Anda di halaman 1dari 5

KAYLA dan WISATA KOTA TUA

Oleh
Oleh Wenny Dytha Sarwono

TNampaknya bulan mulai merona dalam pelukan awan, tenggelam bersama cerita tadi
pagi. Saat ini aku tercengang melihat rumah lusuh, berarsitekturberaksitektur blasteran Cina dan
Belanda berdiri tegaktegap di tengah padatnya perkampungan pinggir kota. Aku rasa rumah-
rumah ini menjadi saksi bisu masa-masa perjuangan di masa lalu.
Mungkin mereka melihat prajurit yang terkapar bersimbah darah dan tak sengaja
menodai mereka dengan cairan segar berwarna merah tersebut. Atau mungkin mereka
mendengar segala strategi para antek-antek Belanda yang bermuka dua demi membela negara.
Disatu sisi seperti membantu Belanda, padahal sedang memata-matai mereka untuk kepentingan
terciptanya NKRI.
Aku beranikan diri untuk memegang saksi sejarah yang belum tentu benar kejadiannya
seperti itu. Itu semua hanya khayalanku tentang sebuah cerita sejarah yang pernah kubaca di
bukudibuku-buku pelajaranpelajaraan SMA. Cat yang terlihat mulai kusam ternyata masih
memiliki tekstur yang halus dengan warna perpaduan yang indah khas Cina yakni merah dan
emas. Dominasi ukiran-ukiran Cina dan Belanda menghilangkan aroma nusantara.
Aku mengagumi setiap detail rumah ini, hingga akhirnya tak kusadari aku sedang
memperhatikan wajah seseorang dari kejauhan yang tampaknampak muda dan tak asing bagiku.
Apakah imajinasiku mulai menjadi-jadi? Sepertinya aku mengenal sosok yang mulai mendekat
dengan lambaian tangan yang tak henti-hentinya ke arahku. Wajahnya bak panglima Tieng Ping
yang tampan dan dikagumi banyak wanita dari Cina yang membantu Biksu Tong mencari kitab
suci di barat sebelum akhirnya dikutuk menjadi Cu Pat Kai.
“Woi ngelamun aja sih? Buruan udah ditinggal rombongan tuh!" cetus Dio ketua
rombongan KKL-ku.
“Jelaslah aku kenal sama tuh orang, ternyata ketua rombongan yang menawan dan
dermawan itu, yang ku pikir panglima Tieng Ping dari Cina," sahutku sambil tertawa sendiri
melihat pemikiran yang terlalu jauh dari kenyataankenyatan.
“Apa mungkin kebanyakan nonton film ya? Atau gara-gara kebanyakan makan pangsit di
warung Buk Liem atau gara-gara sering bergaul sama si Kokoh ya?” pikiranku mulai melayang
kembali.
“Buruan," teriak Dio.
“Iya, iya ini jalan,” timpaku seraya berlalu dari rumah tersebut.
Sore itu rombongan kami baru saja datang dan mengadakan sedikit survei lapangan
mengenai rumah-rumah yang akan kami teliti arsitekturnya. Malam punMalampun datang
menghampiri rombongan yang mulai lelah dengan perjalanan jauh yang telah kami tempuh.
Seruan azan maghrib terdengar bersaut-sautan di sini. Sungguh kedamaian yang tak bisa aku
dapatkan di Jakarta.
“Baik, semuanya berkumpul di sini dulu," perintah Dio kepada semua rombongan.
“Kamar-kamar akan mulai dibagi sehingga mohon didengarkan dengan baik, agar tidak
mengulang,” tegas Dio.
Ketika Dio mulai membacakan daftar kelompok tidur, perhatianku teralih kepada seorang
gadis belia berumur sekitar 5 tahun memandang malu-malu dengan membawa boneka ke arah
kami. Aku tersenyum melihat tingkah lakunya yang khas anak seusianya.
“Sini cantik, jangan disitu," panggilku kepada gadis kecil itu.
Tidak lama berselang namaku disebut oleh Dio yang mulai geram dengan tingkah lakuku
yang tak menghiraukannya. Sedangkan aku masih sibuk dengan gadis kecil yang mulai berlari
meninggalkan ruang tengah. Aku berusaha mengejarnya, namun Dio menarik bahuku sehingga
aku tidak bisa pergi kemana-mana.
“Eitss, mau kemana kamu," cegah Dio.
“Eh Dio, itu mau lihat adik kecil yang lucu tadi, dia lari kesana. Aku kan bawa permen
jadi.....” Aku berusaha menyakinkannya.
“Sudah ngantuk kamu ya, di rumah ini tidak ada anak kecil. Sudah-sudah fokus," jawab
Dio ketus.
Dahiku mulai berlipat-lipat memikirkan perkataan Dio barusan. Kalau tidak ada anak
kecil lalu siapa gadis itu? Mungkin Dio yang sok tau. Aku lebih mempercayai apa yang aku lihat,
daripadadari pada mendengar penjelasan orang lain yang belum tentu benar.
Aku mendapat jatah sekamar dengan Dinda. Teman-teman yang lain banyak menganggap
Dinda sedikit terganggu kesehatan mentalnya, karena Dinda sering bertingkah aneh dan
membuat bulu kuduk berdiri. Dia bisa berdiam diri di suatu tempat dalam waktu yang lama dan
bertingkah seolah-olah sedang berbicara dengan seseorang. Cukup seram tapi, aku tidak
mempermasalahkan hal tersebut.
“Din, kita sekamar, yuk masuk." Ku sibakkan rambutku dengan menarik tangannya.
“Dimana anak kecil tadi?" tanyanya.
“Kamu lihat anak kecil tadi?” gumamku berharap dia bilang tidak. Kalau sampai dia
menjawab ia, berarti gadis kecil yang kulihat tadi tidak nyata.
“Kamu berharap aku bilang tidakkan?” tanyanya menggoda.
“ Dari mana kamu tau apa yang aku pikirkan?" tanyaku kaget.
“Aku bukan ahli nujum kok, tenang saja. Aku hanya bisa membaca kepanikan itu dari
raut wajahmu yang mulai mempercayai alasan teman-teman yang menjauhiku," pekikku.
Aku hanya bisa tersenyum kecut mendengar pernyataannya. Lebih baik aku tidur,
mempersiapkan diri untuk kegiatan besok.
Sinar matahari menembus masuk ke dalam celah-celah jendela kamar yang hanya pernah
kutemui di rumah Eyang. Aku tidak menyebutnya kuno, tapi klasik. Aku masih saja mengagumi
tempat ini, dari setiap ornamen-ornamen yang tersusun rapi sebagai bagian dari tembok-tembok
yang tetap dilihatkan kemerahan warna bata. Hingga kasur yang kurasa sangat menyiksa tulang
punggungku namun aku menikmatinya. Semua serba klasik dan menarik. Aku beranjak dari
tempat tidur dan mulai melakukan olahraga kecil sebagai bagian dari rutinitas awal hari ini.
Jendela kubiarkanku biarkan terbuka lebar, agar udara dan sinar matahari dapat masuk
memenuhi kamarku. Tak lama terdengar suara ketukan pintu kamar.
TOK ... TOK...TOK....
“Dit, bangun udah mulai kegiatan nih," ujarku.
“Ia Di. Bentar, masih ganti,” teriakkuteriaku sambil bergegas mengambil beberapa
pakaian yang ada di dalam tas. Setelah semuanya siap, aku mulai beranjak dari kamar. Ketika
membuka pintu, aku begitu terkejut dengan kedatangan gadis kecil yang semalam muncul di
ruang tengah.
“Astafirlloh, adikadek. Bikin kaget aja. Namanya siapa?", tanyaku penuh keramahan.
Lagi-lagi dia hanya diam, tanpa membalas sepatah katapun pertanyaanku tadi. Namun,
dia tetap tersenyumterseyum melihatku. Aku mulai mengernyitkanmengrenyitkan dahi, dan
mengajaknya pergi bersamaku.
“Ayo ikut kakak, anterin kakak jalan-jalan di sekitar rumah ini ya?” pintaku.
Dia mengangguk dan menggandeng tanganku dan berlalu menyusuri rumah bersama.
Lagi-lagi aku terpesona dengan kemegahan rumah ini, rumah berlantai dua yang memiliki
banyak ruangan ini menurutku menyimpan banyak misteri dan teka teki yang membutuhkan
jawaban. Adik kecil itu masih menarik tanganku melalui lorong-lorong yang sepi dan mulai
berhawa pengap.
“Dek, kita mau kemana? Jangan kesana ah, ini udaranya mulai beda deh. Serem ah,” aku
menolak ketakutan.
“Kakak jangan takut ya, itu paling ujung kamarku,” jawabnya.
“Alhamdulillah ini anak bisa ngomong juga,” kataku dalam hati.
Aku diajak ke sebuah ruangan yang cukup luas dengan hiasan boneka di mana-mana.
Ruangan tersebut terlihat bersih dan sangat nyaman.
“Kakak sini masuk, jangan di pintu ntar pamali loh,” panggilnya seraya memintaku untuk
masuk ke kamar tidurnya.
“Kamar kamu bagus ya, besar. Tapi di sini sepi,” ujarku dengan mulut gemetaran.
“Kakak belum tau aja sih, di sini rame kok,” balasnya membuat bulu kudukku merinding.
Aku mulai memperhatikan setiap sudut kamar ini. Ornamen-ornamen penghias terlihat
sangat klasik, lebih klasik dari ruang tengah. Terdapat sebuah bagian yang paling menarik
perhatian yakni sebuah lukisan foto keluarga.
“Itu foto keluargamu?” tanyaku padanya.
“Iya kakak, aku cantik gak di foto itu?” tanyanya menggodaku.
“ Gimana ya? masih cantikan aku sih,” jawabku sekenanya.
Kami pun tertawa bersama.
“Hei adik kecil, siapa namamu?” tanyaku dengan nada peduli.
“Nanti kakak juga tau sendiri namaku,” balasnya.
“Hei adik, aku bukan Dinda yang bisa tau sesuatu tanpa menanyakannya,” tepisku seraya
mengacak acak rambutnya.
Kami semakin akrab dan mulai beranggapan bahwa kami bersaudara. Bermain bersama
gadis kecil ini, membuatku seperti kembali ke masa-masa lalu. Brian adik kandungku yang tidak
lama hadir di dunia. Dia meninggal karena penyakit kanker di usianya yang masih belia.
Kehadiran gadis kecil ini cukup mengobati kerinduanku akan Brian.
Waktu mulai menunjukan pukul 4 sore, aku mulai menangkap kegelisahan gadis kecil itu.
Dia seperti ketakutan dan mulai berdiri di pojokan, tak lama setelah itu ia mulai menangis. Aku
menanyakan apakah ada sesuatu yang mengganggunyamenggagunya, ia malah berteriak pergi,
cepat pergi dari rumah ini. Aku tidak mengerti apa yang sedang ia bicarakan. Aku mendekatinya
dan mendekapnya erat. Ia tetap memberontak dan menangis sejadi-jadinya.
“Api, api, panas kak, api, api,” teriak adik kecil itu.
“Dimana ada api, disini tidak ada api, tenang dik." Aku mencobamecoba
menenangkannya. Ia semakin teriak histeris.
“Panas kak, api, api…...," teriak sekencang-sekencangnya..”," jerit si adik.
Aku bingung harus melakukan apa? Aku melepaskan dekapanku pada gadis kecil
tersebut. Aku mendengar teriakan-teriakan lain selain suara gadis kecil itu. Suaranya semakin
terdengar jelas dan menakutkan. Seperti memang sedang terjadi suatu kebakaran besar. Aku
semakin takut dan tiba-tiba aku melihat banyak orang lalu lalang di hadapanku. Siapa mereka?
Dari mana mereka datang? Aku semakin terpojok, bingung, dan ketakutan. Suasana saat itu
benar-benar beda. Aku seperti dibawa ke masa lalu, sejarah dari rumah ini. Hingga
akhirnyaakhirya aku merasa ada yang menepuk bahuku dari belakang dan semua terlihat hitam.
Kamar tempatkutemapatku berdiri berubah menjadi sebuah tempat bekas kebakaran yang hanya
tersbersisa potongan kerangka rumah dan sebuah lukisan foto keluarga milik gadis kecil tadi.
Seketika lututku terasa lemas dan aku hampir pingsan ketakutan. Tapi Dio menopang badanku
dari belakang.
“Kamu dari mana saja, Dit? Semua orang mencarimu,” tanyanya.
Aku berdiamterdiam cukup lama dan mulai menatamanata kembali pikiranku yang kacau
karena halusinasi yang ekstrim ini.
Dulunya rumah gadis kecil itu merupakan sebuah rumah tuan tanah yang kaya raya dan
dermawan, namun karena ulah teman bisnisnya yang sirik dengan kesuksesannya, maka pada
suatu malam, rekan bisnisnya dengan tega membakar hidup-hidup keluarga tuan tanah. Salah
satu korbannyakorbanya yaitu Kayla gadis kecil berusia 5 tahun yang tewas terbakar di
kamarnya karena tidak seorangpun yang bisa menolongnya.
Aku hanya bisa tertegun mendengar kesaksian Bu Iyem, bekas pembantu rumah mewah
tersebut. Dan menurut penuturannya, Adik Kayla suka mengajak tamu-tamu di wisata kota tua
ini untuk ikut merasakan apa yang ia rasakan saat kejadian tersebut terjadi. Rasa panas,
ketakutan, dan kegelisahan menyelimuti diriku.

Anda mungkin juga menyukai