Kata kakak sore ini cerah. Seperti biasa aku berjalan menyusuri
jalan setapak, ku dengar seseorang memanggilku.
“Tika ...Tika...Tika...!”
“Iya”, aku menoleh ke belakang
“Hey”, dia menepuk bahuku.
“Siapa?”
“Retno?”
“Ooo ...iya, ada apa Ret?
“Aku udah dapat donor kornea buat kamu. Kamu mau kan dioperasi?”
“Alhamdulillah... tentu, aku mau banget. Kapan operasinya?
“Besok!”
“Kok mendadak banget sich?”
“Biasanya besok kalau nggak besok, keburu diambil orang lain lo??”
“OK...”
Aku tunggu di rumah sakit Sehat Sentosa ya?? Da..?
****************************************************
Aku memutuskan untuk pulang dan menceritakan itu pada Ibu dan Ayah.
Tapi mereka berdua hanya berkata, “Baguslah kalau begitu.” Aku memang
tidak mengetahui ekspresi mereka, tapi hanya dari cara bicaranya aku
dapat mengetahui bahwa mereka tak peduli padaku. Kurebahkan tubuhku di
ranjang yang telah menemani tidurku sejak kecil.
“Istika...Istika”, itu suara kakakku Ranun. Dia berumur 20 tahun.
“Masuk kak.”
“Kamu kenapa Is?”
“Nggak papa kok kak>”
“Kakak tau kamu pasti mikirin omongan Ayah dan Ibu, sabar aja
jangan dimasuki dalam hati.” Dia mengelus-elus rambutku.
“Iya kak.”
“Andai kakak masih ada?” Kakak berbicara dengan lirih.
“Kakak, aku punya kakak selain kakak?” tanyaku.
“Enggak kok Is, nanti kalau udah saatnya pasti kamu tau kok!” Oya,
maaf ya, maaf ya Is, kakak besok nggak bisa nganterin kamu, nggak papa
kan?”
“Iya, nggak papa kok.”
****************************************************
Pagi telah menyabutku dengan suara kicauan burung, aku bangkit dari
ranjang.
“Istika...” Ibu memangilku.
“Iya...”
“Ibu mau belanja dulu, kamu jangan kemana-mana, jaga rumah saja
yang benar. Kamu tau kan sekarang maling sudah merajalela. Apalagi rumah
kita besar, nggak ada pembantu atau satpam lagi. Jadi kamu harus di rumah
saja.” Ibu memaksaku.
“Iya...”
“Udah..., Ibu mau belanja dulu.
Ponselku tiba-tiba berdering.
“Halo...,” kataku
“Is... Kamu dah sampai belum sich?”
“Maaf kau nggak bisa kesana. Aku disuruh jaga rumah.”
“Tapi, ini kesempatan kamu?”
“Maaf, tapi aku nggak bisa!” aku menutup telepon.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsamal.”
“Istika...”
“Ooo, yang kemarin,”
“Aku mau menjelaskan sesuatu.., sebenarnya aku itu adalah Ayahmu
nak. Maafkan Ayah telah meninggalkanmu disini, tinggal bersama nenek.
“Apa maksudnya..?
“Assalamu’alaikum, Istika.. Kau bersama siapa?” itu suara Ibu.
“Waa...”
“Apa...Irul.., buat apa kau kemari??”
“Bu, aku ingin menjemput anakku bu?” dia memanggilnya Ibu.
“Ibu sudah pulang??” tanyanya pada ibu.
“Dompet Ibu ketinggalan. Istika, sejak kapan kau mengenal orang
ini??”
“Memangnya dia siapa Bu?” tanyaku pada Ibu lagi.
“Aku Ayahmu nak, dan sekarang saatnya kau ikut dengan Ayahmu!!” Dia
membujukku.
“Baiklah.. kalau kau ingin bersamanya aku perbolehkan, dan
sekarang,, pergi dari sini!!”
“Baiklah, ayo kita pergi nak,” dia meraih tanganku dan menarikku
menuju mobil.
****************************************************
Ayah. Dia telah menjelaskan semuanya padaku. Aku berkata pada Ayah,
“Hat-hati Yah,”
“BRAK!!!”
Aku membuka mataku perlahan, aku berfikir pasti ini di rumah sakit.
Perlahan-lahan kau melihat seberkas cahaya... dari mana??”
“AYAH, dimana kau...???