupi
dadanya dengan tangan.

"Hahaha. Kenapa di tutupi? Aku sudah melihat semuanya." Jawab Ricko sambil
tersenyum.

"Aku malu dan risih. Jangan melihatku terus." Balas Intan malu - malu.
"Kamu harus terbiasa. Aku kan suami mu." Ucap Ricko.

Setelah makan seperti biasa Intan mengambilkan Ricko air minum lalu mencuci
piring bekas mereka makan.

"Ayo naik ke atas!" Ajak Ricko setelah melihat Intan selesai mencuci piring.

"Ngapain?" Tanya Intan panik.

"Sudah ikut saja." Ajak Ricko menarik tangan Intan mengajaknya ke kamar
atas.

Intan dan Ricko masuk ke dalam kamar dan Ricko mengunci pintunya. Intan
semakin takut melihat Ricko mengunci pintunya. Ricko mendekati Intan dan
memegang ujung pakaiannya.

"Mas Ricko mau apa?" Tanya Intan panik.

"Tentu saja melanjutkan yang tadi belum terselesaikan." Jawab Ricko santai.

Jantung Intan berdebar - debar. Ricko tersenyum misterius saat melihat Intan
yang ketakutan. Ricko melepas kaos dan celananya. Kini Ricko hanya memakai
boxer di tubuhnya.

"Mas... aku nggak siap untuk ini." Ucap Intan pada Ricko memasang wajah
melas memohon.

"Aku hanya ingin mengajakmu mandi bersama. Ayo lepas semua pakaianmu."
Perintah Ricko pada Intan. Karena Intan tidak segera melepas pakaiannya,
Ricko pun membantu melepas pakaian Intan. Intan melihat junior Ricko
menonjol dari balik boxernya.

"Mas jangan..." Ucap Intan malu. Ricko pun segera mengangkat tubuh Intan ke
kamar mandi dan menurunkannya di bathup lalu menyalakan air. Setelah itu
Ricko ikut masuk ke dalam bathup juga.

"Gosok punggungku!" Perintah Ricko pada Intan. Intan pun menggosok


punggung Ricko dan juga menyabunnya. Setelah itu Ricko berbalik menghadap
Intan.

"Sabun yang depan juga sekalian!" Perintah Ricko sambil tersenyum. Intan pun
memegang dada dan perut Ricko dengan malu - malu.

'Keras banget. Jadi ngeri yang mau di gituin.' Batin Intan sambil menyabun
tubuh Ricko.

"Berbaliklah aku akan bantu menggosok punggungmu!" Perintah Ricko tiba -


tiba.

"Nggak usah Mas. Aku bisa sendiri. Mas Ricko keluar aja ya!" Tolak Intan
mengusir Ricko.

"Ayo cepat berbalik!" Perintah Ricko. Intan pun berbalik menuruti kata - kata
Ricko. Saat Intan berbalik Ricko memeluk Intan dari belakang dan me-remas
kedua gunung kembarnya.

"Mas! Kamu mau apa?" Pekik Intan kaget. Ricko pun tersenyum nakal.

Ricko menyabun seluruh tubuh Intan hingga ke ujung kakinya termasuk paha
dan pangkal paha Intan. Intan merasa geli dan malu.

"Ayo berdiri dan bilas tubuhmu!" Ajak Ricko sambil berdiri. Intan menutup
matanya karena si adek junior Ricko berdiri tegak dari tadi.

"Mas Ricko duluan aja!" Balas Intan. Tanpa aba - aba Ricko pun mengangkat
tubuh Intan dari bathup dan menurunkannya di bawah shower. Ricko
menyalakan kran. Air shower pun membasahi tubuh mereka berdua.

Pagi hari Intan membuka matanya dan melihat ia masih berada di dalam kamar
Ricko. Rambutnya berantakan. Wajahnya sembab karena menangis tiada henti
hingga ia tertidur kelelahan. Badannya penuh dengan tanda merah karena ulah
Ricko semalam. Ia pun membuka selimut yang menutupi tubuhnya dan
tampaklah tubuhnya yang masih telanjang bulat.

Intan merasakan sakit dan perih di area pangkal pahanya. Semalam setelah
mandi bersama, Ricko benar - benar merenggut keperawanannya dengan
buasnya sampai - sampai Intan tidak bisa kabur karena pintu kamarnya di kunci.
Memang Ricko bermain dengan pelan dan lembut, tapi ia melakukannya
dengan paksa karena Intan selalu menolaknya. Ricko sudah menahan
keinginannya untuk menikmati tubuh Intan sejak lama, hingga akhirnya
pertahanan kesabaran Ricko runtuh juga. Ia laki - laki normal yang memiliki
nafsu dan tentu saja harus di salurkan. Di tambah lagi Ricko rajin berolahraga
sehingga staminanya sangat kuat. Ia melakukannya berkali - kali semalam
hingga Intan tidak kuat lagi.

"Apa masih sakit?" Tanya Ricko saat melihat Intan sudah bangun di
sampingnya.

"Hmmm" Gumam Intan masih memegang selimut di dadanya.

"Sini biar aku lihat." Ucap Ricko sambil menarik tangan Intan.

"Jangan... Aaah" Tolak Intan seraya menahan perih di tubuh bagian bawahnya.
Ricko pun segera menyingkap selimut Intan dan membuka kakinya. Ia melihat
sisa cairannya bercampur darah masih ada di sana.

"Ayo ke rumah sakit!" Ajak Ricko karena nggak tega melihat Intan kesakitan.
Tapi ia juga senang akhirnya mendapatkan milik Intan yang berharga. Sehingga
Ricko tidak bisa menghentikan keinginannya tadi malam hingga nafsunya
terpuaskan.

"Nggak mau. Ini memalukan." Tolak Intan. Ia pun mencoba turun dari ranjang
hendak ke kamar mandi tapi ia merasa pangkal pahanya sangat perih.

"Aaaaahhh!" Pekik Intan lalu duduk kembali di tepi ranjang. Ricko pun
menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi serta
memandikannya.

Setelah mandi bersama, Ricko membaringkan Intan yang masih terbalut handuk
di sofa. Sedangkan dia berganti pakaian lalu mengganti seprei ranjangnya yang
kotor akibat dari perbuatannya semalam.

"Mau makan apa?" Tanya Ricko sambil memegang ponselnya hendak memesan
makanan.

"Soto daging. Aku sangat sangat lapar dan lelah." Jawab Intan.

"Oke." Balas Ricko lalu memesan makanan melalui aplikasi G-food di


ponselnya.

"Antar aku ke kamar bawah Mas. Aku mau ganti baju." Pinta Intan merasa risih
karena hanya memakai handuk saja.

"Tidak usah. Setelah makan ayo kita lanjutkan beberapa ronde lagi." Balas
Ricko sambil tersenyum nakal. Intan melotot kaget.

Ricko pun membuka pintu kamarnya lalu keluar dan turun ke kamar Intan yang
di bawah. Ia mengambil semua pakaian dan barang - barang Intan lalu
membawanya ke kamarnya di lantai atas.

"Sekarang ini kamar kita. Mulai sekarang kamu tidur disini bersamaku." Ucap
Ricko pada Intan. Intan sudah bisa membayangkan jika ia tidur disini bersama
Ricko setiap hari Ricko akan menjamahnya dengan bebas sesuka hatinya. Cepat
atau lambat ia pasti akan hamil anaknya Ricko kalau Ricko menidurinya setiap
hari.

Tidak berapa lama bel rumah berbunyi. Ricko segera turun untuk membuka
pintu ruang tamu menerima makanan yang ia pesan melalui G-food tadi.
Sedangkan Intan segera berganti baju setelah Ricko keluar dari kamar. Lalu
keluar kamar dan menuruni tangga pelan - pelan karena merasa perih, aneh, dan
tidak nyaman pada bagian pangkal pahanya.

Intan menyiapkan piring, susu dan kopi di meja makan untuk sarapan mereka.
Ia memanasi kembali kuah soto yang mulai dingin di atas kompor. Ricko
menunggunya di meja makan.

"Mas Ricko nggak kerja?" Tanya Intan sambil menaruh piring nasi di depan
Ricko.

"Enggak. Biar nanti Romi kesini mengantar berkas." Jawab Ricko sambil
menyeruput kopinya.

Setelah sarapan Intan kembali ke kamar Ricko membereskan barang -


barangnya yang di pindahkan Ricko dari kamarnya yang di bawa. Ricko
memangku laptopnya di sofa membuka dan membalas email dari sekretarisnya.

Intan memasukkan pakaiannya ke dalam almari Ricko. Menata bedaknya di


meja dan juga buku - bukunya. Saat sebuah buku terbalik, sebuah benda jatuh
dari dalam buku itu dan terlempar ke dekat kaki Ricko. Ricko pun
mengambilnya.
"Apa ini?" Tanya Ricko dengan tegas saat mengambil pil KB yang pernah di
beli Intan waktu itu.

"Itu... itu hanya vitamin. Ya vitamin..." Jawab Intan bohong.

"Kamu kira aku bodoh? Sampai - sampai pil KB kamu bilang vitamin?" Ucap
Ricko dengan marah lalu berdiri di depan Intan.

"Maafin aku Mas... aku tidak bermaksud membodohimu. Hanya ..."

"Sudah berapa lama kamu meminumnya?" Tanya Ricko memotong kata - kata
Intan.

"Belum sama sekali." Jawab Intan jujur.

"Kenapa kamu membeli ini Hah?" Tanya Ricko geram dengan kelakuan Intan
yang tidak berdiskusi dulu dengannya. Tiba - tiba menggunakan KB tanpa
persetujuannya. Ricko pun membuka pil itu lalu membuangnya ke tempat
sampah.

"Aku takut hamil Mas. Aku belum siap punya anak." Balas Intan hampir
menangis.

"Kamu harus hamil. Kamu tidak boleh KB. Dalam waktu 3 bulan kalau kamu
tidak hamil juga aku akan membawamu periksa ke rumah sakit." Ujar Ricko
lalu mengambil laptopnya membawanya keluar kamar meninggalkan Intan
sendirian di kamarnya.

Ricko masuk ke ruang kerjanya dan mengunci pintunya. Ia sangat geram


dengan kelakuan istri kecilnya itu. Di sentuh nggak mau, hamil nggak mau
juga. Lalu buat apa menikah? Ricko sudah terlanjur menikahinya jadi Ricko
harus melaksanakan hak dan kewajiban tugasnya sebagai suami. Ia tidak
mungkin menceraikan Intan dan menikah dengan wanita lain. Jadi ia
menyentuh Intan dengan paksa dan akan menghamilinya juga. Tidak berapa
lama bel rumah berbunyi Ricko dan Intan keluar ruangan bersamaan.

"Aku saja. Jangan keluar kamar!" ucap Ricko pada Intan. Intan pun
mengangguk mengerti karena memang leher dan dadanya penuh dengan .

Ricko membuka pintu ruang tamu dan tampaklah Romi sedang berdiri disana.
Ricko mengajaknya masuk ke dalam ruang kerjanya. Romi celingak celinguk
berharap bisa melihat Intan di rumah Ricko.

"Rick aku haus. Apa tamu mu ini tidak di kasih minum?" Tanya Romi pada
Ricko.

"Sebentar aku ambilkan." Jawab Ricko lalu keluar ruang kerja dan turun ke
dapur mengambilkan air putih untuk Romi.

"Kemana Intan? Kenapa kamu sendiri yang mengambil minum?" Tanya Romi
ingin tahu.

"Dia sakit." Jawab Ricko singkat.

"Sakit apa? Aku harus menjenguknya." Tanya Romi penasaran.

"Hey nggak usah sok perhatian sama istriku. Dia tidak apa - apa. Hanya butuh
istirahat saja." Jawab Ricko mulai geram dengan kelakuan Romi yang mengejar
- ngejar istrinya.

"Mana buktinya kalo kalian sudah menikah?" Tanya Romi masih tidak percaya.
Ricko pun duduk di kursi kerjanya, membuka laci di mejanya dan mengambil
surat nikahnya lalu memberikannya pada Romi.

"Ini asli?" Tanya Romi meragukan keaslian surat nikah Ricko di tangannya.

"Yaiyalah. Ngapain juga aku bikin surat nikah palsu." Jawab Ricko sewot.

"Gimana bisa kamu nikah sama anak SMA?" Tanya Romi ingin tahu.

"Dipaksa nikah sama papa. Intan itu anak temannya papa." Jawab Ricko sambil
membaca dokumennya.

"Beruntung banget kamu Rick dapat daun muda. Udah anu belum?" Tanya
Romi makin penasaran.

"Sudah. Rasanya muantab banget Rom." Jawab Ricko bikin Romi iri.

"Yaelah tega bener kamu Rick. Intan masih sekolah gitu kamu tidurin juga."
Balas Romi.

"Kan dia istriku. Terserah aku mau ngapain dia." Jawab Ricko enteng.
Romi pun kecewa dengan kenyataan bahwa kini Intan memang istrinya Ricko.
Tadinya ia berharap banget bisa dapetin Intan yang katanya sepupu Ricko.
Setelah mendapatkan tanda tangan Ricko, Romi kembali ke perusahaan.

Setelah kepergian Romi, Ricko kembali ke kamarnya dan melihat Intan tengah
tidur siang. Ia berbaring di samping Intan dan memeluknya lalu menciumi pipi
dan lehernya. Intan pun terbangun karena di ganggu Ricko.

"Maaf untuk yang tadi malam." Ucap Ricko di telinga Intan. Intan pun
mengangguk mengerti. Tidak seharusnya ia menolak Ricko yang sudah jelas
menjadi suaminya.

Tangan Ricko mulai nakal masuk ke dalam kaos Intan dan memainkan gunung
kembarnya. Intan masih merasa ngantuk sehingga ia memejamkan matanya
hendak melanjutkan tidurnya. Karena tidak ada perlawanan dari Intan, Ricko
pun melanjutkan aksinya. Tangannya menelusup ke dalam bra Intan dan
memainkan pucuk payudara Intan. Intan merasa geli tapi ia lebih memilih
cuek, melawan pun percuma.

Ricko semakin gemas. Ia memeluk Intan seperti guling. Menciumi wajah dan
leher Intan. Tangannya menelusup ke dalam celana dalam Intan. Ricko
merasakan kalau Intan ternyata sudah basah. Akhirnya Ricko menyetubuhi
Intan lagi seperti tadi malam. Intan sudah tidak melawan lagi meskipun masih
ada sedikit rasa perih. Ia ikhlas melayani suaminya lagian ia sudah tidak
perawan lagi.

Ke esokan pagi nya tubuh Intan terasa remuk sakit semua. Ricko benar - benar
tiada puasnya. Siang dan malam ia menunggangi Intan. Entah karena sudah 28
tahun belum tersalurkan atau ia lagi menikmati masa - masa pengantin
barunya. Intan sudah tidak punya tenaga lagi untuk bangun.

"Selamat pagi istriku..." Ucap Ricko saat membuka matanyanya di pagi hari
sambil mencium bibir Intan yang berada di bawah kungkungannya.

"Hmmm... Lepaskan aku Mas." Ucap Intan karena ia hendak ke pergi kamar
mandi. Ricko pun melepaskan pelukannya pada Intan. Intan bangun dan
berjalan ke kamar mandi terseok - seok dengan malas. Ricko melihatnya dan
tersenyum.

Setelah mandi Intan memasak untuk sarapan seperti biasa. Setelah makanan
siap di meja makan Ricko turun dengan pakaian kerjanya.

"Hari ini aku mau menjenguk papa. Apa kamu mau ikut?" Tanya Ricko pada
Intan setelah duduk di meja makan.

"Iya Mas. Di rumah aku kesepian." Jawab Intan sambil duduk di samping Ricko.
Setelah ujian Intan tidak pergi ke sekolah lagi.

Sesampainya di rumah sakit seperti biasa Ricko dan Intan langsung masuk ke
ruangan Pak Bambang. Pak Bambang tampak semakin kurus dan pucat.

"Gimana keadaan Papa?" Tanya Ricko pada papanya.

"Seperti yang kamu lihat Rick papa semakin merasa lemah. Papa senang
akhirnya kamu bisa menerima Intan menjadi istrimu." Jawab Pak Bambang
sambil tersenyum bahagia. Pasalnya saat Ricko masuk tadi ia menggandeng
tangan Intan tanpa beban.

"Ricko yang seharusnya berterima kasih sama papa karena sudah menikahkan
Ricko sama Intan. Dia istri yang baik, ya... meskipun usianya masih sangat
muda." Balas Ricko sambil tersenyum.

"Kamu sakit Ntan?" Tanya Bu Sofi pada Intan karena terlihat lemas.

"Enggak Ma..." Jawab Intan sambil tersenyum.

"Tapi kamu kelihatan lesuh dan sayu. Mama antar periksa ke UGD ya?" Saran
Bu Sofi.

"Nggak usah Ma. Dia hanya kecapekan saja." Sahut Ricko yang mendengar
percakapan mereka.

"Kecapekan apa? Memangnya Intan habis ngapain? Bukannya ujian sudah


selesai?" Tanya Bu Sofi penasaran.
"Mmm... anu ma..." Jawab Ricko bingung mau bilang apa sambil menggosok
tengkuknya yang tidak gatal. Intan diam saja tidak tahu harus berkata apa.

"Anu apa? Jangan - jangan... ya ampun papa... Sebentar lagi kita bakal punya
cucu." Ucap Bu Sofi kegirangan. Pak Bambang pun ikut tersenyum bahagia.
Ricko yang melihat orang tuanya bahagia jadi bersemangat untuk membuat
Intan hamil secepatnya. Intan yang melihat kebahagiaan kedua mertuanya jadi
tidak enak yang mau menunda kehamilannya.

Pulang dari rumah sakit, Ricko langsung ke perusahaan. Intan pun terpaksa
ikut karena kalau Ricko mengantar Intan pulang dulu butuh waktu 2 jam untuk
pulang pergi. Intan berjalan mengikuti di belakang Ricko. Semua mata melihat
dan bertanya - tanya saat melihat Intan berjalan di belakang Ricko. Ricko tak
menghiraukannya. Intan pun berjalan sambil menunduk hingga sampai di
dalam ruangan Ricko.

Setelah masuk ke ruangannya Ricko duduk di kursinya dan menyalakan laptop.


Intan duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Tidak berapa lama Lia
sekretaris Ricko masuk mengantarkan kopi dan camilan.

"Buatkan segelas susu untuknya juga." Perintah Ricko pada Lia.

"Baik Pak." Jawab Lia pada Ricko lalu memandang Intan yang sedang duduk di
sofa.

20 menit kemudian Lia masuk lagi ke dalam ruangan Ricko membawakan


segelas susu untuk Intan dan menaruhnya di meja Ricko, setelah itu keluar dan
menutup pintu kembali.

"Minum susumu!" Perintah Ricko pada Intan.

"Aku masih kenyang Mas. Nanti saja." Jawab Intan.


"Sini!" Panggil Ricko sambil melambaikan tangannya. Intan pun berdiri dan
mendekat ke arah Ricko. Ricko menarik tangan Intan dan mendudukkan Intan
di pangkuannya.

"Mas Ricko mau apa?" Tanya Intan seraya mengernyitkan dahinya.

"Minum susu." Jawab Ricko lalu menaikkan kaos Intan hingga di atas dada dan
mengeluarkan payudara Intan dari dalam bra nya.

"Mas! Ini di kantor. Kalo ada yang lihat gimana?" Ucap Intan sambil
menurunkan kaosnya lagi tapi di cegah oleh tangan Ricko. Ricko pun segera
melumat puncak gunung kembar Intan.

"Aaaaahhh" desah Intan menahan geli. Ia pun mengarahkan rambutnya ke


belakang dan mengalungkan kedua tangannya di leher Ricko. Ricko tersenyum
senang melihat intan yang kooperatif. Ricko melahap kedua gunung kembar
Intan secara bergantian hingga ujungnya menegang.

Tidak berapa lama tiba - tiba Romi masuk ke dalam ruangan Ricko tanpa
permisi seperti biasanya dan melihat Ricko sedang menyecap pucuk payudara
Intan dengan mesranya. Ia pun tersenyum canggung.

"Lain kali kunci pintunya dulu bro." Ucap Romi lalu keluar dan menutup pintu
kembali. Ricko dari tadi terlalu fokus dengan mainannya sehingga tidak
menyadari kehadiran Romi. Ia segera mendongak dan menurunkan kembali
kaos Intan. Intan sendiri juga panik dan malu ketika mendengar suara Romi. Ia
segera turun dari pangkuan Ricko dan membenahi pakaiannya.

"Tu kan di lihat orang. Ini sangat memalukan." Ujar Intan pada Ricko dengan
kesal. Ricko mengambil remot di mejanya lalu menekan tombol untuk
mengunci pintu ruangannya.

"Sudah terlanjur. Ayo lanjutkan!" Ucap Ricko pada Intan lalu mengajak Intan
bercinta di sofa ruangannya. Intan menurut saja karena ia juga sudah terlanjur
basah. Bercinta tidak semenakutkan yang ia bayangkan. Semakin sering ia
melakukannya rasa sakit waktu awal bercinta pun sudah tidak terasa. Ia
menginginkan dan menikmatinya juga. Ia sudah tidak memikirkan akan hamil
atau tidak. Ia sudah tidak perduli karena Ricko dan ibunya melarangnya untuk
menunda kehamilan serta melihat mertuanya yang sakitnya sudah semakin
parah. Intan akhirnya memutuskan untuk hamil dan melahirkan di usianya
yang masih muda. Kalau situasi memungkinkan untuk kuliah, ia akan kuliah.
Kalau pun tidak, ia akan menunda kuliahnya hingga anaknya nanti lahir. Ia
sudah menikah, jadi ia tidak bisa memutuskan semuanya sendiri. Ia harus
minta persetujuan Ricko suaminya.

Setelah puas Ricko segera mengajak Intan mandi bersama di kamar mandi di
dalam ruangannya.
Sore hari Ricko dan Intan keluar dari ruangan kantor dengan rambut basah
karena tidak ada pengering rambut di ruangannya. Romi melihatnya hanya
geleng - geleng kepala karena hanya dia yang tahu apa yang terjadi di dalam
ruangan itu. Lia tercengang dan bertanya - tanya apa yang sudah terjadi?
Apakah susu tadi tumpah sehingga mengharuskan mereka mandi. Semua
karyawan melihat ke arah Ricko dan Intan mulai dari lantai atas hingga lantai
dasar. Ricko tidak menghiraukannya. Sedangkan Intan merasa sangat malu
sehingga ia tidak mau ikut ke kantor Ricko lagi nantinya.

Setelah mengeluarkan mobilnya dari parkiran perusahaan Ricko melajukan


mobilnya ke mall. Ia ingat kalau belum membelikan Intan cincin kawin. Ia pun
berniat membelikan Intan cincin.

"Mau ngapain Mas?" Tanya Intan saat mobil Ricko memasuki parkiran mall.

"Mau beli sesuatu." Jawab Ricko lalu membuka pintu mobil dan keluar.

"Nonton yuk Mas." Ajak Intan saat memasuki mall sambil menggandeng
lengan Ricko.

"Boleh..." Jawab Ricko setelah melihat jam tangannya. Intan senang


mendengarnya.

Ricko mengajak Intan naik ke lantai 3 dimana toko perhiasan berada. Ia masuk
ke dalam toko lalu duduk di sofa dan Intan mengikutinya. Pelayan toko
menghampirinya.
"Ada yang bisa kami bantu Pak?" Tanya pelayan toko.

"Keluarkan cincin kawin terbaik toko ini!" Perintah Ricko pada pelayan itu.

"Baik Pak." Jawab pelayan itu lalu pergi.

"Kamu mau beli cincin Mas?" Tanya Intan tak percaya.

"Iya. Kita kan belum punya cincin kawin? Pernikahan kita mendadak waktu
itu." Jawab Ricko.

Tidak berapa lama 2 pelayan toko keluar dengan membawa 5 pasang cincin
kawin yang paling bagus dan paling mahal di toko itu.

"Pilihlah sesuai seleramu!" Perintah Ricko pada Intan.

"Aku tidak bisa Mas. Aku tidak suka perhiasan." Jawab Intan jujur. Ia masih
pelajar jadi belum punya jiwa emak - emak yang suka perhiasan dan uang.

"Hmmm... Bungkus saja yang paling mahal!" Perintah Ricko pada pelayan toko
itu.

"Baik. Silahkan melakukan pembayaran ke kasir Pak..." Ucap pelayan toko itu.

"Panggilkan menejermu sekarang!" Perintah Ricko pada pelayan toko itu.


Pelayan toko itu pun merasa takut dan masuk memanggil menejernya.

Tidak berapa lama menejer toko perhiasan itu keluar dan kaget saat melihat
Ricko.

"Pak Ricko? Ada apa Pak Ricko tiba - tiba datang kesini? Maaf jika kami
kurang dalam pelayanan menyambut Pak Ricko." ucap menejer itu sedikit takut.

"Bungkus perhiasan tadi secepatnya!" Perintah Ricko pada menejer itu.

"Baik Pak. Tunggu sebentar." Ucap menejer itu pada Ricko.

"Hei cepat bungkus perhiasan itu dan bawa kesini!" Ucap menejer itu pada
pelayan tokonya.

"Tapi bapak ini belum melakukan pembayaran Pak." Jawab pelayan toko itu.
"Kamu tahu siapa dia? Dia pemilik toko ini." Ucap menejer itu. Pelayan itu pun
membelalakkan matanya terkejut. Selama ini tidak ada yang tahu wajah asli
pemilik toko perhiasan itu termasuk pelayan tokonya. Karena Ricko orangnya
sangat low profile.

"Maafkan saya Pak. Maafkan saya. Saya benar - benar tidak tahu." Ucap
pelayan toko itu. Ia segera membungkus cincin kawin itu dan menyerahkannya
pada Ricko.

"Berikan pada istriku!" Perintah Ricko pada pelayan itu. Pelayan itu pun
memberikan perhiasan itu pada Intan dan Intan menerimanya dengan canggung.

"Pak Ricko akan menikah?" Tanya menejer itu.

"Saya sudah menikah. Hanya saja belum membeli cincinnya." Jawab Ricko
dengan tenang.

"Selamat atas pernikahan Pak Ricko. Saya belum mendengar beritanya Pak.
Bahkan pestanya pun saya tidak tahu." Ucap menejer itu sambil mengulurkan
tangannya pada Ricko memberi selamat.

"Terima kasih. Kami memang belum mengadakan pesta karena papa masih
sakit. Sudah senja saya pamit dulu Pak." Pamit Ricko pada menejer toko.

Setelah keluar dari toko perhiasan Intan menyeret Ricko ke bioskop di lantai 4.
Ricko menurut saja di seret Intan. Karena sekarang malam minggu bioskop
sangat ramai pengunjung. Sehingga mereka mendapatkan kursi paling
belakang. Intan memilih film ber genre romantis berjudul "MERINDING
BULU ROMAKU."

Intan dan Ricko masuk dan duduk di dalam bioskop bangku paling belakang
pojok. Ricko sangat lelah, mengantuk dan bosan. Ia pun mencolek bahu Intan.
Intan menoleh ke arah Ricko dan Ricko mencium serta melumat bibir Intan.
Intan membelalakkan matanya karena terkejut. Bisa - bisanya Ricko
menciumnya di tempat umum seperti ini. Untungnya posisi duduk mereka di
pojok belakang jadi tidak ada yang melihat mereka.

Pulang dari mall Intan tertidur di dalam mobil. Lagi - lagi Ricko
menggendongnya ke dalam kamar lantai bawah. Setelah membaringkan Intan di
ranjang dan menyelimutinya Ricko ke kamarnya di lantai atas lalu mandi.
Setelah itu ia kembali ke kamar lantai bawah dan tidur sambil memeluk Intan.
Ke esokan paginya seperti biasa Intan bangun pagi untuk memasak. Ini sudah
kedua kalinya Intan tertidur di mobil dan ketika bangun ia sudah berada di
kamar. Ia melihat Ricko yang sedang tidur di sampingnya dengan sangat
nyenyak. Intan menatap wajah tampan Ricko lalu tersenyum.

"Terima kasih..." Ucap Intan lalu mengecup kilas bibir Ricko. Setelah itu ia
menguncir rambutnya dan keluar kamar menuju dapur.

Setelah selesai memasak Intan ke kamar lantai atas untuk mandi karena semua
barang - barang dan pakaiannya sudah di pindahkan di kamar atas.

Saat Intan melepas pakaiannya, ia melihat noda darah di celana dalamnya.


Haidnya telah datang. Ia segera mandi dan keluar dari kamar mandi hanya
menggunakan handuk sebelum Ricko bangun dan naik ke kamar atas. Ia
mencari sisa stok pembalutnya. Ia membuka almari dan laci serta membuka
lipatan baju - bajunya tapi tidak menemukan 1 pun.

Tiba - tiba Ricko membuka pintu kamar dan masuk ke dalam kamar. Ia melihat
Intan hanya menggunakan handuk di tubuhnya. Ricko tersenyum nakal. Pikiran
mesumnya mulai aktif. Intan panik saat melihat Ricko mendekatinya dan
memeluk pinggangnya.

"Mas tolong aku." Pinta Intan.

"Apa?" Tanya Ricko sambil mencium bahu Intan yang terbuka.

"Tolong belikan pembalut. Aku sedang datang bulan." Ucap Intan pada Ricko.

"Apa? Kamu datang bulan?" Tanya Ricko terkejut.

"Iya. Ayo Mas tolong belikan..." Rengek Intan.

"Nggak mau. Itu memalukan." Tolak Ricko sambil duduk di tepi ranjang.

"Ayolah suamiku sayang..." Rayu Intan sambil duduk di pangkuan Ricko dan
bergelayut di lehernya. Ricko memikirkannya. Kalaupun Intan membeli sendiri
itu tambah tidak mungkin.
"Baiklah. Aku mandi dulu." Balas Ricko mengalah.

"Terima kasih sayang. Muach..." Ucap Intan lalu mencium pipi Ricko dengan
semangat.

Setelah mandi Ricko ke swalayan terdekat menggunakan motornya. Di dalam


swalayan ia bingung membeli pembalut yang merk apa. Ia lupa tidak
menanyakannya pada Intan. Ia pun memegang pembalut satu persatu dan
menekannya. Ia memilih pembalut yang paling lembut. Karena ia berpikir itu
yang paling nyaman. Ricko membeli 10 bungkus besar pembalut. Ia tidak mau
Intan kehabisan stok lagi dan menyuruhnya membeli lagi.

Sesampainya di depan kasir, semua mata melihat ke arah Ricko. Mereka


melihat ketampanan Ricko dan yang lebih menonjol adalah keranjang belanjaan
Ricko yang berisi 10 bungkus besar pembalut. Ricko benar - benar geram
menahan malu.

Sesampainya dirumah Ricko memberikan kresek belanjaan berisi pembalut


pada Intan. Intan ingin tertawa tapi ia menahannya. Bisa - bisanya Ricko
membelikan pembalut sebanyak itu. Setelah memakai pembalutnya Intan
menghampiri Ricko di meja makan lalu sarapan bersama.

"Terima kasih Mas..." Ucap Intan pada Ricko.

"Hmmm. Mulai besok aku akan memakai pembantu di rumah ini. Supaya ada
yang membantu memenuhi keperluanmu. Aku tidak mau membeli barang itu
lagi." Ucap Ricko pada Intan di sela - sela makannya.

"Iya Mas..." Balas Intan sambil tersenyum.

Seperti biasa setelah makan Intan mencuci piring. Karena ini hari minggu Ricko
menghabiskan waktunya untuk berolahraga di lantai atas ruangan samping
kamarnya. Setelah mencuci piring Intan bersantai sambil menonton televisi.

Karena tidak ada acara yang menarik Intan ke kamarnya di lantai atas dan
membaringkan tubuhnya di ranjang. Ia mulai merasakan nyeri haid di perutnya.
Ia berbaring miring sambil memegangi perutnya. Keringat dingin membasahi
dahinya.

Setelah berolahraga Ricko merasa haus dan hendak turun mengambil air minum
di dapur. Saat melewati kamarnya yang pintunya terbuka ia melihat Intan
sedang berbaring di ranjang dan hendak menyuruhnya untuk mengambilkan
minum di dapur. Tapi saat Ricko mendekat, ia melihat wajah Intan pucat dan
berkeringat.

"Kamu kenapa?" Tanya Ricko pada Intan.

"Sakit perut." Jawab Intan singkat.

"Kamu salah makan? Sudah minum obat?" Tanya Ricko khawatir.

"Ini nyeri haid Mas..." Jawab Intan sambil meringis menahan sakit. Ricko pun
ikut naik ke ranjang berbaring di belakang Intan dan memasukkan tangannya ke
dalam kaos Intan lalu mengelus perutnya.

"Gimana rasanya?" Tanya Ricko sambil mengelus perut Intan.

"Geli." Jawab Intan.

"Maksudku sakitnya. Berkurang nggak?" Tanya Ricko memperjelas.

"Ya... lumayan Mas." Jawab Intan sambil tersenyum.

Ricko pun memposisikan tubuh Intan telentang. Sambil mengelus perut Intan,
Ricko mencium dan melumat bibir Intan. Intan pun membalas ciuman Ricko
tak mau kalah.

Sore hari Intan bangun dari tidurnya dan tidak menemukan Ricko di
sampingnya. Ia pun bangun dan turun menuju dapur karena merasa haus dan
lapar. Ia melihat Ricko sedang makan di meja makan. Intan mendekat dan
duduk di samping Ricko.

"Makanlah." Ucap Ricko sambil menyodorkan makanan yang ia pesan di


depannya. Intan membukanya dan memakannya.

"Aku sudah menghubungi yayasan asistent rumah tangga. Besok mereka akan
mengirimkan seorang pembantu kerumah." Ucap Ricko pada Intan.

"Lalu tugasku apa kalau sudah ada pembantu?" Tanya Intan.

"Melayaniku di ranjang." Jawab Ricko spontan.


"Uhuk uhuk uhuk" Intan tersedak mendengar jawaban Ricko. Ricko
menyerahkan segelas air di depannya pada Intan.

"Hahaha. Sebentar lagi kamu akan kuliah. Kegiatan mu akan lebih sibuk dari
pada waktu sekolah di SMA. Jadi fokuslah belajar. Tidak usah mengurusi
urusan rumah tangga." Tambah Ricko.

"Iya Mas." Balas Intan.

Malam hari Intan sudah berbaring di ranjang. Ia sudah berganti piyama dan
bersiap untuk tidur. Ricko masuk ke dalam kamar membawa cincin yang
mereka beli kemarin. Ia duduk di tepi ranjang dan memasang cincin itu di jari
Intan.

"Jangan sampai hilang." Ucap Ricko pada Intan.

"Ini mahal Mas. Mending di simpan aja." Balas Intan menyarankan.

"Nggak. Kamu mau pura - pura belum menikah? Pokoknya pakai terus jangan
pernah di lepas." Ujar Ricko bersikukuh. Setelah itu ia merebahkan tubuhnya di
ranjang dan memeluk Intan. Ia meraba dada Intan dan merasakan kalau Intan
memakai bra.

"Tumben tidur pakai bra? Biasanya di lepas" Tanya Ricko heran.

"Biasanya aku tidur sendiri. Sekarang aku tidur dengan orang lain. Jadi aku
memakainya." Jawab Intan.

"Aku bukan orang lain. Aku suamimu sekarang. Ayo lepas." Ujar Ricko
memerintah sambil membuka kancing piyama Intan satu persatu. Setelah itu
melepas pengait bra Intan dan membuang bra itu ke lantai.

Ricko suka dengan payudara Intan yang tidak terlalu besar dan masih kencang.
Tanpa aba - aba Ricko mendaratkan bibirnya di puncak payudara Intan dan
menjilatinya. Intan membiarkan Ricko memainkan payudaranya karena
memang rasanya geli - geli enak. Lagian tidak akan terjadi apa - apa karena
Intan sedang datang bulan.

Ke esokan harinya saat Ricko sudah berangkat bekerja, pembantu kiriman dari
yayasan asisten rumah tangga datang. Intan mempersilahkan pembantu itu
masuk dan menunjukkan kamar di samping dapur seperti yang di perintahkan
Ricko tadi pagi sebelum berangkat bekerja.

"Mbak namanya siapa? Saya Intan." Ucap Intan pada pembantu barunya.

"Saya Stella Mbak." Jawab Stella. (Yang sudah baca SUAMIKU KAMU
SATU SELAMANYA pasti tahu. Hehehe)

"Oh iya Mbak Stella istirahat dulu aja kalo gitu." Ucap Intan lalu pergi
meninggalkan Stella di kamarnya. Stella mengira Intan adalah anak dari pemilik
rumah karena ia melihat Intan masih muda dan terlihat masih anak sekolahan.

"Iya Mbak. Terima kasih." Balas Stella lalu menutup pintu kamarnya.

"Yes. Akhirnya bisa kerja di rumah orang kaya lagi." Gumam Stella sambil
merebahkan tubuhnya di ranjang dan tersenyum misterius.

Sore hari Ricko pulang dari bekerja dan langsung menaiki tangga tanpa
memperhatikan Stella yang sedang memperhatikannya dari dapur.

'Hmmmm ada orang ganteng dan kaya di rumah ini. Aku harus bisa
mendapatkan perhatiannya.' Batin Stella bersemangat. Ia masih belum tahu
kalau Ricko dan Intan adalah pasangan suami istri.

Saat Ricko memasuki kamarnya ia melihat Intan menyisir rambutnya baru


selesai mandi dan berganti pakaian. Ricko duduk di tepi ranjang sambil
melonggarkan dasi di lehernya.

"Apa pembantu barunya sudah datang?" Tanya Ricko pada Intan.

"Apa Mas Ricko tidak melihatnya di bawah? Orangnya masih muda dan cantik.
Mas Ricko sengaja ya milih yang bening - bening gitu?" Tanya Intan balik.

"Kemarin aku hanya menghubungi yayasannya minta dikirimkan seorang


pembantu. Aku tidak tahu mereka mengirim pembantu yang seperti apa? Kalau
kamu tidak suka aku akan meminta ganti pada yayasannya." Balas Ricko sambil
mengeluarkan ponsel dari sakunya.

"Nggak usah Mas. Nggakpapa yang ini aja. Siapa tahu dia kerja karena butuh
uang. Lagian dia umurnya nggak jauh beda sama aku. Kan enak kalo di ajak
ngobrol nyambung." Tolak Intan.

"Ya sudah. Aku mau mandi dulu." Ujar Ricko lalu masuk ke kamar mandi.

Jam 6 sore Intan dan Ricko turun ke lantai bawah. Ricko menyalakan televisi di
ruang tengah. Intan hendak memasak makan malam di dapur. Stella yang
mendengar ada orang di lantai bawah ia segera keluar dari kamarnya. Ia melihat
Intan memasak di dapur dan Ricko menonton televisi.

"Biar saya saja yang masak Mbak. Mbak nya nonton televisi aja sama Mas
nya." Ucap Stella menawarkan diri.

"Oh ya sudah kalo gitu. Makasih ya Mbak." Balas Intan lalu pergi ke ruang
tengah dimana Ricko berada.

Saat Ricko dan Intan sedang menonton televisi tiba - tiba Stella muncul
menyuguhkan kopi dan teh sambil curi - curi pandang sama Ricko. Tapi Ricko
dan Intan tidak memperhatikannya.

"Terima kasih Mbak." Ujar Intan pada Stella. Ricko diam saja hanya melihat
Stella sekilas lalu melihat ke arah televisi kembali.

Setelah masakan siap, Stella memberi tahu Intan dan Ricko untuk segera
makan. Intan dan Ricko duduk di meja makan untuk makan malam bersama.
Intan mengajak Stella untuk makan bersama juga. Stella pun menyetujuinya dan
sangat senang. Ia menuangkan air putih di gelas Ricko dan Ricko tidak
meresponnya.

"Mulai besok biar Intan saja yang memasak. Aku lebih suka masakannya." Ujar
Ricko ketika selesai menghabiskan makanannya.

"Iya Mas." Jawab Stella sopan.

'Sial! Dia tidak suka masakanku.' Umpat Stella dalam hati.

Setelah makan Ricko mengajak Intan naik ke atas. Stella memperhatikan


mereka dari dapur saat mereka menaiki tangga.

"Kakak adik ini mesra sekali seperti pasangan kekasih." Batin Stella sambil
membersihkan meja makan lalu mencuci piring.

"Cantik dan masih muda kan Mas mbak nya?" Tanya Intan pada Ricko saat
sudah di dalam kamar.

"Lalu kenapa kalau dia cantik dan muda? Itu bukan urusanku. Dia bekerja dan
aku membayarnya." Balas Ricko sambil duduk di tepi ranjangnya.

"Kamu nggak tertarik Mas?" Tanya Intan menggoda.

"Nggak. Aku sudah punya istri." Jawab Ricko singkat.

"Syukur deh kalo gitu." Balas Intan sambil tersenyum.

"Aku lelah. Aku mau tidur dulu." Ucap Ricko pada Intan lalu membaringkan
tubuhnya di ranjang.

Intan mengambil bukunya dan belajar untuk persiapan ujian masuk kuliah. Ia
ingin kuliah di universitas negri.

'Pembantu genit gitu apa yang bikin tertarik?' Batin Ricko. Meskipun Ricko
tidak memperhatikan Stella tapi insting Ricko tahu dan merasa kalo Stella
sedang ingin mendapatkan perhatiannya. Karena itu ia tidak mau dekat - dekat
dengan pembantu barunya itu.

Pagi hari Intan bangun dan memasak seperti biasanya. Stella membantu Intan
memasak di dapur sambil mengorek informasi dari Intan.

"Mbak Intan, Mas Ricko biasanya suka makan apa?" Tanya Stella pada Intan.

"Semua makanan Mas Ricko suka Mbak." Jawab Intan sambil memasak.

"Papa mamanya kemana Mbak? Kok nggak kelihatan dari kemarin?" Tanya
Stella lagi.

"Oh papa sakit dan di rawat di rumah sakit. Mama juga disana menjaganya."
Balas Intan santai.

"Mbak Intan masih sekolah ya? Apa sudah kuliah?" Tanya Stella lagi.

"Masih SMA kelas tiga Mbak. Tapi bentar lagi lulus. Rencananya juga mau
kuliah." Jawab Intan.
"Iya Mbak Intan kuliah saja. Sayang kalo nggak kuliah padahal biaya ada." Ujar
Stella.

"Iya Mbak." Balas Intan sambil tersenyum.

Setelah memasak Intan kembali ke kamar dimana Ricko berada. Ia melihat


Ricko sedang berganti pakaian. Intan pun membantunya memakaikan dasi dan
jasnya.

"Mas minta uang dong... Nanti aku mau belanja ke pasar sama mbak Stella."
Ujar Intan pada Ricko saat memasang dasi di leher Ricko.

"Kamu mau naik apa? Motor? Boncengan? Emang bisa?" Tanya Ricko
khawatir.

"Bisa Mas. Kamu nggak percaya?" Tanya Intan balik.

"Nanti sore saja ya. Aku antar ke supermarket. Aku khawatir kamu keluar
sendirian atau sama pembantu baru itu." Balas Ricko sambil ngelus puncak
kepala Intan dan tersenyum.

"Ya sudah Mas Ricko turun dulu saja. Aku mau mandi." Balas Intan.

Ricko pun turun dan duduk di meja makan. Stella menghampirinya.

"Ada yang bisa di bantu Mas?" Tanya Stella pada Ricko dengan suara lembut
yang di buat - buat.

"Panggil saya 'Pak'. Saya bukan 'mas' kamu." Balas Ricko tegas lalu
menyeruput kopi yang di siapkan Intan di meja makan. Ricko merasa sangat
jijik dengan orang yang seperti ini.

"Iya Pak." Jawab Stella lalu pergi menyapu halaman belakang.

'Sabar Stella. Kamu pasti bisa mendapatkannya.' Batin Stella bersemangat.


(Padahal selama ini juga gagal mulu nggak ada yang berhasil. Hahaha)

Setelah mandi, Intan turun dan sarapan bersama Ricko yang sudah
menunggunya di meja makan. Setelah sarapan bersama Intan mengantar Ricko
sampai di garasi.

"Mas nanti aku main kerumah temanku ya?" Ijin Intan. Ia ingin main ke rumah
Melly yang kebetulan tidak jauh dari rumah Ricko karena ia tidak masuk
sekolah. Ia merasa bosan kalau hanya tinggal di rumah.

"Iya. Pulangnya jangan sore - sore dan juga kunci pintu kamar kita dan ruang
kerjaku sebelum pergi." Perintah Ricko sebelum masuk ke mobilnya.

"Kenapa Mas? Nanti Mbak Stella nggak bisa bersihkan ruangan itu dong?"
Tanya Intan ingin tahu.

"Aku nggak percaya sama dia. Udah siang aku berangkat dulu." Pamit Ricko.

"Iya Mas. Hati - hati di jalan." Balas Intan lalu mencium punggung tangan
Ricko.

Setelah Ricko pergi, Intan kembali ke kamarnya mengambil jaket dan tas lalu
mengunci pintu kamar dan ruang kerja seperti perintah Ricko lalu pergi ke
rumah Melly dengan motornya.

Sesampainya Intan di rumah Melly, Melly merasa ada sesuatu yang beda
dengan tubuh Intan. Intan terlihat seperti agak gemukan dari pada waktu
terakhir ketemu saat ujian waktu itu.

"Ntan kamu doyan makan ya akhir - akhir ini?" Tanya Melly.

"Enggak Mel. Sama aja seperti biasanya. Kenapa?" Tanya Intan balik.

"Badan kamu makin gemuk. Eh tunggu dulu. Sepertinya dada kamu yang
makin besar." Ujar Melly sambil melihat - lihat dada Intan dan merabanya.

"Masak sih? Tapi emang kayaknya bra ku agak nggak muat sich akhir - akhir
ini." Balas Intan.

"Kok bisa? Udah di apa - apain ya sama suami kamu?" Tanya Melly
menyelidik.

"Apaan sich. Ayo belajar Mel. Aku nggak bisa lama - lama. Aku harus pulang
sebelum Mas Ricko pulang." Balas Intan.

"Tapi udah kan Ntan?" Tanya Melly kepo.


"Rahasia." Balas Intan sambil menjulurkan lidahnya.

Intan memang merasa akhir - akhir ini bra nya sudah tidak dapat menopang
payudaranya lagi. Mungkin memang benar kalau payudaranya semakin
membesar karena Ricko selalu memainkannya ketika akan tidur malam.

Sementara itu Stella di rumah Ricko sendirian penasaran dengan lantai dua
rumah Ricko. Ia pun naik ke atas mau bersih - bersih sekaligus ngecek dan
penasaran dengan isi kamar Ricko.

Ia menaiki tangga dan membuka pintu kamar pertama tapi sayangnya di kunci
oleh Intan atas perintah Ricko. Stella pun membuka pintu kamar kedua dan
tampak kamar kosong tak berpenghuni. Stella pun masuk, menyapu dan
membersihkannya. Setelah membersihkan kamar kedua ia keluar dan menutup
pintunya lalu membuka pintu kamar ketiga dan lagi - lagi kamar itu di kunci
Intan karena itu kamar pribadi Ricko dan Intan. Akhirnya Stella membuka pintu
kamar ke empat yang isinya alat - alat olahraga pribadi Ricko. Stella pun
semakin mengerti kenapa Ricko gagah sekali karena Ricko rajin berolahraga di
rumah. Ia juga mengira kedua kamar yang di kunci adalah masing - masing
kamar Ricko dan Intan.

Sementara itu di kantor Ricko kedatangan klien yang ternyata teman SMA nya
dulu yang kini sudah sama - sama sukses. Tidak sengaja perusahaan mereka
bekerja sama dan ketika saling bertemu mereka baru tahu kalau pemiliknya
adalah temannya sendiri.

"Gimana kabarmu Rey?" Sambut Ricko sambil berdiri dan menjabat tangan
Reyhan dan tersenyum.

"Baik Rick. Kamu?" Balas Reyhan sambil membalas jabat tangan Ricko lalu
duduk di kursi depan Ricko.

"Seperti yang kamu lihat. Aku juga baik. Sudah lama kita tidak bertemu.
Terakhir waktu wisuda SMA kalau tidak salah." Ujar Ricko setelah duduk
kembali di kursinya.

"Iya betul. Karena setelah itu aku kuliah ke Australia." Balas Reyhan.
"Dan aku ke London. Hahaha." Sahut Ricko lalu mereka sama - sama tertawa.

"Kamu sudah menikah?" Tanya Reyhan pada Ricko.

"Ya baru dua bulan yang lalu. Kamu?" Jawab Ricko.

"Hmmm selamat atas pernikahanmu Rick. Aku sudah menikah hampir tiga
tahun yang lalu dan memiliki seorang putra." Ujar Reyhan memberi selamat
pada Ricko dan mengulurkan tangannya. Ricko membalasnya.

"Terima kasih Rey. Wah aku kalah cepat. Hahaha. Malam minggu datanglah
kerumahku untuk makan malam. Ajaklah anak dan istrimu." Ujar Ricko pada
Reyhan mengundang makan malam.

"Oke. Aku akan datang. Dimana rumahmu sekarang Rick?" Tanya Reyhan.

"Perumahan Bougenvile blok B no 3." Jawab Ricko.

Setelah membicarakan masalah kerja sama Reyhan pamit undur diri dari
perusahaan Ricko.

Menjelang sore hari, Intan pamit pulang dari rumah Melly. Melly mengantar
Intan sampai di depan rumahnya.

"Ntan beneran kamu belum ngapa - ngapain sama suami kamu?" Tanya Melly
masih penasaran.

"Kenapa? Kepo banget sich." Jawab Intan sambil menuntun motornya.

"Cara jalan kamu beda. Dari tadi aku perhatiin lo..." Ujar Melly.

"Hahaha. Kamu aneh - aneh saja. Aku sedang menstruasi. Mungkin jalanku
beda karena memakai pembalut." Jawab Intan. Melly pun mempercayainya.

Sesampainya di rumah, Intan segera ke kamarnya di lantai atas. Sambil


menunggu Ricko pulang Intan merebahkan tubuhnya di ranjang hingga
akhirnya ia tertidur.

Satu jam kemudian Intan merasa ada yang membelai - belai pipinya. Ia pun
membuka matanya dan tampaklah Ricko sedang memandangi wajahnya dengan
tersenyum.
"Sejak kapan Mas Ricko disini?" Tanya Intan kaget.

"Baru saja. Mau belanja sekarang?" Tanya Ricko.

"Sebentar. Aku mandi dulu Mas." Ucap Intan pada Ricko.

"Oke. Aku istirahat sebentar. Bangunkan aku ketika sudah selesai mandi."
Balas Ricko sambil merebahkan tubuhnya di tempat tidur.

Setelah Intan mandi dan berganti pakaian, Ricko dan Intan turun ke bawah.
Stella sedang menyetrika dan melihat Ricko dan Intan menuruni tangga.

"Menstruasimu sudah berhenti?" Tanya Ricko pada Intan sambil berjalan


menuruni tangga.

"Belumlah Mas... kan masih tiga hari." Jawab Intan.

"Memangnya harus nunggu berapa lama?" Tanya Ricko lagi.

"Biasanya seminggu Mas." Jawab Intan.

"Huft lama sekali." Balas Ricko kesal.

Stella yang mendengar percakapan mereka pun membatin 'Kakaknya perhatian


banget. Sampai - sampai menstruasi adiknya di tanyain sampai segitunya.'

"Mbak Stella, aku sama Mas Ricko mau belanja. Mbak mau nitip dibeliin apa?"
Tanya Intan pada Stella.

"Nggak usah Mbak. Terima kasih." Jawab Stella sambil memandang Intan
setelah itu memperhatikan Ricko yang pergi duluan ke luar rumah.

Di dalam mobil Ricko fokus mengemudi. Sedangkan Intan membalas whatsapp


dari Adit.

Adit : "Kamu kapan ke sekolah? Aku ingin ketemu kamu Ntan."

Intan : "Ada apa Dit?"


Adit : "Aku mau daftar sekolah polisi. Sebelum pendidikan aku mau ketemu
kamu Ntan."

Intan : "Aku nggak janji Dit. Aku sudah bilang sama kamu lupain aku. Aku
nggak ada perasaan apa - apa sama kamu."

Adit : "Tapi aku cinta sama kamu Ntan. Aku sudah menunggumu sejak lama."

Intan : "Maaf Dit."

Tiba - tiba Adit menelpon. Intan panik lalu menolaknya dengan menggeser
tanda merah. Intan melirik Ricko tanpa menolehnya. Ia tahu Ricko tidak suka
sama Adit. Tidak berapa lama Adit menelpon lagi dan lagi - lagi Intan
menolaknya lalu me-silent ponselnya.

"Kenapa nggak di angkat?" Tanya Ricko tanpa menoleh dan masih fokus
mengemudi.

"Nggakpapa Mas. Nggak penting." Jawab Intan.

"Siapa?" Tanya Ricko ingin tahu.

"Temen." Jawab Intan mulai ketakutan di tanya Ricko, jika sampai Ricko
bertanya sampai ke akar - akarnya.

"Siapa? Cewek apa cowok?" Tanya Ricko lagi.

"Cowok. Jangan marah Mas. Aku nggak ada apa - apa sama dia." jawab Intan
jujur sambil memegangi lengan Ricko.

"Iya aku nggak akan marah asal kamu tidak macam - macam. Kalau sampai
kamu macam - macam atau berselingkuh di belakangku. Bersiaplah menjadi
janda. Kalaupun nanti kamu hamil, anak itu akan menjadi milikku setelah kamu
lahirkan." Ancam Ricko sungguh - sungguh.

"Nggak Mas. Nggak akan. Aku janji hanya setia sama kamu Mas" Ucap Intan
ketakutan.

"Bagus!" Ujar Ricko puas.

Ricko sengaja mengancam Intan karena ia tidak mau di pusingkan dengan hal -
hal yang mengusik rumah tangganya. Ia hanya mau menikah cukup satu kali
seumur hidupnya seperti papa dan mamanya yang langgeng sampai tua
bersama.

Sesampainya di supermarket Intan memilih belanjaan yang perlu di beli dan


Ricko mengikutinya sambil mendorong kereta dorong. Selain ikan, sayur, dan
sabun Intan juga memilih bra yang agak besaran dari yang ia pakai biasanya.

"Kenapa membeli bra juga?" Tanya Ricko saat melihat Intan memasukkan
beberapa bra ke dalam kereta dorongnya.

"Nggak muat. Dadaku makin besar sekarang." Jawab Intan spontan. Ricko pun
tersenyum nakal. Ia puas dengan hasil karya nya yang membuat dada Intan
mengembang. Karena menurutnya dada Intan terlalu kecil sehingga kurang pas
di tangan. Ia pun berinisiatif memanipulasinya setiap hari.

Setelah merasa belanjaannya lengkap Intan mengantri di kasir dan Ricko yang
membayarnya. Setelah berbelanja, Ricko dan Intan makan malam di luar
sekalian. Ricko merasa tidak nyaman dengan kehadiran Stella di rumahnya.

Hari sabtu yang di nantikan pun tiba. Ricko memberi tahu Intan untuk
menyuruh Stella merapikan rumah karena akan ada tamu malam ini. Ricko juga
tidak pergi bekerja ke perusahaan dan ia mengajak Intan untuk berbelanja dan
menyuruhnya untuk memasak.

"Kenapa Mas Ricko nggak bilang dari kemarin kalo mau ada tamu?" Tanya
Intan saat sedang memasak di dapur. Ricko menemaninya sambil duduk di meja
makan dan menyalakan laptopnya.

"Aku lupa." Jawab Ricko masih fokus ke laptopnya.

Stella mendengarkan pembicaraan mereka sambil membantu Intan mengupas


dan memotong sayuran.

Setelah memasak Intan dan Ricko naik ke atas untuk bersiap - siap. Intan
bingung harus memakai pakaian yang mana. Ricko pun membantu Intan
memilih pakaian yang cocok untuknya.

Malam yang di nantikan pun tiba. Intan dan Ricko menantikan Reyhan
sekeluarga sambil menonton televisi.
Tidak berapa lama Reyhan dan keluarganya datang. Ricko dan Intan
menyambut mereka dengan hangat. Ricko pun langsung mengajak mereka ke
ruang makan.

"Mana istrimu Rick?" Tanya Reyhan pada Ricko saat berjalan menuju ruang
makan.

"Yang bersamaku dari tadi kamu kira siapa Rey?" Tanya Ricko balik.

"Beneran dia istrimu? Aku kira dia adikmu. Wajahnya masih seperti anak
sekolah SMA Rick." Ujar Reyhan tak percaya.

"Ya dia memang masih SMA. Papa menjodohkanku sama dia." Balas Ricko
santai.

"Eh enak dong dapat yang muda - muda. Udah kamu makan belum?" Tanya
Reyhan sambil berbisik.

"Sudah. Aku paksa. Hahaha." Jawab Ricko bangga. Reyhan pun ikut tertawa
membayangkan bagaimana Ricko memperkosa istrinya yang masih SMA.

"Hallo ganteng siapa namamu?" Tanya Intan pada Gibran anaknya Reyhan
yang berusia 16 bulan.

"Gibran Kak." Jawab Tia istri Reyhan mewakili Gibran sambil tersenyum.

"Hay Gibran kamu lucu sekali... " Ujar Intan gemas sambil memegang kedua
pipi Gibran.

Setelah sampai di meja makan mereka semua duduk dan Intan ke dapur untuk
menyiapkan dan mengeluarkan makanan.

"Biar saya bantu Mbak," Ucap Bu Melinda pengasuh Gibran sambil mengikuti
Intan ke dapur.

Saat Bu Melinda ke dapur, ia melihat Stella dan sedikit terkejut karena wajah
Stella mirip dengan Nita saudara tiri yang menjebaknya dulu. Intan pun keluar
membawa makanan yang sudah di siapkan Stella.
Setelah berbincang - bincang di dapur, Bu Melinda dan Stella membawa
makanan keluar menuju meja makan. Saat sampai di meja makan betapa
terkejutnya Stella ketika melihat tamunya Ricko.

Reyhan adalah mantan majikan Stella dulu yang memecatnya setelah satu bulan
bekerja karena berusaha menggodanya. Reyhan dan Tia juga terkejut saat
melihat Stella di rumah Ricko. Stella pun buru - buru pergi ke dapur kembali.

"Aduh kenapa Pak Reyhan yang jadi tamunya Pak Ricko sich? Rencanaku pasti
berantakan." Gumam Stella khawatir.

Setelah makan malam bersama, Bu Melinda membawa piring kotor dan sisa
makanan ke dapur. Sedangkan Intan berbincang - bincang dengan Tia di ruang
tengah sambil menonton televisi. Reyhan mengajak Ricko berbicara sesuatu
yang sangat pribadi sehingga Ricko mengajaknya ke ruang kerjanya di lantai
atas.

"Ada apa Rey?" Tanya Ricko penasaran setelah masuk dan menutup pintu
ruang kerjanya.

"Kamu harus hati - hati sama Stella. Dia bukan orang baik - baik." Ucap
Reyhan memperingatkan Ricko.

"Kamu kenal dia Rey?" Tanya Ricko.

"Dia dulu juga kerja jadi pembantu di rumahku. Tapi tidak lama aku
memecatnya." Jawab Reyhan.

"Ya aku juga merasa tidak nyaman dengan keberadaanya di rumahku. Dia
seperti mencari perhatianku." Ujar Ricko mengutarakan pendapatnya.

"Segera ganti saja Rick sebelum sesuatu hal terjadi." Saran Reyhan. Ricko pun
menyetujuinya.

Setelah itu mereka membicarakan masalah pekerjaan hingga tidak terasa hari
semakin malam. Reyhan pun pamit pulang bersama keluarganya.

Setelah kepergian Reyhan dan keluarganya, Ricko mengajak Intan naik ke atas.
Sementara itu Stella membersihkan dapur dengan ketakutan. Ia berharap
Reyhan tidak bercerita apa - apa pada Ricko tentangnya.

Intan dan Ricko berganti pakaian dan bersiap - siap untuk tidur. Saat Intan
sudah berbaring dan menarik selimut, Ricko menarik Intan ke dalam
pelukannya.

"Menstruasimu sudah selesai kan?" Bisik Ricko di telinga Intan.

"Mmmm. Mas Ricko mau apa?" Tanya Intan gugup sambil menjauhkan
wajahnya dari wajah Ricko.

"Tentu saja mau itu. Jangan pura - pura tidak mengerti sayang." Bisik Ricko
lagi sambil mengeratkan pelukannya lalu mencium leher Intan.

"Aku lelah Mas..." Balas Intan. Ia merasa lelah karena persiapan menyambut
keluarga Reyhan dan ia juga tidak tidur siang.

"Itu gampang. Kamu berbaring saja. Biar aku yang kerjakan." Ucap Ricko lalu
naik ke tubuh Intan dan membuka kancing piyama Intan. Intan pun pasrah. Ia
juga tidak bisa membohongi Ricko kalau memang menstruasinya sudah selesai.
Ricko pun melancarkan aksinya. Malam ini ia membuat Intan menjerit dan
mendesah nikmat. Ricko dan Intan sama - sama puas hingga akhirnya mereka
tertidur lelap.

Ke esokan harinya Intan membuka matanya dan melihat jam dinding sudah
menunjukkan pukul delapan pagi. Ia sangat terkejut. Baru kali ini ia bangun
sesiang ini. Ia pun melihat ke samping dan Ricko sudah tidak ada di
sampingnya.

"Kemana Mas Ricko? Bukannya ini hari minggu?" Gumam Intan. Ia pun
bangun dan berjalan ke kamar mandi dengan telanjang.

Tidak berapa lama Ricko masuk ke dalam kamar. Ia sudah mandi dan berganti
pakaian rumahan. Ia sengaja tidak membangunkan Intan karena Ricko tahu
Intan pasti kelelahan setelah melayaninya tadi malam.

Setelah mandi Intan keluar kamar mandi dan melihat Ricko sedang duduk di
tepi ranjang.

"Ayo kita ke rumah bapak kamu." Ajak Ricko pada Intan.

"Ada apa? Kenapa tiba - tiba Mas Ricko mau kerumahku?" Tanya Intan sambil
membuka almari hendak mengambil pakaiannya.
"Aku mau membicarakan pesta pernikahan kita. Sebelum kamu hamil aku ingin
semua orang dan rekan - rekan bisnisku tahu kalau kamu istriku. Biar tidak ada
yang mengira kamu hamil duluan." Jelas Ricko.

"Terserah Mas Ricko aja." Balas Intan sambil berganti pakaian di depan Ricko.
Ia sudah tidak malu lagi karena mereka sudah sering telanjang bersama.

Setelah Intan berganti pakaian, ia dan Ricko turun ke lantai bawah. Suasana
rumah sangat sepi. Intan tidak melihat tanda - tanda adanya Stella. Intan pun
mengira kalau Stella sedang menyapu di halaman depan atau belakang.

"Mas Ricko mau makan apa?" Tanya Intan pada Ricko. Ia tahu suaminya itu
tidak suka masakan Stella sehingga melarang Stella memasak di rumahnya.

"Tidak usah memasak. Ayo makan di luar." Ajak Ricko lalu menuju mobilnya
di garasi.

"Bentar Mas. Aku ambil tas dan ponselku dulu." Ucap Intan lalu naik tangga
mengambil ponsel dan tas di kamarnya lalu mengunci pintu kamarnya dan
ruang kerja Ricko seperti kemarin saat mereka berdua tidak ada di rumah.
Setelah Intan masuk ke dalam mobil Ricko melajukan mobilnya ke jalan raya.

"Mau makan apa?" Tanya Ricko pada Intan.

"Terserah Mas Ricko aja. Apapun aku bisa makan." Jawab Intan.

Ricko pun membelokkan mobilnya ke rumah makan padang. Ia sedang ingin


makan makanan pedas. Setelah memarkirkan mobilnya, Ricko dan Intan masuk
dan memesan makanan. Setelah pesanan mereka datang, Intan dan Ricko segera
menyantap makanan mereka karena sudah sangat siang bagi mereka untuk
sarapan.

Setelah keluar dari rumah makan padang Ricko langsung melajukan mobilnya
ke rumah Pak Ramli. Karena hari minggu semua anggota keluarga Intan
berkumpul di rumah.

"Saya mau bicara sesuatu yang penting sama Bapak." Ucap Ricko pada Pak
Ramli saat sudah masuk ke rumah Pak Ramli.

"Ada apa Rick?" Tanya Pak Ramli sambil duduk di ruang tamunya. Ricko dan
Intan pun ikut duduk disana.
"Saya mau mengadakan pesta pernikahan kami. Karena saya ingin semua orang
tahu kalau kami sudah menikah. Lagian sebentar lagi Intan juga akan lulus
sekolah Pak." Jawab Ricko.

"Ya terserah kamu saja Rick. Tapi bapak sarankan setelah Intan wisuda saja
ya." Ujar Pak Ramli.

"Iya Pak." Balas Ricko.

Setelah berbincang - bincang dengan Pak Ramli, Ricko beristirahat di kamar


Intan. Sedangkan Intan membantu ibunya di dapur yang kebetulan sedang
membuat kue. Intan bisa memasak dan membuat kue di usianya yang masih
muda karena ia selalu membantu ibunya di dapur. Dari situ ia belajar sehingga
ketika ia sudah menikah dengan Ricko, Intan sudah bisa memasak layaknya
istri pada umumnya.

"Ntan kamu bahagia kan menikah sama Ricko?" Tanya Bu Romlah saat mereka
membuat kue di dapur.

"Iya Bu. Mas Ricko baik sama Intan." Jawab Intan. Meskipun kadang mereka
bertengkar tapi Intan tidak mau memberi tahu ibunya.

"Ibu selalu merasa khawatir. Sebelum menikah kamu nangis terus. Ibu jadi ikut
sedih Ntan. Kamu anak gadis ibu satu - satunya. Ibu ingin kamu bahagia." Ujar
Bu Romlah sambil mengingat kejadian sebelum Intan menikah dengan Ricko.

"Ibu nggak usah khawatirin Intan. Intan baik - baik saja Bu..." Ujar Intan sambil
tersenyum dan memeluk ibunya dari belakang. Meskipun Intan sering menangis
gara - gara Ricko dan pernah di paksa Ricko berhubungan Intim untuk pertama
kalinya, Intan tidak akan mengaduh pada orang tuanya. Sekarang Ricko adalah
suaminya. Ia tidak mau orang tuanya membenci Ricko yang berakibat retaknya
rumah tangga mereka.

Sore hari Ricko dan Intan pamit pulang ke rumah mereka kembali. Ibunya
membawakan kue yang mereka buat tadi. Intan memotong dan menaruhnya di
meja makan. Ricko memakannya.

"Ini enak. Kamu yang membuatnya?" Ujar Ricko setelah memakan kuenya.
"Ibu. Aku yang membantunya." Jawab Intan sambil memasak air hendak
membuatkan Ricko kopi.

"Tapi kamu bisa membuatnya kan? Aku mau ini setiap hari." Tanya Ricko.

"Iya Mas. Oh iya mbak Stella mana ya? Dari tadi pagi nggak kelihatan. Apa dia
sakit?" Tanya Intan dan hendak pergi ke kamarnya Stella.

"Dia sudah pergi. Sebelum kamu bangun tadi pagi aku sudah memecatnya."
Ujar Ricko santai.

"Kenapa?" Tanya Intan ingin tahu.

"Aku tidak suka." Jawab Ricko.

"Baru juga kerja seminggu sudah di pecat. Mbak nya baik kok Mas. Kerjaannya
juga beres." Ujar Intan sambil menyodorkan kopi di depan Ricko.

"Dia pernah kerja di rumahnya Reyhan. Temanku yang makan malam di rumah
kemarin. Dia bilang Stella itu bukan orang baik. Reyhan pernah di goda di
rumahnya. Aku pun juga merasa begitu. Sebelum itu terjadi dan kamu marah
nggak jelas, aku memecatnya sekarang." Jelas Ricko santai lalu menyeruput
kopinya.

"Oh gitu. Lalu siapa yang akan bersih - bersih rumah Mas?" Tanya Intan.

"Tentu saja kamu. Ini rumah kamu juga sekarang. Kamu bebas mengaturnya.
Lagian akhir - akhir ini kamu kan nganggur di rumah. Ajak aja teman - teman
kamu main kesini. Tapi nggak boleh teman laki - laki." Ujar Ricko.

"Iya Mas. Aku mau mandi dulu." Balas Intan lalu naik ke atas meninggalkan
Ricko di meja makan.

Ke esokan hari nya seperti biasa Intan bangun pagi dan memasak. Kali ini ia
memasak agak banyak karena ia mengundang Melly, Rita, dan Vina main ke
rumahnya.

Setelah memasak, Intan naik ke atas hendak membangunkan Ricko, tapi Ricko
sudah bangun dan mandi. Intan membantu Ricko berpakaian dan memasang
dasi serta jas ke tubuh Ricko.

"Ayo sarapan Mas..." Ajak Intan.


"Kamu nggak mandi dulu?" Tanya Ricko karena biasanya setelah memasak
Intan segera mandi.

"Nanti aja Mas. Aku mau bersih - bersih rumah dulu. Kan nggak ada pembantu
sekarang." Jawab Intan sambil menarik tangan Ricko keluar kamar.

Sesampainya di meja makan Ricko merasa heran melihat banyak makanan di


meja makan. Ia tidak tahu kalau Intan mengundang teman - temannya hari ini.

"Tumben masak banyak? Ada apa?" Tanya Ricko saat sudah duduk di meja
makan.

"Bukannya kemarin Mas Ricko nyuruh aku mengundang teman - temanku


kerumah? Jadi hari ini aku mengundang mereka." Jawab Intan sambil
mengambilkan makanan untuk Ricko.

"Berapa orang?" Tanya Ricko lagi.

"Hanya tiga orang. Melly, Rita, dan Vina. Oh iya Mas Ricko mau bawa bekal?"
Tanya Intan menawarkan.

"Hmm boleh." Jawab Ricko mengiyakan setelah itu menyantap sarapannya.

"Aku siapin dulu Mas..." Ujar Intan.

Selesai sarapan Intan mengantar Ricko sampai di garasi. Setelah itu ia


membersihkan rumah Ricko sendirian.

Sesampainya Ricko di perusahaan ia membawa bekalnya turun dari mobil


hingga ke ruangan kantornya. Saat Ricko berjalan semua mata tertuju pada
bekal yang di bawa Ricko. Ini pertama kalinya Ricko membawa bekal.
Bertahun - tahun bekerja Ricko tidak pernah membawa bekal. Seperti biasa
Romi sangat kepo dengan sahabat sekaligus atasannya itu. Ia segera menyusul
Ricko ke ruangannya.

"Tumben bawa bekal Rick?" Tanya Romi saat sudah memasuki ruangan kerja
Ricko.
"Iya. Intan masak banyak hari ini. Teman - temannya mau datang ke rumah."
Jawab Ricko sambil melepas jasnya.

"Hmmm cantik - cantik nggak?" Tanya Romi penasaran.

"Nggak tahu. Aku belum pernah ketemu mereka." Balas Ricko.

"Ah kamu Rick nggak asyik" Ujar Romi kecewa lalu pergi meninggalkan
Ricko.

Setelah membersihkan rumah, Intan mandi dan memakai bedak serta lotion
seperti biasa. Tidak berapa lama Melly datang. Intan pun mengajaknya ke ruang
tengah sambi menunggu Rita dan Vina.

"Widih. . . Rumah kamu besar ya Ntan? Mendadak kaya nich?" Ucap Melly
nyindir sambil duduk di sofa.

"Hahaha. Rumah suamiku kale. Disini aku numpang. Kamu tahu sendiri
rumahku nggak sebesar ini. Bentar ya aku ambilin minum." Jawab Intan lalu
pergi ke dapur mengambil minum dan camilan.

Setengah jam kemudian Vina dan Rita datang. Sama seperti Melly mereka
takjub dengan rumah Intan.

"Eh enaknya ngapain nich? Jangan belajar mulu guys." Tanya Rita sambil
memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

"Aaahh... aku ada ide." Ucap Vina lalu mengeluarkan dan menyalakan laptop
yang ia bawa.

"Mau ngapain Vin?" Tanya Melly penasaran. Vina pun membuka beberapa
folder video yang berisi video porno.

"Kita nonton ini bareng - bareng yuk. Mumpung sepi nggak ada orang selain
kita." Jawab Vina.

"Boleh juga. Yuk." Balas Rita. Yang lain pun ikut setuju.

Mereka berempat menonton film dewasa di rumah Ricko dengan bebas. Melly
merasa takut dan jijik. Ia nyengir - nyengir ketakutan. Rita menghayati setiap
adegannya hingga melongo. Vina yang punya video pastinya ia sudah
menontonnya berkali - kali di kamarnya. Ia menahan tawa melihat ekspresi
teman - temannya. Intan memperhatikan setiap gaya dan adegan di video itu.
Karena ia sudah melakukan hubungan intim dengan Ricko, Intan menjadi
terangsang dan ingin bermain dengan berbagai macam gaya yang ada di video
itu. Tanpa mereka berempat sadari pangkal paha mereka menjadi basah dan
becek.

Setelah menonton 1 film dewasa di laptop Vina, mereka berempat ngos -


ngosan melihat adegannya dan rebahan di karpet ruang tengah rumah Intan.

"Vin dari mana kamu dapat film begituan?" Tanya Melly yang sama polosnya
dengan Intan.

"Download dong. Kenapa? Mau minta? Hahaha." Jawab Vina lalu tertawa.

"Aku nggak nyangka kamu ternyata nggak sepolos yang aku kira." Ujar Rita
pada Vina.

"Hehehe. Awalnya aku nggak sengaja pinjam laptop kakakku buat ngerjain
tugas soalnya laptopku lagi di service. Setelah selesai ngerjain tugas aku buka -
buka tu foldernya barang kali nemu foto pacarnya. Eh nggak nyangka aku nemu
film begitu. Jadi aku copy deh." Ujar Vina. Karena penasaran Intan pun melihat
laptop Vina dan masih banyak video lain. Ia pun membukanya dan menekan
tombol play.

"Eh ternyata videonya banyak. Nonton lagi yuk?" Ajak Intan. Yang lain pun
segera bangkit dan kembali menonton film dewasa itu.

Setengah jam kemudian Melly menekan tombol stop.

"Kenapa Mel?" Tanya Rita pada Melly.

"Ngeri. Apa nggak sakit di masukin gitu?" Jawab Melly.

"Banget!" Jawab Intan. Ketiga sahabatnya langsung menoleh ke arah Intan.

"Kamu pernah Ntan? Kok tahu?" Tanya Vina penasaran. Intan pun
mengangguk.
"Mas Ricko udah ngambil perawan gue guys." Jawab Intan sambil mewek tapi
nggak nangis.

"Pantesan payudara kamu makin besar. Ternyata udah di apa - apain ya?"
Tanya Melly. Lagi - lagi Intan mengangguk.

"Tiap malam dia mainin payudaraku. Gimana nggak ngembang coba?" Ujar
Intan.

"Gimana rasanya?" Tanya Rita penasaran.

"Mmmm gimana ya? Enak kok. Geli - geli enak. Hahaha. Eh udah siang nich
makan yuk? Tadi pagi aku udah masak banyak loch." Ajak Intan sambil berdiri.

"Kamu bisa masak Ntan?" Tanya Vina sambil berdiri mengikuti Intan ke meja
makan.

"Bisa lah. Tiap hari kan aku selalu bantuin ibu masak. Jadi aku belajar dari
sana. Eh nggak taunya aku nikah muda jadi semuanya entah kebetulan atau
takdir." Jawab Intan. Mereka berempat pun makan siang bersama di rumah
Intan.

"Di rumah ini nggak ada pembantunya ya Ntan?" Tanya Melly.

"Sebenarnya kemarin - kemarin ada. Tapi udah di pecat sama Mas Ricko."
Jawab Intan.

"Kenapa?" Tanya Rita penasaran.

"Genit. Dia mau godain Mas Ricko. Dia juga pernah kerja di rumah teman Mas
Ricko dan juga di pecat gara - gara kelakuannya itu." Jawab Intan.

"Eh gila bener ya tu pembokat. Hahaha." Sahut Vina.

Setelah makan mereka pamit pulang karena hari sudah hampir sore. Intan pun
terpaksa melepas kepergian mereka.

"Kapan - kapan nonton lagi yuk? Masih banyak yang belum di tonton nich."
Ujar Vina sebelum pergi.

"Boleh juga tuh. Nontonnya di rumah Intan lagi aja. Aman nggak ada orang."
Balas Rita.

"Sip!" Balas Vina. Melly yang mendengarkan percakapan mereka hanya


nyengir heran dengan otak mesum mereka.

Setelah kepergian sahabat - sahabatnya, Intan membersihkan ruang tengah,


meja makan, dan dapur. Karena merasa lelah Intan pun ke kamarnya di lantai
atas untuk istirahat dan tidur siang.

Sementara itu Ricko sedang bersiap - siap untuk pulang karena semua
pekerjaannya sudah beres dan merasa kasihan dengan Intan yang sendirian
apabila teman - temannya sudah pulang dari rumahnya. Ia pun segera keluar
dari kantornya, menuju parkiran, dan melajukan mobilnya keluar perusahaan
menuju rumahnya.

Sesampainya Ricko di rumah, suasana rumah sangat sepi. Ricko pun langsung
naik ke atas dan masuk ke kamarnya. Ia melihat Intan sedang tertidur lelap.

Ricko duduk di tepi ranjang sambil melonggarkan dasinya. Intan yang


merasakan kehadiran Ricko segera terbangun dan memeluk Ricko dari
belakang. Ricko yang tiba - tiba di peluk tentu saja merasa kaget. Tidak
biasanya Intan berinisiatif memeluk duluan.

"Mas Ricko udah dari tadi pulangnya?" Tanya Intan dengan suara serak khas
bangun tidur.

"Enggak. Baru saja. Kenapa?" Tanya Ricko sambil melepas kancing lengan
kemejanya.

"Aku kangen. Sini biar aku bantu lepasin Mas." Ujar Intan sambil
memposisikan tubuhnya menghadap Ricko lalu melepas kancing kemeja Ricko
satu persatu dan melepas kemeja itu. Setelah itu Intan mendorong tubuh Ricko
hingga telentang. Intan tengkurang di atas tubuh Ricko.

"Kamu kenapa tiba - tiba agresif gini?" Tanya Ricko heran. Ini pertama kalinya
Intan seperti ini. Biasanya Ricko yang mendominasi.

"Aku sedang ingin. Ayo kita bermain." Ujar Intan sambil memandang wajah
Ricko. Ricko benar - benar tidak percaya Intan mengajaknya bercinta duluan.
Tanpa menunggu jawaban dari Ricko, Intan melepas pakaian Ricko satu per
satu hingga telanjang. Ricko hanya tersenyum menahan tawa dengan kelakuan
istrinya yang tiba - tiba meminta duluan. Dan akhirnya kali ini Intan
memperkosa Ricko dan mempraktekkan apa yang ia lihat di film dewasa tadi
siang hingga mereka sama - sama mencapai pelepasan yang nikmat. Setelah itu
mereka mandi bersama karena hari sudah hampir petang.

Malam hari saat Intan sedang tidur, Ricko bangun dan keluar kamarnya menuju
ruang kerjanya. Ia menyalakan laptopnya dan melihat rekaman CCTV di
rumahnya. Ia ingin tahu siapa saja teman Intan yang datang. Ia tidak mau Intan
mengundang teman laki - laki ke rumahnya. Ia juga penasaran apa yang terjadi
tadi siang sehingga Intan berubah menjadi agresif dan memperkosanya.

Ricko melihat Intan berkumpul dengan teman - temannya di ruang tengah.


Mereka berbincang - bincang sambil makan dan minum. Setelah itu salah satu
teman Intan mengeluarkan laptop dan menyalakannya. Mereka melihat video di
laptop itu dengan gelisah. Ricko pun semakin penasaran. Ia memperbesar
tampilan rekaman di laptopnya dan tampaklah video apa yang mereka tonton.
Ricko tersenyum nakal dan menahan tawa dengan kelakuan Intan dan teman -
temannya. Ia tidak menyangka istrinya dan teman - temannya menonton film
dewasa di rumahnya. Mungkin mereka mengira rumah itu sepi dan tidak ada
orang. Tapi mereka lupa bahwa di rumah itu banyak CCTV di setiap sudut
ruangan.

Akhirnya Ricko juga mengintip video yang mereka tonton melalui rekaman
CCTV nya. Juniornya menjadi tegang dan meronta minta masuk ke dalam
sarangnya. Ricko pun mematikan laptopnya dan kembali masuk ke dalam
kamarnya.

Ia membuka kancing piyama Intan satu per satu hingga terbuka semua.
Tampaklah kedua gunung kembar Intan tanpa bra. Ricko segera melumat
puncaknya hingga Intan melenguh dan akhirnya terbangun.

"Mas Ricko mau ngapain?" Tanya Intan saat membuka matanya. Ia melihat
Ricko sedang menciumi dadanya.

"Mengulangi yang tadi sore. Bukankah kamu menyukainya?" Jawab Ricko.


Wajah Intan memerah. Ia sangat malu dengan kelakuannya yang sangat agresif
tadi sore. Tapi mau bagaimana lagi, ia sudah sangat bernafsu setelah melihat
video di laptop Vina tadi siang. Begitu juga dengan Ricko sekarang. Setelah
melihat video yang Intan tonton bersama teman - temannya tadi siang. Kini ia
juga sangat bernafsu menjamah tubuh Intan. Akhirnya kejadian tadi sore pun
terulang kembali tapi kali ini Ricko yang memulainya.

Pagi hari Intan membuka matanya lalu menggeliat dan menoleh ke samping
ternyata Ricko sudah bangun dan memperhatikannya dari tadi sambil
tersenyum.

"Ada apa?" Tanya Intan sambil memegangi wajahnya barangkali ada air liur
mengalir di pipinya.

"Aku tidak menyangka semakin kesini permainan ranjang mu semakin liar. Aku
kira kamu gadis polos yang tidak tahu apa - apa" jawab Ricko sambil tersenyum
nakal. Seketika wajah Intan memerah menahan malu.

"Itu kan Mas Ricko yang mulai. Aku belajar dari sana." Balas Intan malu - malu
lalu segera bangun dan hendak pergi ke kamar mandi membersihkan tubuhnya.

"Tapi aku tidak pernah memakai gaya - gaya itu. Kamu belajar dari mana?"
Tanya Ricko. Intan tidak menjawabnya dan segera masuk ke kamar mandi. Ia
terlalu malu untuk mengakuinya. Ia akui kemarin ia memang menggila karena
terlalu penasaran dengan adegan yang ada di video itu.

Selesai mandi Intan keluar kamar dan turun ke dapur untuk memasak.
Sedangkan Ricko mandi dan berganti pakaian di kamarnya.

Setelah siap Ricko turun dengan tergesah - gesah karena tadi mendapat telpon
dari mamanya kalau papanya masuk ruang ICU.

"Ayo ke rumah sakit!" Ajak Ricko sambil duduk di meja makan dan meminum
kopinya yang sudah di siapkan Intan.

"Ada apa Mas?" Tanya Intan setelah mematikan kompornya.

"Papa masuk ruang ICU." Jawab Ricko.

"Sebentar Mas. Kita bawa bekal ya? Sayang masakannya kalo nggak di makan.
Sekalian biar mama makan juga." Ujar Intan.

"Hmmm." Balas Ricko.


Setelah itu Intan dan Ricko berangkat ke rumah sakit bersama dengan
membawa bekal. Karena perjalanan ke rumah sakit membutuhkan waktu
tempuh kurang lebih dua jam. Intan memakan sarapannya di dalam mobil
sambil menyuapi Ricko yang sedang mengemudi.

Sesampainya di rumah sakit Ricko melihat mamanya menangis di depan ruang


ICU.

"Apa yang terjadi Ma?" Tanya Ricko pada mamanya.

"Tiba - tiba papamu nggak sadar Rick." Jelas mamanya sambil menangis.

"Mama tenang ya jangan menangis." Ujar Ricko sambil memeluk mamanya.

"Keluarga Pak Bambang?" Panggil perawat dari depan pintu ruang ICU.

"Ya saya." Sahut Ricko.

"Dokter mau berbicara. Silahkan ikut saya Pak." Balas perawat itu. Ricko pun
berdiri dan mengikuti perawat itu ke ruang dokter yang menangani Pak
Bambang.

Intan mendekati Bu Sofi dan menawarkan bekal yang ia bawa.

"Mama makan dulu ya? Biar nggak sakit juga." Ujar Intan. Bu Sofi pun
mengangguk.

"Makasih Ntan. Papa nggak salah pilih menantu." Ujar Bu Sofi sambil
meneteskan air matanya. Intan membalasnya dengan tersenyum lalu menyuapi
Bu Sofi dengan bekal yang ia bawa.

'Mmmm enak. Pantesan Ricko tambah gemuk. Istrinya pinter masak." Batin Bu
Sofi setelah makanan itu mendarat di dalam mulutnya.

Sementara itu Ricko sedang mendengarkan penjelasan dari dokter tentang


keadaan Pak Bambang sekarang.

"Lalu bagaimana dok? Lakukan yang terbaik untuk papa saya" Ujar Ricko.

"Kami selalu melakukan yang terbaik untuk pasien kami Pak. Dukungan dan
semangat keluarga juga perlu Pak." Balas dokter itu.
"Apa yang harus kita lakukan?" Tanya Ricko.

"Berikan semangat. Meskipun hanya berupa kata - kata. Asal itu membuatnya
untuk bersemangat hidup. Itu sangat membantu." Jawab dokternya.

Saat Ricko sedang berbincang - bincang dengan dokter, seorang perawat datang
memberitahukan bahwa Pak Bambang telah sadar. Dokter pun mengerti dan
segera pergi untuk memeriksa Pak Bambang.

Setelah dokter memeriksa Pak Bambang, Ricko di perbolehkan menemui Pak


Bambang di ruang ICU.

"Papa kenapa?" Tanya Ricko pada papanya dengan penuh kekhawatiran. Pak
Bambang memandang Ricko dengan mata sayu.

"Papa harus semangat! Apa papa tidak mau melihat cucu papa? Intan hamil
sekarang. Papa harus kuat supaya bisa menggendong dan bermain dengan cucu
papa!" Ujar Ricko memberikan semangat pada papanya.

"Iya. Papa akan berusaha Rick. Papa ingin melihat cucu papa." Balas Pak
Bambang lirih dengan nafas yang berat.

Setelah berbincang - bincang sebentar dengan papanya, Ricko keluar dari


ruangan karena papanya di anjurkan untuk beristirahat.

"Gimana keadaan papa Mas?" Tanya Intan saat melihat Ricko keluar dari
ruangan ICU.

"Sudah sadar dan sudah lebih baik. Besok akan di pindahkan ke ruang
perawatan." Jawab Ricko sambil duduk di samping Intan.

"Kamu nggak kerja Rick?" Tanya Bu Sofi.

"Nanti agak siangan aja Ma, sekalian bawa Intan pulang." Jawab Ricko.

"Kamu tadi bicara apa saja sama papamu?" Tanya Bu Sofi lagi.

"Memberinya semangat. Dokter mengatakan bahwa kita harus memberinya


semangat. Jadi aku mengatakan kalau Intan sedang hamil supaya papa tidak
menyerah dan lebih bersemangat untuk menjalani hidupnya." Jawab Ricko
dengan entengnya.

"Apa - apaan kamu Mas? Aku kan nggak hamil?" Bantah Intan.

"Aku terpaksa berbohong demi kesembuhan papa. Sekarang aku hanya bisa
berusaha membuatmu hamil." Balas Ricko santai.

"Mama istirahat dulu saja di ruang perawatan papa biar di temani Intan. Aku
akan berjaga - jaga disini" ujar Ricko pada mamanya. Bu Sofi pun menuruti
kata - kata Ricko karena ia memang merasa sangat lelah. Ia pun pergi ke
ruangan perawatan Pak Bambang biasanya di temani Intan.

Siang hari Ricko mengajak Intan keluar dari rumah sakit karena ia harus
bekerja. Ricko mengajak Intan ke rumah orang tuanya. Ini pertama kalinya
Intan kerumah Pak Bambang. Rumahnya lebih besar dari rumah Ricko. Di
depan ada satpam penjaganya.

Ricko mengajaknya masuk ke dalam rumah dan menuju kamarnya di lantai


atas.

"Kamu istirahat saja di sini. Nanti setelah pekerjaanku beres aku jemput. Kalau
butuh apa - apa minta sama pembantu di bawah." Ujar Ricko sebelum pergi
meninggalkan Intan.

"Iya Mas. Ini rumah siapa Mas?" Tanya Intan yang memang tidak pernah ke
rumah Pak Bambang sebelumnya.

"Ini rumah papa. Kamu belum pernah kesini sebelumnya?" Tanya Ricko balik.
Intan menggeleng.

"Ya sudah aku pergi dulu." Ujar Ricko sambil mengulurkan tangannya. Intan
pun mencium punggung tangan suaminya itu.

Ricko sengaja membawa Intan pergi dari rumah sakit supaya Intan tidak
terkontaminasi penyakit. Ia tidak mau Intan sakit karena ia sedang
mempersiapkan diri untuk kehamilan Intan. Ia tidak ingin mengecewakan
papanya. Sebelum kebohongannya di ketahui papanya, ia ingin Intan sudah
hamil yang sesungguhnya.

Ricko juga tidak mau membawa Intan ke perusahaan karena itu membuatnya
tidak bisa berkonsentrasi dalam bekerja. Sehingga ia meninggalkan Intan di
rumah orang tuanya yang kebetulan lokasinya dekat dengan perusahaan. Ricko
tidak pernah mampir ke rumah itu karena orang tuanya berada di rumah sakit
dan adiknya kuliah di luar kota.

Ketika sampai di lantai bawah Ricko memanggil kedua pembantunya. Ia


memerintahkan pembantu satunya untuk menemani mamanya di rumah sakit.
Sedangkan pembantu satunya untuk siap siaga apabila Intan membutuhkan
sesuatu.

Setelah kepergian Ricko, Intan melihat sekeliling kamar Ricko. Ia melihat


beberapa foto Ricko yang terpajang di dinding kamar sedang memakai pakaian
olahraga.

Di atas almari ia juga melihat beberapa piala. Ternyata dulunya Ricko sangat
pintar di sekolahnya. Ia selalu mendapatkan kejuaraan baik di akademik
maupun olahraga. Intan mengambil salah satu piala itu dan melihat tulisan
disana.

"Juara 1 lomba lari sekabupaten." Ujar Intan sambil membaca tulisan yang ada
di piala. Ia pun meletakkan piala itu dan mengambil yang lain.

"Juara 1 lomba MIPA seprovinsi. Hmmm pantesan pinter." Gumam Intan lagi
sambil memonyongkan bibirnya. Setelah itu Intan meletakkan kembali.
Sebenarnya masih banyak piala lagi tapi Intan malas untuk membacanya.

Karena bosan Intan turun ke bawah dan menyalakan televisi di ruang tengah.
Intan melihat chanel secara acak dan muncullah berita selebriti. Di berita itu
mengabarkan bahwa model cantik Rossalinda sudah mendarat di Indonesia
setelah dua bulan di Singapura. Masa kerja yang sebenarnya di perkirakan tiga
bulan kini di percepat sehingga tidak sampai tiga bulan Rossalinda sudah bisa
kembali ke Indonesia.

"Hmmm dia kan pacarnya Mas Ricko? Kalau dia kembali gimana nasibku?
Kalau aku hamil gimana? Selama ini kan Mas Ricko nggak pernah pakai
pengaman. Aku juga di larang minum pil KB." Gumam Intan. Ia tidak tahu
kalau Ricko sudah putus dengan Rossa. Dan Ricko juga tidak memberi tahu
Intan. Setelah Ricko pulang dari luar negri waktu itu, ia langsung meniduri
Intan dengan paksa.

Intan menjadi kesal lalu mematikan televisinya. Ia pergi ke dapur hendak


mencari makanan. Karena sudah lewat waktunya jam makan siang, ia merasa
perutnya sudah lapar.

"Mbak nya mau apa?" Tanya pembantu yang di suruh Ricko siaga apabila Intan
membutuhkan sesuatu.

"Mmmm saya lapar Mbak. Saya mau makan." Jawab Intan jujur sambil
memegangi perutnya dan tersenyum canggung.

"Mbak nya mau makan apa? Biar saya masakin sebentar." Tanya pembantu itu
sambil tersenyum.

"Terserah mbak aja. Yang gampang dan tidak merepotkan." Jawab Intan sambil
tersenyum dan duduk di meja makan.

"Iya mbak. Tunggu sebentar ya." Ujar pembantu itu lalu membuka kulkas
kebetulan ada ayam ungkep yang tinggal menggorengnya saja. Ia juga
mengeluarkan beberapa sayuran untuk membuat pecel karena bumbu pecelnya
juga sudah ada tinggal kasih air panas saja.

Setelah siap Intan memakannya dengan lahap karena itu memang sudah lewat
jam makan siangnya. Selesai makan Intan kembali ke kamar Ricko di lantai atas
dan akhirnya tertidur.

Sore hari Ricko sudah kembali dan melihat Intan tidur di kamarnya. Ia
membiarkan Intan tidur lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan
tubuhnya.

Selesai mandi Ricko keluar dari kamar mandi dan melihat Intan sudah bangun
duduk di tepi ranjang.

"Mas Ricko sudah pulang? Sejak kapan?" Tanya Intan saat melihat Ricko
keluar dari kamar mandi.

"Baru saja. Sudah sore mandilah!" Perintah Ricko.

"Aku nggak bawa baju ganti Mas." Ujar Intan.

"Ayo ikut." Ajak Ricko lalu keluar kamar menuju kamar di sebelah kamarnya
dimana kamar Sita berada.

"Pilihlah baju di almari itu!" Perintah Ricko sambil duduk di tepi ranjang Sita.
Intan pun membuka almari milik Sita dan memilih pakaian yang cocok
dengannya.

"Ambil pakaian tidur juga. Kita menginap disini malam ini" ujar Ricko lagi.
Intan pun menuruti kata - kata Ricko. Ia mengambil dua potong pakaian setelah
itu kembali ke kamar Ricko dan mandi.
Setelah mandi Intan keluar dari kamar mandi menggunakan pakaian milik Sita.
Ricko melihatnya dan tersenyum nakal. Bagaimana tidak? Intan tidak
menggunakan dalaman sehingga pucuk dadanya membayang dari luar.

"Kenapa tidak pakai bra?" Tanya Ricko sambil tersenyum.

"Nggak ada gantinya Mas." Jawab Intan.

"Yang bawah juga nggak pakai daleman?" Tanya Ricko lagi.

"Hmmm." Jawab Intan sambil menunduk malu.

"Mana barangnya? Biar di cuci Bi Mina." Ujar Ricko. Intan pun mengambil
dalemannya serta pakaiannya di kamar mandi.

"Biar aku aja mas yang kasihkan ke bawah." Ujar Intan setelah keluar dari
kamar mandi.

"Apa kamu nggak malu nggak pakai bra jalan keluar kamar?" Tanya Ricko
sambil menunjuk dada Intan.

"Ya udah. Nich." Balas Intan sambil memberikan pakaian serta dalemannya
pada Ricko. Ricko pun keluar kamar menuruni tangga dan mencari Bi Mina lalu
menyuruhnya mencuci pakaian Intan sekarang supaya cepat kering.

Malam hari Intan tidak bisa tidur. Entah itu karena ia tidur di lingkungan baru
atau gelisah karena memikirkan kembalinya Rossalinda pacarnya Ricko. Intan
membolak balikkan tubuhnya berharap bisa tidur nyenyak tapi tetap saja ia
tidak bisa tidur.

"Kenapa?" Tanya Ricko yang merasakan pergerakan Intan yang


membelakanginya.
"Aku nggak bisa tidur Mas" Jawab Intan. Ricko pun memeluk Intan dari
belakang berharap Intan bisa tidur di pelukannya seperti biasanya.

"Mas?" Panggil Intan.

"Hmmm" Gumam Ricko dengan mata terpejam.

"Perasaan Mas Ricko ke Intan itu gimana sich?" Tanya Intan ragu - ragu.

"Kenapa tiba - tiba tanya begitu?" Tanya Ricko balik seraya membuka matanya.

"Mmmm... Rossalinda sudah kembali dari luar negri. Apa Mas Ricko akan
berkencan dengannya lagi?" Tanya Intan masih dengan posisi membelakangi
Ricko. Ricko menarik bahu Intan sehingga posisi Intan menjadi telentang.
Ricko memandangi wajah Intan yang tampak cemberut dan khawatir.

"Kamu nggak bisa tidur karena memikirkan ini?" Tanya Ricko pada Intan. Intan
menganggukkan kepalanya.

"Aku dan Rossa sudah tidak ada hubungan apa - apa lagi. Aku sudah putus
dengannya sebelum aku mengambil mahkotamu." Ujar Ricko sambil
menyisipkan anak rambut Intan ke telinganya.

"Benarkah?" Tanya Intan tak percaya. Matanya berbinar - binar.

"Iya. Sebelum kamu ujian, aku ke Singapura untuk mengakhiri hubunganku


dengannya. Aku memergokinya satu kamar hotel dengan laki - laki." Ujar
Ricko menjelaskan.

"Lalu?" Tanya Intan ingin tahu.

"Aku memutuskannya saat itu juga. Lagi pula aku sudah tidak mencintainya
lagi." Ujar Ricko.

"Kenapa lama sekali di luar negri? Bahkan tidak mengabariku." Tanya Intan
lagi.

"Aku tidak mau mengganggu belajarmu. Aku lama di luar negri untuk bekerja.
Kamu cemburu?" Tanya Ricko penasaran.

"Tidak. Hanya saja aku tidak mau di buang begitu saja. Aku sudah
menyerahkan hidup dan tubuhku sama Mas Ricko. Kalau Mas Ricko kembali
berkencan dengan Rossalinda. Bagaimana denganku? Kalau aku hamil nanti
gimana?" Ujar Intan.

"Pikiran mu pendek sekali (nunjuk dahi Intan). Aku sudah mengambil sesuatu
yang paling berharga dari dirimu. Itu artinya kamu sudah menjadi istriku. Aku
tidak akan meninggalkanmu. Kalau aku menceraikan mu, itu sama saja aku ikut
andil membunuh papaku pelan - pelan. Sudah larut malam ayo tidur. Besok aku
mau ke rumah sakit lagi." Ujar Ricko lalu menarik selimut dan memejamkan
matanya sambil memeluk Intan. Intan pun ikut memejamkan matanya. Ia
merasa lega setelah mendapatkan penjelasan dari Ricko. Akhirnya Intan bisa
tidur dengan nyenyak.

Ke esokan hari nya Ricko pergi ke rumah sakit sendiri dan meninggalkan Intan
di rumah Pak Bambang. Dengan begitu Intan tidak akan kesepian karena di
rumah itu ada pembantu.

Di rumah sakit keadaan Pak Bambang sudah lebih baik dari kemarin sehingga
ia sudah di pindahkan ke ruang perawatan. Ricko senang dengan membaiknya
keadaan papanya. Tapi ia juga khawatir keadaan papanya akan semakin
memburuk karena kaget kalau papanya tau Intan tidak hamil.

Setelah keluar dari rumah sakit, Ricko melajukan mobilnya ke perusahaan


seperti biasa. Saat ia berada di dalam kantornya tiba - tiba Rossa masuk ke
ruangannya. Semua karyawan sudah biasa melihat Rossa keluar masuk ruangan
Ricko karena yang mereka tahu Rossa adalah kekasih Ricko dan Ricko
membebaskan Rossa keluar masuk perusahaannya. Tapi mereka tidak tahu
kalau saat ini Ricko dan Rossa sudah putus dan Ricko sudah menikah dengan
Intan.

"Ada apa kamu kesini?" Tanya Ricko saat melihat Rossa masuk ke dalam
ruangannya.

"Aku tidak mau kita putus Rick..." Ujar Rossa sambil duduk di kursi depan
meja Ricko.

"Tapi, aku tidak mau sama barang bekas orang lain." Jawab Ricko menyindir.

"Aku masih mencintaimu Rick." Ujar Rossa meyakinkan Ricko.


"Aku sudah tidak ada perasaan apa - apa sama kamu lagi. Dan beberapa bulan
lagi aku akan mengadakan pesta pernikahan. Tunggulah undanganku datang."
Ujar Ricko cuek.

"Tidak mungkin! Mana mungkin kamu bisa melupakan cinta kita secepat ini?
Kamu pasti berbohong kan?" Balas Rossa tidak percaya.

"Terserah kamu. Sekarang keluarlah dari ruanganku. Aku harus bekerja. Dan
jangan pernah ke perusahaanku lagi!" Usir Ricko karena tidak mau berdebat
lagi dengan Rossa. Rossa pun akhirnya pergi. Ia tidak mau Ricko mengusirnya
secara paksa dengan memanggil keamanan.

Setelah Rossa keluar dari perusahaan Ricko, ia tidak segera pergi. Ia


memarkirkan mobilnya di dekat perusahaan Ricko sambil menunggu Ricko
pulang. Ia ingin tahu siapa kekasih Ricko sekarang. Jadi ia berencana mengikuti
kemana saja Ricko pergi.

Sore hari Ricko keluar dari perusahaannya dan melajukan mobilnya hendak ke
rumah orang tuanya untuk menjemput Intan dan mengajaknya pulang. Tapi di
tengah perjalanan Ricko melihat mobil Rossa sedang mengikuti di belakangnya.
Ricko pun tersenyum misterius lalu menambah kecepatan mobilnya. Rossa
yang melihat Ricko semakin jauh di depan, ia pun ikut menambah
kecepatannya.

Saat Rossa sedang ngebut - ngebutnya tiba - tiba saja lampu lalu lintas
menunjukkan lampu kuning berkedip dan akhirnya berubah menjadi lampu
merah. Rossa pun terpaksa harus berhenti dan terjebak lampu merah.
Sedangkan Ricko sudah melesat jauh tak terlihat.

"Sial!" Umpat Rossa sambil memukul kemudinya.

Ricko di dalam mobilnya tersenyum puas karena bisa menghindar dari kejaran
Rossa. Ia pun segera melajukan mobilnya ke arah rumah orang tuanya dimana
Intan berada.

Intan sudah siap menunggu kepulangan Ricko karena tadi Ricko menelponnya
untuk bersiap - siap sebelum keluar dari kantornya. Saat Ricko tiba, Intan
segera masuk ke dalam mobil dan Ricko melajukan mobilnya pulang ke rumah
mereka.

"Mas besok teman - teman aku mau ke rumah lagi. Boleh kan?" Tanya Intan
saat di dalam mobil. Karena tadi siang teman - temannya mengirimi pesan
bahwa mereka ingin main ke rumahnya lagi.

"Boleh..." Jawab Ricko sambil tetap fokus mengemudi.

"Makasih Mas." Balas Intan sambil mengecup pipi Ricko.

Intan pun mengeluarkan ponselnya lalu mengabari teman - teman nya dalam
grup whatsapp mereka.

Ke esokan harinya seperti biasa Intan bangun pagi untuk memasak. Setelah
memasak Intan kembali ke kamarnya. Biasanya Ricko sudah bangun dan
bersiap - siap untuk bekerja. Tapi kali ini Ricko masih meringkuk di dalam
selimutnya.

"Apa Mas Ricko sakit?" Gumam Intan lalu mendekati Ricko hendak memegang
dahinya. Tapi tiba - tiba Ricko mencekal tangannya dan menariknya. Sehingga
Intan tersungkur di atas dada Ricko. Ricko membalik posisi sehingga kini Intan
berada di bawahnya. Intan mengerutkan keningnya heran.

"Morning kiss..." Ujar Ricko sambil tersenyum setelah mengecup bibir Intan.

"Mas Ricko sakit?" Tanya Intan sambil menempelkan punggung tangannya di


dahi Ricko.

"Enggak." Jawab Ricko singkat.

"Lalu kenapa belum bersiap - siap berangkat kerja?" Tanya Intan heran.

"Aku sedang ingin di rumah. Biar nanti Romi kesini mengantar berkas" jawab
Ricko santai. Padahal sebenarnya Ricko ingin tahu apa yang akan dilakukan
Intan dan teman - teman nya kali ini di rumahnya.

"Tapi nanti teman - temanku mau datang Mas?" Ujar Intan.

"Nggakpapa. Sekalian biar aku kenal mereka." Balas Ricko. Intan pun
cemberut. Ia jadi merasa tidak bebas dengan teman - temannya kalau Ricko ada
di rumah.
Setelah mandi dan sarapan serta membersihkan rumah, teman - teman Intan pun
datang. Seperti sebelumnya Vina membawa laptop kesayangannya. Kini
mereka duduk manis di ruang tengah sambil menyalakan televisi.

"Kita nonton lagi yuk kayak kemarin?" Ajak Vina.

"Nggak bisa Vin..." Ujar Intan.

"Kenapa? Bukannya kamu juga menyukainya?" Tanya Vina.

"Jangan keras - keras. Suamiku di rumah." Bisik Intan sambil membekap mulut
Vina.

"Hah? Tumben? Kenapa kamu nggak bilang dari kemarin?" Tanya Rita.

"Aku juga baru tahu tadi pagi kalau dia tidak bekerja hari ini." Jawab Intan.

"Terus kita ngapain nich?" Tanya Melly yang dari tadi cuma mendengarkan
percakapan mereka.

"Nonton televisi aja yuk?" Jawab Intan.

Mereka pun setuju. Kini mereka berempat duduk di sofa sambil menyanggah
wajahnya dengan kedua tangan dan cemberut menonton televisi di depan
mereka.

Ricko yang sedang melihat tingkah mereka dari CCTV di ruang kerjanya
cekikikan sendiri.

Siang hari Romi datang. Intan mempersilahkan masuk dan langsung


menyuruhnya naik ke atas ke ruang kerja Ricko. Saat ia melewati ruang tengah,
ia melihat teman - teman Intan. Romi pun kaget karena adiknya ada disana.

"Vina?" Panggil Romi. Vina pun menoleh ke arah sumber suara.

"Kakak?" Ujar Vina saat melihat Romi memanggilnya.

"Ngapain kamu disini?" Tanya Romi pada adiknya.

"Main. Intan kan teman sekolahku. Kakak sendiri ngapain disini?" Tanya Vina
balik pada kakaknya.
"Kerja. Jangan sore - sore pulangnya. Aku mau ke atas dulu." Balas Romi lalu
menaiki tangga menuju ruang kerja Ricko.

"Romi... kakak kamu Vin?" Tanya Intan saat Romi sudah naik ke atas.

"Iya dia kakakku. Dia kerja sama suami kamu Ntan?" Tanya Vina lagi.

"Hmmmm. Eh berarti kamu dapat film itu dari dia?" Tanya Intan menebak.

"Iya. Hahaha" Jawab Vina jujur.

Sementara itu di ruang kerja lantai atas Ricko dan Romi membahas pekerjaan.
Sambil menyerahkan berkas Romi melirik laptop Ricko dan ia melihat rekaman
CCTV dimana Intan dan teman - temannya berada.

"Kamu mengintip mereka?" Tanya Romi.

"Tidak. Aku hanya mengawasi dan ingin tahu apa yang mereka lakukan.
Beberapa hari yang lalu mereka juga kesini. Dan apa kamu tahu apa yang
mereka lakukan?" Tanya Ricko membuat Romi penasaran.

"Apa?" Tanya Romi ingin tahu.

"Mereka menonton film dewasa. Ketika aku pulang kerja Intan langsung
menyerangku meminta jatah. Untungnya kita sudah menikah jadi fine - fine
saja. Dan gadis ini yang membawa film nya dari laptopnya." Jawab Ricko
sambil menunjuk Vina di laptopnya.

"APA??! Dia adikku Rick." Ujar Romi terkejut. Ia tidak menyangka adiknya
senakal itu.

"Hmmm pasti kelakuannya nggak jauh dari abangnya. Hahaha." Jawab Ricko
lalu fokus membaca berkas di tangannya.

Setelah membaca dan menandatangani berkas Ricko mengajak Romi turun


untuk makan siang. Kebetulan Intan dan teman - temannya juga sudah duduk di
meja makan. Saat Ricko duduk di meja makan, ketiga teman Intan melirik
Ricko.

'Alamak... Ini suaminya Intan? Ganteng banget.' Batin Vina.

'Suaminya Intan keren. Dewasa banget.' Batin Rita.


'Beruntungnya Intan. Meskipun di jodohin tapi suaminya kaya dan cakep.' Batin
Melly.

Intan mengambilkan makanan untuk Ricko seperti biasanya. Semua mata


melihat ke arah Intan yang tengah melayani Ricko.

"Kenapa? Ada yang salah?" Tanya Intan pada teman - temannya yang melongo
memandanginya.

"Nggak. . ." Vina.

"Nggak. . ." Rita.

"Nggak. . ." Melly.

'Beruntung banget kamu Rick, bisa dapetin Intan. Udah cantik, perhatian,
bersegel lagi. Kenapa bukan aku yang jadi suaminya?' Batin Romi. Romi sudah
menyukai Intan ketika pertama kali bertemu di kantor waktu itu. Dan semenjak
itu ia bertekad mengejar Intan meskipun Ricko melarangnya. Tapi sayangnya
tiba - tiba Ricko menunjukkan surat nikah padanya. Sehingga ia mengubur
keinginannya untuk mengejar Intan.

Setelah makan Romi kembali ke perusahaan. Begitu juga teman - teman Intan
pamit pulang juga. Sekarang tinggal Ricko dan Intan di rumah itu.

"Sekarang tinggal kita berdua. Kamu mau apa?" Ucap Ricko di telingan Intan
sambil memeluk Intan dari belakang saat Intan sedang mencuci piring.

"Mas Ricko mau apa? Jangan macam - macam." Balas Intan waspada.

"Hahaha. Kenapa kamu takut? Bukankah kita sudah sering melakukannya?"


Ujar Ricko sambil tersenyum.

"Aku.. aku banyak kerjaan. Kita kan nggak ada pembantu Mas. Jadi semua aku
yang ngerjain." Balas Intan gugup.

"Setelah mencuci piring. Bersiap - siaplah. Ayo kita pergi menemui wedding
organizer." Perintah Ricko lalu melepas pelukannya pada Intan.

"Mas Ricko serius mau mengadakan pesta? Papa kan masih sakit Mas?" Balas
Intan.

"Tentu saja. Aku ingin semua orang tahu kalau kita sudah menikah. Masalah
papa besok aku akan mengurusnya. Aku akan mengirimnya ke Singapura agar
mendapatkan pengobatan yang lebih baik." Ujar Ricko penuh semangat.

Setelah mencuci piring, Intan dan Ricko bersiap - siap menemui wedding
organizer. Ricko ingin pernikahannya sempurna. Jadi ia menyiapkannya jauh -
jauh hari sebelumnya. Masalah tempat ia sudah punya hotel sendiri. Sisanya
hanya butuh wedding organizer untuk mengurusnya dan fitting baju pengantin.

Sesampainya di tempat WO (Wedding Organizer), Ricko dan Intan memilih


undangan dan tema pesta pernikahan. Setelah itu Ricko mengajak Intan ke
rumah sakit. Ricko ingin membicarakan masalah papanya yang akan ia kirim ke
Singapura dengan Pak Bambang dan dokter yang menangani kesehatan
papanya.

"Pa, Ricko mau papa berobat ke Singapura. Disana pengobatannya sangat


canggih dan lengkap." Ujar Ricko pada papanya saat sudah tiba di ruangan Pak
Bambang.

"Tidak usah. Disini juga sama saja Rick. Kalo papa ke Singapura nanti papa
nggak bisa melihat cucu papa." Tolak Pak Bambang.

"Hahaha. Papa tenang saja. Ia lahirnya masih lama. Lihat perut Intan masih
datar (sambil menunjuk Intan yang sedang duduk di sofa bersama Bu Sofi).
Ketika ia lahir nanti dan papa sudah sembuh bukankah itu akan sangat
menyenangkan? Papa bisa menggendongnya dan kejar - kejaran dengannya."
Ujar Ricko. Pak Bambang pun membayangkan betapa bahagianya ia apabila
saat itu tiba. Akhirnya ia pun menyetujui saran Ricko.

Setelah mendapat persetujuan dari papanya, Ricko berbicara dengan dokter


yang menangani penyakit Pak Bambang. Dokter pun setuju dan akan
menyiapkan segala sesuatunya dalam waktu dua hari.

Sore hari saat Romi pulang ke rumah, ia segera mencari Vina di kamarnya. Ia
penasaran dari mana ia mendapat film - film itu. Romi membuka pintu kamar
Vina dan melihat Vina sedang tidur dengan nyenyaknya. Romi pun duduk di
tepi ranjang Vina dan mentoel pipi adiknya. Vina merasa geli dan ia mengira itu
adalah lalat yang hinggap di pipinya. Sehingga ia menepis tangan Romi tanpa
membuka matanya lalu melanjutkan tidurnya.

Romi menghembuskan nafas dengan kasar melihat kelakuan adiknya. Ia pun


memencet hidung Vina sampai akhirnya Vina megap - megap dan membuka
matanya lalu bangun.

"Kakak? Kenapa gangguin aku tidur sich?" Ujar Vina sebal.

"Mana laptopmu? Aku mau pinjam." Balas Romi. Vina pun melotot. Baru kali
ini kakaknya mau meminjam laptopnya.

"Buat apa? Bukannya kakak sudah punya sendiri?" Tanya Vina nggak rela
laptopnya di pinjam Romi.

"Hey, laptop kamu itu yang belikan siapa?" Tanya Romi pada Vina.

"Kakak." Jawab Vina sambil cemberut.

"Jadi laptop itu juga milik siapa?" Tanya Romi lagi.

"Ka-kak." Jawab Vina lagi semakin lemah.

"Mana? Aku pinjam sekarang!" Pinta Romi.

"Besok aja ya kak..." Ujar Vina beralasan.

"Sekarang!" Perintah Romi. Vina pun pergi membuka almarinya dengan


cemberut lalu mengambil laptopnya dan menyerahkannya pada Romi.

Romi menerima laptop Vina lalu membawanya pergi ke luar kamar Vina. Vina
mengikuti Romi keluar kamar.

"Kenapa kamu mengikutiku?" Tanya Romi menghentikan jalannya saat


merasakan Vina membuntutinya.

"Mmmmm aku... aku... mau melihat kakak bekerja. Yah melihat kakak bekerja
biar aku juga pandai seperti Kak Romi." Jawab Vina tersenyum canggung
karena beralasan sekenanya.
"Nggak. Sana kembali ke kamar mu!" Cegah Romi lalu berlari ke kamarnya
dan mengunci pintunya. Vina membelalakkan matanya lalu pergi dan berdiri di
depan pintu kamar Romi.

Tok tok tok

"Kak.. Kak Romi... buka pintunya dong..." Seru Vina sambil menggedor - gedor
pintu kamar Romi. Jantungnya berdebar - debar dan dahinya mengeluarkan
keringat. Ia benar - benar ketakutan. Ia takut kalau Romi mengacak - acak isi
laptopnya dan menemukan video dewasa koleksinya karena ia belum
menyimpannya ke dalam folder tersembunyi dengan benar.

Romi di dalam kamar tidak menghiraukan Vina yang menjerit - jerit di depan
pintu kamarnya. Ia segera menyalakan laptop Vina. Sambil menunggu
laptopnya siap di gunakan, Romi mengganti pakaian kerjanya menjadi pakaian
rumah.

Setelah laptop itu siap, Romi segera membuka beberapa folder yang berisi
video. Saat Romi membuka folder "FAVORITKU", ia pun menemukan video
yang ia cari. Betapa kagetnya ia saat menemukan puluhan video dewasa di
laptop Vina. Romi pun memutar video satu per satu.

"Loh loh loh ini kok isinya sama kayak video ku?" Gumam Romi. Romi pun
membuka beberapa video lainnya. Dan betapa kagetnya ia saat mengetahui
semua video isinya sama persis dengan video koleksinya.

"Dasar bocah nakal! Ternyata dia men-copy video ini dari laptopku. Tapi
kapan?" Gumam Romi sambil berpikir. Ia pun menghapus semua video dewasa
di laptop Vina.

Sementara itu Vina sudah kembali ke kamarnya. Ia mondar mandir sambil


mencubit dagunya dengan tangan memikirkan alasan apa yang akan ia ucapkan
pada kakaknya kalau ketahuan. Ia benar - benar pusing dan takut kena marah.

Satu jam kemudian Romi ke kamar Vina mengembalikan laptop Vina. Vina
heran karena kakaknya tidak marah ataupun menceramahinya.

"Makasih ya dek..." Ujar Romi sambil mengacak rambut Vina dan


mengedipkan satu matanya.
"Iya kakakku sayang..." Balas Vina sambil tersenyum lebar. Ia merasa lega
karena kakaknya tidak marah. Itu berarti video nya tidak ketahuan pikir Vina.

Vina pun segera mengecek isi laptopnya setelah Romi keluar dari kamarnya dan
menutup pintunya. Ia membuka folder "FAVORITKU". Ia merasa lega karena
video - video nya masih ada. Ia pun memainkan video pertama. Betapa
kagetnya ia ternyata itu video "Upin & Ipin". Ia pun memutar video kedua
isinya video "Marsya and The Bear". Lalu ia memainkan video ketiga isinya
"Doraemon". Vina pun geram. Ia mengepalkan tangannya. Geram dengan
kakaknya.

Tidak berapa lama Romi masuk lagi ke kamar Vina. Ia mengulum senyum
menahan tawa melihat ekspresi adiknya.

"Gimana video nya? Bagus? Lucu nggak? Hahaha." Ujar Romi sambil
mendekat ke meja Vina dan melipat tangan di dadanya.

"Iya lucu banget Kak. Ha.ha.ha." Jawab Vina sambil tertawa di buat - buat.

"Dasar anak naka!l" Ujar Romi sambil menjitak kepala Vina.

"Auwh sakit..." Ucap Vina sambil mengelus kepalanya.

"Jangan di ulangi lagi!" Romi memperingat kan sambil nunjuk - nunjuk lalu
pergi keluar kamar Vina.

"Iya - iya..." Jawab Vina sambil cemberut.

Ke esokan harinya saat sarapan bersama Romi menanyakan tentang Intan pada
Vina. Ia baru tahu kemarin kalau Intan teman sekolah Vina. Andai saja mereka
kenal lebih dulu dari pada Ricko, mungkin saja Intan sudah menjadi miliknya.

"Vin..." Panggil Romi memulai percakapan.

"Hmmmm." sahut Vina karena sedang mengunyah.

"Intan nggak pernah main kesini ya?" Tanya Romi ingin tahu.

"Pernah lah. Dia kan sahabat ku." Jawab Vina setelah menelan makanan di
mulutnya.

"Kenapa aku tidak pernah melihatnya?" Tanya Romi lalu memasukkan


makanan ke dalam mulutnya.

"Ish kakak. Mana bisa ketemu lah? Kak Romi kan kerja? Ngapain tanya - tanya
Intan? Naksir? Aku kasih tahu ya, Intan itu sudah menikah. Dan yang kemarin
makan siang bareng kita itu suaminya kan? Nanti aku aduin lo sama sua-..."
Cerocos Vina terputus karena di potong Romi.

"Diam! Aku sudah tahu." Potong Romi. Lalu minum dan berdiri mau bersiap -
siap berangkat kerja.

"Beneran Vin? Intan sudah menikah?" Tanya mamanya Vina. Karena Intan
dulu sering main dan belajar kelompok di rumah Vina, sehingga mamanya Vina
pun mengenalnya.

"Iya Ma. Dipaksa bapaknya menikah sama anak temannya gitu katanya. Eh
nggak taunya suami Intan itu temennya Kak Romi." Jawab Vina.

"Kasian ya si Intan? Masih sekolah udah di suruh nikah. Gimana nanti masa
depannya?" Ujar mamanya Vina prihatin.

"Nggak usah kasihan Ma. Suaminya kaya dan cakep. Aku juga mau kok kalo di
jodohin sama dia. Aaaaaa" Ujar Vina sambil berteriak senang memegang kedua
pipinya.

"Dasar gatel" Ujar mamanya lalu pergi ke dapur membawa piring kotor.

Sementara itu Ricko pergi ke rumah sakit mengurus sesuatu yang di perlukan
untuk keberangkatan papanya ke Singapura. Intan membantu mamanya
mengepak pakaian di rumah untuk di bawa ke Singapura besok.

"Mama jaga kesehatan ya disana? Kalo ada apa - apa mama langsung hubungi
Mas Ricko" Ujar Intan khawatir pada mertuanya.

"Kamu nggak perlu khawatir Ntan. Mama membawa 1 pembantu mama kesana.
Kamu fokus sama program kehamilan kamu saja. Semoga sebelum papa pulang
ke Indonesia, kamu sudah hamil." Ujar Bu Sofi sambil tersenyum. Wajah Intan
pun memerah menahan malu.

"Iya Ma..." Jawab Intan sambil tersenyum.


Sore hari Ricko menjemput Intan di rumah Pak Bambang lalu mengajaknya
pulang. Sesampainya di rumah, Intan membantu memasukkan barang - barang
yang di perlukan Ricko selama di Singapura ke dalam koper.

"Berapa hari Mas Ricko disana?" Tanya Intan sambil memilih pakaian yang
akan di bawa Ricko.

"Mungkin dua hari. Tergantung kondisi papa sich. Oh iya packing juga barang
kamu yang di perlukan. Nanti malam aku antar pulang ke rumah bapak." Jawab
Ricko sambil merebahkan tubuhnya di ranjang.

"Iya Mas." Jawab Intan.

Jam tujuh malam mereka berangkat ke rumah Pak Ramli. Karena sudah malam
Ricko juga menginap disana.

"Mas... jangan lama - lama ya perginya?" Ujar Intan saat mereka bersiap - siap
untuk tidur di pelukan Ricko.

"Kenapa? Sudah Kangen?" Tanya Ricko sambil tersenyum.

"Bukan. Aku terbiasa tidur di peluk Mas Ricko. Aku merasa nyaman." Jawab
Intan.

"Tumben manja?" tanya Ricko lalu mencium bibir Intan. Kini Intan sudah
terbiasa berciuman dengan Ricko. Akhirnya mereka pun bercinta untuk yang
terakhir sebelum Ricko pergi ke Singapura biar si "otong" nggak ngambek.

Pagi hari seperti biasa Intan bangun pagi. Tapi kali ini ia tidak langsung
membantu ibunya memasak, ia mandi dulu karena tadi malam habis bertempur
dengan Ricko.

Ibunya pun maklum karena anaknya sudah menikah. Mungkin sebentar lagi ia
akan memiliki cucu, pikirnya.

Setelah Intan mandi dan berganti pakaian, ia membantu ibunya memasak di


dapur. Sedangkan Ricko mandi di kamar mandi. Sebenarnya ia sedikit malu
karena di rumah Intan hanya ada satu kamar mandi. Tidak ada kamar mandi di
dalam kamar.

Setelah sarapan Ricko, Intan, Pak Ramli, dan Bu Romlah ke rumah sakit
bersama. Di sana semua orang sudah menunggu kedatangan Ricko. Seorang
dokter dan seorang perawat akan mendampingi keberangkatan mereka ke
Singapura.

Kini Pak Bambang, dokter, perawat, Bu Sofi, dan pembantunya berangkat


menaiki mobil ambulans. Sedangkan Ricko, Intan, Pak Ramli, dan Bu Romlah
menaiki mobil pribadi Ricko.

Sesampainya di bandara pesawat yang di siapkan Ricko sudah siap. Perawat


dan dokter mendorong brankar Pak Bambang masuk ke dalam pesawat. Bu Sofi
berpamitan dengan Pak Ramli, Bu Romlah, dan Intan. Begitu juga dengan
Ricko. Intan meneteskan air mata. Ini kedua kalinya Intan di tinggal jauh sama
Ricko. Entah kenapa ia merasa sangat sedih. Mungkin ia sudah menyayangi
Ricko karena seringnya penyatuan tubuh di antara mereka. Ricko juga
memperlakukannya dengan baik selama ini. Sebelum berangkat ke rumah sakit
tadi pagi pun, Ricko memberikan kartu kredit dan debit pada Intan.

"Mas cepat pulang..." Ucap Intan sambil memeluk Ricko.

"Iya pasti. Aku masih punya hutang membuatmu hamil." Bisik Ricko di telinga
Intan sambil tersenyum. Wajah Intan pun memerah setelah mendengarnya.

"Dasar mesum!" Balas Intan.

"Jangan menangis lagi. Tumben akhir - akhir ini kamu manja dan cengeng
sekali?" Ujar Ricko sambil menyeka air mata Intan.

"Aku menyayangimu Mas..." Jawab Intan jujur. Ricko tersenyum bahagia


mendengar pengakuan Intan.

"Aku juga menyayangimu istriku..." Balas Ricko sambil mengecup kening


Intan.

Setengah jam kemudian pesawat yang di tumpangi Ricko dan keluarganya lepas
landas. Intan menyaksikan dengan dada yang sesak. Ia pun menangis di pelukan
ibunya.

Setelah itu mereka pulang menggunakan mobil Ricko.

Di perusahaan Romi memandangi wajah Intan di ponselnya. Ia mendapatkan


foto Intan dari laptop Vina kemarin lalu menyimpan di ponselnya.
Ia merasa sangat iri dengan Ricko. Ia hanya bisa memandangi Intan dari foto di
ponselnya. Sedangkan Ricko malah bisa memandangnya setiap hari. Bahkan
bisa menjamah setiap inci tubuhnya termasuk menciumnya. Ia menyesal kenapa
tidak bertemu Intan lebih dulu. Padahal Intan adalah teman adiknya si Vina. Ia
juga masih penasaran kenapa Ricko tiba - tiba menikah dengan Intan. Padahal
waktu itu ia masih berpacaran dengan Rossa. Kalau Intan hamil tidak mungkin,
harusnya sekarang perutnya sudah membuncit. Ricko juga tidak pernah
bercerita alasan ia menikah dengan Intan secara sembunyi - sembunyi. Semua
orang di kantornya masih belum tahu kecuali Romi.

Romi pun masuk ke ruangan Ricko untuk menggantikan pekerjaan Ricko. Ia


duduk di kursi Ricko dan melihat foto Intan di meja Ricko. Romi
mengambilnya lalu membelai foto itu.

"Kamu cantik. Sayang sekali aku tidak bisa memilikimu." Gumam Romi sambil
tersenyum lalu meletakkan foto itu kembali ke tempatnya. Romi tidak tahu
kalau Intan tidak di perbolehkan pacaran sama bapaknya. Intan menikah dengan
Ricko karena paksaan kedua orang tua mereka.

Sesampainya Ricko dan rombongan di bandara Singapura, ambulans sudah


menanti mereka. Ricko sudah mempersiapkan segalanya sebelum berangkat ke
Singapura melalui koneksinya.

Sesampainya di rumah sakit Pak Bambang di periksa secara menyeluruh.


Setelah itu dokter dari Indonesia membicarakan tentang keadaan Pak Bambang
selama di rawat di Indonesia kepada dokter yang akan merawat Pak Bambang
di Singapura.

Selama Pak Bambang di periksa Ricko duduk di kursi ruang tunggu sambil
membuka email dari Lia dan Romi.

Ia juga sesekali memandangi foto Intan yang sedang berfoto bersamanya


beberapa minggu lalu. Ia tersenyum sambil memandangi foto itu.

Sementara itu Bu Sofi dan pembantunya langsung menuju apartement yang di


sewa Ricko.

Sore hari setelah pulang bekerja, Romi mampir ke rumah Ricko dengan
membawa martabak manis. Ia mengira karena Ricko pergi ke Singapura, maka
Intan akan tinggal di rumah sendirian. Ia tidak tahu kalau Intan di pulangkan
Ricko ke rumah orang tuanya.
Saat ia sampai di depan gerbang, gerbang itu terkunci. Ia memencet bel
beberapa kali tapi tidak ada satu orang pun yang muncul.

"Apa ia sedang keluar?" Gumam Romi lalu pergi meninggalkan rumah Ricko.

Sesampainya di rumah, Romi menaruh martabak manis di atas meja makan


yang kebetulan ada Vina sedang mengambil air minum di dapur.

"Waaaah... tumben pulang bawa makanan?" Ujar Vina senang sambil membuka
pembungkus martabak manis.

"Kalo mau makan aja. Jangan berisik." Ucap Romi jutek lalu naik ke atas
menuju kamarnya.

"Kakak kenapa sich jutek amat?" Ujar Vina sambi memakan martabak manis
yang hampir dingin.

Di dalam kamarnya Romi duduk di tepi ranjang sambil mengacak - acak


rambutnya.

"Aaarrrggghhh! Aku ini kenapa? Kenapa aku nyamperin Intan ke rumah Ricko?
Jelas - jelas dia dan Ricko sudah menikah. Aku siapa? Bahkan dia tidak pernah
menganggapku spesial di hatinya." Gumam Romi di dalam kamarnya. Sejatinya
Romi sudah menyukai Intan sejak pertama bertemu di perusahaan waktu itu.
Apalagi Intan mengaku sebagai sepupu Ricko, Romi semakin bersemangat
untuk mendapatkannya. Ketika Ricko mengatakan kalau Intan adalah istrinya,
Romi benar - benar menganggap Ricko hanya bercanda. Ketika mengetahui
Ricko dan Intan ternyata sudah menikah secara hukum yang ia lihat melalui
buku nikah yang di perlihatkan Ricko, hatinya hancur. Ia benar - benar tidak
percaya Ricko akan menikahi anak yang masih sekolah secara sembunyi -
sembunyi. Selama ini Ricko tidak pernah cerita apapun tentang Intan
sebelumnya. Yang Ricko ceritakan hanya masalah perusahaan dan Rossa.

Setelah itu Romi berdiri lalu masuk ke dalam kamar mandinya dan menyalakan
shower. Ia mengguyur tubuhnya dengan air dingin untuk menjernihkan
pikirannya.

Malam hari ketika Ricko hendak tidur. Ia mengecek keadaan rumahnya dengan
ponselnya. Karena di rumahnya tidak ada orang, Ricko mengawasi rumahnya
melalui CCTV yang ia sambungkan dengan internet sehingga ia bisa
mengawasi rumahnya di manapun ia berada termasuk di Singapura.

Ia melihat seseorang di depan gerbang rumahnya. Ricko pun penasaran


sehingga ia memperbesar tampilan rekaman CCTV di layar ponselnya. Ia
terkejut saat melihat wajah Romi di ponselnya.

"Ada apa Romi ke rumah? Bukankah dia sudah tahu aku ke Singapura? Tadi
siang kita juga sudah bertukar e-mail beberapa kali. Apa dia ke rumah mau
nyamperin Intan? Sialan kamu Rom! Di saat aku tidak ada kamu mendekati
Intan. Untung Intan aku pulangkan ke rumah orang tuanya!" Gumam Ricko
dengan geram.

Akhirnya malam ini Ricko tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia memikirkan apa
yang akan di lakukan Romi pada istrinya. Ia tidak menyangka sahabat yang ia
percaya selama ini akan menikungnya

Ke esokan harinya Intan pergi ke sekolah untuk menghilangkan kebosanannya


di rumah sekaligus mencari informasi perguruan tinggi terdekat karena Ricko
melarangnya kuliah jauh dari rumah.

Sesampainya Intan di sekolah, ia bertemu Adit di depan kelasnya. Adit


mengikutinya saat Intan berjalan masuk ke kelas dan duduk bangkunya.

"Gimana kabar kamu Ntan?" Tanya Adit duduk di bangku depan Intan sambil
memutar kursinya menghadap ke belakang.

"Baik Dit. Kamu?" Jawab Intan sambil tersenyum.

"Baik juga. Aku akan mendaftar sekolah polisi Ntan. Mungkin kita akan jarang
bertemu." Ujar Adit sedih.

"Nggakpapa Dit. Lagian apa masalahnya? Aku bukan siapa - siapa kamu."
Jawab Intan.

"Ntan... bukankah kamu tahu aku menyukaimu sejak lama. Tapi kamu selalu
menolakku dengan alasan dilarang bapak kamu pacaran. Sekarang kita sudah
hampir lulus, apa kamu masih menolakku?" Tanya Adit berharap pada Intan.

"Dit... maaf ya. Aku tidak ada perasaan apa - apa sama kamu. Dan... sekarang
aku sudah menikah." Jawab Intan jujur.
"Kamu bercanda? Pacaran aja nggak boleh apalagi tiba - tiba menikah?" Tanya
Adit tidak percaya.

"Kamu lihat cincin ini? ( menunjukkan cincin pemberian Ricko di jarinya). Ini
cincin pernikahanku Dit. Aku sudah lama menikah. Maaf tidak memberitahumu
sebelumnya. Setelah wisuda kelulusan, kami akan mengadakan pesta
pernikahan. Aku harap kamu bisa datang Dit." ujar Intan menjelaskan
semuanya pada Adit.

"Apa laki - laki yang di rumahmu waktu itu suamimu? Yang kamu bilang
sepupu?" Tanya Adit ingin tahu.

"Iya dia suamiku. Aku sudah bilang sama kamu carilah wanita lain. Tapi kamu
masih saja menungguku. Maaf ya Dit kalau sudah membuatmu kecewa. Kita
masih bisa menjadi teman kan?" Ujar Intan.

"Ya tentu saja." Jawab Adit sambil tersenyum terpaksa.

"Makasih Dit. Aku ke kantin dulu ya..." Ujar Intan lalu pergi meninggalkan
Adit. Ia tidak mau berlama - lama ngobrol dengan Adit karena suasana semakin
canggung.

Di kantin Melly, Rita, dan Vina sudah berkumpul. Mereka sedang menikmati
bakso bersama - sama seperti biasa. Intan pun menghampiri meja mereka.

"Lama amat Ntan?" Tanya Rita saat Intan sudah duduk di kursi sebelahnya.

"Tadi ketemu Adit, terus ngobrol sebentar." Jawab Intan lalu nyomot krupuk di
depannya.

"Ngobrolin apa sama Adit?" Tanya Melly.

"Dia ngejar - ngejar aku terus. Akhirnya aku bilang saja kalau aku sudah
menikah." Jawab Intan dengan entengnya.

"Bagus deh. Biar dia gak ngejar - ngejar kamu lagi. Eh by the way Adit ganteng
juga kok. Aku mau lo sama dia..." Ujar Vina sambil memegangi kedua pipinya
dan tersenyum lebar.
"Adit nya yang nggak mau sama kamu. Hahaha." Sahut Rita.

Mereka berempat pun tertawa bersama - sama.

Setelah mendapat beberapa lembar brosur perguruan tinggi, Intan dan ketiga
temannya pulang ke rumah masing - masing.

Siang hari Ricko memesan tiket untuk pulang ke Indonesia secara online. Ia
sudah tidak sabar ingin bertemu Romi dan meminta penjelasan darinya. Ia
sangat marah ketika tahu Romi ingin mendekati Intan.

Jam dua siang Ricko terbang ke Indonesia setelah pamit dengan papa dan
mamanya. Jam lima sore Ricko pulang ke rumah Intan menggunakan taksi
karena mobilnya di bawa pulang Pak Ramli kemarin.

Setelah sampai di rumah Intan, Ricko segera mengajak Intan pulang ke


rumahnya. Ia tidak tahu kenapa merasa sangat marah sekali. Yang ia inginkan
saat ini adalah berada di dekat Intan dan memeluknya.

Setelah Ricko memarkirkan mobilnya di dalam garasi, ia menarik dan mencium


Intan di dalam mobil. Intan yang mendadak di tarik dan di cium Ricko tentu
saja terkejut.

"Mas Ricko kenapa?" Tanya Intan saat Ricko sudah melepaskan ciumannya.

"Tidak apa - apa. Ayo masuk." Ajak Ricko lalu keluar dari mobilnya dan masuk
ke dalam rumah. Intan mengikutinya.

Malam hari Ricko bersiap - siap tidur duluan. Ia merasa sangat lelah dan
mengantuk. Intan keluar dari kamar mandi dan melihat Ricko sudah tidur
duluan.

"Tumben tidur duluan?" Gumam Intan. Padahal ia ingin Ricko melihat


beberapa brosur perguruan tinggi yang ia dapatkan dari sekolah tadi pagi. Ia
pun mengeluarkan brosur itu dan membacanya di atas tempat tidur karena tadi
siang ia belum sempat membacanya.

Ke esokan harinya seperti biasa Intan bangun pagi dan memasak. Setelah
memasak Intan kembali ke kamar atas untuk mandi. Karena hari minggu Ricko
tidak buru - buru bangun, ia masih tidur di bawah selimut. Setelah mandi dan
berganti pakaian, Intan membangunkan Ricko.
"Mas... Mas Ricko ayo bangun!" Panggil Intan sambil menggoyang tubuh
Ricko. Ricko pun membuka matanya karena dari tadi Ricko memang sudah
bangun hanya saja ingin bermalas - malasan.

"Ada apa?" Tanya Ricko setelah membuka matanya.

"Kenapa belum bangun? Biasanya Mas Ricko selalu bangun pagi." Tanya Intan.

"Oke. Aku mandi dulu." Jawab Ricko lalu membuka selimutnya, turun dari
ranjang dan masuk ke kamar mandi.

Intan merasa heran. Dari kemarin setelah pulang dari Singapura, sikap Ricko
benar - benar aneh tidak seperti biasanya. Intan juga tidak tahu penyebabnya
apa.

"Kenapa Mas Ricko jadi jutek gitu sich?" Gumam Intan lalu keluar kamarnya
dan menunggu Ricko di meja makan.

Setelah mandi dan berganti pakaian Ricko turun dan menyusul Intan ke meja
makan. Ricko memandangi Intan yang duduk di depannya.

'Memang dia cantik. Pantesan Romi ngejar - ngejar dia terus. Untung sudah aku
nikahi dan tiduri. Hahaha.' Batin Ricko bangga.

Ricko merasa bersyukur karena papanya menjodohkannya dengan Intan.


Meskipun awalnya ia menolak karena masih belum tahu calon istrinya dan
belum mengenalnya. Semakin kesini Ricko merasa beruntung karena Intan
gadis yang baik, cantik, dan perhatian serta tidak manja. Ia tidak akan pernah
melepaskan Intan apapun yang terjadi.

"Ada apa Mas Ricko ngelihatin aku terus?" Tanya Intan saat melihat Ricko
memandanginya terus.

"Kamu cantik..." Jawab Ricko sambil tersenyum.

"Gombal. Pasti ada apa - apanya. Iya kan?" Tebak Intan.

"Iya. Setelah makan ayo bikin anak. Hahaha." Jawab Ricko lalu tertawa.
"Oh no! Dasar mesum!" Balas Intan sambil cemberut.

Dan benar saja, setelah makan Ricko mengajak Intan ke kamar dan
melakukannya (baca wik wik wik ????). Intan mengira Ricko hanya bercanda.
Tapi sekarang Ricko benar - benar melakukannya. Ricko tidak mau kehilangan
kesempatan. Ia ingin memiliki Intan seutuhnya dan selamanya dengan hadirnya
anak.

Setelah sama - sama merasakan kepuasan Intan merasa mengantuk karena


kelelahan. Ricko pun menina bobok kan Intan sehingga Intan tertidur lelap.
Setelah Intan tertidur, Ricko mengambil handuk lalu keluar kamar dan mandi di
kamar bawah supaya tidak membangunkan tidurnya Intan. Setelah itu ia
menelpon Romi dan mengajaknya ketemuan di sebuah cafe.

Setelah berganti pakaian, Ricko pergi membawa motor yang biasa di pakai
Intan ke sekolah menuju cafe dimana ia akan bertemu dengan Romi

Sesampainya Ricko di cafe ternyata Romi belum datang. Jadi Ricko memesan
makanan dan minuman dulu untuk mengembalikan tenaganya setelah ber wik
wik wik ria dengan Intan tadi pagi.

Lima belas menit kemudian Romi datang. Kebetulan makanan pesanan Ricko
juga datang. Jadi Romi sekalian pesan sama yang di pesan Ricko pada pelayan
itu. Romi menyomot kentang goreng di depan Ricko lalu duduk di kursi depan
Ricko.

"Ada apa Rick? Tumben kamu ngajak ketemuan?" Tanya Romi sambil
mengunyah kentang goreng di mulutnya.

"Mmm aku langsung aja ya Rom. Ada apa kamu ke rumahku kemarin lusa saat
aku di Singapura?" Tanya Ricko to the point karena Ricko bukan tipe orang
yang suka basa basi.

"Aku??" Tanya Romi terkejut.

"Hmmmm," Balas Ricko lalu menyeruput capucino nya sambil menunggu


jawaban dari Romi.

'Kenapa Ricko bisa tahu? Oh aku benar - benar bodoh. Ngapain juga aku ke
rumahnya saat dia tidak ada. Pasti dia mikir yang nggak - nggak. Mending aku
jujur aja deh. Ricko kan pintar dalam segala hal dari pada aku. Dari pada nanti
dia salah paham tentangku.' Batin Romi.

"Ehm... ehm... Jujur aja ya Rick. Aku khawatir sama Intan yang kamu tinggal
sendirian ke Singapura. Jadi aku membawakan makanan untuknya. Tapi waktu
itu sepertinya ia tidak ada di rumah. Jadi aku tidak bertemu dengannya." Jawab
Romi jujur.

"Terima kasih atas perhatiannya. Tapi kamu tidak perlu mengkhawatirkan


Intan. dia istriku bukan istrimu. Aku bisa mengurusnya sendiri. Tidak mungkin
aku membiarkannya sendirian di rumahku." Ujar Ricko setelah mendengar
penjelasan Romi lalu memakan makanannya.

"Ya maafkan aku Rick. Beneran aku tidak ada maksud apa - apa. Aku tahu dan
sadar dia istrimu. Aku hanya mengkhawatirkannya. Sungguh! Kamu tahu
sendiri kan Intan masih seumuran dengan adik ku. Dia manja dan penakut. Jadi
aku membayangkan kalau Vina di posisi Intan yang di rumah sendiri pasti
ketakutan." Balas Romi.

"Oke. Baiklah. Aku percaya padamu. Tapi, awas saja kalau kamu macam -
macam dengan Intan. Aku tidak akan segan - segan menghancurkanmu
meskipun kita sahabat." Ancam Ricko.

"Aku pulang dulu." Ucap Ricko lalu berdiri hendak pergi.

"Kenapa buru - buru? Aku baru saja sampai. Kita jarang nongkrong bareng
Rick." Seru Romi.

"Aku harus pulang. Intan pasti sudah menungguku. Aku meninggalkannya saat
ia sedang tertidur." Jawab Ricko lalu duduk kembali.

"Pagi - pagi dia sudah tidur?" Tanya Romi heran.

"Ya aku baru saja membuatnya lelah." Jawab Ricko sambil meringis.

"Gila lu. Parah beneran deh. Masih pagi sudah beraksi." Ujar Romi tak percaya.

"Dia nya mau kok. Hahaha. Aku pulang dulu ya..." Pamit Ricko lalu berdiri
pergi meninggalkan Romi.

Sebelum pulang Ricko membeli burger, kentang goreng, dan es coklat untuk
menyogok apabila Intan marah saat ia sampai di rumah.

Sesampainya Ricko di rumah, Intan duduk di sofa depan televisi dengan


cemberut dan melipat tangan di dadanya. Karena saat ia bangun Ricko sudah
tidak ada di sampingnya. Setelah mandi ia mencari Ricko di seluruh penjuru
rumah juga tidak menemukannya. Ia sangat kesal dan geram karena Ricko pergi
meninggalkannya tanpa pamit. Akhirnya ia menyalakan televisi untuk mengisi
kesepiannya.

Ricko pun masuk ke dalam rumah dan duduk di samping Intan. Intan hanya
meliriknya lalu melihat televisi kembali tanpa berkata apa - apa.

"Kamu sudah bangun?" Tanya Ricko.

"Kalo sudah duduk disini kan berarti sudah bangun. Masih aja tanya." Jawab
Intan ketus.

"Kamu marah?" Tanya Ricko yang merasa Intan tidak seperti biasanya. Intan
tidak menjawabnya.

"Jangan marah lagi ya? Aku minta maaf..." Ucap Ricko sambil mengacak
rambut Intan. Intan masih cemberut dan tidak membalas perkataan Ricko.

"Tadi aku keluar membelikanmu ini. Maaf ya lama. Habisnya antri. Kan hari
minggu. Jangan marah lagi ya?" Ucap Ricko sambil memberikan bungkusan
berisi burger, kentang goreng, dan es coklat pada Intan. Intan menerimanya dan
tiba - tiba perutnya terasa lapar.

"Benarkah?" Tanya Intan mulai meleleh dengan bujukan Ricko.

"Iya. Ayo segera di makan mumpung masih hangat." Ucap Ricko. Intan pun
membuka bungkusan itu dan memakannya dengan ceria. Ricko merasa lega
karena Intan tidak bertanya apa - apa lagi padanya.

Setelah makan, Intan menunjukkan beberapa brosur perguruan tinggi yang ia


dapat dari sekolah kemarin pada Ricko. Karena sekarang ia sudah menikah, jadi
apapun yang akan Intan lakukan dan pilih, akan ia diskusikan dulu sama Ricko
yang kini menjadi suaminya. Dan nantinya Ricko juga yang akan membiayai
seluruh biaya kuliah dan hidupnya.
Setelah Ricko menerima dan membaca brosur itu, ia memberikan pada Intan
lagi.

"Aku sudah memilihkan universitas swasta terbaik untukmu. Itu lokasinya di


samping perusahaanku. Jadi kamu bisa berangkat dan pulang bersamaku." Ujar
Ricko sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa.

"Nggak boleh ke universitas negri ya Mas? Swasta kan mahal Mas?" Tanya
Intan.

"Terlalu jauh dari sini. Berapapun mahalnya universitas swasta, aku bisa
membayarnya." Jawab Ricko sambil tersenyum. Intan pun pasrah. Ia sadar
suaminya kaya. Hehe

"Oh iya minggu depan aku akan ke Singapura lagi mengunjungi papa. Besok
akan aku uruskan pasport, supaya kamu bisa ikut kesana." Tambah Ricko.

"Benarkah? Aku akan keluar negri? Naik pesawat terbang?" Tanya Intan tidak
percaya. Ia sangat senang sekali karena selama ini ia belum pernah ke luar negri
sama sekali.

"Iya..." Jawab Ricko sambil tersenyum.

"Aku mau Mas. Aku mau buanget..." Balas Intan senang sambil memeluk
lengan Ricko.

"Aku ngantuk. Aku mau tidur dulu. Kamu mau tidur lagi?" Tanya Ricko lalu
berdiri hendak naik ke atas.

"Nggak Mas. Aku mau di sini aja nonton televisi." Jawab Intan.

Ke esokan harinya seperti biasa Intan bangun pagi dan masak. Hari ini
pengumuman kelulusan, jadi Intan akan pergi ke sekolah. Saat Intan di meja
makan, Ricko turun. Intan melihat Ricko tidak memakai pakaian kerja seperti
biasanya.

"Mas Ricko nggak kerja?" Tanya Intan sambil memakan sarapannya.


"Enggak. Aku mau mengantarmu ke sekolah." Jawab Ricko saat sudah duduk di
meja makan sambil tersenyum. Intan meliriknya tak percaya.

Setelah sarapan Intan pergi ke sekolah di antar Ricko menggunakan mobil.


Sesampainya di sekolah, Intan turun di depan gerbang. Setelah itu Ricko
memarkirkan mobilnya tidak jauh dari sana dan menunggu Intan di dalam
mobil.

Intan memasuki ruang kelasnya untuk bertemu dengan Melly, Rita, dan Vina.
Disana mereka bertiga sudah berkumpul. Tidak berapa lama wali kelas mereka
masuk.

Pengumuman kelulusan kali ini berbentuk amplop yang tertutup rapat. Di


dalam nya terdapat tulisan "LULUS" dan " TIDAK LULUS". Semua murid -
murid jadi deg - deg an termasuk Intan dan ketiga sahabatnya.

Wali kelas itu pun memanggil nama muridnya satu - persatu untuk maju ke
depan menerima amplop pengumuman kelulusan.

Saat wali kelas mereka sudah keluar, Intan, Melly, Rita, dan Vina membuka
amplop yang mereka terima. Mereka membukanya pelan - pelan bersama -
sama.

"AAAAA AKU LULUS. Yes yes yes!" Teriak Intan sambil menaik turun kan
kepalan tangan kirinya.

"AKU JUGA YEIII!" Sahut Vina.

"Aku juga!" Ujar Melly sambil tersenyum.

"Aku juga sama. HORE!" Tambah Rita.

Mereka berempat berpelukan bersama sambil berlonjak kegirangan.

"Yuk ke kantin!" Ajak Melly.

"Maaf ya aku nggak bisa. Mas Ricko sudah menunggu di luar..." Ujar Intan
sedikit kecewa.

"Yaaah personil kita berkurang satu nich..." Balas Rita kecewa.


"Ciye... yang di antar suami." Goda Vina sambil menyenggol bahu Intan.

"Udah nggak papa. Intan kamu pulang duluan aja. Nanti suamimu marah
nunggu terlalu lama." Ujar Melly.

"Okey. Bye semuanya," Ucap Intan lalu pergi meninggalkan teman - temannya.

Di depan sekolah Ricko sudah menunggu Intan keluar. Saat melihat Intan
keluar Ricko buru - buru mendekatinya.

"Gimana hasilnya?" Tanya Ricko penasaran.

"Aku lulus Maaas!" Jawab Intan antusias dan senang sambil tersenyum lebar.
Ricko pun segera mengangkat Intan dengan satu tangannya menuju mobil.

Di dalam mobil Intan terdiam dengan wajah cemberut. Dari tadi Ricko belum
mengucapkan "selamat" padanya. Padahal Intan sudah menunggu - nunggu dari
tadi.

Dalam perjalanan pulang Ricko berhenti pada sebuah toko bunga. Ia turun
meninggalkan Intan di dalam mobil.

"Oh Mas Ricko mau beliin aku bunga?" Gumam Intan senang. Ia senyum -
senyum sendiri di dalam mobil.

Sepuluh menit kemudian Ricko keluar dari toko dengan membawa sebuah
buket bunga.

Intan senang melihatnya. Tapi sayang Ricko tidak memberikan bunga itu
padanya, tapi menaruh di kursi penumpang belakang. Intan semakin kesal.
Ricko juga tidak berkata apa - apa dari tadi.

'Nggak romantis. Nggak perhatian.' Batin Intan kesal.

Sesampainya di rumah Intan segera keluar dari mobil dan masuk ke dalam
rumah. Ricko mengejarnya sambil membawa bunga yang ia beli tadi. Saat
sampai di ruang tengah Ricko menarik tangan Intan dari belakang.

"Hey kenapa buru - buru?" Tanya Ricko saat Intan sudah menghentikan
langkah kakinya. Intan tidak menjawabnya. Hanya memandang Ricko dengan
wajah cemberut.
"Selamat atas kelulusan mu..." Ucap Ricko sambil tersenyum dan memberikan
buket bunga pada Intan. Intan menerimanya tapi masih kecewa.

"Kenapa nggak dari tadi sich?" Ucap Intan kesal.

"Aku kan sedang mengemudi." Jawab Ricko.

"Sebelumnya kan bisa?" Balas Intan.

"Aku ingin segera sampai di rumah. Ayo berfoto dulu." Ajak Ricko pada Intan.
Ia menyalakan timer pada ponselnya lalu menaruhnya di meja.

Setelah Intan berganti pakaian, Ricko mengajak Intan untuk mengurus paspor di
kantor imigrasi. Dengan kekuatan uang semuanya berjalan dengan cepat dan
lancar.

"Yey akhirnya aku bisa ke luar negri." Seru Intan ketika sudah masuk ke dalam
mobil sambil memeluk paspor nya.

"Norak!" Balas Ricko sambil menyalakan mobilnya.

"Biarin!" Balas Intan sewot.

Ke esokan harinya lagi - lagi Ricko turun tidak menggunakan pakaian kerjanya.
Intan pun bertanya - tanya ada apalagi hari ini.

"Mas Ricko nggak kerja?" Tanya Intan sambil mengambilkan makanan untuk
Ricko.

"Enggak. Hari ini aku mau kita melakukan foto prewedding." Jawab Ricko lalu
menyeruput kopinya yang di sediakan Intan di meja makan.

"Hari ini? Kok nggak kasih tahu aku dari kemarin mas?" Tanya Intan.

"Ini rencananya juga dadakan." Jawab Ricko.

Setelah sarapan Ricko mengajak Intan ke studio photo untuk melakukan foto
prewedding. Karena sebentar lagi bulan ramadhan jadi Ricko mempercepat
semua persiapan pesta pernikahannya.
Karena Ricko tidak membuat janji terlebih dahulu sehingga studio tidak
melakukan persiapan apapun untuk mereka.

"Mau memilih tema apa Pak?" Tanya pegawai studio.

"Action." Jawab Ricko karena ia sangat menyukai film action.

"Nggak... nggak... nggak. Nggak boleh. Aku maunya dokter - dokteran." Ujar
Intan.

"Nggak bisa. Aku sukanya film action. Jadi aku mau temanya seperti film
action." Balas Ricko.

"Jadi ini pilih yang mana? Action atau kesehatan?" Tanya pegawai studio
memastikan.

"Ya sudah dua - duanya saja." Jawab Ricko sedikit kesal.

Ricko sangat menyukai film action, jadi ia memilih tema foto preweddingnya
adalah seperti film action. Sedangkan Intan menyukai yang berbau dengan
tenaga kesehatan. Ia ingin temanya seperti dokter dan perawat. Karena
keinginan mereka berbeda, sehingga foto prewedding mereka kali ini terbagi
menjadi dua.

Pegawai studio di buat repot oleh keinginan mereka. Apalagi tanpa ada hujan
dan angin mereka tiba - tiba datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Akhirnya
mau tidak mau Ricko dan Intan harus menunggu sampai persiapan untuk
pemotretan selesai di siapkan.

Setelah persiapan pemotretan selesai, Intan di ajak ke ruang make up dan ganti
kostum. Begitu juga Ricko di ajak ke ruang sebelah Intan untuk berganti
pakaian. Para pegawai lainnya melanjutkan persiapan dekorasi, properti dan
background.

Setelah semuanya siap, pemotretan pun di mulai. Pemotretan pertama


menggunakan tema action seperti yang di minta Ricko. Ricko memakai jas
lengkap warna hitam. Begitu juga dengan Intan memakai dress mini warna
hitam. Dari dua puluh kali pengambilan gambar hanya dua yang paling bagus
dan bisa di cetak karena Intan tidak suka dengan tema yang di ambil Ricko,
sehingga ekspresinya tidak ada yang bagus.
"Kenapa kamu nggak serius?" Tanya Ricko pada Intan saat sudah selesai
pengambilan gambar.

"Kan aku sudah bilang, aku nggak suka temanya." Jawab Intan cemberut.

"Silahkan dilihat dulu hasilnya." Ucap pegawai studio menawarkan. Ricko dan
Intan pun melihat hasilnya.

Foto pertama Ricko dan Intan saling berhadapan di samping mobil hitam yang
pintunya terbuka. Intan menaikkan kaki kanannya ke pijakan mobil, dengan
satu tangan Intan di dada Ricko dan tangan lainnya di pinggang Ricko. Ricko
memandang wajah Intan dengan tangan kanan memegang pinggang Intan dan
tangan kirinya di paha Intan.

Foto kedua hampir sama dengan foto pertama. Hanya saja kali ini pandangan
mereka melihat ke arah kamera se olah - olah melihat musuh.

Setelah itu Intan dan Ricko berganti kostum untuk pemotretan tema yang kedua
seperti yang di inginkan Intan. Dimana Ricko berperan sebagai dokter dan Intan
sebagai perawat. Intan sangat senang dengan tema yang ia pilih, sehingga
ekspresinya sangat mendukung dalam pemotretan. Tapi beda lagi dengan
Ricko. Ia benar - benar tidak serius, membuat Intan ingin tertawa terus menerus.

"Mas. kamu lucu. Hahaha." Seru Intan sambil tertawa saat pemotretan sudah
selesai. Ricko hanya tersenyum garing lalu melihat hasilnya bersama Intan.

Foto pertama Intan tengah tersenyum lebar memeluk lengan Ricko yang sedang
menaruh stetoskop di dahinya.

Foto kedua Intan berpose sendiri dengan berkacak pinggang dan Ricko
memandanginya dari samping. Ricko tertawa sendiri setelah melihat fotonya.

Akhirnya pengambilan foto prewedding pun berjalan dengan lancar. Intan dan
Ricko sangat puas dengan hasilnya. Setelah menjalani pemotretan selama empat
jam, Ricko dan Intan merasa sangat lapar. Dalam perjalanan pulang Ricko
membelokkan mobilnya ke restoran terdekat untuk mengisi perut mereka yang
sedang kelaparan.
1 Minggu kemudian

Ricko dan Intan sedang mengepak pakaian untuk mengunjungi Pak Bambang
dan Bu Sofi di Singapura besok. Intan sangat senang karena ini pertama kalinya
ia akan naik pesawat dan menginjakkan kakinya di luar negri.

"Mas... berapa hari kita disana?" Tanya Intan untuk mempersiapkan berapa
pakaian yang akan ia bawa.

"Dua hari. Kita tidak bisa lama - lama disana. Aku masih harus bekerja." Jawab
Ricko yang memperhatikan Intan sedang heboh sendiri karena terlalu senang.

"Yaaaah... aku kira satu minggu Mas..." Balas Intan kecewa.

"Kamu pengen liburan?" Tanya Ricko pada Intan.

"Hmmmm. Kamu tidak pernah mengajakku liburan dan piknik." Jawab Intan
sedih.

"Minggu depan saja. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat." Ujar Ricko.

"Kemana?" Tanya Intan penasaran.

"Rahasia. Kalau sudah selesai cepat tidur. Besok kita berangkat pagi." Jawab
Ricko lalu membaringkan tubuhnya dan menarik selimutnya. Intan pun
mempercepat pekerjaannya supaya bisa segera tidur.

Ke esokan harinya Ricko dan Intan pergi ke bandara menggunakan taksi. Intan
merasa deg - deg an sekaligus senang. Ini pengalaman pertamanya menaiki
pesawat. Saat Ricko menggandeng tangan Intan, Ricko merasakan tangan Intan
sangat dingin.

"Kamu kenapa?" Tanya Ricko. Intan meringis garing.

"Aku takut. Jantungku berdebar dari tadi."


Jawab Intan.

"Ada aku. Tenang saja." Balas Ricko sambil tersenyum dan tetap menggandeng
tangan Intan hingga naik ke dalam pesawat.

Di dalam pesawat, Intan memeluk lengan Ricko dengan sangat erat dan
menyandarkan kepalanya pada bahu Ricko. Ia merasa sedikit mual karena
terlalu gugup. Ini pertama kalinya Intan naik pesawat terbang.

Di dalam pesawat Intan melihat ke luar jendela. Ia melihat sayap pesawat


terbang dan awan serta burung yang berterbangan. Intan merasa takjub dan
sangat senang. Ricko yang melihat tingkah Intan yang katrok menjadi senyum -
senyum sendiri.

Tadi malam Intan tidak bisa tidur dengan nyenyak karena terlalu senang akan
naik pesawat terbang, sehingga tidak lama kemudian ia merasa mengantuk dan
tidur di bahu Ricko.

'Sudah mau lulus SMA, kelakuan masih seperti anak - anak. Benar - benar
sangat polos.' Batin Ricko sambil geleng - geleng kepala dan tersenyum.

Ketika pesawat akan mendarat, Ricko membangunkan Intan. Kalau di rumah


mungkin Ricko akan menggendong Intan ke kamar seperti biasanya. Berhubung
sekarang mereka berada di pesawat, dan Ricko harus membawa koper mereka,
jadi ia membangunkan Intan.

"Sudah sampai ya Mas?" Tanya Intan saat membuka matanya.

"Sebentar lagi. Aku membangunkanmu supaya nanti tidak kaget dan pusing."
Jawab Ricko.

Intan pun membuka matanya lebar - lebar dan menggeliat supaya kantuknya
hilang.

Tidak berapa lama pesawat pun mendarat. Ricko dan Intan turun dari pesawat.
Intan memeluk lengan Ricko dengan senangnya.

"Mas... aku senang sekali. Akhirnya bisa menginjakkan kakiku di luar negri."
Ujar Intan pada Ricko. Ricko hanya tersenyum melihat tingkah Intan yang
seperti anak kecil.

Ricko dan Intan meninggalkan bandara menuju apartemen menggunakan taksi.


Ricko ingin istirahat terlebih dahulu sebelum ke rumah sakit.

Sesampainya di apartemen, pembantu Bu Sofi sudah menyiapkan makanan


untuk Ricko dan Intan karena Ricko sudah mengabari Bu Sofi sebelumnya
bahwa ia akan menjenguk papanya hari ini.

"Mau makan dulu?" Tanya Ricko pada Intan saat sudah memasuki apartemen.

"Nanti aja Mas. Aku pengen istirahat. Aku mual. Mungkin aku mabok
perjalanan." Jawab Intan lalu duduk di sofa menyandarkan kepalanya pada
sandaran sofa.

"Bi, tolong bikinkan minuman jahe panas ya!" Ucap Ricko pada pembantunya.

"Iya Mas..." Jawab pembantunya lalu pergi ke dapur.

"Ayo ke kamar. Biar bisa istirahat dengan nyaman." Ajak Ricko lalu membantu
Intan berdiri.

"Mas aku nggak kuat. Udah pengen muntah." Ucap Intan saat sampai di depan
kamar. Ricko segera mengangkat tubuh Intan dan membawanya masuk ke
dalam kamar mandi. Intan pun mengeluarkan semua isi perutnya. Ricko
membantu memijat tengkuk Intan.

"Kamu sakit?" Tanya Ricko saat melihat Intan sudah tidak muntah lagi.

"Mungkin masuk angin dan mabok perjalanan Mas. Tadi malam kan aku nggak
bisa tidur..." Jawab Intan lalu keluar dari dalam kamar mandi. Ricko
mengikutinya.

"Buka bajumu biar aku kerokin!" Perintah Ricko. Intan pun menuruti kata - kata
Ricko untuk membuka bajunya.

"Sekalian pijit ya Mas. Aku capek banget." Balas Intan.

"Hmmmm." Gumam Ricko lalu keluar kamar untuk meminta minyak angin
pada pembantunya.

Tidak berapa lama Ricko kembali ke kamar. Setelah menutup pintu ia ngerokin
dan memijit punggung Intan.

Tok tok tok pintu kamarnya di ketuk seseorang.

"Mas Ricko minuman jahe nya sudah jadi." Ucap pembantunya dari balik pintu.
"Bawa masuk Bi!" Perintah Ricko.

Pembantu itu pun masuk membawa minuman jahe panas yang di minta Ricko
dan menaruhnya di meja. Ia melihat Ricko sedang memijit punggung Intan
yang kemerahan setelah di kerokin Ricko.

"Eleuh eleuh Mas Ricko mah dulu aja kalo dimintain tolong mijit sama bapak
atau ibu nggak pernah mau. Sekarang istrinya mabok gitu aja perhatiannya
nggak karuan." Gumam Bi Mina setelah keluar dari kamar Ricko.

Setelah selesai memijit Intan, Ricko memberikan minuman jahe pada Intan
supaya mualnya berkurang. Setelah itu mereka tidur untuk menghilangkan
penat setelah melakukan perjalanan jauh.

Sore hari Ricko dan Intan pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Pak Bambang
setelah istirahat dan makan di apartemen.

Sesampainya di rumah sakit, Ricko segera menuju kamar Pak Bambang seperti
minggu lalu. Tapi ternyata Pak Bambang sudah di pindahkan ke kamar lain
karena kamar itu sedang di renovasi.

Ricko pun kembali ke lobby rumah sakit menuju meja informasi untuk
menanyakan dimana Pak Bambang di pindahkan. Intan mengikuti di belakang
Ricko.

“Di ruang mana pasien bernama Bambang Argadinata dipindahkan?” Tanya


Ricko pada wanita yang menjaga meja informasi menggunakan bahasa Inggris.
Intan yang mendengarkannya pun ingin muntah.

“Sok Inggris…” Gumam Intan seraya menoleh ke belakang dan nyengir sambil
mengarahkan matanya ke atas.

“Ruang Alamanda nomor 3 lantai 6. Lift nya di sebelah sana Pak.” Jawab
wanita itu setelah mengecek di komputernya sambil menunjuk lift di sudut
lobby dengan menggunakan bahasa Inggris juga tentunya.

Ricko pun mengerti dan segera menuju lift yang di maksud wanita itu. Intan
mengikuti Ricko masuk ke dalam lift.

Sesampainya di lantai 6, pintu lift terbuka. Ricko dan Intan keluar dari pintu lift
dan melihat petunjuk di depan mereka.
Setelah menemukan ruangan Pak Bambang, Ricko mengetuk pintu ruangan itu
takutnya salah kamar. Tidak berapa lama pintu pun terbuka dan muncullah Bu
Sofi.

"Assalamu'alaikum Ma..." Ucap Ricko sambil mencium punggung tangan Bu


Sofi. Begitu juga dengan Intan.

"Ayo masuk. Papa sudah menunggu dari tadi..." Balas Bu Sofi mempersilahkan
Ricko dan Intan masuk.

Saat Ricko dan Intan masuk, mereka melihat Pak Bambang sedang duduk. Ini
suatu kemajuan karena sebelumnya Pak Bambang hanya bisa berbaring di
ranjang.

"Bagaimana keadaan Papa sekarang?" Tanya Ricko saat sudah duduk di kursi
samping ranjang Pak Bambang.

"Sangat lebih baik Rick. Papa sangat senang dan sudah tidak sabar ingin segera
pulang dan menantikan kelahiran anakmu..." Jawab Pak Bambang sambil
tersenyum.

Deg!
Jantung Ricko dan Intan tiba - tiba berdetak lebih kencang setelah mendengan
ucapan Pak Bambang. Intan menjadi pusing dan ingin muntah. Ia segera masuk
ke dalam kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya.

'Moment yang bagus. Pasti Papa mengira Intan muntah - muntah karena hamil.
Padahal hanya mabuk perjalanan. Hehehe.' Batin Ricko.

Setelah muntah - muntah, Intan duduk kembali di sofa samping Bu Sofi.

"Kamu hamil?" Tanya Bu Sofi sambil berbisik.

"Enggak Ma... hanya masuk angin karena kurang tidur dan mabuk perjalanan."
Bisik Intan sambil meringis merasa tidak nyaman pada perutnya.

"Perbanyaklah istirahat kalau hamil muda. Tidak perlu repot - repot menjenguk
papa. Ricko ajaklah istrimu pulang untuk istirahat. Papa sudah lebih baik
sekarang." Ujar Pak Bambang pada Ricko sambil tersenyum.
Ricko pun menuruti saran papanya. Ia juga kasian sama Intan yang muntah -
muntah terus dari tadi siang.

Setelah keluar dari ruangan Pak Bambang, Ricko mengajak Intan ke UGD.
Ricko ingin memeriksakan Intan apakah ada yang salah dengan perutnya.

"Ngapain kita kesini Mas?" Tanya Intan saat sudah sampai di depan UGD.

"Memeriksakanmu. Wajahmu pucat terlalu banyak muntah." Jawab Ricko.

"Aku nggak mau. Aku nggakpapa Mas. Aku hanya butuh istirahat saja." Balas
Intan menolak. Sejujurnya ia sangat takut dengan jarum suntik.

"Ya sudah ayo pulang." Ajak Ricko lalu mengajak Intan naik taksi yang berjajar
di depan rumah sakit.

Setelah pulang dari rumah sakit dan makan malam, Intan dan Ricko beristirahat
di kamarnya. Tidak berapa lama ponsel Intan bergetar tanda ada whatsapp
masuk. Ia pun membukanya.

Vina : Jangan lupa oleh - oleh! ????

Rita : Buat aku juga, ????

Melly : Aku juga mau kale. ????

Intan : Nggak janji ya guys. Soalnya aku disini cuma 2 hari aja. ????

Vina : Yaaah bentar amat Ntan? Emang puas bulan madu cuma 2 hari?

Intan : Siapa yang bulan madu? Orang aku nengokin papa mertua yang sedang
sakit. ????

Melly : Bwahahahaha

"Kalo masih mual istirahat, jangan main ponsel mulu!" Ujar Ricko saat melihat
Intan menatap ponselnya.

"Iya Mas..." Balas Intan lalu menaruh ponselnya.


"Mas... teman - temanku minta oleh - oleh. Bisakah kita membelinya?" Tanya
Intan dengan hati - hati takut Ricko marah sambil menaruh lengan kanannya di
bahu Ricko.

"Besok saja. Sekarang sudah malam. Istirahatlah! Besok sore kita akan pulang
ke Indonesia." Jawab Ricko sambil memegang tangan kiri Intan.

"Makasih Mas..." Balas Intan senang.

Ke esokan harinya, saat Intan membuka matanya Ricko sudah tidak ada di
sampingnya. Ia pun melihat jam di ponselnya ternyata sudah jam delapan pagi.
Intan pun segera bangun dan masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi.

Setelah mandi dan bergantia pakaian, Intan keluar dari dalam kamar dan
melihat Ricko sedang duduk di meja makan sedang menikmati kopi. Intan pun
menghampirinya dan duduk di kursi depan Ricko.

"Kenapa tidak membangunkanku?" Tanya Intan kesal.

"Kamu kan tidak enak badan? Jadi perlu banyak istirahat. Masalah oleh - oleh
aku saja yang belikan. Kamu disini saja." Jawab Ricko.

"Aku ikut Mas..." Rengek Intan.

"Nggak. Kamu istirahat saja. Aku berangkat sekarang. Oh iya Setelah sarapan
kemasi barang - barang kita." Balas Ricko seraya berdiri hendak pergi.

"Iya!" Jawab Intan patuh dengan cemberut.

Ia ingin sekali ikut Ricko keluar sekaligus jalan - jalan, tapi Ricko melarangnya.
Setelah sarapan Intan mengemasi barang - barangnya dan juga barang Ricko.

2 jam kemudian Ricko kembali dengan membawa papper bag di tangannya lalu
menaruhnya di sofa ruang keluarga. Setelah itu ia masuk ke dalam kamar untuk
mengecek apakah semua barang sudah dikemas Intan. Intan yang melihat
kedatangan Ricko tidak sabar untuk melihat oleh - oleh yang di beli Ricko.

"Mana Mas oleh - olehnya?" Tanya Intan pada Ricko sambil menadahkan
tangannya tidak sabar. Ricko pun mengeluarkan beberapa gantungan kunci dari
sakunya. Intan menatap gantungan kunci itu di depan matanya sambil membuka
matanya lebar - lebar.

"Hanya ini?" Tanya Intan tak percaya. Jauh - jauh ke Singapura hanya untuk
membeli gantungan kunci.

"Kenapa?" Tanya Ricko balik.

"Seleramu rendah sekali!" Balas Intan kesal lalu melanjutkan mengemasi


barang - barangnya.

"Hey kenapa marah? Di luar masih ada." Balas Ricko sambil merebahkan
punggungnya pada tempat tidur.

"Benarkah?" Tanya Intan tak percaya. Ia pun segera keluar kamar mencari oleh
- oleh yang di beli Ricko.

Ricko hanya geleng - geleng kepala melihat tingkah Intan. Dikit - dikit marah.
Dikit - dikit senang. Ia pun beristirahat untuk menghemat tenaga buat persiapan
pulang ke Indonesia nanti sore sekaligus berjaga - jaga mengurus Intan yang
mabok.

Di luar kamar, Intan mengeluarkan isi papper bag yang tergeletak di atas sofa.
Ia mengeluarkan coklat, kaos, topi, dan tas. Intan sangat senang sekali. Ia pun
kembali ke kamar mau mengucapkan terima kasih pada Ricko, tapi sayangnya
Ricko sudah tertidur.

Sore hari Ricko dan Intan bersiap - siap untuk berangkat ke bandara. Ketika
akan keluar pintu Intan sudah membayangkan akan naik pesawat lagi dan itu
membuatnya merasa mual. Ia pun menutup mulutnya dan berlari ke kamar
mandi untuk mengeluarkan isi perutnya. Ricko pun menyusulnya.

"Kamu kenapa?" Tanya Ricko di depan pintu kamar mandi.

"Aku sudah terbayang - bayang akan naik pesawat. Jadi tiba - tiba saja merasa
mual Mas." Jawab Intan setelap mengelap mulutnya dengan tissue.

"Ayo segera berangkat. Nanti kita ketinggalan pesawat." Ajak Ricko.

Kini mereka menuju bandara menggunakan taksi.


Sesampainya di Bandara Indonesia Intan merasa sangat lemas. Sebelum naik
pesawat tadi ia sudah muntah berkali - kali. Ricko merasa sangat kasihan
dengan Intan. Setelah turun dari pesawat, ia segera mengajak Intan naik taksi
untuk pulang ke rumah.

Setelah sampai di rumah Intan segera merebahkan tubuhnya di tempat tidur.


Ricko memesankan makanan di aplikasi G-food untuk mengisi perut Intan yang
kosong.

"Lain kali tidak usah ikut ke Singapura. Sepertinya kamu tidak bisa naik
pesawat." Ujar Ricko sambil duduk di tepi ranjang.

"Hmmmm. Aku mau tidur. Mas Ricko mandi sana. Bau nya bikin aku mual."
Balas Intan lalu menarik selimut dan memejamkan matanya.

"Masa' sih aku bau? Perasaan sama saja seperti biasanya." Gumam Ricko
sambil menciumi ketiaknya. Setelah itu masuk ke dalam kamar mandi untuk
membersihkan tubuhnya.

Setelah Ricko mandi dan berganti pakaian, tidak berapa lama anggota G- food
datang dengan membawa makanan di tangannya. Setelah menerima makanan,
Ricko pergi ke dapur lalu memindahkannya ke piring dan membawanya ke
kamar.

"Ntan... Bangun..." Panggil Ricko membangunkan Intan supaya makan. Intan


pun membuka matanya.

"Ada apa Mas?" Tanya Intan sambil mengernyitkan dahinya.

"Ayo makan dulu..." Jawab Ricko. Intan pun duduk dan melihat makanan di
piring yang di pegang Ricko dan tampaklah nasi dengan kuah soto.

"Aku nggak mau. Aku lagi pengen nasi goreng Mas..." Rengek Intan.

"Ini sudah malam. Biasanya kamu suka soto? Ayo aku suapi buka mulutmu!"
Balas Ricko. Intan pun membuka mulutnya dan memakan soto itu di suapi
Ricko.
Setelah makan dan menyuapi Intan, Ricko segera tidur karena besok harus
bekerja.

Ke esokan harinya sebelum berangkat ke perusahaan, Ricko mengantar Intan ke


rumah Pak Bambang agar tidak sendirian di rumah. Kebetulan Sita ada di
rumah karena sudah memasuki liburan smester.

"Hai kakak ipar..." Sapa Sita saat melihat Intan turun dari mobil bersama Ricko.

"Hai juga..." Balas Intan sambil tersenyum.

"Dia adikku. Namanya Sita." Ujar Ricko menjelaskan.

"Intan..."Ucap Intan memperkenalkan dirinya pada Sita sambil mengulurkan


tangannya. Sita pun membalasnya sambil tersenyum.

Tidak berapa lama Ricko berangkat ke perusahaan setelah Sita mengajak Intan
masuk ke dalam rumah.

Kini mereka berdua sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi.
Intan merasa canggung karena mereka berdua sama - sama saling diam. Intan
pun memulai pembicaraan.

"Kamu umur berapa?" Tanya Intan pada Sita. Yang Intan tahu Sita sudah
kuliah, jadi otomatis umur Sita lebih tua dari Intan. Intan bingung harus
memanggilnya apa.

"20 Kak." Jawab Sita sambil tersenyum.

"Jangan panggil 'kak' dong. Umurku masih 18." Balas Intan.

"Kan Kak Intan istri nya Kak Ricko sekarang. Berarti sekarang Kak Intan kakak
iparku." Jelas Sita.

"Iya juga sich. Hehehe." Balas Intan sambil menggaruk kepalanya yang tidak
gatal.

"Kak Intan, enak nggak sih menikah muda?" Tanya Sita penasaran.

"Gimana ya? Enak nggak enak sich sebenarnya. Untungnya Mas Ricko
orangnya baik. Jadi aku tidak terlalu merasa sedih dan tertekan. Kamu tahu
sendiri kan aku menikah karena dipaksa. Bahkan aku belum lulus SMA." Jawab
Intan sambil menerawang kejadian beberapa bulan lalu dimana ia tiba - tiba
dinikahkan dengan Ricko tanpa tahu calon suaminya terlebih dahulu.

"Apa Kak Intan dan Kak Ricko sudah anu juga?" Tanya Sita to the point.

"Anu apa?" Tanya Intan bingung.

"Itu loch... bercinta." Bisik Sita di telinga Intan. Wajah Intan pun memerah
merasa malu mendengar ucapan Sita.

"Rahasia." Jawab Intan sambil tersenyum.

"Hahahaha." Sita tertawa. Intan pun ikut tertawa juga.

Sesampainya Ricko di perusahaan, Rossa sudah menunggunya di lobby. Saat


Ricko masuk ke pintu utama perusahaannya, tiba - tiba Rossa memeluk
lengannya dan ikut berjalan menuju lift.

"Ada apa lagi?" Tanya Ricko sambil memencet tombol lift setelah melepas
tangan Rossa.

"Aku ingin kita balikan sayang. Aku mohon... Aku masih mencintaimu." Jawab
Rossa dengan manjanya.

"Aku tidak mau. Bukankah kemarin aku sudah menjelaskannya padamu. Aku
sudah menikah dan akan mengadakan pesta beberapa bulan lagi." Balas Ricko
tegas.

"Kamu pasti bohong kan Rick? Aku baru 3 bulan ke luar negri. Kamu tiba - tiba
menikah? Apa kamu menghamili anak orang?" Tanya Rossa tak percaya.

"Kalau iya kenapa? Bukan urusanmu. Pergilah! Aku harus bekerja." Usir Ricko
dan masuk ke dalam lift yang terbuka tepat pada waktunya. Rossa
mengikutinya.

"Kamu selingkuh dariku Rick?" Tanya Rossa masih penasaran kenapa Ricko
tiba - tiba menikah dengan orang lain.

"Hei bukankah yang selingkuh itu kamu? Sudahlah Ros.. di antara kita sudah
tidak ada apa - apa lagi. Jadi jangan ganggu aku lagi." Jawab Ricko.
Setelah itu pintu lift terbuka dan Ricko keluar meninggalkan Rossa di dalam
lift. Rossa kembali turun dan keluar dari perusahaan.

Setelah masuk ke dalam mobilnya, Rossa mengeluarkan ponsel dari tasnya lalu
menelpon seseorang.

Rossa : "Hallo... aku ada tugas untukmu!"

X : "Apa itu?"

Rossa : "Buntuti Ricko Argadinata kemanapun dia pergi sampai kamu


mengetahui siapa wanita di sisinya!"

X : "Beres. Jangan lupa DP!"

Rossa : "Kirimkan nomor rekeningmu. Aku akan mentransfernya sekarang!"

Setelah Rossa menutup telpon, pemberitahuan tanda pesan masuk berbunyi.


Rossa pun membukanya dan mentransfer sejumlah uang pada nomor rekening
Mr. X.

Siang hari setelah bosan menonton televisi, Intan pergi ke halaman belakang
untuk menghirup udara segar. Karena disana banyak pohon rindang dan
berbagai macam tanaman bunga. Sedangkan Sita ingin tidur siang di kamarnya.

Saat Intan mendongak, ia melihat buah mangga bergelantungan di pohonnya.


Tiba - tiba air liurnya keluar dan berkumpul di dalam mulutnya.

"Uuuh... bikin rujak mangga kayaknya enak banget nich. Tapi gimana
ngambilnya ya?" Gumam Intan sambil cemberut.

"Ada yang bisa di bantu Mbak?" Tanya Bi Sumi pembantu yang ada di rumah
Pak Bambang.

"Saya mau mangga itu Bi..." Jawab Intan sambil menunjuk mangga di atas
pohon.

"Tenang Mbak. Sebentar saya panggilkan Kang Tedjo di depan." Balas Bi


Sumi.
"Siapa itu Bi?" Tanya Intan ingin tahu.

"Security. Hihihi" Jawab Bi Sumi sambil meringis. Intan pun mengacungkan


kedua jempolnya pada Bi Sumi dan tersenyum senang.

Tidak berapa lama Kang Tedjo masuk ke kebun halaman belakang lalu
memanjat pohon mangga.

"Mau yang sebelah mana Mbak?" Tanya Kang Tedjo pada Intan.

"Yang atas itu Kang. Naik sedikit ya?" Jawab Intan sambil menunjuk mangga
di atas Kang Tedjo.

"Yang ini aja ya Mbak, biar gampang ngambilnya?" Ujar Kang Tedjo pada
Intan.

"Nggak mau. Aku maunya yang di atas itu Kang..." Balas Intan. Kang Tedjo
pun manjat lagi hendak mengambil mangga yang di maksud Intan.

"Alamaaaak... semutnya banyak amat yak?" Gumam Kang Tedjo. Ia pun segera
memetik mangga itu dan semutnya berlarian ke tangannya.

"Sini Kang lempar!" Ujar Bi Sumi yang menunggu di bawah. Kang Tedjo pun
melempar mangga itu ke bawah tepatnya ke arah Bi Sumi. Sumi menerimanya
dan kaget jejeritan.

"Ya ampun banyak amat semutnya kyaaaak!" Jerit Bi sumi lalu membuang
mangga itu ke tanah sambil mencak - mencak. Intan tertawa terpingkal -
pingkal sambil memegangi perutnya.

Sita yang mendengar keributan di luar jendelanya jadi terbangun dari tidurnya.
Kebetulan balkon kamar Sita menghadap ke halaman belakang. Ia pun bangun
menuju balkon.

"Ada apa sih berisik banget?" Tanya Sita sambil menggaruk - garuk kepalanya.

"Istrinya Mas Ricko minta mangga Mbak..." Jawab Bi Sumi.

"Ayo bikin rujak mangga Mbak Sita!" Ajak Intan.

"Oke juga. Bentar aku turun kebawah." Balas Sita lalu kembali ke kamarnya
dan masuk ke kamar mandi untuk membasuh mukanya. Setelah itu turun ke
bawah.

Intan dan Bi Sumi segera masuk ke dapur. Kang Tedjo kembali ke depan
menjaga pos. Bi Sumi membuat bumbu, sedangkan Intan yang mengupas
mangganya. Saat Sita turun semuanya sudah siap. Intan dan Sita pun menikmati
rujak mangga di meja makan.

"Mmmm asem banget..." Gumam Sita sambil nyengir - nyengir.

"Enak kok. Seger banget!" Balas Intan sambil memasukkan irisan buah mangga
muda ke mulutnya. Bi Sumi yang hanya melihat saja air liurnya ikut mengalir.

'Ini doyan apa ngidam? Asem gitu dia enak banget makannya.' Batin Bi Sumi
sambil nyengir - nyengir bayangin rasa asamnya mangga muda.

Setelah menghabiskan rujak mangga mudanya, Intan naik ke atas untuk tidur
siang. Semenjak liburan sekolah, Intan tidak ada kegiatan. Sehingga ia
bawaannya ngantuk mulu.

Sore hari Ricko keluar dari perusahaan seperti biasanya. Ia mengendarai


mobilnya dengan kecepatan sedang menuju rumah orang tuanya dimana Intan
berada. Ia tidak curiga sama sekali kalau sedang di ikuti seseorang di
belakangnya. Karena orang itu mengendarai motor sehingga tidak terlalu
mencurigakan.

Sesampainya di rumah Pak Bambang, Ricko segera masuk untuk menemui


Intan. Saat Ricko memasuki kamar, Intan masih tertidur lelap. Ricko pun ikut
membaringkan tubuhnya di samping Intan karena merasa lelah.

Tiba - tiba Intan mengernyitkan dahinya dan terbangun. Ia merasa mual dan
ingin muntah. Ia pun bangun dan masuk ke dalam kamar mandi sambil
memegangi perutnya.

"Kenapa masih muntah - muntah lagi? Apa maboknya belum sembuh? Tapi dia
memang belum minum obat sama sekali." Gumam Ricko lalu menyusul Intan
ke kamar mandi.

"Kamu ini mabok, sakit, apa hamil?" Tanya Ricko saat Intan sudah selesai
muntah dan mengelap bibirnya dengan tissue. Intan berjalan keluar kamar
mandi melewati Ricko.

"Aku belum makan siang. Tadi siang hanya makan rujak mangga muda.
Mungkin asam lambungku naik sekarang." Jawab Intan sambil berjalan lalu
duduk di tepi tempat tidur.

"Mau pulang sekarang?" Tanya Ricko. Intan mengangguk kan kepalanya.

Setelah itu Ricko dan Intan turun untuk berpamitan dengan Sita yang sedang
menonton televisi di ruang tengah.

"Sering - sering main kesini ya Kak?" Ujar Sita sambil tersenyum.

"Iya Mbak..." Jawab Intan sambil tersenyum juga.

Setelah berpamitan dengan Sita, Intan dan Ricko naik ke dalam mobil tidak
lupa membawa sisa mangga muda yang di petik Kang Tedjo tadi karena di
rumah itu tidak ada yang mau memakannya.

"Kenapa masih dibawa kalau itu membuatmu muntah?" Tanya Ricko sambil
memasang sabuk pengaman.

"Habisnya enak Mas. Mas Ricko harus nyobain. Nanti aku bikinin di rumah
ya?" Jawab Intan tersenyum senang.

"Aku tidak mau. Itu sangat muda sekali. Pasti rasanya sangat asam." Balas
Ricko sambil mengemudikan mobilnya keluar halaman rumah Pak Bambang.

Tanpa Ricko sadari motor yang mengikutinya sejak dari perusahaan tadi
mengikutinya lagi.

Di tengah perjalanan Intan merasa sangat lapar karena belum makan siang. Ia
pun memeluk lengan kiri Ricko dan merengek.

"Mas... aku merasa lapar. Bisakah kita makan dulu sebelum pulang?" Ujar Intan
merajuk.

"Mau makan apa?" Tanya Ricko masih fokus mengemudi.

"Mmmm... seafood yang seperti waktu itu Mas. Aku pengen makan di suapin
Mas Ricko." Jawab Intan tersenyum malu.
"Di bungkus saja ya? Kita makan di rumah." Balas Ricko.

"Iya Mas. Makasih..." Ujar Intan senang lalu mengecup pipi Ricko.

'Dulu aja nggak mau di apa - apain. Di cium gemetar dan nangis. Sekarang udah
tahu rasanya nyosor - nyosor sendiri.' Batin Ricko sambil tersenyum.

Setelah sampai di rumah makan seafood, Ricko turun dari mobilnya dan
menyuruh Intan untuk menunggu di mobil. Intan pun menyetujuinya.
Sejujurnya Intan merasa mual jika berdekatan dengan Ricko.

Di dalam mobil Intan mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan di


whatsapp grup yang isinya Melly, Rita, Vina, dan Intan.

Intan : Besok ke rumah ya

Rita : Ngapain?

Intan : Katanya minta oleh - oleh?

Vina : Siap bos ????

Melly : Okey

Setengah jam kemudian Ricko kembali dengan membawa bungkusan di


tangannya. Saat Ricko masuk ke dalam mobil, Intan menghirup bau kepiting
caos. Itu membuat air liur Intan mengalir.

"Ayo cepat pulang Mas. Aku sudah tidak sabar." Ujar Intan pada Ricko dengan
semangat.

"Mangkanya jangan melewatkan makan siang. Itu bisa membuatmu sangat


kelaparan dan sakit." Balas Ricko sambil menyalakan mobilnya dan melajukan
ke rumahnya.

"Iya Mas. Nggak akan di ulangi lagi." Jawab Intan sambil tersenyum.

Sesampainya di rumah, Intan segera turun membawa bungkusan kepiting caos


di tangannya menuju dapur. Ricko merasa heran dengan Intan akhir - akhir ini.
Ia lebih, manja, kekanak - kanakan, dan sering merajuk ini itu. Padahal awal
menikah Intan begitu dewasa dan mandiri.

Ricko keluar dari mobilnya dan masuk ke dalam rumah lalu menaiki tangga
menuju kamarnya. Sebelum makan ia ingin mandi dulu.

Di luar rumah, orang yang membuntuti Ricko mengirim beberapa foto ke Rossa
melalui aplikasi whatsapp. Diantaranya foto ketika Intan masuk ke dalam mobil
saat akan pulang dari rumah Pak Bambang dan ketika Intan keluar dari mobil
saat sudah sampai di rumah Ricko.

Setelah mandi Ricko turun dan duduk di meja makan di mana Intan sudah
menunggunya.

"Mas... suapin... aaaa..." Ujar Intan pada Ricko lalu membuka mulutnya.

"Sebentar... mau di suapi pakai tangan apa pakai mulut?" Tanya Ricko
menggoda.

"Ih Mas Ricko aneh - aneh aja. Namanya nyuapi ya pakai tangan atau
sendoklah..." Balas Intan.

"Kamu belum pernah ya? Biar aku kasih tahu sekarang." Ujar Ricko lalu
memasukkan daging kepiting ke mulutnya. Setelah itu ia menghadap ke arah
Intan dan memegang kedua pipi Intan. Lalu Ricko mencium bibir Intan dan
memindahkan kepiting di dalam mulutnya ke mulut Intan. Intan
membelalakkan matanya karena kaget dengan cara Ricko menyuapi sekaligus
menciumnya. Pipinya terasa panas dan akhirnya memerah karena malu. Intan
mengunyah kepiting di dalam mulutnya tanpa ekspresi. Setelah melepas
ciumannya Ricko melihat ekspresi Intan yang masih tertegun. Ia tersenyum lalu
melanjutkan makan kepitingnya.

"Enak?" Tanya Ricko sambil tersenyum.

"Enak kepitingnya." Jawab Intan sambil mengunyah.

"Ciumannya?" Tanya Ricko lagi.

"Apaan sih Mas... kamu mesum ah. Mengambil kesempatan dalam


kesempitan!" Balas Intan.

"Kesempatan kesempitan apa? Itu adalah metode cara menyuapi teromantis


masa kini. Kamu kan tidak pernah pacaran, jadi kamu nggak tahu." Bual Ricko
sambil menahan senyum.

"Oh jadi Mas Ricko sering melakukan ini sama Rossa? Hm?" Tanya Intan
menuduh.

"Hei... kenapa kamu marah? Rossa hanyalah masa laluku. Sekarang kita sudah
menikah. Aku tidak akan kembali lagi padanya. Aku juga sudah berjanji tidak
akan menceraikanmu. Apalagi yang kamu takutkan?" Balas Ricko.

"Aku tidak suka Mas Ricko dekat - dekat dengan wanita lain!" Ujar Intan.

"Kamu cemburu?" Tanya Ricko menyelidik.

"Tentu saja tidak. Aku... aku... hanya tidak suka!" Jawab Intan.

"Itu namanya cemburu. Masih saja tidak mau mengaku." Balas Ricko seraya
tersenyum lalu melanjutkan makannya.

'Aku cemburu? Masa' sih?' Batin Intan.

"Buka mulut!" Perintah Ricko. Intan pun patuh dan membuka mulutnya lalu
Ricko memasukkan daging kepiting ke mulut Intan.

Setelah menghabiskan kepiting jumbo berdua, kini Ricko dan Intan naik ke atas
bersiap - siap untuk tidur.

Ke esokan harinya seperti biasa Ricko pergi ke perusahaan dan kali ini Intan
memilih tinggal di rumah karena teman - temannya akan datang. Intan
mengantar Ricko sampai di halaman rumah.

"Jangan macam - macam selama aku tidak ada di rumah!" Ujar Ricko sebelum
pergi.

"Macam - macam apa sih Mas? Teman - temanku kan cewek semua..." Balas
Intan.

"Ya sudah kalau begitu aku berangkat dulu. Assalamu'alaikum." Ujar Ricko lalu
mengulurkan tangannya pada Intan. Intan pun mencium punggung tangan
Ricko.

"Wa'alaikum salam..." Balas Intan. Ricko mencium kening Intan.

Setelah Ricko pergi, Intan masuk ke dalam rumah untuk membersihkan rumah
sebelum teman - temannya datang. Tanpa Intan dan Ricko sadari, saat mereka
di halaman tadi ada seseorang yang mengambil gambar dan video mereka. Kini
gambar dan video itu dengan cepatnya sudah singgah di ponsel Rossa melalui
aplikasi whatsapp.

"Ricko... aku tidak pernah mendengar pernikahanmu. Tapi kini kamu sudah
tinggal satu atap dengan seorang wanita. Apa dia calon istrimu? Sepertinya dia
masih umur belasan tahun?" Gumam Rossa sambil tersenyum sinis setelah
melihat foto dan video dari ponselnya kiriman orang suruhannya.

Setelah itu Rossa bersiap - siap untuk pergi ke stasiun televisi. Karena dia
seorang model terkenal, sangat mudah baginya untuk masuk ke stasiun televisi
manapun.

Setelah membersihkan rumah dan mandi, Intan menunggu kedatangan ketiga


temannya sambil menonton televisi. Tidak berapa lama Vina dan Rita datang.

"Eh Melly belum datang?" Tanya Rita yang biasanya melihat Melly datang
duluan.

"Belum. Masuk dulu yuk. Ngobrol di dalam." Jawab Intan mengajak kedua
temannya masuk.

Sesampainya di ruang tengah, Intan menyerahkan papper bag pada mereka.


Vina segera membuka papper bag itu dan membelalakkan matanya.

"Wuaaaah banyk amat Ntan?" Ujar Vina takjub.

"Ambil satu - satu ya... jangan rebutan!" Balas Intan.

"Siap Bos!" Jawab Rita.

Tidak berapa lama bel rumah Intan berbunyi. Intan pun pergi ke ruang tamu
untuk membuka pintu. Setelah Intan membuka pintu, tampaklah wajah Melly.
Intan pun segera mengajaknya masuk ke ruang tengah dimana Rita dan Vina
berada.

"Tumben datang duluan?" Tanya Melly yang melihat Rita dan Vina sudah tiba
lebih dulu darinya.

"Kamu aja yang telat. Nich pilih sendiri!" Ujar Rita sambil menyerahkan papper
bag pada Melly. Melly menerima dan membukanya.

"Vin, kamu bawa laptop kan? Nonton yuk?" Tanya Rita pada Vina.

"Boleh. Tapi kamu jangan kaget ya kalau lihat video di laptopku?" Ujar Vina
sambil tersenyum misterius.

"Alah... kaget apaan? Kita kan sudah pernah menontonnya?" Balas Rita nggak
sabar. Vina pun mengeluarkan laptop dari tas nya dan menaruhnya di meja
lalu menyalakannya.

Intan, Rita, dan Melly mengerubungi Vina yang sedang menyalakan laptopnya.
Vina menyalakan laptopnya sambil menahan tawa. Ia sudah bisa
membayangkan bagaimana ekspresi teman - temannya nanti jika tahu isi video
di laptopnya.

"Eh aku kebelet nich... kalian mainkan sendiri ya? Aku ke toilet dulu." Ujar Vina
pada teman - temannya.

"Okey!" Balas Rita bersemangat lalu maju menggantikan Vina di depan laptop.

"Makan tu film Upin & Ipin dan teman - temannya sampai puas!" Gumam Vina
sambil cekikikan sendiri menuju toilet.

Setelah masuk ke dalam toilet Vina mendengar Rita berteriak.

"Vin... kamu simpan dimana sich videonya?" Tanya Rita sambil berteriak dan
tetap mencari - cari video di laptop Vina.

"Cari aja sampe ketemu Rit!" Jawab Vina dari dalam toilet sambil cekikikan di
dalam toilet.
"Cari aja terus sampe gue jadi nenek - nenek juga nggak bakal ketemu. Gara -
gara tu video sialan gue sampe di jitak Kak Romi." Gumam Vina.

Rita benar - benar kesal. Karena sudah ngubek - ngubek laptop Vina berkali -
kali tapi hasilnya nihil. Yang ia temukan hanyalah film Upin & Ipin, Doremon,
Marsha & the Bear, Tayo dan kawan - kawanya.

“Gila! Aku nggak nyangka banget koleksi film Vina genrenya anak balita
semua.” Ujar Rita setelah putus asa mencari film dewasa di laptop Vina sambil
menyandarkan punggungnya ke sofa.

“Sama. Paling tidak film Korea atau Thailand kek. Wkwkwkw.” Balas Intan.

“Biarin ajalah guys… mungkin masa kecilnya kurang bahagia. Hahaha.”


Tambah Melly.

Vina mendengar semua percakapan mereka dengan kesal sambil berjalan


mendekat ke arah mereka.

“Ketawa terus sampe puas!!” Ujar Vina lalu duduk di samping Intan.

“Habisnya koleksi film kamu anak - anak semua Vin. Kamu kalau di rumah
suka nonton film animasi anak - anak gitu ya?” Tanya Rita.

“Kalian tahu nggak sih semua ini gara - gara aku ketahan Kak Romi nyimpen
film begituan. Jadi semua film dewasa di laptopku di hapus sama dia. Terus di
ganti film balita itu...” Jawab Vina sambil cemberut. Ketiga sahabatnya pun
tertawa terpingkal- pingkal.

“Untung kamu nggak di gorok Vin.” Ujar intan pada Vina.

“Mendinglah di gorok daripada di pekosa. Hwahahaha.” Tambah Rita lalu


ngakak.

“Eh diam deh guys tuh lihat berita di televisi!” Ucap Melly pada ketiga
sahabatnya.
Intan, Rita, dan Vina pun diam lalu fokus melihat ke acara berita di televisi. Di
sana Rossa sedang mengungkapkan kekasihnya secra terang - terangan bernama
RICKO ARGADINATA salah satu pemilik perusahaan terbesar se Indonessia
yang sangat low profil. Banyak yang mendengar namanya tapi tidak ada yang
tahu wajah Ricko. Rossa pun menunjukkan foto Ricko pada publik dan
memamerkan foto kebersamaan mereka.

Rossa juga mengunggah foto dan video Intan bersama Ricko tadi pagi. Dan
yang Rossa katakan adalah 'Ricko kumpul kebo dengan seorang gadis umur
belasan tahun'.

Intan benar – benar kesal melihat berita yang di buat Rossa. Ia mengepalkan
tangannya. Dadanya terasa sesak. Tubuhnya bergetar. Ia pun menangis.

“Ntan kamu kenapa?” Tanya Vina yang melihat Intan menangis.

“kamu nggakpapa kan Ntan?” Tanya Rita.

“Ntan… bicara dong…” Ujar Melly khawatir.

Tiba - tiba Intan pingsan. Rita, Vina, dan Melly terkejut. Mereka bingung harus
ngapain karena di rumah itu tidak ada siapa - siapa.

“Gimana ni?” Tanya Rita pada kedua sahabatnya.

“Kasih minyak angin deh kayaknya. Tapi dimana minyaknya? Ini kan bukan
rumah kita, jadi nggak tahu tempatnya.” Ujar Melly ikutan panik.

“Oh aku telpon Kak Romi aja. Kan Kak Romi kerja di perusahaannya suami
Intan tuh.” Seru Vina mendadak cerdas sambil mengacungkan jari telunjuknya
entah dapat wangsit dari mana.

“Cepetan dong Vin…” Seru Rita.

“Sabar napa? Tanganku juga gemetar nich!” Ujar Vina sambil mencari kontak
Romi di ponselnya.

Setelah menemukan kontak Romi, Vina segera melakukan panggilan telpon.


Karena sedang meeting, Romi tidak mengindahkan panggilan dari Vina.

‘Ngapain sih ni bocah? Tumben telpon - telpon saat aku kerja.’ Batin Romi
karena sedang ikut Ricko meeting.
Sudah tiga kali Vina menelpon Romi tapi tidak dijawab juga. Akhirnya Vina
mengirim pesan.

Vina : KAK, INTAN PINGSAN. CEPAT SAMPAIKAN SAMA SUMINYA!


KITA TUNGGU DI RUMAHNYA.

Romi pun membaca pesan dari Vina dan terkejut. Ia segera mendekati Ricko
dan membisikkan sesuatu. Ricko yang mendengarnya pun terkejut dan panik. Ia
bersyukur hari ini sahabat - sahabat Intan main ke rumahnya. Kalau tidak, siapa
yang akan menolong Intan dan memberitahunya. Ia pun menyerahkan urusan
meeting pada Romi.

Setelah itu Ricko segera berlari keluar dari ruang meeting dan turun
menggunakan tangga. Karena kalau menggunaakan lift akan membutuhkan
waktu lebih lama untuk menunggu.

Sesampainya di halaman rumah, Ricko segera turun dari mobilnya dan masuk
ke dalam rumah. Ia melihat Intan di tidurkan di sofa depan televisi dan teman -
temannya menungguinya duduk di lantai. Ketika Ricko datang mereka bertiga
segera berdiri.

"Kenapa Intan tiba - tiba bisa pingsan?" Tanya Ricko pada sahabat - sahabat
Intan. Karena yang Ricko tahu Intan wanita yang kuat. Meskipun ia
menghajarnya pagi, siang, dan malam, Intan tidak pernah pingsan, hanya
menangis saja.

"Tadi... Intan melihat berita di televisi. Terus menangis dan pingsan." Jawab
Rita ketakutan.

"Berita apa?" Tanya Ricko lagi dengan tegas.

"Ro Ro Rossali lin nda mengumumkan pada publik bahwa pacarnya adalah
Ricko Argadinata." Jawab Vina terbata - bata ketakutan juga.

"Ia juga mengunggah foto kalian dan... ia juga mengatakan bahwa kamu dan
Intan kumpul kebo." Tambah Melly suaranya semakin lirih di akhir kalimatnya.
Ricko pun diam dan berfikir sejenak.

"Kalian boleh pulang. Biar Intan aku yang urus!" Ujar Ricko pada ketiga
sahabat Intan. Melly, Vina, dan Rita pun terbirit - birit segera keluar dari rumah
Ricko.
Ricko segera menggendong Intan ke kamar lantai bawah dimana Intan tidur
awal menikah dulu. Setelah itu mengoleskan minyak angin pada hidung,
kepala, telapak tangan dan kaki serta perut Intan.

Di luar rumah Vina, Rita, Melly ngos - ngosan setelah keluar dari rumah Ricko.

"Busyet dah. Suaminya Intan nyeremin banget ya kalo marah?" Gumam Vina
setelah mengatur nafasnya.

"Iya. Kakiku sampe gemetaran nich!" Balas Rita dengan posisi memegangi
lututnya.

"Mungkin takut terjadi apa - apa sama Intan. Yuk pulang aja deh!" Ajak Melly
lalu menuntun motornya keluar di ikuti Rita dan Vina.

Di dalam kamar, Ricko menunggu Intan sadar sambil duduk di tepi ranjang.
Tidak berapa lama Intan pun sadar. Ia mengernyitkan dahi lalu membuka mata
dan memegangi pelipisnya.

"Kamu sudah sadar?" Tanya Ricko sambil memegangi tangannya.

Intan memandangnya sebentar lalu mengalihkan pandangannya ke tempat lain


dan menepis tangan Ricko. Ricko merasa heran kenapa Intan tiba - tiba marah
padanya.

"Aku mau pulang!" Ujar Intan tiba - tiba.

"Kenapa tiba - tiba ingin pulang?" Tanya Ricko heran.

"Pokoknya aku mau pulang Mas!" Jawab Intan kekeh pada kemauannya.

Ricko pun mendekatkan wajahnya ke wajah Intan dan menempelkan dahi serta
hidungnya ke wajah Intan. Intan memejamkan matanya.

"Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku sendiri disini. Masalah Rossa aku akan
mengurusnya besok. Jangan marah lagi..." Ucap Ricko lirih. Intan pun
menganggukkan kepalanya.
Sore hari setelah Ricko melihat berita tentang Rossa di internet, ia
menghubungi Romi untuk mengadakan konferensi pers besok di hotel Raflesia
miliknya. Ia tidak mau masalahnya berlarut - larut. Ia akan mengumumkan
pernikahan yang ia lakukan secara sembunyi - sembunyi dengan Intan supaya
tidak ada gosip dan salah paham lagi. Ia juga akan melaporkan Rossa ke kantor
polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Ke esokan harinya Ricko mengajak Intan menghadiri konferensi pers yang ia


adakan di hotel Raflesia. Tidak lupa ia membawa surat nikah mereka sebagai
bukti bahwa pernikahan mereka sah secara hukum dan agama.

Sesampainya di halaman hotel, ketika Ricko dan Intan turun dari mobil, banyak
wartawan mengerubunginya. Intan tidak terbiasa dengan wartawan dan kamera.
Ia merasa takut. Sehingga ia pun menyembunyikan wajahnya di balik bahu
Ricko.

Ricko segera merangkul bahu Intan dan mengajaknya ke tengah taman dimana
konferensi pers di adakan.

Ricko ingin mengadakan konferensi pers di taman hotel agar suasananya lebih
segar dan luas. Ia juga sudah menyiapkan banyak keamanan termasuk security
dan polisi untuk berjaga - jaga.

Ricko dan Intan pun naik ke atas panggung kecil - kecilan yang tersedia.
Setelah itu Ricko memakai kacamata karena silau sinar matahari pagi dan
menerima microfon yang diberikan Romi.

"Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh. Selamat pagi semuanya.


Terima kasih sudah menghadiri konferensi pers ini. Langsung to the point saja.
Saya ingin meluruskan berita yang beredar tentang saya kemarin.

Memang saya pernah berpacaran dengan model bernama Rossalinda. Tapi


ketika ia pergi ke Singapura beberapa bulan yang lalu, saya sudah mengakhiri
hubungan kami.

Dan saya juga tidak pernah kumpul kebo seperti yang diberitakan. Wanita di
video dan foto itu adalah istri saya. Dan sekarang ia berdiri di samping saya.

Saya memang belum mengadakan pesta pernikahan dikarenakan papa saya


masih sakit dan sekarang sedang dirawat di Singapura.
Saya sudah menikah empat bulan yang lalu. Kalian bisa lihat tanggal di surat
nikah ini. (Ricko membuka surat nikahnya dan menunjukkannya pada publik).
Dan bisa cek langsung ke KUA.

Saya memang belum mengumumkan pernikahan ini karena istri saya masih
sekolah dan akan lulus tahun ini.

Siapapun yang berani mencemarkan nama baik saya dan keluarga saya. Saya
tidak akan segan - segan untuk menuntutnya. Ada pertanyaan?" Ujar Ricko di
atas panggung dengan microfon di tangannya.

Semua wartawan dan penonton yang hadir tidak ada yang berani mengeluarkan
suara. Mereka percaya seseorang yang terhormat dan kaya seperti Ricko tidak
akan melakukan hal memalukan seperti yang diberitakan kemarin. Karena itu
bisa mempengaruhi image dan bisnis mereka.

Intan memandang wajah Ricko dan tersenyum. Ricko pun menatap wajah Intan
lalu menggenggam tangannya.

Sejujurnya sampai saat ini, Ricko belum mencintai Intan. Tapi ia berusaha
menjadi suami yang baik untuk istri kecilnya. Ia akan menyayangi, melindungi,
dan menjaga Intan semampu yang bisa ia lakukan. Bagaimana pun suatu saat
nanti Intan akan menjadi ibu dari anak - anaknya. Ia sudah menitipkan benih -
benih anak manusia pada rahim Intan. Kapan benih itu akan tumbuh hanya
Tuhan yang tahu.

Di rumah, Rossa melihat siaran langsung konferensi pers yang di adakan Ricko
melalui televisi di depannya. Ia sangat marah sekaligus malu.

Kemarin ia mengumumkan hubungannya dengan Ricko kepada publik supaya


Ricko mau kembali padanya dan mengakui hubungan mereka.

Tapi sekarang Ricko malah mengumumkan pernikahannya secara terang -


terangan kepada publik. Ia juga meluruskan bahwa wanita yang di kabarkan
kumpul kebo dengannya adalah istrinya.

"Brengsek kamu Rick!" Maki Rossa lalu melempar gelas di tangannya ke


lantai.
Ia pun menangis tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia sangat
berharap sekali bisa menjadi nyonya di keluarga Argadinata. Tapi sayangnya
posisi itu sudah di rebut Intan gadis polos yang masih berstatus pelajar.

Tidak berapa lama beberapa polisi datang mencari Rossa di rumahnya. Ricko
melaporkan Rossa atas tuduhan pencemaran nama baik yang dilakukannya
kemarin. Ricko memang laki - laki yang lembut dan penuh kasih sayang. Tapi
jika seseorang itu mengusik ketenangan hidupnya, ia akan mengejar orang itu
sampai dapat, kemanapun ia pergi.

Setelah konferensi pers selesai, Ricko segera pergi ke perusahaan karena siang
ini ia ada meeting dengan klien. Ia menitipkan Intan pada Romi.

Setelah Intan berganti pakaian di kamar mandi hotel, Romi mengajaknya makan
siang. Intan menurut saja karena memang perutnya sudah lapar karena gugup
sejak tadi pagi.

Ini pertama kalinya Intan tampil di depan publik dengan banyak kamera dimana
- mana. Kini wajahnya sudah terkenal di seluruh Indonesia sebagai Nyonya
Ricko Argadinata.

Pihak sekolah pun kini mengetahuinya juga bahwa Intan telah menikah. Tapi
karena Intan sudah lulus hanya tinggal wisuda saja, jadi mereka
memakluminya.

“Mau makan dimana?” Tanya Romi pada Intan setelah mereka masuk ke dalam
mobil.

“Terserah Mas Romi aja. Aku bisa makan apa saja.” Jawab Intan sambil
tersenyum.

Romi pun mengemudikan mobilnya ke depot pinggir jalan yang makanannya


terkenal sangat enak. Jadi meskipun tempatnya tidak sebesar restoran, tapi
selalu ramai pengunjung.

Setelah mendapatkan tempat duduk, Romi dan Intan memesan beberapa


makanan dan minuman. Sambil menunggu makanan datang , Romi mengajak
Intan bicara.

“Bolehkan aku bertanya sesuatu?” Tanya Romi pada Intan.


“Tentu. Ada apa Mas?” Tanya Intan sambil memandang ke arah Romi.

“Kenapa kamu tiba – tiba bisa menikah dengan Ricko di saat masih sekolah?”
Tanya Romi ingin tahu. Sudah lama ia penasaran kenapa Ricko tiba – tiba
menikah dengan Intan.

“Kita di jodohkan. Awalnya aku juga nggak mau menikah dengan Mas Ricko.
Tapi Bapak memaksaku. Aku bahkan tidak tahu wajah Mas Ricko seperti apa
waktu itu. Untungnya Mas Ricko orangnya baik. Jadi aku merasa nyaman
meskipun menikah secara paksa.” Jawab Intan sambil mengenang kejadian
ketika awal menikah.

“Apa kamu sekarang sudah mencintainya?” Tanya Romi lagi.

“Belum. Tapi aku menyayanginya. Dia laki – laki yang sangat baik. Aku
merasa bersyukur karena pilihan orangtuaku tidak salah.” Balas Intan sambil
tersenyum.

Tidak berapa lama makanan pesanan mereka datang. Romi pun mengajak Intan
berfoto dulu sebelum makan.

“Mmmm ini enak. Kapan – kapan aku akan mengajak Mas Ricko makan kesini
lagi!” Gumam Intan setelah memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Romi
yang melihatnya pun tersenyum.

‘Betapa polosnya dia...' Batin Romi.

Setelah selesai makan, Romi mengajak Intan kembali ke perusahaan sesuai


dengan perintah Ricko.

Sesampainya di perusahaan, ketika Intan berjalan memasuki perusahaan semua


karyawan dan security yang berpapasan dengan Intan menunduk hormat
padanya.

Kini semua karyawan tahu bahwa Intan adalah istri dari atasan mereka. Mereka
tidak mau mencari masalah dengan nyonya besar dari perusahaan tempat
mereka bekerja.

Intan jadi merasa canggung karena perubahan sikap karyawan terhadapnya. Ia


pun segera masuk ke dalam lift bersama Romi menuju lantai dimana Ricko
berada.

“Eh nggak nyangka ya Pak Ricko type nya suka yang ABG gitu...” Ujar Wina,
wanita yang bekerja sebagai resepstionis setelah Intan dan Romi masuk ke
dalam lift.

“Enak kale daun muda. Rasanya manis nggak alot kayak yang udah tua.
Hahaha.” Balas Rini teman Wina yang menjaga di meja depan.

“Padahal yang aku tahu Pak Ricko kan pacaran sama model bernama Rossa itu.
Ia sering datang keluar masuk perusahaan ini secara bebas.” Ujar Wina.

“Iya sama. Aku juga mikirnya gitu. Tapi tiba – tiba Pak Ricko mengumumkan
kalau ia sudah menikah. Aduh hancurnya hatiku. Kenapa Pak Ricko nggak
pernah melirik aku ya?” Guman Rini.

“Woi ingat anak dan suami di rumah. Wkwkwk.” Ujar Wina pada Rita.

Sesampainya di depan pintu ruangan kantor Ricko, Intan langsung masuk


tanpa mengetuk pintu. Intan mengira Ricko masih meeting dengan kliennya.
Ternyata Ricko sudah di ruangannya berdiri menghadap jendela menunggu
kedatangan Intan.

“Dari mana saja?” Tanya Ricko saat Intan sudah masuk ke ruangannya.r

“Makan Mas... sama Mas Romi.” Jawab Intan lalu duduk di sofa seperti
biasanya.

“Nggak di apa – apain kan?” Tanya Ricko curiga.

“Enggak Mas. Cuma makan setelah itu langsung kesini. Kamu kenapa?” Tanya
Intan sambil menyandarkan punggungnya pada sofa.

“Dia menyukaimu. Bisa saja dia melakukan sesuatu yang tidak – tidak padamu
di belakangku.” Jawab Ricko lalu duduk di samping Intan.

“Ih Mas Ricko parno an deh...” Balas Intan sambil mentoel hidung Ricko.

Tiba – tiba Ricko mencium bibir Intan dan mendorongnya tidur di sofa. Intan
yang mendapat serangan mendadak tentu saja terkejut.

“Mas Ricko mau ngapain?” Tanya Intan setelah Ricko melepas ciumannya.

“Seperti biasa. Masa’ nggak ngerti sich?” Jawab Ricko sambil mengedipkan
sebelah matanya dan tersenyum.

“Kunci dulu pintunya Mas. Aku nggak mau kejadian waktu itu terulang lagi.”
Balas Intan. Ia masih ingat kejadian dimana Romi memergokinya sedang
bermesraan di ruangan kantor Ricko. Intan juga tidak akan pernah menolak di
ajak Ricko wik wik wik dimanapun. Karena kata pak haji nanti berdosa kalo
nolak ajakan suami.

“Sudah.” Jawab Ricko lalu mencium Intan lagi. Karena sebelum ia berjalan ke
sofa tadi, ia sudah mengunci pintunya menggunakan remote control di
mejanya.

Akhirnya lagi – lagi mereka melakukan wik wik wik di dalam kantor Ricko.

Ke esokan harinya setelah Ricko pergi bekerja, Intan mengendarai motornya


pulang ke rumah orangtuanya. Sudah 2 minggu Intan belum bertemu ibunya.
Ia merasa sangat rindu, sehingga ia ingin pulang menemui ibunya.

“Assalamu’alaikum Bu...” Ucap Intan sambil mencium punggung tangan ibunya


ketika sudah sampai di rumahnya.

“Wa’alaikum salam. Ayo masuk dulu. Banyak yang mau ibu bicarakan!” Ajak Bu
Romlah sambil menarik tangan Intan masuk lalu menutup pintunya dan duduk
di sofa ruang tamu.

“Ada apa Bu?” Tanya Intan heran.

“Kemarin lusa bapak sama ibu lihat berita kamu dan Ricko di televisi. Bapakmu
sangat marah Nak. Untungnya Ricko segera menelpon dan menjelaskan
semuanya. Kalau tidak, bapakmu mau berangkat ke rumah Ricko dan
menjemputmu pulang.” Jawab Bu Romlah menjelaskan yang terjadi di
rumahnya kemarin lusa.

“Lalu?” Tanya Intan lagi.


“Ya bapakmu sebenarnya masih marah sama Ricko. Semua teman bapakmu
dan tetangga kita pada ngomongin keluarga kita. Mereka bilang ‘bisa – bisanya
anaknya Pak Ramli jadi wanita simpanan.’ Bapakmu malu Ntan. Untungnya
kemarin Ricko sudah menjelaskan semuanya kepada publik. Jadi kita sekarang
sudah merasa lega.” Jawab Bu Romlah.

“Syukurlah kalau begitu Bu. Oh iya Bu, pohon mangga yang di belakang
berbuah kan? Intan pengen makan rujak mangga muda sama ibu kayak dulu.”
Ujar Intan pada Bu Romlah.r
“Ada Ntan. Eh kamu nggak ngidam kan? Apa kamu hamil?” Tanya Bu Romlah.

“Eh... Enggak kok Bu. Hehehe. Intan kangen sama Ibu.” Jawab Intan lalu
memeluk ibunya.r

“Bentar. Ibu bikinin bumbunya di belakang dulu ya. Kamu istirahat saja di
kamar.” Ujar Bu Romlah lalu beranjak pergi ke dapur.
Intan pun pergi ke kamarnya merebahkan punggungnya sambil mengingat –
ingat kapan waktu haidnya datang lagi.

“Harusnya minggu – minggu ini. Kenapa belum datang juga ya? Apa aku
hamil?” Gumam Intan sambil mengelus perutnya yang rata.

Setelah selesai membuat rujak, Bu Romlah masuk ke kamar Intan hendak


mengajaknya makan rujak di meja makan dapur. Ia melihat Intan duduk di tepi
tempat sedang termenung. Bu Romlah pun menghampirinya dan ikut duduk di
tepi tempat tidur Intan
“Kamu kenapa melamun?” Tanya Bu Romlah sambil membelai punggung
Intan.

“Bu... kalo hamil tandanya gimana ya?” Tanya Intan pada ibunya.

“Kamu hamil?” Tanya Bu Romlah sambil tersenyum.

“Intan nggak tahu Bu. Kalo Intan hamil gimana?” Tanya Intan khawatir.r

“Kenapa kamu khawatir? Kan kamu sudah menikah. Jadi tidak perlu takut
ataupun malu. Kecuali kamu hamil di luar nikah. Bisa – bisa di gorok sama
Bapakmu Ntan. Hahaha.” Ujar Bu Romlah lalu tertawa.
Intan sudah bisa membayangkan gimana kalo bapaknya ngamuk menahan
malu. Ia pun tersenyum canggung pada ibunya. Setelah itu Intan dan Bu
Romlah ke dapur untuk menikmati rujak mangga muda buatan Bu Romlah.

Sore hari ketika Intan pulang dari rumah ibunya, ia ingin mampir ke apotek
terlebih dahulu untuk membeli tespack. Tapi ia malu dan takut untuk
membelinya. Ia pun menghentikan motornya di depan sebuah swalayan. Ia
duduk di lantai depan swalayan sambil melipat lututnya dan memeluk kedua
bahunya.

“Apa yang harus aku lakukan?” Gumam Intan sambil menghembuskan


nafasnya dengan kasar. Ia memang tidak terlalu mual lagi beberapa hari ini
karena ia mengonsumsi obat maag. Ia mengira asam lambungnya sedang naik,
sehingga ia merasa mual dan muntah beberapa hari yang lalu.r

Tidak berapa lama, seorang laki – laki keluar dari dalam swalayan dan melihat
Intan sedang duduk sendirian. Ia pun menyapanya.

“Intan?” Sapa laki – laki itu. Intan pun menoleh ke arah sumber suara.

“Adit?” Balas Intan setelah tahu siapa yang memanggilnya.

“Kenapa kamu duduk disini?” Tanya Adit setelah duduk di samping Intan.

“Aku baru pulang dari rumah ibuku. Karena lelah jadi aku istirahat sebentar
disini.” Jawab Intan bohong.

“Nich minum!” Ujar Adit sambil menyerahkan minuman pada Intan. Intan pun
menerimanya.r

“Makasih Dit...” Balas Intan sambil membuka penutup botol lalu meminumnya.

“Kemarin aku sudah melihat berita tentangmu. Sebenarnya aku juga khawatir
denganmu. Tapi aku sadar kamu sudah menikah. Jadi aku hanya mendoakan
yang terbaik untukmu.” Ujar Adit lalu berdiri dan tersenyum.r

“Makasih Dit. Dan... maaf sudah membuatmu kecewa.” Balas Intan sambil
memandang Adit.

“Tidak apa - apa. Ayo pulang. Ini sudah senja. Apa kamu berani pulang
sendiri?” Tanya Adit sambil tersenyum pada Intan.
“Iya Dit.” Jawab Intan lalu berdiri dan berjalan ke arah motornya. Setelah itu
mereka pergi menggunakan motor masing – masing ke arah yang berbeda.

Sesampainya di rumah, Intan melihat mobil Ricko sudah di dalam garasi. Ia pun
segera masuk ke dalam rumah dan melihat Ricko sedang duduk di sofa ruang
keluarga.

“Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang?” Tanya Ricko seraya berdiri.

“Dari rumah Ibu Mas.” Jawab Intan sambil memasang wajah melas supaya
Ricko tidak marah. Tidak mungkin ia mengatakan kalau habis ketemu Adit.
Bisa – bisa keluar tanduk dari kepala Ricko.r

“Oke. Mandilah!” Ujar Ricko lalu kembali duduk dan menonton televisi. Intan
segera naik ke lantai atas dan masuk ke kamarnya untuk mandi.r

“Huft! Untung Mas Ricko nggak tanya lebih detail lagi.” Gumam Intan.

Ke esokan harinya ketika bangun pagi, Intan merasa sangat mual. Ia pun segera
bangun dan berlari ke dalam kamar mandi.

Huek... huek... huek... Intan memuntahkan isi perutnya hingga perutnya terasa
sakit. Ia hanya memuntahkan air berwarna kekuningan karena lambungnya
belum terisi makanan apapun.

"Pahit dan asam sekali..." Gumam Intan setelah membasuh dan mengusap
bibirnya.

Ricko yang tadinya masih tidur, jadi terbangun karena mendengar Intan muntah
- muntah di dalam kamar mandi. Ia pun bangkit dan menghampiri Intan ke
dalam kamar mandi.

"Kamu sakit?" Tanya Ricko.

"Nggak tahu Mas. Tiba - tiba mual. Mungkin kebanyakan makan rujak mangga
muda sama ibu kemarin." Jawab Intan sambil memegangi perutnya.

"Aku kan sudah bilang jangan makan rujak lagi. Malah di ulangi lagi. Terlalu
sering muntah wajahmu semakin pucat." Ujar Ricko pada Intan.
"Mas, dari pada kamu ngomel mulu mending cepat mandi deh. Bau tubuhmu
bikin aku makin mual!" Balas Intan lalu memuntahkan isi perutnya lagi.

"Kenapa setiap kamu muntah selalu menyalahkan bau tubuhku?" Tanya Ricko
tidak terima karena ia merasa tidak bau badan sambil memijit tengkuk Intan
yang sedang muntah.

"Aku juga tidak tahu Mas. Beneran aku merasa mual kalo deket sama Mas
Ricko." Jawab Intan setelah membasuh mulutnya.

"Ayo kita ke rumah sakit hari ini. Aku yakin ada yang tidak beres dengan
hidung atau syarafmu." Ujar Ricko lalu melepas kaosnya bersiap - siap untuk
mandi.

"Nggak mau. Aku nggak mau ke rumah sakit Mas!" Tolak Intan lalu
melangkahkan kakinya hendak keluar kamar mandi. Tapi tangannya di tarik
Ricko.

"Hey mau kemana? Ayo mandi!" Ujar Ricko lalu mengangkat tubuh Intan dan
memasukkannya ke dalam bath up. Setelah itu melucuti pakaiannya dan mandi
bersama.

Setelah sarapan pagi, Ricko beneran mengajak Intan ke rumah sakit. Ia ingin
Intan di periksa secara menyeluruh supaya tahu apa yang sebenarnya terjadi
pada tubuh Intan.

Intan benar - benar tidak bisa menolak dan mengelabuhi Ricko kali ini.
Terpaksa ia pun ikut ke rumah sakit untuk memeriksakan tubuhnya.

Sesampainya di parkiran rumah sakit, jantung Intan sudah berdebar - debar


karena kali ini ia ke rumah sakit bukan untuk menjenguk orang sakit, melainkan
untuk memeriksakan tubuhnya sendiri.

Belum di periksa, tapi Intan sudah membayangkan yang tidak - tidak. Ia


membayangkan kalau ia mengidap penyakit kanker otak, tumor hidung, maag
kronis, dan penyakit yang berbahaya lainnya. Setelah itu penyakitnya semakin
parah, wajahnya berubah menjadi semakin jelek, terus meninggal, dan Ricko
menikah lagi.

"Kyaaaak! Tidak tidak tidak!!" Teriak Intan di dalam mobil sambil menaruh
kedua tangannya di masing - masing telinganya. Ricko nyengir sambil
menutupi telinganya mendengar teriakan Intan.

"Kamu kenapa? Teriak - teriak nggak jelas?" Tanya Ricko sambil melepas
sabuk pengamannya.

"Mas, kalo aku sakit parah dan meninggal kamu nggak akan menikah lagi kan?"
Tanya Intan pada Ricko.

"Tentu saja..." Jawab Ricko gantung.

"Tentu saja apa?" Tanya Intan penasaran.

"Tentu saja menikah lagi. Aku juga butuh goa untuk menjinakkan king
kobraku. Hahahaha." Jawab Ricko lalu tertawa. Intan pun meninju lengan bahu
Ricko.

"Awas aja kalo berani! Aku akan menghantui kalian sampe mati!" Ancam Intan
sambil melotot dan memajukan bibirnya. Ricko tertawa mendengar ancaman
Intan.

Setelah itu mereka turun dari mobil dan masuk ke pintu utama rumah sakit.
Setelah masuk ke lobby rumah sakit, Ricko menyuruh Intan duduk di kursi
tunggu, sedangkan ia mengambil nomor antrian di komputer. Di layar komputer
Ricko memilih medical check up lalu mengeklik tombol OK. Setelah itu
keluarlah nomor antrian yang menunjukkan angka 15. Ricko mengambilnya
lalu duduk di samping Intan.

Intan merasa sangat gugup. Tangannya terasa dingin karena ketakutan. Ricko
melihat kekhawatiran Intan itu. Ia pun memegang tangan Intan untuk
menenangkannya.

"Jangan takut. Kalau pun nanti kamu dinyatakan sakit parah, aku akan berusaha
menyembuhkanmu. Aku akan mencari dokter terhebat di seluruh dunia ini
untukmu." Hibur Ricko sambil tersenyum memandang Intan.

"Makasih Mas..." Ujar Intan lalu memonyongkan bibirnya hendak mencium


pipi Ricko.

"Eh mau ngapain? Ini di tempat umum. Nanti saja di rumah sekalian lanjut kuda
- kudaan." Ujar Ricko sambil mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum
nakal.

"Apaan sih Mas... pikiran kamu selalu saja menjurus kesana." Balas Intan
sambil cemberut.

20 menit kemudian, nomor Antrian Intan di panggil untuk melakukan


pendaftaran. Intan berdiri dan kemudian duduk di meja pendaftaran.

"Di isi dulu ya Mbak formulirnya..." Ucap pegawai yang melayani Intan di
meja pendaftaran.

Intan pun mengisi nama, tempat dan tanggal lahir, status perkawinan, serta
alamat ia tinggal.

"Keluhannya apa Mbak?" Tanya pegawai rumah sakit itu pada Intan.

"Mmmm mual dan muntah Mbak. Apalagi kalo dekat dengan suami rasanya
mual buanget." Jawab Intan.

"Sudah berapa lama?" Tanya pegawai itu lagi.

"Kurang lebih semingguan ini Mbak." Jawab Intan lagi.

"Kapan hari pertama menstruasi terakhirnya Mbak?" Tanya pegawai wanita itu
lagi.

"Lupa Mbak, pokoknya minggu ini harusnya sudah menstruasi lagi." Jawab
Intan.

"Kalau begitu saya alihkan ke poli kandungan saja ya Mbak, dari yang saya
lihat dari keluhannya sepertinya Mbak Intan sedang hamil. Untuk
memastikannya biar nanti di periksa dokter dulu." Ujar pegawai rumah sakit
pada Intan.

"Iya Mbak." Jawab Intan pasrah.

Setelah membayar uang pendaftaran, Intan menarik tangan Ricko ke ruangan


dimana poli kandungan berada. Intan menyerahkan lembar pendaftaran pada
perawat di depan pintu poli lalu duduk di kursi tunggu seperti pasien yang lain.
Ricko membaca tulisan di depan pintu poli yang bertuliskan "POLI
KANDUNGAN DAN GINEKOLOGI". Ia pun merasa bingung, karena tadi ia
mengambil nomor antrian untuk medical check up.

"Kenapa kesini? Kamu hamil?" Tanya Ricko pada Intan.

"Kata Mbak yang di depan tadi di suruh kesini. Mungkin pemeriksaannya di


mulai dari sini dulu Mas..." Jawab Intan. Ricko pun mengangguk mengerti.

Tidak berapa lama ponsel Ricko berdering. Ricko pun mengeluarkannya dari
saku dan melihat ID pemanggil lalu menjauh dari keramaian.

Ricko : "Hallo, ada apa?"

Romi : "Kenapa belum datang ke kantor?"

Ricko : "Aku mengantar Intan ke rumah sakit. Tolong handle perusahaan hari
ini seperti biasa ya? Laporannya aku tunggu di e-mail."

Romi : "Okey. Intan sakit?"

Ricko : "Mungkin. Setiap hari dia mual muntah terus. Aku merasa kasihan. Jadi
aku antar dia periksa."

Romi : "Oh seperti itu. Okey semoga cepat sembuh"

Setelah memutuskan panggilan telpon dengan Romi. Ricko kembali ke


kursinya.

"Masih lama ya?" Tanya Ricko pada Intan.

"Yaiyalah Mas... kamu nggak lihat berapa banyak ibu - ibu hamil yang duduk
disini sebelum kita datang?" Ujar Intan kesal.

"Ya ya aku melihatnya tapi tidak menghitungnya." Jawab Ricko.

Empat jam berlalu, tapi nama Intan belum di panggil juga. Hingga akhirnya
hanya dia dan Ricko yang tersisa di kursi tunggu.

Ketika pasien terakhir keluar dari ruang periksa, nama Intan pun akhirnya di
panggil juga. Ia dan Ricko masuk ke ruang periksa poli kandungan.
Setelah masuk, Ricko dan Intan duduk di kursi depan dokter. Dokter membaca
data Intan terlebih dahulu.

"Keluhannya hanya mual muntah saja?" Tanya dokter pada Intan.

"Iya Dok." Jawab Intan.

"Usianya masih 18 tahun ya?" Tanya dokternya.

"Iya Dok." Jawab Intan lagi.

"Sudah berapa lama menikah?" Tanya dokter lagi.

"Hampir lima bulan." Jawab Ricko.

"Silahkan naik ke tempat tidur. Saya periksa dulu ya..." Ujar dokter kandungan
pada Intan sambil berdiri dan berjalan ke samping tempat tidur.

Intan naik ke tempat tidur dibantu seorang perawat. Tangan dan kaki Intan
terasa sangat dingin karena terlalu gugup.

"Permisi ya Mbak... " Ujar Perawat itu lalu menyingkap kaos Intan ke atas dan
menuangkan gel ke perut Intan. Intan merasakan gel itu dingin di perutnya.

Dokter pun melakukan USG ke perut Intan. Di layar komputer tampaklah biji
kacang di dalam lingkaran. Ricko dan Intan melihat itu, tapi mereka tidak
mengerti itu gambar apa.

Dokter pun menggeser alat USGnya ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke bawah
sekaligus mengabadikannya. Setelah itu dokter duduk kembali ke kursinya,
sedangkan perawatnya membersihkan gel di perut Intan.

Setelah duduk di kursinya, dokter menulis hasil dari pemeriksaannya di kertas.


Intan yang sudah di bersihkan segera turun dari tempat tidur dan duduk kembali
di samping Ricko.

"Jadi istri saya sebenarnya sakit apa Dok?" Tanya Ricko tidak sabar.
"Sakit?" Tanya dokternya heran sambil membetulkan letak kacamatanya.

"Iya. Kenapa dia muntah terus - terusan?" Jawab Ricko.

"Jadi kalian berdua tidak tahu kalau ada janin di sana? Istri anda hamil Pak."
Jawab dokter itu.

"Oh hamil..." Ujar Ricko santai sambil manggut - manggut.

"Apa Dok? Hamil?" Tanya Intan sambil membelalakkan matanya.

"Apa? hamil?" Ujar Ricko baru tersadar dan mengulangi kata - kata Intan
sambil menggebrak meja dokter dengan pelan.

"Iya. Selamat ya untuk kalian berdua. Usianya masih 4 mingguan. Harap di jaga
dengan sangat hati - hati." Jawab Dokter itu sambil tersenyum lalu menyalami
Ricko dan Intan.

"Terima kasih Dok." Jawab Ricko sambil tersenyum sangat bahagia. Justru
Intan yang terlihat tidak bahagia.

Di dalam mobil Intan hanya diam tidak bersuara. Sedangkan Ricko tersenyum
tiada henti. Ia tidak menyangka "ular India"nya seganas itu, sehingga "bisa"nya
bisa menghamili Intan dan sebentar lagi ia akan menjadi seorang ayah.

Beberapa hari yang lalu ia sempat bermimpi aneh. Di dalam mimpi itu, ia
sedang mandi di dalam sebuah kamar mandi. Tiba - tiba ada yang memanggil
"Pak Bapak". Ricko pun menghentikan aktivitas mandinya dan melihat ke
kanan kirinya tapi tidak ada siapa - siapa.

"Pak Bapak aku pengen jadi polisi..."

"Pak Bapak aku pengen jadi guru..."

"Pak Bapak..."

"Pak Bapak..."

"Pak Bapak..."

Ricko pun mendekati asal suara yang ternyata dari saluran pembuangan air
kamar mandi.
"Hwaaa anak - anakku." Gumam Ricko sambil mewek.

Ternyata mereka adalah kecebong - kecebong yang di buang Ricko sebelum


menikah dengan Intan. Hwahahaha.

Setelah itu Ricko terbangun karena terkejut dengan mimpi anehnya.

Setelah Ricko memarkirkan mobilnya di dalam garasi, Intan segera keluar dari
mobil dan masuk ke dalam rumah. Ricko mengejarnya dan menarik tangannya
supaya Intan menghentikan langkah kakinya. Intan pun menghentikan langkah
kakinya tanpa menoleh ke belakang. Matanya sudah berkaca - kaca.

"Kamu kenapa?" Tanya Ricko pada Intan.

"Mas Ricko senang kan sekarang?" Tanya Intan masih belum memalingkan
wajahnya ke Ricko.

"Tentu saja. Akhirnya aku tidak perlu bohong lagi sama papa." Jawab Ricko
lalu mendekati Intan.

"Kenapa kamu menangis?" Tanya Ricko sambil mengusap airmata Intan yang
mulai jatuh.

"Aku... nggak siap untuk semua ini Mas. Gimana kuliahku nanti? Aku malu
kalo kuliah dengan perut besar. Hiks" Jawab Intan sambil menangis.

"Kamu mau kuliah apa tidak?" Tanya Ricko serius pada Intan setelah
mengajaknya duduk di sofa ruang tengah.

"Tentu saja. Itu cita - citaku dari dulu Mas. Semuanya hancur gara - gara aku
menikah sama Mas Ricko!" Balas Intan kesal.

"Hey... dengarkan aku. Aku tidak pernah menghancurkan hidupmu. Aku


membiarkanmu melanjutkan sekolah dan kuliahmu. Maaf jika aku membuatmu
hamil terlalu dini. Tapi aku melakukannya demi papa. Kalau kamu malu untuk
datang ke kampus, kamu bisa kuliah secara online atau privat di rumah. Aku
akan mengaturnya. Jangan bersedih lagi. Kasihan anak kita. Okey?" Ujar Ricko
sambil membelai pipi Intan. Intan pun mengangguk.
"Oh iya kemasi barang - barang kita untuk 2 hari. Kamu ingin piknik kan? Kita
berangkat besok." Ujar Ricko sambil tersenyum.

"Benarkah? Iya Mas aku mau." Balas Intan. Ricko mengangguk dan tersenyum.
Ia tidak ingin Intan stres dan merasa terbebani dengan kehamilan di usianya
yang masih muda. Ia akan melakukan apapun asalkan Intan tidak
menyalahkannya karena sudah menghamilinya.

Ke esokan harinya setelah sarapan pagi, Ricko memasukkan kopernya ke dalam


bagasi mobilnya. Setelah itu ia membopong Intan berjalan ke arah mobilnya.

“Aku bisa jalan sendiri Mas.” Ujar Intan menepis tangan Ricko.

“Ya sudah. Obat mual dan vitaminmu sudah dibawa kan?” Tanya Ricko. Intan
mengangguk lalu masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya.

‘Sabar - sabar... mungkin ini efek dari hormon kehamilannya. Untung saja
hamil anakku. Kalau tidak sudah aku...” Batin Ricko terputus karena di panggil
Intan.

“Cepetan dong Mas...” Ujar Intan dari dalam mobil.

“Iya...” Balas Ricko lalu masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya.

“Kita mau kemana sih Mas?” Tanya Intan pada Ricko ketika mobil sudah
melaju menjauh dari rumah mereka.

“Nanti kamu juga akan tahu sendiri.” Jawab Ricko sambil tetap fokus
mengemudi.

“Tinggal bilang aja pake rahasia segala.” Ujar Intan sambil cemberut karena
kesal.

Sebelum menuju ke lokasi, Ricko membelokkan mobilnya ke supermarket


untuk membeli beberapa bahan makanan.

“Kenapa kita kesini Mas?” Tanya Intan bingung.

“Kamu tunggu di mobil saja. Biar aku yang belanja.” Ujar Ricko pada Intan lalu
turun dari mobilnya. Intan memonyongkan bibirnya karena Ricko tidak
menjawab semua pertanyaannya dari tadi.
Setengah jam kemudian, Ricko sudah kembali dengan membawa 2 keresek
besar belanjaan di masing – masing tangannya. Setelah duduk di kursi kemudi,
Ricko memberikan ice cream cup pada Intan. Tentu saja Intan menerimanya.
Karena ice cream juga salah satu makanan favoritnya.

“Wuaaahh... makasih ya Mas. Tahu aja sich kalo aku lagi kepanasan.” Ujar
Intan setelah menerima ice cream dari tangan Ricko dan membuka tutupnya.

“Iya. Cepat habiskan sebelum meleleh.” Balas Ricko.

‘Huft. Padahal aku belikan dia ice cream supaya hati dan pikirannya adem. Gak
marah dan ngambek mulu.’ Batin Ricko.

Setelah itu Ricko menyalakan mesin mobilnya lalu melajukannya keluar dari
parkiran supermarket.

Setelah melewati jalan perkotaan selama 1 jam, kini mereka melewati jalan
pedesaan. Banyak pepohonan di kanan dan kiri jalan. Mereka semakin jauh
meninggalkan perkotaan dan semakin jauh masuk ke pedesaan hingga tidak
ada satu rumah pun di jalan itu. Ricko membuka kaca jendela mobil dan
mematikan AC.
Intan menghirup udara segar yang melewati hidungnya. Udara di sini berbeda
dengan udara di perkotaan. Karena disini lebih bersih dan alami.

“Kita mau ke mana Mas?” Tanya Intan lagi. Lagi – lagi Ricko tidak
menjawabnya. Intan pun memberengut kesal dan memicingkan matanya pada
Ricko.

Setengah jam kemudian Ricko memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah


kecil yang jauh dari desa. Ia mematikan mesin mobilnya lalu turun dari mobil.
Ricko menurunkan kopernya lalu membuka pintu Intan.

“Ayo turun. Kita sudah sampai.” Ujar Ricko sambil mengulurkan tangannya
untuk membantu Intan turun dari mobil.

Di samping rumah itu ada sebuah danau buatan yang sangat besar. Intan pun
mendekat ke danau itu sambil membentangkan tangannya lalu memejamkan
matanya dan menghirup udara sebanyak - banyaknya.
“Ini segar sekali...” Gumam Intan.

Ricko masuk ke dalam rumah kecil itu untuk menaruh kopernya. Tidak berapa
lama ia mengeluarkan meja dan kursi lalu menaruhnya di tepi danau. Ia juga
mengeluarkan beberapa peralatan masak seadanya dan menaruhnya di atas
meja. Intan menoleh ke arah di mana Ricko sedang sibuk menyiapkan semua
itu.

“Kemarilah...” Ujar Ricko sambil melambaikan tangannya.

Intan pun mendekat ke arah Ricko dan duduk di sebuah kursi yang di keluarkan
Ricko. Kini mereka duduk di kursi saling berhadapan yang di batasi meja
dengan beberapa alat dan bahan memasak di atasnya.

Intan pun mengerti maksud Ricko, ia segera memasak makanan di atas meja
itu. Sambil menunggu masakan Intan matang, Ricko bertanya pada Intan.

“Apa kamu menyukainya?” Tanya Ricko pada Intan. Intan tidak menjawabnya.
Ia ingin balas dendam pada Ricko yang tidak menjawab pertanyaannya sejak
tadi.r

“Hey... kenapa kamu diam saja?” Tanya Ricko pada Intan. Intan masih fokus
memasak dan tidak menjawab pertanyaan Ricko.

“Ya sudah ayo pulang saja kalo kamu tidak menyukainya.” Ujar Ricko seraya
berdiri.

“Aku menyukainya. Sangat menyukainya. Disini udaranya sangat segar. Aku


merasa lebih tenang.” Sahut Intan karena tidak mau pulang secepat ini. Ricko
pun duduk di kursinya kembali.

“Ini rumah siapa Mas?” Tanya Intan pada Ricko karena penasaran.

“Rumahku. Aku membeli tanah di sini. Lalu aku membuat danau dan
membangun rumah kecil ini. Setiap hari ada seseorang dari desa yang tidur di
sini untuk menjaga dan membersihkannya. Aku ke sini jika aku sudah merasa
bosan dan lelah dengan pekerjaanku untuk menjernihkan pikiranku.” Jawab
Ricko sambil memandang ke danau.
“Mas Ricko ke sini sama siapa? Rossa?” Tanya Intan menyelidik sambil
memicingkan matanya pada Ricko

“Tidak. Aku ke sini sendiri. Kamu orang pertama yang aku ajak ke sini.” Jawab
Ricko.

“Oh!” Balas Intan lalu menuang air pada gelas untuk membuatkan kopi untuk
Ricko dan susu untuknya sendiri.

Di supermarket tadi Ricko membeli susu ibu hamil untuk Intan, snack, buah,
dan makanan lainnya untuk hidup mereka selama 2 hari menginap di danau.

Setelah menghabiskan makan siang, kini mereka tengah beristirahat di kamar


tidur untuk menghilangkan penat karena perjalanan yang cukup jauh.

Sore hari Intan terbangun karena mendengar suara berisik. Ia pun segera
keluar dari kamar untuk mencari sumber suara.

“Mas Ricko ngapain?” Tanya Intan saat menemukan Ricko di teras belakang
rumah sedang berusaha menyalakan genset

“Di sini jauh dari desa dan tidak ada listrik. Jadi harus pakai alat ini untuk
mendapatkan penerangan.” Jawab Ricko sambil tetap berusaha
menyalakannya.

“APA??! Nggak ada listrik Mas?” Tanya Intan terkejut.

“Iya. Di sini juga banyak binatang buas dan berbisa. Jadi jangan jauh – jauh
dariku.” Jawab Ricko menakut – nakuti Intan sambil tersenyum misterius.

“APA??! Bi... binatang buas Mas? Kenapa Mas Ricko ngajakin aku kesini? Udah
jauh dari kota, nggak ada listrik, banyak binatang buas lagi. Apa Mas Ricko mau
membunuhku di sini? Biar nggak ada yang tahu gitu?” Tanya Intan sambil
memeluk lengan Ricko dan melihat sekeliling takut jika tiba – tiba ada binatang
yang mendekatinya.

“Kenapa kamu berpikir aku akan membunuhmu? Ngapain juga aku


membunuhmu harus jauh – jauh dan susah – susah datang kemari? Di rumah
pun aku bisa. Di sana ada ruang bawah tanah. Kamu tidak tahu?” Ujar Ricko
sambil berbisik di kalimat terakhirnya.

“Aku tidak tahu. Aku belum berkeliling dengan benar di rumah Mas Ricko. Ayo
masuk Mas. Aku takut di dalam sendirian.” Ajak Intan sambil menarik lengan
Ricko. Ricko pun ikut masuk setelah menyalakan gensetnya.

Malam hari setelah makan malam, Intan berbaring di tempat tidur. Ia


mengambil ponselnya untuk mengecek sosmednya, tetapi tidak ada signal
sama sekali. Ricko yang berbaring di sampingnya sudah memejamkan
matanya.

“Mas...” Panggil Intan.

“Hmmm.” Gumam Ricko masih memejamkan matanya.

“Kenapa nggak ada signal?” Tanya Intan sambil mengguncang ponselnya


berharap bisa menangkap signal.

“Memang tidak ada. Ini hutan di atas gunung. Bukan taman mini. Buang saja
ponselmu.” Ujar Ricko lalu mengambil ponsel Intan dan menaruh di meja
samping tempat tidur.

Setelah itu Ricko mendekatkan wajahnya ke wajah Intan lalu menciumnya.


Intan memejamkan matanya lalu membalas ciuman Ricko dan melingkarkan
kedua lengannya pada Ricko. Apalagi yang bisa ia lakukan di tengah hutan
selain bermesraan dengan Ricko. Main ponsel nggak ada signal, mau jalan –
jalan malam di luar sangat gelap dan banyak binatang buas.

‘Anggap saja ini bulan madu. Meskipun di dalam hutan. Tapi romantis juga.’
Batin Intan.

Tangan Ricko mulai nakal menggerayangi tubuh Intan ke mana - mana. Intan
sudah tahu ini akan berakhir bagaimana.

“Apa aku boleh melakukannya?” Tanya Ricko sambil berbisik di telinga Intan.r

“Tumben pake tanya segala? Biasanya juga langsung buka baju, langsung naik,
langsung aah...” Ujar Intan sewot.
“Sekarang berbeda. Kamu sedang hamil. Aku tidak mau menyakitimu dan
anakku. Aku juga tidak mau kamu keguguran karena keegoisanku.” Balas Ricko
sambil tersenyum dan membelai perut Intan yang masih rata.

“Okey!” Ujar Intan.

“Okey apa?” Tanya Ricko bingung karena jawaban Intan bermakna ambigu.

“Mari kita tidur. Aku tidak mood untuk bercinta di sini. Aku takut ada binatang
buas yang masuk di tengah – tengah percintaan kita. Aku juga tidak mau
berlarian ke sana kemari dalam keadaan telanjang.” Jawab Intan
membayangkan yang tidak - tidak.

“Khayalanmu tinggi juga. Hwahahaha.” Ujar Ricko lalu tertawa terbahak -


bahak.

Sejujurnya Ricko hanya membohongi Intan tentang adanya binatang buas di


sana, kalau ular mungkin ada supaya Intan tidak pergi jauh – jauh darinya.
Kalau Intan pergi dan tersesat, itu akan membuatnya semakin repot.r

“Ya sudah. Ayo tidur!” Ujar Ricko lalu membenarkan posisi selimut pada tubuh
Intan dan memeluknya. Intan tersenyum senang.r

‘Enak juga hamil. Mas Ricko jadi nuruti apa kemauanku. Hehehe.’ Batin Intan.

Pagi hari Intan terbangun karena mendengar suara burung – burung yang
berkicau. Ia pun bangkit dari tempat tidur lalu membuka jendela. Ia menghirup
udara segar pegunungan yang melewati hidungnya.

Di tempat ini semuanya serba alami. Udaranya segar dan bersih tidak ada
polusi. Bahkan listrik pun tidak bisa menjangkau tempat ini. Yang terdengar
hanya suara burung dan jangkring.

“Segar sekali udaranya. Nggak ada kebisingan, suasananya sangat tenang, indah
dan damai.” Gumam Intan sambil memandang pantulan sinar matahari yang di
pantulkan air danau dan air embun yang menetes dari dedaunan.

Ricko masuk ke dalam kamar dan melihat Intan sedang berdiri di depan jendela.
Ricko pun mendekat dan tiba – tiba memeluk Intan dari belakang.
“Apa kamu menyukainya?” Tanya Ricko. Intan menganggukkan kepalanya.

“Sangat. Aku sangat menyukainya Mas.” Balas Intan sambil tersenyum.

“Apa kamu sudah lapar?” Tanya Ricko pada Intan.

“Sedikit.” Jawab Intan.

“Minumlah susumu dulu. Aku sudah membuatkannya untukmu. Sebentar lagi


ayo kita ke danau untuk memancing ikan.” Ujar Ricko lalu menarik tangan
Intan ke luar kamar menuju meja makan di dapur.

Intan duduk di meja makan lalu meminum susu hangat yang di buatkan Ricko
untuknya. Ricko juga duduk di samping Intan untuk menghabiskan kopi yang ia
seduh tadi.

“Aku mau mandi dulu Mas...” Ujar Intan seraya berdiri setelah menghabiskan
susunya.

“Kamu yakin? Di sini airnya sangat dingin dan tidak ada mesin pemanas airnya.
Aku akan merebus air untukmu.” Ujar Ricko lalu bangkit untuk merebus air.
Intan pun kembali duduk di meja makan sambil menunggu air mendidih.

‘Enak juga kalo hamil gini. Mas Ricko jadi ekstra perhatian. Hehehe.’ Batin
Intan.

Tidak berapa lama air pun mendidih. Ricko membawanya ke dalam kamar
mandi dan mencampurnya dengan air dingin.

“Airnya sudah siap. Mandilah mumpung belum dingin.” Ujar Ricko setelah ke
luar dari dalam kamar mandi.

Intan pun segera mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Sambil
menunggu Intan selesai mandi, Ricko menyiapkan peralatan memancingnya.

Setelah Intan selesai mandi dan berganti pakaian, kini mereka sudah duduk di
tepi danau. Ricko sedang memegangi pancingnya dan menunggu ikan memakan
umpannya. Sedangkan Intan memakai topi pantai sambil berfoto – foto
menggunakan ponselnya.
“Emang di sini ada ikannya Mas?” Tanya Intan ragu karena dari tadi Ricko
belum juga mendapatkan ikan 1 ekor pun.

“Tentu saja ada. Ketika pertama kali membangun danau ini, aku memasukkan
beberapa jenis ikan di sini. Harusnya sekarang mereka sudah beranak pinak
menjadi banyak.” Jawab Ricko.

“Memangnya ikan apa saja Mas?” Tanya Intan penasaran.

“Gurami, mujair, lele, patin, dan...” Ucapan Ricko terputus yang membuat Intan
penasaran.

“Dan apa???” Tanya Intan sambil mengerutkan dahinya.

“Piranha...” Jawab Ricko sambil berbisik dan melirik Intan lalu menunggu
reaksinya.

“APA??? PIRANHA?! KYAAAAK!” Teriak Intan terkejut dan segera


mengangkat kakinya yang ia ceburkan ke dalam air.

“Hwahahahaha. Kenapa?” Tanya Ricko sambil tertawa.

“Aku tidak mau kakiku jadi makanan mereka. Bisa – bisa pulang dari sini aku
tidak bisa berjalan.” Jawab Intan sewot sambil memeriksa kakinya.

Tidak berapa lama pancing Ricko bergerak, ia pun segera mengangkat


pancingnya dan tampaklah ikan gurami yang sangat besar di ujung kailnya.

“Horeee!!! Akhirnya dapat ikan juga. Yeeiy!” Seru Intan senang.

Setelah mendapatkan 1 ekor ikan gurami yang besar, Ricko menyiapkan


perapian untuk membakar ikan. Sedangkan Intan membersihkan ikan itu dan
membumbuinya.

“Kapan kamu akan wisuda?” Tanya Ricko sambil membakar ikan di tangannya.

“Lima hari lagi Mas. Mas Ricko mau datang?” Tanya Intan.

“Tentu saja. Aku walimu sekarang. Lagian semua orang sudah tahu kalo kita
suami istri termasuk guru – guru di sekolahmu.” Jawab Ricko.
“Iya juga sich...” Ujar Intan membenarkan ucapan Ricko.

“Karena kamu wisuda lebih cepat dari yang aku perkirakan, pesta pernikahan
akan aku majukan menjadi 1 minggu lagi.” Ujar Ricko tiba - tiba.

“Kenapa mendadak sekali Mas?” Tanya Intan penasaran.

“Sekarang kamu sudah hamil. Semakin lama perutmu akan semakin


membesar. Kamu akan mudah lelah dan tidak menikmati pestanya.” Jawab
Ricko. Ia sudah memperkirakan semuanya dengan baik.

“Oh. Seperti itu?” Balas Intan.

Setelah merasa ikannya sudah matang, Ricko dan Intan menikmati ikan bakar
di bawah pohon tepi danau yang tenang. Yang terdengar hanya percikan air
danau karena ada ikan yang melompat, kicauan burung bernyanyi di atas
pohon, dan jangkrik. Embusan angin sepoi – sepoi terasa sangat sejuk dan
segar. Intan merasa sangat tenang dan damai di tempat seperti ini. Ia merasa
bersyukur Ricko mengajaknya ke tempat ini meskipun tidak ada signal dan
listrik.

Sore hari Ricko dan Intan kembali ke kota karena Ricko harus segera bekerja
esok hari serta mengurus dan mempersiapkan pesta pernikahannya.

Dalam perjalanan pulang, Intan tertidur di dalam mobil karena perjalanan


panjang yang membosankan. Malam hari mereka baru sampai di rumah.
Seperti biasa Ricko akan menggendong Intan ke kamar dan membaringkannya
di tempat tidur.

“Terlalu sering muntah, tubuhmu jadi semakin ringan. Maaf sudah


membuatmu tersiksa, dan terima kasih sudah mau mengandung anakku.”
Gumam Ricko setelah membaringkan tubuh Intan di tempat tidur lalu
menyelimuti tubuh Intan dan mengecup keningnya.

Setelah itu ia mengambil kopernya di dalam mobil dan membawanya masuk


ke dalam rumah lalu tidur di samping Intan.

Keesokan harinya Intan membuka matanya lalu menggeliat. Ia melihat ke


sekeliling dan baru menyadari kalau ia sudah berada di kamarnya. Ia pun
melihat ke samping dan melihat Ricko yang masih tertidur lelap. Wajahnya
terlihat sangat lelah sekali. Intan pun membelai wajah Ricko.

“Terima kasih Mas. Lagi – lagi kamu menggendongku ke tempat tidur. Maaf
selalu merepotkanmu.” Gumam Intan sambil tersenyum.

Setelah itu Intan bangkit dan pergi ke dapur untuk memasak seperti biasanya.
Tidak lupa ia juga membuat kopi untuk Ricko dan susu untuk dirinya sendiri.

Selesai memasak ia naik ke kamar lantai atas untuk mandi dan bersiap – siap
untuk pergi ke rumah orang tuanya setelah sarapan nanti.

Di kamar lantai bawah Ricko membuka matanya dan melihat Intan sudah tidak
ada di sampingnya. Ia segera bangun dan pergi ke dapur berharap menemukan
Intan di sana, tapi nyatanya ia tidak melihat Intan di sana juga.

Ia pun naik ke lantai atas dan menemukan Intan sedang menyisir rambutnya di
depan meja rias di kamarnya. Ricko merasa lega dan tersenyum.

“Kamu mau ke mana? Kenapa rapi sekali?” Tanya Ricko sambil mengerutkan
dahinya lalu duduk di tepi tempat tidur.

“Mau ke rumah ibu Mas. Mau memberitahu tentang pesta pernikahan kita.”
Jawab Intan.

“Biar aku antar setelah aku pulang kerja. Hari ini aku ada meeting yang tidak
bisa di tinggalkan.” Ujar Ricko.

“Lalu aku gimana? Di rumah sendiri seharian?” Tanya Intan.

“Ikutlah aku ke perusahaan atau mau ke rumah mama? Di sana ada Sita.”
Jawab Ricko.

“Terserah Mas Ricko aja. Segera mandi. Aku tunggu di bawah.” Ujar Intan
seraya berdiri lalu keluar kamar.

“Hmmm.” Gumam Ricko lalu masuk ke dalam kamar mandi.


Sudah setengah jam Intan menunggu Ricko di meja makan, tapi Ricko belum
muncul juga. Intan pun menyusulnya kembali ke lantai atas. Saat ia masuk ke
dalam kamar, ia melihat Ricko baru keluar dari dalam kamar mandi.

“Lama banget Mas?” Tanya Intan pada Ricko.

“Aku sakit perut.” Jawab Ricko sambil memegangi perutnya. Intan pun
mendekati Ricko.

“Mas Ricko habis makan apa?” Tanya Intan lagi.

“Sama seperti yang kamu makan.” Jawab Ricko lagi sambil membuka
handuknya untuk berganti pakaian.

“Mas Ricko masih mau kerja? Mas Ricko kan sedang sakit.” Ujar Intan sambil
membantu Ricko memakai kemejanya.

“Iya. Aku ada meeting penting hari ini. Setelah sarapan aku akan minum obat.”
Balas Ricko sambil mengancingkan lengannya.

“Kalau begitu aku ikut ke perusahaan saja Mas. Aku khawatir sama Mas Ricko.”
Ujar Intan tiba – tiba sambil memasang dasi di leher Ricko.

“Okey. Ayo turun!” Ajak Ricko setelah Intan membantu memakai jasnya.

Setelah sarapan Ricko dan Intan berangkat ke perusahaan bersama – sama.


Saat memasuki pintu utama lobby perusahaan, seperti biasa mata para
karyawan tertuju pada Ricko dan Intan. Intan berjalan memeluk lengan Ricko
dan berusaha tidak memperdulikan para karyawan yang menatapnya.

“Kamu tunggu di sini ya? Aku meeting di ruangan sebelah.” Ujar Ricko setelah
memasuki ruangan kantornya.

“Iya Mas.” Jawab Intan setelah duduk di sofa seperti biasanya.

“Kalau butuh sesuatu pakai telpon interkom saja. Tekan nomor 002 itu akan
terhubung ke Lia sekretarisku.” Ujar Ricko sebelum keluar dan menutup pintu.

“Iya Mas.” Jawab Intan lagi.


Saat Ricko membuka pintu ruang meeting, semua orang sudah menunggunya.
Mereka maklum dengan terlambatnya kedatangan Ricko karena kini Ricko
sudah menikah, pasti terjadi sesuatu pada malam harinya sehingga Ricko akan
bangun kesiangan. Ricko segera duduk di kursinya untuk memulai meetingnya.

“Maaf saya sedikit terlambat.” Ujar Ricko meminta maaf pada semua orang
yang hadir.

Satu jam berlalu, Intan mulai merasa bosan. Ia berdiri lalu berjalan ke dekat
jendela untuk melihat suasana jalanan kota. Ia merasa takjub dengan apa yang
ia lihat. Ia tidak menyangka bisa melihat segalanya dari ruangan itu. Ia juga
bisa melihat kampus di sebelah perusahaan Ricko dari ruangan itu.
“Waaah kampus itu sangat besar sekali. Tapi… sayang sekali aku hanya bisa
kuliah lewat online dan privat. Gara – gara aku hamil duluan. Andai aku bisa
kuliah di sana pasti aku akan punya lebih banyak teman.” Gumam Intan sambil
membelai perutnya.

Intan duduk di kursi Ricko dan menyandarkan punggungnya pada sandaran


kursi. Ia membayangkan betapa seru dan senangnya seandainya ia bisa kuliah
di kampus dengan bebas. Kini semua itu hanya angan – angan belaka setelah ia
menikah dan hamil anaknya Ricko.

“Huft… ya sudahlah. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Mau gimana lagi?” Ujar
Intan sambil menghembuskan nafasnya dengan kasar.rDua jam kemudian
Ricko masuk ke dalam ruangannya dan melihat Intan

sedang duduk di kursinya sambil termenung. Ia pun berjalan mendekati Intan


lalu memutar kursi Intan menghadap ke arahnya. Intan pun terkejut.

“Kenapa kamu melamun?” Tanya Ricko sambil berjongkok setelah menaruh


laptopnya di meja.

“Tidak Mas. Aku tidak melamun.” Jawab Intan sambil tersenyum.

“Apa kamu sudah lapar? Ayo kita makan.” Ajak Ricko karena ini sudah hampir
waktunya makan siang.

“Iya Mas.” Jawab Intan pasrah.


Ricko pun mengajak Intan makan di luar tepatnya di sebuah café yang dekat
dengan perusahaan. Ia sering makan di situ bersama Rossa saat mereka masih
pacaran dulu. Selain dekat dengan perusahaan, makanan di sana juga enak
dan pas di lidah Ricko.

Saat Ricko dan Intan memasuki café itu, ada sepasang mata yang
memperhatikan mereka. Ricko dan Intan duduk di kursi yang kosong. Setelah
itu ada seorang pramusaji yang menghampiri mereka.

“Silahkan... Ini buku menunya.” Ujar pramusaji itu sambil menaruh buku di
depan Ricko dan Intan.

“Aku mau es krim coklat dan salad buah ini Mbak.” Ujar Intan pada pramusaji
sambil menunjuk gambar di buku menu setelah membacanya beberapa menit.

“Saya steak dan cappuccino.” Ujar Ricko. Setelah mencatat dan mengulangi
pesanan Ricko dan Intan pelayan itu pergi.

Tidak berapa lama seorang wanita menghampiri meja mereka sambil


membawa segelas air putih. Setelah sampai di meja Ricko, wanita itu
menyiram kepala Intan dengan segelas air putih di tangannya.

Intan merasa terkejut karena tiba – tiba kepalanya di guyur air oleh seseorang.
Ricko pun menoleh ke arah wanita itu. Ia berdiri lalu melepas jasnya dan
menyelimuti tubuh Intan dengan jasnya.

“Rossa! Apa yang kamu lakukan?” Bentak Ricko pada wanita itu yang tak lain
adalah Rossa.

“Rick, sekarang kamu tega membentakku?” Tanya Rossa pada Ricko sambil
cemberut.

“Kamu menyakiti istriku. Asal kamu tahu, dia sedang mengandung anakku.”
Jawab Ricko sambil membantu Intan membersihkan kepalanya yang basah
dengan tissue. Intan hanya terdiam dan geram sambil menahan tangisnya.

“Hebat! Kamu bisa melakukan itu pada anak yang masih sekolah Rick? Betapa
murahannya dia. Hahaha.” Ujar Rossa sambil tertepuk tangan.
Intan yang dikatai “murahan” tentu saja tidak terima. Ia segera berdiri dan
menampar pipi Rossa sekeras - kerasnya. Ricko merasa terkejut dengan
tindakan yang dilakukan Intan. Ia benar – benar tidak percaya istrinya yang
polos berani menampar seseorang.

“Jaga ucapan Anda. Masih mending saya melakukannya dengan suami sah
saya. Dari pada Anda, belum menikah tapi sudah melakukan berkali – kali
dengan laki – laki yang berbeda – beda pula.” Ujar Intan lalu menarik tangan
Ricko keluar dari café.

Rossa yang diperlakukan seperti itu oleh Intan tentu saja geram, marah dan
tidak percaya. Hari ini ia di tampar seseorang yang lebih muda darinya. Ia
melotot sambil memegangi pipinya yang terasa kebas.

“Awas saja kamu. Tunggu pembalasanku!” Gumam Rossa lalu mengambil


tasnya dan pergi.

Di dalam mobil Intan menangis. Ini pertama kalinya ia di hina seseorang di


depan mata kepalanya sendiri. Hatinya terasa sakit. Ini juga pertama kalinya ia
menampar seseorang.

“Kenapa kamu menangis?” Tanya Ricko sambil mengemudi.

“Mas Ricko masih tanya kenapa?” Ujar Intan dengan marah.

‘Oh My God… Tanya salah. Nggak tanya apalagi? Nanti katanya cuek, nggak
perhatian. Memang ya laki – laki itu selalu salah di mata wanita. Aku kira itu
hanya pepatah, tapi sekarang aku merasakannya sendiri.’ Batin Ricko.

Ia pun berfikir apa yang di sukai wanita ketika sedang marah. Sambil
mengemudi Ricko melihat toko – toko di pinggir jalan dan ia pun menemukan
ide. Ia membelokkan mobilnya pada sebuah toko kue lalu mengajak Intan
turun dari mobil dan masuk ke dalam toko.

“Mau ngapain Mas?” Tanya Intan saat memasuki toko kue dan duduk di kursi.r

“Tunggu di sini sebentar.” Ujar Ricko pada Intan lalu meninggalkannya


menghampiri penjaga toko kue.
“Mbak, boleh kah saya membuat kue nya sendiri?” Tanya Ricko pada penjaga
toko kue.

“Bisa Mas. Silahkan masuk ke dapur lewat pintu yang di sebelah sana.” Jawab
penjaga toko kue itu sambil menunjuk pintu di pojok ruangan.

Ricko pun masuk ke dapur toko kue itu. Seorang pegawai menghampirinya dan
memberikan celemek pada Ricko. Ricko pun memakainya lalu mengikuti
pegawai toko itu ke sebuah meja. Di sana sudah ada beberapa adonan kue
yang sudah siap untuk di cetak dan panggang. Ricko mulai memasukkan
adonan ke dalam cetakan sesuai dengan petunjuk yang di berikan pegawai
toko
Setelah memasukkan kuenya ke dalam oven, Ricko mencuci tangannya lalu
melepas celemek yang ia pakai. Sambil menunggu kuenya matang, Ricko
kembali ke depan di mana Intan berada.

“Habis ngapain Mas?” Tanya Intan kesal karena menunggu terlalu lama.

“Membuat sesuatu.” Jawab Ricko sambil tersenyum.

“Sesuatu apa?” Tanya Intan lagi semakin penasaran.

“Nanti kamu juga akan tahu sendiri.” Jawab Ricko. Intan pun tidak bertanya
lagi karena Ricko juga tidak akan mau menjawabnya.

25 menit kemudian kue yang di buat Ricko sudah matang. Penjaga toko sudah
membungkusnya lalu memberikannya pada Ricko. Ricko menerimanya dan
membayarnya dengan kartu debit.

Setelah itu Ricko dan Intan keluar dari toko kue lalu masuk ke dalam mobilnya.
Di dalam mobil Ricko mengeluarkan kuenya yang masih panas lalu meniupnya
pelan – pelan.

“Buka mulutmu.” Ujar Ricko lalu memasukkan kue itu ke dalam mulut Intan
setelah Intan membuka mulutnya.

“Enak?” Tanya Ricko sambil tersenyum setelah Intan mengunyah kue itu di
dalam mulutnya.
“Hmmm.” Gumam Intan sambil mengunyah kue di dalam mulutnya.

“Itu aku yang membuatnya sendiri di dapur toko kue tadi.” Ujar Ricko tiba –
tiba lalu memasukkan kue ke dalam mulutnya.

“Benarkah?” Tanya Intan tidak percaya. Ricko menganggukkan kepalanya dan


tersenyum.

“Terima kasih Mas. Terima kasih sudah memanjakanku, menjagaku, dan


merawatku.” Ujar Intan sambil memeluk dan mencium pipi Ricko. Ricko
menunjuk bibirnya, Intan pun mengerti lalu mengecup bibir Ricko.

Setelah menghabiskan kue di dalam mobil, Ricko melajukan mobilnya ke


rumah orangtua Intan.

Sesampainya di rumah Bu Romlah, Intan segera mengganti pakaiannya yang


basah. Setelah itu ia pergi ke dapur untuk mencari makanan. Ia sangat rindu
dengan masakan ibunya.

“kamu belum makan Ntan?” Tanya Bu Romlah pada Intan.

“Sudah tapi hanya makan kue saja Bu. Oh iya Bu… Intan hamil. Intan sekarang
hamil anaknya Mas Ricko.” Ujar Intan pada Bu Romlah sambil memegang
kedua tangan Bu Romlah.

“Benarkah? Ibu ikut senang Ntan. Ibu senang sekali mendengarnya.” Ujar Bu
Romlah sambil memeluk Intan. Matanya berkaca – kaca karena terlalu bahagia.
Intan pun membalas pelukan ibunya. Ia tidak menyangka ibunya akan
sebahagia ini.

“Tunggu sebentar ya. Ibu masakin makanan kesukaanmu. Kamu istirahat saja
dulu.” Ujar Bu Romlah. Intan pun patuh dan masuk ke dalam kamarnya.

Di dalam kamar Ricko sedang berbaring dengan bertelanjang dada karena udara
sangat panas, sedangkan di rumah Intan tidak ada AC seperti di rumahnya.

“Kenapa Mas Ricko tidak memakai baju?” Tanya Intan sambil duduk di tepi
ranjang.

“Udaranya sangat panas. Aku tidak betah. Lagian kalau aku berbaring memakai
baju, nanti pakaianku kusut.” Jawab Ricko. Intan pun menyalakan kipas angin
yang menempel di dinding.

“Pakai kipas angin nanti bisa – bisa aku masuk angin.” Ujar Ricko lalu
menutupi tubuhnya dengan selimut. Intan pun cemberut lalu berbaring di
samping Ricko.

Tidak lama kemudian Bu Romlah mengetuk pintu kamar Intan memberitahu


bahwa masakannya sudah matang. Intan dan Ricko pun keluar dari dalam
kamar menuju dapur.

Di atas meja makan tersaji ayam bakar komplit dengan sambal dan lalapannya.
Itu adalah salah satu makanan favorit Intan. Intan segera mengambil nasi, ayam,
sambal, dan sayur lalapan di piringnya.

Ricko yang melihat Intan bersemangat makan jadi ikut senang. Itu akan baik
untuk anak yang di kandung Intan. Ia pun ikut makan menemani Intan.

“Kok nggak pedes Bu sambalnya?” Tanya Intan pada Bu Romlah setelah


menyuap nasi ke dalam mulutnya.

“Kamu sedang hamil. Jangan sering – sering makan pedas Ntan.” Jawab Bu
Romlah.

“Oh gitu. Tapi tetap enak kok Bu.” Ujar Intan sambil tersenyum dan
mengacungkan kedua jempolnya.

Intan dan Ricko pun makan dengan lahap. Bu Romlah sangat senang melihat
keakuran Ricko dan Intan.

Sore hari Pak Ramli baru pulang dari bekerja. Ricko dan Intan sudah
menunggunya sejak tadi siang.

Setelah Pak Ramli mandi dan berganti pakaian, Intan dan Ricko pun mengajak
Pak Ramli duduk di ruang tengah untuk mengutarakan maksud dari kedatangan
mereka ke rumah Pak Ramli. Intan mengatakan bahwa 4 hari lagi ia akan
wisuda di sekolahnya. Ricko juga mengatakan bahwa pesta pernikahannya akan
di laksanakan minggu depan.

“Apa tidak terlalu cepat Rick?” Tanya Pak Ramli pada Ricko.

“Nanti keburu perut Intan membesar dan ia akan mudah lelah Pak.” Jawab
Ricko.

“Maksudnya?” Tanya Pak Ramli tidak mengerti dengan maksud Ricko.

“Intan hamil Pak…” Jawab Intan malu – malu.

“Oh… jadi kamu sudah hamil sekarang?” Tanya pak Ramli sambil manggut –
manggut mengerti.

“Iya Pak.” Jawab Intan tertunduk.

“Ya sudah kalau begitu terserah kalian. Bapak mengikut saja.” Jawab Pak
Ramli menyetujui keputusan Ricko dan Intan.

Setelah berbincang – bincang dengan Pak Ramli dan Bu Romlah, Ricko dan
Intan pun pamit pulang karena hari sudah mulai malam.

Sesampainya di rumah, Intan duduk di sofa ruang tengah. Ricko segera pergi ke
dapur membuatkan susu untuk Intan.

“Mau susu yang rasa apa?” Tanya Ricko pada Intan dari dapur. Karena Ricko
sudah membeli semua rasa susu dari coklat, stroberi, jeruk, mangga, moca, dan
vanila supaya Intan tidak bosan dengan rasa yang itu – itu saja.

“Coklat Mas.” Jawab Intan karena tadi pagi ia sudah minum yang rasa vanila.

Ricko pun segera mengambil kotak susu berwarna coklat yang berjajar di
depannya tanpa membacanya terlebih dahulu. Setelah menuangkan air hangat
dan mengaduknya, Ricko memberikan segelas susu pada Intan. Intan pun
segera meminumnya lalu mengernyitkan dahinya.

“Kenapa?” Tanya Ricko setelah melihat ekspresi Intan.

“Aku kan mintanya coklat, bukan mocca Mas…” Jawab Intan sambil cemberut.

“Huft! Yang penting kan susu untuk ibu hamil. Ayo cepat habiskan. Maaf aku
tadi tidak membacanya hanya melihat warna kemasannya saja.” Balas Ricko
mengalah dan mencoba bersabar menghadapi Intan yang sensitif semenjak
hamil.

Intan pun meminum susunya meskipun terpaksa. Ricko menyalakan televisi di


depannya untuk menghilangkan keheningan. Setelah menghabiskan susunya
dan menaruh gelas di atas meja, Intan ikut menonton televisi di depannya
dengan cemberut. Ricko pun iseng mengarahkan kamera ponselnya ke arah
Intan untuk memotretnya secara diam - diam.

‘Hmmm. Dagunya mulai berisi. Makin gemuk rupanya. Hehehe.’ Batin Ricko.
Ia tidak mau berkata dengan keras. Kalau Intan mendengarnya bisa marah –
marah nggak terima di katain gendut.

Keesokan harinya Ricko menyuruh Lia sekretarisnya untuk mendata nama -


nama para relasi dan klien Ricko di perusahaan. Ia juga menyuruh Romi
mendata teman - teman sekolahnya dulu waktu di SMA.

Kini Intan di rumah Sita juga mendata nama - nama teman SMA-nya. Karena
Ricko tidak mau meninggalkan Intan sendirian di rumah, jadi Ricko mengajak
Intan ke rumah Sita sebelum berangkat ke perusahaan.

Begitu juga dengan Sita, ia sibuk mendata nama - nama keluarga terdekatnya
karena di perintah Ricko.

"Kak Intan beneran hamil?" Tanya Sita kepo di sela - sela kesibukannya
mendata nama - nama keluarganya sambil menonton televisi di ruang tengah.

"Iya." Jawab Intan sambil tetap menulis.

"Rasanya gimana sih Kak?” Tanya Sita lagi.

“Nggak enak. Mual muntah terus setiap hari.” Jawab Intan sambil memegangi
perutnya.

“Kak Intan kayaknya nggak suka ya hamil anaknya Kak Ricko?” Tanya Sita
lagi setelah melihat ekspresi Intan yang tidak bersemangat.

“Bukan nggak suka, cuma aku belum siap. Bayangkan aku hamil di saat aku
bahkan belum lulus SMA. Kalo kamu jadi aku gimana perasaan kamu?” Tanya
Intan. Sita pun mengerti bagaimana perasaan Intan saat ini.
“Sabar ya Kak. Kalo orang udah nikah ya gitu pasti bunting. Hihihi.” Balas Sita
lalu meringis.

Sore hari Ricko dan Intan sudah pulang ke rumah mereka. Sebelum pulang
tadi, Ricko menghubungi pihak wedding organizer supaya mengambil daftar
nama undangan di rumahnya.

Setelah mandi dan berganti pakaian, Intan mengambil minuman di dapur


karena merasa haus. Sedangkan Ricko mandi di dalam kamar mandi kamar
lantai atas.

Tidak berapa lama bel pintu rumah berbunyi. Intan pun bergegas ke depan
untuk membukakan pintu. Saat pintu terbuka tampaklah laki – laki muda
utusan dari pihak wedding organizer. Laki – laki itu tertegun saat melihat Intan.

‘Cantiknya...’ Batin laki – laki itu.

Laki – laki itu tidak tahu kalau Intan istrinya Ricko. Ia mengira Intan adiknya
Ricko karena Intan terlihat masih seperti anak SMA.

“Nyari siapa Mas?” Tanya Intan menyadarkan ketertegunan laki – laki itu.

“Eh eee... Pak Rickonya ada Mbak?” Tanya laki - laki itu.

“Ada Mas. Silakan masuk.” Ujar Intan mempersilakan laki – laki itu masuk dan
duduk di ruang tamu.

“Mau minum apa?” Tanya Intan pada laki – laki itu sebelum masuk ke dapur
untuk membuatkan minum.

“Tidak usah repot – repot Mbak. Saya hanya sebentar saja.” Jawab laki – laki
itu sopan.

“Okey. Sebentar ya Mas Rickonya sedang mandi. Sebentar lagi juga selesai.”
Balas Intan lalu masuk ke dalam rumah. Laki – laki itu pun mengangguk
mengerti.

Intan naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamarnya hendak memanggil
Ricko. Saat Intan membuka pintu kamar, Ricko sudah selesai mandi dan
berganti pakaian hendak turun ke bawah.

“Mas ada tamu yang nyariin kamu.” Ujar Intan pada Ricko.

“Siapa?” Tanya Ricko sambil mengerutkan dahinya.

“Enggak tahu. Tadi lupa tanya. Hehe.” Jawab Intan.

Setelah itu Intan dan Ricko turun lalu menuju ke ruang tamu untuk melihat
siapa tamu yang datang.

“Kamu siapa?” Tanya Ricko saat melihat laki – laki itu di ruang tamu.

“Saya Rudy dari wedding organizer Pak.” Jawab laki – laki itu.

“Oh iya tunggu sebentar.” Ujar Ricko lalu masuk untuk mengambil daftar nama
undangan yang ia kumpulkan dari Sita, Intan, Romi, dan Lia.

Intan duduk di sofa seberang laki – laki itu. Laki – laki itu terus memandangi
Intan tanpa berkedip. Intan tidak menyadarinya karena ia sedang memainkan
ponselnya.

Tidak berapa lama Ricko keluar dengan membawa beberapa lembar kertas di
tangannya. Ia melihat laki – laki itu sedang memandangi Intan terus - menerus.

“Ehm ehm.” Gumam Ricko membuat laki – laki itu terkejut lalu mengalihkan
pandangannya dari Intan.

Ricko pun duduk di samping Intan lalu memeluk bahunya. Intan menoleh ke
tangan Ricko yang bertengger di bahunya. Ia merasa risi menunjukkan
kemesraan di depan orang lain.

“Ini daftar nama untuk para undangan. Segera selesaikan dalam 2 hari.” Ujar
Ricko sambil menyerahkan lembaran kertas pada Rudy.

“Iya Pak.” Jawab Rudy sambil tersenyum dan menerima kertas itu.

“Dan... jaga matamu itu. Jangan memandang istriku seperti itu. Atau akan ku
colok matamu.” Ujar Ricko mengancam karena tidak suka dengan cara laki –
laki itu memandang Intan.

Laki – laki itu pun membelalakkan matanya tidak percaya. Ia mengira gadis di
depannya adalah adik dari Ricko karena wajahnya masih sangat muda.

“Iya Pak. Maafkan saya. Kalau begitu saya permisi dulu.” Balas Rudy seraya
berdiri lalu menjabat tangan Ricko. Ricko pun menerimanya.

Setelah itu Rudy segera terbirit – birit pergi dari rumah Ricko sebelum matanya
di colok Ricko karena sudah memandangi istrinya.

2 hari kemudian

Semua undangan sudah di cetak dan diberi nama. Pihak WO (wedding


organizer) juga sudah memilahnya sesuai dengan lembaran yang di berikan
Ricko.

Karena Ricko memajukan pesta pernikahannya, sehingga pihak WO menjadi


super sibuk sampai lembur – lembur minggu ini.

Hari ini undangan itu akan di antar ke rumah Ricko. Karena Rudy adalah
pegawai baru, sehingga ia di tugaskan untuk menjadi kurir mengambil dan
mengantar barang – barang yang diperlukan klien.

“Rudy kamu antar undangan ini ke rumah Pak Ricko ya?” Ujar Pak Evan atasan
Rudy.

‘Apa? Ke sana lagi? Aduh gimana ya? Kemarin saja mau di colok mataku. Kalau
hari ini ke sana lagi, apa nggak di gorok leherku?’ Batin Rudy.

“Mmmm Pak bisakah digantikan yang lain saja? Saya merasa sakit perut.” Ujar
Rudy tiba – tiba beralasan.

“Tidak bisa. Semua orang sibuk dengan tugasnya masing - masing. Kalo kamu
sakit perut segera ke kamar mandi dan minum obat ini. Kamu bisa mengantar
undangan itu nanti siang setelah perutmu merasa lebih baik.” Ujar Pak Evan
lalu menyerahkan obat sakit perut pada Rudy.

Rudy pun menerima obat yang di berikan Pak Evan lalu keluar dari
ruangannya. Ia berpikir apa yang akan ia lakukan jika bertemu dengan Ricko. Ia
beralasan sakit perut pada Evan supaya tidak bertemu dengan Ricko lagi. Tapi
malah di kasih obat sakit perut dan tetap disuruh mengantar undangan ke
rumah Ricko.

“Ah aku ada ide. Di antar sekarang saja. Pasti Pak Ricko sedang bekerja
sekarang.” Gumam Rudy lalu menjentikkan jarinya dengan semangat.

Ia pun segera mengangkat ratusan undangan di meja lalu memasukkannya ke


dalam mobil. Setelah itu ia melajukan mobilnya dengan hati dag dig dug.

Sesampainya di rumah Ricko, Rudy memencet bel pintu rumah Ricko. Ia


berharap yang membuka pintu adalah Intan atau pembantu rumah itu. Rudy
harap – harap cemas memandang ke arah pintu.

Tidak berapa lama pintu pun terbuka dan keluarlah sang pemilik rumah. Rudy
menelan ludahnya dan kakinya gemetar.

“Per permisi Pak. Sa saya mau mengantar undangan yang sudah jadi.” Ujar
Rudy pada seseorang yang membuka pintu untuknya yang tak lain adalah
Ricko.

Hari ini Ricko sengaja tidak pergi ke perusahaan karena kemarin pihak WO
sudah menghubunginya terlebih dahulu. Karena di rumahnya belum ada
pembantu, jadi ia tidak membiarkan Intan di rumah sendirian untuk menerima
tamu yang mengantar undangan pernikahan mereka.

“Bawa masuk saja.” Ujar Ricko lalu membuka pintu lebar - lebar.

Rudy pun membawa masuk ratusan lembar undangan ke dalam ruang tamu
dan menaruhnya di atas meja. Setelah itu ia segera pamit pulang.

Setelah menutup pintu Ricko memanggil Romi melalui ponselnya untuk


mengambil dan membantunya menyebarkan undangan.

Intan keluar dan duduk di sofa ruang tamu. Ia melihat tumpukan lembaran
undangan yang sudah siap di sebar. Ia merasa tidak percaya bahwa beberapa
hari lagi ia akan menjadi pengantin dan di saksikan banyak orang. Di usianya
yang masih muda bahkan baru lulus SMA, ia sudah menikah dan hamil. Air
mata pun menggenang di pelupuk matanya.

Setelah memutuskan sambungan teleponnya dengan Romi, Ricko


menghampiri Intan yang sedang duduk di sofa. Ia melihat Intan terdiam
memandangi tumpukan undangan di atas meja.

“Kenapa?” Tanya Ricko sambil membelai puncak kepala Intan. Intan pun
memejamkan matanya dan air mata pun jatuh membasai pipinya.

Ricko yang melihat Intan menangis segera memeluknya. Ia tidak tahu mengapa
Intan menangis. Yang ingin ia lakukan adalah menenangkannya. Karena Intan
sedang hamil, ia tidak mau Intan stres dan tertekan.

“Mas... kenapa sih orang tua kita itu egois sekali? Aku kecewa sama kehendak
mereka yang memaksa kita menikah. Aku masih muda. Aku juga ingin bebas
dan bersenang – senang seperti teman – temanku yang lainnya. Mereka bisa
kuliah, bertemu dengan teman baru, dan jalan - jalan. Sedangkan aku? Aku
hanya bisa duduk diam di rumah melayanimu. Apalagi sekarang aku hamil. Aku
tidak bisa ke mana - mana. Kuliah pun aku malu.” Ujar Intan sambil menangis.

“Lalu? Apa kamu mau membatalkan pesta pernikahan kita?” Ujar Ricko sambil
menyeka air mata Intan dengan ibu jarinya.

“Percuma. Meskipun pesta pernikahan ini di batalkan, tetap saja kita sudah
menikah dan aku sudah hamil. Kamu nggak tahu gimana perasaanku Mas.”
Balas Intan lalu mendorong tubuh Ricko dan berlari menaiki tangga.

Ricko pun semakin bingung dengan kelakuan Intan yang mudah berubah. Ia
pun mengejar Intan yang sudah masuk ke dalam kamarnya.

“Intan buka pintunya!” Panggil Ricko sambil berusaha membuka pintu yang di
kunci Intan dari dalam.

“Jangan ganggu aku Mas. Lebih baik kamu pergi!” Teriak Intan dari dalam
kamar.

“Ini kan rumahku? Kenapa malah aku yang di usir ya?” Gumam Ricko pada
dirinya sendiri.
Ia pun segera turun lalu ke dapur dan membuka laci untuk mencari kunci
cadangan. Setelah menemukannya ia kembali ke atas lalu masuk ke ruang
fitnesnya. Di sana ada pintu khusus yang terhubung langsung dengan kamar
tidurnya. Ricko pun segera membukanya.

Setelah pintu itu terbuka, Ricko melihat Intan terduduk di lantai dan menangis
di tepi ranjang. Ia pun mendekati Intan.

“Sa-yang...” Ujar Ricko sambil berusaha memeluk Intan. Ini pertama kalinya
Ricko memanggil Intan “sayang” seperti ayah ke anak balitanya. Tapi Intan
menolaknya. Ia mendorong tubuh Ricko.
“Mas Ricko jahat!” Teriak Intan sambil menangis. Ricko pun mendekatinya lagi
dan memeluknya dengan paksa.

“Kenapa Mas Ricko membuatku hamil? Kenapa Mas Ricko menyetubuhiku?


Kenapa kamu memaksaku? Padahal kita tidak saling mencintai.” Ujar Intan
dengan berderai air mata.

“Maafkan aku. Maafkan aku Intan. Aku khilaf melakukannya. Aku tahu kamu
masih muda. Tidak seharusnya kamu hamil. Maaf sudah merenggut masa
depanmu.” Balas Ricko lembut sambil mengusap air mata Intan.

“Kamu baru sadar sekarang Mas? Sudah terlambat!” Ujar Intan dengan sinis.

“Lalu kamu maunya bagaimana? Menggugurkan anak kita? Aku tidak akan
menyetujuinya. Kalau kamu mau bebas, oke aku akan membebaskanmu
setelah melahirkan anak kita. Terserah setelah itu kamu apa. Kalau kamu mau
bercerai aku akan mengabulkannya.” Ujar Ricko lalu meninggalkan Intan
sendirian dan keluar dari dalam kamar menuju ruang fitnesnya.

Air mata Intan pun berderai semakin deras membasahi pipinya. Tangannya
meremas seprei sekuat - kuatnya.

Sementara itu Ricko di ruang fitnes, ia melepas kaosnya lalu melemparkannya


ke sembarang arah. Setelah itu ia menaiki sepeda statisnya dan mengayuhnya
dengan kecepatan penuh untuk meluapkan kemarahannya. Ia mengayuhnya
hingga merasa lelah dan tidak kuat mengayuhnya lagi. Keringat pun
bercucuran di sekujur tubuhnya
Setelah menangis Intan merasa kepalanya pusing. Kepalanya tiba – tiba terasa
sangat berat. Ia memegangi kepalanya dan menggigit bibir bawahnya
berusaha bangkit hendak naik ke tempat tidur. Tapi matanya tiba – tiba gelap
dan merasa tidak ada tenaga. Tidak berapa lama ia pun jatuh pingsan di lantai.

Sementara itu Ricko di ruang fitnesnya merasa kelelahan dan berhenti


mengayuh sepeda statisnya. Nafasnya memburu dan keringat bercucuran di
seluruh tubuhnya. Ia turun dari sepeda statisnya dan keluar dari ruang
fitnesnya hendak pergi ke dapur karena merasa haus.

Ketika ia melewati kamarnya yang pintunya terbuka, ia melihat Intan


tergeletak di lantai tidak sadarkan diri. Ia segera masuk ke dalam kamarnya
dan menghampiri Intan. Setelah itu ia mengangkat tubuh Intan dan
membaringkannya di tempat tidur.

Setelah itu ia mengeluarkan ponsel di sakunya dan menelepon dokter


Amanda. Tapi sayangnya yang menerima telponnya adalah asistennya yang
mengatakan bahwa dokter Amanda sedang melakukan operasi di ruang
operasi.

Ricko pun segera membuka almari lalu mengambil kaos dan memakainya.
Setelah itu ia menggendong tubuh Intan keluar dari dalam kamar dan
menuruni tangga. Ia ke garasi membuka pintu mobilnya dengan sudah payah
dan membaringkan tubuh Intan di kursi belakang. Ketika hendak masuk ke
kursi kemudi, ia mendengar bel rumahnya berbunyi. Ia pun keluar melalui
pintu garasi dan melihat Romi di teras rumahnya.

“Rom cepat ke sini!” Panggil Ricko sambil melambaikan tangannya. Romi pun
menghampiri Ricko yang terlihat panik dan kelelahan.

“Ada apa Rick?” Tanya Romi heran.

“Intan pingsan. Bantu aku membawanya ke rumah sakit.” Ujar Ricko lalu
masuk ke dalam garasi di mana mobilnya berada. Romi pun mengikutinya. r

Romi membuka pintu belakang mobil Ricko dan hendak masuk. Tiba - tiba
Ricko menahan pundaknya.

“Kamu mau ngapain?” Tanya Ricko pada Romi.


“Tentu saja membantumu membawa Intan ke rumah sakit Rick.” Jawab Romi
tanpa dosa.r

“Dia istri siapa?” Tanya Ricko gemas dengan Romi.

“Istrimu. Lalu kenapa?” Ujar Romi tidak paham.

“Kamu yang mengemudi mobilnyalah Rom. Aku yang menemani Intan di


belakang.” Balas Ricko lalu masuk ke dalam mobil di mana Intan berbaring.
Romi pun mengerti dan segera masuk ke kursi kemudi lalu menyalakan mesin
mobil dan melajukan mobil itu ke rumah sakit.

Di dalam mobil Ricko memeluk Intan dan menyandarkan kepala Intan di


dadanya. Ia membelai wajah Intan dan menyeka keringatnya. Romi
memperhatikannya dari kaca di depannya.

‘Pemandangan apa ini? Aaaah nasib jomblo jadi iri deh.’ Batin Romi.

“Kenapa Intan tiba – tiba pingsan Rick?” Tanya Romi dalam perjalanan menuju
rumah sakit.

“Aku juga tidak tahu. Aku menemukannya sudah tergeletak di lantai.” Jawab
Ricko.

“Oh kirain habis kamu ajak main. Hahaha.” Balas Romi dan tertawa.

“Kenapa kamu berpikir seperti itu? Dasar otak porno.” Balas Ricko sewot.

“Aku melihatmu ngos – ngosan dan sangat berkeringat.” Jawab Romi


tersenyum nakal.

“Aku habis berolahraga. Jangan banyak bicara. Kemudi yang benar dan jangan
melihat ke belakang lagi.” Balas Ricko.

Setelah sampai di rumah sakit, Ricko segera mengangkat tubuh Intan keluar
dari dalam mobilnya lalu membawanya masuk ke dalam UGD. Selagi
menunggu Intan di periksa, Ricko menunggu di luar UGD dan duduk di sebuah
kursi. Sedangkan Romi memarkirkan mobil Ricko di tempat parkir rumah sakit.
Setelah memarkirkan mobil Ricko, Romi menghampiri Ricko yang sedang
duduk di depan UGD sambil tertunduk dan memegangi kepalanya. Romi duduk
di samping Ricko lalu menepuk bahu Ricko.

“Sabar…” Ujar Romi pada Ricko. Ricko hanya mendengarkannya tanpa


membalasnya.

30 menit kemudian seorang perawat keluar dan Ricko pun menghampirinya.

“Bagaimana keadaan istriku sus?” Tanya Ricko pada perawat itu.

“Silahkan masuk Pak. Dokter mau bicara sama Bapak.” Jawab perawat itu.

Ricko pun masuk mengikuti perawat itu ke ruangan dokter. Di sana dokter Andi
sudah menunggu Ricko. Dokter Andi pun menjabat tangan Ricko. Setelah itu
Ricko duduk di kursi depan Ricko.

“Bagaimana keadaan istri saya Dok?” Tanya Ricko khawatir dan tidak sabar.

“Tenang Pak. Apakah anda sudah tahu kalau istri anda hamil?” Tanya dokter
Andi sambil tersenyum.

“Iya dok. Apakah kandungannya baik – baik saja?” Tanya Ricko lagi.

“Iya kandungannya baik – baik saja. Hanya saja istri anda mengalami depresi.
Ia merasa sangat tertekan. Selain karena usianya yang masih sangat muda,
hormon kehamilan mempengaruhi emosinya. Jadi ini mungkin sangat berat
untuknya. Anak seusia istri anda masih sangat labil, itu alamiah. Di tambah lagi
dia sedang hamil itu membuat emosinya naik turun dan sensitif. Ia akan mudah
senang dan akan mudah marah dan sedih juga. Jadi anda sebagai suami tolong
kerjasamanya untuk menjaga kestabilan emosinya. Buatlah suasana hatinya
selalu senang selama masa kehamilannya.” Jawab dokter Andi menjelaskan
pada Ricko tentang kedaan psikologis Intan.

Ricko pun mengerti kenapa Intan akhir – akhir ini selalu marah – marah tidak
seperti di awal pernikahan mereka. Di awal pernikahan, Intan gadis yang
penurut dan dewasa. Saat Ricko mengajaknya behubungan badan untuk
pertama kalinya pun ia tidak marah. Jadi semua itu karena hormon kehamilan.
Ia menyesal telah memperburuk susasana hati Intan dengan mengatakan
masalah perceraian tadi siang. Seharusnya ia mengalah dan membujuknya.

“Terima kasih dok. Apakah dia sudah sadar?” Tanya Ricko pada dokter Andi.

“Iya sudah Pak. Silahkan kalau anda mau menemaninya. Itu akan membuat
suasana hatinya menjadi lebih baik. Mari saya antar karena istri anda sudah di
pindahkan ke ruang perawatan.” Jawab dokter Andi lalu berdiri hendak
mengantar Ricko ke ruangan di mana Intan berada.

Setelah sampai di ruangan Intan, dokter Andi memeriksa Intan sekali lagi lalu
pergi bersama perawat yang menjaga Intan sejak tadi. Di dalam ruangan itu
tinggal lah Ricko dan Intan. Ricko menghampiri Intan dan duduk di kursi
samping ranjang Intan. Intan melirik dengan cemberut.

“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Ricko pada Intan. Intan tidak menjawabnya.

“Mmmm apa perlu aku menghubungi orang tuamu?” Tanya Ricko dengan hati
– hati dan canggung.

“Tidak perlu. Aku tidak mau mereka khawatir. Aku tidak apa – apa.” Jawab
Intan datar.

“Ya sudah beristirahatlah. Aku akan menjagamu di sini.” Balas Ricko lalu
mengecup kening Intan. Intan pun memejamkan matanya dan berbaring miring
membelakangi Ricko.

Setelah itu Ricko mengirim pesan pada Romi supaya pulang naik taksi dan
mengantar kunci mobilnya ke ruangan Anggrek nomor 2 di mana tempat Intan
di rawat. Sebelum Romi masuk ke dalam ruangan Intan, Ricko sudah
menunggu Romi di depan pintu kamar.

“Bagaimana keadaannya?” Tanya Romi khawatir.

“Sudah membaik. Kamu tidak usah khawatir.” Jawab Ricko.

“Undangannya bagaimana? Jadi di sebar kapan?” Tanya Romi lagi.

“Jangan dulu. Aku mau tanya Intan dulu.” Jawab Ricko. Ia akan membatalkan
pestanya kalau Intan tidak mau mengadakannya.

“Ya sudah. Aku pulang dulu kalau begitu.” Balas Romi lalu pergi.
Sesampainya Romi di rumah, ia melihat Vina sedang menonton televisi di
ruang tengah. Ia pun duduk di samping Vina lalu menyandarkan punggungnya
pada sandaran sofa. Vina melihat kakaknya yang terlihat kelelahan.

“Kakak kenapa?” Tanya Vina pada Romi.

“Capek habis dari rumah sakit.” Jawab Romi.

“Ngapain ke rumah sakit? Siapa yang sakit Kak?” Tanya Vina penasaran.

“Intan. Dia pingsan.” Jawab Romi santai.

“Apa? Intan pingsan? Kenapa?” Tanya Vina semakin penasaran dan khawatir.

“Aku juga nggak tahu. Sudah ah aku ke kamar dulu mau istirahat.” Balas Romi
lalu bangkit dari duduknya dan pergi ke kamarnya.

Vina pun mengambil ponselnya yang tergeletak di meja. Ia mengirim pesan di


grup whatsapp yang berisi Vina, Intan, Melly, dan Rita.

Vina : Guys! Intan sakit.

Melly : Sakit apa?

Vina : Nggak tahu.

Rita : Kamu diberitahu siapa?

Vina : Kakakku. Tadi dia yang antar Intan ke rumah sakit.

Melly : Rumah sakit mana? Ayo kita jenguk besok.

Vina : Nanti aku tanyain kakakku dulu.

Rita : Sip!

Saat makan malam bersama, Vina sudah tidak sabar untuk bertanya pada
Romi. Ia sangat ingin tahu bagaimana keadaan sahabatnya itu.
“Kak, Intan di rawat di rumah sakit mana?” Tanya Vina di sela makannya.

“Rumah sakit Bunda. Ruang anggrek nomor 2. Kamu mau menjenguk Intan ke
rumah sakit?” Jawab Romi.

“Iya sama Rita dan Melly juga.” Jawab Vina.

Sementara itu di rumah sakit Ricko sedang menyuapi Intan dengan bubur yang
baru saja di antar perawat rumah sakit.

“Jangan marah – marah lagi…” Ujar Ricko pada Intan setelah memasukkan
sesuap bubur ke mulut Intan.

“Aku nggak marah Mas…” Jawab Intan lirih setelah menelan bubur di dalam
mulutnya.

“Kamu masih mau melanjutkan pesta pernikahan kita apa tidak?” Tanya Ricko
lalu memasukkan bubur itu ke dalam mulutnya sendiri. Sejujurnya ia juga
belum makan sejak membawa Intan ke rumah sakit tadi siang.

“Kamu belum makan Mas?” Tanya Intan saat melihat Ricko memakan
buburnya.

“Belum.” Jawab Ricko sambil tersenyum.

“ya sudah kamu saja yang makan Mas.” Ujar Intan kasihan dengan Ricko.

“Kenapa? Ayo buka mulutmu.” Ujar Ricko lalu menyodorkan sesuap bubur ke
mulut Intan. Intan menolak dan mendorong pelan tangan Ricko.

“Mas Ricko saja yang makan. Aku sudah kenyang Mas.” Balas Intan.

“Cepat buka mulutmu. Atau ku suapi pakai mulutku.” Ancam Ricko. Intan pun
membuka mulutnya lalu mengunyah dengan cemberut.

Tidak berapa lama Sita datang dengan bi Sumi membawakan Ricko makanan
dan pakaian ganti.
“Ehm ehm.” Dehem Sita sengaja di kerasin untuk mengganggu Ricko dan Intan
saat masuk ke dalam ruangan Intan.

“Sini aku aja yang nyuapi Kak Intan, Kak Ricko mandi sana.” Ujar Sita setelah
menaruh makanan di meja samping tempat tidur Intan lalu mengambil bubur
di tangan Ricko. Bi Sumi duduk di sofa dan menaruh tas berisi pakaian Ricko di
sampingnya.

“Kamu bawa makanan?” Tanya Ricko.

“Iya. Tuh di meja.” Jawab Sita sambil menunjuk dengan dagunya.

Ricko pun segera mengambil makanan itu dan membawanya duduk di sofa. Ia
benar – benar merasa lapar karena belum makan sejak tadi siang. Ia juga lupa
kenapa tidak delivery order saja. Yang ia ingat biasanya ia memakan masakan
Intan. Ia pun memakan makanan itu hingga merasa kenyang

Intan yang melihat Ricko makan dengan lahap merasa sangat kasihan.
Seharusnya ia tidak pingsan supaya tidak merepotkan semua orang. Matanya
pun berkaca – kaca melihat Ricko.

“Mas… maaf…” Ujar Intan tiba – tiba lalu airmatanya mengalir di pipinya.r

“Kamu kenapa?” Tanya Ricko lalu menghampiri Intan. Sita sendiri juga bingung
kenapa tiba – tiba Intan menangis.

“Maaf sudah merepotkan Mas Ricko dan kalian semua.” Jawab intan pada
Ricko, Sita dan bi Sumi.

“Enggak kok Kak. Kita nggak merasa di repotkan.” Balas Sita sambil tersenyum.

“Sudah. Jangan menangis lagi. Kamu nggak capek apa seharian menangis
terus?” Ujar Ricko sambil menyeka air mata Intan.

“Ini semua kan gara – gara kamu Mas?” Balas Intan sewot.

“Jadi, kamu mau melanjutkan pesta pernikahan kita apa tidak?” Tanya Ricko
lembut pada Intan.
“Jadi Mas. Aku kan belum pernah jadi pengantin. Kita menikah di rumah sakit
juga nggak ada dokumentasinya.” Jawab Intan kecewa karena pernikahannya
hanya di atas kertas saja.

“Ya sudah. Kalau begitu undangannya aku sebarin besok. Sita setelah pulang
dari sini kamu ambil undangan di rumah. Masih ingat kan password pintu
rumahku?” Ujar Ricko pada Sita.

“Iya Kak. XXXXXX (biar pembaca nggak tahu. BAHAYA. Hehe) kan? Ya sudah
aku pulang dulu ya udah malam nich. Kalau menginap juga nggak ada tempat
tidurnya.” Ujar Sita lalu berdiri.

“Lagi pula siapa juga yang menyuruhmu menginap? Tadi di telepon kan aku
sudah bilang cuma minta di bawakan baju ganti.” Balas Ricko pada Sita.

“Ya ya ya kamu benar. Ya sudah aku pulang dulu ya Kakak ipar. Semoga cepat
sembuh.” Ujar Sita lalu memeluk Intan.

Setelah Sita dan bi Sumi pamit pulang, Ricko segera mandi dan berganti
pakaian. Ia merasa tubuhnya sangat lengket dan tidak nyaman karena setelah
fitnes tadi siang dia tidak segera mandi dan berakhir ke rumah sakit karena
Intan pingsan.

Setelah mandi, Ricko keluar dari dalam kamar mandi dan melihat Intan sudah
memejamkan matanya. Ricko naik ke ranjang Intan dan memeluknya.

“Kenapa kita nggak pulang aja Mas? Ini juga kenapa pakai di infus segala?”
Tanya Intan setelah membuka matanya.

“Kamu belum tidur?” Tanya Ricko.

“Mmmm.” Jawab Intan.

“Besok kamu akan pulang. Sekarang sudah malam. Tidurlah!” Balas Ricko lalu
mengecup kening Intan.

“Peluk…” Rengek Intan.

“Iya…” Jawab Ricko sambil tersenyum lalu memeluk Intan.


Intan merasa sangat aman dan nyaman saat di peluk Ricko. Selain hangat, bau
tubuhnya juga bagaikan candu bagi Intan. Intan sudah tidak pernah mual lagi
setelah meminum obat yang diberikan dokter kandungan waktu itu.

Keesokan harinya saat Intan bersiap – siap hendak pulang, Vina, melly, dan
Rita datang. Sedangkan Ricko sedang mengurus administrasi di kasir.

“Intan, kamu sakit apa?” Tanya Melly khawatir.

“Kemarin aku pingsan. Eh main ke rumahku yuk habis ini. Undangan pesta
pernikahanku sudah jadi loch.” Ujar Intan mengajak teman – temannya main
ke rumahnya.

“Boleh tuh.” Balas Rita semangat.

“Suamimu ada apa nggak?” Tanya Vina pada Intan.

“Pastinya ada lah. Semalaman dia nemenin aku. Sekarang sedang mengurus
administrasi perawatanku.” Jawab Intan.

“Yaaaah nggak asik dong Ntan.” Balas Rita kecewa.

“Emang kenapa sich kalau ada suaminya Intan?” Tanya Melly tidak mengerti.

“Nggak bebas yang mau ngobrol macem – macem Mel.” Balas Vina cemberut.

“Ooooohhhh.” Balas Melly.

“Ehm Ehm.” Tiba – tiba Ricko datang dan menghentikan obrolan mereka.

Setelah itu Intan pulang bersama Ricko menaiki mobil. Sedangkan teman –
teman Intan ikut ke rumah Intan menaiki motornya masing – masing.

Sesampainya di rumah, Ricko membantu Intan turun dari mobil dan


membopongnya ke dalam kamar lantai bawah. Ricko membaringkan tubuh
Intan dan menyelimutinya.

“Aku bisa sendiri Mas.” Ujar Intan pada Ricko.


“Kamu masih sakit, kenapa mengundang teman – temanmu ke rumah?” Tanya
Ricko.

“Aku tidak mengundangnya. Mereka menjengukku Mas. Sekalian biar mereka


mengambil undangan pesta pernikahan kita.” Jawab Intan.

“Ya sudah kamu istirahat dulu. Aku mau ke atas untuk mandi.” Balas Ricko
lalu mengecup kening Intan sebelum pergi. Intan memejamkan matanya dan
mengangguk mengerti.

Di lantai atas

Sebelum mandi, Ricko menghubungi yayasan asisten rumah tangga untuk


kedua kalinya setelah yang pertama dan terjadi tragedi Stella.

“Saya mau asisten rumah tangga 2 orang dan yang sudah berusia 30 ke atas.
Kalau bisa nanti sore sudah bisa datang ke rumah saya.” Ujar Ricko di telepon.

“Baik Pak. Akan kami usahakan nanti sore mereka sudah datang ke rumah
anda. Terima kasih masih percaya dengan yayasan kami.” Balas pihak yayasan.

Setelah menutup teleponnya, Ricko memesan beberapa makanan melalui


aplikasi G-food untuk makan siang mereka dan menyambut teman – teman
Intan.

Setelah itu Ricko menaruh ponselnya di nakas dan segera masuk ke dalam
kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dari keringat dan kuman yang
menempel karena kemarin tidur di rumah sakit.

Setelah mandi, Ricko kembali turun hendak ke kamar Intan. Tiba – tiba bel
pintu rumahnya berbunyi. Ricko pun menuju ruang tamu untuk membuka pintu
dan melihat siapa yang datang.

Saat pintu terbuka, tampaklah Melly, Rita, dan Vina di depan pintu. Mereka
tampak terkejut karena melihat Ricko yang membuka pintunya.

“Selamat siang Kak. Intannya ada?” Tanya Vina memberanikan diri bertanya
pada Ricko dengan tersenyum canggung.
“Masuk!” Balas Ricko datar mempersilahkan mereka masuk.

Mereka pun masuk dan saling dorong seperti anak kecil karena takut dengan
Ricko. Ricko yang melihat kelakuan mereka hanya menghembuskan nafas dan
geleng – geleng kepala.

Kini mereka bertiga duduk di ruang tamu. Sedangkan Ricko masuk hendak ke
kamar Intan untuk membangunkan Intan dan memberitahunya bahwa teman –
temannya sudah datang.

Saat Ricko sampai di dalam kamar Intan, ternyata Intan sudah bangun dan
sedang menyisir rambutnya baru selesai mandi.

“Kamu nggak tidur?” Tanya Ricko pada Intan.

“Enggak Mas. Kan teman – temanku mau datang.” Balas Intan sambil tetap
menyisir rambutnya.

“Mereka sudah datang.” Ujar Ricko memberitahu.

“Iya aku sudah tahu.” Jawab Intan karena tadi ia memang mendengar bel pintu
rumah berbunyi.

“Ya sudah aku ke ruang kerja dulu. Aku sudah memesan makanan. Mungkin
sebentar lagi akan datang.” Ujar Ricko sebelum pergi.

“Oke.” Balas Intan lalu pergi ke ruang tamu di mana teman – temannya berada.

Di ruang kerja, Ricko menghubungi Romi untuk mengantar berkas ke


rumahnya karena 2 hari ini ia tidak datang ke perusahaan. Setelah itu ia
menyalakan laptopnya untuk mengecek e-mail.

Sementara itu di ruang tamu, Intan membagikan undangan pesta pernikahannya


pada sahabat - sahabatnya.

“Ntan, besok kamu datang kan di acara wisuda sekolah kita?” Tanya Melly
sambil membuka dan membaca undangan di tangannya.

“Pengennya sih datang, tapi aku nggak tahu Mas Ricko ngijinin apa enggak.
Soalnya sekarang aku hamil.” Jawab Intan.

“Apa? Kamu hamil?” Tanya Rita terkejut dan berdiri lalu mendekati Intan dan
membelai perut Intan yang masih rata. Intan menganggukkan kepalanya.

“Apaan sih kamu Rit.” Ujar Intan sambil menepis tangan Rita di perutnya.

“Kereeen! Aku nggak nyangka kamu bisa hamil secepat ini.” Balas Rita lalu
duduk kembali ke tempat duduknya.

“Mau gimana lagi? Mas Ricko juga pengen segera punya anak. Eh sisa
undangan ini tolong kalian bagikan sama teman – teman yang lain ya?” Ujar
Intan sambil memberikan sisa undangan di tangannya.

Di tengah asyiknya obrolan mereka, tiba – tiba abang G-food datang membawa
beberapa bungkus makanan di tangannya. Intan pun menerimanya dan
membawanya masuk ke meja makan.

Setelah menaruh makanan di atas meja makan, Intan naik ke lantai atas untuk
memanggil Ricko dan mengajaknya makan bersama.

Saat Intan memasuki ruang kerja Ricko, ia melihat Ricko sedang menatap
laptopnya. Intan mendekat dan memegang bahunya.

“Mas ayo makan.” Ajak Intan. Ricko pun menarik tangan Intan sehingga Intan
terjatuh di pangkuannya.

“Aaaaah...” Pekik Intan terkejut.

“Apa teman - temanmu sudah pulang?” Tanya Ricko di depan wajah Intan
sambil melingkarkan tangannya di pinggang Intan.

“Belum Mas. Kenapa?” Tanya Intan balik.

“Nggakpapa. Kamu baru pulang dari rumah sakit. Harus banyak istirahat.”
Jawab Ricko lalu mematuk bibir Intan.

“Mas... jangan macam - macam. Di bawah ada teman – temanku loh...” Ujar
Intan sambil memegang kedua pipi Ricko dengan kedua telapak tangannya.

“Aku macam – macam apa? Ayo turun. Aku sudah lapar.” Ujar Ricko lalu
menurunkan Intan dari pangkuannya dan menggandengnya keluar dari ruang
kerjanya.
Setelah sampai di meja makan, Ricko duduk di meja makan sedangkan Intan
mengambil beberapa piring untuk makan mereka berlima.

Setelah semuanya siap, Intan ke ruang tamu untuk memanggil teman –


temannya dan mengajak mereka untuk makan bersama di meja makan.

Saat Melly, Vina, dan Rita sampai di meja makan, mereka melihat Ricko sedang
duduk menunggu kedatangan mereka. Mereka pun segera duduk tanpa
mengeluarkan suara sedikitpun. Mereka sangat takut dengan Ricko. Mereka
masih ingat kejadian Intan pingsan gara – gara Intan melihat berita Rossa di
televisi waktu itu.

“Ayo langsung ambil saja teman – teman.” Ujar Intan menyuruh teman –
temannya untuk mengambil makanan sambil mengambilkan makanan untuk
Ricko.

Mereka pun segera mengambil makanan bergantian. Ricko yang melihat


tingkah mereka pun tersenyum menahan tawa. Setelah mengambilkan
makanan dan menaruhnya di depan Ricko, Intan duduk di samping Ricko lalu
makan bersama.

Tidak berapa lama Romi masuk karena memang pintu ruang tamu tidak di
tutup. Ia segera nyelonong masuk dan melihat Ricko, Intan, dan teman –
teman Intan sedang makan bersama di meja makan.

“Waduh ada yang lagi makan besar nih.” Ujar Romi sambil berjalan mendekat
ke arah meja makan.

“kalau mau, duduk dan makan.” Ujar Ricko datar di sela makannya. Romi pun
segera duduk dan melihat ke samping ternyata ada si Vina adiknya sendiri.

“Vina?” Panggil Romi pada Vina.

“Iya.” Jawab Vina sambil berbisik.

“Kenapa kamu bisa di sini?” Tanya Romi ikut berbisik juga.

“Kan kemarin aku sudah bilang mau menjenguk Intan.” Jawab Vina.
“Aku kira kamu ke rumah sakit.” Balas Romi.

“Iya tadi sempat ke rumah sakit. Ternyata Intannya sudah mau pulang. Jadi
nyamperin ke rumah sekalian.” Jawab Vina.

Setelah makan, Ricko dan Romi naik ke atas untuk membahas pekerjaan.
Sesampainya di ruang kerja, Ricko segera menutup pintu dan duduk di
kursinya.

“Rom, kenapa si Rossa bisa keluar dari penjara dan berkeliaran bebas?” Tanya
Ricko pada Romi.

“Ada yang menjaminnya Rick. Aku juga tidak tahu siapa. Yang aku dengar
hanya itu. Kenapa?” Jawab Romi.

“Beberapa hari yang lalu saat aku makan bersama Intan, tiba – tiba dia datang
dan menyiram kepala Intan dengan air.” Jawab Ricko sambil membuka berkas
yang di bawa Romi.

“Lagian ngapain juga kamu dulu pacaran sama dia? Aku aja nggak mau.” Balas
Romi sambil nyengir.

“Awal pacaran dulu aku kan tidak tahu sifat aslinya. Apalagi kita jarang
bertemu. Kita sama – sama sibuk dengan pekerjaan masing – masing. Oh iya
nanti sebelum pergi bawalah undangan di meja ruang tamu.” Ujar Ricko pada
Romi.

“Siap!” Balas Romi.

Setelah Romi selesai urusannya dengan Ricko, ia kembali ke perusahaan untuk


mengurus penyebaran undangan pesta pernikahan Ricko. Sementara itu Intan
istirahat di kamar lantai atas karena ketiga sahabatnya sudah pulang setelah
makan siang tadi.

Ricko yang tidak menemukan Intan di ruang tamu segera mencarinya di kamar
lantai bawah. Tetapi ia tidak menemuka Intan di sana. Ia pun segera naik
ke lantai atas dan masuk ke dalam kamarnya. Di sana ia menemukan Intan
sedang berbaring dan menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur.
“Mas Romi sudah pulang Mas?” Tanya Intan pada Ricko.

“Hmmmm.” Jawab Ricko sambil berjalan mendekat ke arah Intan dan duduk di
tepi tempat tidur.

“Mas… besok di sekolahku ada acara wisuda. Aku boleh datang kan?” Tanya
Intan takut Ricko melarangnya karena ia baru keluar dari rumah sakit.

“Boleh. Asal datang bersamaku.” Jawab Ricko sambil memegang tangan Intan
dan tersenyum. Ricko tahu wisuda ini akan menjadi momen yang spesial bagi
Intan di akhir sekolah SMA-nya.

“Terima kasih Mas…” Ujar Intan senang lalu memeluk Ricko dengan erat.

Sore hari asisten rumah tangga yang di pesan Ricko dari yayasan datang.
Mereka ibu – ibu berusia sekitar 35 dan 45 tahun. Setelah memencet bel tiga

kali barulah pintu terbuka dan tampaklah wajah tampan Ricko di ambang pintu.

“Kalian siapa?” Tanya Ricko saat melihat 2 orang ibu – ibu di depan pintu
rumahnya.

“Kami asisten rumah tangga dari yayasan yang Bapak pesan.” Jawab salah satu
dari mereka.

“Masuk!” Ujar Ricko mempersilakan mereka masuk ke ruang tamu. Mereka


pun masuk dan duduk di sofa ruang tamu.

“Sebutkan nama kalian!” Ujar Ricko pada kedua orang wanita itu setelah duduk
di sofa.

“Saya Mariani biasa di panggil Ani Pak.” Jawab wanita yang berusia 45 tahun.

“Saya Susiana biasa di panggil Susi.” Jawab wanita yang berusia 35 tahun.

“Okey tugas kalian seperti pekerjaan rumah tangga pada umumnya dan juga
menjaga istri saya yang sedang hamil.” Ujar Ricko pada Susi dan Ani.

“Baik Pak.” Jawab Susi dan Ani bersamaan.


“Ayo ke belakang. Saya tunjukkan kamar kalian.” Ujar Ricko lalu berdiri dan
diikuti Susi dan Ani.

“Jangan lupa memasak untuk malam ini. Kami biasa makan malam pukul tujuh
malam.” Ujar Ricko sebelum pergi setelah mengantar Susi dan Ani ke kamar
mereka.

“Baik Pak.” Jawab Susi dan Ani bersamaan.

Setelah mengantar Susi dan Ani ke kamar mereka, Ricko kembali ke kamar
lantai atas di mana Intan berada. Di sana Intan sedang memilih - milih pakaian
yang akan ia pakai untuk wisuda besok.

“Kamu ngapain?” Tanya Ricko pada Intan karena melihat Intan mengeluarkan
beberapa pakaiannya dari almari.

“Mencari pakaian yang cocok untuk wisudaku besok Mas.” Jawab Intan tanpa
memandang ke arah Ricko dan tetap fokus memilah – milah pakaiannya.

“Tidak usah. Untuk besok aku sudah memanggil orang salon untuk merias dan
memberikan gaun untukmu. Kamu tidak perlu ikut menjadi peserta wisuda,
cukup jadi tamu saja.” Balas Ricko tersenyum lalu mengajak Intan duduk di
tepi
tempat tidur.

“Di bawah ada 2 orang pembantu baru. Kalau kamu butuh apa – apa panggil
saja mereka. Mulai sekarang kamu tidak perlu memasak lagi.” Ujar Ricko pada
Intan.

“Banyak amat Mas 2 orang?” Tanya Intan heran.

“Supaya mereka bisa menjagamu bergantian. Aku tidak mau terjadi apa – apa
sama kamu apalagi anakku.” Jawab Ricko sambil membelai perut Intan yang
masih rata.

“Iya Mas.” Balas Intan sambil tersenyum.

Malam hari Susi dan Ani sedang menyiapkan makan malam di dapur. Mereka
bingung harus memasak berapa porsi karena mereka tidak tahu berapa jumlah
penghuni di rumah Ricko.

“Sus, kita masak berapa banyak ya?” Tanya Ani pada Susi.
“Nggak Tahu Mbak. Tadi Pak Ricko bilangnya hanya ‘istriku’. Mungkin
penghuni rumah ini hanya 2 orang Mbak.” Jawab Susi mengira – ngira.

“Mmmm kamu bener juga.” Balas Ani lalu mengeluarkan bahan – bahan yang
ada di kulkas dan memasaknya.

Setengah jam kemudian Intan dan Ricko menuruni tangga untuk menikmati
makan malam mereka. Ricko berjalan sambil memeluk bahu Intan. Intan juga
merasa penasaran dengan asisten rumah tangga mereka yang baru. Sesampainya
di meja makan, Ricko dan Intan segera duduk sambil menanti makanan di
sajikan.

“Selamat malam Pak… Mbak…” Sapa Susi yang sedang menaruh makanan di
atas meja makan.

“Hmmm.” Gumam Ricko.

“Malam juga Bu. Ibu namanya siapa kalau boleh tahu?” Tanya Intan ingin tahu
sambil tersenyum.

“Susi Mbak.” Jawab Susi sambil tersenyum juga lalu kembali ke dapur.

“Kalau ibu yang satunya namanya siapa Mas?” Tanya Intan pada Ricko.

“Ani apa Ina gitu kalau nggak salah. Aku lupa. Ayo makan sebelum dingin.”
Jawab Ricko mengajak
Intan untuk segera makan.

Setelah makan, Ricko mengajak Intan kembali untuk beristirahat di kamar


karena besok akan menjalani aktivitas yang menguras banyak energi. Ricko
tidak mau Intan pingsan lagi.

Di dapur Ani dan Susi sedang membersikan dapur dan meja makan. Mereka
masih bertanya – tanya apakah Intan itu istrinya Ricko atau adiknya karena
masih sangat muda.

“Mbak, gadis cantik yang makan bareng sama Pak Ricko tadi siapa ya?” Tanya
Susi pada Ani penasaran.
“ya istrinya lah Sus, kamu kira siapa?” Tanya Ani balik.

“Aku kira adiknya Mbak. Kan masih muda gitu seperti anak SMA.” Jawab
Susi.

“Lambat laun kita akan mengetahuinya sendiri. Ayo tidur kalau sudah selesai.”
Balas Ani lalu pergi ke kamarnya.

Di lantai atas Ricko dan Intan sudah berbaring di tempat tidur di bawah selimut.
Intan tidur di atas lengan Ricko yang sedang memeluknya.

“Mas…” panggil Intan.

“Hmmm.” Gumam Ricko membalas panggilan Intan.

“Mas Ricko nganggap Intan apa sih?” Tanya Intan pada Ricko.

“Istri.” Jawab Ricko singkat.

“Cuma itu doang?” Tanya Intan tidak puas dengan jawaban Ricko.

“Lalu maunya di anggap apa? Kan memang kamu istriku.” Balas Ricko sambil
menjepit hidung Intan. Intan pun semakin cemberut.

“Perasaan Mas Ricko ke Intan gimana sih?” Tanya Intan lagi sambil
memandang wajah Ricko.

“Sudah malam ayo tidur. Besok kamu harus pergi ke sekolah.” Ujar Ricko
sambil menarik selimut hingga ke dada Intan.

“Mas! Kamu menghindari pertanyaanku?” Tanya Intan dengan kesal.

“Aku tidak tahu. Yang ingin aku lakukan hanyalah melindungimu, menjagamu,
menyayangimu, membahagiakanmu, dan memperlakukanmu sebaik mungkin
dan sebisa yang aku lakukan.” Jawab Ricko sambil memejamkan matanya.

“Apa kamu mencintaiku Mas? Tapi kamu tidak pernah mengatakan dan
menyatakannya padaku?” Tanya Intan semakin penasaran dengan perasaan
Ricko yang sebenarnya.
“Mana yang lebih penting? Perkataan atau perbuatan?” Balas Ricko pada Intan
dengan masih tetap berbaring dan memejamkan matanya.

Intan pun memejamkan matanya sambil memikirkan perkataan Ricko. Memang


benar selama ini Ricko sangat baik terhadapnya. Ricko menjaganya,
melidunginya, menyayanginya, menafkahinya, dan memperlakukannya dengan
sangat baik. Seharusnya ia tidak perlu mengharapkan kata – kata cinta yang
hanya terucap di bibir saja.

Pagi hari saat Intan membuka matanya, ia melihat Ricko sedang memandangi
wajahnya. Intan mengerutkan dahinya merasa heran. Ia berpikir apakah ada air
liur yang mengalir dari mulut di pipinya. Ia pun mengusap bibirnya berharap
menghapus air liurnya. Ricko yang melihat kelakuan Intan pun tersenyum.

“Mas Ricko kenapa ngelihatin aku seperti itu?” Tanya Intan pada Ricko dengan
cemberut.

“Aku ingin mengamati wajahmu dengan seksama.” Jawab Ricko sambil


tersenyum dan menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Intan ke
belakang telinganya.

“Tumben? Kenapa?” Tanya Intan merasa heran.

“Kamu semakin cantik semenjak hamil dan juga semakin berisi.” Jawab Ricko
jujur.

“Mas Ricko ngatain aku gendut?” Tanya Intan tidak terima di katain “semakin
berisi”. Ricko pun tertawa mendengar pernyataan Intan.

“Tidak. Dulu kamu terlalu kurus. Sekarang sudah ideal. Jangan terlalu sensitif.
Ambil positifnya supaya kamu tidak stres. Cepat mandi setelah itu sarapan. Aku
sudah menyuruh asisten rumah tangga kita untuk segera memasak pagi ini.
Sebentar lagi orang salon akan datang.” Ujar Ricko pada Intan dengan tenang
dan sabar.

“Iya Mas.” Balas Intan sambil membuka selimutnya lalu bangkit dan pergi ke
kamar mandi.

Ricko mengambil ponselnya di nakas lalu mengirim pesan ke Romi dan Lia
bahwa hari ini ia tidak datang ke perusahaan lagi karena akan menemani Intan
untuk datang ke acara wisuda. Setelah itu ia bangkit dan keluar kamar lalu turun
menuju meja makan dan duduk di sana untuk menikmati kopi pagi hari seperti
biasanya.

“Buatkan saya secangkir kopi.” Ujar Ricko pada asisten rumah tangganya yang
baru bekerja mulai kemarin sore.

“Baik Pak.” Jawab Susi yang sedang membantu Ani memasak.

Tidak berapa lama kopi pun datang. Saat Ricko sedang menyesap kopinya Intan
turun dan duduk di samping Ricko. Ia melihat ke meja makan dan belum
terhidang apapun di sana padahal perutnya sudah merasa lapar.

“Makanannya belum siap. Apa kamu mau roti atau susu?” Tanya Ricko pada
Intan.

“Hmmm. Aku mau susu rasa jeruk Mas.” Jawab intan pada Ricko karena akhir
– akhir ini Ricko lah yang membuatkan susu untuk Intan.

“Tolong buatkan susu rasa jeruk untuk istriku.” Ujar Ricko pada asisten rumah
tangganya.

“Baik Pak.” Jawab Susi lagi karena Ani sedang memasak. Setelah mendengar
perintah Ricko tadi kini Susi dan Ani pun tahu bahwa Intan adalah istrinya
Ricko.

“Silakan Mbak…” Ujar Susi setelah menaruh segelas susu di atas meja tepatnya
di depan Intan.

"Terima kasih." Ujar Intan lalu segera meminum susunya dan merasa agak
aneh. Susunya terasa tidak seenak biasanya.

“Mas lain kali aku mau kamu yang bikin susunya seperti biasanya.” Ujar Intan
sambil berbisik mendekat ke arah Ricko.

“Kenapa?” Tanya Ricko.

“Lebih enak buatan kamu Mas. Mungkin anak kamu minta papanya yang
bikinin susunya.” Jawab Intan beralasan.

“Iya.” Balas Ricko percaya dengan kata – kata Intan.


Setelah sarapan, orang dari salon yang dipanggil Ricko kemarin pun datang.
Mereka membawa peralatan make up lengkap dan beberapa gaun sederhana
karena kemarin Ricko sudah berpesan agar tidak membawa gaun yang terlalu
ribet supaya Intan merasa nyaman ketika memakainya.

Sebelum dirias, Intan mencoba beberapa gaun dahulu hingga ia merasa cocok
dan nyaman. Sementara itu Ricko di kamar mandi untuk membersihkan
tubuhnya. Setelah itu tukang rias dari salon mulai merias wajah Intan dengan
sangat hati – hati karena mereka tahu Intan istri dari Ricko Argadinata.

Setelah mandi, Ricko berganti pakaian di dalam kamarnya. Ia memilih kemeja


putih, jas hitam dan dasi kupu – kupu berwarna hitam. Setelah memakai
pakaiannya, ia berkaca dulu sebelum keluar dari dalam kamarnya. Ia pun
tersenyum puas setelah melihat bayangannya di dalam kaca. Setelah itu ia
keluar dari dalam kamar dan menuruni tangga lalu masuk ke dalam kamar
lantai bawah di mana Intan sedang dirias di sana.

Saat Ricko masuk, ia melihat punggung Intan yang kini memakai gaun
berwarna hijau botol sedang dirias oleh tukang rias dari salon yang di panggil
Ricko kemarin. Ricko duduk di tepi tempat tidur sambil menunggu Intan selesai
di rias dan memainkan ponselnya. Tidak berapa lama Intan pun selesai dirias
dan berbalik untuk bertanya pada Ricko.

“Gimana Mas? Cantik?” Tanya Intan pada Ricko. Ricko yang tadinya tertunduk
memainkan ponselnya kini memandang Intan yang sedang menantikan
jawabannya. Ricko tidak menyangka Intan akan secantik ini setelah dirias.

“I… iya.” Jawab Ricko terbata – bata karena takjub. Intan pun tersenyum
karena puas dengan jawaban Ricko. Begitu juga dengan tukang riasnya ikut
merasa lega karena Ricko suka dengan hasil karya tangannya.

“Ayo segera berangkat. Ini sudah siang.” Ajak Ricko seraya berdiri setelah
melihat jam tangan di lengannya dan membetulkan letak jasnya. Intan pun
bangkit dan berjalan ke arah Ricko lalu memeluk lengannya dan tersenyum.

Mereka berjalan bergandengan menuju garasi lalu masuk ke dalam mobil dan
melajukan mobilnya ke sekolah Intan.
Sementara itu kedua pembantunya melihat kemesraan mereka merasa iri. Ani
adalah janda beranak 1 yang sedang kuliah di sebuah universitas. Sedangkan
Susi perawan tua yang belum menikah hingga usianya kini 35 tahun.

Di sekolah, Adit sedang membantu mempersiapkan persiapan untuk acara


wisuda karena ia adalah ketua OSIS di sekolahnya. Ia juga mempersiapkan
anggota band-nya karena ia akan menyanyikan sebuah lagu setelah acara
wisuda selesai.

Ketika Ricko dan Intan sampai di sekolah, acara wisuda baru saja di mulai.
Karena macet, sehingga Ricko dan Intan pun datang sedikit terlambat. Mereka
segera memasuki gedung aula sekolah di mana acara wisuda diselenggarakan.

Semua mata melihat ke arah Intan dan Ricko yang jalan bergandengan seperti
raja dan ratu. Karena hanya Intan yang datang ke sekolah membawa
pasangannya. Apalagi semenjak gosip yang di buat Rossa, Intan menjadi
terkenal karena Ricko akhirnya mengumumkan pernikahannya. Mereka pun
duduk di kursi yang masih kosong lalu mengikuti acaranya hingga selesai.

Tidak berapa lama Adit naik ke atas panggung beserta anggota band-nya. Ia
akan menyanyikan sebuah lagu yang ia ciptakan sendiri. Alunan musik pun
mulai terdengar. Intan dan Ricko menyaksikannya. Tidak berapa lama terdengar
suara Adit yang sedang bernyanyi. Mata Adit mencari - cari sosok Intan yang ia
cintai selama ini.

Sing a song

Aku terasa mati ditinggal kekasih


Tak pernah terpikir ini bisa terjadi
Aku terasa pilu saat kau berlalu
Hilang semua kisah cinta dalam hatiku

Cintaku padamu tlah setinggi langit


Namun kau tak merasakan
Sayangku padamu kan ku ingat slalu
Biar ku bawa sendiri

Aku tak bisa menahan langkah kakimu


Aku tak bisa menahan kepergianmu
Kamu terlalu telah dengan yang lain
Untuk hidupmu nanti

Aku tak bisa menahan air mataku


Aku tak bisa menahan kesedihanku
Aku telah hancur hilang semua mimpiku

Rikco yang mendengar nyanyian Adit merasa tidak nyaman. Ia merasa Adit
menyanyikan lagu itu untuk Intan. Ricko tahu Adit menyukai Intan sejak lama.
Ia
sering memergoki Adit mendekati Intan. Sekarang Intan sudah menjadi istrinya,
tentu saja ia merasa cemburu kalau istrinya di incar orang lain. Ia segera
memegang tangan Intan lalu berdiri mengajak Intan keluar ruangan aula.

"Ada apa Mas?" Tanya Intan merasa heran pada Ricko.

"Ayo pulang." Jawab Ricko sambil mengeluarkan kunci mobil dari sakunya.

"Tapi acaranya belum selesai Mas." Tolak Intan dan hendak masuk ke dalam
aula lagi.

"Apa kamu menyukainya? kamu menyukai laki - laki itu?" Tanya Ricko sedikit
emosional sambil memegang tangan Intan.

"Cemburumu tidak beralasan Mas." Balas Intan lalu menghentakkan tangan


Ricko dan masuk kembali ke dalam aula.

Ricko pun merasa kesal lalu pergi ke area parkir dan menunggu Intan di dalam
mobil. Ia tidak akan mengekang istri kecilnya itu supaya tidak stres karena
sedang mengandung anaknya.

Setelah kepergian Vina, Adit membuka undangan itu lalu membacanya. Ia


tidak menyangka akan mendapatkan undangan pesta pernikahan wanita yang
ia cintai selama ini. Setelah membaca undangan itu, Adit meremasnya lalu
melemparkannya ke sembarang arah dengan sekuat tenaganya.

Karena Adit sedang kesal, ia tidak melihat ke mana larinya undangan yang ia
lempar tadi. Setelah melempar undangan itu ia tertunduk sambil menahan
kedua lengannya di atas pahanya. Tidak berapa lama ia melihat sepasang
sepatu meghampirinya. Ia pun mengangkat kepalanya dan mendongak ke
pemilik sepatu tersebut.

“Kenapa kamu membuang undangan ini?” Tanya seseorang yng menghampiri


Adit.

“Maaf saya tidak sengaja Pak.” Jawab Adit meminta maaf pada orang tersebut.
Orang itu pun tersenyum getir.

“Aku tahu kamu menyukai Intan. Asal kamu tahu, dia sudah menjadi istriku
dan sekarang ia sedang mengandung anakku. Jadi jangan pernah berharap
untuk mendapatkannya lagi dan juga jangan pernah mendekatinya lagi. Apa
kamu mengerti?” Ujar orang itu yang ternyata adalah Ricko. Ia kembali masuk
ke dalam gedung aula untuk mencari Intan karena Intan harus banyak –
banyak beristirahat.

“Iya Pak saya mengerti. Saya juga tahu diri dan tidak akan merebut istri orang
lain.” Jawab Adit dengan mantab.

“Bagus. Aku suka prinsipmu. Semoga kata – katamu bisa dipegang.” Ujar Ricko
mencibir kata – kata Adit lalu pergi sambil menepuk bahu Adit dua kali.

Adit pun menyaksikan kepergian Rikco sambil mengepalkan telapak tangannya


yang terjuntai ke bawah. Ia sadar bahwa ia tidak bisa di bandingkan dengan
Ricko. Ricko laki – laki yang mapan, tampan, dan pandai. Sedangkan ia
hanyalah siswa SMA yang hanya mempunyai cinta yang tulus untuk Intan.

Setelah mengelilingi gedung aula, akhirnya Ricko menemukan sosok Intan


yang sedang berkumpul dengan teman - temannya. Ia melihat Intan sedang
tertawa lepas sambil menutupi mulutnya dengan tangannya.

Ricko tidak segera menghampirinya. Ia mengamati Intan dari kejauhan sambil


melipat kedua lengan di dadanya. Ia melihat Intan begitu senang dan bahagia
tertawa lepas dan berfoto ria bersama teman - temannya.

Ricko tahu dan sadar bahwa remaja di usia Intan memang seharusnya bebas
bermain bersama teman – temannya bukan menjadi seorang istri apalagi hamil
seperti yang di alami Intan saat ini.
Akhirnya Ricko pun tidak segera mengajak Intan pulang. Ia hanya mengawasi
Intan dari kejauhan. Ia akan membiarkan Intan puas berkumpul dengan teman -
temannya.

Tidak berapa lama Adit menghampiri Intan. Adit mengulurkan tangannya lalu
menjabat tangan Intan. Intan menerima uluran tangan Adit dengan tersenyum.
Ricko menyaksikan itu dari kejauhan.

“Selamat ya atas pernikahanmu dan... selamat juga atas kehamilanmu.” Ujar


Adit pada Intan sambil tersenyum. Intan yang tadinya tersenyum tiba – tiba
terkejut dan berhenti tersenyum.

‘Dari mana Adit tahu aku hamil?’ Batin Intan.

Semua orang di sekitar Intan menoleh pada Intan setelah mendengar ucapan
Adit yang mengatakan bahwa Intan hamil. Intan melihat ke sekelilingnya dan
merasa malu dengan tatapan semua teman - temannya.

“Terima kasih Dit.” Balas Intan sambil tersenyum canggung. Setelah itu ia
mengambil tasnya dan hendak pergi.

“Mau ke mana?” Tanya Adit yang melihat Intan akan pergi.

“Pulang Dit. Aku harus banyak – banyak istirahat. Mari semuanya. Aku pulang
dulu ya.” Ujar Intan sebelum meninggalkan teman - temannya.

Ricko segera mengejar Intan ketika melihat Intan pergi. Setelah sampai di
depan pintu aula, Ricko menarik tangan Intan dari belakang. Intan yang merasa
ada yang menarik tangannya segera menghentikan langkahnya dan melihat
siapa orang yang menarik tangannya.

“Mas Ricko? Kenapa bisa ada di sini?” Tanya Intan heran.

“Aku mencarimu. Apa kamu mau pulang sekarang?” Tanya Ricko dengan
sabar.

“Hmmm.” Balas Intan sambil menganggukkan kepalanya.

Ricko pun menggandeng tangan Intan ke area parkir di mana mobilnya berada.
Adit menyaksikan kepergian Intan yang bergandengan tangan dengan Ricko
dari kejauhan. Ia memegangi dadanya yang tiba – tiba terasa sesak setelah itu ia
pergi ke toilet.
Di toilet Adit mencuci mukanya di wastafel dan membasahi rambutnya. Setelah
itu ia menatap kaca dan tampaklah bayangan wajahnya dengan mata memerah.
Sedari tadi ia berusaha menahan diri agar tidak menangis, tapi akhirnya air mata
itu lolos dari pelupuk matanya.

“Intan... Intan... Intan...” Gumam Adit sambil mengeratkan giginya dan meninju
tembok di sampingnya. Sebenarnya ia ingin meninju kaca di depannya tapi ia
takut terkena masalah dengan pihak sekolah. Apalagi ia ketua OSIS jadi harus
memberikan contoh yang baik pada anggotanya.

Di dalam mobil dalam perjalanan pulang, Intan dan Ricko tidak saling bicara
hingga mereka sampai di rumah. Intan masih memikirkan dari mana Adit tahu
bahwa ia hamil. Yang tahu tentang kehamilannya hanya ketiga sahabatnya.

Setelah Ricko memarkirkan mobilnya di garasi, Intan segera membuka pintu


mobil dan turun lalu masuk ke dalam rumah. Ricko merasa heran dengan
istrinya itu. Sebentar ceria, sebentar ngambek, sebentar marah, sebentar sedih,
kadang manja juga.

Saat Ricko menaiki tangga untuk mengejar Intan, ada sepasang mata wanita
muda yang sedang mengamatinya dari meja makan.

“Jadi laki – laki barusan itu yang jadi majikan Ibu sekarang?” Tanya seorang
gadis yang sedang makan camilan di meja makan pada Bu Ani.

“Iya. Kalau sudah selesai makan cepat pulang.” Balas Bu Ani pada Rena yang
tak lain adalah anak Bu Ani.

“Lalu yang cewek barusan adiknya ya Bu?” Tanya Rena lagi karena merasa
penasaran.

“Bukan. Dia istrinya.” Jawab Bu Ani sambil memasak untuk makan siang.
Sedangkan Susi mencuci dan membersihkan rumah.

“Apa Ibu nggak salah? Dia seperti anak sekolah Bu.” Balas Rena tidak percaya.

“Sudah pulang sana Rena. Ibu sibuk. Sebentar lagi majikan Ibu turun akan
makan siang.” Ujar Bu Ani mengusir Rena.
Rena pun mengambil tasnya yang ia taruh di atas meja makan lalu pergi keluar
dari rumah Ricko. Hari ini ia datang ke rumah Ricko untuk meminta uang pada
Bu Ani. Karena ia tidak mempunyai seorang ayah, jadi satu – satunya tulang
punggung di keluarganya adalah Bu Ani.

Di lantai atas setelah berganti pakaian, Intan membaringkan tubuhnya yang


letih di tempat tidur. Ia merasa punggungnya sangat lelah.

Ricko keluar dari dalam kamar mandi dan melihat Intan sedang berbaring. Ia
pun menghampiri Intan dan duduk di tepi ranjang.

“Kamu kenapa tiba – tiba bete gitu?” Tanya Ricko pada Intan.

“Aku malu Mas. Sekarang semua teman – temanku tahu aku hamil.” Balas
Intan dengan cemberut.

“Lalu kenapa? Kan kamu hamil juga karena sudah menikah. Kamu tidak hamil
di luar nikah. Jadi tidak perlu malu. Ayo turun kita makan siang.” Ujar Ricko
sambil menarik tangan Intan. Intan pun bangkit dan mengikuti Ricko turun ke
bawah untuk makan siang.

Saat Ricko dan Intan menuruni tangga, Bu Ani melihat mereka dan segera
menghidangkan makanan di atas meja makan. Setelah sampai di meja makan
Ricko dan Intan segera duduk untuk menikmati makan siang mereka.

Ricko menaruh banyak sayur dan lauk ke piring Intan. Ia ingin Intan banyak
makan makanan bergizi supaya anak yang di kandung Intan berkembang
sempurna.

“Mas sudah. Aku nggak sanggup menghabiskan makanan sebanyak ini.” Ujar
Intan menghentikan Ricko yang menaruh makanan ke piringnya.

“Biar kamu dan anak kita sehat. Ayo buka mulutmu!” Balas Ricko lalu
menyendok makanan dan mengarahkan ke mulut Intan. Intan pun membuka
mulutnya dengan kesal.

Semenjak Intan hamil, Ricko selalu memaksa Intan makan dan minum susu
setiap hari. Alhasil tubuh Intan pun mulai mengembang.

Setelah Ricko dan Intan selesai makan siang, Bu Ani segera menghampiri
mereka sebelum mereka beranjak pergi naik ke atas.
“Maaf Pak, bolehkah saya meminta gaji saya di muka?” Tanya Bu Ani pada
Ricko dengan menunduk sopan.

“Kenapa?” Tanya Ricko ingin tahu sambil mengusap bibirnya dengan tisu.

“Tadi anak saya datang ke sini meminta uang untuk membayar daftar ulang
kuliahnya Pak.” Jawab Bu Ani jujur.

“Saya tidak punya uang cash banyak di rumah. Nanti sore ya setelah asisten
saya datang.” Ujar Ricko sambil berdiri hendak beranjak pergi.

“Baik Pak. Terima kasih.” Balas Bu Ani senang karena Ricko mengabulkan
permintaannya.

Setelah masuk ke dalam kamarnya, Ricko segera mengambil ponselnya dan


mengirim pesan pada Romi untuk membawa uang 10 juta dan berkas ke
rumahnya sore ini.

Tentu saja Romi sangat bersemangat setiap Ricko menyuruhnya datang ke


rumahnya. Dengan begitu ia bisa melihat Intan meskipun tidak bisa
memilikinya.

Sore hari Romi akhirnya tiba di rumah Ricko. Ia berharap yang membukakan
pintu adalah intan. Tapi saat ia memencet bel rumah Ricko yang keluar adalah
Susi. Romi pun bertanya – tanya siapa wanita yang baru ia lihat di rumah Ricko
hari ini. Karena Ricko memang belum menceritakan pada Romi bahwa ia telah
mengambil pembantu lagi.

“Mau cari siapa Mas?” Tanya Susi pada Romi dengan sopan.

“Pak Ricko, saya sudah ada janji tadi siang.” Jawab Romi dengan sopan.

“Silakan masuk Mas. Saya panggilkan Pak Ricko dulu.” Balas Susi
mempersilakan Romi masuk dan duduk di sofa.

Setelah mempersilakan Romi masuk, Susi naik ke lantai atas dan menuju pintu
kamar Ricko. Ia sudah tahu di mana kamar Ricko dan Intan karena tadi ia sudah
membersihkan lantai atas saat ricko dan Intan pergi ke sekolah.
“Pak Ricko, ada tamu yang sedang mencari anda.” Ujar Susi setelah mengetuk
pintu kamar Ricko.

Tidak berapa lama pintu kamar terbuka dan tampaklah Intan yang berantakan
seperti bangun tidur. Intan mengucek matanya dan merapikan rambutnya yang
berantakan lalu menguncirnya ke atas menampakkan lehernya yang putih
bersih.

“Ada apa Mbak?” Tanya Intan saat melihat Susi di depan pintu kamarnya.

“Ada tamu yang mencari Pak Ricko Mbak.” Jawab Susi sopan.

“Siapa?” Tanya Intan lagi ingin tahu.

“Waduh nggak tahu Mbak. Tadi lupa tanya. Tapi katanya sudah janjian sama
Pak Ricko tadi siang.” Jawab Susi lagi.

“Oh pasti itu Mas Romi. Ya sudah Mbak Susi tolong buatkan minum ya. Mas
Ricko masih mandi. Biar saya yang menemui Mas Romi.” Balas Intan sambil
menutup pintu kamarnya.

Susi pun mengiyakan dan mengikuti Intan menuruni tangga lalu pergi ke dapur.
Sedangkan Intan segera menuju ruang tamu di mana Romi berada. Saat melihat
Intan keluar, Romi merasa heran karena tubuh Intan yang mulai berisi dari pada
sebelumya. Intan terlihat lebih gemuk dari waktu pertama mereka bertemu dulu.

“Hai Mas Romi, Mas Ricko-nya masih mandi. Tunggu sebentar ya?” Sapa
Intan sambil duduk di sofa depan Romi dan tersenyum.

“Okey.” Balas Romi sambil tersenyum dan menatap Intan.

‘Kenapa semakin ke sini dia semakin cantik?’ Batin Romi. Ia memandangi


Intan terus menerus hingga akhirnya Ricko datang.

“Ehm – ehm.” Gumam Ricko menyadarkan Romi lalu mengalihkan


pandangannya dari Intan.

“Ayo masuk ke ruang kerjaku.” Ajak Ricko pada Romi. Romi pun berjalan
mengikuti di belakang Ricko.

Intan pergi ke dapur untuk minum air putih dan memberitahu Susi untuk
mengantar minuman ke ruang kerja Ricko di lantai atas. Setelah itu Intan
kembali ke kamarnya untuk mandi.

Di dalam ruang kerja, Romi memberikan amplop berwarna coklat berisi uang
10 juta seperti yang di minta Ricko tadi siang. Ia juga memberikan berkas
penting yang harus ditanda tangani Ricko hari ini.

“Masukkan masing – masing 2,5 juta ke dalam amplop ini.” Ujar Ricko sambil
menyerahkan 2 buah amplop pada Romi yang ia ambil dari dalam laci.

“Ini untuk apa Rick?” Tanya Romi ingin tahu.

“Menggaji kedua pembantu baruku. Yang satu minta gaji di muka untuk
membayar daftar ulang kuliah anaknya. Jadi aku gaji sekalian keduanya biar
tidak ada rasa iri di antara mereka.” Balas Ricko sambil membuka berkas lalu
membacanya.

“Oh jadi yang tadi itu pembantu baru kamu? Pantesan aku tidak pernah
melihatnya.” Ujar Romi mulai paham sambil memasukkan uang ke dalam
amplop yang diberikan Ricko.

“Iya. Aku mengambil sekaligus 2 supaya bisa menjaga Intan bergantian. Intan
sekarang hamil.” Balas Ricko tanpa memandang Romi dan tetap fokus
memandang ke arah berkasnya.

Romi mengernyitkan dahinya saat mendengar Intan hamil. Ia tidak menyangka


Ricko benar – benar tega menghamili Intan yang masih sekolah.

Tidak berapa lama Susi masuk untuk mengantar minuman dan menaruhnya di
atas meja kerja Ricko. Setelah itu ia keluar dan menutup kembali pintu ruang
kerja Ricko.

Selain meminta berkas dan uang pada Romi, Ricko juga menanyakan persiapan
pesta pernikahannya yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Ia tidak mau
ada yang kurang dalam pesta pernikahannya karena ia hanya ingin
mengadakannya satu kali dalam seumur hidupnya.

Setelah kepergian Romi, Ricko masuk ke dalam kamarnya dengan membawa


amplop coklat berisi uang 5 juta. Ia akan memberikan uang itu pada Intan untuk
belanja pembantunya setiap hari. Ricko tahu Intan tidak pernah menggunakan
kartu debit dan kredit yang ia berikan, sehingga ia memberikan uang cash itu
pada Intan.
“Ini apa Mas?” Tanya Intan setelah menerima amplop yang diberikan Ricko.

“Bukalah!” Perintah Ricko. Intan pun membukanya dengan hati – hati dan
betapa terkejutnya Intan saat melihat uang yang begitu banyak di dalam
amplop.

“Ini uang apa Mas?” Tanya Intan pada Ricko.

“Uang belanja harian. Sekarang kita sudah punya pembantu. Jadi biarkan
mereka yang berbelanja, kamu tinggal memberi uang pada mereka.” Jawab
Ricko menjelaskan.

“Okey.” Balas Intan lalu memasukkan uang itu ke dalam almari.

Malam hari Ricko dan Intan turun ke bawah untuk makan malam. Ricko
membawa dua amplop berisi uang untuk Bu Ani dan Susi. Saat Bu Ani
menaruh makanan di atas meja makan, Ricko memberikan uang itu pada Bu
Ani.

“Terima kasih Pak.” Ucap Bu Ani senang.

“Tolong panggilkan Mbak Susi juga Bu.” Ujar Intan pada Bu Ani.

Setelah Susi datang, Ricko memberikan amplop berisi uang. Susi menerima
amplop itu dan merasa bingung karena baru bekerja 2 hari tapi ia sudah
menerima gaji.

“Pak, apa saya dipecat? Apa salah saya?” Tanya Susi sudah hampir menangis.
Intan yang melihat Susi hampir menangis karena menerima gaji di muka jadi
tertawa terpingkal – pingkal.

“Tidak. Karena Bi Ani minta gaji di muka, jadi kamu juga menerima gaji di
muka biar adil.” Jawab Ricko dengan santai.

“Oh begitu. Terima kasih Pak Ricko.” Balas Susi lalu kembali ke kamarnya
untuk menyimpan uangnya.

Keesokan harinya ketika matahari baru terbit, Rena sudah datang ke rumah
Ricko karena tadi malam Bu Ani menghubunginya dan mengatakan kalau uang
yang ia minta sudah ada. Ia datang ke rumah Ricko setelah bangun tidur,
sehingga ia numpang mandi dan sarapan di rumah Ricko juga.

Ricko turun bersama Intan untuk sarapan pagi bersama. Saat Ricko dan Intan
menuruni tangga, mereka melihat Rena sedang duduk di meja makan menunggu
sarapan di sajikan. Ricko mengerutkan keningnya saat melihat orang asing di
rumahnya.

“Siapa dia?” Tanya Ricko pada Intan.

“Nggak tahu Mas.” Jawab Intan sambil menggelengkan kepalanya.

“Rena minggir! Pak Ricko sudah turun.” Seru Bu Ani pada Rena saat melihat
Ricko dan Intan sudah berjalan ke arah meja makan.

“Ini siapa Bu Ani?” Tanya Intan pada Bu Ani saat sudah sampai di meja makan.

“Perkenalkan saya Rena anaknya Bu Ani.” Ujar Rena memperkenalkan diri


setelah berdiri dari kursi yang ia duduki.

“ Oh anaknya Bu Ani. Saya Intan.” Balas Intan sambil mengulurkan tangannya


pada Rena. Rena pun menerima uluran tangan Intan.

“Maaf Pak, anak saya pagi – pagi datang ke sini karena ingin mengambil uang.”
Ujar Bu Ani meminta maaf pada Ricko. Ricko menganggukkan kepalanya lalu
menyeruput kopi di depannya.

“Ayo ikut sarapan bersama kami Mbak.” Ajak Intan pada Rena.

“Apa boleh?” Tanya Rena senang.

“Tentu.” Jawab Intan sambil tersenyum.

Rena pun duduk di meja makan sambil tersenyum senang dan ia memilih kursi
di samping Ricko. Ricko meliriknya dengan tatapan tidak suka. Rena tidak tahu
kalau Intan adalah istrinya Ricko. Ia mengira kalau Intan adalah adiknya Ricko
karena usia Rena lebih tua 2 tahun dari Intan.

Setelah makanan di hidangkan Intan mengambilkan makanan untuk Ricko


seperti biasanya, setelah itu menaruh piring itu di depan Ricko. Ketika Intan
sudah duduk kembali ke kursinya, tiba – tiba Rena mengambil bakwan jagung
lalu menaruh di piring Ricko.

“Pak Ricko harus mencicipi bakwan jagung buatan ibu saya. Rasanya sangat
enak sekali loh…” Ujar Rena pada Ricko dengan pedenya.

Ricko tertegun saat melihat Rena yang sok akrab terhadapnya. Begitu juga
dengan Intan, tapi ia tidak ambil pusing karena setela itu Rena juga
menawarkan bakwan jagung itu pada Intan. Setelah itu proses sarapan pagi pun
berlangsung dengan tenang tidak ada satu orang pun yang mengeluarkan suara,
yang terdengarhanyalah bunyi dentingan sendok, garpu dan piring.

Setelah sarapan pagi selesai, Intan mengantar Ricko ke garasi di mana mobilnya
berada. Karena di rumah sudah ada dua orang pembantu, jadi Ricko bisa
meninggalkan Intan di rumah dengan tenang.

Di meja makan Bu Ani dan Rena sedang membersihkan meja makan dan
mengangkut piring kotor ke dapur. Rena masih bertanya – tanya, di mana
istrinya Ricko.

“Bu, di rumah ini penghuninya ada berapa? Di mana istrinya Pak Ricko yang
Rena lihat kemarin?” Tanya Rena pada Bu Ani.

“Mbak Intan yang makan bersamamu tadi itu istrinya Pak Ricko. Di rumah ini
penghuninya hanya 2 orang Pak Ricko dan Mbak Intan.” Jawab Bu Ani pada
Rena sambil mengelap meja makan.

“Oh jadi yang Rena lihat kemarin itu Mbak Intan. Kenapa terlihat berbeda?
Yang Rena lihat kemarin sangat cantik Bu.” Balas Rena tidak percaya.

“Kemarin memang Mbak Intan di rias karena akan wisuda di sekolahnya. Cepat
pergi ibu nggak enak sama yang punya rumah Rena. Lain kali kamu jangan ikut
makan sama mereka lagi, itu nggak sopan.” Ujar Bu Ani menasehati Rena.

Rena pun akhirnya pergi dari rumah Ricko. Dalam perjalan ia mencerna kata –
kata ibunya yang mengatakan bahwa kemarin Intan wisuda di sekolahnya
sedangkan ia sudah menikah.

“Berarti Pak Ricko menikahi Mbak Intan di saat Mbak Intan masih sekolah
dong ya?” Gumam Rena menemukan jawaban sambilo manggut - manggut.
Di perusahaan Ricko sangat sibuk hari ini. Selain mengurusi pekerjaanya, ia
juga mengecek sendiri persiapan pernikahannya yang akan dilaksanakan besok.
Setelah bertemu klien, ia melajukan mobilnya ke hotel di mana ia akan
melangsungkan pesta pernikahannya. Ia merasa puas setelah melihat hasil kerja
wedding organizer yang ia sewa.

Sore hari Ricko pulang ke rumah dan segera naik ke atas lalu masuk ke dalam
kamarnya. Ia melihat Intan baru keluar dari dalam kamar mandi. Ia
membaringkan tubuhnya yang lelah pada tempat tidur sambil melihat Intan
berganti pakaian dan tersenyum.

“Ayo kita keluar.” Ujar Ricko tiba – tiba.

“Ke mana Mas? Apa nggak lebih baik kita di rumah saja menghemat energi.
Besok kita akan melewati hari yang panjang.” Balas Intan sambil menyisir
rambutnya.

“Sudahlah ikut saja. Sekalian bawa baju tidur.” Balas Ricko lalu masuk ke
dalam kamar mandi untuk mandi sebelum berangkat.

Setelah Ricko mandi dan berganti pakaian, ia mengajak Intan masuk ke dalam
mobilnya setelah memberitahukan pada pembantunya bahwa malam ini mereka
tidak pulang ke rumah. Setelah itu ia melajukan mobilnya ke hotel di mana
pesta pernikahannya akan dilaksanakan besok. ????

“Selamat datang Pak Ricko…” Sapa pegawai hotel yang berjaga di pintu depan
lobby hotel sambil menunduk saat melihat Ricko datang. Ricko membalasnya
dengan menganggukkan kepalanya.

“Ambilkan kartu kamarku.” Ujar Ricko pada pegawai hotelnya.

“Baik Pak.” Balas pegawai itu.

Pegawai itu segera menghampiri meja resepsionis untuk meminta kartu kamar
Ricko. Di hotel ini Ricko memiliki kamar khusus untuk dirinya sendiri yang
sangat spesial dan bisa dikatakan mirip apartemen.

Setelah menerima kartu kamarnya, Ricko segera mengajak Intan masuk ke


dalam lift dan memencet tombol angka 15. Di lantai 15 hanya ada 1 kamar yaitu
kamar yang di khususkan untuk Ricko.

“Kenapa kita ke sini Mas?” Tanya Intan masih bingung kenapa Ricko
mengajaknya ke hotel. Seperti biasa Ricko tidak akan menjawabnya.

Saat sudah memasuki kamar, Intan sangat takjub dengan kemewahan dan
keindahan isi kamar itu. Selain ada tempat tidur yang sangat besar, di sana juga
ada dapur, meja makan, kamar mandi, dan ruang tamu juga. Ia segera
menghambur ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya di sana. Karena
besok adalah hari pernikahan mereka, pihak WO juga menghias kamar itu
seindah mungkin. Banyak bunga bertaburan di mana - mana.

“Apa kamu suka?” Tanya Ricko setelah duduk di tepi tempat tidur.

“Iya Mas. Suka sekali.” Balas Intan sambil tersenyum senang. Ini pertama
kalinya Intan masuk dan tidur di hotel, jadi ia merasa sangat senang sekali.

”Apa kamu sudah merasa lapar?” Tanya Ricko karena sudah masuk waktunya
makan malam.

“Iya Mas. Apalagi sekarang aku makan untuk 2 orang sama anak kamu yang
ada di dalam sini.” Jawab Intan sambil membelai perutnya yang masih rata.

“Kamu mau makan di sini apa di resto lantai 3?” Tanya Ricko lagi.

“Di sini saja. Aku capek naik turun terus Mas.” Balas Intan. Setelah itu Ricko
menghubungi resto hotelnya dengan telepon yang ada di meja samping tempat
tidur.

Sambil menunggu makanan datang, Ricko membaringkan tubuhnya di samping


Intan lalu memeluknya. Ia menempelkan hidungnya pada leher Intan sehingga
menimbulkan sensasi geli pada Intan.

“geli Mas… jangan begini.” Ujar Intan sambil mendorong tubuh Ricko.

“Sudah lama kita tidak melakukannya.” Ucap Ricko di telinga Intan dengan
masih memeluk tubuh Intan.

“Aku kan sedang hamil Mas…” Balas Intan menolak halus ajakan Ricko.

“Lalu apa aku harus menunggu sampai kamu melahirkan? Itu lama sekali masih
8 bulan lagi. Aku tidak akan kuat menahannnya.” Seru Ricko sudah tidak tahan
sejak melihat Intan berganti pakaian tadi sore.

“Jadi Mas Ricko mengajakku ke sini karena mau melakukan itu?” Tanya Intan
dengan cemberut karena ia baru menyadari Ricko mengajaknya tidur di hotel
karena ada maksud terselubung.

“Hahaha. Kamu benar.” Balas Ricko lalu memegang tengkuk Intan dan
mencium bibirnya, sedangkan tangan satunya mengunci pinggang Intan.

Ricko mencium Intan dengan kelembutan supaya Intan tidak marah dan
menolaknya. Saat Intan mulai lengah, Ricko menurunkan resleting yang ada di
punggung Intan dengan pelan – pelan. Setelah itu ia menurunkan pakaian
bagian bahu Intan sehingga tampaklah dada intan yang masih tertutup bra.

Saat Ricko akan melanjutkan aksinya, tiba – tiba bel pintunya berbunyi. Ia baru
ingat kalau tadi ia sedang menunggu makanan yang ia pesan datang. Ia segera
bangkit dan membenahi pakaian Intan seperti semula lalu membuka pintu dan
menyuruh pelayan resto itu masuk untuk menaruh makanan di atas meja makan.

Setelah pelayan resto keluar dari kamarnya, Ricko segera menutup pintu
kamarnya kembali dan mengajak Intan untuk segera makan. Ia ingin Intan
makan yang banyak untuk tenaga pertempuran nanti malam.

“Mas, kita hanya berdua kenapa makanannya banyak sekali?” Tanya Intan saat
melihat banyak makanan di atas meja.

“Kita bertiga sekarang. Ada anakku di dalam perutmu. Dia harus makan yang
banyak supaya sehat.” Jawab Ricko sambil duduk di meja makan.

“Tapi ini terlalu banyak Mas. Aku tidak akan sanggup menghabiskannya.”
Balas Intan.

“Aku akan menyuapimu. Tenang saja. Kamu hanya perlu membuka mulut,
mengunyah dan menelannya.” Balas Ricko sambil mengambil makanan dan
menaruhnya di piring.

“Kamu memaksaku makan banyak Mas? Nanti aku gendut. Ini sudah malam
dan sebentar lagi waktunya tidur malam.” Seru Intan tidak percaya Ricko
menyuruhnya makan banyak sebelum tidur.

“Siapa bilang kita akan tidur? Kita akan bertempur. Jadi makanlah yang banyak
supaya kamu bertenaga. Cepat buka mulutmu!” Ujar Ricko sambil
menyodorkan sesendok makanan ke depan mulut Intan. Intan pun membuka
mulutnya dengan cemberut.

Setelah makan dan beristirahat sebentar, Ricko benar – benar mengajak Intan
untuk bercinta. Ricko melakukannya dengan pelan – pelan supaya Intan merasa
nyaman dan tidak trauma.

Pagi hari terdengar suara bel pintu di pencet seseorang berkali – kali. Intan
segera membuka matanya karena mendengar suara bel pintu berbunyi. Ia
melihat ke samping dan tampaklah Ricko yang masih tertidur lelap di bawah
selimut yang sama dengannya. Intan melihat jam di ponselnya dan betapa
terkejutnyaia saat melihat jam sudah menunjukkan pukul 09.05. Intan
membelalakkan matanya dan segera membangunkan Ricko.

“Mas… Mas Ricko ayo bangun!” Ujar Intan sambil menggoyang tubuh Ricko.
Ricko pun akhirnya bangun dan berusaha membuka matanya.

“Ada apa?” Tanya Ricko sambil mengeryitkan dahinya.

“Ada yang datang Mas.” Jawab Intan sambil duduk dan menutupi tubuhnya
yang telanjang dengan selimut.

“Jam berapa sekarang?” Tanya Ricko lagi.

“Jam 9.” Balas Intan.

“Mmmm mungkin itu tukang rias yang datang. Kemarin mereka bilang akan
datang pukul 9 di telepon. Segeralah masuk ke kamar mandi dan mandi, aku
akan membuka pintunya.” Ujar Ricko sambil turun dari tempat tidur dan
memakai pakaiannya kembali.

Intan pun turun dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi. Ricko
mengambil pakaian Intan yang berserakan di lantai lalu memasukkannya ke
dalam almari bagian bawah. Setelah menutup pintu almari, Ricko membuka
pintu kamar hotelnya dan tampaklah 3 orang yang akan merias Intan untuk
acara pesta pernikahan mereka. Ricko segera menyuruh mereka masuk dan
menunggu Intan yang sedang mandi. Sambil menunggu Intan selesai mandi,
Ricko memesan makan di resto hotel via telepon.

Tidak lama kemudian Intan keluar dari dalam kamar mandi menggunakan jubah
mandi dan melihat 3 orang yang tidak ia kenal di dalam kamarnya. Ia merasa
malu dan hendak masuk ke dalam kamar mandi lagi tapi Ricko menarik
tangannya.

“Mereka tukang rias yang akan meriasmu. Tunggulah di sana sebentar lagi
makanan akan datang. Aku mandi dulu.” Ujar Ricko pada Intan. Intan pun
mengerti. Setelah itu Ricko masuk ke dalam kamar mandi dan Intan mulai
dirias.

Sementara itu di rumah Ricko, Bu Ani dan Susi juga bersiap – siap untuk
berangkat ke hotel di mana Intan dan Ricko mengadakan pesta pernikahan.
Ricko mengundang mereka berdua juga ke acara pesta pernikahannya. Tidak
berapa lama Rena datang ke rumah Ricko sebelum Susi dan Bu Ani berangkat.

Rena mengira Ricko akan berada di rumah karena hari ini hari minggu. Ia ingin
melihat wajah tampan Ricko. Rena tidak tahu bahwa hari ini Ricko dan Intan
mengadakan pesta pernikahan mereka di hotel. Saat Rena melihat Bu Ani dan
Susi berpakaian rapi, ia pun bertanya – tanya.

“Ibu mau ke mana?” Tanya Rena pada Bu Ani di dalam kamarnya.

“Pesta pernikahan Pak Ricko.” Jawab Bu Ani lalu memoles lipstik ke bibirnya.

“Rena ikut ya Bu?” Tanya Rena.

“Iya ikut aja.” Balas Bu Ani.

Setelah itu mereka bertiga berangkat ke hotel naik taksi yang berlalu lalang di
jalan raya dekat rumah Ricko.

Sementara itu di hotel, Intan sudah selesai dirias dan memakai gaun
pengantinnya. Begitu juga dengan Ricko ia memakai setelan jas berwarna putih
seperti warna gaun pengantin Intan. Ricko melihat Intan dengan tersenyum
bahagia lalu menyodorkan lengannya pada Intan. Intan pun memasukkan
tangannya ke lengan Ricko sambil memandang Ricko dengan tersenyum.
Mereka berjalan keluar kamar dengan bergandengan seperti pasangan raja dan
ratu.

Di aula lantai dasar hotel, Sita, kedua orang tua Intan, dan Johan sudah datang.
Begitu juga dengan keluarga dekat Intan dan Ricko serta sebagian para tamu
undangan. Musik instrumental bertemakan pernikahan dan romantis terdengar
lembut di telinga.
Saat Ricko dan Intan hendak memasuki pintu aula hotel di mana pesta
pernikahannya di adakan, tamu undangan sudah menantikan kedatangan kedua
mempelai pengantin. Ricko dan Intan berjalan di atas karpet merah menuju
pelaminan dengan bergandengan, sedangkan para tamu berdiri di kanan dan kiri
jalan menyaksikan perjalanan mereka dari pintu masuk aula ke pelaminan.

Ricko dan Intan terlihat sangat bahagia sekali. Mereka memamerkan senyum
mereka tiada henti pada tamu undangan. Bu Romlah yang melihatnya pun
menjadi terharu dan menangis. Saat Intan dan Ricko akan menaiki pelaminan,
tiba – tiba Rena mendekat dengan membawa segelas jus buah naga merah di
tangannya dan tersandung kabel lalu menumpahkan jus buah naga merah itu ke
gaun pengantin Intan.

Semua mata para tamu undangan pun terbelalak dan terkejut dengan kejadian
itu. Begitu juga dengan Intan dan Ricko. Ricko memicingkan matanya pada
Rena dengan tajam. Dari awal Ricko melihat Rena di rumahnya, ia sudah
merasa tidak suka pada Rena.

“Maaf Pak, saya tidak sengaja.” Ujar Rena pada Ricko. Ia merasa takut dengan
tatapan Ricko.

Ricko pun tidak menggubrisnya lalu mengajak Intan keluar dari aula dan
mengajaknya kembali ke kamar untuk berganti pakaian. Di dalam kamar tukang
rias sedang membereskan alat make up-nya. Ketika melihat Ricko dan Intan
kembali dengan gaun Intan yang kotor berwarna merah menjadi terkejut.

“Ganti gaun istriku secepatnya.” Ujar Ricko pada tukang rias.

“Tidak ada gaun lagi Pak. Waktu fitting Pak Ricko beserta istri hanya memilih
satu gaun.” Balas wanita yang menangani gaun Intan.

“Tapi… masih ada satu setel jas lagi barang kali Pak Ricko mengizinkan untuk
dipakai istri anda.” Sahut wanita yang lainnya.

“lakukan saja.” Balas Ricko lalu duduk di sofa sambil menghembuskan nafas
dengan kasar. Ia sangat kesal dengan Rena yang merusak acara pernikahannya.
Intan pun dirias kembali dan diganti pakaiannya.
Sementara itu di aula lantai dasar hotel, setelah kepergian Ricko dan Intan, MC
menetralkan situasi dengan mengumumkan pada para tamu undangan supaya
tenang dan menikmati hidangan yang ada. Mereka pun bubar dan mengambil
makanan yang tersedia.

Bu Ani menyeret Rena keluar dari aula dan mencari tempat yang sepi. Setelah
menemukan tempat sepi dan memastikan tidak ada orang yang melihatnya, Bu
Ani memarahi Rena.

“Apa yang kamu lakukan Rena?” Bentak Bu Ani pada Rena.

“Rena tidak sengaja Bu.” Balas Rena dengan cemberut.

“Lalu kenapa kamu mengambil jus buah naga merah dan membawanya
mendekat ke Mbak Intan? Ibu tahu kamu tidak suka buah naga apalagi
meminum jusnya.” Ujar Bu Ani mengetahui niat busuk Rena.

“Tadi Rena kira itu jus strowberi Bu. Rena belum mencicipinya malah tumpah.”
Jawab Rena mengelak.

“Kamu sudah besar dan kamu tidak sebodoh itu. Kamu bisa mengenali jus itu
dengan baunya. Rena, ibu mohon kamu jangan bikin ulah lagi. Kalau ibu
dipecat dan tidak punya pekerjaan, siapa lagi yang akan membiayai kuliahmu?”
Ucap Bu Ani menasehati Rena.

“Karena itu Rena mau mencari orang kaya yang mau menikah dengan Rena.
Rena nggak mau hidup kayak gini terus Bu.” Balas Rena sambil menatap
ibunya.

“kamu boleh saja bermimpi menikah dengan orang kaya, tapi jangan suami
orang Rena. Apalagi majikan ibu.” Ujar Bu Ani pada Rena supaya sadar bahwa
kelakuannya tidak benar.

“Ibu nggak pernah ngerti perasaan Rena.” Balas Rena dengan mata berkaca –
kaca lalu pergi meninggalkan Bu Ani.

“RENA! Mau ke mana kamu?” Panggil Bu Ani tapi Rena tidak


mengindahkannya dan tetap pergi.

Gaun pengantin Intan sebelum terkena tumpahan jus buah naga merah dari
Rena.
Setelah berganti pakaian dan make up ulang, kini Intan sudah siap untuk
kembali ke aula. Ricko yang melihat Intan menggunakan setelan jas berwarna
putih yang sama seperti dirinya dan memakai tudung di kepala yang di arahkan
kebelakang pun menjadi tersenyum yang tadinya cemberut karena kesal dengan
kelakuan Rena. Ia sudah berusaha mempersiapkan pesta pernikahannya dengan
sebaik mungkin, tapi malah ada yang merusak suasananya.

“Gimana Mas?” Tanya Intan pada Ricko yang sedang mengamati


penampilannya.

“Tidak buruk.” Jawab Ricko lalu berdiri dan menghampirinya.

“Apapun pakaian yang kamu pakai, kamu tetap cantik di mataku.” Imbuh Ricko
sambil berbisik di telinga Intan. Intan pun tersenyum mendengarnya dan
wajahnya bersemu merah.

Setelah itu Ricko dan Intan kembali ke aula di mana semua tamu undangan
sudah menunggu mereka. Saat Ricko dan Intan memasuki aula, Adit
menyaksikan mereka berdua berjalan di atas karpet merah dengan
bergandengan tangan dan tersenyum bahagia. Kebetulan saat Ricko dan Intan
kembali ke kamar untuk berganti pakaian, Adit datang.

Meskipun tidak bisa menikah dengan Intan, tapi Adit juga ingin menyaksikan
Intan memakai gaun pengantin dan duduk di pelaminan meskipun tidak
bersamanya. Semua tamu undangan merasa lucu dan heran dengan pakaian
yang dipakai Intan sekarang. Tapi mereka maklum mungkin tidak ada gaun
cadangan sehingga terpaksa pengantin wanita memakai pakaian yang ada. Itu
persepsi bagi tamu yang tahu kejadian sebelumnya. Bagi yang baru datang saat
Ricko dan Intan sedang berganti pakaian, mungkin akan berpikir berbeda.

Setelah Intan dan Ricko duduk di pelaminan, tiba – tiba terdengar suara piano.
Semua mata tertuju pada piano yang ada di sudut ruangan aula itu. Di sana
tampaklah Adit duduk di sebuah kursi dengan tangannya yang sedang
memainkan piano. Tidak lama kemudian adit bernyanyi.

sing a song

Jika memang diriku bukanlah


Menjadi pilihan hatimu
Mungkin sudah takdirnya
Kau dan aku takkan mesti bersatu

Harus s'lalu kau tau


'Ku mencintamu disepanjang waktuku
Harus s'lalu kau tau
Semua abadi untuk s'lamanya

Karena 'ku yakin cinta dalam hatiku


Hanya milikmu sampai akhir hidupku
Karena 'ku yakin disetiap hembus nafasku
Hanya dirimu satu yang s'lalu kurindu

Hooo… uuu… ooo

Ricko yang mendengar nyanyian Adit mengepalkan tangan kanannya dan me-
remas tangan Intan dengan tangan kirinya. Intan merasa kesakitan pada
tangannya dan meringis menahan sakit.

“Mas sakit!” Ujar Intan pada Ricko. Ricko pun tersadar lalu melonggarkan
cengkeramannya pada tangan Intan yang sedari tadi ia genggam.

“Maaf aku tidak sengaja.” Balas Ricko sambil tersenyum.

“Jangan marah Mas. Aku tidak ada apa – apa sama Adit. Aku milikmu
sekarang.” Ujar Intan meyakinkan Ricko. Ricko pun mengangguk.

Di sudut yang lain, Vina, Melly, dan Rita sedang menyaksikan Adit yang
sedang bernyanyi sambil menikmati makanan di tangannya.

“Dalam banget nyanyian Adit…” Ujar Melly seolah – olah merasakan apa yang
di rasakan Adit saat ini.

“Iya. Jadi pengen nangis nih…” Balas Rita sambil mengusap pelupuk matanya
yang berkaca – kaca dengan tisu.

“Ternyata Adit masih belum bisa melupakan Intan. Di sekolah waktu itu aku
melihatnya juga bersedih setelah turun dari panggung.” Sahut Vina lalu
memasukkan kue ke dalam mulutnya.

Romi mendekati Vina dan kawan – kawannya hendak mengajaknya naik ke


pelaminan untuk mengucapkan selamat pada Ricko dan Intan. Karena kejadian
gaun Intan yang terkena tumpahan jus tadi, sehingga para tamu undangan
belum ada yang memberikan selamat pada kedua mempelai.

Para tamu undangan pun mulai naik ke atas pelaminan untuk memberikan
selamat pada mempelai berdua. Tidak berapa lama kemudian Reyhan dan Tia
datang. Mereka datang sedikit terlambat karena hari Minggu, sehingga jalanan
macet di tambah lagi mereka harus menunggu Gibran bangun dari tidurnya.

“Selamat ya Rick atas pernikahanmu. Tadinya aku terkejut saat menerima


undanganmu. Aku kira kamu menikah lagi. Hahaha.” Ujar Reyhan sambil
menjabat tangan Ricko lalu memeluknya.

Tia yang mendengar candaan Reyhan pun menepuk pundak Reyhan. Reyhan
merasa terkejut dan menatap Tia lalu tersenyum. Begitu juga dengan Intan, ia
cemberut karena Reyhan mengira Ricko sudah berpisah dengannya dan
menikah dengan wanita lain.

“Hahaha. Kamu bisa saja. Aku memang sudah menikah tapi belum mengadakan
pestanya.” Balas Ricko pada Reyhan.

“Oh begitu. Ya sudah aku turun dulu sudah antri banyak di belakang.” Ujar
Reyhan sambil menunjuk ke belakang lalu memberikan selamat pada Intan
begitu juga dengan Tia melakukan hal yang sama.

Setelah itu Vina, Melly, Rita, dan Romi juga memberikan selamat pada Ricko
dan Intan. Intan sangat senang ketiga temannya bisa datang di acara pesta
pernikahannya.

“Selamat ya Ntan… aku seneng banget datang ke pesta pernikahanmu.


Makanannya enak – enak banget.” Ujar Vina pada Intan tanpa malu – malu.
Intan tersenyum gemas dengan Vina. Tidak berapa lama Romi menjitak kepala
Vina.

“Jangan bikin malu.” Ujar Romi di telinga Vina. Vina pun cemberut lalu turun
dari pelaminan bersama Rita dan Melly.

“Selamat ya Rick, akhirnya pernikahanmu tidak jadi rahasia umum lagi.” Ujar
Romi pada Ricko sambil menjabat tangannya.
“Terima kasih atas bantuannya selama ini.” Balas Ricko dengan tersenyum.

Setelah beberapa tamu turun, kini giliran Adit yang naik ke pelaminan. Saat ia
berada di hadapan Ricko tatapan mereka bertemu. Ricko memicingkan matanya
pada Adit.

“Selamat atas pernikahannya Pak.” Ucap Adit pada Ricko sambil menjabat
tangan Ricko.

“Terima kasih.” Balas Ricko jutek.

Saat Adit akan menjabat tangan Intan, Ricko menepisnya. Adit dan Intan
menatap Ricko dengan heran dan tidak percaya Ricko akan bersikap berlebihan
seperti itu. Adit pun mengalah dan akhirnya tidak menjabat tangan Intan.

“Maaf ya Dit…” Ucap Intan menyesal dengan sikap Ricko yang kasar pada
Adit sebelum Adit pergi.

“Hmmmm.” Balas Adit dengan menunduk lalu pergi. Setelah itu Adit pergi
meninggalkan acara pesta karena merasa kedatangannya tidak diharapkan.

Setelah kepergian Adit, datanglah Rossa dengan seorang laki – laki yang telah
menjaminnya sehingga ia bisa keluar dari penjara. Rossa masuk ke dalam aula
dengan senyum sinisnya. Dulu ia sangat berharap bisa duduk di atas pelaminan
bersama Ricko seperti sekarang ini, tapi sayangnya itu tidak akan pernah terjadi
semenjak Ricko menikah dengan Intan. Rossa tahu Ricko tipe laki – laki setia.
Ia menyesal karena sudah berselingkuh dari Ricko.

Saat Rossa naik ke atas pelaminan, ia melihat pakaian yang dipakai Intan, ia
pun tersenyum menahan tawa. Baru kali ini ia melihat pengantin wanita
memakai setelan jas seperti pengantin pria.

“Rick, apa kamu tidak bisa membelikan gaun pengantin istrimu? Sampai –
sampai harus memakai jas seperti ini.” Ujar Rossa di depan Ricko sambil
menatap sinis pada Intan yang cemberut karena sindirannya.

“Jika kamu datang ke sini hanya untuk membuat masalah, lebih baik kamu
pergi saja.” Ujar Ricko pada Rossa dengan tegas. Rossa pun tersenyum getir.

“Oh jadi begini sekarang? Setelah kamu bosan dan tidak membutuhkanku,
kamu akan membuang dan mencampakkanku. Apa kamu juga akan membuang
dan mencampakkan istrimu ini jika kamu sudah bosan Rick?” Balas Rossa.

Mata Intan sudah berkaca – kaca mendengar hinaan demi hinaan dari mulut
Rossa. Ricko menekan tombol pada jam tangannya untuk memanggil
keamanan, setelah itu menggenggam tangan Intan untuk menenangkannya.
Tidak berapa lama 2 orang security datang.

“Bawa orang ini pergi dari hadapanku!” Perintah Ricko pada kedua security itu.

“Baik Pak.” Balas kedua security itu pada Ricko.

Kedua security itu pun mencekal kedua lengan Rossa dan hendak menyeretnya
keluar aula, tapi di cegah laki – laki yang menemani Rossa.

“Lepaskan! Kami bisa pergi sendiri.” Ujar laki – laki itu.

Kedua security itu memandang ke arah Ricko, Ricko membalasnya dengan


menganggukkan kepalanya. Setelah itu kedua security itu pun melepaskan
lengan Rossa. Rossa mengibaskan tangannya lalu keluar aula dengan laki – laki
yang menemaninya.

Sore hari akhirnya pesta pernikahan Ricko dan Intan pun selesai. Kini mereka
sedang berbaring di atas tempat tidur kamar hotel untuk melepas penat. Pesta
pernikahan yang mereka bayangkan akan indah dan menyenangkan ternyata
penuh dengan tragedi tidak menyenangkan. Intan juga merasa kesal dengan
sikap Ricko yang terlalu posesif dan kekanak - kanakan. Intan merasa kasihan
dengan Adit yang tidak salah apa – apa, tapi dimusuhi Ricko sampai seperti itu.

“Mas, kenapa kamu bersikap seperti itu pada Adit?” tanya Intan sambil
menatap langit – langit kamar hotel.

“Aku tidak suka dengannya,” jawab Ricko dengan santainya.

“Kenapa kamu tidak suka dengan Adit?” tanya Intan lagi kali ini dengan
memandang ke arah Ricko.

“Dia selalu menyanyikan lagu cinta untukmu. Apa dia tidak tahu, kalau wanita
yang sudah menikah tidak boleh dicintai laki – laki lain?” balas Ricko sedikit
kesal.

“Kan memang belum ada yang mencintaiku Mas. Bahkan suamiku saja tidak
mencintaiku,” ujar Intan dengan cemberut.

“Siapa yang tidak mencintaimu?” tanya Ricko dengan memandang ke arah


Intan.

“kamu! Siapa lagi? Memang suamiku ada berapa?” seru Intan kesal pada Ricko.

“Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Kalau aku tidak mencintaimu, aku


tidak akan tidur denganmu selama ini. Apa perlu aku mengucapkannya setiap
hari supaya kamu tahu bahwa aku mencintaimu?” balas Ricko dengan
emosional.

“Benarkah? Sejak kapan?” tanya Intan penasaran.

“Pikir saja sendiri. Memangnya selama ini kamu tidak merasakannya? Cinta
tidak harus diucapkan. Seharusnya kamu sudah tahu dengan semua perlakuanku
padamu. Aku tidak penah memperlakukan seorang wanita seperti aku
memperlakukanmu,” Balas Ricko lalu bangkit dari tempat tidur dan masuk ke
dalam kamar mandi.

Intan pun berpikir dan mencerna kata – kata Ricko. Intan mengira Ricko baik
padanya selama ini karena dia laki – laki yang bertanggung jawab terhadap
istrinya. Ia tidak tahu bahwa Ricko sudah lama mencintainya.

Malam hari Ricko dan Intan kembali pulang ke rumah. Sesampainya di rumah,
Ricko segera membuatkan susu untuk Intan karena 2 hari ini Intan tidak minum
susu selama tidur di hotel.

Saat di dapur, Ricko bertemu dengan Bu Ani yang sedang membersihkan


dapur. Bu Ani segera menghadap Ricko dan meminta maaf atas perlakuan Rena
kemarin karena sudah merusak acara pesta pernikahannya. Ricko pun
memaafkannya karena merasa kasihan dengan Bu Ani yang menjadi tulang
punggung keluarganya. Bu Ani mengatakan pada Ricko bahwa suaminya
meninggal saat Rena masih berusia 9 tahun karena serangan jantung.

Ricko bukan orang yang tidak berperasaan, jadi ia tetap memperkerjakan Bu


Ani di rumahnya. Lagipula kejadian kemarin bukan salah Bu Ani. Ricko pun
meminta pada Bu Ani supaya Rena tidak sering – sering datang ke rumahnya.
Bu Ani mengerti dan akan berusaha mencegah Rena menginjakkan kakinya di
rumah Ricko.
Setelah membuat susu, Ricko segera naik ke atas dan masuk ke dalam
kamarnya di mana Intan berada. Ia memberikan susu itu pada Intan dan
menyuruhnya untuk segera meminumnya selagi hangat.

Setelah menghabiskan susu dan menaruh gelasnya di nakas, Intan


membaringkan tubuhnya dan menarik selimut hingga ke dadanya. Begitu juga
dengan Ricko, ia membaringkan tubuhnya di samping Intan setelah
memberikan susu pada Intan.

“Mas,” panggil Intan.

“Hmm,” balas Ricko.

“Apa benar setelah kamu bosan denganku, kamu akan mencampakkanku seperti
yang dikatakan Rossa?” tanya Intan. Sedari tadi ia memikirkan kata – kata yang
dilontarkan Rossa saat di pesta pernikahan tadi siang.

“Sudah malam, tidurlah! Jangan memikirkan sesuatu yang tidak penting,” balas
Ricko lalu memeluk tubuh Intan.

“Kenapa kamu tidak menjawabnya? Kamu selalu menghindari pertanyaanku


Mas,” ujar Intan kecewa.

“Aku tidak akan meninggalkanmu. Kamu ibu dari anakku. Apa jawaban ini
sudah bisa memuaskanmu?” tanya Ricko sambil memandang Intan yang
menunggu jawabannya sedari tadi. Intan pun tersenyum lalu memeluk tubuh
Ricko dengan erat.

Keesokan harinya Ricko tidak pergi bekerja. Ia ingin mengajak Intan berjalan –
jalan di pusat perbelanjaan. Ia ingin mengganti pakaian Intan yang hanya itu –
itu saja. Selama menikah ia juga belum pernah membelikan Intan apapun. Saat
Ricko selesai mandi dan berganti pakaian, Intan melihat Ricko dengan heran
karena tidak memakai pakaian kerja seperti biasanya.

“Mas Ricko enggak kerja?” tanya Intan sambil menyisir rambutnya di depan
kaca.

“Tidak. Aku mau mengajakmu jalan – jalan di luar,” balas Ricko sambil berdiri
di belakang Intan yang sedang duduk di meja rias sambil menatap pantulan
bayangannya di cermin.
“Kemana Mas?” tanya Intan yang selalu ingin tahu.

“Nanti kamu juga akan tahu,” jawab Ricko lalu menarik tangan Intan dan
mengajaknya keluar dari dalam kamar untuk sarapan bersama di meja makan.

Di meja makan sudah tersedia kopi dan susu seperti biasanya. Kali ini rasa susu
Intan untuk kehamilannya adalah vanila. Ricko sudah mengintruksi kedua
asisten rumah tangganya untuk membuatkan susu Intan sesuai dengan jadwal
yang ia buat. Hari Senin vanila, Selasa coklat, Rabu mangga, Kamis jeruk,
Jum’at moka, Sabtu strowberi, dan Minggu madu.

Setelah Ricko dan Intan duduk di meja makan, Susi membawa makanan ke atas
meja makan. Setelah makanan dihidangkan, Intan mengambilkan makanan
untuk Ricko seperti biasanya.

“Di mana Bu Ani, Mbak?” tanya Intan pada Susi.

“Tadi pagi Bu Ani mendapat telepon yang mengabarkan bahwa Rena


mengalami kecelakaan, dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Tadi pagi
Bu Ani buru – buru jadi tidak sempat izin ke Pak Ricko dan tidak mau
mengganggu tidurnya Pak Ricko dan Mbak Intan,” jawab Susi menjelaskan.

“Okey,” balas Ricko lalu memulai sarapannya.

Setelah selesai sarapan, kini Ricko dan Intan sudah berada di dalam mobil.
Ricko melajukan mobilnya ke sebuah mall untuk mengajak Intan berbelanja.
Ricko ingin Intan berbelanja pakaian hamil dan keperluan untuk kuliah nanti.

“Mas, apa kita tidak menengok anaknya Bu Ani?” tanya Intan pada Ricko saat
sudah sampai di area parkir mall.

“Tidak usah,” balas Ricko sambil melepas sabuk pengaman.

“Kenapa?” tanya Intan sambil menatap ke arah Ricko.

“Aku tidak mau melihatnya lagi,” jawab Ricko sambil melepaskan sabuk
pengaman Intan dan menghadap ke arah wajah Intan. Kini wajah Ricko di
depan wajah Intan dengan jarak hanya 5 centimeter. Ricko pun tersenyum lalu
memegang tengkuk Intan dan mencium bibirnya.
Tidak berapa lama Intan memukul dada Ricko berkali – kali karena merasa
tidak bisa bernafas. Rikco pun melepas ciumannya dan tersenyum lalu
mengusap bibir Intan dengan ibu jarinya.

“Ini tempat umum Mas, kamu jangan macam – macam,” sungut Intan kesal
karena Ricko menciumnya tidak kenal tempat.

“Tenang saja, kaca mobilku gelap. Jadi aman…,” balas Ricko dengan
tersenyum.

Setelah itu mereka keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam gedung mall.
Ricko mengajak Intan naik ke lantai dua, di mana semua jenis pakaian wanita
dan anak – anak tersedia.

Saat melewati baby shop, Intan melihat pakaian anak laki – laki yang sangat
lucu sedang dipajang di bagian paling depan di dalam kaca. Intan pun masuk ke
dalam toko dan menghampirinya lalu menyentuh pakaian itu.

“Mas, baju ini sangat lucu. Kalau anak kita laki – laki dan memakai baju ini
pasti akan sangat tampan sekali seperti kamu,” ujar Intan pada Ricko.

“Apa kamu bilang barusan? Kamu bilang aku tampan?” tanya Ricko sambil
tersenyum senang.

“Tidak, aku tidak bilang seperti itu,” elak Intan.

“Sudah akui saja kalau aku memang tampan,hahaha…” balas Ricko. Ia merasa
senang karena ini pertama kalinya Intan memuji ketampanannya.

“Ge-er,” ujar Intan lalu pergi dari baby shop itu.

“Enggak jadi beli baju baby-nya?” tanya Ricko sambil mengikuti Intan.

“Enggak, buat apa beli sekarang? Kita aja masih belum tahu jenis kelamin anak
kita apa,” jawab Intan menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang
menatap Ricko. Ricko pun membenarkan kata – kata Intan sambil menggaruk
kepalanya yang tidak gatal.

Setelah itu Intan melihat – lihat pakaian wanita. Ia terbiasa memakai kaos dan
kemeja sederhana. Tapi kali ini ia harus merubah selera pakaiannya karena
Ricko menyuruhnya memakai pakaian yang longgar untuk persiapan saat
perutnya membesar nanti.

Saat melewati sebuah patung yang mengenakan lingeria, Ricko pun tersenyum
nakal. Ia ingin Intan membeli itu dan memakainya. Ia pun memanggil Intan
supaya mendekat.

“Ada apa, Mas?” tanya Intan pada Ricko.

“Lihatlah ini (menyentuh lingeria di patung), kamu pasti sangat cantik jika
memakai ini nanti malam,” ujar Ricko pada Intan sambil tersenyum berharap
Intan mau memakainya. Intan pun membelalakkan matanya saat melihat
lingeria itu.

“Enggak mau, sama saja dengan telanjang kalau aku memakai itu,” balas Intan
lalu pergi. Ricko pun mengejarnya dan memegang lengannya.

“Ayolah sayang… ya, ya, ya,” bujuk Ricko berharap Intan menyetujuinya.
Intan pun menghembuskan nafasnya dengan kasar lalu mengerlingkan matanya
pada Ricko.

“Okey,” balas Intan lalu kembali ke patung tadi untuk mengambil lingeria itu.

Setelah mendapatkan beberapa pakaian dan lingeria serta pakaian dalam baru,
kini mereka masuk ke dalam toko buku. Intan memilih beberapa buku bacaan
untuk persiapan kuliahnya nanti, sedangkan Ricko mengambil buku seputaran
ibu hamil. Ricko juga ingin belajar menjadi ayah siaga yang baik untuk istri dan
anaknya.

Saat akan membayar ke kasir, Intan terkejut dengan judul buku yang ada di
tangan Ricko. Ia tidak menyangka Ricko akan membeli buku yang bahkan ia
sendiri tidak berpikir untuk membelinya. Ia pun menjadi terharu dan matanya
berkaca – kaca sambil tersenyum.

Setelah mendapat semua barang yang diperlukan, kini Intan dan Ricko masuk
ke dalam foodcourt untuk mengisi perut mereka sekaligus beristirahat setelah
berkeliling mall untuk berbelanja.

“Apa kamu senang?” tanya Ricko pada Intan sambil menunggu makanan
pesanan mereka datang.
“Iya Mas, aku senang sekali…” balas Intan dengan senyuman manja. Ricko pun
ikut tersenyum puas bisa membuat senang istri kecilnya itu.

Tidak berapa lama, makanan pesanan mereka datang. Seperti biasa Ricko akan
menyuapi Intan. Ini adalah hobby baru Ricko semenjak kehadiran Intan di
hidupnya. Ia menyayangi dan mencintai Intan. Ia juga tidak tahu kapan
perasaan itu hadir di hatinya, yang jelas ia tidak mau membuat Intan bersedih
apalagi kehilangannya.

“Buka mulut!” perintah Ricko pada Intan.

“Tidak mau. Aku mau makan sendiri saja Mas, ini tempat umum, aku malu…”
tolak Intan sambil cemberut karena Ricko selalu memperlakukannya seperti
anak kecil semenjak ia hamil.

“Tidak apa – apa. Ayo buka mulut atau aku suapi dengan mulut,” ancam Ricko
seperti biasanya yang membuat Intan mau membuka mulutnya.

Tanpa mereka sadari, tidak jauh dari meja mereka ada 3 pasang mata yang
sedang memperhatikan kemesraan mereka. Mereka adalah Vina,Rita, dan Melly
yang kebetulan juga sedang nongkrong di mall. Mereka sengaja tidak mengajak
Intan karena mereka mengira Intan masih beristirahat setelah pesta pernikahan
kemarin. Tidak tahunya malah melihat Intan sedang bermesraan di mall
bersama suaminya.

“Enaknya jadi Intan, aku juga pengen punya suami kayak Mas Ricko,” ujar
Vina pada kedua temannya sambil memegang kedua pipinya.

“Sama, aku juga,” sahut Rita sambil tetap memandang ke arah di mana Ricko
dan Intan berada.

“Emang kalian sudah siap hamil kayak Intan?” tanya Melly setelah meminum
jus alpukatnya.

“Enggak,” jawab Rita dan Melly hampir bersamaan.

“Yuk pulang, aku udah capek nih,” ajak Melly sambil menyandang tas-nya.

“Enggak nyamperin Intan?” tanya Vina.

“Jangan mengganggu kemesraan mereka, yuk pulang aja deh,” balas Rita lalu
berdiri mengikuti Melly.

Akhirnya mereka bertiga pun pulang dan meninggalkan Intan dan Ricko yang
sedang makan dengan mesranya.
Sementara itu di rumah sakit, Bu Ani sedang duduk di sebuah kursi samping
tempat tidur Rena. Ia menyuapi Rena dengan bubur yang dibagikan oleh
perawat barusan tadi. Meskipun Rena selalu membangkang dan melawannya,
tapi Bu Ani akan selalu menyayangi Rena. Bagaimanapun Rena adalah
anaknya.

“Kenapa bisa seperti ini Ren?” tanya Bu Ani pada Rena. Rena melirik ibunya
dengan kesal.

“Ibu masih peduli sama Rena?” tanya Rena pada Bu Ani dengan ketus.

“Tentu saja. Kamu anak ibu satu – satunya, Rena,” jawab Bu Ani dengan sabar.

“Lalu kenapa Ibu tidak mendukung Rena?” tanya Rena lagi menaikkan nada
suaranya.

“Ibu akan mendukung kamu, asal itu mengarah ke dalam hal kebaikan. Ibu
harap kamu tidak mengganggu majikan baru ibu, Rena,” balas Bu Ani. Rena
pun cemberut dan tidak bicara lagi pada ibunya.

Malam hari Ricko sudah berbaring di atas tempat tidur dan bersandar pada
sandaran tempat tidur sambil membaca buku yang ia beli tadi siang. Intan
sedang menggosok gigi dan mencuci muka di dalam kamar mandi.

Saat Intan keluar dari dalam kamar mandi, Ricko melihat Intan memakai
piyama yang biasa dipakai Intan sebelum tidur. Ricko pun melambaikan
tangannya pada Intan dan menepuk tempat tidur di sampingnya supaya Intan
duduk di sampingnya.

“Ada apa Mas?” tanya Intan pada Ricko setelah duduk di tepi tempat tidur.

“Kenapa tidak memakai lingeria yang kita beli tadi siang?” tanya Ricko sambil
membelai rambut Intan dan menyisipkan anak rambut yang berantakan ke
telinganya.
“Kan kalau baru beli harus dicuci dulu Mas. Apa lagi itu ada di patung, pasti
kotor karena banyak debu yang menempel. Nanti aku gatal – gatal,” jawab
Intan menjelaskan.

“Oh iya kamu benar, aku sudah tidak sabar melihatmu memakainya,” ujar
Ricko sambil menciumi leher Intan.

“Hentikan, itu membuatku geli Mas!” seru Intan sambil mendorong dada Ricko
yang mendekat padanya. Ricko pun memeluk pinggang Intan lalu
membaringkannya di tempat tidur. Intan tersenyum sambil menatap mata
Rikco. Intan tahu ada gairah di sana.

“Aku mencintaimu,” ucap Ricko di depan wajah Intan sambil tersenyum.

“Aku juga Mas,” balas Intan ikut tersenyum juga.

Ricko pun mencium bibir Intan hingga akhirnya percintaan pun terjadi.

Keesokan harinya Ricko bangun pagi – pagi sekali lalu mandi dan berganti
pakaian. Setelah itu ia mengambil kopernya yang ada di atas almari lalu
membuka almari dan mengambil beberapa pakaian lalu memasukkannya ke
dalam koper. Ia akan terbang ke Singapura hari ini setelah mendapat kabar
bahwa Pak Bambang sudah bisa pulang ke Indonesia.

Intan membuka matanya lalu melihat Ricko yang sudah berpakaian rapi sedang
mengemasi pakaiannya. Intan pun terkejut dan segera duduk sambil memegangi
selimut untuk menutupi tubuhnya.

“Mas Ricko mau ke mana?” tanya Intan ingin tahu.

“Singapura. Aku akan menjemut papa,” balas Ricko tanpa mengalihkan


pandangannya dan tetap mengemasi barangnya.

“Aku ikut Mas,” rengek Intan sambil menurunkan kakinya ke lantai.

“Jangan, kamu sedang hamil. Nanti kamu mabok lagi,” balas Ricko khawatir
kalau Intan muntah – muntah lagi, itu akan mengurangi berat badannya yang
akan memengaruhi nutrisi ke anaknya. Intan pun cemberut karena Ricko tidak
mengajaknya. Ricko yang melihat Intan cemberut segera menghampirinya.

“Aku akan segera kembali, jangan ngambek ya? demi anak kita,” ujar Ricko
ambil merapikan rambut Intan. Intan pun mengangguk mengerti.
Setelah itu Intan mandi dan berganti pakaian lalu turun bersama Ricko untuk
sarapan pagi. Setelah sarapan, Intan mengantar Ricko sampai di halaman rumah
karena taksi yang dipesan Ricko secara online sudah datang.

“Hati – hati Mas, jaga dirimu baik – baik,” ujar Intan pada Ricko dengan sedih.

“Iya, kamu juga jaga diri dan anak kita. Aku mencintamu,” balas Ricko lalu
mengecup kening Intan dan memeluknya dengan erat. Intan pun membalas
pelukan Ricko lebih erat, entah kenapa Intan merasa tidak ingin Ricko pergi.

Saat taksi melaju menjauh dari rumah, Intan menyaksikan kepergian Ricko
sambil menitikkan air matanya.

“Mas, aku harap kamu baik – baik saja dan pulang dengan selamat,” gumam
Intan sebelum masuk ke dalam rumah.

Di dalam pesawat, Ricko sudah merasa rindu dengan Intan. Ia melihat keluar
jendela dan membayangkan senyum manja Intan. Ia juga membayangkan perut
Intan yang akan membesar nanti pasti sangat lucu sekali. Ricko pun tersenyum
sendiri membayangkannya. Tidak berapa lama kemudian hujan turun sangat
lebat karena sedari tadi awan hitam memang sudah bergelantungan di langit.
Ricko pun memejamkan matanya untuk beristirahat sejenak.

Sementara itu Intan sedang duduk di balkon kamarnya di lantai atas sambil
membaca buku yang ia beli kemarin bersama Ricko. Intan sangat suka
membaca dan dia yang paling pandai di antara ketiga sahabatnya. Intan
menatap langit dan melihat hujan turun seperti langit sedang menangis. Ia tiba –
tiba teringat dengan Ricko yang sedang berangkat ke Singapura. Intan pun
masuk ke dalam kamar dan menutup pintu balkon karena udara di luar mulai
terasa dingin.

Ia turun ke lantai bawah dan menuju dapur untuk membuat teh hangat. Saat ia
menuang air mendidih ke dalam gelas, tiba – tiba gelas itu pecah dan terjatuh ke
lantai bersama dengan airnya. Intan mundur supaya tidak mengenai kakinya.

“Ada apa ini, kenapa perasaanku tiba – tiba enggak enak?” gumam Intan
sambil menyentuh dadanya.

Susi yang mendengar gelas pecah segera keluar dari dalam kamarnya dan
melihat Intan di dapur. Ia segera menghampiri Intan dan melihat gelas pecah di
lantai.
“Mbak Intan kenapa enggak panggil saya?” tanya Susi pada Intan.

“Enggak apa – apa Mbak, saya bisa sendiri. Hanya mau membuat teh saja,
enggak tahu kenapa tiba – tiba gelasnya pecah,” jawab Intan masih dengan
ekspresi masih terkejut dan merasa gelisah.

“Ya sudah, Mbak Intan duduk di meja makan saja. Biar saya yang membuat
teh-nya,” balas Susi.

Intan pun patuh dan duduk di meja makan lalu mengeluarkan ponselnya yang
ada di sakunya. Ia melihat layar ponselnya berharap Ricko mengirim pesan atau
meneleponnya saat sudah sampai di bandara Singapura, tapi nyatanya tidak ada
kabar apapun dari Ricko.

Setelah membuatkan teh untuk Intan, Susi menaruh teh itu di atas meja makan.
Setelah itu ia membersihkan pecahan gelas yang ada di lantai. Intan meminum
teh-nya dengan tatapan kosong memikirkan Ricko.

Sementara itu di perusahaan Ricko, karena Ricko sedang ke Singapura, ia


meminta Sita untuk datang ke kantornya menggantikan apabila ada dokumen
yang perlu di tanda tangangi. Ricko juga sudah menghubungi Romi dan Lia
supaya membimbing Sita dalam urusan pekerjaan di perusahaan.

Ketika sudah memasuki waktunya untuk makan siang, Romi mengetuk pintu
ruangan kerja Ricko di mana Sita berada. Setelah Sita mengizinkan Romi
masuk, Romi duduk di kursi depan meja Sita.

“Ayo makan siang,” ajak Romi pada Sita.

“Iya Kak,” balas Sita lalu berdiri. Romi pun berdiri dan Sita mengikuti di
belakangnya menuju kantin.

Di kantin, semua mata melihat ke arah Sita, karena bagi mereka sosok Sita
sangatlah asing di perusahaan Ricko. Apalagi saat ini Sita masih kuliah di luar
kota, tentu aja Sita jarang menampakkan dirinya di perusahaan Ricko.

“Mau pesan apa?” tanya Romi pada Sita saat sudah sampai di kantin.
“Es jeruk sama salad buah saja, Kak,” jawab Sita pada Romi.

“Ya sudah, carilah tempat duduk dulu, biar aku saja yang memesannya,” balas
Romi lalu pergi untuk memesan makanan.
Saat makan bersama, Romi sesekali memandangi wajah Sita. Ia tahu Sita
adiknya Ricko dari dulu karena Romi sering main ke rumah Ricko waktu masih
sekolah di SMA dulu. Waktu itu Sita masih kelas dua SD dan terlihat sangat
imut. Kini Sita sudah menjadi gadis remaja berusia 20 tahun dan terlihat sangat
cantik.

“Ada apa, Mas?” tanya Sita pada Romi yang terpergok memandanginya sedari
tadi. Romi pun salah tingkah lalu mengalihkan pandangannya.

“Tidak apa – apa,” jawab Romi sambil menggosok hidungnya yang tidak gatal.

Setelah makan bersama, kini Sita dan Romi kembali ke kantor.

Hari pun berganti sore, sore berganti malam, namun tidak ada kabar apapun
dari Ricko. Intan mencoba menghubungi nomor ponsel Ricko berkali – kali
sejak tadi sore, tapi sayangnya operator yang menjawabnya dan mengatakan
kalau nomor ponsel Ricko sedang tidak aktif atau berada di luar jangakauan.

Intan semakin panik dan gelisah. Ia mondar – mandir di dalam kamarnya


memikirkan apa yang harus ia lakukan. Intan jarang sekali menonton televisi, ia
lebih suka di dalam kamarnya sambil membaca buku, sehingga ia tidak tahu
kabar kabar apapun yang disiarkan stasiun televisi hari ini.

Untuk mengatasi kegelisahannya, Intan mengambil buku seputar kehamilan


yang dibeli Ricko kemarin di meja nakas. Ia naik ke tempat tidur sambil
bersandar pada sandaran tempat tidur lalu menyelonjorkan kakinya dan
menutupi kakinya dengan selimut karena udara terasa sangat dingin kali ini.
Intan terbiasa dipeluk Ricko, sehingga ia merasakan kehangatan selalu di
tubuhnya. Kali ini Ricko tidak ada di sampingnya ditambah lagi hujan turun
lebat di luar rumah.

Intan membaca buku itu berharap bisa mengalihkan pikirannya yang sedang
cemas, tapi nyatanya ia tetap gelisah memikirkan Ricko yang tidak ada kabar
sama sekali sejak tadi pagi. Hingga akhirnya Intan tertidur sambil memeluk
bukunya. Intan pun bermimpi melihat Ricko dalam keadaan menggigil
kedinginan di suatu tempat yang tidak ia kenal. Intan mengernyitkan dahinya
untuk memastikan yang ia lihat benar – benar Ricko. Ia pun terkejut dan
membelalakkan matanya saat melihat itu benar – benar Ricko suaminya.

“Mas Ricko!” seru Intan memanggil Ricko.

Ricko pun menoleh ke arah Intan lalu tersenyum lembut dengan mata sayu dan
bibirnya yang putih pucat. Intan hendak menghampiri Ricko, tapi mereka
dipisahkan oleh sebuah sungai yang sangat lebar, tidak ada jembatan ataupun
jalan untuk menuju ke sana.

“Mas Ricko!” seru Intan lagi. Lagi – lagi Ricko hanya tersenyum sambil
memandang Intan.

“Mas Ricko kenapa di sini? Ayo kita pulang, Mas,” ajak Intan dengan mata
berkaca – kaca. Ia sangat sedih melihat Ricko dalam keadaan seperti itu.

“Pulanglah, aku tidak apa – apa, Jangan mengkhawatirkanku. Jagalah anak kita
dengan baik. Aku mencintaimu,” jawab Ricko dengan tersenyum.

“Mas Ricko! Mas … ” seru Intan belum selesai tiba - tiba ia terbangun dari
tidurnya.

“Mas Ricko, kamu di mana Mas?” gumam Intan lirih lalu menitikkan air
matanya.

Intan pun mengambil ponselnya di nakas berharap ada kabar dari Ricko, tapi
tidak ada pesan ataupun missed call dari Ricko. Intan semakin panik dan
bingung ditambah dengan mimpinya yang aneh.

“Ya Tuhan, jagalah suami hamba di manapun ia berada,” gumam Intan sambil
menyentuh dadanya yang terasa sesak sekali.

Intan pun mengambil foto berbingkai yang berdiri di atas nakas. Itu adalah foto
prewedding mereka beberapa bulan yang lalu. Intan membelai wajah Ricko di
foto itu dengan jari telunjuknya.

“Mas, aku merindukanmu,” gumam Intan lalu memeluk foto itu di dadanya
sambil memejamkan matanya, air mata pun lolos dari pelupuk mata Intan
membasahi pipinya.
Malam hari di sebuah bandara di Pulau Sumatera, Ricko sedang duduk di kursi
lobby bersama ratusan penumpang lain. Karena cuaca memburuk, sehingga
pesawat yang ditumpangi Ricko mendarat sementara di salah satu bandara di
Pulau Sumatera.

Ricko merasa kedinginan karena karena tidak membawa jaket di kopernya.


Hujan turun sangat deras ditambah dengan angin badai. Ia ingin memberi kabar
Intan atau papanya yang ada di Singapura, tapi sayangnya baterai ponselnya
habis karena ia belum sempat mengisi baterai ponselnya tadi pagi. Semua
saluran komunikasi terputus karena cuaca yang sangat buruk, sehingga semua
penumpang tidak bisa menghubungi kerabatnya juga.

Tidak lama kemudian ada seseorang yang menyodorkan segelas kopi di depan
wajah Ricko. Ricko pun mendongak dan melihat seorang wanita tersenyum
padanya sambil membawa 2 gelas kopi di kedua tangannya.

“Minumlah! Sepertinya kamu kedinginan,” ujar wanita itu. Ricko pun


menerimanya dan wanita itu duduk di samping Ricko.

“Terima kasih,” ucap Ricko setelah menerima segelas kopi itu sambil
tersenyum.

Ricko melirik wanita yang duduk di sampingnya itu sambil meminum kopinya.
Wanita itu cantik, tinggi, putih, dan sepertinya belum menikah. Wanita itu tahu
bahwa Ricko sedang memandanginya, ia pun menoleh dan tersenyum. Ricko
yang terpergok sedang memandanginya jadi malu dan tersenyum canggung.

“Namaku Dina,” ujar wanita itu memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan


tangannya pada Ricko.

“Ricko,” balas Ricko sambil membalas uluran tangan Dina.

“Pak Ricko mau ke Singapura juga?” tanya Dina.

“Iya, menjemput orang tua,” jawab Ricko jujur.

“Apa mereka sedang berlibur?” tanya Dina lagi.


“Tidak, papa sedang sakit dan di rawat di rumah sakit. Karena sudah sembuh
saya hendak menjemputnya, tapi malah seperti ini,” balas ricko sambil
mengangkat kedua bahunya.

“Oh begitu, saya turut senang atas kesembuhan orang tua Pak Ricko,” ujar Dina
sambil tersenyum pada Ricko.

“Terima kasih,” balas Ricko singkat.

“Mmm bisakah kita bertukar nomor ponsel?” tanya Dina lagi berharap Ricko
menyetujuinya.

“Maaf, ponselku sedang mati kehabisan baterai,” balas Ricko.

“Oh, kalu begitu sebutkan saja nomor ponsel Pak Ricko, biar saya yang
menyimpannya, nanti saya yang menghubungi Pak Ricko,” tawar Dina sedikit
memaksa.

Ricko pun memberikan nomor ponselnya pada Dina dan Dina menyimpannya.
Setelah itu mereka berpisah karena cuaca sudah membaik, sehingga penumpang
bisa naik ke pesawat kembali untuk melanjutkan perjalanannya.

Pagi hari Intan menghubungi Vina untuk menanyakan nomor ponsel Romi. Ia
ingin bertanya pada Romi barangkali mendapatkan kabar dari Ricko. Vina pun
memberikan nomor ponsel kakaknya pada Intan.

Saat Romi sedang berganti pakaian, tiba – tiba ponselnya berdering. Ia melihat
layar ponselnya dan melihat nomor asing di sana. Ia ragu – ragu untuk
menerimanya, tapi karena sudah berdering beberapa kali, akhirnya ia pun
menggeser tombol hijau pada layar ponselnya.

“Hallo,” sapa Romi.

“Mas Romi, ini Intan,” ujar Intan di seberang telepon.

“Ada apa Intan?” tanya Romi heran karena tiba – tiba Intan meneleponnya pagi
– pagi sekali.

“Apa Mas Romi tahu kabarnya Mas Ricko?” tanya Intan lansung ke intinya.

“Memangnya ada apa dengan Ricko?” tanya Romi lagi.


“Dari kemarin Mas Ricko nggak ada kabar sama sekali Mas,” jawab Intan lalu
terisak tangis.

“Sabar, Ricko pasti baik – baik saja. Aku akan mencari informasi tentang
Ricko. Nanti aku akan memberimu kabar. Jangan menangis lagi,” balas Romi
dengan lembut.

“Terima kasih Mas,” ucap Intan lalu memutuskan sambungan teleponnya.

Romi pun merasa heran, dari kemarin Ricko memang belum menghubunginya
sama sekali. E-mail pun belum ada yang dibalas. Ia mencoba menghubungi
nomor ponsel Ricko tapi tidak aktif. Ia pun akhirnya menghubungi pihak
penerbangan pesawat yang ditumpangi Ricko, hingga ia pun mendapatkan
informasi bahwa pesawat yang ditumpangi Ricko mendarat darurat di salah satu
bandara di Pulau Sumatera.

Setelah Romi memutuskan sambungan teleponnya, tiba – tiba Vina masuk ke


dalam kamar Romi. Romi pun terkejut karena Vina tidak mengetuk pintu
terlebih dahulu, untungnya ia sudah memakai pakaiannya. Romi pun menjewer
telinga Vina karena membuatnya terkejut dan tidak permisi terlebih dahulu.

“Auuuh sakit Kak,” seru Vina sambil meringis kesakitan.

“Kenapa tidak mengetuk pintu dulu? Main nyelonong masuk aja,” ujar Romi
lalu melepaskan tangannya dari telinga Vina.

“Aku penasaran ada apa Intan meminta nomor ponsel Kakak?” tanya Vina
sambil mengusap telinganya yang kesakitan.

“Dia menanyakan kabar Ricko yang tidak ada kabar seharian, setelah aku
tanyakan ke pihak penerbangannya, ternyata pesawatnya mendarat darurat di
Pulau Sumatera,” jawab Romi sambil memasang dasi di lehernya.

“Oh, jadi begitu ceritanya,” balas Vina sambil manggut – manggut mengerti.

“Keluar dari kamarku sekarang!” usir Romi.

“Iya, iya,” balas Vina sewot.

Setelah Vina keluar dari kamarnya, Romi menghubungi Intan dan


memberitahukan kejadian yang sebenarnya.
“Tapi kenapa ponselnya tidak bisa dihubungi?” tanya Intan masih khawatir.

“Aku juga tidak tahu untuk masalah itu, mungkin baterainya habis atau
ponselnya hilang,” jawab Romi seadanya.

“Ya sudah terima kasih infonya, selamat pagi,” balas Intan lalu memutuskan
sambungan teleponnya.

Setelah Intan memutuskan sambungan teleponnya, Romi menatap layar


ponselnya yang sambungan teleponnya terputus.

“Ya, Cuma gitu doang,” gumam Romi kecewa. Sebenarnya ia ingin ngobrol
lebih lama dengan Intan karena itu ia sengaja mengusir Vina dari dalam
kamarnya. Karena Intan sudah memutuskan sambungan teleponnya terlebih
dahulu, Romi pun akhirnya turun ke lantai bawah untuk sarapan bersama
keluarganya di ruang makan.

Sementara itu, setelah Intan memutuskan sambungan teleponnya dengan Romi


dan tidak mendapatkan informasi yang memuaskannnya, Intan menghubungi
Sita dan berharap bisa mendapatkan informasi dari Sita tentang Ricko dan
kedua orang tuanya. Ternyata yang Sita tahu hanya papa dan mamanya sudah
menunggu kedatangan Ricko dari kemarin di apartemen, tapi Ricko tidak
kunjung datang hingga pagi ini.

Intan pun menghembuskan nafasnya dengan kasar melalui mulutnya lalu


menaruh ponselnya di nakas. Setelah itu ia bangkit dari duduknya dan berjalan
keluar kamarnya untuk sarapan di lantai bawah.

Tidak berapa lama ponsel Intan bergetar, sayangnya Intan tidak mengetahuinya
karena ia sudah duduk di meja makan untuk memakan sarapannya.

Sementara itu di sebuah bandara Singapura, Ricko sedang menempelkan ponsel


di telinganya berharap Intan segera menerima panggilan teleponnya, tapi hingga
panggilan kelima tidak ada jawaban dari Intan. Ia sudah sangat merindukan istri
kecilnya itu karena dari kemarin ia tidak bisa menghubungi Intan gara - gara
baterai ponselnya habis. Sesampainya di bandara, ia segera mengisi baterai
ponselnya yang habis dan menghubungi Intan, sayangnya Intan tidak segera
menjawabnya.
“Ke mana dia? Kenapa tidak menerima panggilan teleponku?” gumam Ricko
lalu memasukkan ponsel ke dalam sakunya.

Tiba – tiba Dina menepuk bahu Ricko dari belakang. Ricko pun terkejut dan
menoleh ke belakang.

“Hallo Pak Ricko,” sapa Dina sambil tersenyum kegirangan.

“Iya, ada apa?” tanya Ricko heran.

“Tidak ada apa – apa Pak, hanya saja tadi saya melihat Pak Ricko, jadi saya
sapa gitu Pak,” jawab Dina sok akrab.

“Oh ya sudah, saya pergi dulu kalau begitu,” balas Ricko lalu buru - buru
menarik kopernya.

Dina pun menyaksikan kepergian Ricko dengan tersenyum gemas.

“Ganteng banget sih,” gumam Dina.

Setelah sampai di apartemen, Ricko memencet bel pintu apartemen. Tidak


berapa lama Bi Mina membukakan pintu. Ricko pun masuk lalu mencium
punggung tangan papa dan mamanya yang sedang duduk di sofa. Ricko sangat
senang melihat papanya sudah sehat kembali, ia pun memeluk papanya
dengan erat.

“Dari mana saja kamu? Dari kemarin kami menunggu,” tanya Pak Bambang
pada Ricko.

“Maaf Pa, kemarin pesawatnya mendadak mendarat di Pulau Sumatera karena


cuaca buruk, baterai ponselku juga habis. Karena cuaca buruk itu, semua
saluran telekomunikasi dan listrik tidak berfungsi,” jawab Ricko menjelaskan
pada Pak Bambang setelah duduk di sofa samping Pak Bambang.

“Oh jadi seperti itu, pantas saja papa berkali – kali meneleponmu tapi tidak
bisa,” balas Pak Bambang.

“Apa kita kembali sekarang?” tanya Ricko pada kedua orang tuanya.

“Istirahatlah dulu, kamu baru sampai. Bagaimana kabar istrimu, apa


kandungannya baik – baik saja?” tanya Bu Sofi dengan antusias.

Ricko pun terkejut, ia baru ingat kalau belum memberi kabar pada Intan dari
kemarin. Ia yakin kalau Intan sangat khawatir sekarang. Ia pun segera
mengeluarkan ponsel dari sakunya lalu mencari kontak “Istriku” dan menekan
tombol untuk memanggil.

“Ada apa Rick?” tanya Bu Sofi heran karena Ricko tidak menjawab
pertanyaannya tapi malah menghubungi seseorang.

“Aku belum menelepon Intan dari kemarin Ma,” jawab Ricko sambil
menempelkan ponsel ke telinganya.

“Kamu itu bagaimana sih? Pasti dia sangat khawatir Rick,” balas Bu Sofi ikut
mengkhawatirkan Intan.

Sementara itu Intan di rumahnya sedang berada di dapur membuat kue


bersama Susi. Karena terlalu asyik membuat kue, Intan pun lupa dengan
ponselnya yang terus berdering di kamarnya yang berada di lantai atas.

Sekarang giliran Ricko yang khawatir dengan Intan karena dari tadi pagi Intan
tidak menjawab teleponnya. Ia menjadi cemas dan takut terjadi apa – apa
dengan Intan. Sudah sepuluh kali Ricko menghubungi Intan, tapi tidak ada
jawaban sama sekali.

Akhirnya Ricko pun menghubungi Romi. Hanya Romi satu – satunya orang
yang bisa diandalkan saat ini. Saat Ricko menelepon, Romi sedang berada di
ruang kantor Ricko bersama Sita. Ia menyerahkan berkas pada Sita untuk
dibaca dan ditanda tangani. Saat ponsel Romi berdering, Romi pun segera
menerima panggilan itu saat melihat nama “Ricko” tertera di layar ponselnya.

“Halo Rick,” sapa Romi dengan semangat karena Romi memang sedang
menunggu kabar dari Ricko.

“Cepat pergi ke rumahku! Lihat keadaan Intan,” perintah Ricko.

“Ada apa, kenapa kamu begitu panik?” tanya Romi dengan santai.

“Aku meneleponnya sejak tadi pagi tapi tidak ada jawaban sama sekali. Aku
takut terjadi apa – apa sama dia,” jawab Ricko panik.

“Baiklah, aku akan ke rumahmu sekarang,” balas Romi tenang.

“Terima kasih,” ujar Ricko sebelum memutuskan sambungan teleponnya.

Setelah memasukkan ponselnya ke dalam sakunya, Romi pamit pada Sita


untuk pergi ke rumah Ricko, tapi Sita malah memutuskan untuk ikut. Akhirnya
Romi pun membiarkan Sita ikut pergi ke rumah Ricko.

Di dalam mobil Sita duduk di kursi penumpang sambil menunduk memainkan


ponselnya. Romi memperhatikan Sita dari kaca spion yang ada di depannya, ia
pun tersenyum.

Semakin dewasa, anak ini semakin cantik juga, batin Romi.

Karena terlalu asyik dengan ponselnya, Sita tidak tahu bahwa sedari tadi Romi
memperhatikannya dari kaca spion.

Sesampainya Romi di rumah Ricko, ia segera memencet bel pintu rumah Ricko,
tapi beda lagi dengan Sita, ia segera menekan password pada pintu rumah
Ricko. Setelah pintu terbuka, Sita segera masuk ke dalam rumah Ricko diikuti
Romi. Sita masuk hingga ke dalam rumah dan melihat Intan sedang asyik
membuat kue bersama Susi di dapur.

“Kak Intan!” panggil Sita sambil berjalan mendekati dapur.

Intan pun menoleh saat mendengar Sita memanggil namanya. Ia merasa terkejut
karena tiba – tiba Sita sudah berada d dalam rumahnya.

“Ada apa, kenapa kamu bisa masuk ke dalam rumah?” tanya Intan sambil
menghampiri Sita.

“Tadi Kak Ricko menelepon dan mengkhawatirkan Kak Intan karena Kak
Ricko sudah berkali - kali menelepon tapi enggak direspon Kak Intan,” jawab
Sita setelah duduk di meja makan.

“Oh iya, ponselku di kamar atas, sejak sarapan tadi pagi aku belum melihat
ponselku,” balas Intan lalu memasukkan kue ke dalam mulutnya.

Sita yang melihat Intan makan kue, ia pun mengambil kue yang sudah matang
di atas meja lalu ikut menyantapnya juga. Romi yang sedari tadi berdiri tidak
ada yang mnghiraukan segera berdehem sambil melipat tangan di dadanya.

“Eh ada Mas Romi juga,” ujar Intan saat melihat ke arah Romi yan tengah
berdiri. Romi pun berjalan mendekat dan ikut duduk di meja makan juga.

“Silakan dicicipi Mas kuenya,” ujar Intan sambil menyodorkan kue pada Romi.
Romi pun mengambil kue itu lalu memasukkan kue ke dalam mulutnya.

Tidak berapa lama ponsel Romi berdering dan tampaklah nama Ricko pada
layar ponselnya, Romi pun terkejut lalu tersedak. Ia lupa tujuan utama ia ke
rumah Ricko adalah melihat keadaan Intan untuk dilaporkan pada Ricko bukan
mencicipi kue buatan Intan. Intan segera menuangkan air putih pada gelas lalu
memberikannya pada Romi. Setelah meminum airnya, Romi menerima
panggilan dari Ricko.

“Halo,” sapa Romi sambil mengelap bibirnya dengan jarinya.

“Bagaimana Intan?” tanya Ricko.

“Dia baik – baik saja,” jawab Romi.

“Berikan ponselmu padanya,” perintah Ricko.

Romi pun memberikan ponselnya pada Intan. Intan segera menerimanya


dengan antusias karena dari kemarin ia juga mengkhawatirkan keadaan Ricko.

“Halo Mas,” ucap Intan menyapa Ricko.

“Kenapa tidak menerima panggilan teleponku?” tanya Ricko dengan tidak


sabar.

“Ponselku di kamar Mas, aku sedang membuat kue bersama Mbak Susi di
dapur,“ jawab Intan menjelaskan situasinya.

“Ya sudah kalau kamu baik – baik saja,” balas Ricko merasa lega.

“Kapan Mas Ricko pulang?” tanya Intan dengan manja.


“Besok aku akan pulang sayang,” balas Ricko sambil tersenyum.

“Aku kangen,” ucap Intan sambil tersenyum. Ia lupa kalau ponsel yang ia pakai
adalah ponsel milik Romi.

“Ehm - ehm,” dehem Romi merusak suasanya kemesraan Intan dan Ricko.

Intan pun tersadar lalu tersenyum malu.

“Mas, nanti kamu telepon ke ponselku saja ya, yang punya ponsel sepertinya
iri. Hahaha,” ujar Intan mengakhiri percakapannya dengan Ricko. Ricko pun
menyetujuinya.

Setelah menerima ponsel dari Intan, Romi segera memasukkan ponselnya ke


dalam sakunya lalu berdiri hendak kembali ke perusahaan.

“Sita, kamu tetap di sini apa ikut kembali ke perusahaan?” tanya Romi pada
Sita.

“Ikut ke perusahaan Kak, tapi aku mau membawa kue ini juga,” jawab Sita
sambil tersenyum malu.

Intan pun membungkus sebagian kuenya dan memberikannya pada Sita.


Di dalam mobil, Romi memberanikan diri untuk bertanya pada Sita supaya
tidak penasaran lagi.

“Sita … ” panggil Romi tiba – tiba.

“Iya Kak,” sahut Sita sambil menoleh ke arah Romi yang sedang fokus
mengemudi.

“Mmm … apa kamu sudah punya pacar?” tanya Romi sedikit malu.

“Kenapa?” tanya Sita heran.

“Tidak apa – apa, hanya ingin tahu saja,” balas Romi tersenyum canggung.

“Oh,” balas Sita lalu melanjutkan makan kuenya tanpa menjawab pertanyaan
dari Romi.

Eh kok cuma ‘oh’ doang enggak dijawab, batin Romi kecewa.


Keesokan harinya Romi mengantar Intan dan Sita ke bandara untuk menjemput
Ricko dan kedua orang tuanya. Intan dan Sita duduk di kursi lobby menanti
kedatangan Ricko dengan sabar. Tidak berapa lama muncullah sosok Ricko,
Pak Bambang, Bu Sofi dan Bi Mina dari pintu kedatangan. Intan segera
menghambur ke arah Ricko dengan semangat dan memeluknya. Ricko pun
menyambut pelukan Intan dengan membentangkan kedua tangannya.

“Mas, aku kangen,” ujar Intan di pelukan Ricko.

“Iya, aku juga,” balas Ricko sambil tersenyum dan mengecup kening Intan.

Pak Bambang dan Bu Sofi tersenyum sambil geleng – geleng melihat kelakuan
Intan yang seperti anak kecil. Sita menyusul Intan lalu mencium punggung
tangan Pak Bambang dan Bu Sofi bergantian lalu memeluk kedua orang tuanya
itu. Begitu juga dengan Intan setelah melepas pelukannya pada Ricko.

Setelah itu mereka keluar dari bandara bersama – sama menuju area parkir.
Romi membantu Bi Mina membawa barang bawaan mereka. Ricko berjalan
sambil memeluk Intan dan tersenyum senang.

Sesampainya di rumah Pak Bambang, Bi Sumi sudah menyiapkan makanan


untuk menyambut kedatangan mereka. Sudah lama Pak bambang tidak
menginjakkan kakinya di rumah itu, ia melihat ke sekeliling lalu terseyum. Ia
merasa bersyukur akhirnya bisa sembuh dari sakitnya.

Mereka berenam pun akhirnya makan bersama seperti keluar besar yang sedang
merayakan suatu pesta. Romi merasa canggung karena merasa orang asing
diantara keluar itu. Ia pun mempercepat makannya dan segera pamit pulang.

“Kenapa buru – buru?” tanya Pak Bambang pada Romi.

“Iya Pak, sudah sore, saya harus ke perusahaan sebentar sebelum pulang,”
jawab Romi dengan sopan.

Akhirnya Pak Bambang pun mengerti dan mengizinkan Romi pulang. Setelah
kepergian Romi, Pak Bambang dan Bu Sofi masuk ke dalam kamarnya untuk
beristirahat, begitu juga dengan Sita, Ricko dan Intan mereka masuk ke dalam
kamar masing - masing.
Di dalam kamar, Intan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur diikuti
Ricko. Ricko memiringkan tubuhnya menghadapa Intan lalu merapikan anak
rambut Intan dan menyisipkannya di telingan Intan.

“Mas, kenapa kemarin – kemarin kamu tidak menghubungiku?” tanya Intan


meminta penjelasan.

“Baterai ponselku habis, jadi aku tidak bisa menghubungimu. Saat aku
meneleponmu malah kamu tidak menerima panggilan teleponku,” jawab Ricko
dengan tenang.

“Kenapa tidak menelepon ke telepon rumah?” tanya Intan lagi.

“Apa kamu pernah mendengarnya berdering? Sudah lama telepon rumah error,
jadi aku tidak menelepon ke telepon rumah. Tadinya aku juga mau melihat
keadaanmu lewat CCTV rumah, tapi sepertinya internet sedang bermasalah,
jadi aku tidak bisa melakukannya. Maafkan aku, jangan marah ya,” ujar Ricko
dengan lembut.

“Hmm,” gumam Intan sambil memejamkan matanya.

Ricko pun memegang pipi Intan lalu mencium bibirnya. Intan yang dicium
dadakan tentu saja terkejut. Ia membuka matanya lalu mendorong tubuh Ricko.

“Kenapa?” tanya Ricko heran karena Intan menolaknya.

“Banyak orang di rumah ini, Mas,” jawab Intan merasa malu apabila terpergok
seperti di kantor waktu itu.

“Aku sudah mengunci pintunya, jadi aman,” balas Ricko sambil mengedipkan
sebelah matanya.

Kalau Ricko sudah mempersiapkan segalanya apalah daya Intan, ia pun pasrah
dengan apa yang dilakukan Ricko hingga percintaanpun terjadi.

Malam hari Dina keluar dari dalam kamar mandi menggunakan handuk kimono
di tubuhnya dan handuk kecil melilit di kepalanya. Ia duduk di tepi tempat tidur
lalu mengambil ponselnya yang ada di atas tempat tidur. Ia memandangi layar
ponsel di tangannya dan tersenyum. Setelah itu ia membuka kontak dan
mencari nama Ricko lalu mengirim sebuah pesan.
Dina : Hai, aku Dina. Kamu sedang apa?

Dina tersenyum sendiri sambil memeluk ponsel di dadanya. Ia membaringkan


tubuhnya ke tempat tidur dan berharap Ricko akan segera membalas pesannya.
Ia memandangi layar ponselnya beberapa kali untuk melihat apakah Ricko
sudah membalas pesannya.

Sementara itu di rumah Pak Bambang, Ricko dan Intan sedang tidur berpelukan
di bawah selimut setelah bercinta tadi sore. Tiba – tiba ponsel Ricko berbunyi
menandakan ada pesan masuk. Ricko yang mendengar ponselnya berbunyi
segera membuka matanya dan mengambil ponsel di atas nakas dengan satu
tangan tanpa melepas pelukannya dari tubuh Intan dengan pelan – pelan supaya
Intan tidak terbangun. Ricko membuka pesan itu dan tampaklah nama Sita.

Sita : Kak, sudah waktunya makan malam, apa Kakak enggak mau keluar
kamar?

Setelah membaca pesan itu, Ricko menaruh ponselnya kembali lalu


memandangi wajah Intan yang sedang tertidur lelap. Ia tidak tega untuk
membangunkan Intan, tidurnya terlihat sangat nyenyak sekali. Ricko pun
membiarkan Intan tidur hingga tidak lama kemudian Intan membuka matanya.

“Jam berapa sekarang Mas?” tanya Intan sambil mengusap matanya.

“Delapan malam,” jawab Ricko sambil tersenyum.

“Aku lapar Mas,” ujar Intan tiba – tiba.

“Ayo mandi dulu, setelah itu kita turun untuk makan,” balas Ricko sambil
membuka selimut dan mengangkat tubuh Intan lalu menggendongnya ke dalam
kamar mandi. Intan yang tiba – tiba digendong tentu saja terkejut.

“Mas, aku bisa jalan sendiri!” seru Intan sambil mencak – mencak digendongan
Ricko, tapi Ricko tidak melepaskannya hingga sampai di bathup lalu
menurunkan Intan di sana. Setelah itu mereka mandi bersama.

Sementara itu Lia sekretaris Ricko baru saja bangun dari tidurnya. Ia merasa
sangat lelah hari ini, sehingga ketika ia pulang dari bekerja ia pun tertidur. Saat
ia membuka matanya ia melihat jam di ponselnya lalu melihat ada tanda pesan
masuk. Ia membuka pesan dari nomor asing itu.
+62 856 xxx xxx : Hai, aku Dina. Kamu sedang apa?

“Dina? Apa dia Dina temanku waktu SMA dulu?” gumam Lia sambil
mengingat – ingat temannya yang bernama Dina.

Lia : Aku baru bangun tidur.

Setelah membalas pesan dari Dina, Lia menaruh ponselnya pada meja riasnya
lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang belum
mandi sejak tadi sore.

Sementara itu, Dina yang mendengar ponselnya berdering tentu saja segera
membuka pesan yang baru saja masuk ke ponselnya. Ia membaca balasan pesan
dari Lia yang ia anggap itu balasan dari Ricko. Ia merasa sangat senang karena
pesannya mendapat balasan, tapi ia kecewa karena pesan itu tidak bertanya
balik padanya. Dina pun cemberut lalu meletakkan ponselnya kembali.

Sejujurnya Ricko tidak pernah memberikan nomor ponselnya pada orang lain.
Di ponselnya hanya menyimpan nomor keluarganya, Romi, Lia, dan beberapa
orang terdekat saja. Selain itu, ia akan menyerahkannya pada Lia sekretarisnya.
Ricko juga tidak memberikan nomor ponsel pribadinya pada Dina, tapi yang ia
berikan nomor ponsel Lia.

Setelah mandi bersama, Ricko dan Intan menikmati makan malam hanya bedua
saja karena Pak Bambang, Bu Sofi, dan Sita sudah makan malam terlebih
dahulu saat mereka mandi tadi.

Seperti biasa Intan mengambilkan makanan untuk Ricko lalu menaruh piring itu
di atas meja depan Ricko. Ricko mengambil sendok lalu menyendok makanan
di atas piring dan menyodorkannya ke depan mulut Intan.

Intan yang sedang mengambil makanan, tiba – tiba disodori makanan di depan
mulutnya jadi merasa heran. Ia melihat ke arah Ricko dengan tatapan seolah –
olah bertanya.

“Buka mulutmu!” perintah Ricko. Intan pun memanyunkan bibirnya lalu


membuka mulutnya lebar - lebar dengan terpaksa, ia merasa kesal dengan
Ricko yang selalu memaksa. Setelah Intan membuka mulutnya, Ricko
memasukkan makanan ke dalam mulut Intan. Intan pun mengunyah
makanannya dengan dengan cemberut.
Pak Bambang, Bu Sofi, dan Sita menyaksikan kemesraan mereka dari ruang
keluarga sambil menonton televisi. Ricko tahu itu, tapi ia tidak
menghiraukannya. Sudah dua hari ia tidak bertemu Intan, hari ini ia ingin
memanjakan istri kecilnya itu. Setelah menyuapi Intan, Ricko memasukkan
makanan ke dalam mulutnya sendiri dengan sendok yang sama.

Setelah makan malam, Ricko dan Intan pamit untuk pulang pada Pak Bambang
dan Bu Sofi.

Keesokan paginya Dina mengirim pesan lagi pada Lia yang ia anggap Ricko.

Dina : Selamat pagi.

Lia yang sedang bersiap – siap untuk berangkat kerja segera membuka tasnya
saat mendengar ponselnya berdering. Ia membuka pesan yang masuk pada
ponselnya dan membalasnya.

Lia : Pagi juga.

Dina senang sekali pesannya mendapat balasan dengan cepat. Ia pun membalas
pesan itu lagi.

Dina : Sedang apa?

Lia : bersiap – siap berangkat bekerja.

Dina : Semangat ya kerjanya. ????

Lia mengeryitkan dahinya saat membaca pesan terakhir dari Dina.

“Perhatian banget dia, ada apa nih?” gumam Lia lalu memasukkan ponsel ke
dalam tasnya dan berangkat kerja.

Sementara itu Dina senang bukan main. Ia berpikir Ricko selain tampan, ia juga
seorang lelaki pekerja keras.

Rumah Ricko

Intan sedang membantu Ricko bersiap – siap untuk berangkat bekerja. Intan
memasang jas dan dasi di leher Ricko sambil mendongak karena tubuh Ricko
lebih tinggi dari tubuh Intan.

Ricko pun menunduk dan mendekatkan wajahnya pada Intan lalu mengecup
bibirnya. Intan terkejut lalu menatap mata Ricko dan tersenyum malu. Setelah
selesai membantu Ricko bersiap – siap, kini Intan dan Ricko turun ke bawah
untuk sarapan bersama.

Di dapur Bi Ani dan Susi sedang menyiapkan sarapan bersama. Saat Ricko dan
Intan sudah duduk di meja makan, Bi Ani menghampiri Ricko.

“Pak, maaf beberapa hari ini saya tidak masuk bekerja karena anak saya sedang
sakit,” ujar Bi Ani meminta maaf.

“Iya tidak apa – apa,” jawab Ricko dengan santai.

Setelah itu Bi Ani kembali ke dapur untuk menghidangkan makanan ke atas


meja makan dibantu Susi. Tiba – tiba Ricko teringat sesuatu. Ia belum
memeriksakan kandungan Intan bulan ini. Padahal moment ini sudah sangat ia
nanti – nantikan untuk mengetahui perkembangan anak yang ada di dalam
kandungan Intan.

“Ayo kita ke rumah sakit,” ujar Ricko tiba – tiba.

“Kenapa, Mas Ricko sakit?” tanya Intan heran karena Ricko tiba – tiba
mengajaknya ke rumah sakit.

“Memeriksakan kandunganmu,” jawab Ricko lalu menyeruput minumannya.

“Ooooh periksa kandungan,” balas Intan sambil memegangi perutnya.

“Iya, aku ingin memeriksakannya setiap bulan,” ujar Ricko sambil tersenyum
dan ikut membelai perut Intan dengan lembut.

“Okey Mas,” ucap Intan setuju.

Setelah itu mereka memulai sarapannya. Setelah sarapan Ricko melajukan


mobilnya membawa Intan ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungannya.

Sesampainya di area parkir, Intan dan Ricko turun dari mobil lalu berjalan ke
rumah sakit sambil bergandengan tangan. Intan merasa gugup setiap
menginjakkan kakinya ke rumah sakit, apalagi yang akan diperiksa adalah dia
sendiri. Ricko menenangkannya dengan menggenggam tangan Intan erat – erat.
Intan memandang ke arah Ricko, Ricko pun memandang Intan dengan
tersenyum.

“Tanganmu dingin sekali, kenapa?” tanya Ricko saat merasakan dingin pada
telapak tangan Intan.

“Mmm … aku deg – degan, Mas,” jawab Intan dengan gugup.

“Tidak usah takut, ada aku di sini,” balas Ricko sambil tersenyum dan menepuk
punggung tangan Intan yang ia genggam. Intan pun ikut tersenyum dan
mengangguk.

Setelah mendaftar dan antri, akhirnya kini giliran Intan untuk diperiksa. Intan
naik ke atas tempat tidur lalu seorang perawat menaikkan kaos Intan hingga ke
dada. Setelah itu perawat itu menuangkan gel di atas perut Intan, lalu Dokter
Kandungan memeriksa kandungan Intan dengan alat USG.

Ricko mendampingi Intan di samping tempat tidur sambil memegangi tangan


Intan yang terasa dingin sejak tadi. Ia ikut menyaksikan tampilan gambar yang
tertera pada layar komputer meskipun tidak mengerti gambar apa itu, yang ia
lihat hanyalah gumpalan kacang kecil.

Setelah memeriksa Intan dengan alat USG, Dokter Kandungan menjelaskan


perihal tentang kandungan Intan. Dokter mengatakan bahwa Intan sedang
mengandung bayi kembar, tapi itu masih belum terlalu jelas karena usia
kandungan Intan masih delapan minggu. Ricko merasa sangat senang
mendengarnya.

Selama perjalanan pulang Ricko tersenyum tiada henti. Ia memegangi tangan


kanan Intan dan berkali – kali mencium punggung tangan Intan. Ia sangat
berterima kasih karena Intan memberikan dua anak sekaligus padanya.
Sedangkan Intan masih berpikir bagaimana bisa ia mengandung bayi kembar,
sedangkan ia tidak memiliki saudara kembar, begitu juga dengan Ricko.

“Mas,” panggil Intan tiba – tiba.

“Iya,” sahut Ricko sambil tetap fokus mengemudi.

“Apa kamu punya saudara kembar?” tanya Intan ingin tahu.


“Iya, tapi dia sudah meninggal. Namanya Ricky,” jawab Ricko dengan
santainya.

“Meninggal kenapa?” tanya Intan lagi semakin ingin tahu.

“Kecelakaan,” balas Ricko singkat.

“Oh begitu, pantesan aku bisa hamil kembar,” gumam Intan mengerti.

Sesampainya di halaman rumah, Intan mencium punggung tangan Ricko


sebelum turun dari mobil dan Ricko mencium kening Intan.

“Banyak – banyak istirahat ya,” ujar Ricko pada Intan sebelum Intan turun dari
mobilnya.

“Iya Mas, Mas Ricko hati – hati ya mengemudinya, jangan ngebut,” balas Intan
sambil tersenyum.

“Iya,” jawab Ricko lembut seraya membelai puncak kepala Intan dengan kasih.

Setelah Intan turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, Ricko melajukan
mobilnya menuju perusahaan.

Saat di tengah perjalanan, Ricko mengisi bahan bakar mobilnya di sebuah


SPBU. Ia membuka kaca mobilnya untuk berbicara dan membayar pada
petugas yang mengisi bahan bakar mobilnya. Tidak jauh dari lokasi Ricko,
Dina juga sedang mengisi bahan bakar motornya. Ia terkejut saat melihat Ricko
di dalam sebuah mobil, ia ingin mendekat tapi sayangnya Ricko sudah
melajukan mobilnya keluar dari SPBU.

Setelah Dina selesai mengisi dan membayar bahan bakar motornya, ia


melajukan motornya untuk mengejar mobil Ricko, namun sayangnya Ricko
terlalu cepat melajukan mobilnya sehingga Dina tidak dapat mengejarnya.

“Sial!” umpat Dina karena tidak dapat mengejar mobil Ricko. Akhirnya ia pun
melajukan motornya ke kampus karena ia ada urusan siang ini.
Di ruangan kerja Ricko, Romi sedang duduk di kursi depan meja Ricko sambil
memisahkan beberapa file yang harus dibaca Ricko. Saat Ricko datang, Romi
segera memberikan brosur dan formulir yang diminta Ricko tentang kampus
yang ada di sebelah perusahaan Ricko.

“Terima kasih Rom,” ucap Ricko pada Romi saat sudah menerima kertas
formulir dan brosur itu di tangannya.

“Sama – sama. Rick, kamu yakin mengizinkan Intan kuliah di saat ia hamil
seperti sekarang?” tanya Romi ikut khawatir dengan keadaan Intan.

“Mau bagaimana lagi, dia ingin sekali kuliah setelah lulus SMA. Kalau dicegah
yang ada dia menangis dan sedih. Aku enggak mau dia bersedih atau stres, itu
akan mempengaruhi kesehatan anakku yang ada di dalam kandungannya juga,”
jawab Ricko setelah duduk di kursinya.

“Bukannya kalau kuliah nanti dia tambah stres dengan beban tugas kuliah?”
tanya Romi lagi.

“Ya kalau dia stres, aku akan mengurungnya di rumah, tidak akan aku biarkan
masuk kuliah, hahaha,” balas Ricko bercanda lalu membuka laptop yang ada di
depannya.

Romi pun akhirnya tidak membalas lagi karena sudah kehabisan kata – kata.
Setelah itu mereka membahas tentang pekerjaan yang akan diurus hari ini.

Sesampainya Dina di kampus, ia segera memarkirkan motornya dan berlari ke


ruang BEM. Siang ini akan diadakan rapat untuk persiapan penerimaan
mahasiswa baru, Dina menjadi salah satu panitianya. Saat Dina memasuki
ruang BEM, rapat sudah dimulai. Ketua BEM menatap pintu dan tampaklah
Dina yang ngos-ngosan karena habis berlari.

“Maaf Kak, saya telat,” ujar Dina meminta maaf sambil menunduk.

“Kamu telat sepuluh menit, tahu kan hukumannya apa?” balas ketua BEM yang
bernama Ali itu setelah melihat waktu di jam tangannya.

“Iya Kak,” jawab Dina dengan lesuh lalu pergi dari ruang BEM itu dan
menutup pintunya.
“Sial! Gara – gara mengejar si tampan Ricko tadi, aku jadi telat mengikuti
rapat,” umpat Dina dengan cemberut sambil berjalan ke arah lapangan.

Hukuman untuk yang telat datang rapat sepulu menit adalah lari mengelilingi
lapangan sebanyak sepuluh kali putaran. Sesampainya Dina di lapangan,
ternyata di sana sudah ada yang sedang berlari sebanyak lima orang. Ia pun
terpaksa ikut lari juga bersama kelima panitia yang telat datang rapat di bawah
terik matahari siang itu

Sore hari Intan sedang menonton televisi di ruang tengah. Tiba – tiba ada
sebuah iklan es krim wxxx yang membuat ia ingin memakan es krim itu juga.
Intan menjilat bibir bawahnya membayangkan betapa segarnya es krim itu. Ia
pun melihat jam di ponselnya yang kini menunjukkan pukul 15.05.

“Masih jam segini, beli es krim di luar sebentar deh,” gumam Intan lalu
mematikan televisinya. Setelah itu ia naik ke lantai atas untuk mengambil jaket,
uang, dan kunci motor.

Intan keluar rumah tanpa sepengetahuan Susi dan Bi Ani. Ia mengendarai motor
sendirian menuju swalayan terdekat untuk membeli es krim yang sedang ia
inginkan sekarang.

Tidak berapa lama Ricko pulang. Saat ia memarkirkan mobilnya di garasi, ia


melihat motornya tidak ada di sana. Ia pun sangat yakin kalau Intan sedang
pergi mengendarai motor sendirian. Ia segera masuk ke dalam rumah dengan
tergesa – gesa dan memanggil kedua pembantunya yang sedari tadi berada di
dalam kamar.

“Ke mana istriku pergi?” tanya Ricko dengan tegas.

Susi dan Bi Ani saling bertatapan saat di tanya Ricko tentang kepergian Intan.
Sejak tadi siang mereka tidur siang di dalam kamar, sehingga tidak tahu bahwa
Intan pergi dari rumah.

“Maaf, kami tidak tahu Pak,” jawab Susi sambil menunduk karena takut.

Ricko pun membalikkan badannya lalu menaruh tasnya di sofa ruang tengah.
Setelah itu ia duduk di teras menunggu kepulangan Intan sambil mengecek ke
mana perginya Intan memalui GPS yang ia pasang di motor yang dibawa Intan
melalui ponselnya.
Di dalam swalayan, Intan segera menuju ke kulkas yang bertuliskan wxxx. Ia
membelalakkan matanya dengan senang saat melihat berbagai macam es krim
yang ada di dalam kulkas. Lagi – lagi Intan menjilat bibirnya ketika
membayangkan segar dan enaknya es krim itu apabila sudah mendarat di dalam
mulutnya. Ia pun akhirnya mengambil beberapa es krim yang ia pikir rasanya
enak.

Setelah membayar di kasir, Intan duduk di kursi yang tersedia di depan


swalayan untuk menikmati es krim-nya. Ia sudah tidak sabar untuk
menyantapnya sejak melihat iklan di televisi saat di rumah tadi. Ia membuka
bungkus es krim itu lalu menggigit es krimnya sedikit demi sedikit. Intan
memejamkan matanya sambil tersenyum merasakan manis dan dingin es krim
yang ada di dalam mulutnya.

Sementara itu Ricko di teras rumah sedang mengamati layar ponselnya untuk
mengetahui di mana Intan berada. Setelah membuka sebuah aplikasi di dalam
ponselnya, Ricko akirnya dapat menemukan keberadaan Intan.

“Sedang apa dia di swalayan?” gumam Ricko sambil mengernyitkan dahinya.


Akhirnya ia pun memutuskan untuk mandi sambil menunggu Intan pulang.

Setelah menghabiskan keempat es krimnya, Intan baru sadar dan melihat jam di
ponselnya, betapa terkejutnya ia saat melihat jam di ponselnya sudah
menunjukkan pukul 16.15. Intan pun segera pulang karena merasa sangat yakin
kalau sekarang Ricko sudah berada di rumah.

Selama perjalanan pulang, Intan memikirkan apa yang harus ia katakan pada
Ricko supaya tidak marah. Ia yakin Ricko pasti marah saat pulang kerja dan
tidak menemukan dirinya di rumah. Intan tahu Ricko sangat mengkhawatirkan
keadaannya saat ini yang sedang hamil, apalagi hamil muda dan kembar.

Sesampainya di rumah, jantung Intan berdebar – debar saat melihat mobil


Ricko sudah berada di dalam garasi. Mau tidak mau ia segera memarkirkan
motornya di dalam garasi juga. Setelah itu ia menghembuskan nafas dengan
berat melalui mulutnya sebelum masuk ke dalam rumah untuk menghadapi
Ricko. Ia masuk ke dalam rumah dengan pelan – pelan dan mengendap – endap
sambil melihat situasi di dalam rumah. Ia celingak – celinguk ke seluruh sisi
ruangan berharap tidak bertemu Ricko secepatnya.

Saat Intan melewati ruang tengah, tiba – tiba ia mendengar suara Ricko dari
atas tangga. Intan merasa terkejut lalu membelalakkan matanya melihat ke atas
di mana Ricko berada.

“Dari mana saja kamu?” tanya Ricko dengan geram sambil menuruni tangga.

Intan sudah tahu Ricko pasti marah karena tadi sebelum berangkat bekerja
Ricko berpesan supaya banyak istirahat, tapi ia malah kelayapan. Intan pun
menelan ludahnya lalu menghirup udara melalui hidungnya dengan kuat setelah
itu menghembuskannya dengan kasar melalui mulutnya.

“Mas, jangan marah,” rengek Intan setelah Ricko sudah berada di dekatnya
sambil menggaet lengan Ricko. Mengingat Intan sedang hamil, hati Ricko pun
melunak lalu mengajak Intan duduk di sofa ruang tengah.

“Jangan pergi – pergi sendiri lagi, aku khawatir,” ucap Ricko dengan lembut
dan tersenyum sambil membelai puncak kepala Intan.

“Iya Mas,” jawab Intan sambil menyuguhkan senyum termanisnya.

“Habis dari mana? Kenapa tidak sabar menungguku pulang?” tanya Ricko
dengan sabar.

“Tadi aku melihat iklan es krim wxxx di televisi, tiba – tiba aku pengen banget
Mas, jadi aku pergi ke swalayan untuk membelinya. Maafkan aku sudah
membuat Mas Ricko khawatir,” jawab Intan meminta maaf dengan tulus.

“Apa kamu sangat menyukainya?” tanya Ricko lagi.

“Iya Mas, rasanya enak banget,” jawab Intan dengan antusias.

“Aku akan membelikanmu satu kulkas penuh besok, supaya kamu tidak perlu
keluar rumah sendiri lagi,” balas Ricko sambil tersenyum lalu mengeluarkan
ponsel dari sakunya dan menelepon Romi.

“Halo Rick, ada apa?” tanya Romi di seberang telepon saat sudah tersambung.

“Hubungi pabrik es krim wxxx, suruh mereka mengirim satu kulkas penuh es
krim berbagai macam rasa ke rumahku besok!” perintah Ricko langsung pada
Intinya.

“Kamu mau jualan es krim Rick? Hahaha,” tanya Romi lalu tertawa.
“Tidak, aku membelinya untuk istriku,” jawab Ricko sambil melirik ke arah
Intan dan tersenyum lembut.

“Oh, okey Rick, siap laksanakan!” balas Romi lalu Ricko memutuskan
sambungan teleponnya.

“Terima kasih Mas,” ucap Intan lalu memeluk Ricko. Ricko pun membalas
pelukan Intan yang berada di dadanya.

Setelah makan malam, Dina merasa kesepian sekaligus lelah setelah rapat dan
lari keliling lapangan tadi siang. Ia pun mengambil ponselnya lalu mengirim
pesan pada Lia yang ia kira adalah Ricko.

Dina : Selamat malam, kamu sedang apa?

Lia yang baru saja selesai mencuci piring segera mengelap tangannya saat
mendengar ponselnya berbunyi. Ia segera mengambil ponselnya lalu membuka
pesan masuk yang ternyata dari Dina.

“Dina lagi? Tumben akhir – akhir ini dia sering kirim pesan perhatian padaku.
Dia enggak lesbi kan?” gumam Lia mulai merasa risih dengan pesan – pesan
yang dikirim Dina.

Akhirnya Lia pun menaruh ponselnya kembali tanpa membalas pesan dari Dina.
Ia merasa pesan itu tidak penting dan tidak perlu dibalas.

Sementara itu Dina menanti pesan balasan dari Lia yang ia anggap Ricko.
Beberapa kali ia mengecek ponselnya berharap ada pesan masuk dari Ricko.

“Kok lama ya balasnya?” gumam Dina sambil cemberut. Ia pun menyalakan


laptopnya untuk menonton drama korea kesayangannya sambil menunggu
pesan balasan dari Lia yang ia kira Ricko.

Rumah Ricko

Ricko sedang bekerja di depan laptop di ruang kerjanya. Tidak berapa lama
Intan masuk membawakan secangkir kopi dan kue dengan nampan lalu
menaruhnya di atas meja. Intan memperhatikan Ricko yang sedang serius
bekerja memandangi laptopnya.

“Mas, kamu enggak lelah?” tanya Intan saat sudah duduk di sofa.
“Sebentar lagi akan selesai,” balas Ricko tanpa mengalihkan pandangannya dari
laptop dan tangan kanannya mengambil kopi hendak meminumnya. Tiba – tiba
Intan segera menghampirinya lalu mengambil kopi itu. Ricko terkejut lalu
memandang Intan.

“Kenapa?” tanya Ricko heran.

“Ini masih panas Mas, nanti mulut dan lidahmu terbakar,” jawab Intan sambil
tersenyum lalu menuang kopi itu pada piring kecil supaya cepat dingin.

“Terima kasih,” balas Ricko sambil tersenyum dan membelai puncak kepala
Intan dengan lembut lalu menarik tubuh Intan untuk duduk di pangkuannya.
Setelah itu mengunci Intan di kedua sisi tubuh Intan dengan kedua tangannya
sambil kembali mengetik pada laptopnya.

“Aaaah,” pekik Intan terkejut karena Ricko menariknya dengan tiba – tiba.
Intan memegang kedua pipi Ricko dengan kedua telapak tangannya lalu
menempelkan dahinya pada dahi Ricko.

“Cepat selesaikan kerjanya!” seru Intan sambil melotot lalu membenturkan


dahinya pada dahi Ricko dengan sedikit keras. Ricko yang merasa kesakitan
segera memegang dahinya, di saat itulah Intan melarikan diri dari pangkuan
Ricko.

“Mau ke mana?” tanya Ricko saat melihat Intan keluar dari ruang kerjanya.

“Tidur, ini sudah malam Mas. Cepat pekerjaannmu, aku tunggu di kamar,”
jawab Intan sambil mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum sebelum
pergi.

Ricko pun tersenyum lalu menyelesaikan pekerjaanya secepat mungkin agar


bisa segera menemani istrinya di dalam kamar, syukur – syukur kalau bisa
dapat jatah.

Di dalam kamar, Intan membuka almari lalu mengambil lingeria yang ia beli
bersama Ricko waktu itu. Ia menempelkan pakaian itu pada tubuhnya dan
berdiri di depan cermin, ia merasa malu sendiri saat melihatnya. Tadinya ia
ingin memakainya untuk memberi kejutan pada Ricko, tapi akhirnya ia
urungkan niat itu karena merasa malu, risih, dan tidak terbiasa.

Sebelum Intan mengembalikan lingeria itu ke dalam almari, Ricko masuk ke


dalam kamar lalu menutup pintu sekaligus menguncinya. Ia melihat Intan
hendak memasukkan lingeria itu ke dalam almari, tiba – tiba tangan Ricko
mencegahnya. Intan menatap ke arah Ricko yang tengah tersenyum nakal
padanya.

“Kenapa dimasukkan lagi?” tanya Ricko.

“Enggak apa – apa,” jawab Intan sewot lalu duduk di tepi tempat tidur.

“Pakai saja, kamu akan terlihat semakin cantik kalau memakai itu,” balas Ricko
sambil mengikuti Intan duduk di tepi tempat tidur.

“Cantik dari mana? Jadi kelihatan semua nanti Mas,” ujar Intan tetap kekeh
tidak mau memakainya.

“Ya sudah, ayo tidur. Kamu sedang hamil, jangan sering marah – marah ya,”
balas Ricko sambil membelai pipi Intan. Intan pun mengangguk dan tersenyum.

Setelah itu Ricko membantu Intan berbaring dan menutupinya dengan selimut,
lalu ia pun berbaring di samping Intan sambil memeluk tubuh istrinya.

“Selamat malam,” bisik Ricko lalu mengecup kening Intan.

Keesokan harinya Ricko berangkat bekerja pagi – pagi karena akan bertemu
klien penting, karena itu tadi malam ia bekerja lembur di rumahnya. Saat
melihat Romi di depan pintu ruangannya, ia segera menanyakan tentang es krim
yang ia pesan kemarin.

“Bagaimana Rom, apa kamu sudah menghubungi pabrik es krim wxxx?” tanya
Ricko pada Romi.

“Sudah tadi pagi karena kemarin sore pabriknya sudah tutup, aku telepon tidak
ada yang menjawabnya,” jawab Romi dengan santai.

“Kapan mereka akan mengirim es krim-nya?” tanya Ricko lagi.

“Siang ini mungkin. Kenapa kamu tidak sabar sekali?” tanya Romi merasa
heran.
“Kalau tidak segera dikirim, nanti Intan kabur lagi beli es krim sendiri ke
swalayan. Aku takut terjadi apa – apa sama dia,” balas Ricko mengingat
kejadian kemarin saat Intan pergi ke swalayan sendirian untuk membeli es
krim.

“Aku akan menelepon pabriknya sekali lagi supaya segera dikirim secepatnya,
jangan khawati lagi,” ujar Romi sambil menepuk bahu Ricko. Setelah itu Ricko
masuk ke dalam ruangan kantornya.

Siang hari sebuah mobil box bertuliskan wxxx berhenti di depan rumah Ricko.
Setelah itu dua orang turun dari mobil itu, lalu menurunkan sebuah kulkas
freezer berisikan penuh es krim aneka rasa. Susi membukakan pintu dan
mengintruksi untuk membawa masuk kulkas itu ke ruang tengah sesuai dengan
perintah Ricko. Setelah menaruh kulkas itu, pengantar es krim itu pamit pulang
karena Romi sudah membayarnya melalui transfer bank.

Setelah bangun dari tidur siangnya, Intan keluar dari kamarnya dan hendak ke
dapur karena merasa haus. Ketika menuruni tangga, ia tertegun karena melihat
sebuah kulkas freezer bertuliskan wxxx terpampang nyata di sebelah
televisinya. Intan mengusap matanya takut itu adalah halusinasi, tapi setelah
Intan mengusap matanya berkali – kali, kulkas itu tetap terlihat nyata di depan
matanya. Ia pun segera menghampiri kulkas itu dan membukanya. Ia membuka
matanya lebar – lebar dengan semangat saking senangnya, lalu mengambil satu
es krim. Ia menikmati es krim itu sambil duduk di sofa depan televisi.

Setelah menghabiskan es krimnya, Intan mengeluarkan ponsel dari sakunya lalu


mengambil gambar kulkas es krim wxxx itu melalui kamera ponselnya. Setelah
itu ia mengirim foto itu ke grup whatsapp yang terdiri dari Intan, Vina, Melly,
dan Rita. Tanpa menunggu lama, balasan pesan pun mulai muncul.

Vina : Eh kamu lagi di mana nih?

Rita : Kayaknya itu di rumah Intan deh.

Melly : Iya, itu di rumah Intan, aku masih ingat banget ukuran televisinya tuh,
gede banget.

Intan : Hahaha. Setiap hari aku bisa makan es krim sepuasnya, Mas Ricko
membelikannya untukku.
Vina : Widih enaknya, mau dong?

Intan : Yuk besok pada ke rumah ya? Kalian bebas makan es krim sepuasnya.
Aku tunggu, okey?

Melly : Sip.

Rita : Okey.

Vina : Beres.

Sore hari, Ricko pulang dari bekerja dengan perasaan lega karena melihat Intan
sedang menonton televisi sambil menikmati es krim-nya. Ia pun ikut duduk di
samping Intan lalu mengambil es krim cone di tangan Intan dan menggigitnya.
Intan terkejut karena tiba – tiba es krim-nya diambil Ricko.

“Mas, itu es krimku. Kembalikan!” seru Intan sambil berusaha merebut es krim
itu dari tangan Ricko. Ricko pun segera melahap semua es krim itu hingga
habis sambil tersenyum. Intan pun akhirnya kesal dan cemberut.

“Kenapa Mas Ricko enggak ambil sendiri saja sih?” tanya Intan dengan
cemberut.

“Aku suka makan es krim bekas gigitanmu, rasanya lebih manis,” jawab Ricko
sambil tersenyum dan mengusap bibirnya yang belepotan dengan ibu jarinya.
Intan pun tidak jadi ngambek malah tersenyum malu.

Setelah itu Ricko mengambil satu es krim lagi lalu membuka bungkusnya dan
menyodorkannya ke mulut Intan, Intan pun menggigitnya lalu tersenyum.
Setelah Intan menggigit es itu, Ricko menggigit es krim itu juga tepat di mana
Intan menggigitnya.

Sore itu akhirnya mereka bersantai duduk di sofa sambil menikmati es krim
bersama. Intan duduk di samping Ricko dan bersandar pada bahu Ricko yang
sedang memeluk bahunya sambil bercengkramah.

Pagi hari, Intan bangun dan melihat Ricko masih berbaring di sampingnya.
Intan pun melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 06.10 pagi. Ia
pun segera membangunkan Ricko supaya segera mandi karena harus berangkat
bekerja.
“Mas, bangun! Sudah siang loh!” seru Intan sambil menggoyang – goyang
tubuh Ricko. Ricko pun meengeryitkan dahinya sambil berusaha membuka
matanya yang masih terasa berat.

“Ada apa?” tanya Ricko.

“Bangun Mas! Ini sudah siang, kamu enggak kerja?” tanya Intan sambil
membuka selimut yang menutupi tubuh mereka berdua.

“Kenapa aku harus bekerja di hari Minggu?” tanya Ricko lalu menarik selimut
dan bersiap untuk tidur lagi. Intan pun mengambil ponselnya dan melihat hari
di sana. Ia terkejut karena baru sadar kalau hari ini adalah hari Minggu.
Semenjak tidak sekolah lagi, hari – hari Intan hanya tinggal di rumah, sehingga
ia tidak pernah mengingat hari lagi.

Gawat nih, aku terlanjur mengundang teman – teman ke rumah hari ini. Mau
dibatalin enggak enak sama mereka. Batin Intan sambil melirik Ricko yang
tengah memejamkan matanya.

Intan pun bangkit dari tempat tidurnya lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk
mandi. Setelah mandi, Intan turun ke lantai bawah menuju dapur untuk
memberitahu asisten rumah tangganya bahwa hari ini teman – temannya akan
datang, sehingga Intan meminta mereka untuk memasak lebih banyak dari
biasanya.

Satu jam kemudian Ricko turun karena sudah waktunya sarapan, sehingga
perutnya protes minta untuk diisi. Di meja makan, Intan sedang menikmati
camilan yang dibuat Susi untuk menyambut teman – teman Intan.

“Kamu sudah sarapan?” tanya Ricko saat sudah duduk di meja makan.

“Belum Mas, aku nunggu kamu,” jawab Intan sambil tersenyum.

Setelah itu Intan mengambilkan Ricko sarapan seperti biasanya. Saat sarapan
berlangsung, Intan menata hati dan pikiran untuk mengatakan pada Ricko
bahwa hari ini ia mengundang teman – temannya untuk datang ke rumah.

Setelah selesai sarapan, Intan pun mengatakan pada Ricko bahwa hari ini teman
– temannya akan datang. Ricko tidak keberatan, asal tidak lama – lama, karena
Intan harus banyak – banyak istirahat mengingat Intan sedang mengandung
bayi kembar. Setelah itu Ricko naik ke atas untuk berolahraga.

Satu jam kemudian Vina, Rita, dan Melly datang bersamaan karena mereka
sudah janjian terlebih dahulu. Intan menyambut mereka dengan suka cita.
Sudah lama mereka tidak kumpul – kumpul bersama setelah lulus dari SMA.

Sesampainya di ruang keluarga, Vina dan Rita merasa takjub dengan Intan yang
bisa membeli satu kulkas es krim beserta freezernya. Melly hanya geleng –
geleng kepala melihat kelakuan kedua temannya itu. Intan mempersilakan
mereka mengambil es krim sepuasnya. Mereka bertiga pun segera membuka
kulkas freezer itu lalu memilih es krim yang mereka rasa itu enak. Sementara
itu Intan mengambil camilan di dapur.

“Suami kamu mana Ntan?” tanya Vina sambil menikmati es krimnya saat sudah
duduk di sofa.

“Di atas, sedang berolahraga,” jawab Intan sambil menyalakan televisi setelah
menaruh camilan di atas meja.

“Enggak apa – apa kan kita main ke sini?” tanya Rita yang merasa takut dengan
Ricko. Ia masih ingat kejadian Intan pingsan dan Ricko marah.

“Enggak apa – apa tadi aku sudah bilang sama dia. Eh kalian tahu enggak?”
tanya Intan pada ketiga temannya.

“Enggak, kamu kan belum bilang apa – apa, mana kita tahu maksud kamu mau
bahas apa?” balas Melly greget sama Intan.

“Oh iya lupa, hahaha. Aku mau kasih tahu sama kalian kalau sekarang aku
hamil anak kembar,” balas Intan dengan bangganya.

“APA, KEMBAR?” tanya Vina tidak percaya. Intan menganggukkan kepalanya


sambil tersenyum.

“Selamat ya, aduh senangnya…” ujar Rita sambil memeluk Intan. Vina dan
Melly pun ikut memeluk Intan.

Tidak berapa lama kemudian Ricko turun untuk mengambil minum, karena
Intan kedatangan teman – temannya, sehingga ia tidak mengambilkan minum
untuk Ricko. Padahal biasanya Intan yang membawa minuman ke atas, Ricko
pun memakluminya karena itu ia turun untuk mengambil minum sendiri.

Rita, Vina, dan Melly mendadak diam dan nyali mereka menciut ketika melihat
Ricko. Intan segera menghampiri Ricko ke dapur dan mengambilkan minuman
di atas meja makan. Ricko menerimanya sambil tersenyum dan mengucapkan
terima kasih lalu meminumnya.

Karena hari Minggu, Dina merasa bosan apabila hanya tinggal di rumah saja, ia
pun mengirim pesan pada sahabatnya si Rena untuk nongkrong di café.

Dina : Nongkrong yuk?

Rena : Enggak bisa, kamu tahu kan aku baru saja kecelakaan?

Dina : Oh iya, kalau begitu, aku ke rumahmu saja ya?

Rena : Okey.

Setelah berkirim pesan dengan Rena, Dina pun bersiap – siap untuk berangkat
ke rumah Rena. Saat akan keluar dari pintu rumah, mamanya Dina
menyapanya.

“Mau ke mana sayang?” tanya mamanya Dina.

“Ke rumah Rena, Ma,” jawab Dina setelah berbalik badan karena dipanggil
mamanya.

“Kamu enggak bawa mobil?” tanya mamanya Dina.

“Pakai motor saja Ma, lebih cepat sampainya,” jawab Dina sambil tersenyum.
Setelah itu ia melesat ke rumah Rena menggunakan motor matic
kesayangannya.

Setelah kepergian Dina, adik Dina keluar dari dalam kamarnya. Ia menuruni
tangga hendak menonton televisi bersama mamanya.

“Kak Dina ke mana Ma?” tanya adik Dina.

“Katanya mau ke rumah Rena, Dit,” jawab mamanya Dina yang ternyata juga
mamanya Adit.
“Oh Kak Rena, kemarin Adit dengar Kak Rena habis kecelakaan ya Ma?” tanya
Adit pada mamanya.

“Iya, karena itu Kakakmu mau menjenguknya, kemarin pulang dari Singapura
dia belum sempat menjenguk Rena,” balas mamanya.

Adit pun mengerti, karena kemarin Dina ke Singapura untuk menjemput Adit
yang liburan ke rumah tantenya yang tinggal di Singapura.

Sesampainya Dina di rumah Rena, ia segera masuk seperti biasanya. Di rumah


itu Rena tinggal sendiri karena ibunya tinggal di rumah Ricko, sedangkan
ayahnya sudah meninggal sejak Rena masih kecil. Saat Dina masuk, ia melihat
Rena sedang duduk di depan televisi.

“Bagaimana keadaan kamu sekarang?” tanya Dina pada Rena.

“Sudah lebih baik Din, makasih ya udah datang,” jawab Rena.

“Kita kan sahabat, kenapa kamu ngucapin makasih segala coba? Nih aku beliin
buah, jangan lupa di makan biar cepat sehat,” balas Dina sambil duduk di
samping Rena.

“Eh kemarin kan aku ke Singapura jemput adikku si Adit, aku ketemu sama
cowok ganteng dan dewasa banget, terus aku dikasih nomor ponsel dia loh?”
ujar Dina tiba – tiba pada Rena.

“Ah yang bener? Mau dong?” pinta Rena ingin mengenal laki – laki itu juga.

“Jangan, ini cowok incaranku. Jangan macam – macam Rena sayang…” balas
Dina lalu tersenyum.

“Aku juga punya incaran, dia majikan ibuku, orangnya juga tampan dan kaya,
tapi sayangnya sudah punya istri,” ucap Rena dengan cemberut.

“Hahaha, jangan bilang kalau kamu mau jadi pelakor?” tanya Dina pada Rena.

“Ya… siapa tahu dia jodohku yang kini sedang ditikung, hahaha,” jawab Rena
dengan pedenya.
Akhirnya mereka pun berbincang – bincang dan bertukar cerita tentang laki –
laki tampan yang ternyata adalah laki – laki yang sama yaitu Ricko.

Rumah Ricko

Kini Ricko, Intan, Melly, Vina, dan Rita sedang makan siang bersama di meja
makan. Tidak ada yang berani mengeluarkan suaranya, yang terdengar hanyalah
bunyi dentingan sendok, garpu, dan piring. Tidak berapa lama Ricko bersin –
bersin yang membuatnya tersedak. Intan terkejut lalu memberikan minum pada
Ricko dan mengusap punggung Ricko. Ketiga teman Intan menyaksikan betapa
perhatiannya Intan pada suaminya, mereka pun jadi salah tingkah dan merasa
malu sendiri. Sehingga mereka segera menyelesaikan makannya supaya bisa
segera pulang.

“Mas, kamu kenapa?” tanya Intan khawatir pada Ricko karena ia tersedak
sampai wajahnya memerah.

“Tiba – tiba aku ingin bersin saat makan, sepertinya ada yang membicarakanku
dibelakangku,” jawab Ricko sambil mengusap bibirnya dengan tisu.

Setelah makan, Vina, Melly, dan Rita pamit pulang dari rumah Ricko. Intan pun
mengantar mereka sampai di teras rumah. Setelah teman – temannya pulang,
Intan masuk ke dalam rumah dan melihat Ricko sedang duduk di sofa ruang
keluarga, Intan pun duduk di sampingnya.

“Ini adalah brosur dan formulir untuk masuk kuliah, kamu bisa baca – baca
dulu sebelum mengisi formulirnya,” ujar Ricko sambil menyerahkan formulir
dan brosur pada Intan. Intan pun menerimanya lalu membacanya, sedangkan
Ricko membaringkan tubuhnya di sofa itu lalu menaruh kepalanya pada paha
Intan. Intan pun membelai rambut Ricko sambil tersenyum.

Malam hari, saat Ricko mengambil piyamanya di dalam almari, lingeria Intan
terjatuh karena Intan memasukkan ke dalam almari dengan sembarangan waktu
itu. Ia pun mengambil lingeria itu dengan tersenyum nakal lalu menghampiri
Intan yang sedang mengisi formulir masuk universitas di atas meja belajar.

“Pakailah lingeria ini malam ini,” ucap Ricko pada Intan sambil menyerahkan
lingeria itu. Intan menoleh dan memandang Ricko sambil mengernyitkan
dahinya.
“Enggak mau, Mas,” tolak Intan sambil mendorong tangan Ricko yang sedang
menyerahka lingeria itu.

“Kamu belum memakainya sama sekali sejak membelinya,” balas Ricko sambil
tersenyum.

“Aku malu Mas,” ucap Intan pada Ricko dengan tersenyum malu. Ricko pun
menarik tangan Intan dengan lembut, sehingga Intan berdiri mengikuti Ricko.
Setelah itu Ricko mengggendong tubuh Intan ala bridal style ke atas tempat
tidur. Intan memandang wajah Ricko dengan tersenyum, ia tahu apa yang akan
terjadi. Tidak lama kemudian Ricko menerkam Intan dan terjadilah yang
terjadi.

Keesokan harinya, Ricko meminta tolong pada Romi untuk mengantar formulir
yang sudah diisi Intan ke kampus yang bersebelahan dengan perusahaannya.
Ricko melarang Intan keluar dari rumah karena sedang hamil. Romi pun
mengantar formulir itu ke Universitas ABC menggunakan motor perusahaan.

Setelah Romi menyerahkan formulir itu, ia bermaksud segera kembali ke


perusahaan, tapi ketika sampai di area parkir, ia menabrak seseorang karena
terburu – buru, sehingga beberapa kertas yang dibawa orang itu berserakan.

“Maaf,” ucap Romi pada orang itu lalu berjongkok dan membantu orang itu
mengumpulkan kertas yang berserakan.

“Iya, tidak apa – apa,” balas orang itu sambil tersenyum dan mengumpulkan
kertasnya yang berserakan.

Romi membantu memunguti kertas itu sambil membaca beberapa lembar kertas
yang ia kumpulkan. Ia pun tahu bahwa seseorang yang ia tabrak ini adalah salah
satu anggota BEM. Setelah mengumpulkan kertas itu, Romi menyerahkan
kertas itu pada orang itu.

“Terima kasih,” ucap orang itu pada Romi sambil tersenyum.

“Sama – sama. Kamu anggota BEM?” tanya Romi pada orang itu.

“Iya, perkenalkan namaku Dina,” ucap Dina sambil mengulurkan tangannya


pada Romi. Romi pun menyambutnya dengan suka cita.
“Romi,” jawab Romi sambil tersenyum.

“Kakak ngapain ke sini? Daftar kuliah?” tanya Dina ingin tahu.

“Tidak, tapi mengantar formulir pendaftaran seseorang, karena sedang hamil,


jadi ia tidak bisa keluar dengan leluasa,” jawab Romi.

“Istri Kakak ya?” tebak Dina sambil tersenyum.

“Bukan, istri temanku. Aku pergi dulu ya, harus balik kerja soalnya,” pamit
Romi pada Dina sambil melihat jam pada pergelangan tangannya. Akhirnya
mereka pun berpisah.

Setelah kepergian Romi, Dina masuk ke dalam ruang BEM. Di sana sudah ada
beberapa panitia lain termasuk Rena. Dina duduk di samping Rena dan
membisikkan sesuatu.

“Barusan aku ketemu cowok ganteng banget,” bisik Dina di telinga Rena.

“Di mana?” tanya Rena penasaran sambil berbisik juga.

“Di area parkir,” jawab Dina.

“Anak kampus sini juga?” tanya Rena lagi.

“Bukan, hihihi,” balas Dina.

“Mendingan enggak usah cerita kalau begitu,” balas Rena sewot. Dina pun
cekikikan setelah mendengar jawaban Rena.

Ali yang melihat mereka sedang ngobrol dan bercanda segera menegur mereka.

“Kalau mau ngobrol, mending di luar saja!” ujar Ali pada Rena dan Dina. Rena
dan Dina pun terkejut lalu diam membisu seperti patung. Setelah itu rapat pun
dimulai.

Malam hari sekitar pukul satu pagi, Intan tiba – tiba terbangun. Ia merasa
perutnya sangat lapar karena sekarang makanan yang ia makan harus dimakan
bertiga dengan janin kembar yang ada di dalam rahimnya. Ia pun
membangunkan Ricko yang tidur di sampingnya.
“Mas … “ panggil Intan sambil menggoyang – goyang tubuh Ricko, tapi Ricko
tidak bangun juga.

“Mas!” panggil Intan dengan sedikit meninggikan suaranya agar Ricko segera
bangun. Ricko pun segera membuka matanya.

“Ada apa, sayang?” tanya Ricko dengan lembut sambil mengerjapkan matanya.

“Aku lapar … “ jawab Intan dengan manja sambil membelai perutnya.

“Mau makan?” tanya Ricko sambil bangkit dari tidurnya lalu membelai kepala
Intan dengan lembut. Intan menganggukkan kepalanya.

“Sebentar, aku akan menyuruh Susi atau Bi Ani membuatkan makanan


untukmu,” ucap Ricko sambil turun dari tempat tidur.

“Mas … “ panggil Intan dengan manja. Ricko pun menghentikan langkahnya


dan menoleh pada Intan.

“Iya?” balas Ricko.

“Aku … aku mau gado – gado,” ucap Intan malu – malu. Ricko pun
menghampiri Intan dan duduk di tepi tempat tidur.

“Sekarang?” tanya Ricko sambil melihat jam di dinding kamarnya. Lagi – lagi
Intan menganggukkan kepalanya. Ricko pun menghembuskan nafasnya dengan
kasar melalui hidungnya lalu tersenyum pada Intan. Setelah itu ia mengambil
ponselnya yang ada di nakas dan melakukan panggilan.

“Buatkan gado – gado sekarang juga! Setelah itu antar ke rumahku


secepatnya!” perintah Ricko pada seseorang di seberang telepon. Setelah
mendapatkan jawaban, Ricko pun memutuskan sambungan teleponnya.

“Mas Ricko menghubungi siapa?” tanya Intan penasaran.

“Chef di restoran hotelku,” jawab Ricko lalu naik ke atas tempat tidur dan
bersandar pada sandaran tempat tidur.

“Wah beneran aku bisa makan gado – gado malam ini, Mas?”tanya Intan tidak
percaya, matanya berbinar – binar saking senangnya. Ricko menganggukkan
kepalanya sambil tersenyum. Intan pun bergegas memeluk Ricko dengan erat.

Satu jam kemudian gado – gado yang dipesan Ricko datang. Ricko
menerimanya lalu membawanya ke meja makan. Di sana Intan sudah
menunggunya dengan piring, sendok, dan garpu di depannya.

Setelah memindahkan gado – gado itu ke atas piring, Intan menyantapnya


dengan semangat karena dia memang sudah sangat kelaparan. Ricko melihat
Intan yang makan dengan lahap, hanya geleng – geleng kepala.

“Bagaimana rasanya?” tanya Ricko pada Intan yang sedang asyik menikmati
gado – gadonya.

“Enak banget Mas. Mas Ricko harus mencobanya,” jawab Intan lalu
menyendok gado – gado itu dan menyodorkannya pada mulut Ricko. Ricko pun
membuka mulutnya dan Intan memasukkan sesendok gado – gado itu ke dalam
mulut Ricko. Ricko mengunyah gado – gado itu sambil merasakannya di dalam
mulutnya. Tentu saja gado – gado itu sangat enak karena di buat oleh chef
handal andalan hotel milik Ricko, harganya pun tidak murah jika dibandingkan
dengan gado – gado warung kali lima.

Setelah makan, mereka bersantai di ruang keluarga sambil menonton televisi.


Intan dan Ricko duduk di sofa, tiba – tiba Ricko mendekati perut Intan dan
membelainya.

“Sudah kenyang anak – anak papa?” tanya Ricko pada calon anaknya yang
masih di dalam kandungan Intan. Intan tersenyum melihat kelakuan Ricko yang
mengajak bicara janin kembarnya.

“Sudah Papa,” jawab Intan mewakili anaknya sambil membelai kepala Ricko
dengan lembut. Ricko menatap Intan dengan tersenyum.

Setengah jam kemudian, Ricko dan Intan kembali ke kamar mereka di lantai
atas untuk tidur karena paginya Ricko harus pergi bekerja.

Keesokan harinya, saat Ricko hendak berangkat bekerja, Intan meminta izin
pada Ricko hendak pergi ke rumah orang tuanya. Sudah lama ia tidak bertemu
ibunya. Ia merasa sangat rindu pada suasana rumah dan masakan ibunya. Ricko
pun akhirnya membatalkan pekerjaanya dan mengantar Intan pergi ke rumah
orang tuanya.

Sesampainya di rumah Pak Ramli, Intan menganjurkan Ricko untuk pergi


bekerja, tapi Ricko menolaknya. Ia ingin menemani Intan berkunjung ke rumah
orang tuanya. Saat Intan membuka pintu rumahnya, ternyata pintunya dikunci,
itu pertanda di rumah itu tidak ada orang satu pun. Untung saja Intan membawa
kunci cadangan, sehingga mereka bisa masuk ke dalam rumah. Ketika Intan
akan masuk ke dalam rumah, tetangga depan rumah memanggilnya.

“Intan!” panggil Bu Tina sambil berjalan menghampiri Intan. Intan pun tidak
jadi masuk ke dalam rumah dan menoleh ke belakang.

“Iya?” jawab Intan.

“Di rumahmu enggak ada orang, pada pergi semua,” ujar Bu Tina memberi
tahu.

“Ke mana?” tanya Intan sambil mengerutkan dahinya.

“Hari ini Johan wisuda, jadi bapak sama ibu kamu datang ke sekolahnya,”
jawab Bu Tina menjelaskan.

“Oh begitu, makasih Bu Tina atas informasinya,” balas Intan sambil tersenyum.

“Iya sama – sama. Eh Ntan, badan kamu makin gemuk, kamu hamil?” tanya Bu
Tina lagi.

“Iya baru dua bulan,” jawab Intan.

“Loh, bukannya kamu menikah baru minggu - minggu ini kan?” tanya Bu Tina
lagi yang semakin penasaran.

“Ehm,” dehem Ricko dengan keras untuk menghentikan pembicaraan mereka


yang mulai tidak enak.

“Eh Ntan, aku pulang dulu ya,” pamit Bu Tina pada Intan, Intan mengangguk
sambil tersenyum canggung.

“Ayo pulang, di rumah juga tidak ada orang. Besok saja aku antar ke sini lagi,”
ucap Ricko pada Intan.

“Iya Mas,” jawab Intan pasrah.


Di tengah perjalanan, Intan memegangi perutnya. Ia merasa lapar dan ingin
makan sesuatu. Ia pun merengek pada Ricko.

“Mas, aku lapar,” ucap Intan pada Ricko.

“Bukannya belum ada tiga jam kita baru sarapan ya?” tanya Ricko pada Intan
sambil tetap fokus mengemudi.

“Iya, tapi aku kan dimakan bertiga makanannya Mas,” jawab Intan.

“Mau makan apa?” tanya Ricko.

“Mmm ke tempat makan yang waktu itu aku makan sama Mas Romi,
makanannya enak banget loh Mas, udah lama aku pengen ngajak Mas Ricko
makan di sana,” jawab Intan dengan antusias.

“Jadi, kamu mau bernostalgia makan sama Romi ceritanya?” tanya Ricko mulai
cemburu.

“Bukan begitu Mas, biar kamu tahu rasanya makanan di sana,” jawab Intan
merayu.

“Kita pulang saja, musim Virus Corona kita tidak boleh pergi ke tempat yang
ramai,” balas Ricko menasehati Intan.

“Iya Mas,” jawab Intan pasrah.

Tidak lama kemudian ponsel Intan berbunyi menandakan ada pesan masuk.
Intan pun mengambil ponselnya dari dalam tas lalu membuka pesan masuk itu
dan membacanya.

Adit : Intan, apa kabar? Aku hanya ingin memberitahu kamu bahwa aku tidak
jadi daftar polisi, tapi akan kuliah di kampus ABC karena kakakku juga kuliah
di sana.

Apa? Jadi Adit kuliah di kampus ABC juga? Kalau Mas Ricko tahu, bisa marah
dia, tapi aku sudah terlanjur mendaftar juga di sana. Batin Intan.

Intan : Aku baik Dit, kenapa tidak jadi mendaftar polisi?

Adit : Alhamdulillah kalau begitu, aku ikut senang mendengarnya. Mamaku


yang melaranganya, ya aku nurut aja. Hihi.

“Pesan dari siapa?” tanya Ricko yang dari tadi fokus mengemudi.

“Temanku Mas,” jawab Intan sambil tersenyum.

Ricko pun tidak memperpanjang pertanyaannya dan terus fokus mengemudi


supaya cepat sampai di rumah.

Sesampainya di rumah, Ricko turun dari mobil sambil melepas jasnya lalu
menaruhnya di sofa ruang tengah. Setelah itu ia melipat lengan kemejanya
hingga sampai di siku sambil berjalan ke arah dapur. Intan mengikutinya lalu
duduk di meja makan.

Ricko membuka kulkas lalu mengambil telur, susu, dan bahan lainnya. Kali ini
ia ingin membuatkan Intan makanan dari hasil karya tangannya sendiri. Sudah
lama ia tidak memasak karena sibuk bekerja, terakhir ia memasak saat masih
kuliah di London.

Susi sedang mencuci pakaian di belakang, sedangkan Ani sedang bersih –


bersih di lantai atas. Saat mendengar suara berisik di dapur, Susi segera
menghampiri dan melihat Ricko sedang bersiap – siap untuk memasak. Ia
merasa terkejut karena tiba – tiba melihat Intan dan Ricko sudah berada di
rumah kembali.

“Ada yang bisa saya bantu Pak?” tanya Susi pada Ricko.

“Tidak usah, lanjutkan pekerjaanmu,” jawab Ricko mengibaskan tangannya


tanpa menoleh dan tetap fokus menyiapkan bahan – bahannya.

“Baik Pak,” balas Susi lalu pergi ke belakang.

“Mas Ricko mau bikin apa?” tanya Intan yang penasaran dengan apa yang
dilakukan Ricko.

“Membuatkan kamu makanan,” jawab Ricko sambil mengedipkan sebelah


matanya.

“Makanan apa?” tanya Intan lagi.


“Nanti kamu juga akan tahu,” balas Ricko sambil tersenyum. Intan pun
memajukan bibirnya kesal karena seperti biasa Ricko tidak akan menjawab rasa
penasarannya.

Setelah semua bahan siap, Ricko mulai mencampur bahan – bahan dan
mengaduknya. Intan memperhatikan semua apa yang dilakukan Ricko dari meja
makan.

Tidak berapa lama kemudian bel pintu rumah berbunyi, Intan segera berdiri
untuk membuka pintu dan melihat siapa yang datang. Saat Intan membuka
pintu, ia merasa terkejut karena melihat bapak, ibu, dan adiknya berkunjung ke
rumahnya.

“Bapak, Ibu, Johan?” sapa Intan dengan terkejut sekaligus senang. Ia pun
segera mencium punggung tangan kedua orang tuanya dan mempersilakan
mereka masuk.

Saat kedua orang tua dan adik Intan masuk ke dalam rumah, Ricko muncul dari
dalam rumah masih menggunakan pakaian kerjanya serta celemek menempel di
dadanya. Ia merasa terkejut sekaligus malu karena yang datang adalah mertua
dan adik iparnya. Begitu juga dengan kedua orang tua dan adik Intan, mereka
juga terkejut melihat Ricko di rumah padahal masih waktunya untuk bekerja
dan memakai celemek di dadanya. Ricko segera menyambut mereka dengan
senyum terbaiknya dan mencium punggung tangan kedua mertuanya serta
menjabat tangan adik iparnya.

“Silakan masuk, barangkali mau istirahat, cuci tangan, atau mandi … ” ucap
Ricko dengan sopan karena mereka dari luar, Ricko berharap rumahnya bebas
dari virus dan kuman. Setelah itu ia mengambil remote AC dan menyalakannya
supaya kuman dan virus segera mati karena AC-nya memiliki kemampuan
membunuh kuman.

“Kuenya sudah matang Mas?” tanya Intan pada Ricko.

“Iya, cucilah tanganmu dulu sebelum makan,” jawab Ricko sambil berjalan ke
arah meja makan.

“Di mana kamar mandinya?” tanya Bu Romlah yang baru pertama kali
menginjakkan kakinya di rumah Ricko.
“Ayo, Intan antar Bu,” jawab Intan sambil menggandeng lengan ibunya.

Pak Ramli dan Johan mengikuti Ricko duduk di meja makan setelah mencuci
tangannya di dapur.

Setelah mengantar ibunya ke kamar mandi dan mencuci tangannya, Intan


menyantap kue buatan Ricko. Saat Intan memasukkan makanan ke dalam
mulutnya, ia mengeryitkan dahinya.

“Bagaimana rasanya? Enak?” tanya Ricko pada Intan.

“Mau jawaban jujur apa gimana ni Mas?” tanya Intan balik.

“Jujur aja enggak apa – apa,” jawab Ricko sambil tersenyum.

“Enggak enak Mas, rasanya aneh hweek,” jawab Intan lalu memuntahkan
makanan di dalam mulutnya pada selembar tisu di tangannya.

Pak Ramli dan Johan menahan tawa melihat kelakuan Intan dan Ricko. Ricko
pun segera mencicipi kue buatannya juga dan benar, memang rasanya tidak
enak. Ia pun memuntahkan makanan itu sama seperti yang Intan lakukan. Ricko
pun memanggil Bi Ani dan Susi supaya membuang makanan itu lalu menyuruh
mereka memasak untuk Intan dan keluarganya. Setelah itu Ricko pamit naik ke
atas untuk bekerja.

Setelah kepergian Ricko, Intan berbincang – bincang dengan kedua orang tua
dan adiknya.

“Kamu wisuda beneran Jo?” tanya Intan pada adiknya.

“Enggak Kak, hanya mengambil ijazah, tapi harus didampingi orang tua. Itu
pun masuknya antri satu per satu karena pandemi covid-19,” jawab Johan sedih
karena tidak bisa merasakan wisuda seperti pada umumnya.

“Sabar ya Jo, nanti kamu akan menikmati wisuda saat kelulusan SMA,” balas
Intan memberikan semangat pada adiknya.

Satu jam kemudian, makanan sudah siap. Intan memanggil Ricko yang sedang
bekerja di ruang kerjanya. Setelah Ricko turun, mereka berlima makan bersama.
Selesai makan Intan memberitahukan pada keluarganya bahwa ia sedang
mengandung bayi kembar. Pak Ramli dan Bu Romlah sangat senang
mendengarnya, begitu juga dengan Johan. Setelah berbincang – bincang dan
bercengkramah, keluarga Intan baru pulang pada sore harinya.

Setelah kepulangan orang tuanya, Intan pergi ke kamarnya dan masuk ke dalam
kamar mandi untuk mandi sore. Sedangkan Ricko membaringkan tubuhnya di
atas tempat tidur. Sambil menunggu Intan selesai mandi, ia memainkan
ponselnya untuk melihat berita terkini.

Tidak lama kemudian ponsel Intan berdering dan Ricko mengabaikannya.


Setelah sekian lama ponsel itu berdering dan tidak ada yang menerima
panggilannya ponsel itu berdering lagi. Ricko pun mendekati meja rias untuk
mengambil ponsel Intan dan melihat siapa yang meneleponnya. Saat Ricko
memegang ponsel itu, panggilan itu sudah dimatikan.

Intan yang sedang mandi di dalam kamar mandi segera mengambil handuk dan
keluar karena mendengar ponselnya berdering dua kali. Saat ia keluar dari
dalam kamar mandi, ia melihat Ricko sedang memegang ponselnya dan melihat
pesan keluar masuk. Intan merasa terkejut dan segera meraih ponselnya dari
tangan Ricko.

“Jadi kamu masih berhubungan dengan laki – laki itu?” tanya Ricko pada Intan
dengan geram.

“Dia temanku Mas, dia juga yang menghubungiku duluan,” jawab Intan sambil
menaruh ponselnya di atas meja lalu membuka almari untuk mengambil
pakaian ganti.

“Aku sudah pernah bilang, jangan berhubungan dengan laki – laki itu lagi,”
balas Ricko sambil menarik tangan Intan supaya menghadap ke arahnya.

“Mas, kamu kenapa sih?” tanya Intan heran dengan kelakuan Ricko yang tiba –
tiba marah. Ia mengusap pergelangan tangannya yang terasa sakit karena di
cengkeram Ricko.

“Aku tidak suka kamu berhubungan dengan laki – laki itu,” hardik Ricko.

“Kan aku sudah bilang, dia yang menghubungi aku duluan Mas … ” balas Intan
mengatakan yang sebenarnya.
“Tapi kamu membalasnya! Aku sudah melihat isi ponselmu,” balas Ricko
sambil meraih ponsel Intan yang ada di atas meja rias. Intan merebutnya tapi
Ricko tidak mau memberikannya.

“Mau ini?” tanya Ricko sambil menyodorkan ponsel pada Intan. Intan
mengangguk lalu hendak mengambil ponsel itu, sebelum Intan sempat
mengambilnya, Ricko mengarahkan ponsel itu ke atas lalu melemparkannya ke
lantai dengan keras. Ponsel itu pun hancur dan berserakan di lantai. Intan
terkejut dan membelalakkan matanya lebar – lebar.

“MAS! Akh … ” Intan hendak marah pada Ricko, tapi tiba – tiba ia merasa
sakit pada perutnya. Tidak lama kemudian Intan pingsan.

Ricko yang melihat Intan pingsan segera menangkap tubuh Intan sebelum
terjatuh ke lantai. Ia segera mengangkat tubuh Intan dan membaringkannya di
atas tempat tidur. Setelah itu ia mengambil ponselnya untuk menghubungi
Dokter Amanda.

“Amanda, cepatlah datang ke rumahku!” ucap Ricko pada Dokter Amanda


setelah telepon tersambung.

“Ada apa Rick?” tanya Dokter Amanda dengan tenang.

“Istriku pingsan,” jawab Ricko dengan panik.

“Okey, tunggu aku datang,” balas Dokter Amanda lalu memutuskan sambungan
teleponnya.

Sambil menunggu Dokter Amanda datang, Ricko membuka almari untuk


mengambil pakaian Intan. Setelah itu ia memakaikan pakaian pada tubuh Intan
dengan hati – hati dan pelan – pelan. Ia duduk di tepi tempat tidur sambil
memandangi wajah Intan yang terlihat pucat.

“Maaf … “ ucap Ricko lalu mengecup kening Intan.

Dua puluh menit kemudian, Dokter Amanda datang. Ia memencet bel rumah
Ricko dan tidak lama kemudian muncul Bi Ani dari balik pintu.

“Saya Dokter Amanda, tadi Ricko memanggil saya,” ucap Dokter Amanda pada
Bi Ani sambil tersenyum.

“Oh iya silakan masuk Dok,” balas Bi Ani mempersilakan Dokter Amanda
masuk.

“Ada apa ya Dok, kok Pak Ricko memanggil Dokter?” tanya Bi Ani yang tidak
tahu apa – apa.

“Istrinya pingsan katanya,” jawab Dokter Amanda sambil berjalan ke arah


kamar Ricko karena ia sudah tahu di mana kamar Ricko berada.

“Mbak Intan pingsan? Pak Ricko tidak memberitahu saya,” balas Bi Ani sambil
mengikuti Dokter Amanda naik ke lantai atas di mana kamar Ricko berada.

Sesampainya Dokter Amanda di lantai atas, ia segera masuk ke dalam kamar


Ricko yang pintunya terbuka lebar. Di sana Ricko sudah menunggunya sedari
tadi. Bi Ani pun ikut masuk ke dalam kamar Ricko.

Saat Dokter Amanda memeriksa Intan, Ricko menyuruh Bi Ani membersihkan


dan membuang pecahan ponsel Intan sekaligus membuatkan minuman dan
membawakan makanan untuk Dokter Amanda.

“Bagaimana keadaannya, Amanda?” tanya Ricko saat Dokter Amanda selesai


memeriksa Intan.

“Sepertinya dia syok dan tertekan Rick,” jawab Dokter Amanda sambil
membereskan peralatan medisnya.

“Lalu kapan dia akan sadar? Apakah kandungannya baik – baik saja?” tanya
Ricko lagi merasa khawatir karena Intan masih belum sadar juga.

“Sebentar lagi dia akan sadar, tenanglah. Kandungannya juga tidak apa - apa,”
balas Dokter Amanda sambil tersenyum.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Ricko lagi.

“Jangan membuatnya tertekan, marah, bersedih, dan ketakutan. Harusnya


kamu tahu itu Rick. Dia sedang hamil, ditambah lagi usianya yang masih sangat
muda, emosinya pasti naik turun,” ujar Dokter Amanda menjelaskan.

“Okey, aku mengerti sekarang,” balas Ricko sambil mengangguk – anggukkan


kepalanya.
“Aku akan memberikan beberapa obat dan vitamin, yang ini (bungkus merah)
berikan langsung setelah dia sadar sehari satu kali pada malam hari, yang ini
(bungkus biru) berikan dua hari satu kali, dan yang ini (bungkus merah muda)
berikan satu kali satu hari pada pagi hari,” kata Dokter Amanda sambil
memberikan beberapa bungkus obat pada Ricko. Ricko menerimanya sambil
mengingat – ingat yang diucapkan Dokter Amanda.

Tidak berapa lama Bi Ani dan Susi masuk membawa makanan dan minuman
untuk Dokter Amanda dan Ricko. Ricko dan Dokter Amanda berbincang -
bincang di sofa yang ada di dalam kamar Ricko.

“Rick, dari dulu aku penasaran, kenapa kamu tiba – tiba menikah dengan gadis
ABG? Kamu tidak menghamilinya duluan kan?” tanya Dokter Amanda pada
Ricko sambil menikmati camilan yang disediakan Bi Ani.

“Aku menikah dengannya bukan karena hamil, tapi karena dijodohkan papa.
Waktu itu papa sedang sakit, jadi aku menurutinya,” jawab Ricko sebelum
meminum kopinya yang dibuatkan Susi.

“Oh jadi begitu ceritanya. Ya sudah, aku balik dulu Rick, soalnya tadi aku dari
rumah sakit langsung meluncur ke sini,” pamit Dokter Amanda.

“Okey, terima kasih, maaf tidak bisa mengantar, aku rasa kamu sudah tahu
jalan keluarnya. Hahaha,” balas Ricko lalu tertawa.

“Okey, sudah biasa kamu memperlakukanku seperti ini,” tukas Dokter Amanda
sambil mengambil tasnya.

Setelah kepergian Dokter Amanda, Ricko memerintahkan asisten rumah


tangganya untuk membuat bubur dan sup supaya Intan bisa segera
memakannya apabila sadar nanti.

Setengah jam berlalu semenjak kepergian Dokter Amanda, tapi Intan belum
sadar juga. Ricko pun menghubungi Dokter Amanda kembali.

“Amanda, kenapa istriku masih belum sadar juga?” tanya Ricko saat panggilan
teleponnya sudah tersambung.

“Sabar Rick, aku baru sampai di teras rumahku, kamu sudah meneleponku
lagi!” balas Dokter Amanda lalu mematikan sambungan teleponnya. Ricko pun
melihat layar ponselnya yang tiba – tiba mati dengan cemberut.

“Namanya juga khawatir, aku kan juga bayar dia dengan gaji bulanan meskipun
tidak bekerja,” gumam Ricko lalu meletakkan ponselnya pada nakas.

Tidak berapa lama, Susi masuk membawa nampan berisi bubur, sup panas,
dan air putih seperti yang diperintahkan Ricko.

“Taruh di situ!” perintah Ricko sambil menunjuk meja belajar. Susi pun
menurutinya.

“Makan malam sudah siap, apa Pak Ricko mau makan sekarang?” tanya Susi
dengan sopan.

“Nanti saja, setelah istriku sadar. Kamu boleh pergi sekarang!” usir Ricko
sambil mengernyitkan dahinya dan mengibaskan tangannya. Susi pun keluar
dari kamar Ricko dan menutup pintunya.

Setengah jam berlalu setelah Ricko menghubungi Dokter Amanda, tapi Intan
masih belum sadar juga. Ia pun menelepon Dokter Amanda lagi.

“Apalagi?” tanya Dokter Amanda saat sudah menerima panggilan dari Ricko.

“Istriku masih belum bangun Amanda ... “ jawab Ricko dengan lembut.
“Rick, apa dari tadi kamu membiarkan istrimu pingsan tanpa memberinya apa -
apa?” tanya Dokter Amanda mulai emosi.

“Kan aku sudah memanggilmu tadi, harusnya kamu yang menanganinya kan?”
balas Ricko polos.

“Okey, sekarang longgarkan pakaian istrimu lalu beri minyak angin atau apa
pun yang berbau tajam. Selamat malam Rick, aku mau tidur,” ujar Dokter
Amanda lalu mematikan ponselnya.

Setelah menaruh ponselnya, Ricko melonggarkan pakaian Intan dan memberi


minyak angin pada tubuh, kepala, dan hidung Intan.
Lima menit kemudian, Intan pun membuka matanya sambil mengernyitkan
dahinya.

“Akhirnya kamu sadar juga,” ucap Ricko merasa lega karena akhirnya Intan
bangun dari pingsannya.

“Aku kenapa Mas?” tanya Intan berusaha bangkit sambil memegangi


kepalanya yang terasa pening.

“Kamu pingsan. Sudah, tidak usah bangun dulu, kamu harus makan, setelah itu
minum obat,” ucap Ricko mencegah Intan bangkit. Intan pun patuh dan
bersandar pada sandaran tempat tidur.

Ricko mengambil bubur yang dibuat Susi tadi lalu menyuapi Intan dengan
penuh kelembutan. Intan memakan bubur suap demi suap dengan pasrah.

Saat Ricko menyuapi Intan, tiba – tiba perutnya berbunyi tanda lapar. Intan
pun mendengarnya karena suara dari perut Ricko terdengar sangat keras.

“Kamu belum makan Mas?” tanya Intan dengan heran.

“Iya, aku menunggumu sadar,” jawab Ricko sambil tersenyum malu karena
perutnya berbunyi dengan lantangnya.

Intan pun mengambil mangkuk bubur dari tangan Ricko lalu menyendok bubur
itu dan mengarahkannya ke mulut Ricko.

“Mas Ricko harus makan juga, biar enggak sakit,” ucap Intan dengan suara
lirih.

Ricko tersenyum lalu membuka mulutnya dan Intan memasukkan bubur itu ke
dalam mulut Ricko.

Setelah bubur dan sup itu habis, Ricko mengambil obat yang diberikan Dokter
Amanda untuk Intan. Ia berusaha mengingat – ingat apa yang diucapkan
Dokter Amanda tadi. Ia pun mengambil obat yang berbungkus warna merah
lalu membukanya dan memberikannya pada Intan.

“Ini obat dari mana Mas?” tanya Intan pada Ricko. Ia merasa belum pernah
meminum obat itu.

“Dari Dokter Amanda. Tadi aku memanggil dokter untuk memeriksamu,” balas
Ricko sambil mengambil gelas yang berisi air putih.

Intan pun meminum obat itu. Setelah memberikan gelas kosong pada Ricko,
Intan mengingat ponselnya yang hancur dibanting Ricko.

“Ponselku mana Mas?” tanya Intan.

“Sudah kubuang. Besok aku belikan yang baru dan lebih bagus dari ponsel
lamamu itu,” jawab Ricko.

“Tapi Mas ... sim cardnya enggak kamu buang juga kan?” tanya Intan lagi.

“Kubuang semua. Besok akan kubelikan nomor super cantik,” balas Ricko.

“Bukan masalah nomornya Mas, tapi kontak di dalamnya,” balas Intan.

“Kontak siapa? Laki – laki itu? Kenapa sih kamu tidak bisa dikasih tahu?” ujar
Ricko mulai sewot kalau membahas yang berhubungan dengan Adit.

“Bukan hanya dia, tapi semua kontak teman – temanku juga Mas,” jawab Intan
kesal dengan kelakuan Ricko yang mudah marah.r

“Aku akan mengembalikan semua kontak teman - temanmu, kecuali laki – laki
itu,” balas Ricko berjanji.

“Bagaimana caranya?” tanya Intan sambil mengernyitkan dahinya.r

“Sudah, kamu istirahat saja. Biar aku yang mengurusnya,” jawab Ricko sambil
tersenyum.

Intan pun patuh. Ia membaringkan tubuhnya dan Ricko menyelimutinya.


Setelah itu Ricko naik ke atas tempat tidur dan berbaring di samping Intan.

“Selamat malam ... ” ucap Ricko sambil mengecup kening dan memeluk tubuh
Intan.
Keesokan harinya, Ricko menghubungi Romi supaya membawa ponsel
keluaran terbaru dari pabrik cabang miliknya yang bergerak di bidang ponsel.
Ponsel itu belum beredar, dan akan lounching bulan depan, tapi Ricko ingin
memberikan ponsel terbaru itu pada istrinya.

“Mas Ricko enggak kerja?” tanya Intan saat sarapan bersama.

“Enggak. Aku mau menemanimu di rumah hari ini,” jawab Ricko lalu menyuap
nasinya.

“Ponselku gimana Mas?” tanya Intan sudah tidak sabar, karena ia terbiasa
menggunakan sosial media dan chat ria bersama ketiga sahabatnya di dalam
grup whatsapp.

“Tunggu saja, nanti Romi yang akan mengantarkannya ke sini,” jawab Ricko
dengan tenang.

Sore hari, Romi datang membawa ponsel beserta sim card baru untuk Intan
sesuai dengan permintaan Ricko. Ia harus mondar – mandir ke sana ke mari
untuk mengurusi ponsel baru Intan.

Dari rumah, Romi harus pergi ke perusahaan ponsel milik Ricko yang cukup
jauh dari rumahnya. Setelah itu, ia kembali pulang karena harus menyalin
kontak dari ponsel Vina ke ponsel baru Intan. Romi merasa sangat lelah, tapi ia
tidak berani mengeluh karena bagaimanapun Ricko adalah bosnya.

Setelah memberikan ponsel baru pada Ricko, Romi segera pamit pulang karena
sudah sore dan itu waktunya dia untuk pulang dari bekerja.

Ricko membawa ponsel itu ke lantai atas di mana Intan sudah menunggunya di
dalam kamar. Ricko memberikan ponsel itu pada Intan dan Intan menerimanya
dengan penuh semangat.

“Terima kasih Mas,” ucap Intan lalu memeluk dan mengecup pipi Ricko.

Ricko tersenyum sambil membelai pipinya, ia tidak menyangka Intan akan


sampai memeluk dan menciumnya hanya karena memberikan ponsel baru.
Jarang – jarang Intan punya inisiatif untuk mencium Ricko terlebih dahulu.
Intan mulai mencoba ponsel barunya itu. Hal pertama yang ia buka adalah
kamera. Ia pun mengarahkan kamera ponsel itu ke arah wajahnya. Saat Intan
mengambil gambarnya, Ricko dengan isengnya menaruh jari telunjuk dan jari
tengahnya di puncak kepala Intan.

Saat Intan melihat hasil fotonya, ia menjadi terkejut dan cemberut lalu
memukul lengan Ricko.

“Mas Ricko! Nyebelin ah!” ujar Intan lalu menghapus foto itu dan hendak
mulai mengambil gambar lagi, tapi ponsel itu direbut Ricko.

“Mas Ricko mau apa?” tanya Intan heran.

“Kita foto bersama,” jawab Ricko lalu menempel pada tubuh Intan dan
memeluk bahu Intan dengan tangan kirinya. Setelah itu ia mengarahkan kamera
ponsel ke arahnya yang sedang memeluk Intan. Intan dan Ricko sama – sama
tersenyum.

“Wah ... bagus banget hasil jepretannya Mas,” Intan takjub dengan hasil
jepretan kamera ponsel barunya setelah melihat hasil fotonya.

“Tentu saja, 30MP itu kamera depan belakangnya,” jawab Ricko.

“Wah ... pantesan bening daripada kamera ponselku yang lama, hanya 2MP sih.
Oh iya, ini harganya berapa Mas?” tanya Intan lagi.

“Lima belas juta, karena kamu istriku jadinya gratis. Cukup tidur telentang dan
telanjang tiap malam itu sudah cukup,” jawab Ricko menggoda. Intan pun
melotot lalu memukul lengan Ricko yang nakal.

“Nomor ponselnya berapa Mas? Cantikkah?” tanya Intan sambil mengecek


kontak di ponsel barunya.

“081234567890 itu nomor barumu,” jawab Ricko sambil tersenyum lucu.

“Mas! Jangan bercanda mulu napa?” Intan mengira Ricko sedang


menggodanya.

“Beneran itu nomor barumu sayang. Kalau tidak percaya, aku telepon sekarang
nih,” Ricko mengeluarkan ponsel dari sakunya lalu menelepon nomor baru
Intan. Tidak berapa lama ponsel baru Intan berdering.
Intan pun mendengus dengan kesal. Ia mengira nomor cantiknya akan banyak
angka kembar, tapi ternyata hafalan anak paud. Ricko pun tertawa melihat Intan
yang kesal terus – terusan dari tadi.

Malam hari, saat Romi sedang rebahan di atas tempat tidurnya setelah makan
malam, tiba – tiba ia teringat Sita. Sudah lama sejak Ricko kembali dari
Singapura, ia tidak pernah mendengar kabar dari Sita. Ia pun memberanikan diri
mengirim pesan pada Sita.

Romi : Hai, lama tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu?

Romi mengirim pesan pada Sita dengan hati berdebar – debar. Entah apa
penyebabnya, ia merasa sangat gugup dan gelisah. Ia menanti pesan balasan
dari Sita dengan jantung berdebar –debar.

Sementara itu, Sita di rumahnya sedang menonton televisi bersama mama dan
papanya di ruang tengah. Saat ia mendengar ponselnya berbunyi, ia segera
mengambil ponsel itu dan membuka pesan masuk. Ia membaca pesan itu sambil
mengernyitkan dahinya.

Kak Romi? Tumben mengirim pesan? Batin Sita. Ia pun membalas pesan dari
Romi.

Sita : Alhamdulillah baik Kak. Kabar Kak Romi sendiri bagaimana?

Saat ponselnya berbunyi tanda ada pesan masuk, Romi segera membuka pesan
itu. Saat ia membaca pesan itu, ia merasa senang karena Sita meresponnya. Ia
pun membalas pesan itu kembali.

Romi : Baik juga. Kamu sedang apa? Apakah sudah makan?

Saat memencet tombol “kirim”, Romi menggigit bibir bawahnya.

“Apa yang sedang aku lakukan? Kenapa aku seperti ini?” gumam Romi sambil
menjambak rambutnya dengan kedua tangannya. Ia pun berbaring sambil
memeluk gulingnya dan tersenyum gemas.

Kini Sita sudah berada di dalam kamarnya setelah pamit pada mama dan
papanya. Ia membalas pesan dari Romi sambil duduk di meja belajarnya.
Sita : Tadi sudah makan Kak. Sekarang mau tidur. Ada apa ya? Tumben Kak
Romi kirim pesan sama Sita?

Romi : Tidak ada apa – apa. Hanya ingin tahu kabarmu, sudah lama tidak
bertemu. Ya sudah kalau mau tidur, selamat malam. Semoga mimpi indah.

Sita : Malam juga Kak.

Setelah menaruh ponselnya, Romi memeluk gulingnya erat – erat dengan


gemas. Ia merasa sangat bahagia karena Sita merespon pesannya. Ia pun
menggigit ujung gulingnya.

Ceklek!

Brak!

Tiba – tiba Vina membuka pintu kamar Romi tanpa mengetuknya terlebih
dahulu. Vina melotot saat melihat kakaknya menggigit guling dengan gemas.
Begitu juga dengan Romi, ia merasa terkejut karen Vina tiba – tiba masuk ke
dalam kamarnya. Ia merasa malu karena adiknya melihatnya sedang menggigit
guling tanpa alasan.

“Kakak, kenapa menggigit guling seperti itu? Kakak masih lapar?” tanya Vina
sambil menghampiri Romi. Ia berdiri di samping tempat tidur Romi sambil
melipat kedua lengan di dadanya.

“Kamu!” Romi geram dengan Vina yang tiba – tiba masuk ke dalam kamarnya.

“Aku kira Kakak sudah tidur, jadi aku tidak mengetuk pintunya supaya Kakak
tidak terbangun,” ujar Vina pada Romi.

“Ya, kamu tidak mengetuk pintunya, tapi membantingnya dan itu


mengejutkanku. Mau apa malam – malam menggangguku?” tanya Romi sambil
bangkit dan duduk menghadap Vina.

“Antar aku daftar kuliah dong Kak, aku pengen kuliah di tempat Intan juga,”
rengek Vina sambil duduk di tepi tempat tidur Romi dan menggaet lengan
Romi.

“Besok aku akan ambilkan formulirnya, kamu isi di rumah saja. Jadi tidak usah
ikut ke kampusnya,” balas Romi sambil menarik lengannya dari pelukan Vina.
“Tapi … aku pengen melihat kampusnya Kak, boleh ya?” pinta Vina.

“Enggak! Besok aku harus bekerja. Intan sekarang sedang hamil, Ricko jarang
masuk kantor, jadi aku yang sibuk sendiri,” balas Romi.

“Ya sudah, kalau begitu tolong ambilkan formulir tiga lembar. Aku mau ngajak
Melly dan Rita kuliah di sana juga,” tukas Vina sambil berdiri hendak keluar
dari kamar Romi.

Saat di ambang pintu, Vina menoleh ke arah Romi dan bertanya, “By the way,
gulingnya enak ya Kak? Kok sampai digigit kayak gitu?” Vina cekikikan
sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan.

Romi yang mendengar ledekan adiknya segera melempar bantal ke arah Vina,
tapi Vina segera kabur dan menutup pintu kamar Romi. Romi mendengus kesal
lalu kembali berbaring ke tempat tidurnya.

Sementara itu Intan di atas tempat tidurnya sedang mencoba berbagai macam
fitur yang ada di ponsel barunya. Ia harus belajar mulai dari awal dengan ponsel
barunya karena banyak fitur asing yang belum pernah ada di ponsel lamanya.

Ricko masuk ke dalam kamar dengan membawa segelas susu hangat di tangan
kanannya. Ia duduk di tepi tempat tidur sambil menyerahkan segelas susu pada
Intan.

“Minumlah susumu dulu,” ucap Ricko.

“Sebentar Mas … “ sahut Intan masih fokus dengan ponsel barunya. Ricko pun
merebut ponsel itu dari tangan Intan.

“Mas … “ rengek Intan dengan cemberut.

“Minum susu dulu, nanti main ponsel lagi,” ujar Ricko seraya menyerahkan
segelas susu hangat pada Intan. Intan pun menerimanya lalu meminumnya.

Setelah Intan menghabiskan susunya dan memberikan gelas kosong pada


Ricko, Intan meminta ponselnya kembali, tapi Ricko tidak memberikannya.

“Ini sudah malam, kamu harus tidur,” ucap Ricko dengan lembut.
“Tapi aku masih penasaran dengan isi ponselnya Mas … “ ujar Intan menolak
untuk tidur.

“Ingat, kamu sedang hamil, harus banyak istirahat,” balas Ricko. Intan pun
patuh. Ia turun dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk
mencuci muka menggosok giginya sebelum tidur.

Ketika Intan keluar dari dalam kamar mandi, ia berharap Ricko sudah tidur
sehingga ia bisa memainkan ponsel barunya lagi, tapi nyatanya Ricko masih
menunggunya di atas tempat tidur.

“Kok Mas Ricko belum tidur?” tanya Intan sambil berbaring dan menutupi
tubuhnya dengan selimut.

“Aku menunggumu … ” jawab Ricko sambil mendekat ke arah Intan.

“Mau apa?” tanya Intan sambil mengernyitkan dahinya.

“Apa kamu tidak mau membayar ponsel barumu?” tanya Ricko dengan senyum
nakal.

“Mas Ricko kan sudah punya banyak uang? Kenapa masih minta bayaran juga
sih?” tanya Intan tidak mengerti maksud Ricko.

“Aku ingin minta bayaran seperti yang kuucapkan tadi siang, apa kamu
sudah lupa?” tanya Ricko sedikit kecewa.

“Oh itu … “ Intan manggut-manggut tanda mengerti.

“Jadi?” tanya Ricko senang Intan akan memberinya jatah.

“Ayo kita tidur, ini sudah malam Mas. Tadi kamu sendiri kan yang menyuruhku
tidur?” jawab Intan lalu berbaring dan menarik selimut hingga ke dadanya.

“Oke … oke … “ balas Ricko lalu menghembuskan nafasnya dengan kasar


karena gagal menenangkan juniornya yang sudah meronta-ronta minta masuk
ke dalam sarangnya.

Keesokan harinya sebelum sampai ke perusahaan, Romi mampir ke kampus


sebelah perusahaanya untuk mengambil formulir di pos satpam. Saat ia akan
melajukan motornya pergi, ia bertemu dengan Dina.

“Kakak tampan?” sapa Dina dengan lantangnya. Romi pun menoleh dan
mengernyitka dahinya.

“Saya?” tanya Romi menunjuk pada dirinya sendiri.

“Iya, siapa lagi?” balas Dina dengan ramahnya.

“Kamu siapa?” tanya Romi karena sudah lupa dengan Dina.

“Ah Kakak sudah lupa ya? Beberapa waktu yang lalu kita pernah bertemu di
area parkir kampus saat Kakak mengantar formulir,” balas Dina mengingatkan
Romi.

“Oh iya … maaf ya aku sudah lupa,” balas Romi sambil tersenyum.

“Iya, enggak apa-apa Kak,” ucap Dina sambil tersenyum juga.

“Ya sudah saya pergi dulu karena harus bekerja,” balas Romi pamit pada Dina.

“Iya, hati-hati ya Kakak tampan … “ ucap Dina dengan pedenya.

Setelah itu Romi melajukan motornya pergi. Hari ini ia bangun sedikit
kesiangan karena tadi malam tidak bisa tidur setelah berkirim pesan dengan
Sita. Sehingga ia berangkat bekerja menggunakan motor supaya lebih cepat
sampai.

Ketika Romi sampai di lobby perusahaan, ia melihat Sita hendak masuk ke


dalam lift. Romi pun mengejarnya dan ikut masuk ke dalam lift yang
sama dengan Sita. Sita melihat Romi dengan heran karena tiba-tiba Romi
masuk ke dalam lift dengan tergesa-gesa.

“Kak Romi kenapa?” tanya Sita saat pintu lift sudah tertutup.

“Tidak apa-apa. Hanya ingin mengejarmu,” balas Romi sambil ngos-ngosan.

“Kenapa mengejarku?” tanya Sita lagi sambil mengeryitkan dahinya tidak


mengerti.
“Tumben kamu ke perusahaan?” tanya Romi setelah mengatur napasnya.

“Oh itu karena Kak Ricko yang minta aku datang ke perusahaan, dia mau libur
lagi jagain istrinya yang lagi hamil,” jawab Sita sambil tersenyum.

“Sampai kapan kira-kira? Sampai melahirkan?” tanya Romi dengan heran.

“Enggak tahu juga Kak. Hahaha,” balas Sita lalu tertawa.

Tidak berapa lama pintu lift terbuka. Sita keluar dan berjalan ke arah ruangan
kantor Ricko, dan Romi mengikutinya. Sita duduk di kursi Ricko, Romi duduk
di kursi depan meja Sita.

“Mmm malam minggu ada acara apa tidak?” tanya Romi dengan ragu-ragu.

“Kenapa Kak?” tanya Sita sambil mengerutkan dahinya.

“Tidak ada apa-apa, hanya saja aku ingin mengajakmu makan di luar,” jawab
Romi seraya tersenyum malu-malu.

“Lihat nanti dulu ya Kak,” jawab Sita menggantung.

“Oh ya sudah kalau begitu, aku ke ruanganku dulu,” balas Romi kecewa.

“Tapi … akan aku usahan,” imbuh Sita sambil tersenyum saat Romi sudah di
ambang pintu. Romi pun berbalik dan tersenyum pada Sita.

“Aku tunggu kabarnya,” ujar Romi senang. Setelah itu ia keluar dari ruangan
Sita dan menutup pintunya.

Sementara itu Ricko di rumahnya masih bersembunyi di bawah selimut. Setelah


menelepon Sita habis subuh tadi, ia meminta jatah pada istrinya. Ia merasa
gelisah semalaman karena Intan mengabaikan keinginannya. Sehingga ia pun
menerkam Intan pagi ini.

“Mas, bangun dong … ini sudah siang loh!” ucap Intan setelah keluar dari
dalam kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya yang basah. Ricko tetap
meringkuk di balik selimut dan tidak bergerak sama sekali. Intan pun
menghampirinya.
“Mas … “ panggil Intan. Tiba-tiba Ricko menarik pinggangnya dan Intan pun
jatuh ke dalam pelukan Ricko. Ricko membelai perut Intan yang mulai
membuncit dengan lembut.

“Mas Ricko enggak kerja?” tanya Intan sambil memandang wajah Ricko.

“Enggak,” jawab Ricko masih tetap memejamkan mata dan menggesekkan


hidungnya pada leher Intan.

“Kenapa? Mas udah dong geli tau. Tadi kan sudah dapat jatah?” balas Intan
sambil mendorong wajah Ricko supaya menjauh dari lehernya dan bangkit dari
pelukan Ricko.

“Aku mau mengajakmu ke rumah papa. Sudah lama kita belum


mengunjunginya,” jawab Ricko lalu bangkit dari tidurnya.

“Okey, ayo cepat bangun dan mandi. Sudah sesiang ini kita belum sarapan loh
… “ balas Intan sambil memilih pakaian di dalam almari.

Ricko pun segera bangkit dan masuk ke dalam kamar mandi setelah mengecup
singkat pipi Intan. Setelah berganti pakaian, Intan turun terlebih dahulu karena
ia sudah merasa sangat lapar. Di lantai bawah Intan melihat Susi dan Bi Ani
sedang sibuk bersih-bersih rumah. Makanan dan minuman sudah tersedia di
atas meja makan. Intan pun menyeruput susunya terlebih dahulu sambil
menunggu Ricko turun.

Tidak lama kemudian Ricko turun dan sarapan bersama Intan seperti biasanya.
Setelah makan bersama, Ricko dan Intan meluncur ke rumah Pak Bambang.

Di tengah perjalanan tiba-tiba ada kerumunan yang sangat ramai, sehingga


mengakibatkan kemacetan. Ricko pun membuka kaca mobil dan mengeluarkan
sedikit kepalanya untuk melihat ke depan. Saat ada penjual air minum lewat,
Ricko pun menanyakan ada kejadian apa sehingga terjadi kemacetan.

“Ada kecelakaan Mas,” jawab orang itu. Intan pun mendengarnya.

Karena sudah di tengah-tengah, mobil Ricko tidak bisa maju dan juga tidak bisa
mundur. Putar balik pun tidak bisa.

“Bentar ya, aku cek dulu di depan,” ucap Ricko pada Intan. Intan pun
mengangguk setuju.
Ricko keluar dari dalam mobilnya dan berjalan kaki untuk melihat kecelakaan
apa yang terjadi. Saat Ricko sudah di tempat kejadian, ia melihat ke dalam
mobil yang kecelakaan melalui kaca jendela dan betapa terkejutnya dia.

“Rossa!” panggil Ricko saat melihat Rossa tidak bergerak di dalam mobil itu
bersama seorang laki-laki.

Tidak lama kemudian mobil ambulans datang dan mengeluarkan Rossa bersama
dengan laki-laki yang bersamanya dari dalam mobil. Ricko kembali ke dalam
mobilnya dengan panik.

“Ada apa Mas?” tanya Intan yang melihat raut wajah Ricko berubah.

“Yang kecelakaan di depan adalah … Rossa,” jawab Ricko dengan sedih.


Bagaimanapun juga, Rossa pernah mengisi hari-harinya selama dua tahun lebih.
Ia tidak bisa membayangkan apabila Rossa pergi dari dunia ini untuk selama-
lamanya.

“Apa? Rossa? Mantannya Mas Ricko?” tanya Intan sambil menutup mulutnya
ikut terkejut juga.

“Iya. Kita ikuti mobil ambulans itu ya, aku ingin mengetahui keadaanya,” balas
Ricko sambil memakai sabuk pengaman dan menyalakan mesin mobilnya.

“Iya Mas … “ jawab Intan.

Ricko melajukan mobilnya mengikuti mobil ambulans yang membawa Rossa


ke rumah sakit. Ricko melajukan mobilnya lebih cepat dari biasanya. Ia lupa
kalau sedang bersama Intan yang kini sedang hamil.

“Hati-hati Mas, jangan ngebut, aku takut … “ ucap Intan pada Ricko dengan
panik dan berpegangan dengan erat.

“Iya maafkan aku … “ balas Ricko sambil membelai puncak kepala Intan.

Ricko pun mengurangi kecepatan mobilnya. Tidak lama kemudian mereka


sampai di rumah sakit di mana Rossa berada.
Setelah memarkirkan mobilnya, Ricko dan Intan segera menuju UGD untuk
mengetahui keadaan Rossa dan laki-laki yang bersamanya.

“Bagaimana keadaan wanita yang kecelakaan tadi Sus?” tanya Ricko pada
seorang perawat yang keluar dari UGD.

“Dokter masih memeriksanya Mas,” jawab perawat itu lalu pergi.

“Tenang Mas, jangan panik,” ucap Intan sambil membelai bahu Ricko. Ricko
memandang Intan lalu memeluknya. Ricko sudah merasa ada yang beda saat
memeluk Intan. Perut Intan semakin membuncit. Ricko pun memandang Intan
lalu tersenyum. Setelah itu Ricko menarik tangan Intan ke tempat pendaftaran
poli.

“Kenapa kita ke sini Mas?” tanya Intan bingung.

“Aku ingin melihat anak kembar kita. Ayo USG … “ ucap Ricko sambil
tersenyum.

“Astaga … kirain apa Mas. Hahaha,” balas Intan.

Setelah melakukan pendaftaran dan antrian yang tidak terlalu panjang, akhirnya
kini giliran Intan untuk diperiksa. Dulu saat diperiksa Intan akan merasa gugup
dan takut, tapi sekarang ia sudah terbiasa. Ia juga ingin melihat bagaimana janin
kembarnya yang kini sedang berkembang di dalam rahimnya.

“Selamat ya Pak, Bu, bayi kalian kembar berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan. Mereka sehat dan berkembang sesuai dengan usianya,” ucap
Dokter Kandungan yang memeriksa Intan.

Intan tersenyum senang sambil menggenggam tangan Ricko yang ikut


mendampinginya saat diperiksa. Begitu juga dengan Ricko, ia sangat bahagia
karena sekalinya punya anak langsung dikasih dua dan itupun berjenis kelamin
laki-laki dan perempuan. Ia sudah sangat tidak sabar ingin memberitahukan
kabar ini pada papanya. Ia sangat yakin kalau papanya akan sangat bahagia
mendengarnya.

Setelah keluar dari poli, Ricko dan Intan kembali ke UGD untuk mengetahui
keadaan Rossa. Namun saat ia sudah sampai di sana, Rossa sudah dipindahkan
ke ruang operasi. Ia mengalami luka yang serius pada bagian kepalanya.
Sedangkan laki-laki yang bersamanya meninggal dunia.
Ricko dan Intan benar-benar tidak percaya ini terjadi pada Rossa. Mereka juga
tidak tahu apa yang terjadi, sehingga Rossa dan kekasih barunya itu bisa
mengalami kecelakaan.

Akhirnya Ricko pun memutuskan untuk pulang bersama Intan ke rumah Pak
Bambang. Ia sudah tidak sabar ingin memberitahukan kabar gembira ini pada
orang tuanya. Ia akan mengunjungi Rossa lain waktu.

Sesampainya di rumah Pak Bambang, Ricko dan Intan segera masuk ke dalam
rumah.

“Pa … Ma … “ panggil Ricko dengan suara yang lantang.

Tidak lama kemudian, Pak Bambang dan Bu Sofi muncul. Mereka keluar dari
dalam kamar saat mendengar suara Ricko.

“Ada apa Rick?” tanya Pak Bambang sambil mengusap matanya karena tadinya
ia tidur siang, tapi terbangun karena suara Ricko.

Ricko menggandeng Pak Bambang dan mengajaknya duduk di sofa. Sedangkan


Intan diajak Bu Sofi ke dapur, karena tadi sebelum tidur, ia membuat kue dan
belum sempat mencicipinya.

“Anak Ricko Pa … “ ucap Ricko terputus saking gembiranya.

“Kenapa dengan anakmu Rick?” tanya Pak Bambang tidak mengerti.

“Anak Ricko kembar laki-laki dan perempuan Pa … “ ucap Ricko dengan


wajah berbinar- binar.

“Masha Allah … papa ikut senang Rick … “ Pak Bambang memeluk tubuh
Ricko. Begitu juga dengan Ricko.

Tidak lama kemudian, Bu Sofi dan Intan keluar dengan membawa nampan
berisi makanan dan minuman. Mereka pun berbincang-bincang santai hingga
sore hari.

Rumah Ricko
Malam hari ketika akan bersiap untuk tidur, Ricko memeluk Intan dan berbisik
di telinganya.

“Terima kasih sudah memberikan dua malaikat kecil yang sangat luar biasa,”
ucap Ricko di samping telinga Intan.

“Iya Mas sama-sama … “ balas Intan dengan tersenyum.

“Oh iya, mmmm … “ Ricko merasa ragu ketika akan melanjutkan kata-katanya.

“Ada apa Mas?” tanya Intan penasaran.

“Apa aku boleh menjenguk Rossa besok?” tanya Ricko dengan hati-hati.

“Tentu saja boleh Mas. Dia sedang kesusahan, apalagi kekasihnya meninggal
… “ jawab Intan sambil tersenyum.

“Benarkah? Terima kasih sayang … “ ucap Ricko lalu mengecup bibir Intan
berkali-kali sambil memegangi kedua pipinya.

“Iya … iya … sudah dong Mas … aku enggak bisa napas nih,” balas Intan
sambil menghindari ciuman Ricko yang bertubi-tubi.

Rumah Sakit Medika

Keesokan harinya, Rossa membuka matanya. Ia melihat sekeliling dan semua


tampak serba putih. Ia pun mencoba bangkit dari tidurnya, tapi ia merasakan
berat pada kepalanya.

“Auuuwh … “ Rossa mengaduh karena merasa sakit pada kepalanya.

“Rossa … akhirnya kamu sadar juga … “ ujar Bu Alda mamanya Rossa saat
mendengar Rossa mengaduh.

“Mama … “ Rossa memanggil mamanya lalu membaringkan tubuhnya


kembali.

“Apa Ricko ada di sini?” tanya Rossa pada mamanya. Bu Alda merasa heran,
kenapa yang ditanyakan Rossa Ricko bukan Boy kekasihnya yang sekarang
sudah meninggal. Bu Alda pun memanggil dokter dengan menekan tombol
yang ada di dekat tempat tidur Rossa.
Tidak berapa lama dokter dan perawat pun datang untuk memeriksa keadaan
Rossa yang baru sadar dari obat bius karena operasi.

Siang hari ketika jam istirahat, Ricko menjenguk Rossa di rumah sakit bersama
Romi. Ia tidak mau menjenguk Rossa sendirian takut ada berita yang tidak-
tidak seperti dulu. Apalagi sekarang ia sudah menikah dan istrinya sedang
hamil.

Setelah bertanya di bagian informasi, Ricko dan Romi menuju kamar di mana
Rossa berada. Ketika Ricko akan mengetuk pintunya, tiba-tiba pintu terbuka
dan tampaklah Bu Alda hendak keluar ruangan.

“Ricko?” Bu Alda terkejut saat melihat Ricko di depan pintu. Bu Alda pun
segera keluar dan menutup pintunya. Ricko dan Romi mengerutkan dahinya
tidak mengerti.

Bu Alda menjelaskan keadaan Rossa pada Ricko di luar ruangan. Ia megatakan


ketika dokter memeriksa Rossa tadi pagi, dokter mengatakan bahwa Rossa
mengalami hilang ingatan parsial. Yang Rossa ingat ia masih berpacaran
dengan Ricko. Ia tidak ingat kejadian apapun bersama Boy.

“Jadi, tante mohon Rick, bantu Rossa untuk mengingat kembali … “ ucap Bu
Alda pada Ricko memohon.

“Bagaimana caranya?” tanya Ricko tidak mengerti maksud Bu Alda.

“Berpura-puralah menjadi pacarnya,” balas Bu Alda. Romi dan Ricko terkejut


mendengar kata-kata Bu Alda.

“Maaf, saya tidak bisa Tante … “ Ricko menolak permintaan Bu Alda. Jika ia
melakukan itu, ia yakin Intan akan marah dan sakit hati.

“Tante mohon Rick … “ Bu Alda memohon sambil menyatukan kedua telapak


tangan di depan dadanya. Matanya sudah berkaca-kaca. Rossa adalah anak
perempuan satu-satunya yang ia miliki.

Ricko menoleh pada Romi seolah-olah meminta saran. Namun Romi tidak mau
ikut campur dalam urusan pribadi Ricko. Ia hanya mengangkat kedua bahunya.
Ricko melengos kesal melihat ekspresi Romi.
“Boleh saya melihat keadaan Rossa sekarang ini Tante?” tanya Ricko pada Bu
Alda.

“Iya boleh … boleh Rick. Sekalian tolong jagain Rossa sebentar ya, tante mau
keluar beli makanan,” balas Bu Alda pada Ricko.

“Baik Tante … “ Ricko menyetujui permintaan Bu Alda.

Setelah Bu Alda pergi, Ricko membuka pintu kamar Rossa dan masuk ke dalam
bersama Romi. Ketika pintu terbuka, Rossa melihat ke arah pintu dan melihat
Ricko. Ia merasa senang akhirnya Ricko datang.

“Sayang … akhirnya kamu datang,” ucap Rossa pada Ricko. Ricko yang
mendengar sapaan Rossa tercengang sejenak. Dadanya berdebar-debar seketika.
Begitu juga dengan Romi, ia tidak menyangka Rossa akan menyapa Ricko
dengan panggilan sayang.

“Ah … iya, maaf baru bisa menjengukmu sekarang,” jawab Ricko sedikit
canggung.

“Tidak apa-apa, aku tahu kamu sibuk,” balas Rossa seraya tersenyum.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Ricko sambil duduk di kursi samping ranjang


Rossa. Sedangkan Romi duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat duduk
Ricko.

“Sudah lebih baik, tapi kepalaku masih sakit … “ jawab Rossa manja dengan
memegangi kepalanya.

“Perbanyaklah istirahat, jangan memikirkan hal-hal yang tidak perlu … “ balas


Ricko sambil tersenyum. Hati Rossa merasa hangat saat melihat senyum Ricko.

Di tengah obrolan mereka, tiba-tiba seorang perawat masuk


membawakan makan siang untuk Rossa. Setelah menaruh makanan itu di meja
samping tempat tidur Rossa, perawat itu pergi.

“Sayang, aku lapar. Bisakah kamu menyuapiku?” pinta Rossa. Tentu saja Ricko
tidak bisa menolak permintaan Rossa, apalagi melihat keadaan Rossa yang
seperti itu. Ricko pun mengambil bubur itu dan terpaksa menyuapi Rossa
karena tidak ada orang lain lagi yang akan membantu Rossa. Rossa merasa
senang Ricko mau menyuapinya. Romi geleng-geleng kepala melihat betapa
manjanya Rossa pada Ricko.
Sore hari ketika Ricko pulang dari bekerja, Intan sedang menonton televisi
sambil menikmati es krim yang dibelikan Ricko satu kulkas waktu itu. Ricko
langsung duduk di samping Intan dan menyomot es krim yang ada di tangan
Intan.

“Ambil sendiri dong Mas … “ ujar Intan tidak mau es krimnya dihabiskan
Ricko untuk ke sekian kalinya.

“Tolong ambilkan sayang … aku lelah … “ ucap Ricko sambil membelai


puncak kepala Intan. Intan pun berdiri dan menghampiri kulkas mengambilkan
es krim untuk Ricko.

“Terima kasih … “ ucap Ricko saat menerima es krim dari Intan.

“Bagaimana keadaan Rossa Mas?” tanya Intan lalu menggigit es krimnya.

“Oh dia mengalami amnesia parsial. Jadi sebagian ingatannya hilang … “ jawab
Ricko sambil membuka es krimnya.

“Oh begitu. Tapi dia baik-baik saja kan Mas?” tanya Intan sambil memandang
ke arah Ricko.

“Ya dia baik-baik saja, tapi apa kamu tahu karena hilang ingatan parsial ini, dia
lupa kekasih barunya dan masih menganggapku kekasihnya. Aneh kan?” jawab
Ricko dengan santainya.

“Lalu apa yang akan Mas Ricko lakukan? Pura-pura jadi pacarnya?” tanya Intan
sambil memicingkan matanya pada Ricko.

“Ya enggak lah. Kamu cemburu?” balas Ricko sambil mencubit hidung Intan.

“Enggak kok,” jawab Intan dengan cemberut.

“Lalu kenapa cemberut seperti itu?” Ricko mencium pipi Intan. Otomatis es
krim yang ada di bibir Ricko menempel pada pipi Intan.

“Mas! Bersihkan dulu bibirmu!” Intan mengusap pipinya dengan tisu yang ada
di atas meja. Setelah es krimnya habis Ricko memegang kedua bahu Intan dan
mengarahkan Intan untuk menghadap ke arahnya.

“Dengarkan aku. Meskipun keadaan Rossa seperti sekarang ini, aku tidak akan
kembali padanya. Kenapa kita harus menciptakan kebohongan? Yang ada nanti
akan menimbulkan masalah baru buat kita. Bagaimana pun juga kita harus
beritahu pada Rossa yang sebenarnya bahwa kita sudah menikah dan sekarang
kamu sedang mengandung anakku. Aku menengoknya karena rasa kemanusiaan
saja, percayalah padaku. Aku tidak akan menyakitimu … ” ucap Ricko pada
Intan meyakinkan.

“Iya, aku percaya padamu Mas … “ balas Intan sambil tersenyum lalu memeluk
Ricko. Tidak lama kemudian Intan melepaskan pelukannya.

“Kenapa?” tanya Ricko heran.

“Kamu bau Mas. Mandi dulu sana!” jawab Intan sambil menutupi hidungnya.

“Kamu juga belum mandi kan? Ayo mandi bersama,” ujar Ricko sambil
mengedipkan sebelah matanya. Seketika wajah Intan memerah. Ia jadi teringat
masa-masa saat Ricko pertama kali mengambil mahkotanya yaitu bermula dari
mandi bersama.

Karena Intan bengong dan tidak menjawab ajakannya, Ricko segera


menggendong tubuh Intan ala bridal style.

“Mas, lepaskan aku!” jerit Intan terkejut karena Ricko tiba-tiba


menggendongnya tanpa aba-aba.

“Tidak mau!” jawab Ricko sambil menggendong tubuh Intan menaiki tangga
membawanya ke kamar di lantai atas untuk mandi bersama. Intan pasrah dan
melingkarkan kedua tangannya pada leher Ricko. Ricko mengecup bibir Intan
berkali-kali.

“Manis … “ ucap Ricko.

“Yaiyalah kan habis makan es krim. Hahaha,” jawab Intan lalu tertawa.

Sesampainya di dalam kamar mandi, Ricko menurunkan tubuh Intan lalu


mengisi bathup dengan air hangat. Setelah air siap, Ricko membantu Intan
melepas pakaiannya dan membantunya masuk ke dalam bathup.
Kenangan beberapa bulan yang lalu pun terulang kembali. Sudah lama mereka
tidak mandi bersama. Namun kali ini berbeda, mereka mandi bersama dengan
bayi kembar yang masih ada di dalam rahim Intan. Ricko membelai perut Intan
berkali-kali hingga Intan merasa geli dan jejeritan di dalam kamar mandi.

Malam minggu

Romi sedang melihat bayangannya di depan kaca di dalam kamarnya. Ia ingin


tampil yang terbaik malam ini. Karena pintu kamarnya sedang terbuka lebar,
otomatis Vina yang kebetulan lewat melihat tindakan Romi yang sedang
bertingkah di depan kaca. Ia pun segera masuk seperti biasanya tanpa permisi.

“Kakak mau ke mana?” tanya Vina sambil duduk di tepi tempat tidur Romi.

“Mau tahu aja,” jawab Romi cuek.

“Mmm kayaknya ada yang punya pacar ni sekarang?” tanya Vina menyelidik
sambil melipat lengan di dadanya.

“Bukan urusanmu,” balas Romi lalu bersiap-siap pergi.

“Kakak, jangan lupa kenalkan padaku juga … “ ujar Vina sebelum Romi pergi.

Romi berbalik dan berkata sambil tersenyum, “Doakan semoga berhasil.”

“Siap!” balas Vina dengan semangat.

Rumah Pak Bambang

Di dalam kamar, Sita sedang duduk di depan meja riasnya. Ia menanti


kedatangan Romi. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Ia
menempelkan telapak tangan pada dadanya dan merasakan debaran jantung di
dadanya.

“Ada apa ini? Kenapa rasanya berdebar-debar?” gumam Sita saat menyentuh
dadanya.

Tidak lama kemudian Romi sampai di depan rumah Sita. Ketika ia keluar dari
mobilnya, ia menghirup nafas dalam-dalam melalui hidungnya lalu
menghembuskannya dengan kasar melalui mulutnya. Ia berjalan menghampiri
pintu rumah Sita lalu memencet belnya. Setelah memencetnya dua kali
muncullah Bi Sumi membukakan pintu.

“Nyari siapa Mas?” tanya Bi Sumi saat melihat Romi.

“Sita … “ jawab Romi seraya tersenyum.

“Silakan masuk Mas … “ balas Bi Sumi mempersilakan. Romi pun masuk dan
duduk di ruang tamu.

Bi Sumi masuk untuk memanggil Sita di kamarnya di lantai atas. Tidak lama
kemudian Pak Bambang muncul ke ruang tamu dan berdehem dengan keras.
Romi menjadi salah tingkah sendiri karena terlalu gugup.

“Om … “ sapa Romi lalu mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Pak
Bambang. Pak Bambang pun menerimanya.

“Romi?” Pak Bambang baru ingat Romi temannya Ricko.

“Iya Om … “ balas Romi sopan.

Sementara itu di lantai atas, Bi Sumi mengetuk pintu kamar Sita dan
mengatakan ada seorang pemuda yang mencarinya. Sita pun keluar dan segera
turun. Ia sangat yakin kalau itu Romi yang datang.

Sesampainya di ruang tamu, Sita melihat Romi sedang berbincang-bincang


dengan Pak Bambang. Ia pun menghampiri Romi.

“Kak Romi maaf ya … “ ucap Sita sambil menyatukan kedua telapak tangan di
dadanya. Romi mengeryitkan dahinya tidak mengerti.

Kenapa Sita masih belum ganti baju? Batin Romi.

“Papa melarang kita makan di luar, jadi malam ini kita makan di rumah … “
imbuh Sita menjelaskan. Pak Bambang mendengarkan sambil tersenyum.

“Oh iya tidak apa-apa … “ balas Romi seraya tersenyum.

“Silakan masuk Kak, anggap rumah sendiri … “ ucap Sita mempersilakan Romi
dengan sopan dan mengajaknya ke ruang makan. Pak Bambang berdiri dan
Romi mengikutinya.

Sesampainya di ruang makan, di sana tampak Bu Sofi sedang mempersiapkan


makanan bersama Bi Mina dan Bi Sumi. Pak Bambang duduk diikuti Sita, Bu
Sofi, dan Romi. Setelah itu mereka mulai makan di tengah keheningan. Romi
merasa jantungnya deg-deg-an. Ini pertama kalinya ia makan malam di rumah
seorang wanita. Sambil makan, Romi melirik Sita yang sedang makan di
depannya. Pak Bambang melihatnya dan berdehem. Romi merasa terkejut dan
menjatuhkan garpu di tangannya.

“Maaf … maaf … “ ucap Romi sambil tersenyum paksa. Ia jadi salah tingkah
tidak karuan. Sita tersenyum tertahan melihat tingkah Romi yang lucu.

Setelah makan malam selesai, Pak Bambang membuka perbicangan.

“Romi … kamu serius sama Sita?” tanya Pak Bambang tiba-tiba.

“Uhuk … uhuk … “ Romi tersedak air ludahnya sendiri saat mendengar


pertanyaan Pak Bambang. Ia pun menepuk nepuk dadanya supaya batuknya
reda. Ia merasa terkejut dengan pertanyaan Pak Bambang. Tadinya ia masih
ingin PDKT dulu sama Sita, tapi Pak Bambang sudah menanyakan ke hal yang
serius. Romi pun bingung harus menjawab apa.

“I-iya Om … “ jawab Romi reflek. Sita yang mendengar jawaban Romi pun
terkejut. Ia tidak menyangka Romi akan berkata “iya”.

“Kalau kamu serius, segera suruh orang tuamu melamar, saya tidak suka Sita
pacaran lama-lama tanpa status yang jelas,” balas Pak Bambang pada Romi.

“I-iya Om … “ jawab Romi terbata-bata. Hanya itu yang bisa keluar dari
mulutnya saat ini. Ia terlalu gugup untuk mengeluarkan kata-kata yang lebih
banyak dari itu.

“Kalau begitu saya tinggal dulu … “ ujar Pak Bambang lalu berdiri dan
meninggalkan Sita dan Romi. Bu Sofi mengikuti Pak Bambang ke kamarnya
untuk minum obat dan beristirahat. Romi menganggukkan kepalanya tanda
setuju.

“Kak Romi apa-apaan?” tanya Sita sambil mengernyitkan dahinya saat Pak
Bambang dan Bu Sofi sudah pergi.

“Maaf Sita, aku terlalu gugup tadi. Sehingga reflek menjawab ‘iya’,” jawab
Romi sambil meringis.

“Ayo kita ngobrol di teras belakang Kak … “ ajak Sita. Romi pun setuju.

“Beneran Kak Romi mau melamar Sita?” tanya Sita saat sudah duduk di kursi
teras belakang rumahnya.

“Ya … mau gimana lagi? Aku suduh terlanjur bilang ‘iya’ sama papa kamu
Sita. Kalau aku batalkan, nanti papa kamu tidak percaya lagi sama aku … “
jawab Romi pasrah.

“Tapi Sita masih belum mau menikah Kak. Sita masih kuliah dan pengen
mengejar karir dulu … “ balas Sita dengan sedih.

“Tidak apa-apa. kejarlah cita-citamu. Kalaupun nanti kita jadi menikah, aku
tidak akan melarangmu … “ balas Romi dengan lembut.

“Tapi … kamu enggak punya pacar kan sekarang?” tanya Romi untuk
memastikan.

“Enggak ada Kak … “ balas Sita sambil menggelengkan kepalanya.

Setelah pulang dari rumah Sita, Romi masuk ke dalam rumahnya sambil
bersiul-siul. Vina dan mamanya yang tengah menonton televisi menjadi
bertanya-tanya. Tidak biasanya Romi seperti itu.

“Rom … tumben? Kamu lagi senang ya?” tanya Bu Farida mamanya Romi.

“Iya Ma … minggu depan antar Romi melamar gadis ya Ma … “ jawab Romi


seraya duduk di samping mamanya.

“Serius Kak?” tanya Vina tidak percaya kakaknya akan langsung melamar anak
orang. Padahal yang dia tahu, kakaknya itu tidak punya pacar sebelumnya.

“Iya. Aku ke atas dulu ya,” ucap Romi lalu mengecup pipi mamanya dan
beranjak pergi seraya bersiul-siul lagi. Vina yang merasa penasaran pun
mengejarnya.

“Kakak … “ panggil Vina sambil mengejar Romi yang menaiki tangga.


“Iya … “ jawab Romi sambil tetap berjalan.

“Kakak tiba-tiba mau melamar, enggak menghamili anak orang kan?” tanya
Vina menuduh kakaknya yang tidak tidak. Romi pun menyentil dahi Vina
dengan keras.

“Auuuuh … “ pekik Vina sambil mengelus dahinya yang kesakitan.

“Aku tidak sebejat itu kale … “ jawab Romi mendengus kesal.

“Lalu?” tanya Vina masih ingin tahu alasan Romi.

“Tadinya aku mau mengajaknya jalan keluar, tapi papanya melarang dan
akhirnya kita makan malam di rumahnya. Aku tidak menyangka papanya tiba-
tiba menyuruhku melamarnya, dan aku hanya bisa menjawab ‘iya’,” Balas
Romi menjelaskan dengan pasrah.

“Wah keren … Kakakku gentle man,” ujar Vina sambil mengacungkan kedua
jempolnya.

“Romi gitu loh … “ ucap Romi sambil menepuk dadanya sok keren.

Kamu enggak tahu tadi aku gugupnya minta ampun sampai-sampai enggak bisa
berkata apa-apa. Batin Romi menangis tapi tetap sok tegar di depan Vina.

Dua bulan kemudian

Romi pun kini sudah sah menjadi tunangan Sita. Ia melamar Sita satu minggu
setelah makan malam di rumah Pak Bambang waktu itu. Mereka akan menikah
setelah Sita lulus kuliah. Bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri sudah
berlalu.

Rossa merasa bosan karena hanya tinggal di rumah saja. Ia sudah lama tidak
bekerja karena kondisinya yang harus istirahat total dan proses penyembuhan
setelah operasi di kepalanya. Ia juga heran kenapa Ricko tidak pernah
menjenguknya lagi. Ia pun keluar dari dalam kamarnya dan menghampiri
mamanya yang tengah memasak makanan untuknya di dapur.

“Ma … “ panggil Rossa sambil memeluk mamanya dari belakang dan


menyandarkan kepalanya pada punggung mamanya.
“Ada apa Ros … “ jawab mamanya lalu mencicipi sup yang sedang ia masak.

“Ricko kok enggak pernah datang jenguk Rossa lagi?” tanya Rossa dengan
manja pada mamanya.

“Kamu tahu sendiri kan Ricko pengusaha sukses, mungkin dia sibuk. Jadi,
sabar saja ya … “ balas Bu Alda beralasan sambil membelai puncak kepala
Rossa. Rossa menganggukkan kepalanya, tapi ia sudah sangat rindu dengan
Ricko. Selama ini Ricko juga tidak pernah menghubunginya sama sekali.

Rossa pun kembali ke kamarnya dan berganti pakaian. Ia ingin menemui Ricko
sekarang dengan mendatangi perusahaannya. Ketika Rossa keluar dari
kamarnya, Bu Alda melihatnya.

“Mau ke mana Ros?” tanya Bu Alda yang melihat Rossa bersiap-siap hendak
pergi.

“Menemui Ricko Ma … “ jawab Rossa.

“Kamu masih belum pulih. Istirahat saja di rumah … “ cegah Bu Alda. Ia tidak
mau Rossa menemui Ricko.

“Rossa sudah sangat rindu denga Ricko, Ma … “ jawab Rossa.

“Makan dulu supnya mumpung masih hangat … “ ujar Bu Alda. Rossa pun
setuju.

Hari ini Intan akan mengikuti ospek di kampusnya. Ricko sudah melarangnya
jauh – jauh hari sebelumnya, tapi Intan merasa bosan apabila hanya tinggal di
rumah terus – terusan, sehingga ia bersikeras ingin mengikuti ospek di
kampusnya karena ketiga sahabatnya juga akhirnya ikut kuliah di sana.

“Kamu yakin akan mengikuti ospek hari ini?” tanya Ricko pada Intan saat
sarapan bersama.

“Iya Mas, aku enggak apa – apa. Bukankah kemarin dokter juga sudah bilang
anak kita baik – baik saja,” jawab Intan meyakinkan Ricko di sela makannya.

“Baiklah kalau itu yang kamu mau. Jaga dirimu baik – baik, kalau lelah segera
istirahat,” balas Ricko sambil tersenyum.

“Iya Mas,” balas Intan tersenyum juga.

Setelah sarapan Ricko mengantar Intan ke kampus ABC di mana Intan akan
menimba ilmu. Sesampainya di area parkir, Intan tersenyum sekaligus takjub
dengan kampusnya yang sangat besar. Ia berpamitan pada Ricko dengan
mencium punggung tangannya dan Ricko mencium kening Intan.

“Assalamu’alaikum, Mas,” ucap Intan pada Ricko sebelum turun dari mobil.

“Wa’alaikum salam,” jawab Ricko sambil tersenyum.

Setelah Intan turun dari mobil dan menutup pintunya, ia berjalan menjauh dari
mobil dan Ricko menyaksikannya dari dalam mobil. Setelah berjalan beberapa
langkah, Intan menoleh ke belakang dan melihat Ricko masih belum pergi juga.
Intan pun mengeryitkan dahinya dan kembali untuk menyuruh Ricko pergi.

“Kenapa masih belum pergi?” tanya Intan di samping kaca jendela mobil
Ricko.

“Kenapa aku harus pergi? Aku akan menunggumu sampai selesai. Aku sudah
bilang sama Romi untuk mengurus pekerjaan hari ini,” jawab Ricko sambil
tersenyum.

“Apa?! Jadi Mas Ricko mau menungguku sampai waktunya pulang?” tanya
Intan terkejut dan tidak percaya.

“Iya, sudah sana masuk, nanti kamu terlambat,” jawab Ricko menyuruh Intan
segera pergi. Intan pun patuh dan segera pergi karena takut terlambat.

Di dalam mobil Ricko menunduk sambil memainkan ponselnya dengan kaca


terbuka. Tidak lama kemudian Dina lewat di samping mobil Ricko karena
hendak masuk ke dalam kelas. Saat Dina menoleh, ia melihat wajah tampan
Ricko yang sedang memainkan ponselnya di dalam mobil. Dina
membelalakkan matanya karena terkejut sekaligus bahagia, tapi Dina tidak
menyapa Ricko karena ia harus segera masuk ke dalam kelas. Ricko pun tidak
memperhatikan orang di sekitarnya karena terlalu fokus dengan ponselnya.

Sesampainya Dina di dalam kelas, ia menghampiri Rena yang sedang duduk di


kursi depan kelas dengan raut muka berseri – seri.
“Ren, tahu enggak, barusan aku melihat laki – laki yang aku ceritain sama kamu
waktu aku pergi ke Singapura,” ujar Dina pada Rena.

“Di mana?” tanya Rena cuek tanpa menoleh ke Dina.

“Di area parkir,” jawab Dina dengan antusias.

“Yuk kita ke sana, aku juga penasaran,” ajak Rena sambil menarik tangan Dia
hendak mengajaknya pergi.

“Ren, udah jam berapa ini? Nanti Kak Ali marah,” ucap Dina menolak karena
sudah waktunya acara pembukaan dimulai. Rena pun melihat jam di
pergelangan tangannya dan mengurungkan niatnya.

Tidak berapa lama Ali masuk ke dalam ruang kelas untuk memulai pembukaan
ospek. Pandangannya tertuju pada Intan yang kebetulan duduk di bangku paling
depan.

“Assalamu’alaikum dan selamat pagi mahasiswa baru … “ sapa Ali di depan


kelas.

“Wa’alaikum salam … selamat pagi juga Kak … “ jawab semua yang ada di
ruangan itu.

Ali pun berpidato sebentar sebagai pembukaan disambung dengan sambutan


dari beberapa dosen. Setelah itu semua mahasiswa baru disuruh keluar untuk
melakukan pemanasan dengan lari lapangan lima kali. Ali melihat Intan yang
tengah hamil besar, ia menjadi tidak tega. Ia mendekati Intan yang hendak
keluar dari ruang kelas.

“Siapa namamu?” tanya Ali pada Intan.

“Intan Kak … “ jawab Intan seraya tersenyum.

“Kenapa tidak izin saja? Bagi yang hamil tidak wajib mengikuti ospek kok,“
ujar Ali dengan lembut.
“Tidak apa-apa Kak, saya bosan di rumah terus … “ balas Intan sambil
memegangi perutnya yang besar karena hamil kembar.

“Tidak. Kamu tidak boleh ikut lari. Itu akan beresiko terhadap kandunganmu.
Mari kuantar ke ruang kesehatan saja,” ajak Ali. Intan pun menyetujuinya.

Di ruang kesehatan ada Dina yang menjaga ruangan itu sekaligus merawat
mahasiswa baru yang pingsan atau sakit ketika menjalani ospek.

“Din, jaga dia ya, kasihan sedang hamil!” pinta Ali pada Dina.

“Okey Kak … “ jawab Dina dengan semangat sambil menyatukan ujung ibu
jari dan jari telunjuknya tanda oke. Setelah itu Ali pergi ke lapangan di mana
mahasiswa baru yang lainnya tengah lari keliling lapangan.

“Silakan masuk dan beristirahat … “ ucap Dina dengan lembut pada Intan.

“Terima kasih Kak … “ balas Intan lalu masuk ke ruang kesehatan dan duduk
pada tepian tempat tidur.

“Nama kamu siapa?” tanya Dina mengajak Intan ngobrol ringan.

“Intan Kak,” jawab Intan seraya tersenyum.

“Sudah berapa bulan kehamilan kamu?” tanya Dina lagi.

“Sembilan belas minggu Kak … “ jawab Intan sambil membelai perutnya.

“kelihatan besar sekali ya? Apa enggak berat tuh?” tanya Dina lagi semakin
penasaran.

“Ini kembar Kak. Karena itu kelihatan besar. Berat sih enggak, cuma rasanya
kurang nyaman aja,” balas Intan sambil meringis. Tidak lama kemudian Intan
merasakan tendangan kecil di perutnya. Anaknya memberikan respon. Intan
memekik sambil memegangi perutnya.

“Kenapa?” tanya Dina khawatir.

“Mereka bergerak … “ jawab Intan sambil tersenyum. Dina pun ikut tersenyum.
Akhirnya mereka pun ngobrol tanpa Dina tahu bahwa Intan adalah istrinya
Ricko. Begitu juga dengan Intan, tanpa ia tahu bahwa Dina adalah kakaknya
Adit.

Rossa datang ke perusahaan Ricko. Seperti biasa, dia akan naik lift dan masuk
ke ruang kantor Ricko karena saat ini yang dia ingat ia masih kekasih Ricko.
Ketika ia akan masuk ke ruangan Ricko, Lia mencegahnya.

“Maaf Bu, anda tidak bisa masuk ke ruangan Pak Ricko … “ ucap Lia pada
Rossa.

“Kenapa? Apa dia sedang berselingkuh?” tanya Rossa sedikit meninggikan


nada suaranya.

Lia mengernyitkan dahinya. Ia merasa heran saat Rossa mengatakan “Ricko


selingkuh”. Yang ia tahu, Ricko tidak pernah berselingkuh sama sekali. Malah
sekarang dia sudah punya istri. Kenapa Rossa tiba-tiba datang dan mengatakan
Ricko berselingkuh?

“Pak Ricko sedang tidak ada di ruangannya Bu … “ jawab Lia dengan sopan.

“Aku akan menunggunya di dalam,” balas Rossa seraya hendak membuka pintu
ruangan Ricko.

“Rossa!” panggil Romi tiba-tiba dengan suara lantang saat melihat Rossa akan
masuk ke dalam ruangan Ricko dan menghampiri. Rossa pun menoleh ke arah
sumber suara.

“Ngapain kamu di sini?” tanya Romi dengan tidak senang.

Rossa merasa ada yang aneh dengan pertanyaan Romi.

“Ngapain kamu bilang? Tentu saja menemui Ricko, Rom!” jawab Rossa tidak
suka dengan pertanyaan Romi.

“Ricko tidak ada di ruangannya,” balas Romi.

“Aku akan menunggunya di dalam ruangannya!” balas Rossa tidak mau kalah.
Romi pun segera mencekal lengan kanan Rossa dan menariknya menjauhi
ruangan Ricko.
“Lepaskan aku Rom!” teriak Rossa. Semua karyawan yang berpapasan melihat
mereka dengan tatapan aneh. Romi menarik Rossa ke dalam ruangannya dan
menutup pintunya setelah masuk bersama Rossa. Romi pun melepaskan
cengkeraman tangannya pada pergelangan tangan Rossa. Rossa mengelus-elus
pergelangan tangannya yang sakit akibat dari cengkeraman Romi.

“Jangan mencari Ricko lagi!” ujar Romi sambil melipat lengan di dadanya.

“Kenapa tidak boleh? Dia kekasihku. Sudah lama dia tidak menemuiku.
Sekarang aku merindukannya,” balas Rossa dengan ketus.

“Dia sudah menikah,” ucap Romi dengan santai sambil bersandar pada dinding
di sampingnya.

“Kapan? Tidak mungkin! Kamu berbohong kan Rom?” tanya Rossa tidak
percaya sambil memegangi kepalanya. Perkataan Romi membuatnya berpikir
keras untuk menerima kenyataan.

“Terserah! Yang jelas aku sudah mengatakan yang sebenarnya,” balas Romi
lalu hendak keluar dari ruangannya. Tiba-tiba Rossa pingsan. Romi pun
menengok ke belakang dan melihat Rossa tergeletak di lantai.

“Yaelah … ini orang merepotkan saja,” gerutu Romi. Ia pun mengangkat tubuh
Rossa dan membaringkannya di atas sofa. Setelah itu ia menghubungi security.

Setelah security datang, Romi memerintahkan untuk membawa Rossa ke rumah


sakit terdekat dan menghubungi keluarganya. Romi tidak mau repot-repot
mengurusi Rossa.

Siang hari Ricko datang ke perusahaan bersama Intan. Setelah pulang dari
ospek tadi, Intan dan Ricko makan bersama di kantin perusahaan karena Intan
mengeluh lapar. Setelah makan, Intan ikut Ricko bekerja di ruangan kantornya.
Tidak lama kemudian Romi pun masuk dan menceritakan semuanya tentang
Rossa.

“Masih belum sembuh juga penyakitnya?” tanya Ricko sambil menatap layar
laptopnya.

“Sepertinya begitu. Ketika kukasih tahu yang sebenarnya malah pingsan,”


gerutu Romi saat menceritakan semuanya pada Ricko.
“Ya untungnya waktu dia ke sini aku tidak ada,” balas Ricko sambil tersenyum
lucu dan tetap bekerja sambil mengetik di laptopnya.

Intan mendengarkan percakapan mereka sambil rebahan di sofa dan memainkan


ponselnya untuk ngobrol di chat bersama ketiga sahabatnya.

Beberapa hari kemudian

Hari ini ospek hari terakhir. Setiap hari Intan mengikuti ospek tapi hanya
tiduran di ruang kesehatan ditemani Dina. Mereka saling bertukar cerita dan
bercanda setiap hari. Intan juga menceritakan tentang suaminya tanpa
menyebutkan namanya. Dina mendengarkan dengan antusias. Ia pun menjadi iri
dengan keromantisan suami Intan. Dari mendengar cerita Intan saja, ia bisa
membayangkan betapa bahagianya apabila ia menjadi Intan. Begitu juga
dengan para pembaca. Iya kan? Ayo pada ngaku. Hahaha.

“Beruntung banget kamu dijodohin sama lelaki yang sangat sempurna … “ ujar
Dina pada Intan dengan takjub.

“Mungkin ini yang dinamakan jodoh Kak, datangnya tanpa kita sangka-
sangka,” balas Intan seraya tersenyum.

Dina pun jadi teringat Ricko. Sudah beberapa kali ia bertemu dengan Ricko.
Mulai dari di bandara, SPBU, dan area parkir kampus beberapa hari yang lalu.
Ia pun berandai-andai apakah Ricko adalah jodohnya yang dikirimkan tuhan
untuknya? Ia jadi senyum-senyum sendiri. Intan yang melihat Dina senyum-
senyum sendiri segera membuyarkan lamunan Dina.

“Kak Dina kenapa?” tanya Intan sambil mengerutkan dahinya merasa heran.

“Tidak apa-apa. Aku hanya teringat seseorang yang kutemui secara tidak
sengaja beberapa kali. Apakah itu bisa dikataka jodoh?” tanya Dina pada Intan.

“Ya mungkin saja Kak. Apa Kak Dina menyukainya?” tanya Intan dengan
antusias.

“Sepertinya begitu. Dia sangat tampan dan pekerja keras,” jawab Dina dengan
penuh semangat.
“Semoga saja dia jodoh Kak Dina,” ucap Intan seraya tersenyum.

Sore hari ketika pulang dari ospek, Ricko menyuruh Intan segera beristirahat. Ia
memijat kaki Intan tanpa disuruh. Ricko merasa kasihan dengan Intan yang
harus membawa kedua anaknya ke mana-mana.

“Terima kasih Mas, tapi aku tidak lelah beneran,” ujar Intan pada Ricko.

“Tidak apa-apa. beristirahatlah sekarang. Nanti malam aku akan mengajakmu


ke suatu tempat,” ucap Ricko misterius.

“ke mana?” tanya Intan ingin tahu.

“Rahasia. Istirahatlah. Aku ke ruang kerja dulu,” balas Ricko lalu berdiri dan
meninggalkan Intan setelah mengecup kening istrinya.

Intan pun memejamkan matanya untuk tidur sebentar.

Intan POV

Aku terbangun dari tidur soreku. Ketika aku membuka mataku, aku melihat
kamarku tampak sepi. Aku tidak melihat Mas Ricko di sampingku ataupun di
semua sudut kamarku. Aku bangkit dari tempat tidur dan masuk ke dalam
kamar mandi untuk membersihkan tubuhku karena aku ingat Mas Ricko akan
mengajakku ke suatu tempat malam ini. Entah ke mana, aku pun tak tahu
karena Mas Ricko tidak memberitahuku.

Ketika aku keluar dari dalam kamar mandi, aku melihat sebuah gaun di atas
tempat tidurku. Aku pun menghampirinya dan mengambil gaun itu. Aku
mengangkat gaun itu dan betapa takjubnya aku akan keindahan gaun itu.

Tidak berapa lama Mas Ricko masuk ke dalam kamar. Dia terlihat sangat
tampan dengan setelan jas yang menempel pada tubuhnya. Dia berjalan
menghampiriku dengan tersenyum.

“Pakailah gaun itu,” ucapnya. Aku pun mengangguk dan menuruti perintahnya.

Aku melepas handuk yang melilit di tubuhku lalu memakai gaun yang
disiapkan Mas Ricko untukku. Dia memandangi tubuh telanjangku dengan
perutku yang semakin membuncit. Aku melihatnya tersenyum senang. Aku
tahu dia bahagia melihat anaknya yang semakin besar di dalam rahimku. Aku
pun tersenyum padanya.
Setelah siap, Mas Ricko menggandeng tanganku berjalan keluar kamar. Aku
mengikuti langkah kakinya. Kukira kami akan menuruni tangga dan masuk ke
dalam mobil seperti biasanya, tapi aku salah. Mas Ricko mengajakku ke sebuah
pintu yang belum pernah kutahu sebelumnya. Di sana ada sebuah tangga untuk
naik ke atap. Aku tidak bertanya apapun padanya, aku tahu dia tidak akan
menjawab pertanyaanku.

Setelah sampai di atap rumah, aku melihat sebuah helikopter terparkir di sana.
Tentu saja aku terkejut. Sejak kapan helikopter ini datang pikirku. Mas Ricko
mengajakku menghampiri helikopter itu dan membantuku menaikinya. Di
dalam helikopter itu sudah ada seorang pilot yang siap mengantar kami ke
tempat tujuan.

“Kita mau ke mana Mas?” tanyaku semakin penasaran sekaligus takut. Ini
pertama kalinya aku naik helikopter.

“Nanti kamu juga akan tahu,” jawabnya. Selalu itu yang dia ucapkan padaku.

Setelah aku duduk, Mas Ricko memasang sabuk pengaman pada tubuhku dan
headphone pada kepalaku. Tidak lama kemudian baling-baling helikopter itu
berputar dan badan helikopterpun terangkat ke udara.

Aku takut dan jantungku berdebar-debar, tapi Mas Ricko menenangkanku


dengan memeluk tubuhku erat-erat.

Intan POV

Ketika helikopter itu mengudara, jantungku semakin berdebar tidak karuan.


Aku memejamkan mataku di pelukan Mas Ricko. Mas Ricko membelai puncak
kepalaku seraya tersenyum. Aku menatap wajah tampannya dan tatapan mata
kami bertemu.

“Lihatlah ke bawah … “ ucapnya padaku.

Aku menggelengkan kepalaku. Aku takut untuk melihat ke bawah dari


ketinggian yang tidak bisa kuhitung berapa kilometer dari tanah. Kemudian
Mas Ricko meyakinkanku dan mengatakan bahwa pemandangan di sana sangat
indah. Aku pun akhirnya penasaran dan mencoba untuk melihat keadaan di
bawah sana, dan benar saja. Aku melihat banyak lampu kerlap-kerlip yang
sangat indah di bawah sana. Ini pertama kalinya aku melihat suasana kota dari
udara. Aku tercengang dan takjub melihat betapa indahnya suasana malam ini.
Setelah 30 menit mengudara karena muter-muter dulu sebelum mendarat
supaya puas naiknya, begitu kata Mas Ricko, kini helikopter itu mendarat di
atap sebuah gedung yang sangat tinggi. Aku berpikir dan rasanya aku pernah ke
gedung ini. Akhirnya aku pun mengingatnya, ini adalah gedung hotel milik Mas
Ricko.

Mas Ricko membantuku melepas sabuk pengaman dan headphone di kepalaku.


Ia turun terlebih dahulu setelah itu ia mengulurkan tangannya padaku. Aku pun
menerima uluran tangannya dan turun dari helikopter itu pelan-pelan. Ia
menggandeng tanganku berjalan di atap gedung itu lalu masuk ke sebuah pintu
dan menuruni tangga. Aku memandangnya dengan puluhan pertanyaan di
kepalaku. Dia pun memandangku dengan tersenyum lembut.

Kami berjalan beriringan dengan aku memeluk lengannya. Hingga tibalah kami
di depan sebuah pintu dengan seorang pegawai wanita di depan pintu itu. Saat
melihat kami datang, wanita itu membukakan pintu untuk kami dengan
menundukkan kepalanya sopan. Mas Ricko mengajakku masuk ke dalam
ruangan itu. Ruangan itu gelap, aku semakin bingung. Sebenarnya ada acara
apa? Hatiku bertanya-tanya.

Ketika Mas Ricko menjentikkan jarinya, tiba-tiba lampu menyala dengan


terangnya. Aku menyipitkan mataku karena silau. Setelah aku membuka
mataku dengan benar, aku pun tertegun melihat betapa indahnya dekorasi
ruangan itu. Aku mengangkat kedua telapak tanganku untuk menutupi mulutku
yang menganga karena terkejut.

Di tengah ruangan itu ada sebuah meja makan dengan dua kursi yang saling
berhadapan. Bunga mawar bertebaran di kanan kiri sisi jalan yang akan kami
lewati, baunya harum sekali. Mas Ricko mengajakku berjalan di atas karpet
merah menghampiri meja itu dan menarik kursi itu mundur supaya aku bisa
duduk di sana. Setelah itu Mas Ricko duduk di kursi yang berada di
seberangku.

Tidak lama kemudian, seorang pelayan laki-laki masuk membawa sebuah


nampan tertutup yang bisa dibilang ukurannya tidak besar dan tidak kecil juga.
Setelah menaruh nampan itu di atas meja, pelayan itu berlalu pergi
meninggalkan kami.
“Happy birthday sayang … “ ucap Mas Ricko tiba-tiba seraya tersenyum
padaku.

Aku pun terkejut. Lagi-lagi aku menutupi mulutku yang menganga dengan
kedua telapak tanganku. Aku baru ingat kalau hari ini hari ulang tahunku.
Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk mengerjakan tugas-tugas ospekku, sehingga
aku lupa bahwa hari ini aku berulang tahun. Tiba-tiba dadaku terasa sesak dan
berat. Mataku berkaca-kaca. Aku terharu dengan kejutan yang Mas Ricko
berikan padaku. Seumur hidupku, baru kali ini ada seseorang yang merayakan
ulang tahunku, biasanya aku hanya mentraktir makan sahabat-sahabatku makan
di kantin sekolah. Orang tuaku pun tidak pernah ingat kapan aku berulang tahun
sehingga mereka tidak pernah merayakannya.

“Selamat ulang tahun yang ke 19 tahun istriku … “ ucap Mas Ricko seraya
menghampiriku dan mengecup keningku. Aku tidak bisa berkata apa-apa.
Hanya air mata yang mengalir di pipiku yang bisa mewakili perasaan bahagiaku
saat ini. Aku tersenyum menatapnya.

“Terima kasih Mas … “ ucapku dengan berlinang air mata. Ia pun berjongkok
dan mengusap air mataku dengan ibu jarinya dengan lembut.

Setelah itu Mas Ricko berdiri dan membuka penutup nampan itu, ternyata
isinya nasi tumpeng mini. Baunya sangat sedap, tiba-tiba cacing di dalam
perutku meronta-ronta minta makan.

Mas Ricko pun memberikan pisau padaku dan aku memotong tumpeng mini
itu. Aku menaruh potongan tumpeng itu pada sebuah piring yang berada di atas
meja. Setelah itu aku menyendok nasi itu dan memasukkan suapan pertama itu
ke dalam mulutku sendiri. Sedangkan Mas Ricko sudah membuka mulutnya
lebar-lebar, mungkin ia mengira aku akan menyuapinya. Aku pun tersenyum
menahan tawa. Kulihat Mas Ricko cemberut dan melirik sedih padaku. Aku
kembali menyendok nasi itu dan mengarahkannya ke mulut Mas Ricko, tapi ia
tidak mau membuka mulutnya. Karena aku sudah terlalu lapar, aku
mengarahkan sendok itu ke mulutku sendiri, tapi tiba-tiba Mas Ricko
memegang tanganku dan mengarahkan sendok itu ke arah mulutnya. Aku
tersenyum, ternyata dia hanya pura-pura ngambek padaku.

Ricko POV

Sore hari ketika pulang dari ospek, aku menyuruh Intan untuk beristirahat dan
aku memijat kakinya. Aku yakin dia sangat lelah dengan aktivitasnya selama
beberapa hari ini, ditambah ia membawa anak kami ke mana-mana di dalam
kandungannya.

“Terima kasih Mas, tapi aku tidak lelah beneran,“ ujarnya padaku.

“Tidak apa-apa. Beristirahatlah sekarang. Nanti malam aku akan mengajakmu


ke suatu tempat,” ucapku dengan misterius.

“Ke mana?” tanyanya ingin tahu.

“Rahasia. Istirahatlah. Aku ke ruang kerja dulu,” balasku lalu berdiri dan
meninggalkannya setelah mengecup keningnya.

Setelah aku keluar dari dalam kamar dan menutup pintunya, aku ke ruang
kerjaku dan menelepon hotel milikku untuk memastikan semua disiapkan
seperti yang aku minta. Aku sudah merencanakan ini beberapa hari
sebelumnya.

Setelah itu aku naik ke atap rumahku untuk memastikan bahwa helikopter yang
aku sewa juga sudah siap di sana. Sengaja aku meminta helikopter itu datang
sebelum kami pulang dari kampus, supaya istriku tidak mendengar suara
kedatangannya. Aku ingin memberikan kejutan yang istimewa dan tak
terlupakan untuknya. Ini adalah ulang tahunnya yang pertama setelah berstatus
menjadi istriku. Aku menyewa helikopter beberapa hari yang lalu untuk malam
ini karena aku sudah memprediksi bahwa setiap malam minggu pasti jalanan
akan macet. Sekalian aku ingin Intan tahu keindahan kota apabila dilihat dari
atas pada malam hari.

Aku masuk ke dalam rumah kembali ketika Susi memanggilku dan mengatakan
gaun dari butik sudah datang. Aku menyuruhnya untuk menaruh gaun itu di
atas tempat tidur ketika Intan sudah bangun. Sedangkan aku bersiap-siap dan
mandi di kamar lain.

Setelah mandi dan berganti pakaian, aku berkaca di depan cermin untuk
memastikan bahwa penampilanku malam ini sempurna. Aku ingin menjadi laki-
laki paling tampan di dunia untuk malam ini karena ini adalah momen spesial
bagi istriku.

Aku keluar kamar melangkahkan kakiku ke kamar di mana istriku berada.


Ketika aku membuka pintu, aku melihat ia sedang melihat gaun yang aku
pesan.

“Pakailah gaun itu,” ucapku padanya. Ia pun mengangguk.

Setelah itu ia membuka handuk yang melilit di tubuhnya. Aku tersenyum


melihat tubuh telanjangnya dengan perut yang membuncit. Sampai sekarang
aku masih tidak percaya bahwa yang tumbuh di dalam rahimnya adalah
benihku. Dia melihatku dan tersenyum.

Setelah siap, aku menggandeng tangannya keluar kamar. Aku mengajaknya ke


sebuah pintu untuk naik ke atap. Saat melihat ada helikopter di sana, aku tahu
dia terkejut. Aku pun mengajaknya menghampiri helikopter itu dan
mengajaknya naik.

“Kita mau ke mana Mas?” tanyanya padaku.

“Nanti kamu juga akan tahu,” jawabku.

Aku memasang sabuk pengaman di tubuhnya dan headphone di kepalanya.


Ketika helikopter ini mulai terbang, aku tahu dia takut. Aku pun memeluk
tubuhnya dengan erat supaya tenang. Dia memejamkan matanya di pelukanku.
Aku membelai puncak kepalanya dan tersenyum. Ia pun menatapku hingga
tatapan mata kami bertemu.

“Lihatlah ke bawah … “ ucapku padanya.

Ia menggelengkan kepalanya. Aku berusaha meyakinkannya dan mengatakan


bahwa pemandangan di bawah sangat indah. Ia pun akhirnya penasaran dan
melihatnya. Aku melihat ekspresi wajahnya begitu takjub dengan pemandangan
yang ada di bawah sana.

Setelah 30 menit mengudara, akhirnya helikopter ini mendarat di atap gedung


hotel milikku. Aku melepas sabuk pengaman dan headphone di kepala istriku.
Setelah itu aku turun terlebih dahulu dan mengulurkan tanganku untuk
membantunya turun.

Aku mengajaknya masuk ke sebuah pintu dan menuruni tangga. Dia


memandangku dan aku membalasnya seraya tersenyum. Tibalah kami di depan
ruangan yang aku pesan. Pegawaiku membukakan pintu untuk kami.

Aku mengajak istriku masuk ke dalam ruangan gelap itu lalu lampu menyala
setelah aku menjentikkan jariku. Dia terkejut dan tertegun melihat melihat
keindahan dekorasi ruangan itu. Aku mengajaknya berjalan di atas karpet merah
lalu menggeser kursi mundur supaya ia bisa duduk dengan nyaman. Setelah itu
aku duduk di kursi seberangnya.

Tidak lama kemudian seorang pelayan laki-laki datang membawa nasi tumpeng
mini pesananku dengan wadah tertutup dan menaruhnya di atas meja.

“Happy birthday sayang … “ ucapku sambil tersenyum setelah pelayan itu


pergi.

Tidak kusangka dia terkejut. Aku melihat matanya berkaca-kaca.

“Selamat ulang tahun yang ke 19 tahun istriku … “ ucapku seraya


menghampirinya dan mengecup keningnya.

“Terima kasih Mas … “ ucapnya seraya menangis. Aku mengusap air matanya
dengan ibu jariku.

Setelah itu aku berdiri dan membuka penutup tumpeng di hadapanku. Aku
menyerahkan pisau pada istriku supaya ia segera memotong tumpengnya.
Setelah ia menaruh potongan tumpeng itu di atas piring dan menyendoknya,
aku mengira dia akan menyuapiku. Aku pun membuka mulutku lebar-lebar, tapi
nyatanya dia memasukkan suapan pertama itu ke dalam mulutnya sendiri.

Aku pun cemberut dan meliriknya dengan sedih. Ia mengulum senyum


menahan tawa. Ia pun menyendok nasi lagi dan mengarahkannya ke mulutku,
tapi aku tidak mau membuka mulutku. Kukira dia akan membujukku, nyatanya
dia malah mau memakannya lagi. Aku pun memegang tangannya dan
mengarahkan sendok itu ke mulutku. Dia pun tersenyum padaku.

Setelah makan nasi tumpeng bersama, kini Intan dan Ricko sudah merasa
kekenyangan. Intan lemas sambil bersandar pada sandaran kursi dan mengelus
perutnya yang kekeyangan. Ricko tersenyum melihatnya. Tidak lama kemudian
Ricko bertepuk tangan tiga kali. Intan terkejut dan bangkit dari bersandarnya.

“Mas, aku sudah sangat kenyang, kamu pesan apa lagi?” gerutu Intan sudah
tidak kuat kalau disuruh makan lagi. Nasi tumpeng tadi saja Ricko memaksanya
makan sebanyak mungkin hingga kekeyangan.

Ricko hanya menatap Intan dengan tersenyum lembut. Tidak berapa lama
kemudian seorang pelayan membawa sebuah nampan tertutup. Intan
membelalakkan matanya lalu menelan ludahnya dengan susah payah. Saat ini
rasanya ia ingin menggali lubang untuk bersembunyi. Ia tidak mau dipaksa
makan lagi sama suaminya.

“Mas, aku tidak kuat makan lagi. Sebentar lagi aku akan muntah nih … “ ucap
Intan mengancam Ricko.

“Siapa yang menyuruhmu makan lagi?” tanya Ricko balik seraya tersenyum
lucu.

Setelah pelayan itu menaruh nampan di meja dan pergi, Ricko membuka
penutup nampan itu dan tampaklah sebuah kotak berwarna merah. Ricko
mengambil kotak itu dan membukanya. Tampaklah cincin berlian berkilauan
karena terkena sinar lampu ruangan itu. Intan menyipitkan matanya karena
kilauan berlian itu masuk ke retina matanya.

Ricko mengambil cincin itu lalu berlutut di samping kursi Intan. Intan memutar
tubuhnya menghadap Ricko.

“Menikahlah denganku … “ ucap Ricko sambil menyematkan cincin itu di jari


tengah Intan. Karena jari manisnya sudah terisi cincin yang dulu mereka beli di
toko emas milik Ricko. Intan mengulum senyum menahan tawa.

“Mas, kamu apa-apaan sih? Bukannya kita sudah menikah? Bahkan sekarang
aku sedang mengandung anak kita,” tutur Intan.

“Iya aku tahu, tapi dulu kita menikah karena dipaksa. Aku belum pernah
melamarmu secara resmi kan?” jawab Ricko lembut. Intan pun terharu dengan
setiap perlakuan manis Ricko padanya. Matanya pun berkaca-kaca hingga
akhirnya air mata pun lolos dari pelupuk matanya. Ia memeluk Ricko dengan
sangat erat.

“Terima kasih Mas. Aku mencintaimu … “ ucap Intan dengan terisak tangis.

“Aku juga mencintaimu … “ balas Ricko seraya membalas pelukan Intan.

Setelah itu Ricko mengajak Intan keluar dari ruangan itu dan masuk ke dalam
lift. Setelah turun beberapa lantai, pintu lift itu terbuka. Ricko keluar lift sambil
menggandeng tangan Intan. Intan pasrah diajak Ricko kemanapun. Hingga
akhirnya sampailah mereka di depan sebuah pintu kamar hotel. Intan merasa
tidak asing dengan pintu kamar itu. Ricko membuka pintu kamar itu dan
tampaklah kamar yang sangat indah. Lagi-lagi bunga mawar bertebaran di
mana-mana. baunya sangat harum menusuk hidung karena ini bunga mawar
segar. Pegawai hotel baru menebarnya beberapa menit sebelum mereka masuk
ke dalam kamar barusan. Karena Ricko mengancam mereka, apabila bunga
mawarnya layu, Ricko akan memecat pegawai yang bagian mengurus ini.

“Mas, kita tidur di sini malam ini?” tanya Intan seraya duduk di tepi tempat
tidur. Ini adalah kamar yang sama saat resepsi pernikahan mereka waktu itu.

“Iya. Anggap saja kita sedang bulan madu. Karena kamu sedang hamil, aku
tidak mau membawamu ke luar negeri,” jawab Ricko sambil melepas jasnya
dan melonggarkan dasi di lehernya.

“Tapi kita enggak bawa baju tidur Mas … “ ucap Intan merasa tidak nyaman
kalau harus tidur menggunakan gaun.

“Siapa yang menyuruhmu tidur pakai baju tidur? Aku bilang kita bulan madu,
bukan pindah tidur,” ujar Ricko seraya menghampiri Intan.

“Jadi?” tanya Intan seraya mengeryitkan dahinya.

“Ah kelamaan … “ sahut Ricko seraya melepas gaun Intan dan menerkamnya.

“Mas, sabar dong … hahaha,” ucap Intan seraya tertawa karena Ricko
menggelitikinya hingga akhirnya wik-wik pun terjadi.

Keesokan harinya

Ketika Intan membuka mata, ia melihat Ricko memakai jubah mandi dan duduk
di sofa sambil membaca koran di tangannya. Intan pun bangkit dari tidurnya
dan menutupi dadanya dengan selimut. Ricko melihatnya lalu melipat koran di
tangannya dan meletakkannya di meja. Kemudian dia menghampiri Intan dan
duduk di tepi tempat tidurnya.

“Bagaimana tidurmu, nyenyak?” tanya Ricko sambil merapikan rambut Intan


yang menutupi wajahnya. Intan mengangguk sambil cemberut.

“Kenapa?” tanya Ricko lagi karena melihat bibir Intan mengerucut.


“Tadi malam kamu sangat ganas, Mas … “ jawab Intan sambil memukul paha
Ricko.

“Auuuuwhhh!” pekik Ricko sambil mengelus-elus pahanya yang terasa panas


karena pukulan Intan.

“Maaf … habisnya kamu sangat menggemaskan, sayang … “ ucap Ricko


seraya tersenyum dan memegang kedua pipi Intan dengan kedua telapak
tangannya.

“Mas, aku lapar,” kata Intan dengan manja. Meskipun tadi malam ia makan
banyak sampai kekeyangan, pagi ini ia merasa lapar karena makanan yang ia
makan dimakan bertiga dengan kedua janin yang ada di dalam rahimnya.
Ditambah tadi malam Ricko mengerjainya tanpa ampun hingga tenaganya habis
tak tersisanya. Dalam urusan ranjang, Ricko tidak akan mau mengalah sebelum
dirinya merasa puas. (Nah lo? Para pembaca masih ada yang pengen jadi
istrinya Mas Ricko? Haha.)

“Sebentar lagi pelayan akan datang membawa makanan. Segera mandi dan
berganti pakaian,” saran Ricko. Intan pun mengangguk lalu bangkit dan
melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mandi.

Tidak lama kemudian bel pintu kamar Ricko berbunyi. Ricko segera bangkit
untuk membuka pintu kamarnya. Ketika Ricko membuka pintu lebar-lebar,
pelayan yang mengantar makanan itu tercengang dan melongo melihat Ricko
yang hanya memakai jubah mandi.

“Lihat apa kamu? Cepat bawa masuk!” Ricko menyadarkan pelayan itu dari
ketertegunannya.

“I-iya, maaf Pak,” ucap pelayan itu lalu mendorong troli di depannya masuk.

Setelah pelayan itu keluar, Ricko segera menutup dan mengunci pintunya
kembali. Ia duduk di sofa sambil menikmati kopi dan menunggu Intan keluar
dari dalam kamar mandi.

Intan keluar dari dalam kamar mandi menggunakan jubah mandi sambil
mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk lain. Ia duduk di samping
Ricko lalu mengambil gelas yang berisi susu sapi hangat.

Ketika Intan menaruh gelas kosong ke atas meja, Ricko memperhatikan bibir
Intan yang belepotan bekas susu yang diminum Intan. Ricko pun mengelap
bibir Intan dengan ibu jarinya.

“Terima kasih Mas,” ucap Intan seraya tersenyum.

Setelah itu mereka sarapan bersama dan berganti pakaian untuk bersiap-siap
pulang. Ricko mengajak Intan berjalan keluar kamar lalu masuk ke dalam lift
dan menekan tombol 1. Ketika mereka sampai di pintu lobby, mobil beserta
supirnya sudah siap di sana. Ricko menggandeng tangan Intan masuk ke dalam
mobil itu.

“Lo Mas, enggak naik helikopter lagi?” tanya Intan merasa heran karena
pulangnya naik mobil.

“Helikopternya sudah pergi sayang … aku kan nyewa, bukan beli. Hahaha,”
jawab Ricko sambil membelai pipi Intan.

“Yaaaah padahal aku pengen lihat pemandangan kota pada siang hari dari atas
juga, Mas … “ balas Intan dengan cemberut.

“Kapan-kapan saja kalau anak kita sudah lahir. Kita naik helikopter berempat
biar makin ramai,” bujuk Ricko. Intan pun mengangguk pasrah.

Supir yang ada di depan melihat kemesraan Ricko dan Intan melalui kaca spion
yang ada di depannya. Ia masih jomlo, otomatis hanya bisa menelan ludah.
Jiwanya meronta-ronta minta segera menikah, tapi apalah daya pacar pun tak
punya.

“Lihat apa kamu? Cepat jalan!” perintah Ricko saat mengetahui mata supir di
depannya meliriknya.

“Si-siap Pak!” ujar supir itu gelagapan ketahuan mengawasi dari kaca spion.

Satu bulan kemudian

Usia kandungan Intan sudah menginjak enam bulan. Perutnya semakin


membuncit karena mengandung anak kembar. Tiap kuliah Intan hampir tidak
pernah bertemu dengan Adit karena mereka beda fakultas. Sedangkan Intan
sekarang kalau kuliah diantar dan ditunggui seorang supir yang diperintahkan
Ricko. Karena Ricko harus bekerja, sehingga ia tidak bisa mengantar Intan
kuliah secara pribadi.
Sudah satu bulan Intan kuliah di kampus. Ia tidak mau kuliah privat di rumah
karena itu akan membosankan menurut Intan. Hari ini Intan berangkat kuliah
seperti biasanya. Ia turun dari mobil sambil memegangi perutnya yang besar.
Kedua sahabatnya menyambutnya. Melly membawakan tas Intan, sedangkan
Vina membantu Intan berjalan.

“Di mana Rita?” tanya Intan pada kedua sahabatnya sambil berjalan menuju
kelasnya.

“Belum datang kayaknya,” jawab Melly santai.

“Eh Ntan, enak ya kamu waktu ospek cuma tiduran doang di ruang kesehatan.
Enggak kayak kita-kita rasanya disiksa hampir mau mati,” cerocos Vina sambil
berjalan menuju kelasnya.

“Ya mau gimana lagi, aku kan sedang hamil. Aku tiduran di ruang kesehatan
juga atas perintah Kak Ali,” jawab Intan dengan santainya.

Tidak berapa lama dosen pun masuk ke dalam kelas dan pelajaran dimulai.
Intan melihat ke sekeliling, tapi Rita belum menampakkan batang hidungnya.
Sudah seminggu ini Rita jarang berinteraksi dengan Intan, Vina, dan Melly.
Intan mulai merasa ada yang tidak beres dengan Rita.

“Ke rumah Rita yuk? Apa dia sakit sampai tidak masuk kuliah?” ajak Intan
pada kedua sahabatnya.

“Ide bagus tu,” sahut Vina seraya menjentikkan jarinya.

Sesampainya di rumah Rita, ternyata Rita tidak ada di rumahnya. Tadi pagi pun
ia pamit berangkat kuliah pada tantenya, tapi ia tidak masuk kuliah. Rita tinggal
dengan tantenya karena ibunya menikah lagi setelah kematian ayahnya.

“Jadi ke mana Rita pergi?” tanya Intan sambil berpikir. Melly dan Vina hanya
mengangkat kedua bahunya.

“Ya sudah, ayo kita pulang. Nanti kita hubungi Rita,” ajak Melly. Intan dan
Vina pun setuju.
Pulang dari rumah Rita, Intan diantar supirnya ke perusahaan Ricko. Karena
berangkat bersama-sama, otomatis pulang juga harus bersama-sama. Ketika
mobil Intan sampai di depan pintu lobby perusahaan, Ricko sudah
menunggunya sejak tadi.

“Dari mana saja?” tanya Ricko saat sudah duduk di samping Intan.

“Ke rumah Rita sebentar, Mas … “ jawab Intan dengan lembut.

“Ada apa?” tanya Ricko sambil membelai puncak kepala Intan.

“Dia tidak masuk kuliah. Akhir-akhir ini juga jarang nimbrung sama kita-kita,”
tutur Intan menjelaskan.

“Lalu?” tanya Ricko.

“Dia juga tidak ada di rumahnya. Aku jadi khawatir Mas,” balas Intan.

“Rita sudah dewasa. Kamu tidak perlu mengkhawatirkannya. Pikirkan anak kita
saja. Ayo kita ke mall membeli keperluan mereka sebelum mereka lahir,” ajak
Ricko. Intan pun menyetujuinya.

Mall

Intan memilih-milih pakaian bayi di dalam baby shop dan Ricko mengikuti
dibelakangnya sambil mendorong keranjang belanja. Ketika Intan melihat baju
bayi lucu yang di gantung di kaca depan, ia seperti melihat bayangan Rita
berjalan dengan seorang cowok. Intan mengeryitkan dahinya dan bertanya-
tanya siapa cowok yang bersama Rita.

“Mas itu Rita kan?” tanya Intan seraya menarik tangan Ricko yang tengah asyik
memainkan ponselnya.

“Mas … lihat dong … jangan main ponsel mulu … “ imbuh Intan seraya
mengambil ponsel Ricko.

“Mana?” tanya Ricko mencari sosok Rita.

“Tu kan jadi ilang. Mas Ricko sih telat … “ gerutu Intan seraya cemberut.

“Maaf sayang … “ balas Ricko seraya membelai rambut Intan.


Ricko pun memutar otak, apa yang harus ia lakukan supaya istrinya tidak
marah. Sambil melihat Intan yang melipat lengan di dadanya sambil
mengerucutkan bibirnya, akhirnya Ricko pun menemukan ide.

“Ayo setelah belanja ini kita beli es krim. Mau tidak?” rayu Ricko di samping
telinga Intan. Intan pun menjilat bibirnya membayangkan betapa enaknya es
krim coklat dengan cup besar. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Intan
menganggukkan kepalanya.

Intan pun jadi semangat berbelanja kembali. Ia membeli segala keperluan bayi
yang ada di toko itu serba dua. Karena ia sudah mengetahui jenis kelamin
anaknya laki-laki dan perempuan, jadi ia membeli pakaian bayi dengan dua
model dan warna di setiap masing-masing pakaian.

Setelah membayar ke kasir, mereka pergi ke food court untuk membeli es krim
yang dijanjikan Ricko. Intan duduk di sebuah meja, sedangkan Ricko memesan
es krim dan kopi sekaligus camilan.

Intan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi karena merasa sangat


lelah. Selain karena belum istirahat, kandungan yang semakin besar dengan dua
janin membuatnya cepat lelah.

Intan melihat ke sekeliling untuk mencari sosok Ricko. Ia sudah merasa sangat
haus. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah meja yang tidak jauh dari
tempatnya duduk. Tidak salah lagi, yang ia lihat kali ini memang benar-benar
Rita. Ia hendak berdiri menghampiri Rita, tapi Ricko menghentikannya.

“Mau ke mana?” tanya Ricko seraya menaruh es krim di depan Intan.

“Aku melihat Rita, Mas … “ jawab Intan.

“Sudahlah, jangan ikut campur urusan pribadinya. Nikmati saja es krimnya,


nanti keburu meleleh jadi enggak enak,” saran Ricko sambil mencomot kentang
goreng lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Intan pun menuruti kata-kata
Ricko.

Setelah menghabiskan semua makanannya, Ricko dan Intan pun keluar dari
food court. Ketika melewati sebuah toko yang menjual pakaian dalam, Ricko
tiba-tiba menghentikan langkahnya.

“Kenapa Mas?” tanya Intan dengan heran karena Ricko tiba-tiba menghentikan
langkah kakinya.

“Ayo masuk!” ajak Ricko seraya menarik tangan Intan masuk ke dalam toko
pakaian dalam.

“Selamat datang, ada yang bisa kami bantu?” sapa pramuniaga yang berjaga di
pintu toko dengan ramah.

“Tolong bantu istri saya memilih pakaian dalam yang cocok untuknya,” kata
Ricko pada pramuniaga itu.

“Mau model yang seperti apa?” tanya pramuniaga itu lagi.

“Mmm … model renda, model jaring, yang sekali tarik langsung lepas,” jawab
Ricko to the point.

“Mas, kamu apaan sih,” gerutu Intan seraya memukul lengan Ricko. Wajahnya
tiba-tiba memerah karena menahan malu. Begitu juga pramuniaga itu
mengulum senyum karena menahan tawa.

Rumah Ricko

Malam hari sebelum tidur, Intan baru mengecek belanjaannya tadi sore. Ia
mengeluarkan pakaian bayi dan pakaian dalam yang dibelinya. Dilihatnya satu-
persatu pakaian bayi itu lalu ia belai dan ia tempelkan pada pipinya.

“Lucu banget ya Mas … “ ucap Intan pada Ricko yang tengah membaca buku
seputar kehamilan yang ia beli dulu.

“Iya sayang … “ jawab Ricko seraya tersenyum.

Setelah itu Intan mengambil beberapa pasang pakaian dalam yang dibelikan
Ricko. Ia pun menyeringai jijik melihatnya.

“Pakaian dalam apaan ini? Cuma tali doang sama kain segitiga di depan, itu pun
tidak bisa menutup semua bagian,” gerutu Intan sambil membentangkan celana
dalam.
“Apalagi bra-nya ini, dipakai pun percuma. Transparannya kebangetan,”
imbuhnya dengan meringis canggung.

“Itu model terbaru dan terkini sayang. Cobalah sekarang. Aku ingin
melihatnya,” ucap Ricko seraya menutup buku yang ia baca.

“Enggak mau!” tolak Intan.

“Kenapa?” tanya Ricko heran.

“Kan belum di cuci Mas … “ jawab Intan.

“Oh ya sudah. Sini semua belanjaanya, habis ini kutaruh di belakang biar besok
di cuci sama Susi,” ucap Ricko. Intan pun memberikannya.

Sudah tiga bulan lebih Romi bertunangan dengan Sita, tapi Romi tidak pernah
mengunjungi Sita yang tengah menimbah ilmu di luar kota. Ricko pun menegur
Romi yang cuek dengan adiknya.

“Rom, kamu enggak rindu sama Sita? Tiga bulan kalian bertunangan, tapi tidak
sekalipun kamu cuti untuk menjenguknya?” tanya Ricko tiba-tiba saat Romi
masuk ke ruangannya.

“Mana sempat aku cuti? Kamu jarang masuk kerja menemani Intan yang
sedang hamil,” jawab Romi seraya membuka berkas di tangannya dan
menyodorkannya pada Ricko.

“Ambillah cuti beberapa hari, biar aku yang handle semua kerjaan mulai hari
ini,” ucap Ricko seraya membaca dokumen yang diberikan Romi.

“Yakin nih bisa handle aku tinggal beberapa hari?” tanya Romi memastikan.

“Kamu meragukanku?” tanya Ricko seraya melirik ke arah Romi dengan tajam.

“Enggak. Ini juga perusahaan kamu, bukan perusahaanku. Ya sudah aku pamit
kalau begitu. Selamat bekerja Kakak Ipar … “ pamit Romi seraya melenggang
pergi. Ricko memandang malas ke arah Romi yang keluar dari ruangannya.
Romi pulang ke rumahnya setelah pamit pada Ricko. Ia masuk ke dalam
kamarnya dan menurunkan koper yang ada di atas almarinya. Setelah itu ia
membuka almari untuk mengambil beberapa pakaian yang akan ia bawa ke luar
kota untuk menemui Sita. Bukannya ia tidak rindu, tapi memang tidak ada
waktu. Untungnya zaman sudah modern, meskipun jarak memisahkan, tapi
masih bisa melakukan panggilan video.

Setelah mandi dan berganti pakaian, Romi keluar dari dalam kamar sambil
membawa kopernya. Mamanya yang tengah bersantai di ruang tengah melihat
Romi dan bertanya-tanya.

“Mau ke mana Rom?” tanya mamanya Romi.

“Menjenguk Sita, Ma … “ jawab Romi seraya menghampiri mamanya untuk


pamit.

“Hati-hati di jalan,” ucap mamanya. Romi mengangguk dan tersenyum.

“Assalamu’alaikum, Ma,” pamit Romi sambil mencium punggung tangan


mamanya.

“Wa’alaikum salam,” balas mamanya.

Setelah itu ia masuk ke dalam mobilnya kemudian melesat dengan semangat


untuk menemui tunangannya. Ia tidak memberi kabar terlebih dahulu karena
ingin memberikan kejutan pada Sita.

Sore hari Sita baru pulang dari kuliah siangnya. Ia masuk ke dalam apartemen
dengan malas. Setelah menutup pintunya, ia menaruh tasnya di atas tempat tidur
lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan
tubuhnya.

Lima belas menit kemudian bel pintunya berbunyi. Sita mengambil jubah
mandi yang ada di dekatnya lalu memakainya dan segera keluar dari dalam
kamar mandi.

“Siapa yang datang? Biasanya yang suka datang tiba-tiba begini Lusi,” gerutu
Sita sambil memegangi dagunya. Ia pun melangkahkan kakinya menuju pintu
tanpa berganti pakaian terlebih dahulu.

Ketika ia membuka pintu, tampaklah Romi dengan senyum lebar berdiri di


depan pintu. Sita terkejut dan membelalakkan matanya lalu segera menutup
pintunya. Ia memegangi dadanya yang berdebar-debar di balik pintu.

“Kak Romi … “ gumam Sita seraya menelan ludahnya.

Romi di depan pintu yang tadinya sudah tersenyum lebar tiba-tiba berubah
menjadi cemberut. Ia datang jauh-jauh menjenguk tunangannya malah tidak
dipersilakan masuk. Ia tadi juga terkejut saat melihat Sita membuka pintu hanya
menggunakan jubah mandi dengan rambut yang tergerai basah dengan tetesan-
tetesan air di setiap ujung rambutnya. Tiba-tiba tubuhnya terasa memanas dan
gerah.

“Sita … “ panggil Romi sambil mengetuk pintunya.

“Iya Kak!” jawab Sita tersentak kaget.

“Buka pintunya!” ujar Romi.

Sita pun membuka pintu pelan-pelan dengan malu-malu. Setelah itu Romi
segera masuk seraya menarik kopernya.

“Ada apa Kak Romi kemari?” tanya Sita sambil menutupi dadanya dengan
tangan. Ia merasa malu karena belum memakai pakaian. Romi menatapnya
sambil menelan ludah dengan susah payah.

“Aku menjengukmu, mumpung aku dapat izin cuti. Apa kamu tidak senang aku
datang?” tanya Romi setelah duduk di sofa.

“Bukan begitu Kak, aku hanya terkejut. Tunggu sebentar aku akan berganti
pakaian dulu,” ucap Sita lalu berlari kecil masuk ke dalam kamarnya. Romi
melihat punggung Sita yang masuk ke dalam kamarnya sebelum Sita menutup
pintunya.

Sita keluar dari dalam kamarnya setelah berganti pakaian. Ia melihat Romi yang
tengah duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Tiba-tiba matanya tertuju
pada koper yang tidak jauh dari Romi. Sita mengernyitkan dahinya merasa
heran.

“Ini koper Kak Romi?” tanya Sita sambil menunjuk koper Romi.

“Iya, kenapa?” tanya Romi sambil menatap Sita.


“Kak Romi mau menginap di sini?” tanya Sita lagi.

“Iya. Apa kamu tega aku pulang pergi dalam satu hari? Tempat ini jauh lo Sita
… “ jawab Romi seraya menaruh ponselnya di atas meja.

“Iya aku tahu, tapi apartemen ini hanya punya satu kamar Kak … “ tutur Sita
menjelaskan.

“Lalu kenapa?” tanya Romi.

“Tidak mungkin kan kita tidur satu kamar?” balas Sita seraya menghampiri
Romi dan duduk di sampingnya.

“Sebentar lagi kita akan menikah. Apa bedanya tidur satu kamar sekarang atau
nanti?” ucap Romi seraya menyampirkan tangan kanannya pada bahu Sita. Sita
memandang tangan Romi yang nemplok di bahunya. Ia merasa merinding dan
takut.

“Masih lama Kak, dua tahun lagi,” bantah Sita.

“Terserah kamu. Sekarang aku mau mandi,” ucap Romi seraya berdiri dan
melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mandi Sita setelah mengambil
handuk dan pakaian ganti.

Setelah Romi mandi, mereka jalan-jalan keluar untuk mencari makan dengan
berjalan kaki. Karena ini area kampus dan wisata, sehingga banyak orang
berjualan makanan di sepanjang jalan itu. Sita mengajak Romi masuk ke sebuah
depot langganannya.

“Tiap hari kamu beli makan?” tanya Romi saat memasuki depot itu.

“Kadang Kak. Aku sibuk kuliah dan belajar, jadi aku tidak sempat memasak,”
jawab Sita.

Setelah mendapatkan tempat duduk, mereka memesan makanan. Dua puluh


menit kemudian makanan datang. Sita dan Romi pun makan dalam diam. Tidak
ada yang berbicara di antara mereka. Hubungan mereka memang masih belum
terlalu akrab. Apalagi pertunangan mereka tiga bulan yang lalu juga karena
terpaksa gara-gara Pak Bambang yang tiba-tiba menyuruh Romi untuk
melamar Sita.
Setelah makan, mereka segera kembali ke apartemen. Kini mereka sedang
menonton televisi bersama. Sita duduk sambil membaca buku kuliahnya,
sedangkan Romi memencet-mencet remote control televisi mencari acara yang
menarik.

Tidak lama kemudian bel pintu berbunyi. Sita segera bangkit untuk membuka
pintu dan melihat siapa yang datang. Saat ia membuka pintu, seperti biasa Lusi
teman Sita langsung menyerobot masuk. Tadinya Sita mau bilang kalau jangan
masuk dulu, tapi Lusi sudah terlanjur masuk dan melihat Romi.

“Wah ada abang ganteng nih. Ini kakak kamu ya Sita?” tanya Lusi sambil
duduk dan memangku bantal tidak jauh dari Romi. Romi menoleh pada Lusi
dan tersenyum sopan.

“Kenalin saya Lusi. Teman sekaligus tetangga Sita. Unit aku tepat di sebelah
kamar Sita. Mampir dong Bang … “ ucap Lusi seraya menjabat tangan Romi.
Romi pun meringis canggung tanpa berkata apa-apa.

“Lusi … dia … “ Belum sempat Sita melanjutkan kata-katanya, Lusi sudah


memotongnya. Padahal dia mau mengatakan kalau Romi adalah tunangannya.

“Ssssttt. Udah enggak usah dijelasin, ini pasti Kak Ricko kan? Yang pernah
kamu ceritain?” tebak Lusi meskipun salah dengan menaruh jari telunjuk di
depan bibirnya.

Sita menepuk dahinya dengan telapak tangan. Namun, setelah dipikir-pikir


akhirnya Sita pasrah. Lebih baik Lusi mengira Romi kakaknya dari pada
tunangannya. Karena Romi akan menginap di apartemennya malam ini, jadi ia
tidak mengatakan yang sebenarnya supaya Lusi tidak berpikir yang tidak-tidak.

Ricko dan Intan sedang bersiap-siap tidur di atas tempat tidur. Tiba-tiba Ricko
teringat Romi yang mengunjungi Sita. Ia pun panik lalu mengambil ponselnya
yang ada di atas nakas.

“Ada apa Mas?” tanya Intan seraya memandang Ricko dengan heran.

“Romi mengunjungi Sita hari ini,” jawab Ricko sambil mengotak-atik layar
ponselnya.
“Lalu kenapa?” tanya Intan dengan santainya dan membelai perutnya yang
besar.

“Nanti Romi ngapa-ngapain Sita kan bahaya. Tahu sendiri laki-laki gimana
nafsunya?” balas Ricko lalu menempelkan benda pipih bernama ponsel itu di
telinganya. Intan melirik malas pada Ricko. Dia sendiri juga korban dari
keganasan nafsu manusia bernama laki-laki.

“Loh, kok enggak aktif sih?” gumam Ricko saat mengetahui nomor ponsel
Romi tidak aktif. Dia makin panik tidak karuan. Ia pun mencoba menghubungi
Sita.

“Sita ini juga ke mana coba? Di telepon enggak diangkat-angkat dari tadi,”
gerutu Ricko saat teleponnya enggak diangkat-angkat sama Sita.

“Sabar Mas … mungkin mereka sedang makan di luar,” ucap Intan


menenangkan Ricko seraya membelai bahu suaminya.

“Makan? Makan apa jam segini?” kata Ricko seraya melihat jam dinding yang
menunjukkan pukul 23.00.

“Mas Ricko enggak percaya sama Mas Romi?” tanya Intan seraya menatap
Ricko.

“Enggak,” jawab Ricko singkat sambil tetap berusaha menghubungi Sita.

“Kenapa enggak percaya? Dia kan temannya Mas Ricko. Enggak mungkin kali
ngapa-ngapain Sita,” sahut Intan.

“Mereka tinggal bersama dan aku tahu apartemen Sita cuma punya satu kamar,”
tutur Ricko.

“Positive Thingking dong Mas … “ ucap Intan sambil membelai punggung


Ricko.

“Enggak bisa, sayang … “ balas Ricko lalu bangkit dari tempat tidur dan
berjalan ke balkon kamarnya.

Ricko takut Romi menjamah Sita karena ia yakin yang namanya nafsu tidak
bisa ditahan. Ia teringat kejadian saat ia bercinta dengan Intan untuk pertama
kalinya. Saat itu belum ada cinta di antara mereka, tapi hal itu bisa terjadi.
Untungnya mereka sudah menikah.

Sementara itu di apartemen Sita, Romi tidak tahu kalau baterai ponselnya habis.
Sehingga ia tidak tahu kalau ponselnya sudah mati karena kehabisan baterai.
Kini ia tidur di sofa ruang tamu sambil menonton televisi setelah kepulangan
Lusi yang dari tadi nemplok padanya kayak ulat pohon.

Sedangkan Sita sudah tidur di dalam kamarnya karena lelah seharian belum
istirahat. Ponselnya ia silent sejak kuliah tadi hingga saat ini masih berada di
dalam tas kuliahnya.

Ricko di rumahnya tidak bisa tidur memikirkan apa yang dilakukan Romi dan
Sita hingga mereka berdua tidak menerima panggilannya. Ia keluar dari dalam
kamarnya dan menutup pintunya dengan pelan-pelan takut membangunkan
Intan yang sudah tidur dengan nyenyaknya.

Ia menuruni tangga lalu ke dapur untuk membuat kopi sendiri. Ia stres sendiri
memikirkan apa yang dilakukan Romi dan Sita sekarang. Padahal yang
dipikirkan malah sudah tidur dengan nyenyaknya.

Setelah menghabiskan kopinya, Ricko kembali ke dalam kamarnya lalu naik ke


atas tempat tidur dan memeluk Intan. Ia menaruh tangannya di perut Intan yang
besar sambil membelainya. Tendangan super dari dalam perut pun ia rasakan
pada tangannya. Ricko tersenyum ketika merasakan anaknya bergerak. ia pun
ingin merasakannya lagi, jadi ia membelai perut Intan di beberapa titik yang
bisa merangsang pergerakan anaknya. Hingga ia lupa dengan Romi dan Sita
yang belum ada kabarnya.

Intan jadi terbangun gara-gara beberapa kali tendangan dari anak yang ada di
dalam perutnya. Ricko yang melihat Intan terbangun segera memeluknya.

“Maaf sudah membangunkanmu,” bisik Ricko di telinga Intan. Intan pun


menutup matanya kembali melanjutkan tidurnya yang terganggu.

Pagi hari Intan membuka matanya. Seperti biasa Ricko selalu nemplok
memeluk tubuhnya. Intan pun mengangkat tangan Ricko yang tengah berada di
atas perutnya lalu memindahkannya. Ia bangkit dan menurunkan kakinya ke
lantai hendak pergi ke kamar mandi. Tiba-tiba ia merasa ada yang aneh. Ia
melihat ke bawah dan tampaklah kakinya yang bengkak.

“Mas … “ panggil Intan dengan lirih dan suara serak khas bangun tidur.
“Mas!” seru Intan seraya menggoyang tubuh Ricko.

Ricko pun mengerutkan dahinya dan berusaha membuka matanya yang masih
mengantuk karena semalam tidak bisa tidur dengan nyenyak memikirkan Romi
dan Sita.

“Ada apa sayang?” tanya Ricko seraya menggeser tubuhnya mendekati Intan
dan membelai punggungnya.

“Lihat kakiku!” ucap Intan seraya menunjuk kakinya yang berada di lantai.
Ricko pun bangkit lalu melihat kaki Intan yang berada di lantai.

“Wah kamu makin gendut kayaknya ya, kaki kamu sampai gemuk kayak gitu
… “ ujar Ricko tanpa dosa sambil membelai pipi Intan dengan kedua telapak
tangannya. Ia tidak tahu bahwa wanita sangat sensitif kalau dikatai gendut,
gemuk, atau apapun itu yang menyangkut dengan berat badan. Intan mendengus
kesal dengan cemberut.

“Tega kamu Mas bilang aku gendut?” protes Intan tidak terima. Ricko pun
tertawa melihat istrinya yang sudah marah-marah di pagi hari.

“Lalu ada apa?” tanya Ricko seraya tersenyum.

“Kakiku bengkak Mas, bengkak, bukan gendut,” jelas Intan mempertegas.

“Apa itu membuatmu tidak nyaman?” tanya Ricko lagi seraya turun dari tempat
tidur lalu berjongkok dan menyentuh kaki Intan yang membengkak.

“Hmm,” gumam Intan.

Ricko pun berdiri lalu mengambil ponselnya yang ada di atas nakas lalu
menelepon Dokter Amanda.

“Cepat datang ke rumah sekarang secepatnya!” ucap Ricko lalu memutuskan


sambungan teleponnya sebelum Dokter Amanda sempat mengeluarkan
suaranya.

Dokter Amanda mendengus kesal. Pagi-pagi sudah mendapat telepon yang


membangunkan tidur nyenyaknya.

“Ada apa Ma?” tanya suami Dokter Amanda.

“Si Ricko minta aku ke rumahnya sekarang,” gerutu Dokter Amanda. Meskipun
mereka teman sejak SMA, tapi Ricko selalu semena-mena padanya.

“Biar kuantar Ma, ini masih pukul lima pagi,” ucap suami Dokter Amanda.
Dokter Amanda pun setuju.

Dokter Amanda dan suaminya berangkat ke rumah Ricko masih menggunakan


baju tidur tanpa menggantinya. Kalau sampai ia datang lebih dari 20 menit,
Ricko pasti marah-marah seperti yang sudah-sudah. Karena itu Dokter Amanda
tidak pernah telat kalau Ricko memanggilnya.

Sementara itu Ricko membopong Intan yang kesulitan berjalan ke kamar


mandi. Ia tidak menggedong Intan karena berat badan Intan memang naik
drastis. Ricko bukanlah superman yang bisa segalanya. Dulu oke-oke saja ia
menggendong Intan ke mana saja, tapi sekarang kalau ia menggendong Intan
sama saja menggendong tiga orang sekaligus.

Setelah membaringkan Intan di atas tempat tidur, Ricko memijat kaki Intan
yang selonjoran sambil menunggu Dokter Amanda datang.

“Mas, aku mau minum,” ucap Intan karena merasa tenggorokannya sangat
kering.

“Sebentar, aku ambilkan,” balas Ricko lalu keluar kamar dan pergi ke dapur. Di
dapur Susi dan Bi Ani sudah bangun untuk memasak dan membersihkan rumah.

“Sebentar lagi ada Dokter Amanda datang. Tolong bukakan pintu untuknya,”
ujar Ricko pada Bi Ani dan Susi.

“Iya, Pak,” jawab Susi dan Bi Ani hampir bersamaan.

Setelah itu Ricko menaiki anak tangga untuk kembali ke kamarnya dengan
membawa segelas air putih di tangannya.

“Sayang, sudah sampai,” ucap suami Dokter Amanda seraya membelai pipi
Dokter Amanda yang tengah tertidur ketika sudah sampai di depan rumah
Ricko.
Dokter Amanda pun membuka matanya lalu menutup mulutnya yang tengah
menguap lebar.

“Mau ikut masuk?” tawar Dokter Amanda.

“Tidak, aku tunggu di sini saja,” jawab suami Dokter Amanda seraya
tersenyum.

Dokter Amanda pun masuk ke halaman rumah Ricko dengan langkah gontai
karena masih mengantuk. Setelah memencet bel dan dibukakan pintunya oleh
Susi, Dokter Amanda masuk dan segera menuju kamar Ricko di lantai atas.

Dokter Amanda memeriksa kaki Intan dan mengecek tekanan darahnya. Dari
melihat kaki Intan yang bengkak, Dokter Amanda sudah bisa memprediksi
kalau tekanan darah Intan di atas normal, karena itu kakinya membengkak.

“Bagaimana?” tanya Ricko saat melihat Dokter Amanda selesai memeriksa


Intan.

“Tekanan darahnya tinggi Rick. Jadi perbanyak istirahat, kurangi garam, ketika
tidur usahakan posisi kaki lebih tinggi dari kepala, jangan sering-sering
menggantung kaki,” saran Dokter Amanda.

“Ada lagi?” tanya Ricko.

“Lakukan saja itu dulu, minggu depan aku ke sini lagi untuk memeriksanya,”
balas Dokter Amanda seraya membereskan peralatan medisnya.

“Okey. Terima kasih. Mau sarapan dulu?” tawar Ricko seraya menaikkan
sebelah alisnya.

“Enggak usah Rick, suamiku menunggu di luar. Aku pulang dulu,” pamit
Dokter Amanda lalu keluar dari kamar Ricko.

“Okey. Sekali lagi terima kasih, Manda,” ucap Ricko seraya tersenyum sebelum
Dokter Amanda hilang dari pandangannya.

Ricko menghampiri Intan yang tengah berbaring di atas tempat tidur.


“Tidak usah kuliah lagi. Cuti saja sampai melahirkan,” ujar Ricko sambil
membelai puncak kepala Intan.

“Iya,” jawab Intan pasrah. Karena dia memang sadar sudah merasa kesulitan
untuk berjalan.

Ricko mengambil ponselnya lalu mencoba menghubungi Romi kembali. Kali


ini tersambung dan Romi menerimanya.

“Ada apa?” tanya Romi dengan santainya.

“Cepat kembali. Urus perusahaan!” jawab Ricko singkat.

“APA?! Yang benar saja Rick? Aku baru sampai kemarin sore dan istirahat
sejenak. Sekarang sudah kamu suruh kembali sepagi ini. Tega banget ah!” balas
Romi kecewa. Ia merasa sangat lelah. Perjalanan ke tempat Sita sangat jauh dan
ia hanya numpang istirahat malam saja.

“Istriku sakit, aku tidak bisa meninggalkannya,” ucap Ricko.

“Baiklah, tapi aku tidak janji bisa sampai pagi ini,” balas Romi.

“Okey,” ujar Ricko lalu memutuskan sambungan teleponnya.

“Mas Ricko kerja saja, aku enggak apa-apa,” ucap Intan setelah mendengar
percakapan Ricko dengan Romi.

“Aku bisa kerja dari rumah sayang,” balas Ricko sambil membelai pipi Intan
dan tersenyum.

Setelah itu Ricko pergi ke dapur dan meminta Susi dan Bi Ani membawa
sarapan ke atas. Kemudian meminta mereka memindahkan semua barang yang
diperlukan Intan ke kamar bawah. Karena mulai hari ini Ricko ingin Intan tidur
di kamar bawah supaya tidak naik dan turun tangga. Menurut Ricko itu sangat
melelahkan.

Sementara itu di apartemen Sita, Romi segera mengemasi barangnya setelah


mendapat telepon dari Ricko.

“Sial! Berasa dikerjain rasanya,” gumam Romi sambil memasukkan barang-


barangnya ke dalam koper.
“Ada apa Kak?” tanya Sita yang menghampiri Romi sambil membawa susu dan
roti dari dapur untuk sarapan bersama Romi.

“Aku harus kembali sekarang. Intan sakit,” balas Romi.

“Oh begitu. Ya sudah sarapan dulu kalau begitu,” ucap Sita dengan santai
sambil menyeruput susu hangat di tangannya.

“Kamu enggak sedih?” tanya Romi sambil menatap Sita.

“Aku sudah terbiasa sendiri … “ balas Sita seraya tersenyum menatap Romi.

Romi pun menghela napas lalu mendegus kasar mendengar jawaban Sita yang
tidak keberatan ia pergi.

Romi sampai di perusahaan pukul 13.15. Ia berangkat dari apartemen Sita pukul
setengah tujuh pagi. Setelah itu pulang sebentar untuk menaruh kopernya dan
berganti pakaian.

“Loh Rom katanya cuti?” tanya Lia yang melihat Romi hendak masuk ke dalam
ruangan Ricko.

“Enggak jadi,” jawab Romi sewot karena kesal.

Romi merasa sangat lelah karena habis menempuh perjalanan kurang lebih 5
jam. Ia pun menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang ia duduki
dan menghembuskan napas dengan kasar.

“Nasib bawahan kakak ipar gini amat ya,” gumam Romi.

Sementara itu di rumah Ricko, Ricko sedang menemani Intan bermalas-malasan


di kamar baru mereka yang berada di lantai bawah. Tepatnya kamar yang dulu
pertama kali Intan tempati saat pertama kali menjadi istri Ricko.

Intan memberitahu teman-temannya kalau ia akan cuti sampai setelah


melahirkan di grup whatsapp. Tentu saja respon Melly dan Vina merasa sedih,
tapi tidak dengan Rita. Teman Intan yang satu itu tidak ada respon. Kini Rita
telah berubah tidak seperti dulu.
Sore hari setelah pulang kuliah, Vina dan Melly datang ke rumah Intan. Begitu
juga dengan Romi yang membawakan berkas untuk Ricko. Romi dan Ricko
masuk ke dalam ruang kerja di lantai atas, sedangkan Melly dan Vina di ruang
tengah bersama Intan sambil menonton televisi.

“Rita ke mana?” tanya Intan pada kedua sahabatnya.

“Aku juga tidak tahu. Setelah kelas berakhir, dia selalu menghilang,” balas
Melly sambil makan kacang yang ada di atas meja.

“Aku pernah melihatnya di mall sedang jalan sama laki-laki, tapi aku enggak
tahu siapa laki-laki itu,” sahut Intan menceritakan yang ia lihat di mall waktu
itu..

“Oh jadi dia sekarang sudah punya pacar? Pantesan enggak pernah gabung
sama kita-kita lagi,” celetuk Vina sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Sudahlah, biarin. Yang penting dia bahagia, kita juga ikut bahagia,” balas
Intan seraya tersenyum.

Malam hari sebelum tidur, Dina mengirim pesan pada Lia yang ia kira selama
ini adalah Ricko. Ia ingat kata-kata Intan di kampus waktu itu, mungkin Ricko
adalah jodohnya. Karena itu ia memberanikan diri mengajak Lia bertemu di
sebuah café pada hari Minggu. Lia pun menyetujuinya karena memang sudah
lama ia tidak bertemu dengan Dina.

Hari Minggu

Dina bercermin di depan kaca dengan perasaan gugup. Berkali-kali ia berputar-


putar di depan cermin takut kalau penampilannya ada yang kurang.

“Kakak mau ke mana?” tanya Adit yang kebetulan lewat di depan kamar Dina
yang pintunya terbuka lebar.

“Mau tahu aja sih,” sahut Dina cuek.

“Mau ketemu gebetan nih kayaknya,” tebak Adit sambil melipat lengan di
dadanya.

Dina tidak menjawabnya lalu ke luar dari dalam kamarnya melewati Adit yang
berada di ambang pintu kamarnya. Adit hanya geleng-geleng kepala melihat
kelakuan kakaknya yang centil.

Sesampainya Dina di café, ia duduk di sebuah meja sambil menunggu


kedatangan Lia dengan gugup. Beberapa kali ia berkaca pada layar ponselnya
untuk memastikan kalau penampilannya tidak berantakan.

Tidak lama kemudian ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk dari Lia yang
sudah berada di tempat parkir. Jantung Dina berdebar-debar rasanya.

Lia : Kamu di mana? aku sudah sampai.

Dina membalas pesan Lia dengan jantung berdebar-debar. Tangannya pun


berkeringat dan gemetar.

Dina : Aku sudah menunggumu di dalam. Di meja nomor 13.

Lia : Okey, aku akan segera ke sana, tapi aku mau ke toilet dulu sebentar.

Setelah Lia keluar dari dalam kamar mandi, ia segera menuju ke meja nomor 13
seperti petunjuk yang diberikan Dina. Saat ia sudah sampai di dekat meja
nomor 13, ia mengeryitkan dahinya saat melihat postur tubuh Dina dari
belakang. Dina di depannya bukanlah Dina temannya sendiri, melainkan orang
lain. Ia pun segera mengeluarkan ponselnya lalu menelepon Dina yang
mengiriminya pesan selama ini. Lia melihat orang di meja nomor 13 itu
menerima panggilan telepon dengan semangat.

“Hallo … “ sapa Dina dengan suara yang dibuat selembut mungkin saat melihat
nama Ricko di layar ponselnya.

“kamu Dina?” tanya Lia sembari mengeryitkan dahinya. Begitu juga dengan
Dina ia merasa heran saat mendengar suara Lia.

“Iya saya Dina,” jawab Dina dengan gugup.

Siapa ini? Apa istrinya Kak Ricko ya? Batin Dina.


Lia pun memutuskan sambungan teleponnya lalu menghampiri meja nomor 13.

“Kamu Dina?” tanya Lia lagi seraya duduk di depan Dina. Dina terkejut saat
Lia tiba-tiba duduk di depannya dan menyapanya.

“I-iya,” jawab Dina sembari menatap Lia dengan gugup.

“Kamu dapat nomor ponsel saya dari mana?” tanya Lia. Dina mengernyitkan
dahinya tidak mengerti.

“Kamu kan yang mengajak saya ketemuan hari ini?” tanya Lia lagi.

“Loh? Yang saya ajak ketemuan Kak Ricko, tapi kenapa yang datang kamu?”
tanya Dina semakin bingung.

“Hah? Pak Ricko?” tanya Lia terkejut.

“Jadi kamu dapat nomor ponsel saya dari Pak Ricko?” imbuh Lia.

“Sebentar, sebenarnya kamu ini siapanya Kak Ricko?” tanya Dina meminta
penjelasan.

“Saya Lia. Sekretarisnya Pak Ricko,” jawab Lia santai.

“Lalu Kak Rickonya mana? Kok kamu yang datang?” tanya Dina kecewa.

“Pak Ricko ya di rumahnya lah,” jawab Lia lalu melambaikan tangannya


memanggil pelayan hendak memesan minuman.

“Kenapa dia tidak datang?” tanya Dina lagi ingin tahu.

“Begini ya Dik. Aku tanya dulu, kamu dapat nomorku dari Pak Ricko?” tanya
Lia. Dina mengangguk.

“Pak Ricko tidak pernah memberikan nomor ponsel pribadinya pada siapapun.
Bahkan pada klien bisnisnya sekalipun. Beliau tidak mau kehidupan pribadinya
terganggu. Jadi ketika ada yang meminta nomor ponselnya, beliau akan
memberikan nomor saya sebagai sekretarisnya,” tutur Lia menjelaskan.

“Oh begitu … “ sahut Dina kecewa lalu menghembuskan napas melalui


hidungnya dengan kasar.

“Jadi yang selama ini berkirim pesan sama saya Mbak Lia?” tanya Dina lagi
untuk memperjelas.

“Iya,” balas Lia singkat.

“Kenapa enggak bilang?” tanya Dina kecewa.

“Aku juga enggak tahu kalau kamu Dina yang lain. Aku kira kamu Dina
temanku semasa SMA dulu,” jawab Lia dengan entengnya.

Dina pun cemberut. Ia merasa sia-sia dandan cantik dari tadi, tapi yang ia temui
bukan Ricko yang ia harapkan. Ia sudah besar kepala semenjak beberapa bulan
yang lalu waktu bertemu dengan Ricko untuk yang pertama kalinya. Apalagi
setiap ia mengirim pesan, Lia yang ia anggap Ricko selalu membalas pesannya.
Hatinya selalu berbunga bunga saat melihat balasan pesan dari Lia. Meskipun
tidak ada kata romantis di antara mereka, tapi Dina sudah sangat senang bukan
kepalang.

“Boleh saya minta nomor ponselnya Kak Ricko?” tanya Dina pada Lia.

“Maaf, tidak bisa. Nanti saya dipecat kalau sampai nomor ponsel Pak Ricko
menyebar,” tolak Lia dengan sopan.

Dina pun semakin cemberut karena laki-laki yang ia harapkan menjadi


jodohnya ternyata susah untuk digenggam.

Setelah bertemu dengan Lia di café tadi, Dina pulang dengan wajah tidak
bahagia. Berbeda dengan ekspresi saat dia berangkat tadi. Adit yang sedang
mengelap motornya di garasi tentu saja melihat ekspresi kakaknya itu saat Dina
memasukkan motornya ke dalam garasi.

“Kenapa cemberut begitu? Gagal ya?” ledek Adit sambil nyengir. Dina melihat
Adit sebentar lalu mendengus kesal dan masuk ke dalam rumah. Adit tertawa
puas melihat kakaknya yang marah-marah tidak jelas.

Setelah masuk ke dalam kamarnya, Dina menaruh tasnya di atas meja lalu
merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan memejamkan matanya. Terlintas
kenangan saat pertama kali ia bertemu dengan Ricko di bandara waktu itu.
Ricko menerima kopi pemberiannya dan dengan mudahnya memberikan nomor
ponsel yang ternyata milik
sekretarisnya. Kini Dina pun merasa malu dan menutupi wajahnya dengan
kedua telapak tangannya.

Kemudian Dina bangkit dan mengambil ponselnya yang ada di dalam tasnya. Ia
mengirim pesan pada Intan karena sudah lama tidak bertemu semenjak ospek
waktu itu.

Dina : Hai apa kabar?

Sementara itu Intan di rumahnya sedang rebahan di atas tempat tidur dengan
bersandar di dada Ricko dan Ricko membelai perut besarnya. Ricko senang
sekali menggoda anaknya yang masih ada di dalam perut Intan. Dengan
membelai perut Intan terus-terusan, kedua anaknya akan memberikan respon
tendangan. Ricko sangat senang saat anaknya merespon. Ia pun melakukannya
berkali-kali.

“Sudah dong, Mas … sakit … “ ucap Intan sambil memegangi perutnya yang
ditendang anaknya berkali-kali.
“Sekali lagi, Sayang … “ balas Ricko lalu melanjutkan aksinya menjaili
anaknya yang masih ada di dalam kandungan Intan.

Tiba-tiba ponsel Intan berdering menandakan ada pesan masuk. Ketika Intan
hendak mengambil ponselnya, Ricko melarangnya.

“Nanti saja. Ini sudah waktunya makan siang. Kita makan siang dulu,” ajak
Ricko lalu bangkit dan membantu Intan bangun dari tempat tidur.

Ricko memapah Intan berjalan keluar kamar menuju meja makan. Di sana
makan siang sudah terhidang beserta minumannya. Karena sedang libur, Ricko
ingin memanjakan Intan seharian. Ketika makan siang, Ricko menyuapi Intan
tanpa membiarkan Intan memegang sendok sekalipun. Ricko menyuapi Intan
dengan banyak sayuran dan ikan. Ricko juga sudah berpesan pada Bi Ani dan
Susi untuk mengurangi garam pada makanan yang mereka masak. Ricko rela
makan makanan yang sama dengan Intan, meskipun tidak sedap ia akan tetap
memakannya. Ia akan sama merasakan apa yang Intan rasakan.

Setelah makan, Intan kembali ke dalam kamarnya untuk mengecek ponselnya.


Ia pun membuka pesan yang masuk tadi dan membacanya yang ternyata dari
Dina. Tidak lama kemudian ia membalas pesan itu. Sementara Ricko masuk ke
dalam ruang kerjanya untuk mempersiapkan materi meeting besok.

Intan : Alhamdulillah baik, Kak.

Dina yang kebetulan masih memegang ponselnya sambil berselancar di


instagram artis Korea, segera membuka pesan dari Intan dan meneleponnya.

“Hallo … “ sapa Intan ketika sudah menerima sambungan telepon dari Dina.

“Hallo juga, lama tidak berjumpa,” balas Dina seraya tersenyum.

“Iya Kak. Terakhir waktu ospek ya?” sahut Intan.


“Iya. Besok ketemu yuk, ngobrol di kantin kampus,” ajak Dina.

“Enggak bisa Kak. Aku sekarang sudah enggak kuliah lagi karena kakiku
bengkak. Aku akan cuti sampai setelah melahirkan,” balas Intan dengan sedih.

“Oh begitu. Ya sudah, biar besok aku ke rumah kamu saja kalau begitu,” saran
Dina.

“Okey Kak, nanti biar kukirim alamatnya lewat sms ya,” ucap Intan.

“Sip,” balas Dina.

Setelah memutuskan sambungan teleponnya, Intan mengirimkan alamat


rumahnya pada Dina melalui sms.

Keesokan harinya setelah mata kuliah berakhir, Dina segera membereskan buku
kuliahnya yang berserakan di atas mejanya. Siang ini ia akan pergi ke rumah
Intan. Ia sudah tidak sabar ingin curhat tentang laki-laki yang selama ini
berkirim pesan dengannya ternyata bukan laki-laki idamannya selama ini. Rena
yang melihat Dina bersiap-siap dengan terburu-buru segera mendekati Dina.

“Mau ke mana? buru-buru amat?” tanya Rena pada Dina.

“Ke rumah Intan,” jawab Dina tanpa menoleh pada Rena.

“Oh mahasiswa baru yang kamu ceritain kemarin itu?” tanya Rena. Rena tidak
tahu kalau yang Dina ceritakan adalah Intan majikan ibunya karena nama Intan
di dunia ini tidak hanya satu orang.

“Iya,” balas Dina sambil menutup kancing tasnya.

“Kenapa kamu ke rumahnya? Bukannya dia juga kuliah hari ini?” tanya Rena
lagi.
“Ia sudah ambil cuti. Jadi aku ingin menjenguknya sekalian,” jawab Dina
sambil menatap Rena.

“Aku ikut ya? Enggak ada kerjaan nih. Bosan di rumah,” pinta Rena.

“Okey. Kita beli buah dulu ya. Enggak enak ke rumah orang enggak bawa apa-
apa,” balas Dina seraya berjalan dan Rena mengikutinya.

Kuliah kali ini Dina membawa mobil, jadi Rena ikut naik ke mobil Dina.
Sebelum ke rumah Intan, Dina membeli buah terlebih dahulu dulu di kios
pinggir jalan. Sedangkan Rena tidur di dalam mobil Dina.

Sesampainya di halaman rumah Intan, Dina memencet bel yang ada di depan
pagar. Tidak lama kemudian Susi keluar dari garasi dan melihat siapa yang
datang.

“Nyari siapa ya?” tanya Susi sambil membuka pintu gerbangnya.

“Intannya ada?” tanya Dina.

“Ada Mbak. Silakan masuk,” ucap Susi mempersilakan dan membuka pintu
gerbangnya lebar-lebar.

Dina pun segera naik ke dalam mobilnya lagi lalu melajukan mobilnya masuk
ke halaman rumah Intan. Setelah itu ia membangunkan Rena yang sedang tidur
di bangku belakang.

“Ren, bangun! Kita sudah sampai,” seru Dina pada Rena.

Rena pun membuka matanya lalu menguap dan menggeliat. Setelah itu ia
bangkit dan melihat ke sekeliling. Kemudian ia terkejut dan membelalakkan
matanya saat melihat halaman rumah Ricko.
“Aku pulang saja, Din,” ucap Rena seraya mengambil tasnya dan keluar dari
dalam mobil Dina.

“Kenapa?” tanya Dina tidak mengerti.

“Enggak apa-apa. tiba-tiba aku teringat sesuatu,” jawab Rena seraya


melangkahkan kakinya keluar dari halaman rumah Ricko.

Bi Ani pernah bilang pada Rena, jangan datang ke rumah Ricko lagi kalau tidak
ingin ibunya dipecat. Ricko sangat marah saat kejadian Rena yang
menumpahkan jus di gaun pengantin Intan di hari pernikahannya. Rena tidak
pernah menceritakan kejadian itu pada siapapun termasuk Dina. Dina juga
belum tahu kalau ibunya Rena bekerja di rumah Ricko suaminya Intan.

Dina pun mendengus lalu mengambil buah yang ada di atas kursi penumpang di
samping kemudi. Kemudian ia masuk ke dalam ruang tamu Intan yang pintunya
sudah dibuka Susi sejak tadi.

“Permisi … “ ucap Dina saat memasuki rumah Intan.

“Silakan masuk, sebentar lagi Mbak Intan keluar,” sahut Susi seraya
membawakan minuman dingin untuk Dina.

“Okey,” balas Dina lalu duduk di kursi dan menaruh buahnya di atas meja.

Tidak lama kemudian Intan keluar. Ia baru saja keluar dari dalam kamar mandi.
Karena perutnya yang semakin membuncit, sehingga ia akan sering buang air
kecil karena tekanan pada kandung kemihnya.

“Selamat datang di rumahku, Kak,” sapa Intan seraya menghampiri Dina yang
sedang duduk di sofa ruang tamunya lalu berpelukan dan saling cium pipi
kanan dan kiri.
“Perut kamu semakin besar ya … “ ucap Dina seraya membelai perut Intan
setelah kembali duduk di sofa.

“Iya kan bayi kembar. Karena itu kakiku bengkak dan suamiku melarangku
masuk kuliah lagi,” balas Intan seraya tersenyum.

“Suami kamu sayang banget ya sama kamu?” tanya Dina seraya memandang
Intan lalu mengambil minuman dingin yang ada di atas meja dan meneguknya.

“Banget lah … yang penting tidak lupa jatah juniornya tiap malam. Hahaha,”
balas Intan tanpa rasa malu.

“Uhuk … uhuk …. “ Dina tersedak minumannya ketika mendengar pernyataan


Intan yang sangat asing di telinganya. Maklum, dia masih gadis. Bahkan pacar
saja belum punya apalagi suami. Seketika pipi Dina memerah merasa malu
sendiri.

“Pelan-pelan dong, Kak minumnya … “ ucap Intan seraya menepuk-nepuk


punggung Dina.

Ini bukan karena minumannya, tapi karena ucapanmu. Gerutu Dina dalam hati.

Tidak lama kemudian Dina menceritakan pertemuannya dengan Lia kemarin


pada Intan. Intan pun mendengarkannya dengan seksama. Sialnya Dina lupa
nama Lia dan tidak menyebutkan nama Ricko, sehingga Intan tidak mengira
bahwa laki-laki yang dicertakan Dina saat ini adalah suaminya.

“Wah berarti emang belum berjodoh ya. Sabar ya, Kak,” ucap Intan seraya
membelai bahu Dina.

“Iya. Tadinya sudah berharap banget bisa ngobrol sama dia,” balas Dina dengan
cemberut.
“Sudah waktunya makan siang nih. Yuk makan bareng,” ajak Intan pada Dina.
Dina pun menerima tawaran Intan.

Intan berjalan masuk ke dalam rumah dan Dina mengikutinya. Di meja makan
Susi dan Bi Ani sedang menyiapkan makanan dan menatanya di atas meja
makan. Dina tidak tahu kalau Bi Ani ibunya Rena. Yang ia tahu ibunya Rena
bekerja menjadi pembantu dan tidak mengatakan bekerja di rumah siapa. Ricko
hari ini pergi ke perusahaan karena ada meeting yang tidak bisa ia tinggalkan.

Dina duduk di depan Intan dan mengambil makanan yang ada di depannya.
Setelah mengambil makanan, Dina menyendok makanan dan memasukkan ke
dalam mulutnya. Sedari tadi ia hanya memandangi Intan dan makanan yang ada
di atas meja. Saat mengunyah makanan di mulutnya, pandangannya mengedar
ke sekeliling rumah Intan. Ia pun memicingkan matanya saat melihat foto
pernikahan dan prewedding Intan dan Ricko yang tergantung indah di atas
televisi ruang tengah Intan. Ia merasa terkejut dan lagi-lagi tersedak.

“Uhuk-uhuk!” Dina terbatuk karena tersedak makanan yang ada di dalam


mulutnya. Ia menepuk-nepuk dadanya saking kagetnya melihat foto pernikahan
Intan. Intan pun memberikan minuman pada Dina.

“Pelan-pelan makannya Kak. Rasanya enggak enak ya? Memang sengaja


mengurangi garam supaya tekanan darahku tidak makin naik,” ucap Intan pada
Dina seraya tersenyum.

Aku tidak menyangka ternyata Ricko yang kukejar selama ini ternyata
suaminya Intan. Batin Dina sambil meminum air yang dberikan Intan.

“Terima kasih,” ucap Dina dengan tersenyum canggung setelah menaruh gelas
minumnya.
“Sayang … “ seru suara seseorang dari ruang tengah. Dina pun menoleh ke arah
sumber suara dan terlihat Ricko yang berjalan mendekat menghampiri meja
makan. Dina tercengang dan membelalakkan matanya melihat pangeran pujaan
hatinya berada di depan matanya. Jantungnya berdegup kencang seakan rasanya
mau copot.

Sesampainya Ricko di samping Intan, ia mengecup kening, pipi, dan bibir Intan
tanpa malu-malu meskipun ada Dina di depan mereka. Pipi Intan memerah
menahan malu. Sementara itu kaki dan tangan Dina gemetar dan mengeluarkan
keringat dingin melihat adegan romantis di depannya. Ia menelan ludahnya
dengan susah payah.

Alamak! Mimpi apa aku semalam? Ini rezeki apa musibah? Begitu banyak
kejutan hari ini. Rasanya aku mau pingsan detik ini juga. Batin Dina seraya
mengelus dadanya.

“Mas Ricko kok sudah pulang?” tanya Intan sambil menatap suaminya yang
kini duduk di sampingnya.

“Aku ingin makan siang bersama istriku dan si kembar. Jadi aku buru-buru
pulang setelah meeting selesai,” jawab Ricko seraya membelai perut buncit
Intan. Intan tersenyum sambil mengacak rambut Ricko yang tengah mencium
perutnya.

Intan mengambilkan makanan untuk Ricko seperti biasanya. Ricko


menunggunya dengan tersenyum. Sementara itu Dina yang melihat kemesraan
dan keharmonisan rumah tangga mereka di depan matanya merasa seperti
disambar petir di siang bolong. Tiba-tiba dadanya terasa bergemuru dan sesak
karena merasa iri dan cemburu pada mereka. Garpu di tangannya pun tiba-tiba
terjatuh.
Ricko yang tadinya tidak mengindahkan keberadaan Dina segera menoleh pada
Dina. Dina yang ditatap Ricko semakin deg-degan dan salah tingkah.
Jantungnya seakan-akan mau melompat keluar. Ia pun tersenyum canggung dan
berjongkok untuk mengambil garpu di kolong meja sampai kepalanya terbentur
bagian bawah meja. Ia merasa malu sendiri. Padahal Ricko pun tidak
mengindahkan keberadaannya bahkan ia sudah lupa kejadian di bandara waktu
itu.

“Kak Dina enggak apa-apa?” tanya Intan saat mendengar bunyi kepala Dina
yang terbentur meja.

“Enggak apa-apa, Ntan. Hehe,” jawab Dina dari kolong meja.

Dina merasa semakin malu untuk duduk kembali. Ia mengatur napasnya di


kolong meja dan mengelus-elus dadanya sendiri. Setelah merasa tenang ia
kembali duduk dan minum air putih yang ada di depannya.

“Kak Dina kenapa?” tanya Intan saat sudah menaruh piring makanan di depan
Ricko.

“Tidak apa-apa. Aku harus segera pulang,” ucap Dina seraya tersenyum paksa.

“Kenapa buru-buru? Ini masih siang loh … “ cegah Intan seraya menatap Dina.

Lama-lama di sini aku bisa pingsan di tempat melihat kemesraan kalian di


depan mataku. Batin Dina.

Setelah menghabiskan makanannya, Dina segera pamit pulang pada Intan. Intan
mengantarnya sampai di teras rumah.

“Siapa dia?” tanya Ricko saat Intan sudah kembali ke meja makan.

“Kakak tingkat yang menemaniku di ruang kesehatan waktu ospek, Mas. Dia
baik banget loh sama aku. Dia itu cerita suka sama seseorang dan berharap itu
jodoh dia, tapi ternyata dikerjain gitu katanya. Aku juga kurang paham dengan
ceritanya. Haha,” balas Intan menjelaskan. Ricko pun tersenyum seraya
mengusap puncak kepala Intan. Tanpa mereka tahu orang yang disukai Dina
adalah Ricko. Untungnya Dina tidak pernah menyebut nama Ricko saat ia
bercerita pada Intan.

Sementara itu Dina cemberut di dalam mobilnya. Ia memukul kemudi di


depannya saking malunya. Ia merasa menjadi wanita paling bodoh dan tidak
tahu malu. Ia tidak menyangka bahwa pangerannya ternyata suami dari Intan,
adik tingkat yang selama ini ia jadikan tempat curhat.

“Untung saja aku tidak pernah menyebutkan nama ‘Ricko’ ketika aku bercerita.
Bisa makin malu aku … “ ucap Dina seraya menutupi wajahnya dengan kedua
telapak tangannya. Wajahnya terasa panas dan memerah karena menahan malu.

“Okey. Kembali ke target utama kalau begitu. Kak Ali … tunggulah aku
datang,” gumam Dina seraya tersenyum dan melajukan mobilnya pulang ke
rumah.

Sesampainya di rumah, Dina segera mandi dan berganti pakaian lalu


mengambil ponselnya dan rebahan di atas tempat tidurnya. Ia mengirim pesan
pada Ali dan meminta ketemuan pada hari Minggu. Sudah lama Dina suka sama
Ali, tapi ia tidak pernah mengungkapkannya karena Ali begitu tegas dan cuek
padanya. Justru dengan sikap Ali yang seperti itu membuat semua cewek di
kampus menjadi tertantang untuk mendapatkannya. Dina sempat berpaling ke
Ricko karena ia merasa pesimis untuk mendapatkan Ali, tapi kali ini ia akan
maju tanpa mengenal lelah.

Beberapa minggu kemudian


Kini kandungan Intan sudah memasuki usia 32 minggu. Ricko semakin bahagia
dibuatnya. Ia selalu membelai perut Intan yang semakin membesar. Seperti pagi
ini, Intan mengantar Ricko sampai di teras rumah sebelum Ricko berangkat
bekerja. Intan mencium punggung tangan Ricko. Setelah itu Ricko mencium
kening, pipi, dan bibir Intan. Ia juga membelai perut Intan dan Intan tersenyum
seraya membelai rambut Ricko.

“Jangan nakal-nakal di dalam perut Mommy, ya?” ucap Ricko di dekat perut
Intan.

“Iya Papa. Kita enggak nakal kok,” balas Intan seraya tersenyum.

“Jangan berpikir yang tidak-tidak. mimpi hanyalah bunga tidur,” ujar Ricko
seraya mengacak puncak kepala Intan.

“Iya, Mas,” balas Intan dengan tersenyum.

Tadi malam Intan bermimpi Rita datang ke rumahnya dan berpamitan akan
pergi jauh. Intan bertanya ia akan pergi kemana, tapi Rita hanya tersenyum
padanya. Rita juga berpesan untuk menjaga kandungannya dengan baik dan
menjadi ibu yang baik bagi si kembar.

Setelah itu Ricko masuk ke dalam mobilnya dan menyalakan mesinnya. Intan
melambaikan tangannya saat Ricko melajukan mobilnya keluar dari pintu
gerbang. Setelah mobil Ricko sudah tidak terlihat lagi, ia masuk ke dalam
rumah dan menutup pintunya.

Di ruang tengah, Intan duduk di sofa sambil membuka galeri foto semasa
SMAnya. Ia melihat foto saat masih bersama dengan sahabat-sahabatnya dulu.
Ia merasa sangat rindu masa-masa itu. Ia ingin berkumpul lagi karena sudah
lama mereka tidak bertemu.
***

Siang hari sekitar pukul 10.00 WIB, banyak orang berpakaian hitam sedang
berkumpul dan sebagian dari mereka menangis. Di sana juga ada Melly dan
Vina yang tengah menangis memandangi mayat yang terbujur kaku di
hadapannya.

“Rita … kenapa kamu pergi secepat ini … “ ucap Vina dengan berderai air
mata membasahi pipinya. Ia masih belum percaya sahabatnya kini telah pergi
meninggalkannya.

“Tenangkan dirimu Vin,” tutur Melly seraya memeluk Vina dengan air mata
yang tidak berhenti keluar dari pelupuk matanya. Ia sendiri juga masih belum
percaya sahabatnya kini telah pergi untuk selama-lamanya.

Masih terbayang kenangan saat mereka selalu bersama semasa SMA. Makan di
kantin bersama, jalan-jalan bersama, dan bercanda bersama. Mereka masih
ingat tawa renyah Rita ketika berkumpul bersama.

“Aku harus kasih tahu Intan,” ujar Melly seraya mengeluarkan ponsel dari
tasnya. Ia mengusap air mata serta ingusnya dengan tisu. Matanya sudah sangat
merah karena menangis sedari tadi.

“Jangan … “ cegah Vina dengan menangis menatap Melly.

“Dia berhak tahu Vin … ” balas Melly lirih dan lagi-lagi bulir bening lolos dari
sudut matanya.

“Aku tahu, tapi dia sedang hamil. Aku tidak mau membuatnya bersedih,” jelas
Vina seraya menutupi bibirnya yang bergetar tidak kuat menahan tangisnya.
Melly pun memeluk Vina sekali lagi.
Tidak lama kemudian ponsel Vina berdering dan tampaklah nama Intan di layar
ponselnya. Intan berencana menyuruh mereka datang ke rumahnya karena ia
tidak bisa keluar dengan bebas lantaran perut buncitnya yang semakin berat. Ia
sudah sangat rindu dan ingin berkumpul dengan mereka bertiga.

“Apa yang harus aku katakan padanya?” tanya Vina sebelum menerima
panggilan telepon dari Intan. Ia mengusap air mata dan ingusnya dengan tisu. Ia
berusaha menetralkan suaranya agar Intan tidak curiga. Ia menatap Melly
dengan ragu-ragu sebelum menjawab telepon dari Intan. Melly memejamkan
matanya sejenak dan mengangguk tanda setuju. Setetes air mata lolos dari
pelupuk matanya.

Hallo Ntan … “ sapa Vina ketika sudah menerima telepon dari Intan.

“Main ke rumah yuk. Aku kangen kalian … “ ucap Intan dengan ceria.

Bibir Vina pun bergetar tidak kuat menahan tangisnya. Isakan tangis pun mulai
terdengar.

“Kamu kenapa Vin?” tanya Intan saat mendengar Vina menangis.

“Rita … Ntan … “ ucap Vina dengan menutup bibirnya tidak sanggup


melanjutkan kata-katanya.

“Rita kenapa?” tanya Intan semakin penasaran.

“Rita meninggal, Ntan … “ jawab Vina dengan berurai air mata. Melly pun
ikut menangis di samping Rita.

Intan pun terkejut dan tertegun mendengarnya. Ia membelalakkan matanya dan


tiba-tiba butiran bening keluar dari matanya mengalir membasahi pipinya.

“Kamu bercanda kan Vin?” tanya Intan tidak percaya.


“Enggak, Ntan. Aku harap kamu tidak syok mendengarnya,“ balas Vina dengan
suara lirih.

“Di mana Rita sekarang?” tanya Intan.

“Di rumahnya,” jawab Vina.

Intan pun segera memutuskan sambungan teleponnya lalu memesan taksi online
melalui ponselnya. Setelah itu ia masuk ke dalam kamarnya untuk berganti
pakaian bersiap-siap berangkat ke rumah Rita.

Dua puluh menit kemudian taksi yang dipesan Intan datang. Ia segera keluar
dari dalam kamarnya dan bersiap-siap pergi. Saat Intan melewati ruang tengah,
Susi melihatnya dan menyapanya.

“Mbak Intan mau ke mana?” tanya Susi saat melihat Intan memakai pakaian
serba hitam dengan kerudung yang menutupi kepalanya.

“Ke rumah teman saya,” jawab Intan dengan mata sembab.

“Sebaiknya menunggu Pak Ricko pulang, Mbak,” saran Susi.

“Enggak bisa. Saya harus pergi sekarang,” ucap Intan seraya melenggang pergi.

Susi segera mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya lalu menghubungi Ricko.
Sementara itu Ricko di perusahaannya sedang meeting dan ponselnya sedang
kehabisan baterai jadi ia mengecas ponselnya di ruangannya.

“Aduh Pak Ricko bisa marah ini kalau tahu istrinya pergi sendirian,” gumam
Susi. Ia pun mencoba menelepon Ricko berkali-kali berharap Ricko
segera menjawab teleponnya.

Tiga puluh menit kemudian Intan sampai depan rumah Rita. Ia masuk ke
halaman rumah Rita dengan langkah gontai. Ia melihat rumah itu sangat ramai
orang takziah. Tidak lama kemudian Melly dan Vina datang menghampiri saat
melihat Intan datang. Mereka bertiga berpelukan dengan belinang air mata.

“Kamu ke sini sendiri?” tanya Melly sambil mengusap air mata Intan.

“Hmm,” gumam Intan seraya mengangguk.

Mereka bertiga pun masuk ke dalam rumah Rita. Melly dan Vina membantu
Intan berjalan karena kandungannya yang semaki besar membuat Intan
kesulitan berjalan dengan tubuhnya yang mungil.

Sesampainya di ruang tamu, Intan menghampiri jenazah Rita yang ada di


depannya. Ia duduk di lantai di samping jenazah Rita. Di sana Rita terbujur
kaku dengan wajah yang pucat. Intan memeluk tubuh itu dan menangis.

“Rita … kenapa kamu pergi secepat ini?” tutur Intan sambil membelai wajah
Rita. Ia masih tidak percaya bahwa sahabatnya kini telah tiada. Ia masih ingat
betapa bahagianya persahabatan mereka. Berkumpul dan bercanda bersama
merupakan kenangan yang tidak bisa ia lupakan.

Tidak lama kemudian Intan merasakan keras dan sakit pada perutnya. Ia
memegangi perutnya seraya mengerutkan dahinya dan menggigit bibir
bawahnya menahan sakit. Vina dan Melly yang melihat ekspresi Intan segera
menghampiri dan membantu Intan berdiri untuk menjauh dan mencari tempat
duduk.

“Kamu kenapa Ntan?” tanya Melly merasa khawatir.

“Perutku sakit,” jawab Intan dengan mendesis kesakitan dan memegangi


perutnya.
“Aduh bagaimana ini? Apa mau melahirkan ya?” tanya Vina ikut panik, tapi
tidak tahu harus berbuat apa. Ia masih ingat betul kalau kandungan Intan masih
berusia delapan bulan.

Ricko baru saja keluar dari ruang meetingnya. Ia masuk ke dalam ruangannya
diikuti Lia dan Romi. Romi dan Lia duduk di kursi yang ada di depan meja
Ricko. Sementara itu Ricko melihat ponselnya yang masih dicas. Ia melihat ada
20 panggilan tidak terjawab dari Susi. Karena penasaran, ia pun menelepon Susi
balik setelah melepas casannya.

“Hallo Pak,” sapa Susi dengan gugup.

“Ada apa?” tanya Ricko langsung ke inti.

“Mbak Intan … “ jawab Susi terputus karena masih menata kata-kata yang tepat
supaya Ricko tidak marah, tapi dengan terputusnya ucapan Susi membuat
Ricko semakin penasaran dan tidak sabar.

“KENAPA DENGAN ISTRIKU?” bentak Ricko. Lia dan Romi yang ada di
depan Ricko ikut terkejut dan memegangi dadanya yang tiba-tiba berdebar-
debar. Begitu juga dengan Susi sampai-sampai ponselnya terjatuh saking
kagetnya. Susi pun segera mengambil ponselnya dan menjawab pertanyaan
Ricko.

“Mbak Intan pergi ke rumah temannya,” jawab Susi dengan napas ngos-ngosan.

“Siapa?” tanya Ricko semakin tidak sabar.

Aduh tadi lupa enggak nanya Mbak Intan mau ke rumah siapa. Mati aku. Batin
Susi.
“Enggak tahu Pak. Tadi Mbak Intan memakai pakaian serba hitam. Kayaknya
ada yang meninggal,” jawab Susi dengan ketakutan. Ricko pun segera
memutuskan sambungan teleponnya.

“Enggak berguna!” gerutu Ricko dengan mendengus kesal dan menjambak


rambutnya sendiri.

Tidak lama kemudian ponsel Romi yang bergetar. Romi menyenyapkan


ponselnya karena tadi sedang meeting, jadi hanya getaran yang ia rasakan di
sakunya. Ia mengabaikan ponselnya yang bergetar karena ini masih jam kerja
dan Ricko kini sedang marah di hadapannya.

“Rom telepon adik kamu! Pasti Intan bersamanya sekarang,” perintah Ricko
setelah berpikir sejenak.

“Okey,” jawab Romi lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya.

“Eh panjang umur ni anak. Mau ditelepon malah nelepon duluan,” gumam
Romi sambil nyengir. Ia pun segera menggeser tombol hijau pada benda pipih
itu.

“KAKAK! Lama banget sih angkat teleponnya!” gerutu Vina dengan teriak-
teriak. Romi yang mendengar teriakan Vina segera menjauhkan ponselnya dari
telinganya.

“Kak, kok diam aja sih?” tanya Vina karena tidak mendapatkan respon dari
Romi.

“Ada apa?” tanya Romi seraya menutup telinganya dengan jari telunjuknya.

“Bilang sama suaminya Intan, kalau perutnya Intan sakit,” ucap Vina.

“Kalian di mana sekarang?” tanya Romi mendadak ikutan panik.


“Di rumah Rita. Nanti aku kirim alamatnya. Segera ke sini ya Kak,” balas Vina
lalu segera memutuskan sambungan teleponnya.

“Apa katanya?” tanya Ricko saat melihat Romi sudah menaruh ponselnya di
atas meja.

“Perut Intan sakit. Mungkin mau melahirkan,” jawab Romi berasumsi.

“APA?! perutnya sakit?” tanya Ricko dengan meninggikan suaranya lalu


mengusap wajahnya dengan gusar.

“Ayo cepat kita susul mereka!” ajak Ricko seraya melenggang pergi menuju
pintu ruangannya.

“Pak, urusan … “ ucapan Lia belum selesai sudah diputus Ricko.

“Kamu yang urus!” sahut Ricko singkat tanpa menoleh ke belakang.

“Sabar ya … “ tutur Romi sambil nyengir dan menepuk bahu Lia lalu mengejar
Ricko yang sudah pergi jauh. Lia pun cemberut karena harus mengurusnya
sendirian.

Sesampainya di area parkir, Ricko segera melempar kunci mobilnya pada


Romi. Dan Romi menangkapnya.

“Aku yang nyetir?” tanya Romi.

“Iya. Siapa lagi? Supirku sudah kupecat saat Intan sudah tidak kuliah lagi,”
jawab Ricko lalu masuk ke dalam mobilnya.

Nasib jadi bawahan. Gerutu Romi dalam hati.

“Cepetan dong Rom … “ ujar Ricko saat dalam perjalanan menuju rumah Rita.
“Ini juga sudah ngebut Rick. Kamu enggak lihat apa jalanan macet begini?”
balas Romi seraya mencebikkan bibirnya. Ricko pun cemberut melihat kondisi
jalanan yang tidak berpihak padanya.

Ketika jalanan sudah mulai sepi, Romi pun menambah kecepatan laju
mobilnya. Ricko yang tengah lengah tentu saja terkejut dan segera berpegangan
pada hand grip yang ada di atas samping kepalanya.

“Pelan-pelan dong Rom! Kamu ingin kita mati muda apa?” seru Ricko pada
Romi. Romi pun mendengus kesal lalu mengurangi kecepatan mobilnya.

Bawel banget sih ini calon bapak.Gerutu Romi dalam hati.

Tidak lama kemudian sampailah mereka di depan rumah Rita. Ricko segera
turun dari mobil dan meninggalkan Romi yang baru bersiap-siap turun.

“Tu kan? Sudah dianterin malah ditinggal,” gumam Romi.

Ricko segera mencari sosok Intan ketika sudah masuk ke dalam dalam rumah
Rita. Ketika menemukan bayangan istrinya, ia pun segera menghampirinya.

“Ayo segera ke rumah sakit,” ajak Ricko seraya memegangi tangan Intan
hendak membopongnya.

“Sekarang sudah enggak sakit, Mas,” ucap Intan seraya tersenyum.

“Enggak jadi melahirkan sekarang?” tanya Ricko kecewa. Ia sudah tidak sabar
ingin melihat kedua anaknya lahir.

“Kan belum waktunya, Mas,” jawab Intan santai.

Satu jam kemudian tibalah saatnya Rita untuk dimakamkan. Intan, Vina, dan
Melly tidak ikut ke pemakaman karena kondisi Intan yang tidak stabil, jadi
Melly dan Vina menemani Intan di rumah Rita. Sedangkan Ricko dan Romi
ikut ke pemakaman menggantikan Intan dan Vina sebagai penghormatan
terakhir untuk Rita.

Selagi menunggu Ricko dan Romi pulang dari pemakaman, Intan, Melly, dan
Vina masuk ke dalam kamar Rita atas izin dari tantenya Rita. Di dalam kamar
itu tepatnya di atas meja belajar ada sebuah kotak. Melly pun mendekati kotak
itu lalu membaca tulisan di atas tutupnya

“Teruntuk sahabatku Intan, Melly, dan Vina.” Melly membaca tulisan itu
dengan keras. Vina dan Intan pun mendengarnya.

“Ayo buka, Mel!” seru Intan yang sedang duduk di tepi ranjang Rita.

Melly pun membuka kotak itu dan membawanya ke ranjang untuk dilihat
bersama-sama. Di dalam kotak itu hanya berisi secarik kertas, beberap foto saat
mereka bersama yang sengaja dikumpulkan Rita, dan sebuah compack disk.

Saat melihat foto-foto kekompakan mereka bersama, air mata Intan, Melly, dan
Vina pun tidak bisa dibendung lagi. Tiba-tiba mereka menangis bersama dan
berpelukan saling menguatkan.

Terbesit kenangan di antara mereka saat masih sekolah bersama-sama. Makan


di kantin bersama-sama dengan menu yang sama. Makanan favorit selalu bakso
dengan es jeruk. Kenakalan terparah mereka adalah saat nonton film dewasa
bersama-sama ketika main ke rumah Intan untuk pertama kalinya lantaran Vina
yang membawa film di dalam laptopnya. Semua kenangan itu tidak akan pernah
mereka lupakan.

“Rita … “ gumam Intan dengan lirih di sela tangisnya.

Setelah itu mereka mengambil secarik kertas yang ada di dalam kotak itu lalu
membuka dan membacanya.
Hai sahabat-sahabatku …
Aku sangat menyayangi kalian. Mungkin ketika kalian membaca surat ini aku
sudah tidak ada di dunia ini lagi.

Intan menutupi bibirnya yang bergetar. Ia tidak sanggup melanjutkan membaca


surat itu. begitu juga dengan Melly dan Vina. Bulir bening kembali keluar dari
pelupuk mata mereka.

Lagi-lagi Intan merasakan nyeri pada perutnya. Ia pun mendesis menahan sakit
dan kencang yang sesekali timbul pada perutnya.

“Kamu kenapa Ntan?” tanya Melly yang melihat Intan meringis menahan sakit.

“Perutku sakit lagi,” jawab Intan seraya mendesis dan memegangi perutnya.

Vina pun melipat surat dari Rita dan menyimpannya kembali ke dalam kotak.

“Ayo kita keluar saja ke teras sambil menunggu suaminya Intan datang,” ajak
Vina sambil membantu Intan bangkit dan membopongnya keluar dari dalam
kamar Rita tidak lupa membawa kotak peninggalan Rita.

Tiga puluh menit kemudian Ricko dan Romi datang. Karena pemakaman
memang tidak jauh dari rumah Rita, hanya berjarak tiga rumah saja.

“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Ricko khawatir saat melihat Intan meringis
sambil memegangi perutnya.

“Perutku sakit lagi, Mas,” jawab Intan dengan meringis kesakitan.

“Ayo ke rumah sakit,” ajak Ricko seraya menghampiri Intan.

Ricko pun segera membopong tubuh Intan masuk ke dalam mobil. Melly dan
Vina berpamitan pada tantenya Rita lalu ikut masuk ke dalam mobilnya Ricko.
Di dalam mobil Romi sudah siap duduk di kursi kemudi.
“Ayo cepat Rom!” perintah Ricko pada Romi.

“Iya. Ini tinggal gas aja kok,” jawab Romi santai.

Romi pun segera melajukan mobil menuju ke rumah sakit. Di tengah perjalanan
sakit di perut Intan tiba-tiba menghilang.

“Mas, udah enggak sakit lagi. Pulang aja yuk,” ucap Intan tiba-tiba.

“Beneran mau pulang?” tanya Ricko memastikan. Intan menganggukkan


kepalanya.

Akhirnya Ricko pun menyuruh Romi memutar balik untuk pulang ke rumah
supaya Intan bisa segera beristirahat. Sementara itu Vina dan Melly meminta
turun di tengah jalan untuk naik taksi dan meninggalkan kotak peninggalan Rita
di dalam mobil Ricko.

Sesampainya di rumah Ricko, Romi segera pamit untuk pulang karena hari
sudah sore dengan naik taksi yang berlalu lalang di jalan raya yang tidak jauh
dari perumahan rumah Ricko. Ricko pun menyetujuinya.

Setelah itu Ricko membopong tubuh Intan masuk ke dalam kamar. Kemudian ia
segera melucuti pakaian Intan lalu menggantinya dengan pakaian rumahan yang
lebih nyaman.

“Tunggu sebentar ya, aku buatin susu hangat,” ucap Ricko lalu pergi ke keluar
kamar menuju dapur. Intan mengangguk tanda setuju.

Tidak lama kemudian Ricko membawa segelas susu hangat dan menyerahkanya
pada Intan. Intan pun menerimanya dan segera meminumnya.

“Kenapa tadi tidak menghubungiku terlebih dahulu? Aku bisa mengantarmu,”


tanya Ricko sambil membelai kepala Intan dengan lembut.
“Aku panik dan buru-buru, Mas. Kantor Mas Ricko kan jauh dari rumah. Nanti
keburu Rita dimakamin dan aku enggak bisa lihat dia,” jawab Intan setelah
meminum habis susunya.

“Ya sudah, istirahatlah. Aku akan memanggil dokter Amanda untuk memeriksa
kandunganmu,” tutur Ricko lalu membaringkan tubuh Intan dan menutupinya
dengan selimut.

Tiga puluh menit kemudian Dokter Amanda datang. Ia datang sedikit terlambat
lantaran baru saja selesai membantu persalinan di rumah sakit. Sesampainya di
dalam kamar Ricko, ia segera memeriksa Intan dan membicarakan hasilnya
dengan Ricko di ruang tengah sambil nge-teh yang sudah disiapkan Susi.

“Segera tentukan tanggal operasi dua minggu lagi,” ucap Dokter Amanda lalu
menyesap teh yang sudah ada di depan bibirnya.

“Kenapa harus operasi?” tanya Ricko dengan mengerutkan dahinya.

“Istrimu masih muda, kehamilan kembar, bahkan pernah mengalami tekanan


darah tinggi. Ini resiko tinggi pada kehamilan,” jawab Dokter Amanda dengan
sabar.

“Aku akan membicarakannya dengan istriku dulu,” balas Ricko sedikit sedih. Ia
takut terjadi apa-apa dengan istri dan anaknya.

Setelah menghabiskan tehnya, Dokter Amanda pun pamit pulang.

Keesokan harinya ketika akan berangkat bekerja, Ricko menemukan kotak di


bangku penumpang belakang kemudi di dalam mobilnya. Ia pun mengambil
kotak itu dan hendak membuangnya. Namun, ia ketika hendak membuangnya
di tempat sampah depan rumahnya, ia membaca tulisan yang ada di atas tutup
kotak itu. Sehingga ia mengurungkannya dan membawa kotak itu masuk ke
dalam rumah lalu menaruhnya di atas meja ruang tengah.

Kali ini Intan tidak mengantar Ricko sampai ke teras karena Ricko
menyuruhnya untuk beristirahat di dalam kamar. Sampai saat ini Ricko masih
belum cerita apapun yang diucapkan dokter Amanda kemarin pada Intan. Ia
takut Intan akan kepikiran dan semakin stres.

Ricko berangkat bekerja dengan tidak bersemangat lantaran ia tengah


memikirkan cara bagaimana cara menyampaikan pada Intan tentang
kehamilannya yang harus dioperasi tanpa membuatnya terkejut dan sedih.

Pukul 10 pagi, Intan keluar dari dalam kamarnya karena sudah bosan hanya
berbaring dan berdiam diri terus di dalam kamar.

Saat ia melewati ruang tengah hendak pergi ke dapur, ia melihat kotak


peninggalan Rita dan menghampirinya. Ia pun mengambil ponsel di dalam
kamarnya lalu menghubungi Vina dan Melly. Untungnya siang ini mereka tidak
ada jadwal kuliah, jadi mereka bisa datang ke rumah Intan.

Pukul 12 siang, Melly dan Vina datang ke rumah Intan untuk membaca surat
dari Rita bersama-sama. Saat berkumpul seperti ini, tiba-tiba terbesit kenangan
saat mereka berkumpul bersama, tapi kali ini terasa ada yang kurang. Salah satu
personil dari mereka telah tiada. Mata mereka bertiga pun berkaca-kaca
mengenang almarhum Rita.

Vina mulai membuka kotak itu dan mengambil surat yang kemarin belum
selesai mereka baca. Mereka bertiga duduk di sofa dan saling berdempetan
untuk membaca surat itu dengan posisi Vina di tengah.

Hai sahabat-sahabatku…
Aku sangat menyayangi kalian. Mungkin ketika kalian membaca surat ini aku
sudah tidak ada di dunia ini lagi.Aku harap kalian ikhlas dan mendoakan aku
yang sudah di surga.

Supaya kalian tidak bersedih, aku sengaja mengumpulkan foto-foto lama kita
supaya kalian bisa mengenang saat saat kita masih bersama. Maafkan aku
karena telah meninggalkan kalian terlebih dahulu.

Oh iya, jangan lupa tonton video yang aku buat ya. Selamat tinggal. Aku
mencintai kalian.

Sedari tadi mata mereka sudah berkaca-kaca, kini bulir bening keluar dari
pelupuk mata mereka yang sudah tidak bisa ditahan lagi. Vina pun menutup
surat itu dan melipatnya kembali.

Setelah itu mereka mengambil beberapa foto yang ada di dalam kotak dan
melihatnya. Itu adalah foto-foto lama saat mereka masih sekolah. Seperti saat
makan di kantin, kumpul-kumpul saat istirahat, kerja kelompok, pergi ke mal,
taman kota, semua tentang kegiatan saat mereka bersama.

Intan, Melly, dan Vina memegang masing-masing foto itu dan


menangkupkannya ke dada mereka.

“Rita … kenapa kamu pergi secepat ini?” gumam Vina dengan lirih dan
berderai air mata. Ia merasa sangat kehilangan atas meninggalnya Rita.
Dibandingkan dengan Intan dan Melly, Rita lah yang paling dekat dengannya.

“Sabar ya Vin … “ ucap Melly seraya menepuk bahu Vina dan mengusap air
mata Vina dengan tisu.

Intan pun mengambil tisu di atas meja dan memberikannya pada Vina.
“Lap dulu ingusmu, sudah mau jatuh tuh,” ujar Intan menggoda sambil
menunjuk hidung Vina.

Vina yang tadinya sangat sedih kini tersenyum dan bahkan kini mereka tertawa
bersama-sama. Vina pun mengusap hidungnya dengan tisu dan mengeluarkan
ingusnya.

Sroooot! begitulah bunyinya.

Melly mengambil compact disc yang ada di dalam kotak peninggalan Rita lalu
memasukannya ke dalam video player yang ada di bawah televisi Intan. Setelah
itu mereka bertiga menonton video yang dibuat Rita. Intan, Melly, dan Vina
menanti detik-detik video itu muncul. Tidak lama kemudian muncullah sosok
Rita di televisi Intan, sahabat yang selama ini menghindar yang entah apa
penyebabnya sampai saat ini tidak ada yang tahu.

Hal pertama yang Rita lakukan di video itu adalah tersenyum. Rita membuat
video itu di dalam kamanya dengan memangku bantal dia atas pahanya.

“Hai Vina, Melly, dan Intan … “ Sapa Rita dengan tersenyum.

“Saat kalian menonton video ini, pasti kalian sudah membaca surat dariku
kan?” imbuhnya.

Intan, Melly, dan Vina menganggukkan kepalanya bersamaan.

“Maaf kalau selama ini aku menghindari kalian. Sejujurnya aku juga tidak
ingin, tapi aku ingin memberikan kalian sebuah kejutan,” ucap Rita terputus.

“Aku punya pacar,” imbuhnya seraya berbisik dan menutupi sebagian bibirnya.

Intan, Melly, dan Vina terkejut akan fakta ini. Mereka bertiga mengerutkan
dahinya tidak percaya akan pernyataan yang diungkapkan Rita.
“Kalian tahu sendiri, aku tidak pernah berpacaran. Ini pertama kalinya aku
menjalin hubungan dengan seorang laki laki. Aku baru mengenalnya setelah
masuk kuliah, tapi dia tidak kuliah melainkan sudah bekerja. Aku sangat senang
sekali ada laki-laki yang menyukai dan mencintaiku,” ucap Rita dengan
tersenyum bahagia.

“Kami sering jalan-jalan bersama. Dia membelikan apapun yang aku mau. Aku
sangat bahagia tentunya karena ada seseorang yang menyayangiku. Suatu saat
dia menciumku. Itu ciuman pertamaku. Aku baru tahu rasanya berciuman.
Hingga akhirnya … kami melakukan hubungan suami istri. Entah setan apa
yang merasuki kami. Awalnya aku menyesal karena dia telah merenggut
kegadisanku, tapi lama-lama kami menjadi terbiasa melakukannya. aku
menikmati kenikmatan yang belum pernah aku rasakan. Dia berjanji akan
menikahiku,” tutur Rita menjelaskan tentang kekasih barunya.

“Hingga akhirnya … aku hamil. Aku memberitahunya dan dia mau


menikahiku. Aku sangat bahagia. Dia izin padaku untuk pulang ke kotanya
karena di sini dia merantau untuk mencari kerja. Satu minggu aku tidak
mendengar kabarnya. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi. Aku sangat khawatir
dan perasaanku tidak enak. Hingga akhirnya aku mendengar kabar bahwa di
mengalami kecelakaan saat perjalanan menuju ke kotanya dan dia meninggal,”
ucap Rita dan mulai menangis. Rita menutupi bibirnya yang bergetar dan air
matanya pun mulai mengalir dari matanya.

“Astaga … “ ucap Intan, Vina, dan Melly bersamaan seraya menutupi bibirnya
karena terkejut.

“Aku bingung harus bagaimana. Aku hamil dan belum menikah. Ayah dari
calon anakku juga telah tiada. Tidak akan ada laki-laki yang mau menerima
kami. Masa depanku sudah hancur. Setelah beberapa hari aku berpikir, aku pun
memutuskan untuk menyusulnya ke surga,” ucap Rita di sela tangisnya.

“Maafkan aku yang tidak jujur pada kalian. Sebelum pergi aku membuat video
ini untuk berterus terang pada kalian. Semoga kalian memaafkanku. Aku
menyayangi kalian,” imbuh Rita dengan air mata mengalir dari pelupuk
matanya.

Intan, Vina, dan Melly pun menangis tersedu-sedu mendengarnya. Mereka


tidak menyangka Rita akan melakukan hal ini tanpa sepengetahuan mereka.

“Untuk Melly dan Vina, aku harap kalian tidak melakukan hal bod*h seperti
yang aku lakukan. Cukup diriku saja yang melakukannya dan mengalami ini.
Aku harap kalian hidup bahagia dengan pasangan kalian masing-masing suatu
hari nanti,” pesan Rita pada kedua sahabatnya yang masih lajang.

“Untuk Intan … aku sangat iri sekali denganmu. Hidupmu sangat sempurna.
Kamu cantik, suamimu tampan dan kaya. Pasangan yang sangat serasi. Dan
sekarang kamu hamil, bahkan Tuhan sangat menyayangimu dengan
menganugerahkan bayi kembar di rahimmu. Aku akan berdoa dan meminta
pada Tuhan supaya kamu bisa melahirkan dengan lancar. Aku juga akan berdoa
semoga rumah tanggamu langgeng hingga kakek nenek dan hanya maut yang
memisahkan kalian,” ucap Rita mendoakan Intan dengan lirih seraya mengusap
air matanya.

“Rita … “ panggil Intan dengan histeris dan berderai air mata. Melly dan Vina
memeluknya. Kini mereka saling berpelukan dan menangis bersama-sama.

“Selamat tinggal. Sampai kapanpun aku akan menyanyangi kalian sahabat-


sahabatku. Aku tunggu kalian di surga,” pamit Rita dengan mata sembab dan
seulas senyum untuk yang terakhir kalinya. Video pun berakhir.
Melly dan Vina mendadak panik saat mengetahui Intan tidak sadarkan diri di
pelukannya. Mereka tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pasti suami Intan
marah besar seperti yang sudah-sudah kalau tahu Intan pingsan. Apalagi di saat
Intan hamil besar seperti ini.

“Gimana ini Mel?” tanya Vina dengan jantung berdebar.

“Panggil pembantunya saja suruh bantuin kita nyadarin Intan,” saran Melly
yang juga ketakutan.

“Oh iya. Kamu benar. Kamu jaga Intan ya,” ucap Vina lalu meninggalkan Intan
yang tengah bersandar pada Melly.

Vina berjalan ke belakang untuk mencari pembantu Intan dan menemukan Bi


Ani yang tengah menyetrika.

“Bi … “ panggil Vina dengan pelan.

“Iya?” sahut Bi Ani menoleh pada Vina.

“Mmm Intan pingsan,” jawab Vina dengan ragu-ragu.

“Aduh, kok bisa Mbak?” tanya Bi Ani ikut panik dan segera mencabut colokan
setrikanya lalu berjalan menuju ruang tengah. Vina mengikuti di belakangnya.

Saat mereka berjalan, tiba-tiba Susi keluar dari dalam kamar seraya menguncir
rambutnya. Ia pun heran karena Bi Ani dan Vina berjalan dengan tergesa-gesa.

“Ada apa?” tanya Susi.

“Mbak Intan pingsan,” jawab Bi Ani seraya terus melanjutkan perjalanannya


tanpa menoleh ke arah Susi.

Susi membelalak lantaran terkejut. Ia pun kembali masuk ke dalam kamarnya


untuk mengambil ponselnya dan segera menghubungi Ricko tanpa
sepengetahuan siapapun. Bagaimana pun Ricko harus tahu keadaan Intan
sekarang meskipun ujung-ujungnya akan kena marah semua.

“Ada apa?” tanya Ricko di seberang telepon.

“Mmmm.” Susi merasa ragu-ragu dan takut untuk mengatakannya.

“Cepat katakan!” seru Ricko merasa tidak sabar.

“Mbak Intan pingsan, Pak,” jawab Susi tiba-tiba.

“Bagaimana bisa?!” bentak Ricko seraya mengerutkan dahinya dan berdiri dari
tempat duduknya.

“Saya tidak tahu, Pak,” balas Susi ketakutan.

Ricko pun segera memutuskan sambungan teleponnya lalu menyambar jas yang
ia sampirkan di sandaran kursinya. Setelah itu ia keluar dari ruangannya untuk
segera pulang.

“Pak , satu jam lagi ada meeting dengan- “ belum selesai Lia melanjutkan kata-
katanya, Ricko sudah menyahutinya.

“Batalkan semua!” perintah Ricko tanpa menoleh ke arah Lia.

Lia pun hanya bisa mengangguk dan menghembuskan napas melalui


hidungnya. Ia sudah menyusun jadwal dan membuat janji dengan beberapa
klien, tapi tiba-tiba Ricko menyuruhnya membatalkan semuanya.

Di dalam perjalanan menuju rumahnya, Ricko menelepon dokter Amanda


setelah memasang handsfree di telinganya. Tidak butuh waktu lama Dokter
Amanda untuk menerima telepon dari Ricko karena memang kebetulan Dokter
Amanda sedang libur.
“Ada apa Rick?” tanya Dokter Amanda seraya memasukkan biskuit ke dalam
mulutnya dan sedang bersantai menonton drama Korea di televisi.

“Tolong segera ke rumah. Istriku pingsan Manda,” ucap Ricko panik dengan
mata berkaca-kaca. Ia sangat khawatir dengan keadaan istrinya yang sangat
lemah dengan kehamilan kembar. Ia juga belum sempat mengatakan pada Intan
bahwa kelahiran anaknya harus melalui operasi. Ia takut itu akan
mempengaruhi psikologis istrinya.

Sementara itu di rumah, Intan diangkat empat orang dan ditidurkan di


kamarnya. Bi Ani membalurkan minyak angin di kepala, hidung, perut dan kaki
Intan berharap Intan segera sadar. Susi membuat teh hangat di dapur untuk
diberikan pada Intan nanti setelah sadar.

Vina dan Melly saling berpegangan tangan dan menangis menatap Intan yang
tidak bergerak dengan wajanya yang pucat. Mereka takut terjadi apa-apa
dengan Intan dan bayi kembarnya.

Dua puluh lima menit kemudian bel rumah Ricko berbunyi. Semua orang yang
ada di dalam kamar Intan merasa terkejut saat mendengarnya. Mereka bertanya-
tanya siapa yang datang. Mereka juga takut kalau yang datang itu adalah Ricko.
Susi pun segera keluar kamar untuk membuka pintu ruang tamu. Kalau pun
yang datang Ricko, ia tidak akan terkejut karena tadi memang dia yang
menghubungi Ricko.

Saat Susi membuka pintu, tampaklah dokter Amanda dengan senyum


manisnya. Susi tertegun sebentar lalu mempersilakan dokter Amanda masuk. Ia
tidak menyangka kalau Ricko dengan cepat dan tanggap memanggil dokter
untuk istrinya.
Setelah memeriksa Intan, dokter Amanda memasang selang infus pada tangan
kiri Intan. Tidak lama kemudian Ricko datang dan segera masuk ke dalam
kamarnya. Ia melihat Intan yang berbaring lemah di atas tepat tidur.

“Bagaimana keadaannya?” tanya Ricko pada dokter Amanda.

“Sepertinya dia sangat tertekan dan syock berat. Apakah ada beban pikiran
yang sedang ia pikirkan?” tanya dokter Amanda.

Ricko menatap Melly dan Vina yang duduk di sofa dengan ketakutan sedari
tadi. Ia yakin pasti pingsannya Intan berhubungan dengan mereka.

“Apa yang kalian lakukan tadi sehingga istriku pingsan?” tanya Ricko dengan
nada menyelidik.

Melly dan Vina menatap Ricko dengan menggigit bibir bawah mereka. Mereka
benar-benar ketakutan.

“Kami tadi membaca surat dan menonton video dari Rita,” jawab Melly dengan
gugup.

Ricko pun menyeringai jahat dan geram. Ia benar-benar marah. Seharusnya ia


membuang kotak itu tadi pagi dari pada membuat istrinya seperti ini.

“Siapa Rita?” tanya dokter Amanda seraya mengernyitkan dahinya.

“Teman kami yang baru saja meninggal,” jawab Vina.

“Oh jadi seperti itu. Istrimu pasti sangat terpukul Rick. Aku harap kamu tetap
menjaga mood dan emosi istrimu tetap stabil. Aku sudah memasang infus dan
akan memberikan obat untuk diminum setelah ia sadar,” ucap dokter Amanda.
“Okey. Terima kasih Amanda,” balas Ricko lalu menghampiri ranjang Intan
dan duduk di sampingnya. Ia merapikan anak rambut Intan yang menutupi
wajahnya.

Melly dan Vina segera keluar dari kamar Intan lalu mengambil compact disc
yang ada di dalam video player dan membawanya pergi bersama surat dan
kotak dari Rita. Mereka tidak mau Intan melihat ini lagi yang bisa membuatnya
drop.

Satu jam kemudian Intan membuka matanya dan merasa nyeri pada kepala dan
tangan kirinya. Ia melihat tangan kirinya yang terpasang selang Infus dan Ricko
yang berbaring di sampingnya. Ia membelai wajah Ricko yang tidur dengan
damai di sampingnya.

“Mas … “ panggil Intan. Ricko pun membuka matanya.

“Iya?” balas Ricko setelah melihat istrinya sudah sadar.

“Aku lapar,” rengek Intan pada suaminya.

“Mau makan apa? Aku akan meminta Susi dan bi Ani membuatkannya,” ujar
Ricko seraya bangkit dan turun dari atas tempat tidur.

“Apa saja yang ada. Aku tidak sedang mengidam, aku hanya lapar,” jawab
Intan seraya tersenyum dan membelai perutnya.

“Okey. Tunggu sebentar,” ucap Ricko seraya berjalan keluar dari kamarnya
menuju dapur.

Tidak lama kemudian Ricko kembali masuk ke dalam kamar dengan membawa
nampan berisi segelas air putih, sepiring nasi, dan semangkuk sup daging.
Ricko pun menyuapi Intan dengan sayang. Ia sangat tidak tega melihat istrinya
yang tersiksa. Intan pun makan dengan lahap karena bau kaldu daging yang
sangat menggugah selera. Setelah menghabiskan makanannya, Ricko
memberikan obat yang tadi diberikan dokter Amanda.

Satu minggu kemudian

Keadaan Intan sudah lebih baik dan bisa beraktivitas seperti semula. Melly dan
Vina tidak memberitahu Intan bahwa Rita bunuh diri dengan cara melukai urat
nadi di pergelangan tangannya hingga kehabisan darah. Karena Rita tidak
keluar sejak sore hari, tantenya pun membuka pintu kamar Rita yang tidak
dikunci dan menemukan Rita tergeletak di lantai dan sudah tidak bernyawa
pada waktu subuh. Mereka takut Intan akan syock lagi yang berakibat buruk
pada kehamilannya. Apabila itu terjadi, sudah bisa dibayangkan betapa
murkanya Ricko pada mereka. Karena itu mereka memilih tidak memberitahu
Intan sekarang dan akan memilih waktu yang tepat setelah Intan melahirkan.

Hari ini Intan dan Ricko akan berkunjung ke rumah pak Bambang. Sudah lama
mereka tidak mengunjunginya. Ricko juga tidak mau kalau Intan stres karena
hanya tinggal di rumah terus-terusan. Mumpung hari ini libur bekerja, ia pun
mengajak Intan ke rumah orangtuanya.

Tentu saja Intan sangat senang. Ia pun membuat kue di dapur dibantu Susi dan
bi Ani untuk diberikan pada pak Bambang. Setelah kuenya matang Ricko dan
Intan pun berangkat.

Selama perjalanan Ricko mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang.


Saat berhenti di lampu merah, ia mengecup pipi Intan yang sedikit tembem.
Intan pun menoleh dan tersenyum padanya.

“Dilihat orang malu, Mas,” ucap Intan pada Ricko seraya menyentuh pipinya
yang baru saja dicium.
“Tidak apa-apa. Kan cium istri sendiri,” balas Ricko dengan mengedipkan
sebelah matanya.

“Aku mencintaimu,” ucap Ricko tiba-tiba seraya mengaitkan jemarinya dengan


jemari Intan lalu menciumnya.

“Aku juga mencintaimu, Mas,” balas Intan seraya tersenyum dan mengeratkan
jemarinya pada jemari Ricko.

Dari arah yang berlawanan dengan mereka, Rossa sedang memperhatikan


kemesraan mereka dari dalam mobilnya. Kebetulan mereka sama-sama berada
di barisan paling depan saat menunggu lampu lalu lintas dari merah menjadi
hijau. Ia merasa tidak suka dan cemburu. Ia mengira Intan telah merebut
kekasihnya.

“Kalau aku tidak bisa memilikinya, orang lain juga tidak boleh memilikinya,”
gumam Rossa dengan menyeringai jahat.

Setelah lampu kuning menyala dan berubah menjadi hijau, Rossa segera
menginjak gas dan melaju dengan kecepatan penuh ke arah mobil Ricko. Ia
tidak perduli dengan keselamatan dirinya sendiri.

Ricko baru saja menginjak gasnya. Tentu saja ia tidak siap dan terkejut. Ia pun
membanting kemudi hingga menabrak mobil di samping kirinya. Rossa pun
mundur lalu menabrakkan mobinya ke mobil Ricko berkali-kali dengan
kerasnya.

Kecelakaan pun tidak terelakkan. Intan dan Ricko kini bersimbah darah.
Beberapa orang segera mengerubungi mobil Ricko yang ringsek. Ricko yang
masih setengah sadar menoleh ke arah Intan yang tidak sadarkan diri. Ia
menangis melihat istrinya dengan keadaan seperti itu. Ia tidak mau kehilangan
istri dan anak kembarnya yang akan segera lahir. Ia mengulurkan tangannya
dengan pelan-pelan ke arah Intan. Belum sempat tangannya menggapai Intan,
tiba-tiba pandangannya gelap dan ia pun tidak sadarkan diri.

Tuhan … tolong selamatkan anak dan istri saya. Ucap Ricko dalam hati.
Hatinya menangis karena tidak bisa melindungi dan menyelamatkan istri
sekaligus buah hati yang ada di dalam kandungannya.

Beberapa orang membuka paksa pintu mobil Ricko yang kacanya sudah pecah.
Setelah pintu mobil terbuka, mereka segera mengeluarkan Ricko dan
memeriksa napas serta nadi untuk memastikan apakah masih hidup atau sudah
meninggal.

Ricko membuka matanya dan melihat bahwa kini ia berada di rumah sakit. Ia
memegangi kepalanya yang terasa sakit.

“Aaaah,” pekik Ricko.

Bu Sofi yang sedang duduk di sofa segera menghampirinya. Sudah dua hari
Ricko berbaring dan tidak sadarkan diri.

“Alhamdulillah … akhirnya kamu sadar juga,” ucap Bu Sofi mengucap syukur


seraya memencet tombol yang ada di samping tempat tidur Ricko untuk
memanggil dokter dan perawat.

“Di mana Intan? Bagaimana dengan anakku, Ma?” tanya Ricko pada mamanya
dengan tidak sabar.

“Tenang Ricko … kamu baru saja sadar. Biar dokter memeriksamu dulu,” ujar
Bu Sofi menenangkan Ricko.

Tidak lama kemudian dokter dan perawat pun datang untuk memeriksanya.
Setelah memastikan tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, dokter dan perawat
itu pun pergi.
“Di mana Intan, Ma? Dia baik-baik saja kan? Bagaimana dengan anakku?”
tanya Ricko lagi dengan tidak sabar dan khawatir.

“Sabar Rick … “ ucap bu Sofi dengan lirih menenangkan Ricko dan mengusap
air matanya.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Ricko semakin penasaran.

“Istrimu koma,” jawab bu Sofi dengan menangis. Ia tidak tega mengatakannya


pada Ricko. Ia juga tidak tega melihat Intan yang berada di ruang ICU dengan
berbagai macam alat kesehatan yang dipasangkan pada tubuh Intan.

“Bagaimana dengan anakku?” tanya Ricko dengan menitikkan air mata. Jujur ia
tidak sanggup mendengar berita buruk yang akan ia dengar, tapi ia ingin tahu
kepastiannya.

“Anakmu sudah lahir, tapi …. “ Bu Sofi menggantungkan kalimatnya.

“Tapi apa, Ma?” tanya Ricko dengan tidak sabar dan memegangi kedua lengan
mamanya.

“Tapi mereka premature karena belum waktunya untuk dilahirkan,” jawab bu


Sofi dengan bibir bergetar menahan tangis. Ia sudah melihat wujud cucunya
yang masih sangat mungil-mungil. Ia ingin mendekap dan memeluk bayi bayi
itu, tapi dokter melarangnya dan menaruh mereka di dalam inkubator untuk
mendapatkan perawatan intensif.

“Aku ingin melihat mereka, Ma,” ujar Ricko seraya mencoba bangkit.

“Sebentar mama panggilkan perawat supaya membantumu bangun,” ucap bu


Sofi lalu keluar sebentar untuk memanggil perawat beserta kursi roda.

Tidak lama kemudian bu Sofi masuk dengan seorang perawat yang tengah
mendorong kursi roda. Kemudian perawat itu membantu Ricko yang masih
lemah duduk di kursi roda. Setelah itu ia mendorongnya keluar menuju ruang
perinatal dan bu Sofi mengikuti di belakang mereka.

Kini Ricko melihat bayi-bayi mungil itu dari luar kaca ruang bayi dengan
duduk di kursi roda. Ia membelai kaca itu seakan-akan sedang membelai kedua
anaknya. Ia merasa bahagia karena istri dan anaknya selamat dari kecelakaan
itu, tapi ia juga sedih karena istrinya koma dan anaknya lahir premature. Ia pun
menitikkan air mata. Ia merasa gagal menjadi suami dan papa yang baik untuk
keluarga kecilnya.

Setelah melihat kedua anaknya, Ricko pergi ke ruang ICU di mana Intan
berada. Sebenarnya anggota keluarga tidak diperbolehkan masuk, tapi Ricko
memohon untuk diizinkan melihat istrinya. Ia berjanji hanya melihatnya
sebentar. Ia sangat rindu dengan senyum istrinya yang setiap hari menemani
hari-harinya.

Kini Ricko diizinkan masuk dengan baju steril menempel pada tubuhnya. Ia
memegang tangan Intan yang tidak bergerak dan mencium tangan itu serta
menempelkan pada pipinya.

“Sayang … bangunlah … “ ucap Ricko lirih dengan tubuh bergetar dan


menangis. Air matanya jatuh dan membasahi pipi serta tangan Intan yang ada di
pipinya. Ia tidak tega melihat istrinya yang terkulai tidak berdaya. Hatinya
sangat sakit. Bibir dan pipi yang biasanya ia cium kini terlihat pucat dan kering.
Andai saja ia bisa menggantikan posisi istrinya, ia akan sangat bersedia. Anak-
anaknya membutuhkan ibunya dari pada ayahnya.

Kenangan saat pertama kali menikah pun terlintas di benaknya. Saat itu ia
sedang meeting dan tiba-tiba Lia mengatakan kalau Pak Bambang sedang
menunggunya di rumah sakit. Ia pun bergegas menuju rumah sakit untuk
menikah dengan gadis pilihan papanya yang kini menjadi istri yang sangat
dicintainya. Itu adalah pertama kalinya ia melihat Intan. Gadis belia yang masih
sekolah SMA.

Ia juga masih ingat pertama kali memeluk Intan saat listrik padam di hari
pertama pernikahan mereka. Di hari itu pula Intan tidur di pelukannya. Ia juga
masih ingat betapa lucunya Intan saat mendapatkan uang saku 50 ribu yang ia
kasih untuk pertama kalinya. Gadis itu sangat senang tiada tara saat tahu uang
sakunya naik.

Setiap hari Intan memasak untuknya, membersihkan rumahnya tanpa mengeluh


meskipun harus sekolah dan belajar. Hingga suatu hari saat pulang dari
Singapura ia merasa rindu dan ingin memiliki Intan seutuhnya. Ia tahu Intan
belum siap, tapi ia sudah tidak tahan lagi. Akhirnya ia pun menghujamkan
pusakanya secara paksa pada gadis mungil itu. Gadis itu menjerit dan menangis
sepanjang malam karena ulahnya. Ricko masih ingat bagaimana raut wajah
Intan malam itu. Gadis itu sangat kesakitan dengan berderai air mata, tapi ia
terus memaksa gadis itu untuk melayani nafsunya hingga lemas.

Ricko pun tersenyum lalu bibirnya bergetar dan menangis. Ia mengusap


wajahnya dengan gusar.

“Sayang … maafkan aku. Cepatlah bangun. Aku merindukanmu,” ucap Ricko


dengan bahu bergetar.

“Tidakkah kamu ingin melihat anak-anak kita? Mereka sangat lucu-lucu.


Mereka membutuhkanmu, Sayang. Bangunlah … “ ujar Ricko seraya membelai
pipi Intan.
“Ayo kita merawat mereka bersama-sama. Kita belum membuat nama untuk
mereka. Kamu mau memberi mereka dengan nama siapa?” tanya Ricko dengan
berlinang air mata dan bahunya bergetar.

Ia sudah membayangkan betapa bahagia hari-harinya saat kedua anaknya


berlarian di dalam rumah dan memanggil dirinya dengan sebutan papa dan
Intan dengan sebutan mama. Sungguh keluarga impian yang sangat sempurna.
Setetes bulir bening pun keluar dari mata Intan dan menetes di samping
matanya.

Aku mendengarmu, Mas. Aku ingin memelukmu dan anak-anak kita, tapi aku
tidak bisa. Seluruh tubuhku terasa sangat sakit. Maafkan aku tidak bisa
menjadi istri dan ibu yang baik. Kata Intan dalam hati.

Kalau nanti aku pergi dan tidak lagi di sisimu, aku akan selalu menunggumu di
keabadian. Aku akan selalu menunggu dan merindukanmu. Sebutlah namaku
selalu di hatimu dan doamu. Jangan pernahlupakan aku. Aku
mencintaimu, Mas. Imbuhnya.

Aku tidak akan pergi jauh, aku akan selalu ada di hatimu. Kamu juga akan
selalu ada di hatiku. Aku akan berterima kasih pada Tuhan karena telah
mempertemukan dan menyatukan kita. Meskipun aku tidak bisa merawat anak
kita bersama-sama, aku sudah bahagia bisa mengandung dan melahirkan
mereka untukmu. Jagalah mereka dengan baik untukku. Aku akan mengawasi
kalian dari surga. Ucap Intan dalam hati.

Ricko yang melihat air mata Intan menetes segera mengusapnya dengan lembut.
Air matanya pun semakin deras melihat istrinya yang biasanya riang dan sering
cemberut kini hanya bisa menangis dan berbaring tidak berdaya. Ia ingin
memeluk tubuh istrinya, tapi banyak alat kesehatan yang menempel pada tubuh
Intan. Ia hanya bisa melihat dan merasakan sakit di dalam hatinya.

Ricko pun segera memanggil perawat yang tidak jauh darinya. Ia meminta agar
istrinya segera diperiksa. Ia berharap istrinya segera sadar dan bisa melihat anak
mereka.

“Sus tolong periksa istri saya. Dia menangis,” ucap Ricko dengan semangat
seraya mengusap air matanya dengan punggung tangannya.

Perawat itu mendekat dengan tersenyum. “Sabar ya, Pak. Kami tadi sudah
memeriksanya sebelum Pak Ricko datang ke sini. Istri anda menitikkan air mata
itu karena merespon setiap kata-kata yang anda lontarkan padanya. Meskipun
istri anda koma dan tidak bergerak, tapi dia bisa mendengar semua yang anda
ucapkan,” jelas perawat itu pada Ricko.

Ricko pun memandang istrinya kembali. Dan lagi-lagi bulir bening keluar dari
pelupuk mata Intan yang terpejam.

“Sayang, kamu mendengarku kan? Cepatlah bangun. Aku dan anak kita
menunggumu,” ucap Ricko memberikan semangat pada Intan. Intan hanya
meresponnya dengan air mata yang ia teteskan di setiap ucapan Ricko.

“Pak Ricko tolong segera kembali ke kamar anda untuk beristirahat. Supaya
keadaan anda juga segera pulih,” ucap seorang perawat yang tadi
mengantarnya.

“Sayang, aku pergi dulu ya. Aku akan sering-sering mengunjungimu,” pamit
Ricko sebelum pergi dan mengecup punggung tangan Intan.
Seorang perawat segera mendorong kursi roda Ricko menjauhi ranjang Intan.
Ricko menoleh ke belakang untuk melihat istrinya hingga ia tidak bisa melihat
istrinya lagi.

***

Setiap hari Ricko mengunjungi bayinya di ruang perinatal dan istrinya di ruang
ICU. Kedua bayi kembar itu lahir dengan cara operasi secar pasca kecelakaan.

Saat sampai di rumah sakit, dokter dan perawat segera memeriksa kandungan
Intan. Saat mereka mengetahui bahwa bayi itu masih hidup, mereka segera
melakukan operasi cesar untuk menyelamatkannya. Bayi-bayi itu lahir di usia
33 minggu. Karena mereka kembar, tentu saja berat badan mereka lebih kecil
dari bayi normal pada umumnya. Berat badan mereka hanya 1900 gram untuk
yang berjenis kelamin laki-laki, sedangkan yang perempuan hanya 1800 gram.
Kemungkinan hidup sekitar 98 persen untuk bayi yang lahir di usia 33 minggu.

Tadinya dokter Amanda menyarankan untuk operasi di usia 34 minggu. Itu


sudah maju 6 minggu dari HPL. Karena kehamilan kembar biasanya tidak akan
bisa lahir di usia 40 minggu. Meskipun usia 34 minggu juga dikatakan
prematur, tapi bayi yang lahir di usia itu biasanya lebih sehat dari pada yang
lahir lebih dini.

Bayi prematur 33 minggu memiliki resiko kesehatan yang tinggi, misalnya


masalah pernapasan, kesulitan mengatur suhu tubuh, dan penyakit kuning.
Selain masalah tersebut, mereka juga beresiko tinggi mengalami masalah
perkembangan belajar dan prilaku. Karena itu mereka memerlukan perawatan
yang intensif.

Setiap hari si kembar selalu ditimbang untuk mengetahui perkembangan berat


badan mereka. Karena tidak mendapatkan ASI (Air Susu Ibu), mereka
diberikan susu formula khusus BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) supaya berat
badannya cepat naik ke berat badan normal.

Ricko melihat mereka yang menggeliat dan terkadang menguap dari luar kaca
ruang perawatan intensif. Ia tersenyum bisa melihat anaknya, tapi hatinya sakit
melihat mereka tidak bisa berada dipelukan ibunya.

Sudah satu minggu berlalu. Kondisi Intan tidak ada perubahan sama sekali.
Setiap hari Ricko menjenguknya untuk memberikan semangat. Bu Romlah
setiap hari menangisi Intan di depan ruang ICU. Ia masih tidak percaya anaknya
mengalami musibah setragis ini.

Hari ini Romi baru bisa menjenguk Ricko ke rumah sakit karena sibuk di
perusahaan mengurus perusahaan Ricko. Untungnya ia tidak sendiri, Sita ikut
terjun membantunya. Mereka sangat tahu bagaimana kondisi psikis Ricko saat
ini. Tidak mungkin ia bisa mengurus pekerjaan di tengah musibah yang
menimpa anak dan istrinya. Saking stresnya, bahkan ia tidak memikirkan untuk
mengusut penyebab kecelakaan yang menimpanya.

“Bagaimana keadaanmu, Rick?” tanya Romi pada Ricko yang berbaring


setengah duduk di atas tempat tidurnya.

“Aku sudah lebih baik,” jawab Ricko datar. Wajahnya terlihat sangat sedih
dengan kantung mata di bawah matanya. Ricko memang kurang tidur akhir-
akhir ini. Ia tidak bisa tidur dengan nyenyak melihat istrinya yang menderita
seperti itu.

“Aku sudah mengurus semuanya. Di perusahaan aku dibantu Sita,” ucap Romi
pada Ricko.

“Terima kasih,” balas Ricko. Rasanya ia sudah tidak perduli lagi dengan
perusahaan yang ia miliki.
“Aku juga sudah mengurus dan mengusut yang menyebabkan kamu
kecelakaan,” imbuh Romi. Ricko pun menatap lekat pada Romi.

“Apa hasilnya?” tanya Ricko ingin tahu.

“Itu bukan sebuah kecelakaan, tapi memang sebuah kesengajaan,” jawab Romi
menjelaskan.

“Siapa pelakunya?” tanya Ricko semakin penasaran dengan geram.

“Rossa. Polisi sudah menyelidiki rekaman kamera CCTV dan mengecek


keadaan mobil Rossa. Tidak ada masalah dengan mobil itu, bahkan remnya pun
tidak blong,” tutur Romi.

“Sial*n wanita itu. Aku tidak menyangka dia akan senekat itu. bahkan sekarang
anak dan istriku menjadi korbannya. Kenapa juga dulu aku bisa berpacaran
dengannya,” umpat Ricko dengan geram.

“Dia sempat di rawat beberapa hari di rumah sakit, tapi sekarang dia sudah
pulih. Dan … ternyata setelah diperiksa kejiwaanya, dia memiliki gangguan
mental. Selain karena efek samping dari kecelakaannya waktu itu, ia juga
terobsesi padamu,” imbuh Romi.

“Sekarang di mana dia?” tanya Ricko dengan menatap tajam pada Romi.

“Sedang menjalani rehabilitasi di rumah sakit jiwa,” jawab Romi. Ricko pun
menghebuskan napas dengan kasar melalui hidungnya. Andai Rossa masih di
rumah sakit yang sama dengannya, ia akan mencekik Rossa hingga mati
sekarang juga. Ia sangat membenci wanita itu sekarang. Di saat ia akan meraih
kebahagiaan dengan kelahiran anaknya, ia malah membuat masalah hingga
istrinya koma dan anaknya lahir prematur.

Satu bulan berlalu


Keadaan si kembar sudah stabil dan diperbolehkan untuk dibawa pulang.
Karena rumah sakit sarangnya penyakit, Ricko pun membawa pulang si kembar
dengan dua orang perawat untuk menjaga mereka. Bu Sofi dan bu Romlah pun
kini ikut tinggal di rumah Ricko untuk ikut menjaga si kembar.

Sampai saat ini keadaan Intan masih tetap sama. Tidak ada kemajuan sama
sekali. Setiap hari Ricko tinggal di rumah sakit. Bahkan ia menyewa sebuah
kamar VVIP untuk beristirahat. Sesekali ia pulang untuk menengok si kembar
dan menggendongnya.

Ia sangat bahagia bisa menggendong anaknya di dekapannya. Ia menitikkan air


matanya saat melihat bayi-bayi itu menjulurkan lidahnya untuk mencari susu.
Andai Intan tidak koma, mungkin saat ini bayi-bayi itu bisa menyusu pada
ibunya. Andai ia tidak keluar rumah waktu itu, mungkin saat ini mereka
berempat sudah hidup bahagia. Andai ia tidak pernah menjalin hubungan
dengan Rossa, mungkin kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi.

Andai, andai, andai, semua itu berputar-putar di kepala Ricko. Ia pun menangis
menyesali semuanya, tapi ia tahu ini semua takdir dari Tuhan. Ia yakin semua
pasti akan indah pada waktunya.

Sembilan bulan kemudian

Keadaan Intan tetap sama, bahkan sekarang tubuhnya semakin kurus. Begitu
juga dengan Ricko. Karena Intan koma, tidak ada yang mengurusnya seperti
dulu. Setiap hari ia mondar mandir rumah sakit, perusahaan, dan rumah.

Ricko sesekali pulang untuk melihat si kembar yang kini sudah bisa merangkak.
Bu Sofi dan bu Romlah kewalahan mengejar mereka yang semakin aktif
bergerak merangkak ke sana mari. Ricko juga mempekerjakan dua orang
babysitter untuk menjaga mereka karena perawat yang ia sewa sudah kembali
ke rumah sakit setelah si kembar berusia tiga bulan. Meskipun dulu mereka
lahir dengan keadaan prematur, tapi sekarang tubuh mereka sehat dan gendut
karena Ricko mempekerjakan ahli gizi untuk memasak makanan mereka. Ia
juga membeli susu formula import berkualitas tinggi untuk menunjang gizi dan
kecerdasan mereka. Pak Bambang dan pak Ramli juga sering menjenguk
mereka di rumah Ricko. Mereka sangat senang karena kini sudah menjadi
kakek.

“Dokter, sampai kapan istri saya seperti ini?” tanya Ricko saat menjenguk
istrinya dengan mata berkaca-kaca setiap kali melihat keadaan istrinya yang
berbaring tidak berdaya.

“Kami tidak bisa memastikannya, Pak,” jawab dokter yang menangani keadaan
Intan.

“Apa yang akan terjadi kalau alat-alat itu dilepas dari tubuh istri saya?” tanya
Ricko.

“Istri anda akan meninggal. Karena itu satu-satunya alat yang membuatnya
masih bisa hidup sampai saat ini,” jawab dokter dengan sedih karena tidak bisa
membuat pasiennya sembuh seperti sediakala.

Ricko pun menghirup napas dalam-dalam dengan memejamkan matanya. Air


mata pun lolos dari pelupuk matanya. ia tidak akan bisa hidup kalau istrinya
meninggal.

“Dokter, saya ingin istri saya dirawat di rumah. Saya akan membeli alatnya
berapapun harganya,” ucap Ricko dengan sungguh-sungguh.

“Tapi … harga alat ini sangat mahal, Pak. Dan rumah sakit kami membelinya
dari luar negeri,” tutur dokter itu yang bernama Remon.
“Saya tidak akan mempermasalahkan biaya dan harganya. Berapun itu akan
saya beli,” ujar Ricko. Ia tidak perduli berapapun biaya yang akan ia keluarkan
untuk bisa menyembuhkan istrinya.

“Baiklah. Kami akan mempersiapkannya dalam waktu dua minggu, Pak.


Karena kami harus memesan alatnya terlebih dahulu dari Amerika,” balas
Dokter Remon.

“Terima kasih, Dok,” ucap Ricko seraya mengusap air matanya.

***

Dua minggu kemudian

Kini Intan sudah berada di rumahnya. Ricko menyewa 3 dokter jaga dan 3
orang perawat untuk menjaga Intan bergantian terbagi menjadi 3 sift. Semua
dokter dan perawat itu setiap hari pulang dan bergantian menjaga Intan.

Ricko senang akhirnya kini mereka berempat bisa berkumpul di rumah mereka.
Dengan begini ia bisa melihat istri sekaligus anaknya dalam waktu yang
bersamaan. Akhir-akhir ini ia bekerja dari rumah dengan Romi yang bekerja di
perusahaan.

Setiap hari Ricko selalu menyeka tubuh Intan dengan tangannya sendiri. Ia
merawat dan membersihkan tubuh Intan dengan sabar dan telaten. Setiap
melakukan itu mata Ricko selalu berkaca-kaca. Dulu Intan paling tidak suka
kalau payudaranya disentuh. Ia pun mencoba melakukan itu dan berharap Intan
akan menepis tangannya seperti dulu. Namun, setelah Ricko melakukannya,
tetap saja tidak ada respon dari Intan.
“Sayang … kapan kamu akan bangun? Anak kita sudah besar. Mereka butuh
mamanya,” ucap Ricko pada Intan dengan lirih dan akhirnya bulir bening pun
keluar dari matanya dan menetes membasahi dada Intan.

Setelah itu Ricko keluar dari kamar itu untuk bekerja di ruang kerjanya. Tanpa
Ricko tahu air mata keluar dari pelupuk mata Intan.

Dua bulan kemudian

Hari ini adalah hari ulang tahun si kembar. Mereka sudah bisa berjalan, bahkan
berlari. Ricko membelikan kue tart untuk mereka berdua. Masing-masing kue
tart itu bertuliskan Ricki dan Ricka. Itulah nama yang diberikan Ricko untuk
mereka. Ricki Argadinata dan Ricka Argadinata. Sebenarnya ia ingin berdiskusi
terlebih dahulu dengan Intan untuk memberikan nama pada si kembar, tapi
istrinya tidak kunjung sadar dari komanya hingga satu tahun lamanya.

Kini Ricka sudah cantik dengan gaun berwarna merah muda pada tubuhnya dan
pita di rambutnya. Sedangkan Ricki memakai tuksedo warna putih. Mereka
seperti raja dan ratu. Semua pakaian si kembar diurus Sita. Setiap bulan Sita
selalu pulang untuk berbelanja keperluan si kembar dengan Romi yang
membantunya. Semenjak Ricko sudah bisa bekerja kembali, Sita kembali aktif
kuliah di luar kota.

Pesta kecil-kecilan itu diadakan di ruang keluarga dan hanya dihadiri orang-
orang terdekat saja. Semua anggota keluarga sudah hadir di ruangan itu. Pak
Bambang, bu Sofi, pak Ramli, bu Romlah, Johan, Sita, dan Romi. Tidak lupa
Ricko juga mengundang Melly dan Vina. Mereka adalah sahabat Intan yang
paling dekat. Selain mereka juga ada para pembantu, babysitter, dokter, dan
perawat yang menjaga Intan.
Semua orang yang hadir kini sedang bernyanyi lagu “Selamat ulang tahun”,
tiba-tiba bel pintu rumah berbunyi. Susi pun ke ruang tamu untuk membukakan
pintu. Saat pintu dibuka tampaklah Reyhan, Tia, dan Gibran di sana. Susi pun
mempersilakan mereka masuk. Ricko tidak mengundang mereka, tapi Reyhan
ingin menjenguk Intan yang ia dengar belum sadar juga setelah satu tahun
mengalami koma. Mereka juga menjenguk Ricko di rumah sakit satu hari
setelah kecelakaan satu tahun yang lalu. Waktu itu Ricko masih belum sadarkan
diri. Jadi mereka tidak bisa ngobrol. Akhirnya Reyhan dan Tia hanya sempat
melihat si kembar dari luar ruang perinatal saja.

Saat mereka masuk ke ruang tengah, ternyata di ruangan itu sedang ada pesta.
Reyhan tidak tahu sehingga ia tidak membawa kado untuk Ricki dan Ricka.
Ricko menoleh pada tamu yang datang. Saat ia melihat Reyhan, ia pun segera
menghampirinya.

“Ayo gabung merayakan ulang tahun si kembar,” ajak Ricko seraya memeluk
bahu Reyhan dengan tangan kanannya.

“Oh … si kembar ulang tahun sekarang?” tanya Reyhan.

“Iya,” jawab Ricko.

“Aku tidak tahu, Rick. Tahu gitu aku bawa hadiah untuk mereka,” ucap Reyhan
menyesal.

“Tidak apa-apa,” balas Ricko seraya tersenyum.

Kini mereka di ruang tengah sedang merayakan ulang tahun si kembar bersama-
sama. Setelah bernyanyi, Ricki meniup lilin dengan bantuan Ricko dan Ricka
dibantu Sita. Semua orang bertepuk tangan dengan riuh.
Di dalam kamar, Intan menitikkan air matanya. Ia bisa mendengar betapa
serunya pesta itu. namun, ia tidak bisa menghadiri pesta itu. Ia merasa sedih
karena tidak bisa berada di sisi kedua anaknya.

Selamat ulang tahun, sayangnya mama. Maafkan mama yang tidak bisa
menemani kalian. Maafkan mama yang tidak bisa merawat dan menjaga
kalian. Semoga kalian panjang umur dan sehat selalu. Doa Intan untuk kedua
anaknya di dalam hati.

Tidak lama kemudian Ricko masuk ke dalam kamar Intan dengan


menggandeng kedua anaknya. Mereka berfoto bersama Intan yang berbaring di
atas tempat tidur. Ricko, Ricki, Ricka tersenyum bahagia, sedangkan Intan
menangis di dalam hatinya. Ia ingin sekali memeluk dan mencium kedua kedua
anaknya, tapi tidak bisa.

“Oke. Siap ya?” ujar yang Romi yang memegang kamera.

“Satu … dua … tiga!” Romi memberikan aba-aba lalu mengambil gambar


mereka sebanyak mungkin karena Ricki dan Ricka tidak bisa diam.

Setelah pesta berakhir semua orang pulang ke rumah masing-masing. Si kembar


tidur di kamar dengan bu Sofi dan bu Romlah yang menemani mereka. Pukul
00.00 Ricko masuk ke dalam kamar Intan. Itu adalah kamar di mana dulu Intan
tidur untuk pertama kalinya di rumah Ricko.

“Selamat malam, Sayang … “ ucap Ricko seraya mengecup kening Intan dan
membelainya. Ia duduk di kursi samping tempat tidur Intan.

“Anak kita sudah berusia satu tahun. Itu sama artinya juga kamu sudah koma
satu tahun lamanya. Kapan kamu akan bangun? Mereka sangat cantik dan
tampan,” imbuh Ricko dengan lirih. Ia pun menengadahkan kepalanya dan
melihat foto pernikahan mereka yang digantungkan di dinding kamar itu.
“Sayang, rasanya baru kemarin kita menikah. Aku bahagia menikah denganmu.
Aku harap kamu tidak akan pernah meninggalkanku. Aku berharap semua tidak
akan pernah berakhir. Aku ingin selalu bersamamu sampai kapanpun. Duniaku
sangat indah rasanya saat kamu masuk ke dalam hidupku. Dunia yang tadinya
terasa hanya hitam dan putih, seketika menjadi berwarna saat kamu hadir di
dalam hidupku. Sekarang aku merasa sendiri. Meskipun kamu ada di
sampingku, tapi aku tidak bisa merasakan kehidupan yang seperti dulu. Aku
selalu berdoa semoga kamu bisa segera sadar dan bisa kembali seperti dulu.
Aku merindukanmu, Sayang … “ ucap Ricko lalu memeluk tubuh Intan dan
menangis. Tubuhnya bergetar dan menangis tersedu-sedu. Ia sudah tidak kuat
lagi menahan kesedihannya selama satu tahun ini.

“Andai aku bisa menggantikanmu. Andai aku bisa memohon pada Tuhan
supaya aku bisa menggantikanmu. Aku akan sangat bersedia dengan senang
hati, Sayang. Lebih baik aku yang koma dari pada aku harus melihatmu seperti
ini,” ucap Ricko dengan menangis di dada Intan.

“Bangunlah … bukankah aku sudah berjanji padamu? Kita akan naik helikopter
bersama dengan anak-anak kita? Aku tidak akan menyewa lagi. Aku akan
membelinya untukmu, Sayang. Aku mohon bangunlah … ” imbuhnya dengan
berderai air mata. Dokter pun pernah berkata kalau Intan tidak kunjung bangun
juga, Ricko bisa mengajukan untuk suntik mati. Tapi Ricko menolaknya. Ia
yakin kalau istrinya suatu hari nanti akan bangun kembali.

Intan pun menangis di dalam hatinya. Ia pun sama. Ia juga merindukan


suaminya yang selalu menjahilinya, menggodanya, mencumbuinya, dan
memanjakannya. Setetes bulir bening pun keluar dari matanya dan mengalir ke
samping matanya.
Ricko tidur di samping Intan dengan duduk di kursi dan menaruh kepalanya di
tepi tempat tidur. Intan ingin sekali membelai kepala suaminya seperti dulu.
Ricko suka sekali tidur di pahanya dan Intan membelai rambutnya. Intan pun
mencoba untuk membuka matanya dan menggerakkan anggota tubuhnya, tapi
tidak bisa.

***

Enam bulan kemudian

Siang hari saat Ricka dan Ricki bermain di ruang keluarga bersama bu Sofi,
tiba-tiba Ricki memukul kepala Ricka karena mengambil mainan yang ia
pegang. Ricka pun menangis dengan histeris karena merasa sakit. Bu Sofi pun
segera menggendongnya dan membawanya ke dapur untuk membuat susu.
Ricki bermain sendiri lalu berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamar Intan. Ia
naik kursi yang ada di samping tempat tidur Intan lalu memukul tangan Intan.
Perawat yang sedang menjaga Intan sedang tertidur di sofa.

“Ma … “ panggilnya dengan cedal. Ia bisa tahu Intan adalah mamanya karena
setiap hari Ricko mengajak mereka masuk ke dalam kamar Intan dan
memberitahu mereka bahwa Intan adalah mama mereka.

Seketika Intan membuka matanya dengan melotot. Jari-jarinya mulai bergerak.


Saat ia mendengar Ricka menangis, hatinya tergugah untuk ingin segera bangun
dan melihat anaknya yang tengah menangis. Tidak lama kemudian Ricki datang
dan memukulnya.

“Ma … “ panggil Ricki lagi seraya menaruh kepalanya di lengan Intan.

Air mata Intan pun mengalir dari pelupuk matanya. Ia berusaha keras untuk
menggerakkan tangannya. Ia ingin membelai kepala Ricki untuk pertama
kalinya.
Perawat yang menjaga Intan pun terbangun saat mendengar suara Ricki
memanggil Intan. Ia segera menghampiri tempat tidur Intan untuk menurunkan
Ricki dari atas kursi. Tiba-tiba ia melotot dan terkejut saat melihat mata Intan
yang terbuka lebar. Ia pun segera menggendong Ricki lalu menghubungi dokter
yang kebetulan sedang izin hari ini.

“Hallo … “ sapa dokter Remon.

“Dok, bu Intan sadar,” ucap perawat yang bernama Ratna itu.

“Serius?” tanya dokter Remon tidak percaya.

“Iya, Dok,” jawab Ratna dengan sungguh-sungguh.

“Baiklah. Saya akan segera ke sana. Kamu cek tekanan darahnya terlebih
dahulu,” perintah dokter Remon sebelum memutuskan sambungan teleponnya.

Sambil menunggu dokter Remon datang, perawat itu membawa Ricki keluar
dari dalam kamar Intan. Bu Sofi baru saja kembali dari dapur dan menggendong
Ricka yang minum susu dari botol. Bu Romlah sedang pulang hari ini,
sedangkan babysitter si kembar sedang makan rujak bersama dengan Susi dan
bi Ani.

“Ada apa dengan Ricki?” tanya bu Sofi saat melihat Ricki di gendongan
perawat itu.

“Ia masuk ke dalam kamar bu Intan dan … sekarang bu Intan sadar,” ucap
perawat itu.

“Apa? Intan sadar?” ulang bu Sofi tidak percaya. Ia pun segera masuk ke dalam
kamar Intan dan melihat Intan tengah melepas sungkup oksigen yang ada di
hidungnya.
“Intan!” seru bu Sofi senang sekaligus terharu. Ia pun menitikkan air mata. Air
mata kebahagiaan. Ia sangat tahu bagaimana sedih dan menderitanya Ricko
selama ini. Hanya saja Ricko menutupinya dan memendamnya sendiri. Bu Sofi
sering mendengar Ricko menangis sendiri di dalam kamarnya. Hatinya pun ikut
sakit melihat anaknya menderita. Ricka yang masih berada di gendongan bu
Sofi melihat bu Sofi yang sedang menangis dengan heran. Karena melihat bu
Sofi menangis, Ricka pun ikut menangis.

“Cup … cup … Sayang … nenek tidak menangis,” ucap bu Sofi dengan


tersenyum.

Perawat itu pun menurunkan Ricki di sofa karena akan memeriksa Intan. Bu
Sofi juga duduk di sofa itu untuk menjaga Ricki dan Ricka sambil menunggu
Intan selesai diperiksa.

Setelah Intan diperiksa, bu Sofi mengajak kedua cucunya menghampiri Intan.


Intan melihat kedua anaknya dengan berlinang air mata. Ini pertama kalinya ia
melihat buah hatinya. Ia merasa sangat bahagia karena Tuhan masih
memberinya kesempatan untuk hidup dan melihat anak yang selama ini di
dalam kandungannya.

Intan mengulurkan tangannya ingin membelai anaknya. Namun, Ricka dan


Ricki takut dan bersembunyi di belakang bu Sofi. Intan pun tersenyum. Ia tahu
dan paham bahwa anaknya tidak mengenalinya.

Tidak lama kemudian Ricko keluar dari ruang kerjanya dan melangkahkan
kakinya menuruni anak tangga untuk melihat Intan di kamar lantai bawah. Saat
ia berada di ambang pintu kamar Intan, ia terkejut dan tertegun melihat Intan
sudah membuka matanya. Tetesan bulir bening pun keluar dari pelupuk
matanya. Ia segera menghampiri Intan dan memeluknya.
“Sayang … “ gumam Ricko di dada Intan dengan berderai air mata.

Bu Sofi dan Ratna pun menangis haru melihat Ricko memeluk Intan dengan
erat seperti itu. Ricki dan Ricka melihat Ricko dengan mata bulat mereka
merasa heran.

“Pa … “ panggil mereka serempak sambil menarik celana Ricko. Ricko pun
melepas pelukannya pada tubuh Intan lalu berjongkok dan memeluk kedua
anaknya.

“Mama sudah bangun, Sayang … “ ucap Ricko pada Ricki dan Ricka lalu
mengecup pipi mereka berkali-kali.

Tidak berapa lama kemudian dokter Remon datang dan segera memeriksa
Intan. Setelah dipastikan semuanya baik-baik saja, dokter pun melepas semua
alat yang yang selama ini dipasangkan pada tubuh Intan agar bisa bertahan
hidup. Intan menatap Ricko yang kini tengah menatapnya. Mata mereka pun
bertemu.

“Mas … “ ucap Intan dengan lirih. Itulah kata yang diucapkan Intan pertama
kalinya setelah 18 bulan koma. Ricko pun tersenyum dan bibirnya bergetar. Ia
menangis haru melihat istrinya kini telah sadar dari komanya.

Intan pun menangis melihat Ricko yang kurus, berewok dan tidak terurus.
Setelah itu ia melihat Ricki dan Ricka yang menatapnya dengan malu-malu dan
takut bersembunyi di belakang Ricko. Ricko pun menggandeng tangan mereka
lalu menaikkan mereka ke atas tempat tidur di sisi kiri dan kanan Intan.

“Ini mama,” ucap Ricko. Ricki dan Ricka pun memandang Intan lalu
memanggilnya “mama” bersamaan. Intan pun menangis mendengar anaknya
memanggilnya “mama”. Ia merasa sangat bahagia.
***

Enam bulan kemudian

Ricko sudah memakai kemejanya lalu berjongkok di depan Intan yang duduk di
tepi tempat tidur. Intan memasang dasi di leher Ricko seperti dulu dengan
tersenyum. Ricko mendekat hendak mencium bibir Intan, tiba-tiba Ricki dan
Ricka masuk ke dalam kamar mereka.

“Mama!” seru mereka serempak lalu menghambur ke Intan dan memeluknya.

“Ayo cepat!” ajak mereka seraya menarik tangan Intan masing-masing di


tangan kiri dan kanan Intan.

“Iya … iya … “ ucap Intan seraya berdiri lalu mengikuti kedua anaknya. Ricko
mencebikkan bibirnya karena kedua anaknya mengabaikannya. Kemudian ia
tersenyum karena kini ia merasa bahagia. Ia bisa melihat senyum dan tawa
istrinya seperti dulu lagi. Apalagi dengan si kembar yang kini sudah berusia dua
tahun.

Mereka berempat pun masuk ke dalam mobil lalu menuju hotel milik Ricko. Di
hotel itu akan diadakan pesta ulang tahun si kembar yang kedua tahun. Semua
orang sudah hadir di sana. Pak Bambang, bu Sofi, pak Ramli, bu romlah, Johan,
Sita, Romi, Reyhan, Tia, Gibran, para pegawai, para pembantu, dan semua
klien Ricko.

Semua orang menyambut kedatangan Ricko, Intan, dan si kembar. Termasuk


Melly yang kini sudah jadian dengan Adit, Vina yang jadian dengan Rudy (
karyawan WO yang mengurus pernikahan Ricko dulu, kini mengurus
pernikahan Romi dan Sita), Dina yang akhirnya jadian dengan Ali. Rena? Tetap
jomlo. Wkwkwk.
Pesta ulang tahun Ricka dan Ricki kali ini diadakan Ricko dengan besar-
besaran di aula hotel. Sekaligus ia mengadakan syukuran atas sadarnya Intan
dari koma. Setelah semua orang menyanyikan lagu selamat ulang tahun, Ricki
dan Ricka pun meniup lilin kue ulang tahun mereka masing-masing dengan
bantuan Ricko dan Intan. Semua orang bertepuk tangan dengan riuh. Intan
menitikkan air matanya karena terlalu bahagia. Ia merasa sangat bahagia yang
tiada tara. Ia pun mencium pipi Ricki dan Ricka bergantian lalu memeluk
mereka di sisi kanan dan kirinya. Begitu juga dengan Ricko memeluk mereka
bertiga.

Setelah acara pesta ulang tahun selesai, Ricko mengajak Intan dan si kembar
naik ke atap hotel. Di sana sudah ada sebuah helikopter baru beserta dengan
pilotnya. Ricko menepati janjinya untuk membeli helikopter untuk Intan. (Ingat
ya pemirsa “beli” bukan “nyewa” lagi. Hahaha). Ricko mengajak mereka naik
helikopter itu dan terbang ke Bali.

Sementara itu Rossa di rumahnya duduk di atas kursi roda sedang menonton
televisi acara ulang tahun Ricka dan Ricki. Karena diadakan besar-besaran,
sehingga banyak stasiun televisi yang meliput acara itu dan menyiarkannya
secara langsung. Rossa merasa geram dan marah. Ia pun menjerit histeris
dengan memegangi kedua sisi kepalanya. Kecelakaan dengan Ricko 2 tahun
yang lalu membuat cacat pada kakinya.

***

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai