i|Silvia Rodiana
Daftar Isi
Preface ..............................................................i
Daftar Isi ...........................................................ii
SATU ...............................................................1
DUA .................................................................14
TIGA ................................................................23
EMPAT ............................................................31
LIMA ................................................................41
ENAM ..............................................................50
TUJUH.............................................................61
DELAPAN .......................................................69
SEMBILAN .....................................................78
SEPULUH .......................................................86
SEBELAS .........................................................91
DUA BELAS ...................................................98
TIGA BELAS ..................................................107
EMPAT BELAS ..............................................121
LIMA BELAS ..................................................133
ii | S i l v i a R o d i a n a
SATU
1 | Silvia Rodiana
Aneh. Acara perpisahan, kan, seharusnya diadakan
setelah pengumuman kelulusan? Bagaimana kalau setelah
mengadakan acara perpisahan, ternyata malah ada yang
tidak lulus? Memalukan.
“Yaudah, sih, Nona Belle, jangan takut gitu.
Tenang aja! Mau di hutan kek, Pluto kek, khayangan kek,
pokoknya Babang Dino akan selalu siap sedia menjaga
Nona Belle,” celetuk cowok itu, yang belakangan ini
menjadi semakin menyebalkan.
“Eh, Dinosaurus. Diem atau gue gibeng, nih!”
sahut suara berat lain, yang entah siapa. Aku malas
menoleh pada mereka di belakang sana. “Belle udah punya
gue, udah teken. Kagak usah ngimpi bisa deketin dia.”
“Teken pala lu pitak!” bentak Dino. “Berani
deketin Belle, gue cincang urat malu lo!”
“Oi, Dino, kagak perlu juga, kali!” sahut suara
cowok lain, tidak tahu siapa. “Si Yuda mah emang kagak
punya urat malu sejak lahir. Apa yang mau lu cincang,
coba?”
Hampir seisi kelas tertawa, tetapi suara mereka
malah merusak mood-ku. Mereka menyebalkan!
2 | Silvia Rodiana
“Sudah, sudah, jangan ribut.” Bu Naima
menengahi, kemudian langsung memanggil ketua kelas
dan memetakan kelompok kami.
“Ibu jangan jahap gitu dong, sama Babang Dino
yang imut-imut macam balita ini!” Suara Dino terdengar
keras, membuat Bu Naima melotot.
“Masa saya nggak satu kelompok sama Belle, Bu?
Enggak seru, ah! Belle, kagak jadilah kita ikut camping!”
Anak laki-laki mulai ribut lagi, sementara siswi
perempuan mulai berbisik sambil melirik ke arahku. Pasti
mereka benci apa yang diucapkan Dino tadi, karena
sebagian besar dari mereka mengidolakan cowok berkulit
cerah itu. Entahlah apa yang mereka lihat, sampai bisa
menyukai cowok itu. Bagiku dia hanya memusingkan.
Kecuali fakta kalau dia sangat berani dan tidak
takut pada siapa pun, sampai berkelahi dengan rentenir
berbadan besar itu pun dia sanggup. Walau akhirnya
terluka, dia tetap tidak mengeluh.
Sekarang aku bingung, bagaimana caranya
memberi tahu Kak Rose tentang acara ini. Seandainya
mereka memberi tahu lebih awal, aku pasti bisa menabung
dari uang jajan yang diberikan Kak Erlan setiap minggu.
3 | Silvia Rodiana
Namun, acara camping itu hanya berjarak 3 hari dari
sekarang. Aku benar-benar bingung harus bagaimana.
“Oi, Belle! Lo lagi ngelamunin apa, ha?
Ketampanan gue?”
Aku mendelik pada Dino yang saat ini sudah
duduk di atas motor hitamnya. “Lagi menyesali nasib.
Kenapa, sih, aku pulang-pergi harus dibonceng kamu?”
gerutuku sebal.
“Hamba hanya menjalankan tugas dari Yang Mulia
Kakanda Dewa Erlan si Mata Tiga, Nyisanak.”
“Itu Dewa Erlang, ih!”
Tuhan … aku benar-benar sebal dengan makhluk
petakilan satu ini.
“Aku kasih tahu nanti, ya, kamu ngatain Kak
Erlan.”
“Hilih … padahal manggil nama Bang Erlan aja
kagak berani lo!” cibir Dino, lalu dia mengulurkan helm.
“Pulang, yuk, keburu magrib, nih.”
“Asar aja belum padahal,” balasku sambil merebut
helm dari tangannya.
4 | Silvia Rodiana
“Pegangan yang erat, ya. Gue takut lo terbang
karena terlalu banyak asupan cinta dan kasih sayang dari
gue!”
“Ngoceh lagi aku turun, nih!”
5 | Silvia Rodiana
“Kok, gue, sih, Bang?”
“Tukang rusuh, kan, cuma lo doang.”
Dino berdecak, lalu memanggil, “Oi, Cia! Jangan
masang muka begitu kenapa dah? Gue juga yang disalahin
Babang. Padahal ngapa-ngapain lo juga belum.”
“Eh, aduh!” Dino kembali melengking, saat
kepalanya dipukul Kak Erlan lagi.
“Kamu kenapa, Cia?” Kak Rose kembali bertanya
sambil menatapku.
Aku membalas tatapan Kak Rose, lalu melirik Kak
Erlan sebentar. Rasa takut lagi-lagi datang, bila melihat raut
wajah kakak iparku itu. Dia tampan dan berwibawa
sebenarnya, tetapi entah kenapa karismanya membuatku
takut.
“Dino, temani gue beli minuman,” ujar Kak Erlan
tiba-tiba. Tangannya tahu-tahu saja sudah menarik bagian
belakang kerah baju hijau yang dikenakan adiknya.
“Oi, Bang, dikata gue anak kucing apa? Ditenteng
begini!” Lengkingan Dino terdengar, sebelum pintu
terbuka dan ditutup oleh Kak Erlan.
“Kamu kenapa?” Lagi-lagi Kak Rose bertanya.
6 | Silvia Rodiana
“Anu … itu, Kak. Di sekolah mau ada camping, dan
semua siswa harus ikut. Cia … Cia udah minta izin ke
gurunya biar dibolehin absen, tapi katanya nggak boleh.”
“Oh, camping, ya? Terus, Cia takut ke hutan,
gitu?”
Aku menggeleng lemah. “Camping-nya bayar, Kak.
Uang jajan yang dikasih Kak Erlan buat minggu ini, sudah
Cia pakai sebagian buat beli buku. Em … jadi Cia nggak
punya uang.”
“Oh, gitu, ya? Kakak ada uang, dikasih sama Kak
Erlan. Tapi kakak izin dulu, ya, buat ngasih kamu.”
Aku melihat Kak Rose, dengan mata yang terasa
agak panas. Terkadang aku bingung, bagaimana Kak Rose
bisa bersikap sedewasa ini, padahal usianya hanya terpaut
2 tahun dariku. Dia ikhlas menerima takdir yang begitu
kejam, meski kenyataannya dia dijual oleh Mbak Mela. Dia
tetap berusaha menjadi istri yang sempurna bagi Kak Erlan,
meskipun sadar bila laki-laki itu tidak akan pernah
mencintainya, atau bahkan keluarga Adijaya tidak bisa
menerimanya sebagai menantu. Kak Rose seolah sudah
siap dengan semua risiko, termasuk bila suatu hari Kak
Erlan melepaskannya.
7 | Silvia Rodiana
“Dino juga ikut, ‘kan?”
“He?” Aku agak terkejut dengan pertanyaan Kak
Rose, tetapi segera mengangguk.
“Syukurlah. Kakak tenang kalau ada dia yang jaga
kamu,” lanjutnya sambil tersenyum hangat.
“Tapi dia nyebelin, Kak,” keluhku sambil
merengut.
“Dia baik. Kamu jangan terlalu jutek sama dia,
kasihan.”
Aku diam saja, malas kalau sudah membahas
makhluk astral satu itu.
8 | Silvia Rodiana
mengajak untuk jalan-jalan di sekitar perkemahan.
Awalnya sempat menolak karena takut tersasar, tetapi
mereka memaksa dan Gita mengeluarkan sesuatu dari
tasnya.
“Gue bawa ini, tenang aja!” Itu balok kayu warna-
warni, seperti mainan anak kecil. “Kita tebar di sepanjang
jalan yang kita lewatin, biar bisa balik tanpa drama nyasar.”
“Kayak Hansel dan Gretel?” Aku menaikkan
sebelah alis.
“Ih, itu mah pake roti, pasti dimakan sama
makhluk hutan. Kalau balok kayu kayak gini, siapa yang
mau makan, coba?”
Benar juga, sih.
“Ayo, Belle! Kapan lagi bisa jelajah alam kayak
gini.” Amira menarik tanganku, Gita juga langsung bangkit.
Aku terpaksa ikut, menapaki tanah hutan dengan hati-hati.
Takut bila tersandung akar pohon.
Gita sesekali melempar balok ke jalan yang baru
saja kami lalui, Amira juga menggores batang kayu dengan
cutter yang entah kapan dia bawa. Untuk cadangan,
katanya, kalau-kalau balok kayu Gita melayang entah ke
mana.
9 | Silvia Rodiana
“Eh, itu bukan sungai yang kita pakai buat mandi,
kan, ya?” Gita bertanya sambil menunjuk sungai yang
terlihat agak deras alirannya.
“Bukan, sungainya deras,” jawab Amira.
Kami memutuskan untuk duduk di pinggir sungai
itu. Gita melepas backpack yang ia bawa dari tenda tadi,
mengeluarkan sebungkus keripik kentang dan sebotol air
mineral.
“Lo berdua nggak bengek, ‘kan?” tanya Gita sambil
membuka bungkus keripik warna hijau itu. “Gue cuma
bawa air sebotol.”
“Udah mah, gampang! Lo pikir buat apa Tuhan
nyiptain sungai segede itu, kalau buat minum aja masih
mikir,” celetuk Amira sambil mencomot keripik kentang
Gita. Aku juga ikut makan, dan menyahuti obrolan
mereka.
“Enggak lama lagi kita bakal pisah,” keluh Gita
sesaat kemudian.
“Iya. Nanti kalau sudah kuliah, pasti susah buat
ketemu,” sambungku.
10 | Silvia Rodiana
Kami membahas rencana ke depan. Tentang
pilihan pertama kampus yang akan kami masuki, juga cita-
cita setelah lulus kuliah.
“Mau kawin muda gue,” kata Amira sambil tertawa
renyah.
“Gue pengin jadi koki, dong,” sahut Gita, lalu
menoleh padaku. “Lo, Belle?”
“Em … aku pengin banget masuk ke perusahaan
kakak iparku. Kata Kak Rose, perusahaannya keren.”
Membayangkannya saja membuat hatiku berbunga-bunga.
Bagaimana jika nanti benar-benar sudah bekerja di sana?
Kak Rose pasti senang dan bangga, kalau melihatku
memakai setelah kerja, melangkah yakin ke perusahaan
sebesar Adijaya’s corp.
“Eh, hampir gelap. Kita balik ke tenda, yok!” ajak
Amira. Kami menyetujui, langsung memungut sampah dan
memasukkan ke backpack Gita. Bersiap berjalan kembali
ke tenda, tetapi Amira berteriak kencang. Kakinya
tergelincir dan hampir tercebur ke sungai. Kami
memeganginya, tetapi hal itu membuatku kehilangan
keseimbangan, lalu tercebur. Karena arus sungai ini agak
deras, aku sedikit kesulitan untuk berenang. Beberapa kali
11 | Silvia Rodiana
tangan dan kaki membentur bebatuan di dalam air, sampai
menimbulkan nyeri dan tubuhku menjadi susah
digerakkan.
“Tolong ….” Aku melirih, entah kepada siapa.
Tetap berusaha untuk mengapung meskipun sulit. Namun,
akhirnya ada tangan terulur, memegangku begitu erat
hingga ke tepi sungai. Kupikir itu Gita atau Amira, ternyata
bukan. Itu Dino.
“Belle ….” Gita dan Amira berteriak bersamaan,
suara mereka beradu tangis.
“Lo nggak apa-apa?” tanya mereka lagi, aku
menggeleng.
“Cia! Lo bisa nggak, sih, hati-hati? Kalau nggak bisa
berenang, jangan main di dekat air! Lo mau mati, ha?”
Mendadak aku menangis, seluruh tubuh gemetar.
Bukan hanya karena air sungai, tetapi karena bentakan
Dino. Selama kami kenal hampir 3 tahun ini, baru kali ini
aku mendengarnya membentak seseorang. Dan itu aku.
Karena kejadian itu, kami dimarahi habis-habisan
oleh guru. Namun, yang menjadi pertanyaanku bukan itu.
Dino mendadak pulang, lebih cepat dari jadwal.
12 | Silvia Rodiana
Membuatku gelisah dan bertanya-tanya, apakah dia sakit
karena menolongku tadi?
13 | Silvia Rodiana
DUA
14 | Silvia Rodiana
“Yang bilang itu horor siapa, ha, siapa? Lagi pula
itu bukan cerita, tapi lagu, Dino,” desis guru berkacamata
itu.
“Aduh … Ibu misunderstanding, nih! Itu tuh sangat
horor, Bu, sangat. Coba Ibu bayangin, ada bebek angsa.
Jadi yang benar itu bebek, atau angsa, Bu? Mana nggak
horor, coba? Kakinya pendek, moncongnya panjang. Dih,
horor, ‘kan?”
Bu Naima terlihat memijat pelipis, menggeleng
kecil.
“Terus dia, kan, udah dipotong, matek. Lah, masa
iya bisa lari, Bu? Duh, Ibu gagal paham, nih!” lanjut Dino
dengan santai. Seisi kelas sudah menahan tawa, tetapi aku
tidak merasa perkataannya lucu.
“Dino … tapi itu bukan cerita, Aldino Adijaya. Itu
lagu. La-gu.” Bu Naima tampak frustrasi di depan sana.
“Bu, setiap lagu itu juga cerita. Coba aja Ibu tanya
sama Oom Yovie and the Nuno, pasti bilang kalau setiap
lagu itu menceritakan sesuatu,” kilah Dino santai.
18 | Silvia Rodiana
ke arahku. Sepertinya itu ketua OSIS yang sedang
menjabat, adik tingkatku.
“Em … sudah mau pulang, ya?” Aku mengangguk
menjawabnya. “Gue antar, boleh?”
“Ya, kagaklah!” sahut Dino keras. Tiba-tiba saja dia
muncul entah dari mana. Mungkin dari botol minum gadis
berkepang dua di sebelahku.
“Belle pulang dan perginya sama gue. Titik.”
Adik kelas kami itu tampak sebal, tetapi dia tidak
mendebat.
“Ayo?” ajak Dino sambil melihatku. Aku segera
mengangguk dan mengikuti langkahnya ke lahan parkir
motor sekolah, menunggunya menyiapkan motor besar itu.
Namun, aku baru ingat kalau seharusnya aku meminjam
buku di perpustakaan.
“Dino, aku ke perpus sebentar, ya? Mau pinjam
buku, aku lupa!” Tanpa menunggunya menjawab, aku
berlari ke perpustakaan. Untunglah perpustakaan selalu
tutup lebih lama dari jam pulang sekolah, jadi aku masih
memiliki waktu untuk meminjam buku yang akan kupakai
mencari bahan tugas minggu depan.
“Nyari buku apa, Belle?”
19 | Silvia Rodiana
“Astagfirullah!” Hampir saja buku di tanganku
terjatuh, bila tidak cepat-cepat menyeimbangkan tubuh.
Kaget bukan main, karena tiba-tiba ada suara seorang
cowok di belakang.
“Kenapa, sih, kaget gitu?”
Aku beringsut menjauh, ngeri dengan cowok-
cowok seperti ini.
“Belle, nonton, yuk!” ajaknya, aku menggeleng.
“Kita nggak saling kenal.”
“Aduh, jutek banget, sih! Lagian siapa juga yang
kenal sama Fuchsia Belle, primadona di sekolah ini.
Ayolah … kita nonton, yuk.”
“Nonton sama adek aja, mau, Bang?” Itu suara
Dino.
Aku bergegas berlari melewati cowok itu, lalu
bersembunyi di balik tubuh Dino. Tentu saja di
belakangnya jauh lebih baik. Karena sekalipun jail dan
pecicilan, dia tidak mesum.
“Jangan deketin Belle, kalau nggak mau berurusan
sama gue!” Dino menekankan kata-kata, kemudian
mengajakku pergi dari sana.
20 | Silvia Rodiana
“Tunggu. Bukunya belum dapet,” pintaku setengah
kesal, karena harus terlambat mencari buku gara-gara
cowok tadi.
Dino mengangguk, menemaniku mencari buku
Sejarah yang kutemukan sampai ketemu. Kami pun
berjalan lagi ke lahan parkir, Dino menaruh buku itu di
atas kepalanya. Anehnya, dia berjalan santai dan tenang.
Tidak ada tanda buku itu akan terjatuh dari kepalanya.
“Kok, bisa nggak jatuh begitu?” tanyaku heran.
“Ini skill terpendam gue. Jangan kasih tahu Babang,
ya? Sebenernya gue itu berbakat jadi mamang jualan kue,
yang jalan sambil nahan tampah di kepala.”
Jawaban macam apa itu?
“Ucapan adalah doa. Memangnya kamu mau, jadi
mamang jualan kue?”
Dino melirikku sebentar, kemudian berucap, “Apa
aja yang penting halal, Mbak. Asal nikahnya sama lo, jadi
tukang uprek upil kuda juga gue rela, kok.”
“Tapi aku nggak mau nikah sama tukang uprek upil
kuda,” balasku, langsung mengambil helm putih
bergambar tokoh animasi Tweety yang dibelikan Dino
beberapa waktu lalu.
21 | Silvia Rodiana
“Ya Allah … teganya dirimu, Cia … Cia.”
“Diem, is!” ujarku kesal. Dino kalau sudah bicara,
susah diamnya. “Lagian kamu mau manggil aku Belle atau
Cia, sih? Gonta-ganti mulu!”
“Belle di sekolah, Cia di rumah. Soalnya Cia itu
semacam panggilan sayang. Jadi, gue nggak mau ada temen-
temen sekolah yang manggil lo Cia juga.”
Kepalaku meneleng ke samping, lalu berkata, “Ini
masih area sekolah, ngomong-ngomong.”
“Tapi, kan, sepi, Cia. Enggak ada yang denger, kok,
kalau gue manggil lo Cia.” Cowok yang sudah duduk di atas
motor itu tiba-tiba mendekatkan wajah padaku,
membuatku terkejut.
“Kalau gue cium lo di sini pun, nggak ada yang
lihat, kok.”
22 | Silvia Rodiana
TIGA
23 | Silvia Rodiana
“Oi, jangan, dong! Ditempeleng ke Bulan nanti gue
sama Babang. Ayolah, Cia … naik sini. Nanti gue traktir es
krim.”
Es krim?
Aku menghentikan langkah, mendelik padanya
yang juga mengerem motor mendadak.
“Beneran?” tanyaku meyakinkan.
“Iya, Cia. Kapan, sih, gue bohong?”
“Magnum?”
Dino mengangguk cepat, memukul jok motornya.
“Naik sini.”
“Viennetta? Double dutch? Cornetto?”
“Iya, iya, iya. Sekalian beli sama kulkasnya.”
Kemudian cowok itu menghela napas kasar. “Alamat batal
beli voucher game gue minggu ini.”
Aku menahan tawa melihat wajahnya yang
bertekuk kesal. Sekali-kali mengerjai bocah petakilan
seperti dia ternyata seru juga.
24 | Silvia Rodiana
segala jenis es krim disebutin. Giliran nyame Indoapril
belinya Paddle Pop doang.”
Aku tertawa kecil sambil menjilati es krim rasa susu
di tangan. Kami sedang duduk di depan mini-market,
setelah Dino membelikanku es krim. Tentu saja tadi aku
hanya bercanda. Mana mungkin aku minta jajanan mahal
padanya. Kebetulan, aku bukan kaum peminta-minta.
Dino juga membeli setangkai es krim cokelat,
duduk di sampingku sambil memakan esnya. Dia bisa
berdiam diri sebentar, membiarkanku mengamati sekitar.
Melihat seorang ayah yang sedang menarik motornya ke
luar dari parkiran, sementara bocah laki-laki berusia sekitar
7 tahunan menunggu sambil membawa plastik putih kecil.
Dari wajahnya terlihat sangat ceria. Mungkin dia dan
ayahnya baru saja selesai membeli camilan, seperti yang
dahulu sering kami lakukan sewaktu Ayah masih hidup.
Kenangan sederhana yang terasa begitu istimewa.
“Jangan bengong terus, Cia, nanti es krim lo gue
comot,” ucap Dino tiba-tiba. Aku yang agak kaget langsung
menoleh, lalu membuang pandangan lagi. Melihat anak
kecil tadi tertawa saat akan menaiki motor ayahnya, dan
25 | Silvia Rodiana
mereka pun segera pergi dengan senyum yang tercetak di
wajah masing-masing.
“Lo lihat apa, sih? Anak kecil tadi?”
Aku mengangguk cepat. “Aku kangen Ayah dan
Ibu.”
Memang benar ternyata, patah hati terbesar bagi
seorang perempuan adalah ketika ia kehilangan ayahnya.
Dan kesedihan terdalam seorang anak adalah kehilangan
ibunya. Sekarang aku merasakan itu sekaligus. Patah hati
yang begitu mendalam, karena kehilangan kedua orang tua
dalam waktu bersamaan.
“Kadang aku mikir … kenapa harus aku yang
ditinggalkan Ibu dan Ayah, kenapa bukan anak-anak lain
yang nggak menghargai orang tuanya? Kenapa harus aku,
yang justru sangat membutuhkan Ibu dan Ayah.”
Lagi-lagi sesak itu datang, menghantamku dengan
begitu banyak beban yang mengimpit hati bersamaan.
“Orang tua meninggal, tapi sempat meninggalkan
kenangan bahagia sama anak-anaknya, kadang jauh lebih
baik daripada orang tua yang masih hidup, tapi nggak
pernah ada untuk anaknya.”
26 | Silvia Rodiana
Sontak aku menoleh, melihat cowok yang masih
asyik menjilati es krim cokelatnya itu. Seketika memoriku
berputar, kala pertama kali melihat Dino. Hari itu pertama
kalinya aku datang ke sekolah mewah itu. Aku yang
mendapat undangan khusus untuk bisa masuk ke sekolah
berstandar internasional seperti itu, jelas sangat berbeda
dari kebanyakan siswa di sana, yang masuk karena orang
tua mereka mampu membayar SPP mahal. Saat itu
memang aku diantar Ayah, tetapi aku tahu, kasta kami jelas
berbeda. Mobil yang digunakan Ayah adalah mobil sejuta
umat, berbeda dari kebanyakan mobil konglomerat yang
terparkir di sana. Sehingga membuatku takut dan ragu,
bahkan sempat meminta pada Ayah untuk membawaku
pulang. Aku ingin sekolah di tempat Kak Rose saja, di
mana siswanya berasal dari kalangan biasa. Bukan
gudangnya orang kaya seperti itu. Namun, kata Ayah itu
tidak masuk akal. Bahkan jika Kak Rose yang ditawari
untuk masuk sekolah itu, dia pasti tidak akan menolak.
Jadi, aku tetap masuk dan mulai melakukan
pendaftaran ulang. Sempat ada sesi interview untukku, dan
Ayah menunggu di depan ruangan itu. Interview-nya
berjalan lancar, tetapi ketika aku keluar ruangan, Ayah
27 | Silvia Rodiana
tidak ada. Aku yang ketakutan ditinggalkan di tempat asing
sendirian langsung menangis, dan saat itulah ada seseorang
yang mendekat. Dengan langkah ragu, pandangan
cenderung kosong, tetapi aku merasakan kebaikan dari
dirinya. Dia cowok beralis agak tipis dan mata agak sipit.
Cowok yang sangat pendiam dan insecure. Kupikir awalnya
dia adalah siswa dengan undangan khusus sepertiku,
karena dia tidak terlihat seperti anak orang kaya yang
angkuh. Cowok itu terlalu sederhana, dan penuh dengan
kerendahan hati.
“Tadi … aku lihat bapak-bapak yang nganter kamu.
Dia dipanggil satpam, karena mobilnya nutupin jalan mobil
lain yang mau keluar parkiran. Jadi, bapak itu pergi ke
parkiran sekarang. Jangan takut,” jelasnya waktu itu. Dia
tetap berdiri di dekatku, tanpa sepatah kata. Namun,
kehadirannya membuat tangisku reda. Setidaknya, ada
seseorang yang mau bersikap ramah pada siswi dari
kalangan biasa sepertiku, begitulah pikiranku saat itu.
Di hari pertama kami mulai menjalani masa
orientasi siswa, aku kembali bertemu cowok pendiam dan
penakut itu. Namanya Aldino Adijaya, dan dia satu
kelompok denganku. Aku sempat melihatnya turun dari
28 | Silvia Rodiana
mobil super mewah, ketika ia datang ke sekolah. Jadi, aku
sangat bingung kenapa dia bersikap seperti itu. Dia juga
tidak ingin berteman dengan orang lain, bahkan menolak
ketika didekati. Satu-satunya orang yang dia terima
kehadirannya hanya aku. Hampir setiap hari aku
mendapati cowok itu mengikuti langkahku, tetapi tidak
pernah menyapa. Karena dia diam saja, aku merasa tidak
terganggu. Lagi pula, aku iba melihat matanya yang sangat
kosong. Aku juga penasaran, kira-kira kenapa sampai dia
bersikap seperti itu.
Sekian waktu berlalu, Dino pelan-pelan mulai mau
bicara padaku. Hanya hal sepele. Seperti ketika Ayah dan
Ibu meninggal, aku sempat tidak masuk sekolah selama
seminggu, karena saat itu aku demam. Ketika kembali ke
sekolah, aku melihat Dino berdiri di pinggir gerbang.
Sekian detik kami saling tatap dalam diam, hingga air mata
pun meluncur dari pelupukku.
Aku kehilangan muara kasih sayang, kehilangan
dunia yang selama ini menaungi. Semestaku yang penuh
warna runtuh, berganti kelabu yang begitu menyeramkan.
29 | Silvia Rodiana
“Belle … maaf. Maaf, karena aku nggak bisa apa-
apa untuk ngurangin kesedihan kamu. Aku cuma bisa janji,
aku akan selalu ada untuk kamu. Kapan pun kamu butuh.”
Itu adalah kalimat panjang pertama yang
dikeluarkan oleh Dino, selama kami kenal di sekolah itu.
Sebuah kalimat yang mampu menguatkan, seolah kini aku
memiliki pegangan baru. Meski kami terlihat sama
rapuhnya, setidaknya dia tidak menangis.
Dan sejak saat itu, aku tidak mau bergerak dari
tempat duduk, kecuali Dino datang untuk menjemputku.
Dia akan berjalan di belakangku. Tanpa suara, hanya tak
pernah melepaskan pandangan dari langkahku.
Iya, dia sediam itu. Sampai sesuatu terjadi. Sesuatu
yang tidak pernah terbayang dalam hidup, akan menimpa
diriku.
30 | Silvia Rodiana
EMPAT
31 | Silvia Rodiana
Aku mengulang pertanyaan itu di dalam hati.
Apakah aku ingin dia kembali seperti itu?
“Aku nggak tahu,” ucapku jujur. “Aku mau kamu
jadi diri kamu sendiri, dan bahagia.”
Kami terdiam cukup lama, membiarkan suara
sekitar menguasai pendengaran. Hingga detak jantung
seperti irama jarum jam di rumah lama kami, tenang.
“Ada banyak hal yang bikin gue nggak bisa bener-
bener bahagia.”
Ketika aku menoleh, Dino sedang tersenyum
miris. Pandangan matanya seolah terlempar jauh. Dia
menatapku, tetapi pikirannya entah terlempar ke mana.
“Luka dari masa lalu, yang nggak mungkin bisa
sembuh sampai kapan pun. Bahkan waktu tidur pun, gue
selalu mimpi hal yang sama. Gue … benci diri sendiri,”
paparnya, membuat hatiku nyeri.
Aku tidak tahu, apa yang sudah terjadi di masa lalu
mereka. Kata Kak Rose, Dino dan Kak Erlan sama-sama
punya luka masa lalu yang mendalam, tetapi dia tidak
bercerita banyak. Aku ingin tahu, tapi jika itu artinya
menyakiti Dino karena harus membuka luka lamanya,
32 | Silvia Rodiana
maka aku akan menahan diri. Lebih baik luka itu terkubur,
dan lenyap seiring waktu.
“Waktu di hutan, gue bentak lo. Maaf. Gue kejam
banget, ya? Padahal lo pasti sudah ketakutan setengah mati,
karena hampir tenggelam. Lah, sama gue malah dibentak.”
Dino meringis di ujung kalimatnya. Aku bahkan tidak
yakin, dia masih ingat peristiwa itu. Karena sepulangnya
dari camping, dia tidak pernah membahas hal itu lagi.
“Makanya, Cia. Kalau nggak bisa renang, jangan
main di pinggir sungai,” oceh cowok aneh itu. Kukira tadi
benar-benar mau minta maaf, ternyata masih berniat
menceramahiku.
“Aku bisa renang, kok. Cuma waktu itu arusnya
deras banget, aku nggak bisa ngimbangin,” kilahku, tidak
mau disudutkan terus-terusan.
“Hilih … paling kalau renang juga di kolam yang
dalamnya setengah meter, gabung sama anak TK.”
“Dih, sembarangan, ya. Aku biasa renang di kolam
yang dalamnya 2 meter padahal.”
“Ngaku ajalah, Cia. Lagian cocok, kok, lo gabung
sama anak TK. Tingginya samaan juga,” cibir cowok itu
sambil tersenyum setan.
33 | Silvia Rodiana
Iya, sih, memang aku agak pendek, tapi bukan
berarti kerdil.
“Eh, gue kalau lihat Mbak Oce sama Babang Elan
jalan berdua suka geli,” ucap Dino tiba-tiba. “Mbak Oce
pendek begitu, Babang gue tinggi banget. Mana tiap jalan
gandengan tangan. Kayak bapak sama anak deh!” Dia
tertawa terpingkal-pingkal, sampai ujung matanya berair.
Aku juga tersenyum geli. Nasib memang menjadi
cewek pendek, harus siap jadi bahan candaan.
Plak!
Saking kagetnya, aku langsung berdiri. Tiba-tiba
saja ada suara pukulan, dan kulihat Dino sudah melengking
sambil meringis.
“Oi, Bang! Kapan datangnya, coba? Lo keluar dari
botol apa gimana, sih?” Dino mengoceh sambil mengusap-
usap kepala yang tadi dipukul kakaknya.
Kemudian Kak Rose muncul dari balik punggung
kekar suaminya. Dia tersenyum padaku, lalu mendelik
pada Dino.
“Kak … Kakak dari mana? Kok, tiba-tiba banget
bisa muncul di sini?” tanyaku pada Kak Rose.
34 | Silvia Rodiana
“Tadi kami habis makan di situ.” Kak Rose
menunjuk atap angkringan yang tidak begitu jauh dari mini-
market ini. “Terus Kak Erlan lihat kalian duduk di sini,
makanya kami samperin. Eh, ternyata lagi digibahin.”
“Gibah, gibah, gibah. Itu fakta!” sangkal Dino
sambil berjalan menjauh dari kakaknya, pasti takut kena
tempeleng lagi.
“Fakta nenek moyang lo! Lo pikir tampang gue
setua itu, sampai mirip bapaknya Rose?” Kak Erlan bicara
sambil melipat kedua tangan di dada.
“Bang, jangan amnesia, deh. Nenek moyang kita
samaan, ngomong-ngomong,” balas Dino santai. “Lagian
kenapa nggak salahin nenek moyang mereka aja, coba?
Kenapa keturunannya bisa imut-imut kayak kucing
munchkin begini.”
“Biar enak dipeluk!”
Ha? Apa telingaku masih berfungsi dengan baik?
Itu tadi Kak Erlan yang bicara seperti itu?
Belum sempat aku sadar dari keterkejutan, pria
tinggi kekar itu tahu-tahu saja sudah menggandengan
tangan istrinya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah
kakak kandungku. Cewek pendek nomor 1. Dia mengajak
35 | Silvia Rodiana
Kak Rose masuk ke mini-market, dan secara naluriah kami
mengikutinya.
“Bang, mau ngapai ke Indoapril?” tanya Dino
sambil mengekor.
“Jajanin bini gue, lah.”
Kak Erlan terlihat mengambil keranjang merah
dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya masih
menggenggam tangan Kak Rose. Sepertinya memang
membahagiakan, di saat ada seseorang yang
menggenggammu dalam keadaan apa pun. Dan sekarang
aku lega, karena sudah ada yang menggenggam tangan Kak
Rose, bagaimanapun keadaannya.
“Bang, gue juga jajan, ya? Mau beli pulsa sama
Kinderjoy,” pinta Dino dengan wajah yang terbelah oleh
cengiran lebar.
Kak Erlan tidak menjawab, bahkan mengangguk
pun tidak, tetapi Dino tetap mengambil keranjang, lalu
mulai mengisinya dengan aneka makanan ringan.
“Cia mau jajan apa?” tanya Kak Rose, membuatku
menoleh dan tersenyum kecil. Aku juga ingin makanan
yang dibeli Dino, tetapi tidak berani memintanya pada Kak
Erlan. Dia sudah cukup baik, setiap minggu
36 | Silvia Rodiana
membelikanku stok makanan. Aku tidak ingin menambah
beban lagi.
Sekali lagi, kepala Dino ditempeleng kakaknya.
Kupikir karena dia mengambil jajanan tanpa izin, ternyata
bukan. Kak Erlan malah mengucapkan sesuatu yang
membuatku terpana.
“Lo lagi jalan sama cewek, bukannya perhatiin dia
mau apa, malah mikirin diri sendiri.”
Jujur … aku tidak menyangka. Di balik sikap dingin
dan kaku pria bergelar kakak iparku ini, dia sangat
perhatian dan penyayang.
“Bang … Cia, kan, bisa ambil sendiri apa yang dia
mau. Masa iya mesti gue ambilin juga? Jalan mesti gue
gendong juga jangan-jangan, nih!” keluh Dino sambil
meringis.
Tiba-tiba bahuku terasa sakit, dan ada suara benda
terjatuh.
“Maaf, Mbak, maaf,” ucap seseorang yang telah
menabrakku, sampai membuat belanjaan yang
dipegangnya terjatuh.
37 | Silvia Rodiana
“Iya,” sahutku seadanya. Cowok bertubuh tinggi itu
masih menatapku untuk beberapa saat, sampai membuat
risi.
“Oi, dah nabrak, mata jelalatan pula. Mau gue
congkel itu mata, ha?” desis Dino, menatap tajam cowok
yang tadi menabrakku.
Cowok itu salah tingkah, lalu mengambil snack
yang terjatuh dan memutar arah. Sekali lagi dia mengucap
maaf padaku, yang hanya kusahuti dengan senyum tipis.
“Dia pikir ini sinetron kali, ya? Nabrak, tatap-
tatapan, terus jadian. Enak aja! Dia nggak lihat apa, di sini
ada Babang Dino yang selalu siap sedia jadi pelindung Cia.
Berani goda Cia, gue gibeng lo!”
Selagi Dino mengoceh, Kak Rose sudah
mengajakku menyusuri lorong mini-market. Aku juga
sudah fokus mengambil camilan untukku dan Nina di
apartemen, tanpa memedulikan cowok aneh itu. Kak Rose
juga terus menunjukkan camilan yang sering kami beli
dahulu bersama Ayah.
“Kak … aku beli ini juga buat Cia, ya? Dia suka ini.”
Kak Rose menunjukkan snack berbungkus hijau pada Kak
Erlan, yang langsung mengangguk.
38 | Silvia Rodiana
“Kamu juga beli,” sahut pria itu tegas. Seperti
sebuah perintah yang harus dituruti.
Cukup jauh kami berjalan dari lorong tadi, baru
terdengar Dino berteriak, “Oi! Tega banget ninggalin gue!”
Rupanya dia baru sadar, sejak tadi mengoceh
sendirian.
Aku sengaja mengambil jarak dari Kak Erlan dan
Kak Rose, memperhatikan mereka. Benar kata Dino,
mereka seperti ayah dan anak. Wajah Kak Rose terlihat
sangat bahagia, sama seperti saat kami bersama Ayah
dahulu. Kupikir itu wajar, jika dia masih suka dengan hal-
hal kecil seperti ini. Kak Rose baru 19 tahun, masih wajar
kalau kadang tingkahnya kekanakan. Ditambah lagi sikap
Kak Erlan yang sangat dewasa, seperti benar-benar mampu
menjadi pelindung bagi Kak Rose. Entah mengapa …
melihat hubungan mereka dari hari ke hari membuatku
terbawa perasaan.
39 | Silvia Rodiana
ketika jam sudah menunjukkan pukul 5, dia sendiri yang
akan pergi tanpa diusir.
Aku sudah bersiap menutup pintu, tetapi cowok itu
malah berdiam diri. Tangannya bersidekap di dada,
matanya lurus menatapku.
“Apa?” tanyaku tak sabar. Orang ini punya jenis
pandangan yang membingungkan.
“Tadi Bang Erlan bilang, cewek pendek itu enak
dipeluk. Jadi pengin nyoba gue.”
40 | Silvia Rodiana
LIMA
41 | Silvia Rodiana
“Tanya Kak Erlan. Kan, sekarang yang ngasih aku
makan Kak Erlan,” sahutku sekenanya.
Dino menghela napas panjang, lalu menegakkan
tubuhnya. “Baiklah! Hari ini memang Babang yang
nanggung kebutuhan lo. Tapi lihat aja entar, kalau gue
sudah kerja, tetap Babang juga yang nanggung kebutuhan
lo.”
Aku sampai mengangkat alis. Ucapan macam apa
itu?
“Ya, kalau tetap Kak Erlan yang nanggung biaya
hidupku, maksud kamu ngomong tadi apa?”
“Buat ngasih tahu lo, Belle. Nanti biar Babang yang
nanggung kebutuhan hidup lo, biar gue bisa nabung buat
beli rumah dan membangun rumah tangga sama lo.”
Membangun rumah tangga apanya?
“Siapa juga yang mau bangun rumah tangga sama
kamu?” pekikku kesal. Sialan! Kenapa wajahku jadi panas
begini?
“Lo, lah, Belle. Masa iya gue kawin sama kucing
munchkin tetangga?” sahut cowok itu sekenanya.
42 | Silvia Rodiana
“Biarpun sama imutnya sama lo, tapi gue mah
maunya sama lo aja. Enggak mau sama kucing,” lanjutnya,
yang membuatku tambah kesal.
“Tapi aku nggak mau sama kamu!” teriakku, lantas
berdiri dan berjalan meninggalkannya. Namun, cowok itu
ikut-ikutan berdiri dan membuntutiku. Kalau dahulu aku
tidak keberatan dengan kehadirannya karena dia selalu
diam, sekarang rasanya agak aneh, karena dia terlalu
berisik.
Namun, ada satu hal yang tidak bisa kuabaikan.
Berkat kehadirannya, aku tidak pernah takut diganggu
orang lagi. Kalau 2 tahun lalu dia tidak ada di dekatku, saat
aku diganggu anak-anak nakal dari sekolah lain, entah
bagaimana nasibku kini.
Itu hari Selasa, aku sangat ingat. Aku dan beberapa
teman cewek masih mengerjakan tugas di perpustakaan,
ketika semua siswa sudah beranjak pulang. Ketika
perpustakaan akan tutup, kami terpaksa menyudahi
kegiatan hari itu, meski tugas belum selesai. Teman-
temanku sudah ditunggu oleh sopir mereka masing-masing
waktu itu, hanya aku yang harus pulang berjalan kaki.
Sebetulnya ada dari mereka yang menawarkan tumpangan
43 | Silvia Rodiana
sampai ke halte, tetapi aku tidak enak hati. Rasanya tidak
pantas naik ke mobil mewah mereka. Jadi, aku memilih
berjalan kaki. Sayangnya waktu itu, sebelum sampai halte,
ada rombongan anak nakal dari sekolah lain yang
menggangguku. Mereka membuatku sangat takut. Anak-
anak berandalan itu menghadang dan menggodaku.
Kupikir saat itu riwayatku sudah tamat. Namun, tanpa
diduga ada dia di belakangku.
Tanpa ragu, tanpa takut. Dino berteriak
menghentikan mereka, menyuruh menyingkir dariku.
Padahal dia sendirian, dan tubuhnya tidak terlalu besar.
Berbeda dengan anak-anak nakal itu, ada dari mereka yang
tubuhnya sangat tinggi dan besar.
Dino berkelahi dengan mereka, tidak peduli jika
dirinya sudah babak belur. Sementara yang bisa aku
lakukan hanya menangis dan berteriak, berharap seseorang
menolongnya. Untunglah ada sebuah mobil yang mau
menepi, lalu pengendaranya memisahkan mereka.
Aku ingat saat itu, wajah Dino penuh lebam.
Namun, dia menolak diobati.
“Ayo, pulang. Gue antar,” katanya waktu itu, tidak
peduli pada diri sendiri. Kami berjalan ke halte bus, lalu
44 | Silvia Rodiana
naik bus ke arah rumahku. Kami tetap diam selama
perjalanan, meskin jantungku seakan porak-poranda. Aku
cemas padanya, ngeri melihat wajahnya yang biasa bersih
kini dihiasi lebam dan darah kering. Namun, cowok itu
tampak tenang dan tidak merasakan sakit sama sekali. Dia
diam, menatap ke luar jendela tanpa pernah sekali pun
menoleh padaku. Membuat hatiku nyeri. Seperti ada yang
teriris melihatnya mengabaikanku. Padahal biasanya,
hanya aku yang ada dalam pandangannya.
Ketika sampai di depan rumah, aku bingung apa
yang harus dilakukan. Apakah aku akan mengajak Dino
masuk, atau membiarkannya pulang saja. Karena saat itu,
rumah masih dalam keadaan terkunci. Sepertinya Kak
Rose belum pulang dari sekolahnya.
“Masuk, Belle. Gue tunggu di sini sampai lo masuk
ke rumah dengan aman.” Dino berucap dengan pasti,
seolah membaca isi pikiranku.
Aku tidak benar-benar tahu apa yang kurasakan
saat itu. Ini aneh, seperti ada gurat tawa dan gores luka yang
kurasa di saat bersamaan. Aku tidak bisa mengartikannya
dengan lugas. Namun, jelas sekali terasa nyaman, saat Dino
45 | Silvia Rodiana
melempar senyum tipis padaku. Itu pertama kalinya dia
tersenyum, sepanjang kami berkenalan.
“Jangan takut sama apa pun. Gue akan
menanggung semuanya untuk lo.”
Saat itu aku tahu, duniaku berhenti untuk sejenak.
46 | Silvia Rodiana
kemudian menyendok sebanyak-banyaknya ke mangkok
bakso Dino, sampai membuatnya melengking.
“Diare gue kalau begini!”
“Lah, katanya tadi latihan?” balasku cepat. “Kalau
orang latihan itu, biasanya penuh dengan kesalahan, supaya
nanti tahu mana hasil yang terbaik.”
Lantas kusodorkan bakso super pedas itu padanya
sambil berkata, “Kalau mau jadi suami aku yang penuh
dengan kekurangan ini, harus siap-siap dengan risikonya.
Salah satunya, aku nggak bisa masak. Jadi, harus latihan
makan masakanku yang nggak enak. Terima nasib, ya.”
Dino sempat bengong, mulutnya terbuka sedikit.
Aku tersenyum geli melihat ekspresinya, lalu melengos dan
mulai memakan baksoku. Kupikir cowok itu akan
membuang bakso yang kutumpahi cabai, ternyata tidak.
Dia tetap berusaha menyuapnya. Namun, aku menahan
dan menarik mangkoknya menjauh.
“Gila, ya! Bukannya dibuang juga!” ocehku sebal.
“Katanya tadi latihan?” cibir cowok itu sambil
mendelik padaku. “Gue mah siap lahir batin, buat nerima
lo dengan segala kekurangan dan kelebihan, Belle.”
47 | Silvia Rodiana
“Ciye ….” Itu suara Mpok Munah, pedagang bakso
di kantin ini. “Udah deh, Neng Belle yang cakepnya setara
sama Syifa Haju. Terima aje itu si Entong. Kesian, udah
dari zaman Siti Nurbaya pake kebaya, sampe zaman Siti
Badriah pake celana jin ngejer cinta si Eneng, belum juga
di-acc.”
Tuhan … kenapa aku dikelilingi makhluk koplak
seperti mereka ini?
“Nah, itu, Mpok, itu! Demen banget kalau Mpok
Munah udah ngomong! Pokoknya kalau Belle nerima
cintanya Babang Dino, gue suruh Babang Elan borong
dagangan Mpok Munah. Sama gerobaknya sekalian,”
celetuk Dino sambil tersenyum lebar.
“Elah … gerobak gue lo beli, gue jualan pake apa?
Tedmon sekolah lo?”
“Yakali jualan bakso pake Tedmon?” Dino tetawa
terbahak-bahak, orang-orang di sekitar kami juga ikut
tertawa. Mpok Munah menepuk bahuku pelan, kemudian
berjalan meninggalkan kami, menuju gerobak baksonya.
“Tuh, Belle, kayak Mpok Munah, dong.
Pengertian sama perasaan dan perjuangan gue untuk
mendapatkan cinta lo.”
48 | Silvia Rodiana
Tidak tahu kenapa, bakso di hadapanku berubah
menjadi monster kutu loncat. Membuatku ngeri dan malas
untuk memakannya.
“Yaudah, kalau Mpok Munah pengertian sama
kamu, nikahnya sama dia aja! Pas, lah. Mpok Munah, kan,
janda kembang. Cocoklah sama kamu yang kayak abang-
abang!” omelku, lalu berdiri dan berjalan tergesa.
“Oi, Belle! Makanan lo belum habis padahal!”
teriak Dino di belakang, sepertinya membuntutiku.
“Belle, balik kantin, yuk? Masih lapar gue.”
“Terserah! Lagian siapa suruh juga kamu bandingin
aku sama Mpok Munah? Pacaran aja sama dia kalau suka!”
ketusku, tak mau menoleh dan melihat tampang
pecicilannya.
“Oi, Belle. Lo ... cemburu, ya?”
Apa? Cemburu?
49 | Silvia Rodiana
ENAM
50 | Silvia Rodiana
“Kakak Dino!”
Kepalaku sontak menoleh ke sumber suara,
melihat seorang gadis sedang berlari ke arah kami. Cewek
berkerudung putih sepertiku itu tersenyum lebar,
menunjukkan deretan gigi yang rapi dan putih. Dino yang
baru selesai memarkirkan motor pun menoleh, melihat
gadis berkulit cerah itu dengan sebelah alis terangkat.
“Pagi, Kak Dino,” sapa gadis itu sambil tersenyum.
Iya, hanya Dino saja yang disapa. Seolah aku ini makhluk
tak kasat mata.
“Iye, gue tahu ini masih pagi, belum siang,” sahut
Dino santai sambil membetulkan posisi ransel hitamnya.
“Kak Dino bisa aja.” Cewek itu tertawa kecil, lantas
menyodorkan tas bekal merah muda pada Dino. “Kak, aku
bawain ini buat Kakak. Tadi aku sengaja, lo, bangun pagi-
pagi buat bikinin Kakak nasi goreng. Diterima, ya, Kak.”
Wajah cewek yang sedikit lebih tinggi dariku itu
tampak merona, tidak pucat seperti tadi. Matanya
memancarkan harapan kepada Dino, agar dia mau
menerima kotak bekal itu. Dan seperti yang sudah kuduga,
tentu saja Dino mengambilnya. Sambil tersenyum pula.
“Makasih, ya. Tahu aja gue doyan makan.”
51 | Silvia Rodiana
Cewek yang kupikir baru kelas X itu tersenyum
sangat bahagia, saat Dino menyambut kotak bekal dari
tangannya.
“Kotaknya ambil ke kelas gue nanti, ya? Kalau gue
nggak ada, meja gue paling belakang di baris—”
“Baris kedua dari pintu masuk,” potong gadis itu.
“Aku tahu, kok, Kak. Aku, kan, sering lihat Kakak dari luar
kelas.”
Stalker.
Baiklah … sudah cukup aku menjadi patung hidup
tanpa dihiraukan.
“Dino, ayo, ke kelas.”
“Kak … boleh, nggak, aku jalan sama Kakak ke
kelas?” pinta gadis itu, melihat Dino dengan mata bulatnya.
Sudut bibirku sampai naik sebelah. Apa-apaan cewek ini?
Dia sama sekali tidak menganggapku ada.
“Enggak boleh!” balasku kejam. “Lagian kelas 1,
kan, di tingkat bawah. Ngapain ikut kami ke tingkat 3
sana?”
“Ih … aku, kan, nggak ngomong sama Kak Belle!”
sahut gadis itu merajuk.
“Eh, lo kenal Belle juga?” tanya Dino padanya.
52 | Silvia Rodiana
“Iya, tahu. Kak Belle, kan, primadona di sekolah
ini. Tapi … aku lebih cantik dari Kak Belle, kan, Kak
Dino?”
Aku memutar bola mata malas. Gadis ini ….
“Nanti kalau Kak Belle sudah lulus, pasti aku yang
jadi primadona di sini!” sambungnya penuh percaya diri.
“Waduh, pede banget nih bocah!” Dino bicara
sambil terkikik. “Tapi, ya, bolehlah. Nanti kalau Belle
sudah lulus, lo gantiin posisinya sebagai primadona
sekolah, ya.”
Cewek itu melompat kecil, aku melotot mendengar
ucapan Dino.
“Tapi kalau primadona di hati gue … ya, tetap
Fuchsia Belle,” lanjut Dino sambil mengerling ke arahku,
lantas menunjuk jalan dengan dagunya.
Aku sempat melihat cewek itu, yang ternyata masih
membuntuti kami. Lama-lama malas juga meliat gadis-
gadis genit seperti mereka, yang selalu berusaha mendekati
Dino. Apa mereka tidak punya malu, mengejar laki-laki
seperti itu? Dasar genit!
53 | Silvia Rodiana
Dino memang salah satu idola di sekolah ini. Selain
terkenal karena pandai membuat orang pusing dengan
ocehannya, dia juga sering berkelahi (karena membelaku).
Selain itu, orang-orang juga sering berbisik karena Dino
disebut sebagai salah satu siswa dari keluarga terkaya di
sekolah ini. Sebetulnya Gita dan Amira juga sering
menyebut soal kakak Dino, yang kata mereka sangat
tampan dan sukses di usia muda. Namun, aku baru
pertama melihatnya saat Kak Erlan mengantar Kak Rose
ke sekolah ini, sesaat setelah mereka menikah.
Dia memang baik kepada semua orang, kecuali
kepada cowok-cowok yang berusaha mendekatiku.
Mungkin karena itu juga, dia jadi punya banyak musuh di
sekolah ini. Namun, seingatku tidak pernah benar-benar
ada yang berani melawannya sendirian, karena Dino
seperti kesetanan setiap kali dia berkelahi. Tidak bisa
dihentikan, kecuali dia mau berhenti sendiri.
“Kak Dino, semangat, ya, belajarnya!” sorak gadis
tadi, sambil mengepalkan tangan kanannya. Seolah itu
akan berpengaruh kepada seseorang.
“Iye, iye. Balik kelas sana, nanti keburu masuk!”
54 | Silvia Rodiana
Cewek itu menjerit kecil. “Ah! Senengnya
diperhatiin Kak Dino.” Kemudian dia melambaikan
tangan dan berlalu dari kelas kami.
Dino juga berjalan ke mejanya di baris paling
belakang. Kulihat dia bercanda dengan teman-teman
cowoknya, lalu membuka tas bekal tadi, mengeluarkan
kotak makanan yang juga berwarna merah muda. Ada
secarik kertas yang dia tarik dari dalam tas itu, membacanya
sesaat, kemudian meletakkannya di meja. Dia mulai
makan dengan lahap, dan tentu saja sambil berkelakar
dengan teman-temannya.
Kenapa dia bisa makan selahap itu? Apa dia tidak
sarapan tadi di rumah? Atau karena dia suka, makan
masakan cewek yang mengaku lebih cantik dariku tadi?
Apa cewek itu benar-benar lebih cantik dariku?
“Belle, lihat tugas Matematika punya lo, dong? Gue
nggak ngerti cara ngerjain yang nomor 5.” Tiba-tiba Amira
ada di samping mejaku.
Gita juga ikut-ikutan mendekat, berkata, “Iya,
Belle. Soal nomor 5 itu kayak paket dari neraka. Susah
banget dipecahin!”
55 | Silvia Rodiana
Aku menghela napas panjang, lalu menggeleng.
“Enggak boleh nyontek punya aku. Sini, aku ajarin aja.”
“Ah, lo dari kelas 1 sampai sekarang pelitnya makin
nambah,” keluh Amira sambil merengut, tetapi dia
mendekatkan buku tulisnya padaku. Aku pun mulai
menjelaskan pada mereka bagaimana mengerjakan soal itu,
tetapi belum sempat mereka menemukan jawaban yang
benar, guru yang akan mengisi jam pertama sudah masuk
ke kelas kami. Untungnya pelajaran Matematika di jam
ketiga, jadi mereka punya waktu untuk mengerjakannya.
“Dino, kerjakan soal di papan tulis!” seru guru
berkumis tipis itu. Dino memang sering menjadi sasaran
para guru, untuk mengerjakan tugas di depan kelas, entah
kenapa.
“Ah, siap, Pak!” Cowok itu berjalan ke depan kelas
dengan sangat santai, lalu mulai mengambil spidol dan
menuliskan angka demi angka. Tumben otaknya encer
sepagi ini? Biasanya setiap pelajaran Fisika di jam pertama,
selalu saja ada drama darinya, yang mengeluh karena
otaknya belum siap diajak bekerja keras.
56 | Silvia Rodiana
Guru Fisika kami memeriksa jawabannya sambil
berulang kali membetulkan posisi kacamata. “Tumben
jawabannya benar, Dino?”
Dino menutup spidol, lalu menghela napas dalam.
“Kenapalah hidup Babang Dino ini selalu serba salah?
Jawab salah dimarahin, jawab benar diheranin. Jawab siap
menikahi Belle digebukin, jawab siap menikah dua kali
ditenggelamkan.”
“Dino!” Tanpa sadar aku memekik, sampai semua
orang menoleh dan menatapku kaget. Aku juga terkejut,
kenapa bisa berteriak sekencang itu. Ya, Tuhan … aku
malu.
“Kenapa, Belle?” tanya guru kami. Mati aku!
Bagaimana ini?
“Eng-gak, Pak.”
“Ya, sudah, Dino. Kamu kembali ke tempat
duduk,” suruh guru itu, yang langsung diangguki Dino. Dia
pun kembali ke belakang dengan semangat, lalu terdengar
bisik-bisik mereka di belakang, diiringi tawa diam-diam.
57 | Silvia Rodiana
kami. Tak lama, seorang gadis masuk ke kelas sambil
berlari kecil. Itu gadis yang tadi pagi.
Dia berlari menghampiri meja Dino di belakang,
mengambil tas bekal yang sudah diletakkan Dino di
mejanya. Kupikir dia akan segera keluar dari kelas, ternyata
malah berhenti di samping mejaku.
“Kak Belle, lo nggak pacarakan, kan, sama Kak
Dino?” tanyanya tanpa basa-basi.
Aku diam saja, tidak merasa berkewajiban
menjawabnya.
“Pasti nggak, ‘kan? Gue dengar dari orang-orang,
Kak Dino mau bonceng lo pulang-pergi karena kasihan.
Lo, kan, biasanya jalan kaki,” lanjutnya tanpa menunggu
reaksiku.
“Pokoknya gue suka sama Kak Dino, dan gue
nggak peduli sama lo. Bye!”
Sialan! Percaya diri sekali anak ini … memangnya
Dino mau sama dia? Namun, ucapan itu benar-benar
membuat mood-ku hancur seharian. Kenapa juga dia
harus mengatakannya padaku? Memangnya aku peduli,
kalau dia suka pada Dino? Dasar cewek menyebalkan!
58 | Silvia Rodiana
Aku yang tadinya sedang sibuk menggaris di kertas
karton terdiam, kala melihat kedekatan Kak Rose dan Kak
Erlan. Interaksi kedua manusia ini memang aneh. Mereka
tidak banyak bicara, hanya tatapan mata dan tindakan yang
mewakili segalanya. Seperti sekarang, saat Kak Rose
sedang asyik dengan puding susu di tangannya, Kak Erlan
mendekat dan membuka mulut. Dengan malu-malu, Kak
Rose menyuapkan puding itu kepada suaminya. Mereka
terlihat manis dan hidup dalam kedamaian.
“Cia, kamu bikin tugas apa, sih?” tanya Kak Rose,
yang seolah berusaha mengalihkan perhatian dari
suaminya. Mungkin dia malu padaku.
“Oh, ini … tugas Matematika.”
“Dino nggak bikin?” Kak Rose lantas menoleh
pada Dino, yang sejak tadi sibuk dengan gawainya.
“Enggak, ada anak kelas 1 yang ngerjain tugas gue.
Biarin deh, Mbak, capek gue belajar terus.”
“Cewek kelas 1 yang tadi?” tanyaku cepat.
“Iya, yang tadi. Namanya Tamara. Baik anaknya,
pintar juga. Te—”
“Terserah! Aku nggak peduli sama dia!” potongku
cepat, lalu bangkit dari ambal abu-abu yang sejak tadi
59 | Silvia Rodiana
kududuki. Berjalan tergesa ke kamar, tidak peduli jika Kak
Rose memanggil. Terserah! Memangnya aku peduli
dengan cewek bernama Cemara itu? Tidak akan!
60 | Silvia Rodiana
TUJUH
61 | Silvia Rodiana
Cowok-cowok di belakang mulai bersorak-sorak
tidak karuan, sementara Gita dan Amira mendekat ke
mejaku.
“Belle … gue pikir lo sama Dino pacaran?” bisik
Gita sambil melirik ke belakang.
“Iya. Lo sama Dino kayak deket banget belakangan
ini, pulang-pergi berdua. Masa iya nggak pacaran?” timpal
Amira dengan tampang ditekuk.
“Enggak,” balasku cuek, sesaat sebelum bersin lagi.
Gita mengulurkan tisu, langsung kuambil untuk menekan
hidung yang mulai tidak nyaman. Sepertinya aku akan flu.
“Belle, lo sakit?” Tiba-tiba suara Dino terdengar
cukup dekat. Ternyata dia sudah ada di belakangku.
Aku hanya menggeleng menjawabnya.
“Mungkin Belle alergi sama cewek ganjen ini,
makanya dari tadi bersin terus!” celetuk Gita sambil
menunjuk Cemara yang tahu-tahu saja sudah berada di
samping Dino.
“Ih, sembarangan! Dikata gue kuman kali, ya.
Lagian kalau alergi sama cewek cantik kayak gue nggak
mungkin, tuh. Kalau cemburu mah, iya!” sahut Cemara
62 | Silvia Rodiana
sambil melipat kedua tangan di depan dada, dan mata
mendelik padaku.
“Cantik, cantik, cantik. Muka kayak bubur campur
Madura begitu padahal, warna-warni!” ketusku, kesal
setengah mati. Dari kemarin selalu saja merasa paling
cantik. Memang siapa, sih, yang mengakui si Cemara ini
cantik?
“Eh, mulut lo, ya!” Cewek kelas 1 itu mengangkat
tangan hendak memukulku, tetapi Dino lebih dahulu
menangkap tangannya.
“Kak Dino, lepas, ih! Biar aku sumpel mulutnya
yang kurang ajar itu!” pekik si Cemara heboh.
“Lo mau nyumpel mulut Belle? Gimana kalau
mulut lo dulu yang gue sumpel?” Dino berkata santai, lalu
menyeret cewek itu ke luar kelas. Cemara memberontak,
tidak terima karena diperlakukan Dino seperti itu. Namun,
sepertinya Dino tidak peduli. Dia mengeluarkan cewek itu
dari kelas, lalu membanting pintu keras-keras ketika cewek
itu hendak masuk ke kelas lagi. Beberapa orang sampai
terlonjak, saking kerasnya suara pintu tadi.
“Apa lo lihat-lihat?” sentak Dino pada seorang siswi
yang duduk di barisan depan dekat pintu. “Pokoknya kalau
63 | Silvia Rodiana
ada yang mau ngasarin Belle, bakalan berurusan sama
gue!”
“Waw … gue kira lo selingkuh sama cewek tadi?”
Amira mencibir.
“Eits, jangan sembarangan, ya, Nona Muda.
Karena Abang Erlan, abang gue yang paling ganteng itu,
nggak pernah ngajarin gue selingkuh. Hidup abang gue tuh
kayak batu nisan. Biarpun kaku dan dingin, tapi nggak
pernah pindah ke kuburan lain.”
Gita tertawa kencang, sampai memukul bahuku.
Amira juga terkikik mendengar ucapan Dino.
“Tega banget nyamain abang lo sama batu nisan,”
komentar Gita sambil menahan tawa.
“Abisan abang gue gitu, kaku banget. Kalau manggil
bininya aja: ‘Rose. Kopi.’” Dino menggeleng setelah
berusaha menirukan abangnya, yang sayang tidak mirip
sama sekali.
“Cobalah kalau gue, pasti ada variasinya gitu. Gini
nih, contohnya.” Cowok itu berjalan mendekat ke mejaku,
lalu berjongkok di dekatku.
“Calon istri yang cantik jelita, ke kantin, yuk. Laper
banget gue! Enggak nyangka ternyata banting pintu bisa
64 | Silvia Rodiana
makan tenaga sebanyak ini,” katanya, yang kembali
memancing tawa Gita dan Amira.
Apa-apaan cowok petakilan ini? Masa cuma
membanting pintu saja bisa kelaparan?
“Enggak usahlah ke kantin. Kan, ada roti spesial
dari Cemara itu!” kataku ketus.
“Cemara?” Dino mengernyit, kemudian tertawa.
“Namanya Tamara, oi. Sukaan ganti nama orang.”
“Kamu juga suka ganti nama orang. Kak Erlan jadi
Babang Elan, Kak Rose jadi Mbak Oce.”
“Kalau itu namanya panggilan sayang, Belle. Udah,
ah, yuk, ke kantin. Laper gue.”
Aku menggeleng, tiba-tiba malas bergerak.
“Belle nggak enak badan deh kayaknya, Dino,”
celetuk Amira sambil melihatku. “Mending lo beliin
makanan gitu, terus bawa ke sini.”
Dino bangkit dari posisi jongkok, lalu melihat
wajahku dengan teliti. Diperhatikan seperti itu malah
membuatku malu dan salah tingkah.
“Udah, ah! Ngapain juga ngelihatin aku begitu!”
ketusku sambil membuang muka.
65 | Silvia Rodiana
“Mau gue beliin apa? Bakso, mi ayam, cireng, apa
sekalian gerobak Mpok Munah gue bawain ke sini?”
“Aku mau teh madu buatan Kak Rose,” bisikku
tanpa sadar. Biasanya kalau demam, Kak Rose akan
membuatkanku teh madu hangat, supaya demamku cepat
turun.
“Yaudah, gue beliin teh hangat. Kalian berdua di
sini juga temani Belle, ya. Nanti gue bawain makanan,” kata
cowok itu, kemudian berjalan ke luar kelas.
“Beliin gue somai kue bakso!” teriak Gita.
“Gue seblak, tapi yang manis, ya!” timpal Amira.
Astaga … teman-temanku.
66 | Silvia Rodiana
aku tetap menolak. Saat aku akan bersiap ke luar kelas, aku
baru ingat sesuatu. Dino memang tidak pernah ikut
pelajaran olahraga, jika kami akan berenang. Selama ini
kupikir dia hanya tidak bisa berenang, tetapi saat di sungai
itu, dia bisa berenang dan bahkan membawaku melawan
arus bersamanya.
Aku berbalik lagi, melihat dirinya yang ternyata
sedang memandangku kosong.
“Dino, kenapa kamu nggak pernah ikut pelajaran
olahraga, kalau jadwal kita renang?” tanyaku sengaja. Kak
Rose bilang, Dino trauma pada air. Aku ingin tahu kenapa
hal itu bisa terjadi. Aku ingin tahu masa lalunya. Aku ingin
tahu, apa yang membuat Dino dahulu begitu berbeda
dengan Dino yang kukenal sekarang.
“Aku pikir kamu nggak bisa renang, tapi—”
“Gue bahkan pernah menang lomba renang waktu
kecil. Waktu anak-anak lain masih takut sama air, gue
sudah bisa berenang. Tapi, bukan berarti gue harus selalu
kembali ke air. Dan … mengulang semuanya.”
Aku tidak tahu apa yang terjadi, hanya saja hatiku
mendadak bergetar, kemudian kosong. Sebenarnya … apa
yang telah terjadi di masa lalu cowok ini? Apa dia pernah
67 | Silvia Rodiana
melakukan kesalahan di air? Dia pernah menang lomba
renang, apa dia pernah menyebabkan orang lain celaka di
air, sampai dia begitu tertekan seperti ini?
Tanpa sadar, aku melangkah mendekatinya.
Bertanya, “Apa yang terjadi sama kamu dulu, Dino? Apa
yang salah dari masa lalu kamu?”
“Lo mau tahu?” tanyanya, aku menangguk pasti.
“Kalau lo mau tahu masa lalu gue, serahkan hal
yang paling berharga dari diri lo untuk gue.”
68 | Silvia Rodiana
DELAPAN
“A-apa?”
Dino berdecak. “Ya, apa lagi, Belle? Cewek, kan,
cuma punya satu barang paling berharga di dalam dirinya.”
Aku menautkan alis, cowok ini benar-benar
membingungkan.
Dia melangkah mendekat, lalu berhenti di jarak 1
meter dariku. Katanya, “Kasih gue seluruh hati lo, dan lo
akan tahu semua tentang gue. Sama kayak Bang Erlan, yang
cuma bisa cerita masa lalunya ke Mbak Rose. Gue juga
cuma bisa cerita ke orang yang bisa menelan rasa pahit itu
sama-sama gue.”
Cowok itu mundur lagi, lantas kembali ke mejanya
dan duduk tenang, meninggalkanku yang masih tertegun di
tempat. Jadi … dia tidak akan memberitahuku apa pun
tentang masa lalunya. Mungkin saja hal yang ditutupi Dino
selama ini adalah hal paling menyeramkan baginya,
sehingga sulit untuk menceritakan masa lalu itu. Dan bila
memang mencari tahu tentang hal itu sama saja akan
melukainya, mungkin aku lebih baik diam. Lagi pula,
69 | Silvia Rodiana
mungkin saja semua itu terlalu berat untuk kudengar.
Tidak, aku mungkin tidak sanggup untuk mengetahuinya.
Jadi, aku memilih pergi meski rasa penasaran masih
menggelayuti hati.
70 | Silvia Rodiana
dalam air napasnya langsung berhenti, juga tubuhnya
melemah. Mungkin itu salah satu tanda dari fobia air, aku
tidak begitu mengerti.
“Fuchsia Belle!” seru guru kami. Aku langsung
mendekat, menerima perintah untuk berdiri di garis yang
ditunjuk guru kami, kemudian menunggu teman-teman
untuk mengisi posisi lain. Kami pun menceburkan diri
bersamaan setelah mendengar pluit, berusaha untuk
sampai paling cepat ke seberang kolam. Namun, saat baru
saja terendam air, tubuhku seperti menggigil. Mungkin
setelah ini aku akan benar-benar demam.
Sebisa mungkin aku berenang cepat ke seberang
kolam, supaya tidak terlalu lama berada di dalam air.
Ketika sampai di pembatas, aku cepat-cepat naik ke pinggir
kolam, kemudian berjalan ke tribun. Duduk di sana sambil
memeluk diri sendiri. Sampai tiba-tiba, sesuatu yang hangat
terasa menutupi bahuku.
“Bandel, sih! Dibilang nggak usah ikut renang
juga,” omel cowok itu, yang entah kapan datangnya.
Aku agak kaget karena Dino mau ke sini. Biasanya,
meski sudah dipaksa oleh teman-temannya, dia tetap tidak
mau masuk ke area kolam renang.
71 | Silvia Rodiana
“Nih!” Disodorkannya segelas teh yang masih
mengepulkan asap tipis.
Aku menyambutnya, menggumam, “Makasih.”
Lalu menyesap teh itu pelan-pelan.
Dino duduk di sebelahku, pandangannya
tertunduk. Mungkin berada di sini saja sudah membuatnya
tidak nyaman.
“Dino … aku mau balik ke kelas,” ucapku. Dia
mengangguk, mengambil cangkir teh dari tanganku dan
menungguku berdiri. Aku meminta izin pada guru kami,
lalu berjalan ke luar bersama Dino. Melihat lagi kain yang
disampirkan Dino ke bahuku, ternyata ini jaket hitam yang
tadi dia gunakan.
“Dino, jaket kamu ikutan basah jadinya.”
Dia melirikku sebentar, lantas mengangguk. “Jaket
doang dipusingin, Mbak … Mbak. Badan dah gemeteran
begitu padahal.”
Aku menarik sisi-sisi jaket itu, mengeratkannya ke
tubuh. Harum parfum Dino tercium, begitu lembut dan
menyegarkan.
“Bahagia, kan, lo, diselimuti sama jaket gue?
Untung jadi kesayangan gue, jadi diselimuti jaket Babang
72 | Silvia Rodiana
Dino yang kinyis-kinyis kayak balita ini. Coba kalau nggak,
mending gue selimuti pakai kelapa parut deh, biar jadi
klepon!”
“Dino, is!”
Cowok itu nyengir, tetapi tak banyak bicara lagi.
Dia menemani ke loker untuk mengambil seragam dan
pakaian ganti yang sudah aku bawa dari rumah, lalu
menungguiku di depan toilet. Saat aku keluar, cangkir yang
sejak tadi dia pegang sudah tidak berisi, padahal aku masih
ingin minum teh hangat itu.
“Aku kira buat aku. Kok, malah kamu yang
habisin?” keluhku dengan wajah ditekuk.
“Udah dingin, Nona Belle. Nanti gue beliin yang
baru lagi. Ke kelas dulu, yuk,” jawabnya yang segera
kuangguki. Dino kembali berjalan di belakangku seperti
biasa, mendumel tentang apa pun yang bisa dijadikannya
bahan ocehan. Aku sampai tidak mengerti, apa dia tidak
punya rasa lelah?
Setelah aku duduk di tempatku, Dino mengeluyur
ke luar kelas lagi. Mungkin dia akan ke kantin untuk
membelikanku teh. Semoga saja dia tidak tertangkap guru,
karena berkeliaran saat jam pelajaran.
73 | Silvia Rodiana
“Berani ganggu Belle, gue gibeng lo!”
Suara Dino?
“Halah, bacot! Paling juga kalau gue nggak balik
cepet, Belle sudah dipegang sama lo!”
“Dino?”
Mataku mengerjap, menyesuaikan dengan cahaya.
Kepalaku terasa berat. Sepertinya aku tertidur tadi.
“Pergi atau gue telen lo hidup-hidup!” Bentakan
Dino kembali terdengar. Aku mengangkat kepala, melihat
punggungnya di depan wajahku.
“Kamu marah sama siapa?” tanyaku, dia langsung
berbalik dan menilik wajahku.
“Lo kenapa tidur, sih, Belle? Udah tahu kelas
nggak ada orang, malah tidur sendirian di sini. Itu tadi
cowok nggak ada akhlak, udah deketin meja lo. Untung gue
cepet balik,” oceh cowok itu panjang lebar. Aku jadi
bertambah bingung. Apa yang barusan terjadi? Kenapa
Dino sangat marah?
“Aku ketiduran, ya?”
Dino berdecak, kemudian mengangguk. Dia
mengangsurkan teh ke dekatku, dan langsung kuminum.
74 | Silvia Rodiana
“Apa mau pulang aja? Gue mintain izin ke guru
piket, ya?” tawarnya, aku menggeleng. Hanya tinggal
beberapa jam lagi, sayang kalau pulang sekarang.
“Keras kepala, sih, adiknya Mbak Oce. Beda
banget sama kakaknya, dibilangin Babang sekali aja
langsung nurut,” keluh cowok tinggi itu. “Mau gue beliin
obat?”
“Enggak usah, Dino. Ini aja cukup,” kataku,
kembali menyesap teh hangat itu.
“Hem. Rebahan aja lagi, gue jagain.” Dino menarik
kursi di sebelahku, lalu duduk di sana. Aku menggeser
cangkir bening itu menjauh, lalu kembali membaringkan
kepala di meja dengan alas lipatan tangan. Mungkin tidur
sebentar tidak masalah.
75 | Silvia Rodiana
“Yang manis mah muka gue, kalau obat udah pasti
pahit emang!” oceh cowok itu. “Mbak! Punya stok permen
nggak? Bawain sini, buat cewek manja ini.”
Tak lama Mbak Nina muncul dengan stoples
permen di tangannya. Dia mengangsurkan stoples kepada
Dino, yang langsung membuka dan mengambil sebungkus
permen.
“Buruan minum obatnya, terus makan permen,
biar nggak pahit.”
Cukup lama aku berpikir, menarik napas panjang
berulang kali, menyiapkan mental, memperbaiki akhlak,
baru meminum obat itu. Ternyata sangat pahit. Walaupun
sudah mengunyah permen, masih saja rasa pahitnya terasa
memenuhi mulut.
“Udah, jangan nangis. Tidur sana.” Dia menoleh
pada Mbak Nina. “Mbak, nanti magrib baru dibangunin,
ya.”
Mbak Nina mengangguk dan menuntunku ke
kamar. Namun, sebelum benar-benar terlelap, aku masih
memikirkan Dino. Kenapa tadi dia mau ke kolam, padahal
awalnya selalu menolak ke sana? Kalau aku begitu istimewa
76 | Silvia Rodiana
baginya, kenapa dia tetap tidak mau berbagi rahasia besar
itu denganku?
77 | Silvia Rodiana
SEMBILAN
78 | Silvia Rodiana
universitas negeri dengan beasiswa, mungkin
kesempatanku untuk kuliah tidak akan ada.
“Enggak mau coba ambil beasiswa di luar negeri,
gitu? Lo, kan, cerdas. Pasti lulus, lah.”
Kuliah di luar negeri mungkin terdengar keren,
tetapi bukan untuk orang-orang sepertiku.
“Aku takut tinggal di negeri orang sendirian. Tidur
sendirian aja nggak berani,” jawabku pelan.
“Yaudah, sama-sama gue aja. Sekalian tinggal
bareng gue, gitu. Mau tidur bareng gue juga boleh, kok.
Auh!” Dino melengking setelah kuinjak kakinya keras-
keras. Dasar mesum!
“Apaan, sih? Gue ngasih solusi padahal, segala
pakai dianiaya,” keluhnya sambil merengut.
Aku melengos, tidak memedulikannya yang
meringis kesakitan.
“Belle, serius gue. Lo nggak mau kuliah di luar
negeri? Apa nggak sayang tuh otak cemerlang, kinclong,
glowing, shimmering, splendid, kayak gitu?”
Aku menggeleng. “Kuliah di mana pun sama aja,
asal serius, tekun, dan fokus.”
79 | Silvia Rodiana
Dino diam sebentar, telunjuknya mengetuk-ngetuk
ke dagu. Lalu berkata, “Hem … beneran lo nggak mau?
Kalau lo mau, gue yakin, pasti diterima di kampus
bergengsi dunia. Bedalah sama kaum kayak gue, yang
otaknya cuma sesendok teh ini. Boro-boro mau kuliah di
luar negeri, ngitung jarak dari rumah ke pelaminan aja
ambyar.”
O-tak-se-sen-dok-teh.
“Kamu lagi ngajak ngomong serius apa bercanda,
sih?”
Dino nyengir kuda, kemudian berkata, “Gue
seriusnya entar aja, kalau lo sudah siap dilamar. Sekarang
asal santai aja, biar muka tetep awet muda dan kinyis-kinyis
macam balita.”
Untunglah makanan pesanannya cepat datang, jadi
Dino langsung fokus ke makanannya dan berhenti
mengoceh. Dia makan dengan rakus, sementara aku malah
tidak berselera.
Kenapa Dino bertanya seperti itu? Apa dia akan
kuliah di luar negeri?
“Dino … kamu mau kuliah di luar negeri, ya?”
tanyaku pelan.
80 | Silvia Rodiana
Dia menggeleng tegas. “Dibilang otak sesendok teh
kayak gue, mana panteslah kuliah di luar negeri. Gimana
entar mau ngobrol sama dosennya? Jangankan bahasa
Inggris, bahasa Indonesia aja masih kursus. Jangankan
menebak subject and verb, menebak isi hatimu saja aku
gagal.”
“Ciye … pepet terus! Jangan kasih kendor!” sorak
Mpok Munah tiba-tiba. Kapan orang ini berkeliaran di
sini? Kenapa orang-orang di sekolah ini banyak keturunan
jin botol, yang bisa muncul dari mana saja?
“Siap, Mpok! Tambah es teh manis satu, biar
tambah semangat!” sahut Dino sambil mengacungkan
telunjuk ke udara.
Mpok Munah cekikikan sambil berjalan menjauh,
tak lama kemudian segelas es teh pesanan Dino pun
muncul di meja.
Setelah Dino selesai dengan makanannya, aku
mengangsurkan mangkok berisi bakso milikku padanya.
“Masih banyak banget ini. Lo nggak makan?”
tanyanya sembari mengambil alih mangkok bergambar
ayam jago itu.
“Sudah tadi,” jawabku datar.
81 | Silvia Rodiana
“Belle … Belle. Kenapa, sih, tiap makan pasti nggak
habis? Kata Babang nggak boleh, mubazir.”
“Dino. Kenapa, sih, kamu selalu nyebut-nyebut
Kak Erlan? Diajari jadi gentleman sama Kak Erlan, diajari
setia sama Kak Erlan, semuanya diajari Kak Erlan. Padahal
harusnya, ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya.”
Dino masih santai menyuap makanannya,
kemudian melirikku sebentar. “Karena sejak gue punya
ingatan, yang gue tahu cuma Bang Erlan,” katanya, seolah
tanpa ekspresi. Padahal aku yang mendengarnya merasa
nyeri. Dia bukan anak yatim-piatu, lalu kenapa hanya Kak
Erlan yang dia ingat?
“Babang gue itu, keras kayak batu karang, tapi
hatinya kayak jeli. Panutan gue pokoknya.”
Kepalaku menoleh ke arah lain, lalu tersenyum
samar.
Sama.
Kalau bagi Dino, Kak Erlan adalah panutannya,
maka bagiku, Kak Rose adalah teladanku. Aku tidak sama
sepertinya, begitu juga Dino yang tidak serupa dengan Kak
Erlan. Kak Rose terlalu lembut, tetapi hatinya sangat kuat.
Sementara aku sering egois dan berhati rapuh. Kak Rose
82 | Silvia Rodiana
sering mengorbankan dirinya untukku, bahkan dia bisa
menikah dengan Kak Erlan pun, karena ingin
menyelamatkanku dari ancaman Mbak Mela yang akan
menjualku ke rumah bordil. Aku hanya berdoa, semoga ini
adalah pengorbanannya yang terakhir untukku. Semoga di
samping Kak Erlan, Kak Rose menemukan kebahagiaan
sejatinya.
83 | Silvia Rodiana
“Enggak, ah. Mau ikut gue. Cia, oi, Cia! Tungguin
gue!”
Lagi-lagi Kak Erlan menarik kerah kaus Dino,
sampai membuat orang-orang memperhatikan mereka
sambil tersenyum.
Aku dan Kak Rose terus berjalan menyusuri lorong
berisi kebutuhan bulanan wanita itu. Kalau dipikir-pikir,
Kak Erlan sangat peka. Mungkin dia tahu aku akan malu,
kalau mereka mengikuti kami. Jadi, dia menahan Dino
tetap di ujung lorong.
“Beli yang ini, Cia,” saran Kak Rose sambil
menarik bungkus persegi berwarna ungu gelap. Aku
mengangguk saja, membiarkannya mengambilkan
kebutuhanku. Tanpa sengaja, aku melihat seorang
perempuan berpakaian cukup aneh. Dia mengenakan dres
selutut bermotif bunga sakura, tetapi wajahnya ditutupi
kacamata hitam lebar dan masker. Aku pura-pura tidak
tahu, sambil terus meliriknya. Wanita itu terus saja
mengamati kami.
Apa dia Anjani?
Mungkinkah? Namun, ciri fisiknya agak berbeda.
Anjani yang sering kulihat di tivi berkaki jenjang dan
84 | Silvia Rodiana
terlihat cukup tinggi, tetapi perempuan itu terlihat agak
pendek. Lagi pula, sepertinya kulit Anjani lebih putih dan
bersih dari kulitnya.
Jadi … siapa dia?
85 | Silvia Rodiana
SEPULUH
86 | Silvia Rodiana
ada yang mengganjal. Kenapa dia bersembunyi ketika
melihat Kak Erlan dan Dino? Seperti sedang menghindari
sesuatu.
Kak Rose bilang, Anjani itu jahat. Namun, dia tidak
pernah memberitahuku kejahatan yang telah dia lakukan.
Dia seperti bidadari di tivi. Cantik, anggun, dan baik hati.
Rasanya sangat sulit memercayai orang sepertinya bisa
berbuat jahat.
Apa mungkin Kak Rose hanya cemburu? Apa Kak
Erlan dan Anjani sempat menjalin hubungan?
Aku menghela napas dalam. Kenapa begitu banyak
rahasia yang ditutupi semua orang dariku? Kadang aku
merasa … mereka tidak percaya padaku.
87 | Silvia Rodiana
menyodorkan sebatang cokelat berhias pita merah,
berkata, “Ini, Kak. Dari ketua OSIS kita.”
Dia bisa memberikannya sendiri kalau mau,
kenapa harus lewat orang lain?
Tiba-tiba, cokelat itu sudah berpindah ke tangan
Dino. Dia melihat makanan itu sebentar, lalu
melemparnya ke ujung koridor.
“Kasih tahu dia, jangan dekati Belle,” ujarnya
dingin.
Aku bisa melihat raut terkejut di wajah cewek itu,
bahkan bibirnya sampai memucat. Hari ini Dino memang
tampak menyeramkan.
“Paham?” tekannya lagi, yang langsung diangguki
cewek itu.
Dino melirikku, menunjuk jalan dengan dagunya.
Aku segera melangkah, tidak mendebat apa pun. Sudah
banyak siswa-siswi yang melihat kami, mungkin kaget
karena lemparan Dino tadi. Mereka juga pasti sama
herannya denganku, karena biasanya, Dino tidak pernah
seperti ini. Kalau ada yang memberiku makanan, dia pasti
akan mengambil dan memakannya.
Dino … kamu kenapa?
88 | Silvia Rodiana
Aku berusaha berkonsentrasi pada pelajaran
walaupun agak sulit. Sesekali menoleh ke belakang,
melihat Dino yang masih saja berwajah datar. Entah apa
yang sudah terjadi di rumahnya pagi ini, sampai dia
bertingkah aneh. Apa yang bisa kulakukan agar dia kembali
seperti biasa?
Bahkan ketika bel istirahat pertama berbunyi, dia
masih berdiam diri di tempatnya. Aku memberanikan diri
mendekat, lalu mengajaknya ke kantin. Dino melirikku
sebentar, kemudian menggeleng.
“Gue malas,” sahutnya datar.
Tumben. Biasanya dia paling semangat kalau
diajak ke kantin dan bertemu Mpok Munah.
Aku kembali duduk ke tempatku, menunggu kalau
Dino berubah pikiran karena aku merasa lapar. Namun,
sampai teman-temanku sudah kembali dari kantin, dia
belum juga mau bergerak. Lalu, secara tiba-tiba terdengar
lengkingannya dari belakang.
Kulihat dia sudah berdiri, wajahnya pias. Sebelah
tangannya memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga,
terlihat sedikit bergetar.
89 | Silvia Rodiana
“Gue ke sana.”
Cowok itu memasukkan ponsel ke saku celana
sebelah kiri, lalu menarik tas hitam yang tadi tergeletak di
meja.
“Belle. Kita pulang,” katanya, langsung menarik
ranselku.
“Apa? Kenapa? Kita masih harus sekolah,”
bantahku penuh rasa kaget.
Dino berbalik, menatapku tajam. “Pulang.
Sekarang.”
“Tapi … kenapa?”
“Mbak Rose tenggelam.”
“A-apa?”
Kak Rose tenggelam?
Tangisku langsung luruh, hatiku kalut. Bagaimana
bisa dia tenggelam? Kak Rose tahu dia tidak bisa berenang,
dan tidak mungkin mencoba melakukannya. Apa mungkin
dia terpeleset, atau seseorang sengaja melakukannya?
Dengan berjuta pikiran buruk, aku berlari
mengimbangi langkah Dino.
“Kak Rose … jangan mati. Cia nggak punya siapa-
siapa lagi.”
90 | Silvia Rodiana
SEBELAS
91 | Silvia Rodiana
dengan wajah kosong. Mungkin mereka baru saja
menerima kabar buruk dari anggota keluarga atau kerabat
yang ada di dalam sana. Beberapa tenaga medis berpakaian
serba hijau keluar dengan tergesa-gesa, ada juga yang
tampak murung dan lelah. Bagiku, rumah sakit selalu saja
menjadi tempat yang menakutkan.
Di rumah sakit, aku kehilangan kedua orang tua.
Di rumah sakit juga aku melihat Kak Dimas bangun dari
koma, dan menjadi orang lain. Aku tidak ingin semua itu
terjadi lagi pada Kak Rose. Aku ingin dia baik-baik saja.
Pintu kaca itu terbuka lagi, seorang pria paruh baya
bersetelan hitam formal muncul dari baliknya.
“Pa, gimana keadaan Rose?” Kak Erlan dan Dino
langsung mendekatinya, pria itu tampak bingung
menjawabnya.
“Gimana Rose, Pa? Gimana keadaan istriku?”
desak Kak Erlan.
“Dia kritis,” jawab pria yang baru kutahu adalah
ayah Kak Erlan dan Dino.
Kak Rose kritis? Bagaimana ini? Bagaimana kalau
dia tidak tertolong? Bagaimana denganku?
92 | Silvia Rodiana
Kak Erlan mengusap wajahnya kasar, lalu
menjambak rambut sendiri. Tampangnya sangat kalut,
tidak dingin dan tenang seperti biasa.
“Pasti Anjani, ‘kan?” tanya Dino dengan nada
sangat dingin. Ketika aku menoleh, wajahnya terlihat kaku
dan tegang.
Pria paruh baya tadi melengos, kemudian
mengangguk.
“Di mana dia sekarang?” Kak Erlan berdesis tajam,
tatapan matanya sangat marah.
“Dia sama satu pembantu kita juga di dalam.
Mereka sama-sama tenggelam,” jelas pria itu pelan.
“Kenapa ….” Aku melirih sendiri, menanyakan
nasib yang tidak juga berpihak pada kakakku.
“Kenapa Anjani mau membunuh Kak Rose? Apa
salahnya?”
Tidak ada yang menjawab, atau mungkin tidak ada
yang mampu menjawab.
“Mungkin dia memang harus mati, baru berhenti
berbuat jahat.” Kak Erlan berkata tajam, lalu mendorong
pintu kaca itu.
93 | Silvia Rodiana
“Erlan!” Ayahnya menyusul, Dino dan aku juga
ikut berlari ke dalam.
Tanpa memedulikan apa pun, Kak Erlan
menyingkap gorden hijau yang menjadi pembatas antar
brankar. Beberapa tenaga medis sudah mencoba
menghentikan, tetapi dia seolah tidak peduli. Sampai di
ujung bangsal, dia menemukan Anjani tergeletak dengan
baju basah kuyup. Wanita itu tampak pucat dan tidak
berdaya, riasannya luntur dan mencemari seluruh wajah.
Gaun hitam yang dia kenakan menguncup, menceplak
sebagian bentuk tubuhnya. Aku melihat wanita itu
mengenakan sarung tangan jaring berhias bulu unggas dan
mawar hitam, di nakas dekat brankar juga ada topi dengan
hiasan jala seperti bangsawan Eropa.
“Perempuan setan!” teriak Kak Erlan, lalu
mendorong seorang tenaga medis yang sedang menolong
Anjani. Dia mencekik wanita itu, sampai membuat semua
orang yang melihat menjerit.
“Erlan, jangan!” Ayahnya berusaha menarik pria
yang sedang kesetanan itu, tetapi dia tidak peduli. Mata
Anjani terbuka, lalu melotot ke atas. Dia terbatuk-batuk,
94 | Silvia Rodiana
wajahnya sangat menderita. Namun, hal itu tidak membuat
Kak Erlan iba.
“Apa nggak cukup kamu membunuh Risa?
Sekarang kamu juga mau membunuh Rose. Apa kamu
akan membunuh semua perempuan yang aku cintai?”
pekik Kak Erlan penuh emosi. Banyak orang mendekat,
berusaha menariknya, tetapi pria itu tidak mau melepaskan
cekikannya.
“Bang, jangan, Bang. Gue nggak mau lo masuk
penjara karena perempuan setan ini!” teriak Dino sambil
menarik tangan kakaknya.
“Biarin gue masuk penjara, asal dia mati!”
Aku sempat melihat beberapa pengunjung
mengarahkan kamera ponsel mereka pada Kak Erlan dan
Anjani. Mereka pasti sadar kalau Anjani adalah selebriti,
dan ingin menjadikan ini sebuah berita.
Aku segera bergerak, mendorong orang-orang itu
agar menghentikan aksi mereka merekam kejadian ini.
Anjani seperti malaikat di mata semua orang di negeri ini,
jadi mereka pasti akan menyalahkan Kak Erlan.
“Berhenti, jangan rekam apa pun!” ujarku serak.
95 | Silvia Rodiana
“Itu Anjani, ‘kan? Artis favoritku. Kenapa cowok
itu mau membunuh dia?” tanya seorang wanita
berkacamata.
“Dia setan! Anjani itu setan!” pekikku kalaf. “Dia
mau membunuh kakakku, makanya suaminya marah!”
Terlihat raut tidak percaya dan bisik-bisik di antara
mereka.
“Kalian mendingan urusin keluarga kalian yang lagi
sekarat di ruangan ini, jangan ngurusin orang lain! Anjani
juga nggak akan ngasih kalian makan, nggak akan nanggung
hidup kalian, sekalipun dia sembuh lagi!”
Aku terus mendorong mereka menjauh, tidak
peduli jika sekarang malah wajahku yang menjadi sorotan
kamera mereka. Biarlah, asal bukan Kak Erlan yang
mereka sorot.
Saat aku berhasil menjauhkan orang-orang itu,
pekikan nyaring Kak Erlan terdengar memenuhi ruangan
ini. Aku menoleh, melihat dirinya sedang dipegangi
beberapa orang dewasa, termasuk ayahnya. Mereka
tampak kesulitan menyeret pria tinggi itu ke luar IGD,
tetapi akhirnya berhasil juga. Kak Erlan dibawa ke ruang
keamanan bersama ayahnya, sementara aku dan Dino
96 | Silvia Rodiana
menunggu Kak Rose di luar ruang IGD. Sekitar 1 jam,
seorang perawat memanggil keluarga Rosella Belle. Kami
langsung mendekat dan diajaknya melihat keadaan Kak
Rose.
Dia koma.
Tuhan … apakah Kak Rose akan sadar dari koma,
dan berubah seperti Kak Dimas? Atau dia tidak akan
bangun lagi seperti Ibu?
97 | Silvia Rodiana
DUA BELAS
98 | Silvia Rodiana
kabar sejak mereka pergi tadi. Aku juga bertanya-tanya,
kenapa sangat lama?
Akhirnya seorang perawat memanggil keluarga Kak
Rose, dan hanya Kak Erlan yang boleh masuk. Aku juga
ingin ke sana, melihat kondisi Kak Rose secepatnya. Ingin
tahu bagaimana keadaannya, bertanya apa yang dia rasa.
Namun, mereka melarangku. Aku masih harus bertahan
dengan semua prasangka di luar sini.
“Cia, ayo, makan. Lo belum makan dari tadi,” ajak
Dino, tetapi aku menolak. Aku tidak lapar sama sekali.
“Enggak apa, Cia. Gue yakin, Mbak Rose pasti
kuat. Dia pasti bertahan demi Bang Erlan. Enggak kayak
Mbak Risa ….” Ucapan Dino berakhir lirih. Ketika aku
menoleh, pandangan cowok itu jatuh ke lantai.
“Mbak Risa ….” Itu nama yang disebut Kak Erlan
tadi, saat dia mencekik Anjani. “Siapa itu Mbak Risa?”
Dino diam sejenak, kemudian berkata, “Nanti
kalau Mbak Rose sadar, lo tanya sama dia, siapa itu Mbak
Risa.”
Selalu. Dia selalu saja tidak mau bercerita apa pun
padaku.
99 | Silvia Rodiana
“Kenapa, sih, kamu nggak mau cerita apa-apa sama
aku? Aku juga mau tahu, siapa yang berurusan sama hidup
Kak Rose sekarang.”
Cowok itu melihatku, lalu menarik napas panjang.
“Aku takut Kak Rose tiba-tiba ninggalin aku, kayak
Ibu dan Ayah dulu, Dino. Aku nggak mau kehilangan Kak
Rose juga.”
Wajah Dino tampak pias, matanya berkaca. Aku
sendiri sejak tadi tidak pernah berhenti mengeluarkan air
mata, meski rasanya wajahku sudah sembap olehnya.
Tangan cowok itu terangkat, seperti ini mengarah ke
wajahku, tetapi berhenti di tengah jalan. Tangan itu tetap
menggantung di udara, sementara matanya menatap lurus
padaku. Mungkin dia ingin menyentuh wajah atau
kepalaku, sekadar menenangkan. Dan aku pun
menginginkan hal yang sama. Namun, aku dan dia tahu
batasan kami masing-masing.
TAMAT