Anda di halaman 1dari 145

Preface

Anda adalah pemilik terakhir e-book ini. Mohon jangan


disebar.

i|Silvia Rodiana
Daftar Isi

Preface ..............................................................i
Daftar Isi ...........................................................ii
SATU ...............................................................1
DUA .................................................................14
TIGA ................................................................23
EMPAT ............................................................31
LIMA ................................................................41
ENAM ..............................................................50
TUJUH.............................................................61
DELAPAN .......................................................69
SEMBILAN .....................................................78
SEPULUH .......................................................86
SEBELAS .........................................................91
DUA BELAS ...................................................98
TIGA BELAS ..................................................107
EMPAT BELAS ..............................................121
LIMA BELAS ..................................................133
ii | S i l v i a R o d i a n a
SATU

“Tapi, Bu, bukannya kalau sudah kelas 3, kami


harus fokus buat ujian aja? Kok, ada kegiatan outdoor
begini?”
Aku menatap Bu Naima, wali kelas kami, dengan
penuh harap. Semoga beliau bisa mempertimbangkan lagi
tentang rencana camping ini. Karena selain kami sudah
berada di tingkat akhir dan sebentar lagi menghadapi ujian
kelulusan, aku juga tidak punya uang untuk membayar
biaya kegiatan itu. Sejak Kak Rose menikah dengan Kak
Erlan, suaminya memang selalu memberiku uang jajan.
Namun, aku tidak pernah berpikir untuk meminta lebih.
Aku tahu diri. Aku tidak ingin Kak Rose diperlakukan
buruk oleh Kak Erlan, karena dia merasa berat membiayai
sekolahku.
“Ini kegiatan terakhir kalian sebelum ujian, Belle,”
jelas wanita berkacamata itu. “Ya … semacam acara
perpisahan yang spesial, karena sebentar lagi kalian akan
lulus dan mungkin sulit ketemu satu sama lain.”

1 | Silvia Rodiana
Aneh. Acara perpisahan, kan, seharusnya diadakan
setelah pengumuman kelulusan? Bagaimana kalau setelah
mengadakan acara perpisahan, ternyata malah ada yang
tidak lulus? Memalukan.
“Yaudah, sih, Nona Belle, jangan takut gitu.
Tenang aja! Mau di hutan kek, Pluto kek, khayangan kek,
pokoknya Babang Dino akan selalu siap sedia menjaga
Nona Belle,” celetuk cowok itu, yang belakangan ini
menjadi semakin menyebalkan.
“Eh, Dinosaurus. Diem atau gue gibeng, nih!”
sahut suara berat lain, yang entah siapa. Aku malas
menoleh pada mereka di belakang sana. “Belle udah punya
gue, udah teken. Kagak usah ngimpi bisa deketin dia.”
“Teken pala lu pitak!” bentak Dino. “Berani
deketin Belle, gue cincang urat malu lo!”
“Oi, Dino, kagak perlu juga, kali!” sahut suara
cowok lain, tidak tahu siapa. “Si Yuda mah emang kagak
punya urat malu sejak lahir. Apa yang mau lu cincang,
coba?”
Hampir seisi kelas tertawa, tetapi suara mereka
malah merusak mood-ku. Mereka menyebalkan!

2 | Silvia Rodiana
“Sudah, sudah, jangan ribut.” Bu Naima
menengahi, kemudian langsung memanggil ketua kelas
dan memetakan kelompok kami.
“Ibu jangan jahap gitu dong, sama Babang Dino
yang imut-imut macam balita ini!” Suara Dino terdengar
keras, membuat Bu Naima melotot.
“Masa saya nggak satu kelompok sama Belle, Bu?
Enggak seru, ah! Belle, kagak jadilah kita ikut camping!”
Anak laki-laki mulai ribut lagi, sementara siswi
perempuan mulai berbisik sambil melirik ke arahku. Pasti
mereka benci apa yang diucapkan Dino tadi, karena
sebagian besar dari mereka mengidolakan cowok berkulit
cerah itu. Entahlah apa yang mereka lihat, sampai bisa
menyukai cowok itu. Bagiku dia hanya memusingkan.
Kecuali fakta kalau dia sangat berani dan tidak
takut pada siapa pun, sampai berkelahi dengan rentenir
berbadan besar itu pun dia sanggup. Walau akhirnya
terluka, dia tetap tidak mengeluh.
Sekarang aku bingung, bagaimana caranya
memberi tahu Kak Rose tentang acara ini. Seandainya
mereka memberi tahu lebih awal, aku pasti bisa menabung
dari uang jajan yang diberikan Kak Erlan setiap minggu.
3 | Silvia Rodiana
Namun, acara camping itu hanya berjarak 3 hari dari
sekarang. Aku benar-benar bingung harus bagaimana.
“Oi, Belle! Lo lagi ngelamunin apa, ha?
Ketampanan gue?”
Aku mendelik pada Dino yang saat ini sudah
duduk di atas motor hitamnya. “Lagi menyesali nasib.
Kenapa, sih, aku pulang-pergi harus dibonceng kamu?”
gerutuku sebal.
“Hamba hanya menjalankan tugas dari Yang Mulia
Kakanda Dewa Erlan si Mata Tiga, Nyisanak.”
“Itu Dewa Erlang, ih!”
Tuhan … aku benar-benar sebal dengan makhluk
petakilan satu ini.
“Aku kasih tahu nanti, ya, kamu ngatain Kak
Erlan.”
“Hilih … padahal manggil nama Bang Erlan aja
kagak berani lo!” cibir Dino, lalu dia mengulurkan helm.
“Pulang, yuk, keburu magrib, nih.”
“Asar aja belum padahal,” balasku sambil merebut
helm dari tangannya.

4 | Silvia Rodiana
“Pegangan yang erat, ya. Gue takut lo terbang
karena terlalu banyak asupan cinta dan kasih sayang dari
gue!”
“Ngoceh lagi aku turun, nih!”

Aku bingung sekarang. Entah kebetulan seperti apa


yang sedang terjadi, tetapi malam harinya Kak Rose datang
ke apartemen bersama Kak Erlan dan Dino. Mereka
membawa martabak kacang, juga kaset DVD. Kami
memutar film berjudul … apa tadi, aku lupa! Aku bahkan
tidak bisa fokus pada apa pun. Apa yang kupikirkan
sekarang hanya tentang camping itu.
“Cia kenapa?” Kak Rose bertanya sambil
menggenggam tanganku. Refleks aku menoleh, lalu
menggeleng.
“Ada masalah?” tanyanya lagi, aku hanya bisa
menunduk.
Sedetik kemudian terdengar suara pukulan, diiringi
lengkingan Dino. Pasti Kak Erlan memukul kepala
adiknya.
“Lo apain Cia?” Seperti biasa, suara Kak Erlan
terdengar datar dan dingin, membuatku ngeri.

5 | Silvia Rodiana
“Kok, gue, sih, Bang?”
“Tukang rusuh, kan, cuma lo doang.”
Dino berdecak, lalu memanggil, “Oi, Cia! Jangan
masang muka begitu kenapa dah? Gue juga yang disalahin
Babang. Padahal ngapa-ngapain lo juga belum.”
“Eh, aduh!” Dino kembali melengking, saat
kepalanya dipukul Kak Erlan lagi.
“Kamu kenapa, Cia?” Kak Rose kembali bertanya
sambil menatapku.
Aku membalas tatapan Kak Rose, lalu melirik Kak
Erlan sebentar. Rasa takut lagi-lagi datang, bila melihat raut
wajah kakak iparku itu. Dia tampan dan berwibawa
sebenarnya, tetapi entah kenapa karismanya membuatku
takut.
“Dino, temani gue beli minuman,” ujar Kak Erlan
tiba-tiba. Tangannya tahu-tahu saja sudah menarik bagian
belakang kerah baju hijau yang dikenakan adiknya.
“Oi, Bang, dikata gue anak kucing apa? Ditenteng
begini!” Lengkingan Dino terdengar, sebelum pintu
terbuka dan ditutup oleh Kak Erlan.
“Kamu kenapa?” Lagi-lagi Kak Rose bertanya.

6 | Silvia Rodiana
“Anu … itu, Kak. Di sekolah mau ada camping, dan
semua siswa harus ikut. Cia … Cia udah minta izin ke
gurunya biar dibolehin absen, tapi katanya nggak boleh.”
“Oh, camping, ya? Terus, Cia takut ke hutan,
gitu?”
Aku menggeleng lemah. “Camping-nya bayar, Kak.
Uang jajan yang dikasih Kak Erlan buat minggu ini, sudah
Cia pakai sebagian buat beli buku. Em … jadi Cia nggak
punya uang.”
“Oh, gitu, ya? Kakak ada uang, dikasih sama Kak
Erlan. Tapi kakak izin dulu, ya, buat ngasih kamu.”
Aku melihat Kak Rose, dengan mata yang terasa
agak panas. Terkadang aku bingung, bagaimana Kak Rose
bisa bersikap sedewasa ini, padahal usianya hanya terpaut
2 tahun dariku. Dia ikhlas menerima takdir yang begitu
kejam, meski kenyataannya dia dijual oleh Mbak Mela. Dia
tetap berusaha menjadi istri yang sempurna bagi Kak Erlan,
meskipun sadar bila laki-laki itu tidak akan pernah
mencintainya, atau bahkan keluarga Adijaya tidak bisa
menerimanya sebagai menantu. Kak Rose seolah sudah
siap dengan semua risiko, termasuk bila suatu hari Kak
Erlan melepaskannya.
7 | Silvia Rodiana
“Dino juga ikut, ‘kan?”
“He?” Aku agak terkejut dengan pertanyaan Kak
Rose, tetapi segera mengangguk.
“Syukurlah. Kakak tenang kalau ada dia yang jaga
kamu,” lanjutnya sambil tersenyum hangat.
“Tapi dia nyebelin, Kak,” keluhku sambil
merengut.
“Dia baik. Kamu jangan terlalu jutek sama dia,
kasihan.”
Aku diam saja, malas kalau sudah membahas
makhluk astral satu itu.

Ternyata camping tidak seburuk yang


kubayangkan. Ada banyak hal menyenangkan yang kami
lakukan bersama-sama. Seperti kata Bu Naima, ini seperti
acara perpisahan yang spesial. Kami melakukan banyak
permainan, seperti mengenang masa kecil yang jauh dari
tekhnologi. Berlarian di antara pepohonan, berkumpul di
dekat api unggun kala malam. Sungguh, ini memang
kenangan yang layak untuk dikenang.
Hari kedua di tengah hutan belantara. Ketika hari
menjelang sore, kedua teman sekelasku, Amira dan Gita

8 | Silvia Rodiana
mengajak untuk jalan-jalan di sekitar perkemahan.
Awalnya sempat menolak karena takut tersasar, tetapi
mereka memaksa dan Gita mengeluarkan sesuatu dari
tasnya.
“Gue bawa ini, tenang aja!” Itu balok kayu warna-
warni, seperti mainan anak kecil. “Kita tebar di sepanjang
jalan yang kita lewatin, biar bisa balik tanpa drama nyasar.”
“Kayak Hansel dan Gretel?” Aku menaikkan
sebelah alis.
“Ih, itu mah pake roti, pasti dimakan sama
makhluk hutan. Kalau balok kayu kayak gini, siapa yang
mau makan, coba?”
Benar juga, sih.
“Ayo, Belle! Kapan lagi bisa jelajah alam kayak
gini.” Amira menarik tanganku, Gita juga langsung bangkit.
Aku terpaksa ikut, menapaki tanah hutan dengan hati-hati.
Takut bila tersandung akar pohon.
Gita sesekali melempar balok ke jalan yang baru
saja kami lalui, Amira juga menggores batang kayu dengan
cutter yang entah kapan dia bawa. Untuk cadangan,
katanya, kalau-kalau balok kayu Gita melayang entah ke
mana.
9 | Silvia Rodiana
“Eh, itu bukan sungai yang kita pakai buat mandi,
kan, ya?” Gita bertanya sambil menunjuk sungai yang
terlihat agak deras alirannya.
“Bukan, sungainya deras,” jawab Amira.
Kami memutuskan untuk duduk di pinggir sungai
itu. Gita melepas backpack yang ia bawa dari tenda tadi,
mengeluarkan sebungkus keripik kentang dan sebotol air
mineral.
“Lo berdua nggak bengek, ‘kan?” tanya Gita sambil
membuka bungkus keripik warna hijau itu. “Gue cuma
bawa air sebotol.”
“Udah mah, gampang! Lo pikir buat apa Tuhan
nyiptain sungai segede itu, kalau buat minum aja masih
mikir,” celetuk Amira sambil mencomot keripik kentang
Gita. Aku juga ikut makan, dan menyahuti obrolan
mereka.
“Enggak lama lagi kita bakal pisah,” keluh Gita
sesaat kemudian.
“Iya. Nanti kalau sudah kuliah, pasti susah buat
ketemu,” sambungku.

10 | Silvia Rodiana
Kami membahas rencana ke depan. Tentang
pilihan pertama kampus yang akan kami masuki, juga cita-
cita setelah lulus kuliah.
“Mau kawin muda gue,” kata Amira sambil tertawa
renyah.
“Gue pengin jadi koki, dong,” sahut Gita, lalu
menoleh padaku. “Lo, Belle?”
“Em … aku pengin banget masuk ke perusahaan
kakak iparku. Kata Kak Rose, perusahaannya keren.”
Membayangkannya saja membuat hatiku berbunga-bunga.
Bagaimana jika nanti benar-benar sudah bekerja di sana?
Kak Rose pasti senang dan bangga, kalau melihatku
memakai setelah kerja, melangkah yakin ke perusahaan
sebesar Adijaya’s corp.
“Eh, hampir gelap. Kita balik ke tenda, yok!” ajak
Amira. Kami menyetujui, langsung memungut sampah dan
memasukkan ke backpack Gita. Bersiap berjalan kembali
ke tenda, tetapi Amira berteriak kencang. Kakinya
tergelincir dan hampir tercebur ke sungai. Kami
memeganginya, tetapi hal itu membuatku kehilangan
keseimbangan, lalu tercebur. Karena arus sungai ini agak
deras, aku sedikit kesulitan untuk berenang. Beberapa kali
11 | Silvia Rodiana
tangan dan kaki membentur bebatuan di dalam air, sampai
menimbulkan nyeri dan tubuhku menjadi susah
digerakkan.
“Tolong ….” Aku melirih, entah kepada siapa.
Tetap berusaha untuk mengapung meskipun sulit. Namun,
akhirnya ada tangan terulur, memegangku begitu erat
hingga ke tepi sungai. Kupikir itu Gita atau Amira, ternyata
bukan. Itu Dino.
“Belle ….” Gita dan Amira berteriak bersamaan,
suara mereka beradu tangis.
“Lo nggak apa-apa?” tanya mereka lagi, aku
menggeleng.
“Cia! Lo bisa nggak, sih, hati-hati? Kalau nggak bisa
berenang, jangan main di dekat air! Lo mau mati, ha?”
Mendadak aku menangis, seluruh tubuh gemetar.
Bukan hanya karena air sungai, tetapi karena bentakan
Dino. Selama kami kenal hampir 3 tahun ini, baru kali ini
aku mendengarnya membentak seseorang. Dan itu aku.
Karena kejadian itu, kami dimarahi habis-habisan
oleh guru. Namun, yang menjadi pertanyaanku bukan itu.
Dino mendadak pulang, lebih cepat dari jadwal.

12 | Silvia Rodiana
Membuatku gelisah dan bertanya-tanya, apakah dia sakit
karena menolongku tadi?

Sepulangnya dari camping, ternyata Kak Rose dan


Kak Erlan sudah menungguku di sekolah. Kak Rose
menatap cemas, bertanya apakah aku baik-baik saja.
Mungkin Dino yang menceritakan kejadian itu padanya.
Aku berkata baik-baik saja, dan balik menanyakan
keadaan Dino. Kak Rose bilang dia juga baik, tetapi entah
kenapa hari ini tidak muncul dan menggangguku seperti
biasa. Jadi, saat Kak Erlan meninggalkanku dan Kak Rose
di dapur apartemen, aku bertanya apa yang sebenarnya
terjadi.
“Dia cemas sama kamu, Cia,” kata Kak Rose.
“Cia tahu, Kak, tapi dia nggak mesti bentak Cia
kayak gitu.”
Kak Rose diam sebentar, lalu menggenggam
tanganku hangat. Dia berucap, “Mengertilah sedikit. Ada
banyak hal yang disembunyikan Dino dan Kak Erlan dari
masa lalu mereka. Termasuk soal Dino, dan traumanya
pada air.”
Apa? Dino trauma pada air? Kenapa?

13 | Silvia Rodiana
DUA

“Story telling kali ini, saya mau cerita horor, Bu!”


Dino bicara lantang di depan kelas. Pelajaran Bahasa
Indonesia, kami ditugaskan untuk menceritakan ulang
sebuah karya dengan bahasa masing-masing.
“Horor?” Bu Naima mengernyit.
“Iya, Bu, serem banget pokoknya ini mah.” Dino
bicara dengan nada sangat meyakinkan, sampai wajah Bu
Naima terlihat tegang. Aku juga bersiap-siap menutup
telinga, kalau sampai benar dia menceritakan sesuatu yang
seram.
“Pada suatu hari, aku … memotong bebek. Ini
bukan bebek biasa, karena dia juga merupakan angsa.
Namanya bebek angsa. Lalu kumasak ia di kuali. Duar!”
Dino menjerit mengucapkan kata ‘duar’.
“Kualinya pecah, bebeknya berlari. Oh, Tuhan …
kurang horor apa lagi hidupku, coba? Masa bebek udah
dipotong, bisa mecahin kuali? Mana pakai lari, lagi! Aduh
… duh … sakit, Bu!” Cowok itu melengking ketika
telinganya dijewer Bu Naima.

14 | Silvia Rodiana
“Yang bilang itu horor siapa, ha, siapa? Lagi pula
itu bukan cerita, tapi lagu, Dino,” desis guru berkacamata
itu.
“Aduh … Ibu misunderstanding, nih! Itu tuh sangat
horor, Bu, sangat. Coba Ibu bayangin, ada bebek angsa.
Jadi yang benar itu bebek, atau angsa, Bu? Mana nggak
horor, coba? Kakinya pendek, moncongnya panjang. Dih,
horor, ‘kan?”
Bu Naima terlihat memijat pelipis, menggeleng
kecil.
“Terus dia, kan, udah dipotong, matek. Lah, masa
iya bisa lari, Bu? Duh, Ibu gagal paham, nih!” lanjut Dino
dengan santai. Seisi kelas sudah menahan tawa, tetapi aku
tidak merasa perkataannya lucu.
“Dino … tapi itu bukan cerita, Aldino Adijaya. Itu
lagu. La-gu.” Bu Naima tampak frustrasi di depan sana.
“Bu, setiap lagu itu juga cerita. Coba aja Ibu tanya
sama Oom Yovie and the Nuno, pasti bilang kalau setiap
lagu itu menceritakan sesuatu,” kilah Dino santai.

“Tapi bukan itu yang ibu maksud, Dino …. Benar-benar


sebuah cerita. Cerpen, novel, dongeng, kayak gitu!”
15 | Silvia Rodiana
“Bu, bahkan di Bumi ini ada yang namanya song
fiction. Cerita yang terinspirasi dari lagu. Ibu bayangkan
betapa besarnya efek sebuah lagu, Bu, bahkan bisa
membuat orang menciptakan karya panjang, cuma dengan
lagu yang baitnya pendek. Kali aja habis dengar saya cerita
soal bebek angsa ini, besok Mak Otor punya inspirasi buat
bikin cerbung horor.”
Dino tidak terlihat merasa bersalah, setelah dia
membuat Bu Naima pusing tujuh keliling. Semenjak kelas
2, dia memang sudah terkenal dengan keusilannya.
Hampir seluruh siswa dan guru di sini mengenalnya,
karena dia tengil dan petakilan.
“Dosa apa hamba punya murid begini, Tuhan?”
gerutu Bu Naima, lalu melepas kacamata berbingkai
hitamnya.
“Bu, justru punya murid kayak saya itu anugrah
terindah yang pernah kaumiliki ….” Mulai dari kata
‘anugrah’, Dino malah bernyanyi lagu Sheila on 7.
“Sudah, sudah, migrain ibu ngadepin kamu.
Sekarang kamu berdiri di koridor sampai bel nanti,” titah
Bu Naima, yang anehnya diterima Dino dengan senang
hati.
16 | Silvia Rodiana
“Asek … bisa ke kantin!” ujarnya sambil berjalan ke
pintu.
“Berdiri di koridor, ya, Dino! Bukannya ke
kantin!” teriak Bu Naima galak. Namun, Dino tidak
menanggapi sama sekali. Kupikir dia hanya bercanda,
tetapi ketika kuintip dari jendela kelas, dia sudah
menghilang. Mungkin benar, cowok itu sedang melarikan
diri ke kantin.
“Fuchsia!”
“Iya?” Aku terlonjak mendengan panggilan tiba-
tiba itu.
“Giliran kamu maju,” kata Bu Naima. Aku
mengangguk dan mulai berjalan ke depan kelas. Seperti
biasa, anak cowok bersiul ketika melihatku berjalan.
Benar-benar membuat risi.
“Mau story telling cerita berjudul apa?” tanya Bu
Naima sambil menopang dagu.
Sebenarnya, jika saja bisa, aku ingin menceritakan
tentang kisah hidup Kak Rose. Namun, karena cerita ini
belum menemui akhir yang bahagia, aku belum bisa
membaginya kepada banyak orang. Aku ingin menunggu,
sampai suatu hari Kak Rose bisa tersenyum dan tertawa
17 | Silvia Rodiana
tulus, karena dia bahagia. Bukan karena ingin membuat
orang lain bahagia.
“Beauty and the Beast,” jawabku, kemudian mulai
menceritakan tentang salah satu dongeng favoritku dan
Kak Rose. Kak Dimas dulu bilang, aku secantik Belle
dalam kisah itu, tetapi Kak Rose yang punya sifat sebaik
tokoh utamanya. Aku tidak pernah menyangkal
ucapannya, meskipun di dalam hati ada ragu yang terselip.
Orang-orang selalu membandingkanku dengan Kak Rose,
dan mereka selalu bilang hal yang sama seperti yang
dikatakan Kak Dimas. Namun, bagiku itu hanyalah sebuah
penghibur untukku. Karena kenyataannya, Kak Rose
bahkan lebih cantik daripada aku.

Hanya selang sehari setelah aku pulang dari


camping, Dino kembali seperti biasa. Menjadi makhluk
pecicilan yang tidak bisa diam. Bukan hanya mulut, tetapi
badan pun begitu. Aku selalu ingat sosok Kera Sakti, kalau
melihat orang ini.
“Hai, Belle!” sapa seseorang. Ketika menoleh, aku
bisa melihat sosok cowok bertubuh tinggi sedang berjalan

18 | Silvia Rodiana
ke arahku. Sepertinya itu ketua OSIS yang sedang
menjabat, adik tingkatku.
“Em … sudah mau pulang, ya?” Aku mengangguk
menjawabnya. “Gue antar, boleh?”
“Ya, kagaklah!” sahut Dino keras. Tiba-tiba saja dia
muncul entah dari mana. Mungkin dari botol minum gadis
berkepang dua di sebelahku.
“Belle pulang dan perginya sama gue. Titik.”
Adik kelas kami itu tampak sebal, tetapi dia tidak
mendebat.
“Ayo?” ajak Dino sambil melihatku. Aku segera
mengangguk dan mengikuti langkahnya ke lahan parkir
motor sekolah, menunggunya menyiapkan motor besar itu.
Namun, aku baru ingat kalau seharusnya aku meminjam
buku di perpustakaan.
“Dino, aku ke perpus sebentar, ya? Mau pinjam
buku, aku lupa!” Tanpa menunggunya menjawab, aku
berlari ke perpustakaan. Untunglah perpustakaan selalu
tutup lebih lama dari jam pulang sekolah, jadi aku masih
memiliki waktu untuk meminjam buku yang akan kupakai
mencari bahan tugas minggu depan.
“Nyari buku apa, Belle?”
19 | Silvia Rodiana
“Astagfirullah!” Hampir saja buku di tanganku
terjatuh, bila tidak cepat-cepat menyeimbangkan tubuh.
Kaget bukan main, karena tiba-tiba ada suara seorang
cowok di belakang.
“Kenapa, sih, kaget gitu?”
Aku beringsut menjauh, ngeri dengan cowok-
cowok seperti ini.
“Belle, nonton, yuk!” ajaknya, aku menggeleng.
“Kita nggak saling kenal.”
“Aduh, jutek banget, sih! Lagian siapa juga yang
kenal sama Fuchsia Belle, primadona di sekolah ini.
Ayolah … kita nonton, yuk.”
“Nonton sama adek aja, mau, Bang?” Itu suara
Dino.
Aku bergegas berlari melewati cowok itu, lalu
bersembunyi di balik tubuh Dino. Tentu saja di
belakangnya jauh lebih baik. Karena sekalipun jail dan
pecicilan, dia tidak mesum.
“Jangan deketin Belle, kalau nggak mau berurusan
sama gue!” Dino menekankan kata-kata, kemudian
mengajakku pergi dari sana.

20 | Silvia Rodiana
“Tunggu. Bukunya belum dapet,” pintaku setengah
kesal, karena harus terlambat mencari buku gara-gara
cowok tadi.
Dino mengangguk, menemaniku mencari buku
Sejarah yang kutemukan sampai ketemu. Kami pun
berjalan lagi ke lahan parkir, Dino menaruh buku itu di
atas kepalanya. Anehnya, dia berjalan santai dan tenang.
Tidak ada tanda buku itu akan terjatuh dari kepalanya.
“Kok, bisa nggak jatuh begitu?” tanyaku heran.
“Ini skill terpendam gue. Jangan kasih tahu Babang,
ya? Sebenernya gue itu berbakat jadi mamang jualan kue,
yang jalan sambil nahan tampah di kepala.”
Jawaban macam apa itu?
“Ucapan adalah doa. Memangnya kamu mau, jadi
mamang jualan kue?”
Dino melirikku sebentar, kemudian berucap, “Apa
aja yang penting halal, Mbak. Asal nikahnya sama lo, jadi
tukang uprek upil kuda juga gue rela, kok.”
“Tapi aku nggak mau nikah sama tukang uprek upil
kuda,” balasku, langsung mengambil helm putih
bergambar tokoh animasi Tweety yang dibelikan Dino
beberapa waktu lalu.
21 | Silvia Rodiana
“Ya Allah … teganya dirimu, Cia … Cia.”
“Diem, is!” ujarku kesal. Dino kalau sudah bicara,
susah diamnya. “Lagian kamu mau manggil aku Belle atau
Cia, sih? Gonta-ganti mulu!”
“Belle di sekolah, Cia di rumah. Soalnya Cia itu
semacam panggilan sayang. Jadi, gue nggak mau ada temen-
temen sekolah yang manggil lo Cia juga.”
Kepalaku meneleng ke samping, lalu berkata, “Ini
masih area sekolah, ngomong-ngomong.”
“Tapi, kan, sepi, Cia. Enggak ada yang denger, kok,
kalau gue manggil lo Cia.” Cowok yang sudah duduk di atas
motor itu tiba-tiba mendekatkan wajah padaku,
membuatku terkejut.
“Kalau gue cium lo di sini pun, nggak ada yang
lihat, kok.”

22 | Silvia Rodiana
TIGA

“Cia, oi, Cia! Naik, gih! Candaan gue tadi, elah.


Jangan ngambek, kek!”
Dino terus memanggil sambil membuntutiku,
menjalankan motornya pelan-pelan.
“Cia … ayo, dong. Enggak mungkin gue mau
kurang ajar sama lo. Biar ganteng-ganteng begini, gue nggak
pernah, kok, manfaatin kegantengan gue untuk modusin
anak gadis orang.”
“Ganteng, ganteng, ganteng. Sok banget, padahal
muka aja kayak tutup panci!”
“Eh, buset! Ampun banget gue … ketus banget,
sih!” keluh cowok itu. “Ayolah, Cia, naik ke motor. Bisa
dimutilasi duit jajan gue sama Babang kalau tahu lo pulang
jalan kaki.”
“Bodo amat! Sekalian aku kasih tahu sama Kak
Erlan, kamu mau nyium aku!”
Sialan! Wajahku malah memanas ingat
perkataannya di parkiran tadi.

23 | Silvia Rodiana
“Oi, jangan, dong! Ditempeleng ke Bulan nanti gue
sama Babang. Ayolah, Cia … naik sini. Nanti gue traktir es
krim.”
Es krim?
Aku menghentikan langkah, mendelik padanya
yang juga mengerem motor mendadak.
“Beneran?” tanyaku meyakinkan.
“Iya, Cia. Kapan, sih, gue bohong?”
“Magnum?”
Dino mengangguk cepat, memukul jok motornya.
“Naik sini.”
“Viennetta? Double dutch? Cornetto?”
“Iya, iya, iya. Sekalian beli sama kulkasnya.”
Kemudian cowok itu menghela napas kasar. “Alamat batal
beli voucher game gue minggu ini.”
Aku menahan tawa melihat wajahnya yang
bertekuk kesal. Sekali-kali mengerjai bocah petakilan
seperti dia ternyata seru juga.

“Oi, adeknya Mbak Oce, yang sayangnya kagak ada


mirip sama sekali sama mbaknya! Tadi gaya banget lo,

24 | Silvia Rodiana
segala jenis es krim disebutin. Giliran nyame Indoapril
belinya Paddle Pop doang.”
Aku tertawa kecil sambil menjilati es krim rasa susu
di tangan. Kami sedang duduk di depan mini-market,
setelah Dino membelikanku es krim. Tentu saja tadi aku
hanya bercanda. Mana mungkin aku minta jajanan mahal
padanya. Kebetulan, aku bukan kaum peminta-minta.
Dino juga membeli setangkai es krim cokelat,
duduk di sampingku sambil memakan esnya. Dia bisa
berdiam diri sebentar, membiarkanku mengamati sekitar.
Melihat seorang ayah yang sedang menarik motornya ke
luar dari parkiran, sementara bocah laki-laki berusia sekitar
7 tahunan menunggu sambil membawa plastik putih kecil.
Dari wajahnya terlihat sangat ceria. Mungkin dia dan
ayahnya baru saja selesai membeli camilan, seperti yang
dahulu sering kami lakukan sewaktu Ayah masih hidup.
Kenangan sederhana yang terasa begitu istimewa.
“Jangan bengong terus, Cia, nanti es krim lo gue
comot,” ucap Dino tiba-tiba. Aku yang agak kaget langsung
menoleh, lalu membuang pandangan lagi. Melihat anak
kecil tadi tertawa saat akan menaiki motor ayahnya, dan

25 | Silvia Rodiana
mereka pun segera pergi dengan senyum yang tercetak di
wajah masing-masing.
“Lo lihat apa, sih? Anak kecil tadi?”
Aku mengangguk cepat. “Aku kangen Ayah dan
Ibu.”
Memang benar ternyata, patah hati terbesar bagi
seorang perempuan adalah ketika ia kehilangan ayahnya.
Dan kesedihan terdalam seorang anak adalah kehilangan
ibunya. Sekarang aku merasakan itu sekaligus. Patah hati
yang begitu mendalam, karena kehilangan kedua orang tua
dalam waktu bersamaan.
“Kadang aku mikir … kenapa harus aku yang
ditinggalkan Ibu dan Ayah, kenapa bukan anak-anak lain
yang nggak menghargai orang tuanya? Kenapa harus aku,
yang justru sangat membutuhkan Ibu dan Ayah.”
Lagi-lagi sesak itu datang, menghantamku dengan
begitu banyak beban yang mengimpit hati bersamaan.
“Orang tua meninggal, tapi sempat meninggalkan
kenangan bahagia sama anak-anaknya, kadang jauh lebih
baik daripada orang tua yang masih hidup, tapi nggak
pernah ada untuk anaknya.”

26 | Silvia Rodiana
Sontak aku menoleh, melihat cowok yang masih
asyik menjilati es krim cokelatnya itu. Seketika memoriku
berputar, kala pertama kali melihat Dino. Hari itu pertama
kalinya aku datang ke sekolah mewah itu. Aku yang
mendapat undangan khusus untuk bisa masuk ke sekolah
berstandar internasional seperti itu, jelas sangat berbeda
dari kebanyakan siswa di sana, yang masuk karena orang
tua mereka mampu membayar SPP mahal. Saat itu
memang aku diantar Ayah, tetapi aku tahu, kasta kami jelas
berbeda. Mobil yang digunakan Ayah adalah mobil sejuta
umat, berbeda dari kebanyakan mobil konglomerat yang
terparkir di sana. Sehingga membuatku takut dan ragu,
bahkan sempat meminta pada Ayah untuk membawaku
pulang. Aku ingin sekolah di tempat Kak Rose saja, di
mana siswanya berasal dari kalangan biasa. Bukan
gudangnya orang kaya seperti itu. Namun, kata Ayah itu
tidak masuk akal. Bahkan jika Kak Rose yang ditawari
untuk masuk sekolah itu, dia pasti tidak akan menolak.
Jadi, aku tetap masuk dan mulai melakukan
pendaftaran ulang. Sempat ada sesi interview untukku, dan
Ayah menunggu di depan ruangan itu. Interview-nya
berjalan lancar, tetapi ketika aku keluar ruangan, Ayah
27 | Silvia Rodiana
tidak ada. Aku yang ketakutan ditinggalkan di tempat asing
sendirian langsung menangis, dan saat itulah ada seseorang
yang mendekat. Dengan langkah ragu, pandangan
cenderung kosong, tetapi aku merasakan kebaikan dari
dirinya. Dia cowok beralis agak tipis dan mata agak sipit.
Cowok yang sangat pendiam dan insecure. Kupikir awalnya
dia adalah siswa dengan undangan khusus sepertiku,
karena dia tidak terlihat seperti anak orang kaya yang
angkuh. Cowok itu terlalu sederhana, dan penuh dengan
kerendahan hati.
“Tadi … aku lihat bapak-bapak yang nganter kamu.
Dia dipanggil satpam, karena mobilnya nutupin jalan mobil
lain yang mau keluar parkiran. Jadi, bapak itu pergi ke
parkiran sekarang. Jangan takut,” jelasnya waktu itu. Dia
tetap berdiri di dekatku, tanpa sepatah kata. Namun,
kehadirannya membuat tangisku reda. Setidaknya, ada
seseorang yang mau bersikap ramah pada siswi dari
kalangan biasa sepertiku, begitulah pikiranku saat itu.
Di hari pertama kami mulai menjalani masa
orientasi siswa, aku kembali bertemu cowok pendiam dan
penakut itu. Namanya Aldino Adijaya, dan dia satu
kelompok denganku. Aku sempat melihatnya turun dari
28 | Silvia Rodiana
mobil super mewah, ketika ia datang ke sekolah. Jadi, aku
sangat bingung kenapa dia bersikap seperti itu. Dia juga
tidak ingin berteman dengan orang lain, bahkan menolak
ketika didekati. Satu-satunya orang yang dia terima
kehadirannya hanya aku. Hampir setiap hari aku
mendapati cowok itu mengikuti langkahku, tetapi tidak
pernah menyapa. Karena dia diam saja, aku merasa tidak
terganggu. Lagi pula, aku iba melihat matanya yang sangat
kosong. Aku juga penasaran, kira-kira kenapa sampai dia
bersikap seperti itu.
Sekian waktu berlalu, Dino pelan-pelan mulai mau
bicara padaku. Hanya hal sepele. Seperti ketika Ayah dan
Ibu meninggal, aku sempat tidak masuk sekolah selama
seminggu, karena saat itu aku demam. Ketika kembali ke
sekolah, aku melihat Dino berdiri di pinggir gerbang.
Sekian detik kami saling tatap dalam diam, hingga air mata
pun meluncur dari pelupukku.
Aku kehilangan muara kasih sayang, kehilangan
dunia yang selama ini menaungi. Semestaku yang penuh
warna runtuh, berganti kelabu yang begitu menyeramkan.

29 | Silvia Rodiana
“Belle … maaf. Maaf, karena aku nggak bisa apa-
apa untuk ngurangin kesedihan kamu. Aku cuma bisa janji,
aku akan selalu ada untuk kamu. Kapan pun kamu butuh.”
Itu adalah kalimat panjang pertama yang
dikeluarkan oleh Dino, selama kami kenal di sekolah itu.
Sebuah kalimat yang mampu menguatkan, seolah kini aku
memiliki pegangan baru. Meski kami terlihat sama
rapuhnya, setidaknya dia tidak menangis.
Dan sejak saat itu, aku tidak mau bergerak dari
tempat duduk, kecuali Dino datang untuk menjemputku.
Dia akan berjalan di belakangku. Tanpa suara, hanya tak
pernah melepaskan pandangan dari langkahku.
Iya, dia sediam itu. Sampai sesuatu terjadi. Sesuatu
yang tidak pernah terbayang dalam hidup, akan menimpa
diriku.

30 | Silvia Rodiana
EMPAT

Tetesan dingin di tangan membuatku menunduk,


melihat es krim itu sudah mulai meleleh. Cepat kusuap ke
mulut, agar tidak tambah mencair.
“Ngelamunin apa, sih, Cia?”
Sontak aku menoleh, melihat Dino yang sedang
menatap heran ke arahku. Es krim di tangannya sudah
habis, hanya tersisa batang kayu yang digerakkan Dino di
ujung-ujung jemarinya. Mungkin aku terlalu lama
mengenang masa lalu.
“Aku inget dulu, pertama kali kita kenal,” jawabku,
sebelum menyuap gigitan terakhir es krim warna-warni,
merasakan benda dingin itu melumer di dalam mulut
dengan cepat.
“Kamu dulu pendiam, tenang, nggak berisik kayak
sekarang.”
Terdengar helaan napas panjang dari Dino,
sebelum dia berkata, “Jadi, lo pengin gue balik kayak gitu
lagi?”

31 | Silvia Rodiana
Aku mengulang pertanyaan itu di dalam hati.
Apakah aku ingin dia kembali seperti itu?
“Aku nggak tahu,” ucapku jujur. “Aku mau kamu
jadi diri kamu sendiri, dan bahagia.”
Kami terdiam cukup lama, membiarkan suara
sekitar menguasai pendengaran. Hingga detak jantung
seperti irama jarum jam di rumah lama kami, tenang.
“Ada banyak hal yang bikin gue nggak bisa bener-
bener bahagia.”
Ketika aku menoleh, Dino sedang tersenyum
miris. Pandangan matanya seolah terlempar jauh. Dia
menatapku, tetapi pikirannya entah terlempar ke mana.
“Luka dari masa lalu, yang nggak mungkin bisa
sembuh sampai kapan pun. Bahkan waktu tidur pun, gue
selalu mimpi hal yang sama. Gue … benci diri sendiri,”
paparnya, membuat hatiku nyeri.
Aku tidak tahu, apa yang sudah terjadi di masa lalu
mereka. Kata Kak Rose, Dino dan Kak Erlan sama-sama
punya luka masa lalu yang mendalam, tetapi dia tidak
bercerita banyak. Aku ingin tahu, tapi jika itu artinya
menyakiti Dino karena harus membuka luka lamanya,

32 | Silvia Rodiana
maka aku akan menahan diri. Lebih baik luka itu terkubur,
dan lenyap seiring waktu.
“Waktu di hutan, gue bentak lo. Maaf. Gue kejam
banget, ya? Padahal lo pasti sudah ketakutan setengah mati,
karena hampir tenggelam. Lah, sama gue malah dibentak.”
Dino meringis di ujung kalimatnya. Aku bahkan tidak
yakin, dia masih ingat peristiwa itu. Karena sepulangnya
dari camping, dia tidak pernah membahas hal itu lagi.
“Makanya, Cia. Kalau nggak bisa renang, jangan
main di pinggir sungai,” oceh cowok aneh itu. Kukira tadi
benar-benar mau minta maaf, ternyata masih berniat
menceramahiku.
“Aku bisa renang, kok. Cuma waktu itu arusnya
deras banget, aku nggak bisa ngimbangin,” kilahku, tidak
mau disudutkan terus-terusan.
“Hilih … paling kalau renang juga di kolam yang
dalamnya setengah meter, gabung sama anak TK.”
“Dih, sembarangan, ya. Aku biasa renang di kolam
yang dalamnya 2 meter padahal.”
“Ngaku ajalah, Cia. Lagian cocok, kok, lo gabung
sama anak TK. Tingginya samaan juga,” cibir cowok itu
sambil tersenyum setan.
33 | Silvia Rodiana
Iya, sih, memang aku agak pendek, tapi bukan
berarti kerdil.
“Eh, gue kalau lihat Mbak Oce sama Babang Elan
jalan berdua suka geli,” ucap Dino tiba-tiba. “Mbak Oce
pendek begitu, Babang gue tinggi banget. Mana tiap jalan
gandengan tangan. Kayak bapak sama anak deh!” Dia
tertawa terpingkal-pingkal, sampai ujung matanya berair.
Aku juga tersenyum geli. Nasib memang menjadi
cewek pendek, harus siap jadi bahan candaan.
Plak!
Saking kagetnya, aku langsung berdiri. Tiba-tiba
saja ada suara pukulan, dan kulihat Dino sudah melengking
sambil meringis.
“Oi, Bang! Kapan datangnya, coba? Lo keluar dari
botol apa gimana, sih?” Dino mengoceh sambil mengusap-
usap kepala yang tadi dipukul kakaknya.
Kemudian Kak Rose muncul dari balik punggung
kekar suaminya. Dia tersenyum padaku, lalu mendelik
pada Dino.
“Kak … Kakak dari mana? Kok, tiba-tiba banget
bisa muncul di sini?” tanyaku pada Kak Rose.

34 | Silvia Rodiana
“Tadi kami habis makan di situ.” Kak Rose
menunjuk atap angkringan yang tidak begitu jauh dari mini-
market ini. “Terus Kak Erlan lihat kalian duduk di sini,
makanya kami samperin. Eh, ternyata lagi digibahin.”
“Gibah, gibah, gibah. Itu fakta!” sangkal Dino
sambil berjalan menjauh dari kakaknya, pasti takut kena
tempeleng lagi.
“Fakta nenek moyang lo! Lo pikir tampang gue
setua itu, sampai mirip bapaknya Rose?” Kak Erlan bicara
sambil melipat kedua tangan di dada.
“Bang, jangan amnesia, deh. Nenek moyang kita
samaan, ngomong-ngomong,” balas Dino santai. “Lagian
kenapa nggak salahin nenek moyang mereka aja, coba?
Kenapa keturunannya bisa imut-imut kayak kucing
munchkin begini.”
“Biar enak dipeluk!”
Ha? Apa telingaku masih berfungsi dengan baik?
Itu tadi Kak Erlan yang bicara seperti itu?
Belum sempat aku sadar dari keterkejutan, pria
tinggi kekar itu tahu-tahu saja sudah menggandengan
tangan istrinya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah
kakak kandungku. Cewek pendek nomor 1. Dia mengajak
35 | Silvia Rodiana
Kak Rose masuk ke mini-market, dan secara naluriah kami
mengikutinya.
“Bang, mau ngapai ke Indoapril?” tanya Dino
sambil mengekor.
“Jajanin bini gue, lah.”
Kak Erlan terlihat mengambil keranjang merah
dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya masih
menggenggam tangan Kak Rose. Sepertinya memang
membahagiakan, di saat ada seseorang yang
menggenggammu dalam keadaan apa pun. Dan sekarang
aku lega, karena sudah ada yang menggenggam tangan Kak
Rose, bagaimanapun keadaannya.
“Bang, gue juga jajan, ya? Mau beli pulsa sama
Kinderjoy,” pinta Dino dengan wajah yang terbelah oleh
cengiran lebar.
Kak Erlan tidak menjawab, bahkan mengangguk
pun tidak, tetapi Dino tetap mengambil keranjang, lalu
mulai mengisinya dengan aneka makanan ringan.
“Cia mau jajan apa?” tanya Kak Rose, membuatku
menoleh dan tersenyum kecil. Aku juga ingin makanan
yang dibeli Dino, tetapi tidak berani memintanya pada Kak
Erlan. Dia sudah cukup baik, setiap minggu
36 | Silvia Rodiana
membelikanku stok makanan. Aku tidak ingin menambah
beban lagi.
Sekali lagi, kepala Dino ditempeleng kakaknya.
Kupikir karena dia mengambil jajanan tanpa izin, ternyata
bukan. Kak Erlan malah mengucapkan sesuatu yang
membuatku terpana.
“Lo lagi jalan sama cewek, bukannya perhatiin dia
mau apa, malah mikirin diri sendiri.”
Jujur … aku tidak menyangka. Di balik sikap dingin
dan kaku pria bergelar kakak iparku ini, dia sangat
perhatian dan penyayang.
“Bang … Cia, kan, bisa ambil sendiri apa yang dia
mau. Masa iya mesti gue ambilin juga? Jalan mesti gue
gendong juga jangan-jangan, nih!” keluh Dino sambil
meringis.
Tiba-tiba bahuku terasa sakit, dan ada suara benda
terjatuh.
“Maaf, Mbak, maaf,” ucap seseorang yang telah
menabrakku, sampai membuat belanjaan yang
dipegangnya terjatuh.

37 | Silvia Rodiana
“Iya,” sahutku seadanya. Cowok bertubuh tinggi itu
masih menatapku untuk beberapa saat, sampai membuat
risi.
“Oi, dah nabrak, mata jelalatan pula. Mau gue
congkel itu mata, ha?” desis Dino, menatap tajam cowok
yang tadi menabrakku.
Cowok itu salah tingkah, lalu mengambil snack
yang terjatuh dan memutar arah. Sekali lagi dia mengucap
maaf padaku, yang hanya kusahuti dengan senyum tipis.
“Dia pikir ini sinetron kali, ya? Nabrak, tatap-
tatapan, terus jadian. Enak aja! Dia nggak lihat apa, di sini
ada Babang Dino yang selalu siap sedia jadi pelindung Cia.
Berani goda Cia, gue gibeng lo!”
Selagi Dino mengoceh, Kak Rose sudah
mengajakku menyusuri lorong mini-market. Aku juga
sudah fokus mengambil camilan untukku dan Nina di
apartemen, tanpa memedulikan cowok aneh itu. Kak Rose
juga terus menunjukkan camilan yang sering kami beli
dahulu bersama Ayah.
“Kak … aku beli ini juga buat Cia, ya? Dia suka ini.”
Kak Rose menunjukkan snack berbungkus hijau pada Kak
Erlan, yang langsung mengangguk.
38 | Silvia Rodiana
“Kamu juga beli,” sahut pria itu tegas. Seperti
sebuah perintah yang harus dituruti.
Cukup jauh kami berjalan dari lorong tadi, baru
terdengar Dino berteriak, “Oi! Tega banget ninggalin gue!”
Rupanya dia baru sadar, sejak tadi mengoceh
sendirian.
Aku sengaja mengambil jarak dari Kak Erlan dan
Kak Rose, memperhatikan mereka. Benar kata Dino,
mereka seperti ayah dan anak. Wajah Kak Rose terlihat
sangat bahagia, sama seperti saat kami bersama Ayah
dahulu. Kupikir itu wajar, jika dia masih suka dengan hal-
hal kecil seperti ini. Kak Rose baru 19 tahun, masih wajar
kalau kadang tingkahnya kekanakan. Ditambah lagi sikap
Kak Erlan yang sangat dewasa, seperti benar-benar mampu
menjadi pelindung bagi Kak Rose. Entah mengapa …
melihat hubungan mereka dari hari ke hari membuatku
terbawa perasaan.

Kami sudah kembali ke apartemen. Kak Rose dan


Kak Erlan tidak ke sini, hanya Dino yang mengantarku
pulang seperti biasa. Dan seperti biasa juga, dia tetap
berdiam diri di apartemen ini meski sudah kuusir. Namun,

39 | Silvia Rodiana
ketika jam sudah menunjukkan pukul 5, dia sendiri yang
akan pergi tanpa diusir.
Aku sudah bersiap menutup pintu, tetapi cowok itu
malah berdiam diri. Tangannya bersidekap di dada,
matanya lurus menatapku.
“Apa?” tanyaku tak sabar. Orang ini punya jenis
pandangan yang membingungkan.
“Tadi Bang Erlan bilang, cewek pendek itu enak
dipeluk. Jadi pengin nyoba gue.”

40 | Silvia Rodiana
LIMA

Sabar, Cia, sabar. Jangan tunjukkan emosi apa pun.


Tetap tenang, tarik napas secara normal. Dan … brak!
Aku membanting pintu dengan keras dan tiba-tiba.
Sengaja, supaya membentur jidat Dino yang pecicilan itu.
Mentang-mentang Kak Erlan bilang cewek pendek enak
dipeluk, terus dia mau praktik ke aku, gitu? Dasar mesum!
“Itu … kayaknya terlalu keras, deh,” kata Mbak
Nina sambil meringis.
“Biarin! Biar bocor sekalian kepalanya. Mana tahu
besok jadi bener otaknya,” sahutku malas, kemudian
berlalu ke kamar. Meninggalkan Mbak Nina yang masih
memasang tampak meringis, mungkin dia membayangkan
penderitaan Dino di balik pintu itu.

“Belle. Lo makannya apa, sih? Kok, tiap ujian


selalu dapet nilai 100,” tanya Dino pagi itu, di jam istirahat
pertama kami. Dia sedang duduk di kursi depanku, sambil
meletakkan dagunya di mejaku.

41 | Silvia Rodiana
“Tanya Kak Erlan. Kan, sekarang yang ngasih aku
makan Kak Erlan,” sahutku sekenanya.
Dino menghela napas panjang, lalu menegakkan
tubuhnya. “Baiklah! Hari ini memang Babang yang
nanggung kebutuhan lo. Tapi lihat aja entar, kalau gue
sudah kerja, tetap Babang juga yang nanggung kebutuhan
lo.”
Aku sampai mengangkat alis. Ucapan macam apa
itu?
“Ya, kalau tetap Kak Erlan yang nanggung biaya
hidupku, maksud kamu ngomong tadi apa?”
“Buat ngasih tahu lo, Belle. Nanti biar Babang yang
nanggung kebutuhan hidup lo, biar gue bisa nabung buat
beli rumah dan membangun rumah tangga sama lo.”
Membangun rumah tangga apanya?
“Siapa juga yang mau bangun rumah tangga sama
kamu?” pekikku kesal. Sialan! Kenapa wajahku jadi panas
begini?
“Lo, lah, Belle. Masa iya gue kawin sama kucing
munchkin tetangga?” sahut cowok itu sekenanya.

42 | Silvia Rodiana
“Biarpun sama imutnya sama lo, tapi gue mah
maunya sama lo aja. Enggak mau sama kucing,” lanjutnya,
yang membuatku tambah kesal.
“Tapi aku nggak mau sama kamu!” teriakku, lantas
berdiri dan berjalan meninggalkannya. Namun, cowok itu
ikut-ikutan berdiri dan membuntutiku. Kalau dahulu aku
tidak keberatan dengan kehadirannya karena dia selalu
diam, sekarang rasanya agak aneh, karena dia terlalu
berisik.
Namun, ada satu hal yang tidak bisa kuabaikan.
Berkat kehadirannya, aku tidak pernah takut diganggu
orang lagi. Kalau 2 tahun lalu dia tidak ada di dekatku, saat
aku diganggu anak-anak nakal dari sekolah lain, entah
bagaimana nasibku kini.
Itu hari Selasa, aku sangat ingat. Aku dan beberapa
teman cewek masih mengerjakan tugas di perpustakaan,
ketika semua siswa sudah beranjak pulang. Ketika
perpustakaan akan tutup, kami terpaksa menyudahi
kegiatan hari itu, meski tugas belum selesai. Teman-
temanku sudah ditunggu oleh sopir mereka masing-masing
waktu itu, hanya aku yang harus pulang berjalan kaki.
Sebetulnya ada dari mereka yang menawarkan tumpangan
43 | Silvia Rodiana
sampai ke halte, tetapi aku tidak enak hati. Rasanya tidak
pantas naik ke mobil mewah mereka. Jadi, aku memilih
berjalan kaki. Sayangnya waktu itu, sebelum sampai halte,
ada rombongan anak nakal dari sekolah lain yang
menggangguku. Mereka membuatku sangat takut. Anak-
anak berandalan itu menghadang dan menggodaku.
Kupikir saat itu riwayatku sudah tamat. Namun, tanpa
diduga ada dia di belakangku.
Tanpa ragu, tanpa takut. Dino berteriak
menghentikan mereka, menyuruh menyingkir dariku.
Padahal dia sendirian, dan tubuhnya tidak terlalu besar.
Berbeda dengan anak-anak nakal itu, ada dari mereka yang
tubuhnya sangat tinggi dan besar.
Dino berkelahi dengan mereka, tidak peduli jika
dirinya sudah babak belur. Sementara yang bisa aku
lakukan hanya menangis dan berteriak, berharap seseorang
menolongnya. Untunglah ada sebuah mobil yang mau
menepi, lalu pengendaranya memisahkan mereka.
Aku ingat saat itu, wajah Dino penuh lebam.
Namun, dia menolak diobati.
“Ayo, pulang. Gue antar,” katanya waktu itu, tidak
peduli pada diri sendiri. Kami berjalan ke halte bus, lalu
44 | Silvia Rodiana
naik bus ke arah rumahku. Kami tetap diam selama
perjalanan, meskin jantungku seakan porak-poranda. Aku
cemas padanya, ngeri melihat wajahnya yang biasa bersih
kini dihiasi lebam dan darah kering. Namun, cowok itu
tampak tenang dan tidak merasakan sakit sama sekali. Dia
diam, menatap ke luar jendela tanpa pernah sekali pun
menoleh padaku. Membuat hatiku nyeri. Seperti ada yang
teriris melihatnya mengabaikanku. Padahal biasanya,
hanya aku yang ada dalam pandangannya.
Ketika sampai di depan rumah, aku bingung apa
yang harus dilakukan. Apakah aku akan mengajak Dino
masuk, atau membiarkannya pulang saja. Karena saat itu,
rumah masih dalam keadaan terkunci. Sepertinya Kak
Rose belum pulang dari sekolahnya.
“Masuk, Belle. Gue tunggu di sini sampai lo masuk
ke rumah dengan aman.” Dino berucap dengan pasti,
seolah membaca isi pikiranku.
Aku tidak benar-benar tahu apa yang kurasakan
saat itu. Ini aneh, seperti ada gurat tawa dan gores luka yang
kurasa di saat bersamaan. Aku tidak bisa mengartikannya
dengan lugas. Namun, jelas sekali terasa nyaman, saat Dino

45 | Silvia Rodiana
melempar senyum tipis padaku. Itu pertama kalinya dia
tersenyum, sepanjang kami berkenalan.
“Jangan takut sama apa pun. Gue akan
menanggung semuanya untuk lo.”
Saat itu aku tahu, duniaku berhenti untuk sejenak.

“Belle, ambilin gue kecap, gih. Ini bakso gue


dibumbuin, kek. Biar mesra gitu, kayak Mbak Oce sama
Babang Elan.”
Aku mengerutkan alis. “Ya, bedalah! Mereka, kan,
sudah nikah. Wajar kalau mesra-mesraan. Kita apa, coba?
Duit jajan aja masih minta, sok banget mau mesra-
mesraan.”
Dino berdecak kecil. “Kan, latihan dulu, Belle.
Inget, ya, semua hal di Bumi ini tuh harus disiapkan
dengan matang, supaya hasilnya maksimal. Jadi mulai
sekarang, lo harus latihan jadi istri yang baik buat gue, biar
nanti pas udah nikah, tinggal melanjutkan aja.”
“Sini!” Aku menarik mangkok bakso berkuah
bening itu, lalu menuang kecap manis dan saos dengan
takaran pas. Mengambil wadah cabai di tengah meja,

46 | Silvia Rodiana
kemudian menyendok sebanyak-banyaknya ke mangkok
bakso Dino, sampai membuatnya melengking.
“Diare gue kalau begini!”
“Lah, katanya tadi latihan?” balasku cepat. “Kalau
orang latihan itu, biasanya penuh dengan kesalahan, supaya
nanti tahu mana hasil yang terbaik.”
Lantas kusodorkan bakso super pedas itu padanya
sambil berkata, “Kalau mau jadi suami aku yang penuh
dengan kekurangan ini, harus siap-siap dengan risikonya.
Salah satunya, aku nggak bisa masak. Jadi, harus latihan
makan masakanku yang nggak enak. Terima nasib, ya.”
Dino sempat bengong, mulutnya terbuka sedikit.
Aku tersenyum geli melihat ekspresinya, lalu melengos dan
mulai memakan baksoku. Kupikir cowok itu akan
membuang bakso yang kutumpahi cabai, ternyata tidak.
Dia tetap berusaha menyuapnya. Namun, aku menahan
dan menarik mangkoknya menjauh.
“Gila, ya! Bukannya dibuang juga!” ocehku sebal.
“Katanya tadi latihan?” cibir cowok itu sambil
mendelik padaku. “Gue mah siap lahir batin, buat nerima
lo dengan segala kekurangan dan kelebihan, Belle.”

47 | Silvia Rodiana
“Ciye ….” Itu suara Mpok Munah, pedagang bakso
di kantin ini. “Udah deh, Neng Belle yang cakepnya setara
sama Syifa Haju. Terima aje itu si Entong. Kesian, udah
dari zaman Siti Nurbaya pake kebaya, sampe zaman Siti
Badriah pake celana jin ngejer cinta si Eneng, belum juga
di-acc.”
Tuhan … kenapa aku dikelilingi makhluk koplak
seperti mereka ini?
“Nah, itu, Mpok, itu! Demen banget kalau Mpok
Munah udah ngomong! Pokoknya kalau Belle nerima
cintanya Babang Dino, gue suruh Babang Elan borong
dagangan Mpok Munah. Sama gerobaknya sekalian,”
celetuk Dino sambil tersenyum lebar.
“Elah … gerobak gue lo beli, gue jualan pake apa?
Tedmon sekolah lo?”
“Yakali jualan bakso pake Tedmon?” Dino tetawa
terbahak-bahak, orang-orang di sekitar kami juga ikut
tertawa. Mpok Munah menepuk bahuku pelan, kemudian
berjalan meninggalkan kami, menuju gerobak baksonya.
“Tuh, Belle, kayak Mpok Munah, dong.
Pengertian sama perasaan dan perjuangan gue untuk
mendapatkan cinta lo.”
48 | Silvia Rodiana
Tidak tahu kenapa, bakso di hadapanku berubah
menjadi monster kutu loncat. Membuatku ngeri dan malas
untuk memakannya.
“Yaudah, kalau Mpok Munah pengertian sama
kamu, nikahnya sama dia aja! Pas, lah. Mpok Munah, kan,
janda kembang. Cocoklah sama kamu yang kayak abang-
abang!” omelku, lalu berdiri dan berjalan tergesa.
“Oi, Belle! Makanan lo belum habis padahal!”
teriak Dino di belakang, sepertinya membuntutiku.
“Belle, balik kantin, yuk? Masih lapar gue.”
“Terserah! Lagian siapa suruh juga kamu bandingin
aku sama Mpok Munah? Pacaran aja sama dia kalau suka!”
ketusku, tak mau menoleh dan melihat tampang
pecicilannya.
“Oi, Belle. Lo ... cemburu, ya?”
Apa? Cemburu?

49 | Silvia Rodiana
ENAM

Cukup banyak yang berubah sekarang. Sejak Kak


Rose menikah dengan Kak Erlan, kupikir itu hanya akan
mengubah hidupnya, ternyata hidupku juga. Jika beberapa
bulan lalu aku harus tahan berjalan kaki setiap hari,
sekarang harus siap mendengar ocehan Dino di atas
motornya. Beberapa bulan lalu harus bisa menahan lapar
setiap hari, sekarang bisa makan sekenyangnya. Dahulu
tidak bisa tenang tinggal di pemukiman padat penduduk,
sekarang terasa sepi tinggal di apartemen yang bahkan
tetangga pun tidak saling mengenal.
Aku tidak benar-benar tahu, bagaimana kehidupan
Kak Rose kini. Dia tidak pernah mengeluh, tetapi dari
wajahnya aku tahu, ada banyak hal yang ditanggungnya
sekarang. Di balik senyumnya, ada sakit yang coba ia
tutupi. Entah apa itu. Kak Rose hanya pernah bilang, dia
terluka saat mengetahui luka di masa lalu Kak Erlan dan
Dino. Namun, dia tidak pernah menjelaskan, luka apa itu.
Seolah Kak Rose ingin menanggungnya sendiri tanpa
melibatkanku.

50 | Silvia Rodiana
“Kakak Dino!”
Kepalaku sontak menoleh ke sumber suara,
melihat seorang gadis sedang berlari ke arah kami. Cewek
berkerudung putih sepertiku itu tersenyum lebar,
menunjukkan deretan gigi yang rapi dan putih. Dino yang
baru selesai memarkirkan motor pun menoleh, melihat
gadis berkulit cerah itu dengan sebelah alis terangkat.
“Pagi, Kak Dino,” sapa gadis itu sambil tersenyum.
Iya, hanya Dino saja yang disapa. Seolah aku ini makhluk
tak kasat mata.
“Iye, gue tahu ini masih pagi, belum siang,” sahut
Dino santai sambil membetulkan posisi ransel hitamnya.
“Kak Dino bisa aja.” Cewek itu tertawa kecil, lantas
menyodorkan tas bekal merah muda pada Dino. “Kak, aku
bawain ini buat Kakak. Tadi aku sengaja, lo, bangun pagi-
pagi buat bikinin Kakak nasi goreng. Diterima, ya, Kak.”
Wajah cewek yang sedikit lebih tinggi dariku itu
tampak merona, tidak pucat seperti tadi. Matanya
memancarkan harapan kepada Dino, agar dia mau
menerima kotak bekal itu. Dan seperti yang sudah kuduga,
tentu saja Dino mengambilnya. Sambil tersenyum pula.
“Makasih, ya. Tahu aja gue doyan makan.”
51 | Silvia Rodiana
Cewek yang kupikir baru kelas X itu tersenyum
sangat bahagia, saat Dino menyambut kotak bekal dari
tangannya.
“Kotaknya ambil ke kelas gue nanti, ya? Kalau gue
nggak ada, meja gue paling belakang di baris—”
“Baris kedua dari pintu masuk,” potong gadis itu.
“Aku tahu, kok, Kak. Aku, kan, sering lihat Kakak dari luar
kelas.”
Stalker.
Baiklah … sudah cukup aku menjadi patung hidup
tanpa dihiraukan.
“Dino, ayo, ke kelas.”
“Kak … boleh, nggak, aku jalan sama Kakak ke
kelas?” pinta gadis itu, melihat Dino dengan mata bulatnya.
Sudut bibirku sampai naik sebelah. Apa-apaan cewek ini?
Dia sama sekali tidak menganggapku ada.
“Enggak boleh!” balasku kejam. “Lagian kelas 1,
kan, di tingkat bawah. Ngapain ikut kami ke tingkat 3
sana?”
“Ih … aku, kan, nggak ngomong sama Kak Belle!”
sahut gadis itu merajuk.
“Eh, lo kenal Belle juga?” tanya Dino padanya.
52 | Silvia Rodiana
“Iya, tahu. Kak Belle, kan, primadona di sekolah
ini. Tapi … aku lebih cantik dari Kak Belle, kan, Kak
Dino?”
Aku memutar bola mata malas. Gadis ini ….
“Nanti kalau Kak Belle sudah lulus, pasti aku yang
jadi primadona di sini!” sambungnya penuh percaya diri.
“Waduh, pede banget nih bocah!” Dino bicara
sambil terkikik. “Tapi, ya, bolehlah. Nanti kalau Belle
sudah lulus, lo gantiin posisinya sebagai primadona
sekolah, ya.”
Cewek itu melompat kecil, aku melotot mendengar
ucapan Dino.
“Tapi kalau primadona di hati gue … ya, tetap
Fuchsia Belle,” lanjut Dino sambil mengerling ke arahku,
lantas menunjuk jalan dengan dagunya.
Aku sempat melihat cewek itu, yang ternyata masih
membuntuti kami. Lama-lama malas juga meliat gadis-
gadis genit seperti mereka, yang selalu berusaha mendekati
Dino. Apa mereka tidak punya malu, mengejar laki-laki
seperti itu? Dasar genit!

53 | Silvia Rodiana
Dino memang salah satu idola di sekolah ini. Selain
terkenal karena pandai membuat orang pusing dengan
ocehannya, dia juga sering berkelahi (karena membelaku).
Selain itu, orang-orang juga sering berbisik karena Dino
disebut sebagai salah satu siswa dari keluarga terkaya di
sekolah ini. Sebetulnya Gita dan Amira juga sering
menyebut soal kakak Dino, yang kata mereka sangat
tampan dan sukses di usia muda. Namun, aku baru
pertama melihatnya saat Kak Erlan mengantar Kak Rose
ke sekolah ini, sesaat setelah mereka menikah.
Dia memang baik kepada semua orang, kecuali
kepada cowok-cowok yang berusaha mendekatiku.
Mungkin karena itu juga, dia jadi punya banyak musuh di
sekolah ini. Namun, seingatku tidak pernah benar-benar
ada yang berani melawannya sendirian, karena Dino
seperti kesetanan setiap kali dia berkelahi. Tidak bisa
dihentikan, kecuali dia mau berhenti sendiri.
“Kak Dino, semangat, ya, belajarnya!” sorak gadis
tadi, sambil mengepalkan tangan kanannya. Seolah itu
akan berpengaruh kepada seseorang.
“Iye, iye. Balik kelas sana, nanti keburu masuk!”

54 | Silvia Rodiana
Cewek itu menjerit kecil. “Ah! Senengnya
diperhatiin Kak Dino.” Kemudian dia melambaikan
tangan dan berlalu dari kelas kami.
Dino juga berjalan ke mejanya di baris paling
belakang. Kulihat dia bercanda dengan teman-teman
cowoknya, lalu membuka tas bekal tadi, mengeluarkan
kotak makanan yang juga berwarna merah muda. Ada
secarik kertas yang dia tarik dari dalam tas itu, membacanya
sesaat, kemudian meletakkannya di meja. Dia mulai
makan dengan lahap, dan tentu saja sambil berkelakar
dengan teman-temannya.
Kenapa dia bisa makan selahap itu? Apa dia tidak
sarapan tadi di rumah? Atau karena dia suka, makan
masakan cewek yang mengaku lebih cantik dariku tadi?
Apa cewek itu benar-benar lebih cantik dariku?
“Belle, lihat tugas Matematika punya lo, dong? Gue
nggak ngerti cara ngerjain yang nomor 5.” Tiba-tiba Amira
ada di samping mejaku.
Gita juga ikut-ikutan mendekat, berkata, “Iya,
Belle. Soal nomor 5 itu kayak paket dari neraka. Susah
banget dipecahin!”

55 | Silvia Rodiana
Aku menghela napas panjang, lalu menggeleng.
“Enggak boleh nyontek punya aku. Sini, aku ajarin aja.”
“Ah, lo dari kelas 1 sampai sekarang pelitnya makin
nambah,” keluh Amira sambil merengut, tetapi dia
mendekatkan buku tulisnya padaku. Aku pun mulai
menjelaskan pada mereka bagaimana mengerjakan soal itu,
tetapi belum sempat mereka menemukan jawaban yang
benar, guru yang akan mengisi jam pertama sudah masuk
ke kelas kami. Untungnya pelajaran Matematika di jam
ketiga, jadi mereka punya waktu untuk mengerjakannya.
“Dino, kerjakan soal di papan tulis!” seru guru
berkumis tipis itu. Dino memang sering menjadi sasaran
para guru, untuk mengerjakan tugas di depan kelas, entah
kenapa.
“Ah, siap, Pak!” Cowok itu berjalan ke depan kelas
dengan sangat santai, lalu mulai mengambil spidol dan
menuliskan angka demi angka. Tumben otaknya encer
sepagi ini? Biasanya setiap pelajaran Fisika di jam pertama,
selalu saja ada drama darinya, yang mengeluh karena
otaknya belum siap diajak bekerja keras.

56 | Silvia Rodiana
Guru Fisika kami memeriksa jawabannya sambil
berulang kali membetulkan posisi kacamata. “Tumben
jawabannya benar, Dino?”
Dino menutup spidol, lalu menghela napas dalam.
“Kenapalah hidup Babang Dino ini selalu serba salah?
Jawab salah dimarahin, jawab benar diheranin. Jawab siap
menikahi Belle digebukin, jawab siap menikah dua kali
ditenggelamkan.”
“Dino!” Tanpa sadar aku memekik, sampai semua
orang menoleh dan menatapku kaget. Aku juga terkejut,
kenapa bisa berteriak sekencang itu. Ya, Tuhan … aku
malu.
“Kenapa, Belle?” tanya guru kami. Mati aku!
Bagaimana ini?
“Eng-gak, Pak.”
“Ya, sudah, Dino. Kamu kembali ke tempat
duduk,” suruh guru itu, yang langsung diangguki Dino. Dia
pun kembali ke belakang dengan semangat, lalu terdengar
bisik-bisik mereka di belakang, diiringi tawa diam-diam.

Jam istirahat pertama, aku berdiam diri di kelas


karena Dino sedang dipanggil ke ruang guru oleh wali kelas

57 | Silvia Rodiana
kami. Tak lama, seorang gadis masuk ke kelas sambil
berlari kecil. Itu gadis yang tadi pagi.
Dia berlari menghampiri meja Dino di belakang,
mengambil tas bekal yang sudah diletakkan Dino di
mejanya. Kupikir dia akan segera keluar dari kelas, ternyata
malah berhenti di samping mejaku.
“Kak Belle, lo nggak pacarakan, kan, sama Kak
Dino?” tanyanya tanpa basa-basi.
Aku diam saja, tidak merasa berkewajiban
menjawabnya.
“Pasti nggak, ‘kan? Gue dengar dari orang-orang,
Kak Dino mau bonceng lo pulang-pergi karena kasihan.
Lo, kan, biasanya jalan kaki,” lanjutnya tanpa menunggu
reaksiku.
“Pokoknya gue suka sama Kak Dino, dan gue
nggak peduli sama lo. Bye!”
Sialan! Percaya diri sekali anak ini … memangnya
Dino mau sama dia? Namun, ucapan itu benar-benar
membuat mood-ku hancur seharian. Kenapa juga dia
harus mengatakannya padaku? Memangnya aku peduli,
kalau dia suka pada Dino? Dasar cewek menyebalkan!

58 | Silvia Rodiana
Aku yang tadinya sedang sibuk menggaris di kertas
karton terdiam, kala melihat kedekatan Kak Rose dan Kak
Erlan. Interaksi kedua manusia ini memang aneh. Mereka
tidak banyak bicara, hanya tatapan mata dan tindakan yang
mewakili segalanya. Seperti sekarang, saat Kak Rose
sedang asyik dengan puding susu di tangannya, Kak Erlan
mendekat dan membuka mulut. Dengan malu-malu, Kak
Rose menyuapkan puding itu kepada suaminya. Mereka
terlihat manis dan hidup dalam kedamaian.
“Cia, kamu bikin tugas apa, sih?” tanya Kak Rose,
yang seolah berusaha mengalihkan perhatian dari
suaminya. Mungkin dia malu padaku.
“Oh, ini … tugas Matematika.”
“Dino nggak bikin?” Kak Rose lantas menoleh
pada Dino, yang sejak tadi sibuk dengan gawainya.
“Enggak, ada anak kelas 1 yang ngerjain tugas gue.
Biarin deh, Mbak, capek gue belajar terus.”
“Cewek kelas 1 yang tadi?” tanyaku cepat.
“Iya, yang tadi. Namanya Tamara. Baik anaknya,
pintar juga. Te—”
“Terserah! Aku nggak peduli sama dia!” potongku
cepat, lalu bangkit dari ambal abu-abu yang sejak tadi
59 | Silvia Rodiana
kududuki. Berjalan tergesa ke kamar, tidak peduli jika Kak
Rose memanggil. Terserah! Memangnya aku peduli
dengan cewek bernama Cemara itu? Tidak akan!

60 | Silvia Rodiana
TUJUH

Sudah sejak pagi aku bersin-bersin. Terlebih saat


Cemara muncul di jam pertama istirahat kami. Bocah
keturunan jin botol ini sepertinya paham tekhnik
teleportase. Karena seingatku, bel baru saja berbunyi
sedetik yang lalu, dan kini dia sudah ada di kelas,
berbarengan dengan guru keluar.
Seperti beberapa hari kemarin, dia rutin
membawakan Dino kotak bekal. Pernah aku berpikir,
mungkin makanan di dalamnya sudah berisi guna-guna,
atau tali pocong perawan seperti di film-film. Namun,
sepertinya itu sama sekali tidak benar, karena Dino dan
teman-temannya bisa menghabiskan makanan itu tanpa
keluhan sedikit pun.
“Dedek Tamara hari ini bawa makanan apa?”
tanya salah satu teman cowok Dino di barisan belakang.
“Aku bawa roti selai cokelat, tapi ini buat Kak Dino
aja, yang lain nggak boleh!” sahut cewek yang hari ini
mengenakan bros dagu menjuntai itu, seperti ibu-ibu
hendak pergi arisan.

61 | Silvia Rodiana
Cowok-cowok di belakang mulai bersorak-sorak
tidak karuan, sementara Gita dan Amira mendekat ke
mejaku.
“Belle … gue pikir lo sama Dino pacaran?” bisik
Gita sambil melirik ke belakang.
“Iya. Lo sama Dino kayak deket banget belakangan
ini, pulang-pergi berdua. Masa iya nggak pacaran?” timpal
Amira dengan tampang ditekuk.
“Enggak,” balasku cuek, sesaat sebelum bersin lagi.
Gita mengulurkan tisu, langsung kuambil untuk menekan
hidung yang mulai tidak nyaman. Sepertinya aku akan flu.
“Belle, lo sakit?” Tiba-tiba suara Dino terdengar
cukup dekat. Ternyata dia sudah ada di belakangku.
Aku hanya menggeleng menjawabnya.
“Mungkin Belle alergi sama cewek ganjen ini,
makanya dari tadi bersin terus!” celetuk Gita sambil
menunjuk Cemara yang tahu-tahu saja sudah berada di
samping Dino.
“Ih, sembarangan! Dikata gue kuman kali, ya.
Lagian kalau alergi sama cewek cantik kayak gue nggak
mungkin, tuh. Kalau cemburu mah, iya!” sahut Cemara

62 | Silvia Rodiana
sambil melipat kedua tangan di depan dada, dan mata
mendelik padaku.
“Cantik, cantik, cantik. Muka kayak bubur campur
Madura begitu padahal, warna-warni!” ketusku, kesal
setengah mati. Dari kemarin selalu saja merasa paling
cantik. Memang siapa, sih, yang mengakui si Cemara ini
cantik?
“Eh, mulut lo, ya!” Cewek kelas 1 itu mengangkat
tangan hendak memukulku, tetapi Dino lebih dahulu
menangkap tangannya.
“Kak Dino, lepas, ih! Biar aku sumpel mulutnya
yang kurang ajar itu!” pekik si Cemara heboh.
“Lo mau nyumpel mulut Belle? Gimana kalau
mulut lo dulu yang gue sumpel?” Dino berkata santai, lalu
menyeret cewek itu ke luar kelas. Cemara memberontak,
tidak terima karena diperlakukan Dino seperti itu. Namun,
sepertinya Dino tidak peduli. Dia mengeluarkan cewek itu
dari kelas, lalu membanting pintu keras-keras ketika cewek
itu hendak masuk ke kelas lagi. Beberapa orang sampai
terlonjak, saking kerasnya suara pintu tadi.
“Apa lo lihat-lihat?” sentak Dino pada seorang siswi
yang duduk di barisan depan dekat pintu. “Pokoknya kalau
63 | Silvia Rodiana
ada yang mau ngasarin Belle, bakalan berurusan sama
gue!”
“Waw … gue kira lo selingkuh sama cewek tadi?”
Amira mencibir.
“Eits, jangan sembarangan, ya, Nona Muda.
Karena Abang Erlan, abang gue yang paling ganteng itu,
nggak pernah ngajarin gue selingkuh. Hidup abang gue tuh
kayak batu nisan. Biarpun kaku dan dingin, tapi nggak
pernah pindah ke kuburan lain.”
Gita tertawa kencang, sampai memukul bahuku.
Amira juga terkikik mendengar ucapan Dino.
“Tega banget nyamain abang lo sama batu nisan,”
komentar Gita sambil menahan tawa.
“Abisan abang gue gitu, kaku banget. Kalau manggil
bininya aja: ‘Rose. Kopi.’” Dino menggeleng setelah
berusaha menirukan abangnya, yang sayang tidak mirip
sama sekali.
“Cobalah kalau gue, pasti ada variasinya gitu. Gini
nih, contohnya.” Cowok itu berjalan mendekat ke mejaku,
lalu berjongkok di dekatku.
“Calon istri yang cantik jelita, ke kantin, yuk. Laper
banget gue! Enggak nyangka ternyata banting pintu bisa
64 | Silvia Rodiana
makan tenaga sebanyak ini,” katanya, yang kembali
memancing tawa Gita dan Amira.
Apa-apaan cowok petakilan ini? Masa cuma
membanting pintu saja bisa kelaparan?
“Enggak usahlah ke kantin. Kan, ada roti spesial
dari Cemara itu!” kataku ketus.
“Cemara?” Dino mengernyit, kemudian tertawa.
“Namanya Tamara, oi. Sukaan ganti nama orang.”
“Kamu juga suka ganti nama orang. Kak Erlan jadi
Babang Elan, Kak Rose jadi Mbak Oce.”
“Kalau itu namanya panggilan sayang, Belle. Udah,
ah, yuk, ke kantin. Laper gue.”
Aku menggeleng, tiba-tiba malas bergerak.
“Belle nggak enak badan deh kayaknya, Dino,”
celetuk Amira sambil melihatku. “Mending lo beliin
makanan gitu, terus bawa ke sini.”
Dino bangkit dari posisi jongkok, lalu melihat
wajahku dengan teliti. Diperhatikan seperti itu malah
membuatku malu dan salah tingkah.
“Udah, ah! Ngapain juga ngelihatin aku begitu!”
ketusku sambil membuang muka.

65 | Silvia Rodiana
“Mau gue beliin apa? Bakso, mi ayam, cireng, apa
sekalian gerobak Mpok Munah gue bawain ke sini?”
“Aku mau teh madu buatan Kak Rose,” bisikku
tanpa sadar. Biasanya kalau demam, Kak Rose akan
membuatkanku teh madu hangat, supaya demamku cepat
turun.
“Yaudah, gue beliin teh hangat. Kalian berdua di
sini juga temani Belle, ya. Nanti gue bawain makanan,” kata
cowok itu, kemudian berjalan ke luar kelas.
“Beliin gue somai kue bakso!” teriak Gita.
“Gue seblak, tapi yang manis, ya!” timpal Amira.
Astaga … teman-temanku.

“Belle … nggak usah ikut pelajaran olahraga hari


ini, ya?” bujuk Dino, saat aku sudah siap dengan pakaian
olahraga.
“Hari ini, kan, jadwalnya renang. Nanti lo tambah
demam.”
Aku langsung menggeleng. “Berenangnya cuma
sebentar, kok. Aku nggak mau ketinggalan pelajaran.”
“Nanti lo demam, Mbak Rose cemas. Enggak apa-
apa, kok. Biar gue yang izin ke guru,” rayunya lagi, tetapi

66 | Silvia Rodiana
aku tetap menolak. Saat aku akan bersiap ke luar kelas, aku
baru ingat sesuatu. Dino memang tidak pernah ikut
pelajaran olahraga, jika kami akan berenang. Selama ini
kupikir dia hanya tidak bisa berenang, tetapi saat di sungai
itu, dia bisa berenang dan bahkan membawaku melawan
arus bersamanya.
Aku berbalik lagi, melihat dirinya yang ternyata
sedang memandangku kosong.
“Dino, kenapa kamu nggak pernah ikut pelajaran
olahraga, kalau jadwal kita renang?” tanyaku sengaja. Kak
Rose bilang, Dino trauma pada air. Aku ingin tahu kenapa
hal itu bisa terjadi. Aku ingin tahu masa lalunya. Aku ingin
tahu, apa yang membuat Dino dahulu begitu berbeda
dengan Dino yang kukenal sekarang.
“Aku pikir kamu nggak bisa renang, tapi—”
“Gue bahkan pernah menang lomba renang waktu
kecil. Waktu anak-anak lain masih takut sama air, gue
sudah bisa berenang. Tapi, bukan berarti gue harus selalu
kembali ke air. Dan … mengulang semuanya.”
Aku tidak tahu apa yang terjadi, hanya saja hatiku
mendadak bergetar, kemudian kosong. Sebenarnya … apa
yang telah terjadi di masa lalu cowok ini? Apa dia pernah
67 | Silvia Rodiana
melakukan kesalahan di air? Dia pernah menang lomba
renang, apa dia pernah menyebabkan orang lain celaka di
air, sampai dia begitu tertekan seperti ini?
Tanpa sadar, aku melangkah mendekatinya.
Bertanya, “Apa yang terjadi sama kamu dulu, Dino? Apa
yang salah dari masa lalu kamu?”
“Lo mau tahu?” tanyanya, aku menangguk pasti.
“Kalau lo mau tahu masa lalu gue, serahkan hal
yang paling berharga dari diri lo untuk gue.”

68 | Silvia Rodiana
DELAPAN

“A-apa?”
Dino berdecak. “Ya, apa lagi, Belle? Cewek, kan,
cuma punya satu barang paling berharga di dalam dirinya.”
Aku menautkan alis, cowok ini benar-benar
membingungkan.
Dia melangkah mendekat, lalu berhenti di jarak 1
meter dariku. Katanya, “Kasih gue seluruh hati lo, dan lo
akan tahu semua tentang gue. Sama kayak Bang Erlan, yang
cuma bisa cerita masa lalunya ke Mbak Rose. Gue juga
cuma bisa cerita ke orang yang bisa menelan rasa pahit itu
sama-sama gue.”
Cowok itu mundur lagi, lantas kembali ke mejanya
dan duduk tenang, meninggalkanku yang masih tertegun di
tempat. Jadi … dia tidak akan memberitahuku apa pun
tentang masa lalunya. Mungkin saja hal yang ditutupi Dino
selama ini adalah hal paling menyeramkan baginya,
sehingga sulit untuk menceritakan masa lalu itu. Dan bila
memang mencari tahu tentang hal itu sama saja akan
melukainya, mungkin aku lebih baik diam. Lagi pula,

69 | Silvia Rodiana
mungkin saja semua itu terlalu berat untuk kudengar.
Tidak, aku mungkin tidak sanggup untuk mengetahuinya.
Jadi, aku memilih pergi meski rasa penasaran masih
menggelayuti hati.

“Aldino Adijaya!” Guru olahraga kami sempat


melirik ke barisan siswa, lalu menggeleng. “Oh, iya. Dino
nggak ada, ya.” Sepertinya dia baru ingat, bila Dino tidak
pernah ikut pelajaran olahraga kalau jadwalnya adalah
renang.
Saat ini, kami sedang berada di kolam renang
indoor sekolah, yang merupakan salah satu fasilitas sekolah
berstandar internasional ini. Selain dipakai untuk pelajaran
olahraga dan ekstrakuliker, kola mini juga sering dijadikan
arena lomba renang antar sekolah. Seluruh siswa juga
boleh meminta izin menggunakan fasilitas ini, untuk
latihan berenang dengan syarat tertentu. Namun, karena
Dino tidak pernah mau ke sini, aku juga tidak pernah ke
sini selain untuk pelajaran wajib.
Kalau saja bisa, aku ingin sekali mengajak Kak Rose
ke sini, dan mulai mengajarinya berenang. Sejak dahulu,
Kak Rose sangat sulit belajar berenang. Katanya, kalau di

70 | Silvia Rodiana
dalam air napasnya langsung berhenti, juga tubuhnya
melemah. Mungkin itu salah satu tanda dari fobia air, aku
tidak begitu mengerti.
“Fuchsia Belle!” seru guru kami. Aku langsung
mendekat, menerima perintah untuk berdiri di garis yang
ditunjuk guru kami, kemudian menunggu teman-teman
untuk mengisi posisi lain. Kami pun menceburkan diri
bersamaan setelah mendengar pluit, berusaha untuk
sampai paling cepat ke seberang kolam. Namun, saat baru
saja terendam air, tubuhku seperti menggigil. Mungkin
setelah ini aku akan benar-benar demam.
Sebisa mungkin aku berenang cepat ke seberang
kolam, supaya tidak terlalu lama berada di dalam air.
Ketika sampai di pembatas, aku cepat-cepat naik ke pinggir
kolam, kemudian berjalan ke tribun. Duduk di sana sambil
memeluk diri sendiri. Sampai tiba-tiba, sesuatu yang hangat
terasa menutupi bahuku.
“Bandel, sih! Dibilang nggak usah ikut renang
juga,” omel cowok itu, yang entah kapan datangnya.
Aku agak kaget karena Dino mau ke sini. Biasanya,
meski sudah dipaksa oleh teman-temannya, dia tetap tidak
mau masuk ke area kolam renang.
71 | Silvia Rodiana
“Nih!” Disodorkannya segelas teh yang masih
mengepulkan asap tipis.
Aku menyambutnya, menggumam, “Makasih.”
Lalu menyesap teh itu pelan-pelan.
Dino duduk di sebelahku, pandangannya
tertunduk. Mungkin berada di sini saja sudah membuatnya
tidak nyaman.
“Dino … aku mau balik ke kelas,” ucapku. Dia
mengangguk, mengambil cangkir teh dari tanganku dan
menungguku berdiri. Aku meminta izin pada guru kami,
lalu berjalan ke luar bersama Dino. Melihat lagi kain yang
disampirkan Dino ke bahuku, ternyata ini jaket hitam yang
tadi dia gunakan.
“Dino, jaket kamu ikutan basah jadinya.”
Dia melirikku sebentar, lantas mengangguk. “Jaket
doang dipusingin, Mbak … Mbak. Badan dah gemeteran
begitu padahal.”
Aku menarik sisi-sisi jaket itu, mengeratkannya ke
tubuh. Harum parfum Dino tercium, begitu lembut dan
menyegarkan.
“Bahagia, kan, lo, diselimuti sama jaket gue?
Untung jadi kesayangan gue, jadi diselimuti jaket Babang
72 | Silvia Rodiana
Dino yang kinyis-kinyis kayak balita ini. Coba kalau nggak,
mending gue selimuti pakai kelapa parut deh, biar jadi
klepon!”
“Dino, is!”
Cowok itu nyengir, tetapi tak banyak bicara lagi.
Dia menemani ke loker untuk mengambil seragam dan
pakaian ganti yang sudah aku bawa dari rumah, lalu
menungguiku di depan toilet. Saat aku keluar, cangkir yang
sejak tadi dia pegang sudah tidak berisi, padahal aku masih
ingin minum teh hangat itu.
“Aku kira buat aku. Kok, malah kamu yang
habisin?” keluhku dengan wajah ditekuk.
“Udah dingin, Nona Belle. Nanti gue beliin yang
baru lagi. Ke kelas dulu, yuk,” jawabnya yang segera
kuangguki. Dino kembali berjalan di belakangku seperti
biasa, mendumel tentang apa pun yang bisa dijadikannya
bahan ocehan. Aku sampai tidak mengerti, apa dia tidak
punya rasa lelah?
Setelah aku duduk di tempatku, Dino mengeluyur
ke luar kelas lagi. Mungkin dia akan ke kantin untuk
membelikanku teh. Semoga saja dia tidak tertangkap guru,
karena berkeliaran saat jam pelajaran.
73 | Silvia Rodiana
“Berani ganggu Belle, gue gibeng lo!”
Suara Dino?
“Halah, bacot! Paling juga kalau gue nggak balik
cepet, Belle sudah dipegang sama lo!”
“Dino?”
Mataku mengerjap, menyesuaikan dengan cahaya.
Kepalaku terasa berat. Sepertinya aku tertidur tadi.
“Pergi atau gue telen lo hidup-hidup!” Bentakan
Dino kembali terdengar. Aku mengangkat kepala, melihat
punggungnya di depan wajahku.
“Kamu marah sama siapa?” tanyaku, dia langsung
berbalik dan menilik wajahku.
“Lo kenapa tidur, sih, Belle? Udah tahu kelas
nggak ada orang, malah tidur sendirian di sini. Itu tadi
cowok nggak ada akhlak, udah deketin meja lo. Untung gue
cepet balik,” oceh cowok itu panjang lebar. Aku jadi
bertambah bingung. Apa yang barusan terjadi? Kenapa
Dino sangat marah?
“Aku ketiduran, ya?”
Dino berdecak, kemudian mengangguk. Dia
mengangsurkan teh ke dekatku, dan langsung kuminum.

74 | Silvia Rodiana
“Apa mau pulang aja? Gue mintain izin ke guru
piket, ya?” tawarnya, aku menggeleng. Hanya tinggal
beberapa jam lagi, sayang kalau pulang sekarang.
“Keras kepala, sih, adiknya Mbak Oce. Beda
banget sama kakaknya, dibilangin Babang sekali aja
langsung nurut,” keluh cowok tinggi itu. “Mau gue beliin
obat?”
“Enggak usah, Dino. Ini aja cukup,” kataku,
kembali menyesap teh hangat itu.
“Hem. Rebahan aja lagi, gue jagain.” Dino menarik
kursi di sebelahku, lalu duduk di sana. Aku menggeser
cangkir bening itu menjauh, lalu kembali membaringkan
kepala di meja dengan alas lipatan tangan. Mungkin tidur
sebentar tidak masalah.

Dino mengajakku ke dokter sebelum pulang ke


apartemen, dan dokter meresepkan sekantong obat
untukku.
“Minum obatnya, Cia, terus tidur. Nanti pas magrib
baru bangun,” ucapnya sambil menyodorkan obat padaku.
“Pahit.”

75 | Silvia Rodiana
“Yang manis mah muka gue, kalau obat udah pasti
pahit emang!” oceh cowok itu. “Mbak! Punya stok permen
nggak? Bawain sini, buat cewek manja ini.”
Tak lama Mbak Nina muncul dengan stoples
permen di tangannya. Dia mengangsurkan stoples kepada
Dino, yang langsung membuka dan mengambil sebungkus
permen.
“Buruan minum obatnya, terus makan permen,
biar nggak pahit.”
Cukup lama aku berpikir, menarik napas panjang
berulang kali, menyiapkan mental, memperbaiki akhlak,
baru meminum obat itu. Ternyata sangat pahit. Walaupun
sudah mengunyah permen, masih saja rasa pahitnya terasa
memenuhi mulut.
“Udah, jangan nangis. Tidur sana.” Dia menoleh
pada Mbak Nina. “Mbak, nanti magrib baru dibangunin,
ya.”
Mbak Nina mengangguk dan menuntunku ke
kamar. Namun, sebelum benar-benar terlelap, aku masih
memikirkan Dino. Kenapa tadi dia mau ke kolam, padahal
awalnya selalu menolak ke sana? Kalau aku begitu istimewa

76 | Silvia Rodiana
baginya, kenapa dia tetap tidak mau berbagi rahasia besar
itu denganku?

77 | Silvia Rodiana
SEMBILAN

Jam istirahat kedua, Dino segera mengajakku ke


kantin. Sampai di sana, dia memesan semangkok bakso
dan seporsi mi ayam. Untuk dirinya sendiri. Bahkan
sebelum makanan itu datang, dia sudah mengambil
sebungkus kerupuk dan memakannya dengan cepat.
“Kamu kerasukan?” tanyaku dengan alis terangkat
sebelah.
“Setan mana yang berani masukin keturunan
Nenek Lampir kayak gue?”
“Nenek Lampir?”
Dino mengangguk cepat. “Lo nggak pernah lihat,
sih, emak gue kalau marah gimana wujudnya.”
“Berarti kamu Gerandong?”
Dia mendelik padaku, kemudian menggeleng.
“Bukan. Gue Raden Kian Santang.”
Raden Kian Santang itu siapa pula?
“Belle, lo jadi ikutan seleksi kampus negeri nanti?”
tanyanya, yang segera kuangguki. Kalau tidak kuliah di

78 | Silvia Rodiana
universitas negeri dengan beasiswa, mungkin
kesempatanku untuk kuliah tidak akan ada.
“Enggak mau coba ambil beasiswa di luar negeri,
gitu? Lo, kan, cerdas. Pasti lulus, lah.”
Kuliah di luar negeri mungkin terdengar keren,
tetapi bukan untuk orang-orang sepertiku.
“Aku takut tinggal di negeri orang sendirian. Tidur
sendirian aja nggak berani,” jawabku pelan.
“Yaudah, sama-sama gue aja. Sekalian tinggal
bareng gue, gitu. Mau tidur bareng gue juga boleh, kok.
Auh!” Dino melengking setelah kuinjak kakinya keras-
keras. Dasar mesum!
“Apaan, sih? Gue ngasih solusi padahal, segala
pakai dianiaya,” keluhnya sambil merengut.
Aku melengos, tidak memedulikannya yang
meringis kesakitan.
“Belle, serius gue. Lo nggak mau kuliah di luar
negeri? Apa nggak sayang tuh otak cemerlang, kinclong,
glowing, shimmering, splendid, kayak gitu?”
Aku menggeleng. “Kuliah di mana pun sama aja,
asal serius, tekun, dan fokus.”

79 | Silvia Rodiana
Dino diam sebentar, telunjuknya mengetuk-ngetuk
ke dagu. Lalu berkata, “Hem … beneran lo nggak mau?
Kalau lo mau, gue yakin, pasti diterima di kampus
bergengsi dunia. Bedalah sama kaum kayak gue, yang
otaknya cuma sesendok teh ini. Boro-boro mau kuliah di
luar negeri, ngitung jarak dari rumah ke pelaminan aja
ambyar.”
O-tak-se-sen-dok-teh.
“Kamu lagi ngajak ngomong serius apa bercanda,
sih?”
Dino nyengir kuda, kemudian berkata, “Gue
seriusnya entar aja, kalau lo sudah siap dilamar. Sekarang
asal santai aja, biar muka tetep awet muda dan kinyis-kinyis
macam balita.”
Untunglah makanan pesanannya cepat datang, jadi
Dino langsung fokus ke makanannya dan berhenti
mengoceh. Dia makan dengan rakus, sementara aku malah
tidak berselera.
Kenapa Dino bertanya seperti itu? Apa dia akan
kuliah di luar negeri?
“Dino … kamu mau kuliah di luar negeri, ya?”
tanyaku pelan.
80 | Silvia Rodiana
Dia menggeleng tegas. “Dibilang otak sesendok teh
kayak gue, mana panteslah kuliah di luar negeri. Gimana
entar mau ngobrol sama dosennya? Jangankan bahasa
Inggris, bahasa Indonesia aja masih kursus. Jangankan
menebak subject and verb, menebak isi hatimu saja aku
gagal.”
“Ciye … pepet terus! Jangan kasih kendor!” sorak
Mpok Munah tiba-tiba. Kapan orang ini berkeliaran di
sini? Kenapa orang-orang di sekolah ini banyak keturunan
jin botol, yang bisa muncul dari mana saja?
“Siap, Mpok! Tambah es teh manis satu, biar
tambah semangat!” sahut Dino sambil mengacungkan
telunjuk ke udara.
Mpok Munah cekikikan sambil berjalan menjauh,
tak lama kemudian segelas es teh pesanan Dino pun
muncul di meja.
Setelah Dino selesai dengan makanannya, aku
mengangsurkan mangkok berisi bakso milikku padanya.
“Masih banyak banget ini. Lo nggak makan?”
tanyanya sembari mengambil alih mangkok bergambar
ayam jago itu.
“Sudah tadi,” jawabku datar.
81 | Silvia Rodiana
“Belle … Belle. Kenapa, sih, tiap makan pasti nggak
habis? Kata Babang nggak boleh, mubazir.”
“Dino. Kenapa, sih, kamu selalu nyebut-nyebut
Kak Erlan? Diajari jadi gentleman sama Kak Erlan, diajari
setia sama Kak Erlan, semuanya diajari Kak Erlan. Padahal
harusnya, ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya.”
Dino masih santai menyuap makanannya,
kemudian melirikku sebentar. “Karena sejak gue punya
ingatan, yang gue tahu cuma Bang Erlan,” katanya, seolah
tanpa ekspresi. Padahal aku yang mendengarnya merasa
nyeri. Dia bukan anak yatim-piatu, lalu kenapa hanya Kak
Erlan yang dia ingat?
“Babang gue itu, keras kayak batu karang, tapi
hatinya kayak jeli. Panutan gue pokoknya.”
Kepalaku menoleh ke arah lain, lalu tersenyum
samar.
Sama.
Kalau bagi Dino, Kak Erlan adalah panutannya,
maka bagiku, Kak Rose adalah teladanku. Aku tidak sama
sepertinya, begitu juga Dino yang tidak serupa dengan Kak
Erlan. Kak Rose terlalu lembut, tetapi hatinya sangat kuat.
Sementara aku sering egois dan berhati rapuh. Kak Rose
82 | Silvia Rodiana
sering mengorbankan dirinya untukku, bahkan dia bisa
menikah dengan Kak Erlan pun, karena ingin
menyelamatkanku dari ancaman Mbak Mela yang akan
menjualku ke rumah bordil. Aku hanya berdoa, semoga ini
adalah pengorbanannya yang terakhir untukku. Semoga di
samping Kak Erlan, Kak Rose menemukan kebahagiaan
sejatinya.

Sabtu malam, seperti biasa Kak Erlan mengajak


kami ke mal untuk membeli kebutuhanku di apartemen
selama seminggu ke depan. Seperti biasa, Dino ikut
meramaikan. Ya, kadang meramaikan, kadang
memalukan. Ada saja tingkah ajaibnya yang mengundang
perhatian orang-orang.
“Oi, ngapain lo?” Kak Erlan menarik kerah kaus
hitam yang dikenakan Dino, saat cowok itu ingin
membuntutiku dan Kak Rose.
“Ngikutin Cia, Bang, apalagi coba? Nanti kalau
jalan sendirian terus diganggu orang, gimana?”
“Ck! Tunggu di ujung lorong sini aja,” tukas Kak
Erlan dengan wajah kesal.

83 | Silvia Rodiana
“Enggak, ah. Mau ikut gue. Cia, oi, Cia! Tungguin
gue!”
Lagi-lagi Kak Erlan menarik kerah kaus Dino,
sampai membuat orang-orang memperhatikan mereka
sambil tersenyum.
Aku dan Kak Rose terus berjalan menyusuri lorong
berisi kebutuhan bulanan wanita itu. Kalau dipikir-pikir,
Kak Erlan sangat peka. Mungkin dia tahu aku akan malu,
kalau mereka mengikuti kami. Jadi, dia menahan Dino
tetap di ujung lorong.
“Beli yang ini, Cia,” saran Kak Rose sambil
menarik bungkus persegi berwarna ungu gelap. Aku
mengangguk saja, membiarkannya mengambilkan
kebutuhanku. Tanpa sengaja, aku melihat seorang
perempuan berpakaian cukup aneh. Dia mengenakan dres
selutut bermotif bunga sakura, tetapi wajahnya ditutupi
kacamata hitam lebar dan masker. Aku pura-pura tidak
tahu, sambil terus meliriknya. Wanita itu terus saja
mengamati kami.
Apa dia Anjani?
Mungkinkah? Namun, ciri fisiknya agak berbeda.
Anjani yang sering kulihat di tivi berkaki jenjang dan
84 | Silvia Rodiana
terlihat cukup tinggi, tetapi perempuan itu terlihat agak
pendek. Lagi pula, sepertinya kulit Anjani lebih putih dan
bersih dari kulitnya.
Jadi … siapa dia?

85 | Silvia Rodiana
SEPULUH

Wanita itu masih memperhatikan kami, tetapi dia


buru-buru bersembunyi ketika melihat Kak Erlan dan
Dino mendekat.
“Bang, Cia sama Mbak Oce tuh jangan dibiarin
jalan berdua aja, nanti ditangkap satpam,” ucap Dino
dengan wajah serius, Kak Erlan hanya menatapnya datar.
“Ngapain juga mesti ditangkap satpam,” gumamku
kesal.
“Memang iya, Cia. Kalau cewek pendek tuh, jangan
jalan-jalan sendirilah. Nanti dikira anak TK nyasar!”
“Aku nggak sependek itu juga!” ketusku, lalu
menginjak kakinya keras-keras. Mentang-mentang tinggi
menjulang, seenaknya saja menghina kaum imut-imut
seperti kami.
Tadinya aku ingin memberi tahu mereka tentang
perempuan aneh tadi, tetapi karena kehebohan Dino, aku
jadi lupa. Sampai malam harinya di apartemen, aku masih
memikirkannya. Siapa dia? Apa hanya orang asing dan
tatapannya tidak berarti apa pun? Namun, hatiku merasa

86 | Silvia Rodiana
ada yang mengganjal. Kenapa dia bersembunyi ketika
melihat Kak Erlan dan Dino? Seperti sedang menghindari
sesuatu.
Kak Rose bilang, Anjani itu jahat. Namun, dia tidak
pernah memberitahuku kejahatan yang telah dia lakukan.
Dia seperti bidadari di tivi. Cantik, anggun, dan baik hati.
Rasanya sangat sulit memercayai orang sepertinya bisa
berbuat jahat.
Apa mungkin Kak Rose hanya cemburu? Apa Kak
Erlan dan Anjani sempat menjalin hubungan?
Aku menghela napas dalam. Kenapa begitu banyak
rahasia yang ditutupi semua orang dariku? Kadang aku
merasa … mereka tidak percaya padaku.

Pagi ini, seperti biasa Dino menjemputku di


apartemen. Namun, tak seperti biasa, wajahnya agak
murung. Aku bertanya kenapa, tetapi dia hanya
menggeleng. Mungkin dia bertengkar dengan orang tuanya,
pikirku. Jadi, aku tidak banyak bertanya lagi.
Sampai di sekolah, ada adik kelas yang menyeru
namaku. Cewek mungil berkacamata bulat itu

87 | Silvia Rodiana
menyodorkan sebatang cokelat berhias pita merah,
berkata, “Ini, Kak. Dari ketua OSIS kita.”
Dia bisa memberikannya sendiri kalau mau,
kenapa harus lewat orang lain?
Tiba-tiba, cokelat itu sudah berpindah ke tangan
Dino. Dia melihat makanan itu sebentar, lalu
melemparnya ke ujung koridor.
“Kasih tahu dia, jangan dekati Belle,” ujarnya
dingin.
Aku bisa melihat raut terkejut di wajah cewek itu,
bahkan bibirnya sampai memucat. Hari ini Dino memang
tampak menyeramkan.
“Paham?” tekannya lagi, yang langsung diangguki
cewek itu.
Dino melirikku, menunjuk jalan dengan dagunya.
Aku segera melangkah, tidak mendebat apa pun. Sudah
banyak siswa-siswi yang melihat kami, mungkin kaget
karena lemparan Dino tadi. Mereka juga pasti sama
herannya denganku, karena biasanya, Dino tidak pernah
seperti ini. Kalau ada yang memberiku makanan, dia pasti
akan mengambil dan memakannya.
Dino … kamu kenapa?
88 | Silvia Rodiana
Aku berusaha berkonsentrasi pada pelajaran
walaupun agak sulit. Sesekali menoleh ke belakang,
melihat Dino yang masih saja berwajah datar. Entah apa
yang sudah terjadi di rumahnya pagi ini, sampai dia
bertingkah aneh. Apa yang bisa kulakukan agar dia kembali
seperti biasa?
Bahkan ketika bel istirahat pertama berbunyi, dia
masih berdiam diri di tempatnya. Aku memberanikan diri
mendekat, lalu mengajaknya ke kantin. Dino melirikku
sebentar, kemudian menggeleng.
“Gue malas,” sahutnya datar.
Tumben. Biasanya dia paling semangat kalau
diajak ke kantin dan bertemu Mpok Munah.
Aku kembali duduk ke tempatku, menunggu kalau
Dino berubah pikiran karena aku merasa lapar. Namun,
sampai teman-temanku sudah kembali dari kantin, dia
belum juga mau bergerak. Lalu, secara tiba-tiba terdengar
lengkingannya dari belakang.
Kulihat dia sudah berdiri, wajahnya pias. Sebelah
tangannya memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga,
terlihat sedikit bergetar.

89 | Silvia Rodiana
“Gue ke sana.”
Cowok itu memasukkan ponsel ke saku celana
sebelah kiri, lalu menarik tas hitam yang tadi tergeletak di
meja.
“Belle. Kita pulang,” katanya, langsung menarik
ranselku.
“Apa? Kenapa? Kita masih harus sekolah,”
bantahku penuh rasa kaget.
Dino berbalik, menatapku tajam. “Pulang.
Sekarang.”
“Tapi … kenapa?”
“Mbak Rose tenggelam.”
“A-apa?”
Kak Rose tenggelam?
Tangisku langsung luruh, hatiku kalut. Bagaimana
bisa dia tenggelam? Kak Rose tahu dia tidak bisa berenang,
dan tidak mungkin mencoba melakukannya. Apa mungkin
dia terpeleset, atau seseorang sengaja melakukannya?
Dengan berjuta pikiran buruk, aku berlari
mengimbangi langkah Dino.
“Kak Rose … jangan mati. Cia nggak punya siapa-
siapa lagi.”
90 | Silvia Rodiana
SEBELAS

Aku terus berlari hingga kepala terasa pening.


Kami menyusuri lorong rumah sakit, menuju ruang gawat
darurat yang agak jauh dari area parkiran motor. Melintasi
banyak orang, tetapi pandangan seolah kabur. Mendengar
banyak suara, tetapi telinga seolah tuli. Hiruk pikuk sekitar
hanya menambah kepanikan di dalam hati.
Sampai di depan ruang IGD, aku melihat Kak
Erlan berlari mendekat dari arah berlawanan.
“Rose, di mana Rose?” tanyanya panik, matanya
memindai ke segala arah.
Pria itu mendekati meja administrasi, kami
mengekorinya. Dari perawat kami tahu bahwa Kak Rose
sedang ditangani dokter, dan kami wajib menunggu di luar
karena kondisi IGD sangat ramai siang ini. Kak Erlan
tampak gelisah, Dino sangat murung dan wajahnya pucat
pasi, sementara aku … entah. Aku sangat takut.
Setiap pintu IGD terbuka, kami langsung
menengok siapa yang keluar dari sana. Beberapa orang
keluar sambil mengusap air mata, ada juga yang keluar

91 | Silvia Rodiana
dengan wajah kosong. Mungkin mereka baru saja
menerima kabar buruk dari anggota keluarga atau kerabat
yang ada di dalam sana. Beberapa tenaga medis berpakaian
serba hijau keluar dengan tergesa-gesa, ada juga yang
tampak murung dan lelah. Bagiku, rumah sakit selalu saja
menjadi tempat yang menakutkan.
Di rumah sakit, aku kehilangan kedua orang tua.
Di rumah sakit juga aku melihat Kak Dimas bangun dari
koma, dan menjadi orang lain. Aku tidak ingin semua itu
terjadi lagi pada Kak Rose. Aku ingin dia baik-baik saja.
Pintu kaca itu terbuka lagi, seorang pria paruh baya
bersetelan hitam formal muncul dari baliknya.
“Pa, gimana keadaan Rose?” Kak Erlan dan Dino
langsung mendekatinya, pria itu tampak bingung
menjawabnya.
“Gimana Rose, Pa? Gimana keadaan istriku?”
desak Kak Erlan.
“Dia kritis,” jawab pria yang baru kutahu adalah
ayah Kak Erlan dan Dino.
Kak Rose kritis? Bagaimana ini? Bagaimana kalau
dia tidak tertolong? Bagaimana denganku?

92 | Silvia Rodiana
Kak Erlan mengusap wajahnya kasar, lalu
menjambak rambut sendiri. Tampangnya sangat kalut,
tidak dingin dan tenang seperti biasa.
“Pasti Anjani, ‘kan?” tanya Dino dengan nada
sangat dingin. Ketika aku menoleh, wajahnya terlihat kaku
dan tegang.
Pria paruh baya tadi melengos, kemudian
mengangguk.
“Di mana dia sekarang?” Kak Erlan berdesis tajam,
tatapan matanya sangat marah.
“Dia sama satu pembantu kita juga di dalam.
Mereka sama-sama tenggelam,” jelas pria itu pelan.
“Kenapa ….” Aku melirih sendiri, menanyakan
nasib yang tidak juga berpihak pada kakakku.
“Kenapa Anjani mau membunuh Kak Rose? Apa
salahnya?”
Tidak ada yang menjawab, atau mungkin tidak ada
yang mampu menjawab.
“Mungkin dia memang harus mati, baru berhenti
berbuat jahat.” Kak Erlan berkata tajam, lalu mendorong
pintu kaca itu.

93 | Silvia Rodiana
“Erlan!” Ayahnya menyusul, Dino dan aku juga
ikut berlari ke dalam.
Tanpa memedulikan apa pun, Kak Erlan
menyingkap gorden hijau yang menjadi pembatas antar
brankar. Beberapa tenaga medis sudah mencoba
menghentikan, tetapi dia seolah tidak peduli. Sampai di
ujung bangsal, dia menemukan Anjani tergeletak dengan
baju basah kuyup. Wanita itu tampak pucat dan tidak
berdaya, riasannya luntur dan mencemari seluruh wajah.
Gaun hitam yang dia kenakan menguncup, menceplak
sebagian bentuk tubuhnya. Aku melihat wanita itu
mengenakan sarung tangan jaring berhias bulu unggas dan
mawar hitam, di nakas dekat brankar juga ada topi dengan
hiasan jala seperti bangsawan Eropa.
“Perempuan setan!” teriak Kak Erlan, lalu
mendorong seorang tenaga medis yang sedang menolong
Anjani. Dia mencekik wanita itu, sampai membuat semua
orang yang melihat menjerit.
“Erlan, jangan!” Ayahnya berusaha menarik pria
yang sedang kesetanan itu, tetapi dia tidak peduli. Mata
Anjani terbuka, lalu melotot ke atas. Dia terbatuk-batuk,

94 | Silvia Rodiana
wajahnya sangat menderita. Namun, hal itu tidak membuat
Kak Erlan iba.
“Apa nggak cukup kamu membunuh Risa?
Sekarang kamu juga mau membunuh Rose. Apa kamu
akan membunuh semua perempuan yang aku cintai?”
pekik Kak Erlan penuh emosi. Banyak orang mendekat,
berusaha menariknya, tetapi pria itu tidak mau melepaskan
cekikannya.
“Bang, jangan, Bang. Gue nggak mau lo masuk
penjara karena perempuan setan ini!” teriak Dino sambil
menarik tangan kakaknya.
“Biarin gue masuk penjara, asal dia mati!”
Aku sempat melihat beberapa pengunjung
mengarahkan kamera ponsel mereka pada Kak Erlan dan
Anjani. Mereka pasti sadar kalau Anjani adalah selebriti,
dan ingin menjadikan ini sebuah berita.
Aku segera bergerak, mendorong orang-orang itu
agar menghentikan aksi mereka merekam kejadian ini.
Anjani seperti malaikat di mata semua orang di negeri ini,
jadi mereka pasti akan menyalahkan Kak Erlan.
“Berhenti, jangan rekam apa pun!” ujarku serak.

95 | Silvia Rodiana
“Itu Anjani, ‘kan? Artis favoritku. Kenapa cowok
itu mau membunuh dia?” tanya seorang wanita
berkacamata.
“Dia setan! Anjani itu setan!” pekikku kalaf. “Dia
mau membunuh kakakku, makanya suaminya marah!”
Terlihat raut tidak percaya dan bisik-bisik di antara
mereka.
“Kalian mendingan urusin keluarga kalian yang lagi
sekarat di ruangan ini, jangan ngurusin orang lain! Anjani
juga nggak akan ngasih kalian makan, nggak akan nanggung
hidup kalian, sekalipun dia sembuh lagi!”
Aku terus mendorong mereka menjauh, tidak
peduli jika sekarang malah wajahku yang menjadi sorotan
kamera mereka. Biarlah, asal bukan Kak Erlan yang
mereka sorot.
Saat aku berhasil menjauhkan orang-orang itu,
pekikan nyaring Kak Erlan terdengar memenuhi ruangan
ini. Aku menoleh, melihat dirinya sedang dipegangi
beberapa orang dewasa, termasuk ayahnya. Mereka
tampak kesulitan menyeret pria tinggi itu ke luar IGD,
tetapi akhirnya berhasil juga. Kak Erlan dibawa ke ruang
keamanan bersama ayahnya, sementara aku dan Dino
96 | Silvia Rodiana
menunggu Kak Rose di luar ruang IGD. Sekitar 1 jam,
seorang perawat memanggil keluarga Rosella Belle. Kami
langsung mendekat dan diajaknya melihat keadaan Kak
Rose.
Dia koma.
Tuhan … apakah Kak Rose akan sadar dari koma,
dan berubah seperti Kak Dimas? Atau dia tidak akan
bangun lagi seperti Ibu?

97 | Silvia Rodiana
DUA BELAS

Seluruh tubuhku terasa lemas, seiring dengan hati


yang kian cemas. Aku terduduk di pojok ruang tunggu,
menyandarkan diri di dinding.
“Lo lapar? Haus? Butuh sesuatu?” tanya Dino yang
sekarang sudah berjongkok di depanku.
Aku tidak lapar ataupun haus, tetapi memang ada
yang sangat kubutuhkan saat ini. Aku butuh seseorang
mengatakan bahwa Kak Rose baik-baik saja dan akan
segera memelukku lagi.
“Kapan Kak Rose bangun?” tanyaku lirih, lalu
menenggelamkan kepala di lipatan siku.
Kalau aku harus kehilangan Kak Rose sekarang,
entah apa yang akan terjadi pada hatiku. Semuanya terlalu
tiba-tiba. Ayah, Ibu, Kak Dimas, dan sekarang Kak Rose.
Tidak, tidak. Kumohon jangan, Tuhan. Hanya Kak Rose
yang aku punya sekarang.
Beberapa saat kemudian, Kak Erlan dan ayahnya
kembali. Kak Erlan bertanya pada adiknya keadaan Kak
Rose. Dino hanya menggeleng, karena memang belum ada

98 | Silvia Rodiana
kabar sejak mereka pergi tadi. Aku juga bertanya-tanya,
kenapa sangat lama?
Akhirnya seorang perawat memanggil keluarga Kak
Rose, dan hanya Kak Erlan yang boleh masuk. Aku juga
ingin ke sana, melihat kondisi Kak Rose secepatnya. Ingin
tahu bagaimana keadaannya, bertanya apa yang dia rasa.
Namun, mereka melarangku. Aku masih harus bertahan
dengan semua prasangka di luar sini.
“Cia, ayo, makan. Lo belum makan dari tadi,” ajak
Dino, tetapi aku menolak. Aku tidak lapar sama sekali.
“Enggak apa, Cia. Gue yakin, Mbak Rose pasti
kuat. Dia pasti bertahan demi Bang Erlan. Enggak kayak
Mbak Risa ….” Ucapan Dino berakhir lirih. Ketika aku
menoleh, pandangan cowok itu jatuh ke lantai.
“Mbak Risa ….” Itu nama yang disebut Kak Erlan
tadi, saat dia mencekik Anjani. “Siapa itu Mbak Risa?”
Dino diam sejenak, kemudian berkata, “Nanti
kalau Mbak Rose sadar, lo tanya sama dia, siapa itu Mbak
Risa.”
Selalu. Dia selalu saja tidak mau bercerita apa pun
padaku.

99 | Silvia Rodiana
“Kenapa, sih, kamu nggak mau cerita apa-apa sama
aku? Aku juga mau tahu, siapa yang berurusan sama hidup
Kak Rose sekarang.”
Cowok itu melihatku, lalu menarik napas panjang.
“Aku takut Kak Rose tiba-tiba ninggalin aku, kayak
Ibu dan Ayah dulu, Dino. Aku nggak mau kehilangan Kak
Rose juga.”
Wajah Dino tampak pias, matanya berkaca. Aku
sendiri sejak tadi tidak pernah berhenti mengeluarkan air
mata, meski rasanya wajahku sudah sembap olehnya.
Tangan cowok itu terangkat, seperti ini mengarah ke
wajahku, tetapi berhenti di tengah jalan. Tangan itu tetap
menggantung di udara, sementara matanya menatap lurus
padaku. Mungkin dia ingin menyentuh wajah atau
kepalaku, sekadar menenangkan. Dan aku pun
menginginkan hal yang sama. Namun, aku dan dia tahu
batasan kami masing-masing.

Seperti mimpi, tidak pernah terbayangkan sebelum


ini akan melihat Kak Rose terbaring tak berdaya. Dengan
bantuan selang pernapasan dan infus, Kak Rose terlihat

100 | Silvia Rodiana


sangat rapuh. Saat melihatnya seperti itu, seolah dia bisa
saja pergi meninggalkan kami kapan pun.
Sebotol air mineral terulur di depan wajah. Aku
melirik sebentar, lalu mengambilnya dari tangan Dino.
“Kita makan dulu, yuk. Lo belum makan dari tadi,”
ucapnya pelan, dengan tatapan mata yang sulit diartikan.
Aku menggeleng, benar-benar tidak berselera. Kalau bisa,
aku ingin menggantikan Kak Rose. Aku tidak ingin
ditinggalkan. Jangan lagi, Tuhan.
“Cia, jangan begini. Kita harus kuat, supaya bisa
jagain Mbak Rose di sini. Kalau lo sakit, bakal tambah
repot buat bagi perhatian ke Mbak Rose dan lo sekaligus.”
Ucapan Dino benar, tetapi sekarang aku benar-benar tidak
bisa memaksakan diri untuk makan. Apa yang ada di
pikiranku hanyalah keadaan Kak Rose, dan bagaimana
nasibku kelak jika terjadi sesuatu pada dirinya. Sekarang
hanya Kak Rose keluargaku, setelah Kak Erlan mengirim
Kak Dimas entah ke mana. Lagipula, meski Kak Dimas di
sini, dia sudah bukan dirinya yang dahulu. Dia sudah tidak
menyayangiku lagi.
“Tunggu di sini, gue beliin roti, ya,” ucap Dino,
kemudian bangkit dari duduknya. Kulihat cowok itu
101 | Silvia Rodiana
mendekati Kak Erlan, bertanya apa yang ingin dia makan.
Jawaban kakaknya hanya gelengan kepala.
Dino tidak mendebat, langsung pergi dari ruang
rawat Kak Rose. Hanya berselang beberapa detik, pintu itu
kembali terbuka. Ayah Kak Erlan masuk dan
mendekatinya.
Pria paruh baya itu menatap Kak Rose dengan
pandangan yang tidak ku mengerti, lalu dia beralih
menatap Kak Erlan. Bertanya, “Apa bisa, kamu hanya
menyalahkan Anjani, tanpa melibatkan ibumu?”
Aku yang tidak mengerti pertanyaan itu hanya bisa
terdiam, menanti jawaban yang akan keluar dari mulut Kak
Erlan.
“Aku nggak tahu, Pi,” jawab Kak Erlan serak. “Aku
pernah hancur waktu tahu Risa meninggal, padahal setiap
hari yang kulewati di luar negeri sana hanya dengan
harapan bisa kembali secepatnya ke sini dan
membahagiakan Risa. Tapi takdir mematahkan hatiku
sebegitu kerasnya. Risa pergi, bahkan tanpa satu pun kata
perpisahan.”
Kak Erlan tampak menegakkan tubuh, menghela
napas dalam. “Aku selalu berharap itu yang terakhir. Aku
102 | Silvia Rodiana
berharap itu terakhir kali Anjani membunuh orang, dan
Mami melindunginya. Ternyata aku salah, Pi. Memang
selama Mami melindungi Anjani, dia akan terus dan terus
berbuat jahat kepada semua orang. Bahkan karena dia, aku
harus kehilangan bayi kami.” Tangan Kak Erlan mengusap
pelan perut Kak Rose yang tertutupi selimut.
Sebuah pertanyaan menggelayut di benakku.
Apakah Kak Rose keguguran karena kejadian tadi?
“Aku bingung, Pi, gimana caranya menjelaskan
pada Rose kalau dia bangun nanti. Aku harus bilang apa?
Apa aku harus mengaku kalau aku gagal melindungi bayi
kami? Aku nggak bisa bayangkan, seberapa kecewanya dia
nanti. Papi nggak tahu, sebesar apa dia menginginkan bayi
ini. Rose sering melihat foto-foto bayi di HP-nya sambil
senyum. Begitu juga sama aku, Pi. Aku sangat menantikan
kehadiran bayi ini. Tapi karena perempuan jahanam itu,
kami harus kehilangan anak yang selalu kami nanti-
nantikan. Bahkan aku nyaris kehilangan Rose.”
Papi Kak Erlan mengangguk, pandangannya
beralih ke sudut lain. Tidak ada yang bicara untuk
beberapa saat, hanya suara elektrodiagraph yang
menemani sunyi hati. Sampai suara pintu terbuka
103 | Silvia Rodiana
memecah semuanya. Dino kembali dengan sebungkus
besar makanan di tangan. Dia sempat melihat ayahnya, lalu
membuang muka.
“Kalau kamu ingin menyalahkan Mami atas
kematian Risa dan keadaan Rose sekarang, biar papi yang
menanggungnya,” kata pria paruh baya itu kemudian.
“Papi yang menyembunyikan rekaman CCTV
rumah kita, saat kejadian pembunuhan Risa, bukan Mami.
Papi yang menyewa orang untuk mengarang cerita agar
polisi menutup kasus itu dengan alasan kecelakaan. Papi
yang melakukan banyak hal untuk membungkam media,
agar tidak ada yang memberitakan kejadian itu. Papi yang
menekan Dino, bahkan menyekapnya di gudang, sampai
dia mau berjanji untuk menutupi kejadian itu dari kamu
dan semua orang. Di sini, jelas papi yang melakukan dosa
itu. Bukan Mami.”
Disekap di gudang?
Sontak aku menoleh pada Dino yang sedang
tertunduk menatap lantai. Apa yang sebenarnya sudah
terjadi? Aku butuh penjelasan lebih banyak.

104 | Silvia Rodiana


“Tapi itu semua pasti permintaan Mami, kan, Pi?”
sinis Kak Erlan, tanpa mengalihkan pandangan dari wajah
Kak Rose.
“Papi nggak punya urusan apa pun untuk
melindungi Anjani, kan, Pi?”
Papi Kak Erlan terdiam, kemudian dia menatap
Dino lama. Katanya, “Apa pun itu, papi adalah nahkoda
bahtera ini. Kalau Mami salah, maka papilah yang
sebenarnya salah dalam mendidiknya. Papi terlalu iba pada
kehidupan Mami dan Anjani. Sebagai laki-laki, papi nggak
bisa tegas dan hanya menuruti mau ibu kalian.
Bagaimanapun, tetap papi yang salah.”
Aku merasakan pria ini sangat baik. Dia sangat
menyayangi istrinya. Apakah Kak Erlan dan Dino juga
akan seperti itu?
“Erlan, anggaplah ini permintaan terakhir papi
sebagai orang tua kamu. Tolong maafkan ibumu.
Hukumlah papi, demi Allah, papi rela. Asal kamu nggak
durhaka sama ibumu.”
Kak Erlan tidak menjawab, bahkan tidak bereaksi.
Sampai bermenit selanjutnya dia hanya diam memandangi
wajah istrinya yang sedang terlelap. Akhirnya pria paruh
105 | Silvia Rodiana
baya itu beranjak dari ruangan itu, kembali menyisakan
kami dalam hening.
Lagi-lagi hanya suara elektrodiagraph yang mengisi
kosong ruangan ini. Kak Rose tertidur, tetapi seolah dia
membawa serta kesadaran Kak Erlan bersamanya. Lama
Kak Erlan hanya menatapnya dalam diam, kemudian
menoleh pada Dino.
“Apa perempuan busuk itu sudah dibawa polisi?”
tanyanya, yang dijawab Dino dengan gelengan.
“Kata pengacara lo, dia masih belum sadar. Dia
juga sekarat.”
“Apa dia bisa disuntik mati sekalian?”
Dino mengangkat bahu tak acuh. “Kalau bisa mah,
gue aja yang nyuntik.”
Dino mengangkat plastik putih yang tadi ia letakkan
di lantai, lalu mengeluarkan sebungkus roti dari sana.
“Makan, dikit aja nggak apa. Mau banyak juga
boleh, kok. Tenang aja, duit Babang banyak.”
Dino masih saja sempat bercanda. Namun,
sepertinya suasana di sini telanjur beku. Sebeku rahasia-
rahasia dari masa lalu mereka, yang kini mulai retak dan

106 | Silvia Rodiana


hendak meledak. Siap melukai siapa pun yang terkena
pecahannya.

107 | Silvia Rodiana


TIGA BELAS

Hidup kami tidak berjalan baik-baik saja


belakangan ini. Sejak koma, Kak Rose beberapa kali
membuka mata, kemudian kembali terpejam. Secara fisik
dia sudah cukup sehat, tetapi entah mengapa dia belum
juga mau bangun.
Sebulan sudah situasi ini kami lalui. Di tengah
kesibukanku dan Dino menghadapi ujian akhir, pikiran
kami juga tertuju pada Kak Rose. Namun, aku selalu
berusaha belajar dengan baik. Aku yakin, Kak Rose akan
bangun dan dia pasti ingin mendengar kabar tentang
nilaiku. Aku tidak ingin dia kecewa, karena aku tidak bisa
mendapatkan nilai terbaik.
“Cia, belajar yang tekun, ya. Nanti kalau kita sudah
nikah dan punya anak, mereka pasti bakal pinter kayak
emaknya.”
“Enggak usah ngaco. Yang mau nikah sama kamu
siapa, ha?” Aku mendelik pada Dino yang sedang
memperhatikanku sambil menopang dagu dengan kedua

108 | Silvia Rodiana


tangan. Aku sedang duduk di bawah sofa rumah sakit, dia
di seberangku, terpisah oleh sebuah meja kaca kecil.
“Pokoknya gue yakin, pasti bakal nikah sama lo. Ya
ampun … nggak sabar bayangin punya anak-anak selucu
dan sejutek lo. Pengin gue remes-remes rasanya itu bocah!”
“Itu anak apa mi, sih? Enak banget mau diremes!”
Dino cekikikan, lalu membalikkan badan. Di ujung
ruangan ada meja kerja kecil yang tampak penuh oleh
sebuah laptop dan tumpukan kertas. Di balik meja itu ada
Kak Erlan yang berpakaian rapi dan formal, selayaknya dia
sedang bekerja di kantor. Semua meeting dilakukan secara
online, kecuali jika sangat mendesak, maka dia akan
melakukan meeting di hotel yang terletak sangat dekat
dengan rumah sakit tempat Kak Rose dirawat. Itu pun
hanya sebentar. Ketika kembali, dia selalu tampak
kelelahan dan berkeringat. Aku yakin, dia berlari dari hotel
ke sini, agar bisa cepat menemui kakakku.
Ada banyak yang tidak ku mengerti di sini. Selain
pecahan masa lalu mereka yang belum kutemukan, juga
tentang perasaan Kak Erlan sendiri. Aku tidak mengerti,
bagaimana dia bisa sangat mencintai Kak Rose. Kami
hanyalah wanita biasa, tidak punya keistimewaan apa pun.
109 | Silvia Rodiana
Wanita dari kalangan bawah yang bahkan tidak pernah
bermimpi bisa berkenalan dengan orang-orang kelas atas
seperti mereka. Aku yakin, bagi seorang Erlan Adijaya,
mendapatkan selusin wanita kelas atas pun bukanlah
masalah. Dia sangat tampan, mapan, dan menawan. Selain
Anjani, aku yakin ada ratusan wanita yang rela berderet
untuk bisa setidaknya berkencan dengannya sekali saja.
Apakah Kak Erlan mencintai Kak Rose, karena dia
mirip Risa?
Aku bahkan belum benar-benar tahu, siapa itu
Risa. Apa yang bisa ku mengerti dari ucapan Kak Erlan
pada ayahnya tempo hari, Risa adalah wanita yang dahulu
sangat dia cintai, yang dibunuh oleh Anjani. Masalah
bagaimana dan kapan, aku tidak tahu. Kupikir ini bukan
saat yang tepat untuk bertanya.
Pikiranku terasa padat oleh berbagai macam materi
pelajaran, jadi aku memutuskan untuk beristirahat
sebentar. Bangkit dari posisi terkapar di ambal, duduk di
sofa empuk rumah sakit. Entah berapa biaya yang
dikeluarkan Kak Erlan untuk menyewa ruangan ini, tetapi
tempat ini cukup nyaman untuk disebut ruang perawatan.

110 | Silvia Rodiana


Ada TV dan kulkas, satu set sofa dan ranjang tambahan
untuk kami beristirahat.
Apakah Kak Rose merasa nyaman di sini, sampai
dia terus tidur dan tidak mau bangun?

Tepat di hari ke-30, akhirnya Kak Rose membuka


mata. Dia seperti orang linglung, tidak tahu apa yang
terjadi. Sepertinya itu wajar, karena dia sudah tertidur
terlalu lama. Aku, Dino, dan Kak Erlan, terus saja
memanggil namanya. Namun, Kak Rose seperti tidak
mendengar kami.
Akhirnya dia bisa mengenali Kak Erlan, dengan
suara lemah, dia memanggil nama suaminya. Kak Erlan
yang terus menantikan kesadaran Kak Rose sepertinya
sangat bahagia, sampai matanya berkaca-kaca. Dino cepat
menekan tombol untuk memanggil dokter. Kami
menyingkir ke ujung ruangan sebentar, kemudian kembali
mengelilingi Kak Rose setelah diizinkan dokter. Kata
dokter wanita berkacamata itu, kondisi Kak Rose sudah
stabil.
Kak Erlan berkali-kali mencium kening Kak Rose,
juga punggung tangannya. Akhirnya buliran bening

111 | Silvia Rodiana


merembes juga dari sudut matanya, mungkin ungkapan
syukur karena istri yang sangat dia cintai akhirnya bisa
kembali ke sisinya.
Aku juga bersyukur, sangat berterima kasih pada
Allah, karena akhinya Kak Rose bisa bangun. Cukup lama
menunggunya untuk menyadari semua, bahwa selain Kak
Erlan ada kami di sini. Namun, akhirnya dia bisa menoleh
pada kami.
Hatiku kembali teriris, saat Kak Rose sadar ada
sesuatu yang berbeda dari dirinya. Dia mungkin tidak tahu
pernah hamil, tetapi merasakan ada yang hilang dari dalam
dirinya. Dengan lembut dan penuh kasih sayang, Kak
Erlan menjelaskan bahwa Kak Rose keguguran karena
kejadian itu. Wajah kakakku tampak pias, matanya
kembali berembun. Sungguh pemandangan yang membuat
hatiku teriris sakit.
Mungkin Kak Erlan butuh waktu berdua dengan
Kak Rose, jadi dia menyuruh kami ke luar. Aku dan Dino
berjalan beriringan seperti biasa ke kantin, lalu terduduk di
salah satu mejanya.
“Cia, lo ngerasa, nggak?” tanya Dino tiba-tiba. Saat
aku menoleh, dia sedang menatapku.
112 | Silvia Rodiana
“Apa?”
“Mbak Oce kayaknya berubah.”
Berubah? “Apanya?”
“Jadi … Wonder Woman!”
“Dino … aku lagi nggak mau bercanda.”
Kami terdiam sesaat, kemudian Dino bangkit dan
mengambil dua kaleng minuman dingin beserta sedotan.
Dia memberikan satu padaku dan meminum yang lainnya.
“Dino … kenapa Anjani mau bunuh Kak Rose?”
bisikku, hampir pada diri sendiri.
Cowok itu menghela napas panjang, lalu
menggeleng. “Enggak paham. Gue lagi mencoba
memahami cara untuk mendapatkan hati lo. Itu aja.”
“Dino ….”
Dia terkekeh kecil. “Enggak usah dipikirin lagi.
Kemaren Bang Erlan sudah nyuruh orang mastiin supaya
Anjani dipenjara seumur hidup.”
“Apa bisa?” tanyaku heran.
“Hem. Bang Erlan bisa melakukan sesuatu yang
kadang menurut orang lain mustahil.”
“Apa karena Kak Erlan punya banyak uang?”

113 | Silvia Rodiana


Dino tampak menimbang sebentar, kemudian
mengangguk. “Banyak duit dan muka seram.”
Dino memang benar-benar adik durhaka.
Seenaknya saja dia mengatakan wajah kakaknya seram. Ya,
walaupun kadang aku mengakui itu. Di balik wajah tampan
itu, ada aura seram yang tidak bisa ditutupi.
Seminggu kemudian, Kak Rose diizinkan oleh
dokter untuk pulang. Sekarang aku lebih sering berkunjung
ke rumahnya atas perintah Kak Erlan. Ketika dia di kantor,
maka aku dan Dinolah yang menemani Kak Rose. Namun,
semakin hari Kak Rose semakin aneh. Matanya bertambah
kosong, seperti tidak ada binar kehidupan di sana.
“Kak? Kakak tidur?” Aku bertanya pelan, ketika
melihat matanya terpejam. Aneh, padahal Kak Rose baru
bangun beberapa menit lalu.
“Dino, kenapa Kak Rose sekarang lebih banyak
tidur?” Kutujukan pertanyaan itu pada Dino yang tampak
murung di sebelahku.
“Mungkin dia bosan lihat muka Bang Erlan yang
kayak batu prasasti, makanya milih untuk melarikan diri
dengan tidur,” jawab Dino sekenanya.

114 | Silvia Rodiana


“Dino, mukul kepala kamu dengan niat supaya
otaknya bener nggak dosa, kan, ya?”
Cowok itu menoleh sambil melotot. “Apa pun
niatnya, kalau yang lo lakuin adalah menyakiti cowok
kinyis-kinyis baik hati kayak gue, hukumnya haram!”
“Tapi semua, kan, tergantung niat, Dino!”
“Serah lo deh, yang penting minumnya Teh Botol
Sosro!”
Bicara melantur dengan Dino memang tidak akan
pernah ada habisnya. Hanya jika aku bertanya tentang
masa lalu mereka saja dia akan diam.
“Kak Rose … bangun dulu, yuk. Cia bantu Kakak
mandi,” bisikku sambil mengusap punggung tangannya,
Kak Rose sama sekali tidak merespons.
Aku bingung dan takut. Kenapa semua orang yang
terbangun dari koma harus berubah seperti ini? Kapan
Kak Rose akan kembali normal lagi?
Suara pintu terbuka pelan membuatku menoleh,
ada Kak Erlan yang masuk dengan wajah lelah. Aku melirik
jam di atas nakas, hampir jam 6 sore rupanya.

115 | Silvia Rodiana


“Apa Rose tidur lagi?” tanya pria yang hari ini
mengenakan setelan abu-abu gelap itu, kemudian naik ke
tempat tidur mereka dan mengusap kepala Kak Rose.
“Iya. Tadi sempat bangun sebentar, terus tidur
lagi,” jawabku seadanya.
Kak Erlan tampak sedih, matanya sampai berkaca-
kaca. Beberapa kali dia mengusap kepala Kak Rose,
kemudian mencium keningnya singkat.
“Ululululu … romantisnya Babang Elan. Dah kayak
dongeng Sleeping Beauty. Cuma karena lo bukan pangeran
tampan, akhirnya Mbak Oce nggak bangun, deh,” oceh
Dino sambil melirik kakaknya sinis, kemudian balik
melirikku.
“Coba deh, lo yang tidur, Cia. Nanti gue cium. Pasti
bangun,” katanya sambil tersenyum nakal.
“Iya, bangun buat ngirim lo ke neraka!” celetuk
Kak Erlan dingin. “Udah, minggat sana! Pusing gue lihat lo
di sini.”
“Bukannya makasih gue udah jagain bininya, malah
diusir. Dasar abang laknat emang,” gumam Dino sambil
berdiri dari duduknya.

116 | Silvia Rodiana


“Bagi duit?” sambungnya dengan suara lebih keras,
sambil menadahkan tangan ke Kak Erlan.
“Itung-itung buat gaji gue selama nungguin Mbak
Rose.”
“Dasar mata duitan!”
“Lah, Bang, memang udah seharusnya begitu.
Kalau nggak nungguin Mbak Oce di sini, pasti gue udah
melakukan banyak hal berfaedah—”
“Contoh!” potong Kak Erlan dingin.
“Contohnya makan Indomie di restoran. Kan,
kalau makan di restoran gue bayar pajak 10%. Berfaedah
untuk bangsa dan negara ini.”
Astaga … kenapa Tuhan bisa menciptakan manusia
seperti ini?
Kak Erlan mengeluarkan beberapa lembar uang,
lalu mengusir Dino.
“Ayo, Cia, gue antar pulang. Kasihan pengantin
baru mau berduaan.” Dino segera berdiri setelah
mengambil uang dari tangan kakaknya. Aku menunduk
pada Kak Erlan, kemudian mengikuti langkah Dino.
Melintasi lorong demi lorong di rumah mewah yang terasa
sangat sepi, bahkan hampir mati.
117 | Silvia Rodiana
“Dino, kenapa Kak Rose tidur terus?” tanyaku
cemas, karena Kak Rose lebih sering tertidur sekarang.
Kadang aku dan Dino sengaja membuat keributan, tetapi
dia tetap terlelap. Seolah tak ada suara apa pun di dekatnya.
Pernah kusenggol tangan dan kakinya, tetap tidak
terbangun. Tidurnya sangat pulas, tidak seperti biasa. Kak
Rose bukan orang yang bisa tidur lelap jika ada suara
berisik di dekatnya. Dia cenderung mudah terbangun jika
merasa sedikit saja terganggu. Namun, yang terjadi
belakangan ini sungguh tidak wajar.
“Mungkin Mbak Rose sedang latihan jadi Sleeping
Beauty.”
“Dino, jangan bercanda. Enggak lucu!”
Aku takut Kak Rose benar-benar terkena sindrom
Sleeping Beauty.
Dino tidak bicara lagi, tetapi saat Kak Erlan pulang,
dia mengatakan pada kakaknya tentang kekhawatiranku.
Kak Erlan tampak mengamati istrinya. Dia pun mencoba
membangunkan Kak Rose dengan memanggil, bahkan
menepuk-nepuk pipinya. Namun, Kak Rose bergeming.

118 | Silvia Rodiana


Akhirnya kami kembali ke rumah sakit, dan Kak
Rose kembali koma. Ternyata tidurnya tadi memang
berbeda, bukan tidur seperti biasa. Dokter tidak bisa
berbuat banyak karena tidak ada gangguan sakit apa pun.
Dia tampak seperti tidur, tetapi tidak bisa dibangunkan.
“Dino, antar Cia pulang. Lo juga langsung pulang,
jangan kelayapan. Besok kalian harus sekolah,” ujar Kak
Erlan datar. Tangannya terus saja menggenggam tangan
Kak Rose, seolah sangat takut melepaskan.
Dino melihatku, kemudian mengangguk.
Sebenarnya aku ingin tidur di sana menemani Kak Rose,
tetapi Kak Erlan pasti tidak akan mengizinkan. Kami hanya
diizinkan ke sana ketika pulang sekolah sampai jam 8, lalu
dia akan mengusir kami. Beberapa hari lagi seleksi
penerimaan mahasiswa baru akan dibuka, kami harus
fokus menyiapkan semua persyaratannya.
Senin berganti Selasa, menjadi Rabu, kemudian
Kamis, dan seterusnya. Seminggu lebih Kak Rose tertidur
tanpa sedikit pun tanda akan terbangun. Dia tampak sangat
nyaman dalam tidurnya.
Sekarang keributan Dino tidak begitu terdengar.
Kami mendadak lesu, karena khawatir pada Kak Rose.
119 | Silvia Rodiana
Hingga setelah 10 hari dirawat, Kak Rose akhirnya bangun.
Namun, lagi-lagi dengan wajah yang tampak linglung.
Kak Rose hanya menyadari kehadiran Kak Erlan.
Kupikir akan seperti kemarin, saat dirinya sadar dari koma,
dia butuh waktu untuk mengenali kami. Ternyata tidak.
Dia malah mengeluarkan sebuah kalimat yang sama sekali
tidak ingin kami dengar.
“Kak … a-aku, mau minta sesuatu sama Kakak,”
ucapnya terbata-bata.
“Iya? Kamu mau minta apa?” Kak Erlan menyahut
cepat.
“Kak … kalau a-ku mati, tolong nikahi Cia.”
Seketika, hatiku seakan tersambar petir. Pelan-
pelan aku menoleh kepada Dino, yang saat ini lurus
menatap Kak Rose dengan wajah pias dan pandangan
horor.
Lalu dia pergi tanpa sepatah kata.

120 | Silvia Rodiana


EMPAT BELAS

“Dino ….” Beberapa kali aku memanggil sambil


mengejar langkah panjangnya. Namun, cowok itu tetap
berjalan tanpa memedulikanku sedikit pun. Jalannya tidak
cepat, lebih seperti zombi yang tidak terarah.
“Dino, Dino, Dino!”
“Hem?” Akhirnya cowok tinggi itu menghentikan
langkah, lalu menoleh padaku. Dia memandangku
sebentar, kemudian berjalan lagi. Kami berhenti di taman
rumah sakit, terduduk di salah satu kursi besi panjang
bercat putih.
“Cia … waktu itu Papi pernah nyuruh gue kuliah ke
luar negeri.”
Sontak aku menoleh, melihat Dino yang bicara
sambil menunduk menatap rumput yang ia injak.
“Ka-kamu … mau pergi?”
Dino mendengkus. “Tadinya enggak. Gue mau di
sini aja sama lo. Tapi ….”
“Enggak ada tapi-tapian!” sentakku, tanpa terasa
mengeluarkan air mata. Aku tidak ingin dia pergi, bahkan

121 | Silvia Rodiana


membayangkannya saja tidak mau. Aku ingin dia tetap di
sini. Bersamaku.
Kami terdiam sejenak, lalu membuka jaket biru
gelap yang dia kenakan dan mengulurkannya padaku.
“Nih, hapus air matanya. Gue nggak punya tisu.”
Aku mengambil jaket itu, tetapi hanya
menggenggamnya. Membiarkan saja air mata ini mengalir,
tanpa berniat menyekanya sedikit pun.
“Cia … jangan nangis.”
“Aku mau nangis, memangnya kenapa?”
“Jangan nangis, Cia, gue sedih lihat lo nangis
begini.”
“Makanya kalau nggak mau aku nangis, jangan
pergi!” bentakku sambil memukulnya dengan jaket. Dino
tidak menghindar, hanya menerima seranganku begitu saja.
“Jahat! Katanya sampai kapan pun, kamu bakalan
tetap di belakang aku. Kenapa sekarang mau pergi?”
Aku terus memukulinya, tidak peduli jika dia
merasa sakit atau apa. Aku hanya ingin merasa lega.
Lagipula, dia juga tidak protes, artinya tidak masalah.
Setelah puas menangis dan memukulinya, aku
mengusap mata dengan tangan, lalu membersihkan hidung
122 | Silvia Rodiana
dengan jaket Dino. Aroma parfumnya menyapa indra
penciuman, membuatku takut pada sebuah kata yang
mungkin saja akan kurasa nanti.
Rindu.
“Cia, lo nggak mau gue pergi?” Aku menggeleng
menjawabnya. “Artinya, cinta gue diterima, gitu?”
Gelengan lagi.
“Ya Allah … pergi kagak boleh, di sini juga kagak
ada kepastian. Maunya apa ini bocah, ya?” keluhnya, lalu
menghela napas panjang.
“Maunya kamu tetep di sini!”
“Tetep ngejer lo, gitu?”
Aku mengangguk.
“Egois!” ucapnya, menarik pelan ujung kerudung
putihku.
“Untung cakep,” lanjutnya.
Aku tidak peduli, apakah dia di sini karena aku
cantik, atau apa pun itu. Yang jelas aku ingin dia di sini.

Saat aku sedang menyeka wajah Kak Rose dengan


handuk hangat, seseorang terdengar membuka pintu.
Gemeletuk ujung sepatu beradu lantai terdengar,

123 | Silvia Rodiana


membuatku menoleh waspada. Apakah itu Anjani, atau
mertua Kak Rose? Dua-duanya sama-sama berbahaya.
Ternyata dia ibu Kak Erlan dan Dino. Aku hanya
pernah melihatnya dari jauh, baru kali ini bertatap muka
sedekat ini. Wanita itu sangat cantik, wajahnya mirip
dengan Dino versi wanita. Namun, wajah cantik itu
diselimuti kesedihan yang teramat dalam.
Dia menatapku lama tanpa mengucapkan sesuatu,
aku pun bingung harus berkata apa. Aku hanya berdiri dan
memastikan dia tidak menyakiti Kak Rose. Lalu
pandangannya beralih pada kakakku yang sedang terbaring
koma. Wanita itu menangis, air matanya terlihat sangat
memilukan.
Apakah dia menyesal melihat kondisi kakakku?
Beberapa saat kemudian, dia kembali menatapku.
Bertanya, “Kamu siapa?”
“Cia,” balasku singkat. Kami memang belum
pernah berkenalan sebelum ini, bahkan mungkin ini
pertama kalinya dia melihatku. Meski aku sering keluar-
masuk rumahnya, tetapi tidak pernah bertemu dengannya.
Kata Dino, sekarang ibu mereka lebih sering mengunci diri
di kamar.
124 | Silvia Rodiana
“Adiknya Kak Rose.”
“Oh, Rose punya adik rupanya.” Dia menyeka
wajah yang basah oleh air mata. “Kamu cantik, sama seperti
Rose.”
Aku tidak menjawab apa pun, hanya melihat wanita
itu yang terus memperhatikan kami berdua. Sekian lama,
dia berlalu tanpa berucap apa pun lagi. Setidaknya aku
bersyukur, karena dia tidak melakukan apa pun pada Kak
Rose.
Saat Dino kembali dari kantin, dia memberikan
nasi kotak padaku.
“Kasihan calon istri gue, makannya nasi kotak
kantin rumah sakit terus,” oceh cowok itu sambil menyuap
nasi.
“Semoga ada nutrisinya, ya, biar lo tambah cerdas.
Cukup otak gue aja yang sesendok, calon istri gue jangan.
Bisa geblek anak gue entar.”
Belum selesai kami makan, pintu ruang rawat Kak
Rose terbuka lagi. Kali ini ayah Dino yang datang. Dia
menatap Dino singkat, langsung membuang muka. Dino
juga tampak enggan menatap ayahnya. Dia lebih memilih

125 | Silvia Rodiana


melanjutkan makan dengan tenang, sesekali mengganggu
dengan mengambil laukku.
Ayah Dino berdiri di samping ranjang Kak Rose,
memperhatikannya tanpa suara. Aku tidak mengerti apa
yang ada di pikiran pria paruh baya itu. Sama seperti
istrinya, ada banyak hal yang tersirat di matanya. Sayang,
aku tidak bisa mengetahui semuanya.
Setelah kami makan, ayah Dino menyuruhnya ke
luar.
“Papi mau bicara dengan adiknya Rose sebentar.”
“Kalau aku di sini?”
“Dino … sebentar aja,” bisikku agar dia tidak
membantah ayahnya lagi.
Cowok itu menghela napas panjang, lalu
mengangguk. “Aku di depan pintu, Pi.”
Itu seperti sebuah ancaman yang mengatakan
bahwa dia akan tetap mengawasi kami dari balik pintu itu.
Ketika Dino sudah menutup pintu, ayahnya
menyuruhku duduk di sisi Kak Rose, berseberangan
dengannya, dengan ranjang Kak Rose sebagai pemisah.
Wajahnya tampak ragu, sehingga butuh beberapa waktu
untuk berkata-kata.
126 | Silvia Rodiana
“Saya adalah seorang ayah yang punya banyak
sekali dosa. Pertama saya membiarkan Erlan kehilangan
perempuan yang sangat dia cintai, hanya karena
perempuan itu orang miskin dan merasa dia tidak pantas
dengan keluarga kami. Kedua, saya … saya membuat Dino
ketakutan.”
Sampai di sana dia berhenti. Laki-laki itu
menunduk, menghela napas dalam berkali-kali.
“Dino adalah saksi tunggal saat Anjani membunuh
Risa. Oh, iya, kalau kamu belum tahu. Risa itu pacar Erlan
dulu. Maminya Erlan punya trauma sama orang miskin,
yang membuat dia benci sama seluruh orang miskin.
Bahkan Risa yang nggak tahu apa-apa, dan sekarang Rose.”
Oh, jadi itu alasannya. Sampai di sini, tabir rahasia
mereka sedikit terbuka.
“Mami Erlan punya utang budi kepada keluarga
Anjani, karena itu dia meminta saya melindunginya. Anjani
itu … dia … punya gangguan jiwa. Dia adalah korban
pelecehan seksual sejak balita sampai remaja. Saya juga iba
karena nasibnya sangat buruk. Di balik wajah cantiknya, dia
punya takdir yang sangat kelam. Saya berjanji akan
melindunginya, walaupun artinya harus mengorbankan
127 | Silvia Rodiana
Dino. Saya menekannya, agar Dino tetap diam dan tidak
menceritakan kejadian pembunuhan itu pada siapa pun.
Dino sempat melawan, lalu saya mengurungnya di gudang
berhari-hari. Dia berteriak dan menangis ketakutan, tapi
saya tidak melepaskannya. Sampai akhirnya seminggu
kemudian dia diam, dan mau menuruti saya untuk
merahasiakan semuanya.”
Aku membekap mulut dengan kedua tangan.
Apakah itu awal mula Dino bisa menjadi pendiam dahulu?
“Dino berubah sangat aneh sejak hari itu. Dia jadi
pendiam dan penakut. Mungkin dia sangat takut disekap di
gudang gelap dan pengap itu. Saya merasa bersalah, tapi
tidak tahu cara memperbaikinya. Lama-lama saya merasa
malu pada diri sendiri. Demi melindungi orang lain, saya
mengorbankan anak sendiri. Sejak saat itu, saya malu
melihat Dino. Saya benar-benar merasa bersalah,” jelasnya
lagi.
Pasti sulit ada di posisi itu, baik bagi Dino maupun
ayahnya.
“Saya tahu Erlan membawa Dino ke psikolog dan
mencoba menenangkan jiwanya, tapi semua itu tidak
berhasil. Saya tahu, selama melihat saya, Dino akan
128 | Silvia Rodiana
kembali ketakutan. Karena itu, saya menjauh darinya. Saya
hanya melihatnya dari jauh, dan bersyukur karena perlahan
traumanya bisa sembuh dan dia kembali menjadi dirinya
yang dulu.”
“Oh, iya. Siapa namamu, Nak?”
“Cia, Pak,” jawabku cepat.
“Cia … namamu lucu.” Dia tersenyum simpul, lalu
berkata lagi. “Kayaknya Dino suka sama kamu, tapi kalian
masih terlalu muda. Kalau akhirnya kalian berjodoh, ada
hal yang harus kamu ingat. Selain trauma pada air, Dino
juga trauma pada gelap. Tolong terima dia apa adanya.”
Setelah mengatakan itu, pria itu berdiri dan berlalu
dari ruangan. Menyisakanku yang masih mencoba
mencerna semua ceritanya. Seperih itukah masa lalu Kak
Erlan dan Dino? Kak Erlan kehilangan wanita yang dia
cintai, dan Dino harus trauma pada dua hal sekaligus.
Semua itu berawal dari seorang wanita bernama Anjani.
Namun, seperti yang dikatakan ayah Dino tadi. Anjani juga
korban dari masa lalunya yang kelam.
“Gangguan jiwa ….”
Aku menyandarkan diri di kursi, memandangi
wajah Kak Rose yang masih tertidur.
129 | Silvia Rodiana
Apakah Anjani membunuh Risa tanpa sadar? Apa
dia juga tidak sadar saat menyakiti Kak Rose?
Risa dan Rose.
Aku mendengkus. Takdir mungkin sesederhana
ini. Sesederhana nama mereka yang terdengar hampir
mirip, atau mungkin wajahnya juga serupa, sehingga Kak
Erlan bisa begitu mencintai Kak Rose, seperti dia
mencintai Risa yang telah tiada.
“Apa Kak Rose tahu, siapa itu Risa?” bisikku
sambil mengusap punggung tangannya lembut.
“Mungkin tahu.” Suara Dino terdengar, diiringi
langkah kakinya mendekat.
“Mungkin itu yang membuat Anjani mau
membunuh Mbak Rose. Lo tahu, hari itu tepat 7 tahun
kematian Mbak Risa. Bang Erlan mungkin nggak ingat
karena dia nggak ada di sini waktu Mbak Risa meninggal,
tapi gue jelas ingat. Karena di hari itu, gue melihat sisi setan
Anjani. Gue melihat kekejaman dia, nggak peduli Mbak
Risa sudah mencoba untuk ke luar dari air. Enggak peduli
harapan Mbak Risa untuk tetap hidup, dia terus menekan
kepala Mbak Risa sampai dia meninggal.”

130 | Silvia Rodiana


Lagi-lagi kebetulan. Kebetulan Anjani mencoba
membunuh Kak Rose di hari yang sama, dengan hari dia
membunuh Risa.
“Perasaan gue nggak enak hari itu, ternyata
memang ada hal buruk yang menanti kita semua,”
lanjutnya lesu.
“Terus sekarang, apa Anjani akan bebas karena dia
gila?”
Dino menggeleng yakin. “Gue sudah bilang, kan,
Bang Erlan nggak akan melepas Anjani lagi.”
“Jadi … apa Anjani dipenjara?”
Dia mengangguk. “Enggak usah dipikirin. Bang
Erlan sudah ngurus semuanya sebaik mungkin. Setelah
bebas dari penjara karena terbukti gila, dia akan diisolasi.”
“Kalau dia kabur?”
“Lo jangan kebanyakan nonton sinetron, Cia …,”
desis Dino sambil melirikku sinis. “Lo pernah lihat, nggak,
kakak dan ipar lo balik ke sini, setelah dikirim Bang Erlan
entah ke mana?”
Aku menggeleng. Bahkan saat Kak Rose sakit
seperti ini pun, Kak Erlan tidak memanggil mereka
kembali.
131 | Silvia Rodiana
“Itu babang gue, cowok paling tegas di Bumi ini.
Sekali dia buang Anjani dibuang, dia bakal dibuang!”
“Enggak akan balik lagi?”
Dino menggeleng keras. “Enggak akan. Parah-
parah bakal dibuang ke Nusa Kambangan sana. Kalau mau
kabur, ditangkep buaya duluan dia.”
Apakah itu hukuman yang cocok untuk Anjani?
“Tapi, Dino … Anjani itu. Dia juga korban,” kataku
pelan.
“Dia korban seseorang, dan nggak berhak
mengorbankan orang lain untuk menutupi lukanya.” Dino
tampak menghela napas panjang.
“Jangan bahas Anjani, apalagi minta hukumannya
dikurangi di depan Bang Erlan. Gue nggak mau lo dibuang
juga sama dia,” sambungnya.
“Apa Kak Erlan sekejam itu?”
Cowok berhidung mancung itu mengangguk. “Dia
bisa baik banget, dan bisa jahat banget. Tergantung
kebutuhan.”
Setelah hari itu, kami masih menunggu Kak Rose
untuk bangun. Belum ada satu pun pertanda baik, bahkan

132 | Silvia Rodiana


dokter sudah menyarankan Kak Erlan untuk mencabut alat
bantu kehidupannya.
“Kasihan, Pak. Ini seperti menyiksa Pasien.”
Aku langsung menangis, tidak ingin mereka
menyerah pada kondisi Kak Rose. Aku masih sangat yakin,
bila dia akan bangun dan sehat kembali. Entah kapan.
Orang tua Kak Erlan juga menyarankannya untuk
mencabut alat bantu kehidupan Kak Rose, tetapi pria itu
menolak dengan keras. Sama sepertiku, dia juga percaya
bila istrinya akan bangun dan menemaninya lagi.
Setiap hari juga, aku dan Dino menjadi saksi
penantian seorang suami yang begitu tabah. Kak Erlan
terkadang membuatku berpikir ingin mempunyai seorang
suami seperti dirinya, yang sangat menyayangi istrinya. Di
balik sikap dingin itu, dia menyimpan kasih sayang yang
begitu besar untuk Kak Rose. Tertuju hanya untuk dirinya
seorang.
Kak Rose … cepatlah bangun. Supaya Kakak tahu,
sebesar apa cinta Kak Erlan untuk Kakak.

133 | Silvia Rodiana


LIMA BELAS

Hari yang kami tunggu akhirnya tiba. Kak Rose


terbangun saat aku dan Dino sedang melakukan verifikasi
data di sekolah untuk ijazah kami. Aku sangat bahagia,
terlebih karena kini Kak Rose tampak lebih baik dan
semangat hidupnya kembali. Ternyata psikolog yang
didatangkan Kak Erlan untuk melakukan terapi pada Kak
Rose sangat membantu.
“Kak, Cia jadi juara umum!” Aku berucap dengan
suara bergetar, setengah mati menahan tangis. Rasanya
sangat bahagia melihat Kak Rose bisa kembali terbangun
dari tidur panjangnya.
“Alhamdulillah … Cia memang terbaik!” puji Kak
Rose sambil merentangkan kedua tangannya. Aku segera
memeluk dan menangis di bahunya. Ada sejuta syukur
yang kulepas di sana, karena bisa merasakan pelukannya
lagi.
“Gue juga juara umum, Mbak!” seru Dino di
belakang kami.

134 | Silvia Rodiana


Kak Rose melonggarkan pelukan, menatap Dino
bingung.
“Iya, juara umum ke-13 tapi.”
Seketika, Dino langsung memegang kepalanya yang
dijitak Kak Erlan.
“Juara 13 itu nggak perlu disebut. Malu-maluin!”
“Bang, itu juga prestasi. Bayangin, gue bisa juara 13
dari 400 lebih siswa. Mana nggak keren tuh?”
Kak Erlan menatapnya sinis, aku dan Kak Rose
tertawa kecil.
“Iya, Dino juga hebat,” kata Kak Rose sambil
tersenyum.
“Asyik … gue dipeluk juga dong!” Dino
merentangkan kedua tangan, yang langsung disentak Kak
Erlan ke belakang.
“Gue kirim ke Pluto, kalau berani meluk bini gue!”
ujar Kak Erlan dengan tangan terlipat di depan dada,
membuat Dino mencibir dan membuang muka.
Aku menyenggol lengan Kak Rose, lalu berbisik,
“Secinta itu Kak Erlan sama Kakak.”
Kakakku itu tersenyum malu-malu. Ah, aku tidak
sabar menunggu waktu berdua dengannya. Aku ingin
135 | Silvia Rodiana
menceritakan banyak hal selama dia koma. Bahwa tidak
sedetik pun laki-laki bergelar suaminya itu menyerah pada
keadaannya. Tidak ada waktu yang terlewati, tanpa Kak
Erlan menunjukkan rasa cintanya pada Kak Rose. Wanita
halalnya. Seorang wanita yang dia peroleh dari hasil lelang,
tetapi kemudian bisa memenangkan hatinya seutuhnya.
Entah bagaimana cara Kak Rose menakhlukkannya.

“Fuchsia Belle!” Seorang senior berteriak


memanggil namaku, saat kami sedang menjalani masa
orientasi mahasiswa.
Aku mengangkat tangan tanpa bersuara, karena
posisiku di tengah, pasti tidak terdengar olehnya.
“Maju ke sini!”
Aku menurut, berjalan menuju senior laki-laki
berjas kuning itu.
“Namanya, kok, unik? Ada keturunan Prancis,
ya?” tanyanya ketika aku sudah ada di depan mereka.
“Belle memang blasteran, tapi bukan Prancis!”
celetuk Dino dari tengah barisan. Aku memejam sejenak
sambil menghela napas dalam. Dasar tukang rusuh!

136 | Silvia Rodiana


“Siapa tadi jawab?” bentak senior bertubuh tinggi
itu.
“Saya!”
Astaga … aku bahkan tidak mendengar nada ragu
dalam suara itu.
“Ke sini kamu!”
Dino berjalan mendekat tanpa takut sedikit pun.
Dengan wajah sedikit angkuh, dia berdiri di dekatku dan
menatap senior itu.
“Siapa yang nyuruh kamu ngomong?” tanya senior
laki-laki itu.
“Bicara adalah hak segala bangsa! Apalagi untuk
saya yang punya tingkat kemanisan di atas rata-rata, sampai
bisa membuat senior cewek diabetes.”
Kulihat Dino mengarahkan pandangannya pada
senior-senior cewek yang sedang berbisik tak jauh dari
tempat kami berdiri. Baiklah, baiklah. Sepertinya dia juga
akan menjadi idola baru di kampus ini. Apa nanti akan ada
Cemara kedua, ketiga, dan seterusnya?
“Diam kamu!” Senior tadi kembali membentak,
sampai membuatku terlonjak. Dino memperhatikanku
yang melihatnya sebentar, lalu menunduk.
137 | Silvia Rodiana
“Kisanak, nggak baik meninggikan suara di depan
perempuan, apalagi yang cantiknya setara bidadari kayak
Belle ini.”
Senior itu tampak sangat geram, tetapi tidak
mengatakan apa pun saat dia melihatku.
“Ngomong-ngomong, nggak mau tahu, Belle
blasteran mana?” tanya Dino santai.
Tidak ada suara dari mana pun beberapa saat,
sampai Dino berkata, “Blasteran surga, makanya wajahnya
cerah karena dipenuhi cahaya Ilahi.”
Dino … sepertinya aku akan terlibat banyak
masalah dengan senior cewek di sini karena dia.

Aku dan Dino sempat disuruh Kak Erlan


memantau kondisi Anjani di penjara. Dia tampak sangat
berantakan, jauh dari kesan cantik dan elegan yang selama
ini dia tampilkan. Rambutnya acak-acakan, wajahnya
kusam tanpa riasan. Kalau dilihat seperti ini, dia sama saja
dengan wanita-wanita di luaran sana. Ternyata memang
punya uang bisa mengubah banyak hal, apalagi
penampilan.

138 | Silvia Rodiana


Meskipun begitu, Anjani tidak seperti orang
depresi atau sejenisnya. Dia bertingkah normal, seperti
tidak ada masalah apa pun dalam dirinya. Namun, aku
tahu. Justru orang seperti itulah yang harus diwaspadai.
Terlihat waras dan sehat, padahal dalam dirinya mengalir
darah seorang pembunuh.
Akhir dari perjalanan panjangnya sebagai artis
harus ditemui perempuan itu. Ayah Dino menyerahkan
bukti rekaman CCTV rumahnya yang selama ini dia
simpan, sebagai bukti kejahatan Anjani kepada Risa 7
tahun lalu. Rekaman CCTV saat dia ingin membunuh Kak
Rose juga menjadi bukti bahwa dia berbahaya. Meskipun
tidak bisa ditahan karena mengalami gangguan kejiwaan,
dia tetap bisa diisolasi, seperti yang dikatakan Dino waktu
itu. Orang-orang yang dahulu menghujat Kak Erlan karena
hampir membunuh Anjani di rumah sakit, sekarang balik
menyerang Anjani karena kekejaman yang dia lakukan.
“Dia terlalu terobsesi pengin milikin Bang Erlan,
makanya begitu,” kata Dino saat kami melihat dari jauh
proses pemindahan Anjani dari rutan ke tempat isolasi
yang entah di mana. Kata Dino, mungkin Kak Erlan akan

139 | Silvia Rodiana


membuangnya ke negeri antah-berantah, agar tidak bisa
menemui dan mengganggu kehidupan mereka lagi.

Aku berharap hubungan Dino dan ayahnya bisa


membaik, tetapi hanya mampu mendoakan mereka. Aku
tidak berani dan tidak berhak sama sekali mencampuri
kehidupan mereka, karena aku bukan siapa-siapa. Saat ini,
memang cowok ini selalu ada di belakangku. Mengikuti ke
mana pun aku pergi, menjadi pelindung setiaku. Tidak
peduli sebanyak apa masalah yang akan dia temui karena
mencoba menjagaku, atau sebanyak apa cewek cantik yang
dia abaikan untuk terus berada di belakangku. Dia tetap di
sana, berjalan mengiringi langkahku.
Kami memang masih terlalu muda untuk sebuah
keyakinan hati. Setelah ini, akan ada banyak orang baru
yang kami temui. Mungkin saja hatinya akan berpindah,
jika melihat seseorang yang lebih baik dariku. Atau
mungkin akan tetap menetap, karena sebuah rasa yang
telah mengikat.
“Fuchsia,” ucap Dino di suatu sore, saat kami
menemani keponakan kembar kami bermain di halaman
rumah mereka. Tiga tahun telah berlalu sejak hari itu, dan

140 | Silvia Rodiana


kini kehidupan kami kembali baik-baik saja. Kak Rose
melahirkan bayi kembar yang sangat cantik, wajahnya
persis seperti Kak Erlan versi perempuan. Namun, sifat
mereka sangat mirip dengan Dino. Pecicilan dan tidak bisa
diam. Dan kami sangat menyayangi tuan putri kembar ini,
yang telah berhasil menciptakan kembali tawa di wajah
semua orang.
“Sampai kapan pun, hati gue akan tetap berpihak
sama lo, Cia,” lanjutnya sambil tersenyum hangat.
“Kenapa?”
“Seperti arti warna mawar. Merah berarti cinta
sejati, kayak Mbak Rose. Dan Fuchsia berarti rasa terima
kasih. Gue berterima kasih, karena lo sudah
mengembalikan lagi apa yang pernah hilang dari gue. Kalau
bukan karena keinginan untuk melindungi lo, mungkin gue
akan kehilangan diri gue yang asli. Gue selamanya akan jadi
penakut. Tapi gue sadar, kalau gue takut, lo akan terluka.
Karena itu, gue akan selalu berani, untuk bisa melindungi
lo.”
Aku tahu, jalan kami akan sangat panjang dan
mungkin berliku. Namun, ada yakin yang terselip di hati.
Jika memang kami berjodoh, maka biarlah waktu menjadi
141 | Silvia Rodiana
saksi perjalan ini. Jika tidak, maka aku akan berdoa semoga
takdir membelokkan arahnya, dan membiarkan kami
selalu bersama.
Karena bersama pria gila ini, aku tidak perlu takut
pada apa pun.

TAMAT

142 | Silvia Rodiana

Anda mungkin juga menyukai