Anda di halaman 1dari 3

Cahaya Dalam Kegelapan

Oleh : Ria Dwi Anggarawati

Angin berhembus membelai rambut. Aku bersyukur masih dapat


merasakan hembusan angin yang segar, walaupun aku tidak dapat melihat
indahnya dunia ini. Angin berhembus semakin kencang, aku memutuskan untuk
kembali pulang. Tongkat panjang berwarna hitam selalu menemaniku setiap
waktu. Langkah demi langkah kutempuh.
Tiba-tiba kudengar suara gemericik air turun dari atas langit. Air
hujan mulai membasahi rambutku. Kutelusuri setapak menuju rumah. Beberapa
saat tubuhku tak lagi kehujanan. Mungkinkah seseorang memayungiku. Dia
berkata padaku.
“Biar saya bantu dek,” tanyanya yang halus meraih tanganku.
“Terima kasih”, aku menunduk.
Dia mengantarkanku sampai rumah. Aku tidak mengenalnya, dia pun tak
mengatakan siapa.
Malam semakin larut, suara jangkrik mengusik keheningan malam. Aku
terlelap dalam tidurku. Seberkas cahaya datang dalam mimpiku. Semakin
dekat dan semakin dekat. Di tengah cahaya aku melihat seberkas cahaya
hitam. Aku terbangun. Akhir-akhir ini aku selalu bermimpi seperti itu.
Kokok ayam menyambut pagi. Aku meraba-raba di meja mencari
tongkatku sampai ke depan rumah, tapi aku tak menemukannya.
Dimana...dimana...dimana tongkatku? Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
Mungkinkah ... dia yang kemarin? Aku membuka pintu depan. Ku dengar suara
orang melangkah. Dia menuju ke arahku. Tanganku bergetar. Kalau-kalau itu
pencuri??? Kuputuskan untuk masuk ke dalam rumah. Duk!!!
“Aduh jidatku???” Aku menjerit dan memegang jidatku yang sakit.
Seseorang berlari mendekatiku dan berkata ....
“Nggak apa-apa dek?” Suaranya halus, tak seperti pencuri. Dia
membantuku untuk berdiri dan berkata lagi.
“Makanya dek, hati-hati to, oya ini tongkatnya dek..., kemarin
kebawa sama saya dek.. hahaha.” Dia meletakkan tongkat dalam genggamanku.
“Terimakasih.”
“Oya, saya Irul”, dia menjabat tanganku.
“Saya Istika”
“Kayaknya masih muda dek, umurnya berapa?” dia mulai mengajakku
untuk mengobrol.
“15 tahun”, jawabku lirih.
“Ooo..., kalau saya 25 tahun.”
“Anakku”, dia berbicara dengan lirih sehingga aku sulit untuk
mendengarkannya.
“Apa?, bisa tolong diulangi yang terakhir?”
“Nggak.. nggak apa-apa kok, ya udah saya pulang dulu dek.
Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.
****************************************************

Kata kakak sore ini cerah. Seperti biasa aku berjalan menyusuri
jalan setapak, ku dengar seseorang memanggilku.
“Tika ...Tika...Tika...!”
“Iya”, aku menoleh ke belakang
“Hey”, dia menepuk bahuku.
“Siapa?”
“Retno?”
“Ooo ...iya, ada apa Ret?
“Aku udah dapat donor kornea buat kamu. Kamu mau kan dioperasi?”
“Alhamdulillah... tentu, aku mau banget. Kapan operasinya?
“Besok!”
“Kok mendadak banget sich?”
“Biasanya besok kalau nggak besok, keburu diambil orang lain lo??”
“OK...”
Aku tunggu di rumah sakit Sehat Sentosa ya?? Da..?
****************************************************

Aku memutuskan untuk pulang dan menceritakan itu pada Ibu dan Ayah.
Tapi mereka berdua hanya berkata, “Baguslah kalau begitu.” Aku memang
tidak mengetahui ekspresi mereka, tapi hanya dari cara bicaranya aku
dapat mengetahui bahwa mereka tak peduli padaku. Kurebahkan tubuhku di
ranjang yang telah menemani tidurku sejak kecil.
“Istika...Istika”, itu suara kakakku Ranun. Dia berumur 20 tahun.
“Masuk kak.”
“Kamu kenapa Is?”
“Nggak papa kok kak>”
“Kakak tau kamu pasti mikirin omongan Ayah dan Ibu, sabar aja
jangan dimasuki dalam hati.” Dia mengelus-elus rambutku.
“Iya kak.”
“Andai kakak masih ada?” Kakak berbicara dengan lirih.
“Kakak, aku punya kakak selain kakak?” tanyaku.
“Enggak kok Is, nanti kalau udah saatnya pasti kamu tau kok!” Oya,
maaf ya, maaf ya Is, kakak besok nggak bisa nganterin kamu, nggak papa
kan?”
“Iya, nggak papa kok.”
****************************************************

Pagi telah menyabutku dengan suara kicauan burung, aku bangkit dari
ranjang.
“Istika...” Ibu memangilku.
“Iya...”
“Ibu mau belanja dulu, kamu jangan kemana-mana, jaga rumah saja
yang benar. Kamu tau kan sekarang maling sudah merajalela. Apalagi rumah
kita besar, nggak ada pembantu atau satpam lagi. Jadi kamu harus di rumah
saja.” Ibu memaksaku.
“Iya...”
“Udah..., Ibu mau belanja dulu.
Ponselku tiba-tiba berdering.
“Halo...,” kataku
“Is... Kamu dah sampai belum sich?”
“Maaf kau nggak bisa kesana. Aku disuruh jaga rumah.”
“Tapi, ini kesempatan kamu?”
“Maaf, tapi aku nggak bisa!” aku menutup telepon.

“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsamal.”
“Istika...”
“Ooo, yang kemarin,”
“Aku mau menjelaskan sesuatu.., sebenarnya aku itu adalah Ayahmu
nak. Maafkan Ayah telah meninggalkanmu disini, tinggal bersama nenek.
“Apa maksudnya..?
“Assalamu’alaikum, Istika.. Kau bersama siapa?” itu suara Ibu.
“Waa...”
“Apa...Irul.., buat apa kau kemari??”
“Bu, aku ingin menjemput anakku bu?” dia memanggilnya Ibu.
“Ibu sudah pulang??” tanyanya pada ibu.
“Dompet Ibu ketinggalan. Istika, sejak kapan kau mengenal orang
ini??”
“Memangnya dia siapa Bu?” tanyaku pada Ibu lagi.
“Aku Ayahmu nak, dan sekarang saatnya kau ikut dengan Ayahmu!!” Dia
membujukku.
“Baiklah.. kalau kau ingin bersamanya aku perbolehkan, dan
sekarang,, pergi dari sini!!”
“Baiklah, ayo kita pergi nak,” dia meraih tanganku dan menarikku
menuju mobil.
****************************************************

Ayah. Dia telah menjelaskan semuanya padaku. Aku berkata pada Ayah,
“Hat-hati Yah,”
“BRAK!!!”
Aku membuka mataku perlahan, aku berfikir pasti ini di rumah sakit.
Perlahan-lahan kau melihat seberkas cahaya... dari mana??”
“AYAH, dimana kau...???

Anda mungkin juga menyukai