Anda di halaman 1dari 9

PANGGILAN

TERAKHIR
(THE LAST CALL)
oleh Rian Kurniawan Harahap
DI PANGGUNG HANYA ADA TRAP, EMBER DAN KURSI, SEPERTI DI SEBUAH
GUDANG PENYEKAPAN.

Tidak … tidak… pergi! Tidak, apa aku baru saja bermimpi? Tidak ada yang mendengarku.
Kalian siapapun yang diluar sana. Apabila mendengar suaraku. Buka ikatanku! Aku tidak mau
tinggal disini lebih lama. Tolong aku! Sia-sia, saja. Oh baiklah, aku akan coba ikatan ini.
Bukankah aku pernah belajar simpul sewaktu sekolah. Tetap tidak bisa! Gunting, ya gunting ini
pasti bisa membuka ikatanku!

MEMBUKA IKATAN TANGAN, TUTUP KEPALA DAN KAKI

Pas sekali! Syukurlah. Aku bisa keluar dari ikatan ini. Mereka pasti sedang keluar untuk
menangkapi orang-orang lain yang berseberangan dengan mereka. Kosong, tidak ada orang.
Hanya aku sendiri, atau memang hanya aku targetnya. Satu-satunya orang yang harus diikat dan
dibisukan agar tidak bersuara lagi. Dibungkam dengan tali temali ini. Mereka lupa, kalau
pekerjaanku adalah memintal tali-tali menjadi simpul untuk mengikat jaring-jaring. Sebentar,
sepertinya aku berada di sebuah gudang tua, jauh dari pemukiman. Aku tidak mendengar suara
apapun disini. Kedap suara. Jauh sekali. Hebat juga mereka menjauhkanku dari suara orang-
orang kampungku. Suara yang kudengar setiap hari dari terbit matahari hingga terbenam. Disini,
aku tak pernah lagi merasakan sinar matahari. Aku tak tahu pagi, siang atau malam. Yang jelas,
aku diberi makan tiga kali dalam sehari. Itu katanya. Aku hitung, sudah sekitar sembilan kali
makan. Itu berarti aku disini sudah tiga hari.

MENGAMBIL NAPAS PANJANG DAN MELIHAT-MELIHAT SEKELILING

MEMPERAGAKAN ADEGAN MENENTANG PEMBANGUNAN KELAPA SAWIT,


MENGAMBIL TOA

Pagi sampai siang itu kami berdemo, menolak dengan keras keinginan mereka. Saat itu aku
permisi ke istriku seperti biasa.

“Dik, aku pergi dulu ke kebun. Kalian jangan lupa kunci pintu kalau aku sudah pergi”

Ia mengangguk, entah firasat apa yang datang di pikiranku. Seperti biasa aku ambil beberapa
alatku, ya ada cangkul, caping dan beberapa bibit untuk kutanami. Aku berjalan seperti biasa,
tapi pikiranku tinggal di rumah. Dalam perjalanan waktu itu aku selalu melamun bagaimana
nasib kampungku. Aku mencangkul, beberapa lobang untuk kutanami bibit umbi-umbian.
Pangan kami bergantung dengan umbi-umbian. Belum lama aku mencangkul, tiba-tiba suara
Kucai terdengar, ia adalah seorang seorang anak muda pemberani yang selalu berjaga di pos
depan kampung.

“Bang! Anu bang!” (menjadi KUCAI)

“Ada apa?”

“Alat berat itu akhirnya datang juga”

“Panggil semua orang kampung, kita harus membuat pagar hidup. Biarlah kita mati tapi
kampung ini tetap hidup”

Aku melihat Kucai berlari sangat kencang. Orang-orang picik itu harus dilawan.

(SAMBIL MENENTENG CANGKULNYA BERANGKAT)

Pagi hari itu aku masih ingat, bersama orang-orang kampung kami melakukan demonstrasi tepat
di depan mesin dan alat berat yang baru sampai di pintu kampung.

Kami tidak sepakat dengan pembangunan kebun kelapa sawit yang akan dihadapkan pada tanah-
tanah ulayat kampung kami. Kami lahir dari sawah-sawah tadah hujan, dari ladang-ladang umbi
dan jagung. Jangan tuan, mentang-mentang punya uang banyak lalu semena-mena terhadapa
kami warga kampung. Kami protes! Tidak ada yang boleh mengambil sepetak tanah sawah kami
hanya untuk kepentingan orang-orang kaya seperti kalian. Tidak memiliki nurani.

“Hei, Tuan jangan ribut! Ini sudah ditandatangani oleh pihak berwenang. Tanah ini adalah tanah
kami dan akan dibangun …” (menjadi kontraktor proyek)

Diam!

MENGAMBIL SEBUAH KARTON DAN MENULIS TUNTUTAN AKSI

Kami orang melayu tidak akan menjual sepetak tanah kami apapun ceritanya titik!
“Saya juga orang melayu, kita sama-sama melayu ini juga demi kemaslahatan ekonomi
kampung. Kalau ini berhasil, tentunya orang-orang kampung akan mendapat pekerjaan yang
layak juga kan?” (menjadi kontraktor proyek)

Persetan dengan pekerjaan! Kami tidak butuh iming-iming pekerjaan. Ini adalah satu-satunya
harta yang kami miliki. Saya sebagai satu-satunya generasi yang tertinggal di kampung ini.
Menolak apapun yang kalian lakukan! Apapun dalihnya, mau reboisasi, industri, hilirisasi
apapun itu. Kami memang orang kampung, tidak mengerti dengan istilah-istilah yang kalian
gunakan. Itulah gunanya kami menjadi orang kampung. Kalau saja kami jadi orang kota seperti
kalian. Mungkin kampung ini sudah hilang dari peta.

“Ayolah, kami sudah sediakan beberapa rumah di kampung sebelah, dekat dengan jalan besar.
Akses pendidikan dan kesehatan. Tidak akan ada lagi orang kampung yang mati karena
terlambat sampai ke rumah sakit. Bukankah itu kabar gembira? Dan tentunya ada beberapa
amplop uang yang sudah kami siapkan sebagai pegangan, ya minimal cukup untuk hidup satu
tahun lah.” (menjadi kontraktor proyek)

Bisa dibayangkan? Sebuah kampung yang kami miliki dengan enaknya diubah dan ditukar
guling menjadi sebuah kebun sawit. Ini sungguh perbuatan keji kepada orang-orang kampung.
Jangan sangka kami sebagai orang kampung tak punya nyali. Bagaimana pula nasib orang-orang
tua yang sedang memanggul hasil panennya. Senyumnya merekah, oh tidak! Ini tidak boleh
terjadi.

(MENGGULUNG LENGAN BAJU)

Tuan-tuan yang terhormat, kami menolak apapun yang tuan tawarkan ke kami! Jangan sampai
rasa hormat kami hilang kepada tuan!

(SUARA SIRINE POLISI)

Suara itu muncul, mereka pun bubar tunggang langgang. Kami benar, mereka yang salah. Kami
berani mereka tak punya nyali. Kami pun bubar, kembali ke rumah masing-masing.

“Jangan sampai ada yang datang lagi! Semuanya tetap berjaga!”

Aku berjalan pulang. Aku sudah letih. Tapi mata ini tak boleh tidur.
“Assalamualaikum. Aku pulang Dik!”

“Lama betul abang tak balek dari mana abang”

“Buatkan aku kopi panas! Aku tak boleh tidur!”

Aku melihat matanya yang berbeda malam itu. Ia menyuruhku istirahat berulang kali. Aku
melihat anakku sudah tertidur pulas. Tapi aku tak bisa tidur, aku harus tetap terjaga. Kampung
ini harus dijaga. Sampai akhirnya ia pun rela kusuruh untuk berangkat tidur duluan. Aku sendiri
di sini ditemani secangkir kopi. (MELIHAT WAJAH ANAK DAN ISTRINYA SEDANG
TIDUR)

(MENGHELA NAPAS PANJANG)

Tak banyak yang aku ingat, malam itu kejadian itu datang tiba-tiba. Hanya ada aku dan suara
teriakan orang-orang kampung. Suara anak dan istriku. Oh, dimana mereka? Pasti mereka sedang
mencariku, atau mereka sudah datang ke kuburan mencari mana kuburanku. Masih terngiang di
telingaku, suara-suara mereka menjerit. Malam itu mereka datang berbondong-bondong.

Aku kaget dan heran dengan wajah Ustad Soleh yang datang malam itu ke rumahku. Ia yang
rajin shalat dan mengajar anak-anak mengaji malam-malam harus ngos-ngosan berlari lalu
mengetuk-ngetuk pintu rumahku.

MENGETUK PINTU RUMAH

“Assalamulaikum… Assalamualaikum.” (menirukan Ustad Soleh)

“Waalaikumsalam”

Aku buka pintunya. Dingin wajah Ustad Soleh dimataku malam itu. Memang dia calon penghuni
surga sementara aku berkubang dosa.

“Ada apa? kenapa terburu-buru. Bukankah hari ini bukan jadwal mengaji Daus? Ya, Daus adalah
anakku paling besar dan dia mengaji pada ustad Soleh.

“Pak Sobri! Bapak harus lari dan berangkat pak. Mereka datang!” (menirukan Ustad Soleh)
Saat itu aku heran dengan ucapan Ustad Soleh, ini rumahku kemana aku harus berlari. Mengapa
pula aku harus lari malam itu?

“Pergilah Pak, mereka sudah menyewa preman untuk menculik Bapak! Jika bapak tidak pergi,
maka orang-orang akan kehilangan sosok Bapak di kampung ini.” (menirukan Ustad Soleh)

Biadab! Berani sekali orang-orang itu datang ke rumahku. Aku takkan mundur. Sejengkal pun
aku takkan surut. Aku sebagai seorang melayu akan mempertahankan apapun yang kumiliki.
Sejengkal tidak akan kujual, sehasta tak akan mundur. Aku adalah melayu. Aku melihat Tuah
menjadi laksamana yang tidak takut apapun. Konon hanya lanun, siapapun yang hendak
menderhaka sultan akan disikat habis olehnya. Aku harus disini berdiri sebagai seorang melayu.
Siapa mereka? Aku tidak takut!

Aku tahu ustad Soleh ingin menyelematkanku dari apa yang tidak diinginkan terjadi. Ia ingin aku
selamat. Apalagi ia tahu kalau aku adalah satu-satunya corong suara yang berani meneriakkan
perlawanan.

“Tuan, saya mohon! Mereka sudah dekat, tak lama lagi mereka akan sampai. Lebih baik tuan
pikirkan keselamatan tuan dan keluarga tuan.” (menirukan Ustad Soleh)

Aku melihat tatapan masa ustad soleh malam itu, dia benar-benar tulus. Aku tidak boleh
bergerak. Disini adalah tanah kelahiranku.

Sekarang pergilah ke satu tempat, bawalah mereka anak dan istriku. Selamatkan mereka
sementara aku biarlah disini, bersama warga lain yang akan menghadapinya.

(IA BERLARI MEMBANGUNKAN ANAK DAN ISTRINYA)

Pergilah Dik, pergillah Nak, nanti Abah akan menyusul kalian. Abah janji.

Aku memeluknya lama sekali, seperti sebuah pelukan terakhir yang dititipkan malam kepadaku.
Anakku, aku melihat tubuhnya yang baru saja bangun, masih mengantuk. Ia tak tahu apakah ini
pelukan terakhir tapi ia belum sadar dengan apa yang terjadi. Aku memeluknya dan mengatakan
jadilah melayu sejati yang tak kenal rasa takut, bersebati dengan harga diri.

Mereka berlalu pergi, sementara aku terus menatapnya hilang jauh dari tatapan mataku.
Suara-suara itu datang dengan cepat. Derap langkah kaki mereka, lebih dari satu orang yang
datang ke rumahku. Oh, apakah ini malam terakhir yang kupunya sebagai seorang melayu.
Tidak! Aku tak boleh gemetar, aku tak gentar. Mau satu atau pun seribu ia tetap manusia.
Mereka adalah lawan yang berselimut kawan.

(BERSIAP MENGAMBIL TOPENG SEBAGAI PENCULIK)

“Selamat malam, apakah ada orang di dalam?” (menirukan penculik)

Pintunya tidak dikunci. Ayo kita masuk saja. Wah, tuan kebetulan sekali. Kami ingin mengajak
tuan untuk bernegosiasi terakhir kalinya. Apakah tuan bersedia? Kami datang kesini dengan niat
baik!

Tengah malam buta kalian bilang niat baik? Tidak! Biadab! Daku tak kan berpantang mundur,
sekali layar sudah terkembang menolak, tak ada cerita bagi kami menyesal mundur.

Ternyata yang datang malam itu lebih dari dua puluh orang, mereka mengelilingiku, aku
mencoba melawan.

(TERJATUH DAN KALAH, DISERET)

Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa. Malam itu aku melihat seseorang yang berdiri disana tapi tak
berani memukul dan menendangiku. Aku seperti mengenalinya, saat aku melewatinya aku buka
topengnya dan ternyata ia adalah Kucai. Ternyata di dalam kampungku aku sedang melawan
kawan sendiri. Ia telah berubah demi segepok uang. Aku tatap matanya sembari diseret dan
dipukuli.

(BERTERIAK)

Tidak, tidak, aku tidak akan menjual, sekali menolak tetap menolak!

Ya, semenjak malam itu hingga kini aku masih berada dalam sekapan mereka. Orang-orang
suruhan yang datang dengan topeng ke rumahku. Aku diculik, entah sampai kapan aku akan
bertahan. Mereka terus menanyaiku dan membuatku jera. Menyuruhku menandatangani
dokumen persetujuan agar hutan ini diubah menjadi lahan kelapa sawit. Aku menolak!

(KEMBALI DUDUK DI KURSI)


Sudahlah, jangan paksa aku! Aku tidak akan mengikuti apa yang kalian mau. Ya tendanglah aku,
terus, biarkan darah melayuku tumpah untuk tanah kelahiranku.

(MEMBENAMKAN KEPALANYA KE DALAM EMBER BERISI AIR)

Tidak, tidak akan terjadi. Apapun itu tidak akan pernah terjadi sampai kiamat sekalipun.

(KEMBALI MEMBENAMKAN KEPALANYA KE DALAM EMBER BERISI AIR)

Bunuhlah aku! Tenggelamkan aku dalam air kerakusan kalian. Aku tak akan rela air kami yang
bersih kalian kotori dengan keserakahan.

(KEMBALI INGIN DIBENAMKAN TAPI TIDAK JADI)

Bukalah, topengmu! Aku tahu kau Kucai. Jangan takut denganku. Kau yang punya kuasa
sekarang bukan. Kau punya segalanya. Uang dan bisa memilih perempuan mana saja yang ingin
kau dapatkan. Tega kau, melakukan itu padaku. Kita bersama-sama berjuang di barisan paling
depan. Menantang siapa saja yang berani mengambil sejengkal tanah kita harus berlawanan
dengan kita. Tapi, malah kau yang mengkhianati perjuanganku. Melayu seperti apa kau Kucai?
Tatap mataku, tidak kah kau malu dengan kemelayuanmu. Kau tega menjual apa yang
ditinggalkan oleh nenek moyangmu. Kau tak malu dengan Hang Tuah? Mungkin kalau ia masih
ada hari ini, ia akan meludahi wajahmu.

Apa? karena uang? Biadab tidak semua di dunia ini dihargai dengan uang. Ada harga diri dan
marwah yang lebih besar daripada uang itu sendiri. Kau harus sadar bahwa sekarang orang-orang
di kampungmu sedang menunggu untuk diusir, karena orang-orang sepertiku sudah dihilangkan
dari peta dan kau sendiri yang menghilangkannya. Bukan begitu (TERTAWA)

Ia datang ke arahku. Ia mendekatkan tubuhnya kepadaku. Ia selipkan gunting di bawahku. Ia pun


pergi dan tak pernah kembali lagi. Meski ia memakai topeng, tapi aku tahu benar wajah Kucai
yang sedih dibaliknya. Gunting itu adalah pesan terakhir Kucai bagiku.

Ya, kini aku tak lagi dalam ikatan, Kucai telah melepaskanku walaupun hanya dengan
memberikanku gunting.

(MENGHELA NAPAS)
Aku sangat rindu anak dan istriku. Dimana ia sekarang? Apakah mereka sedang menungguku?
Atau mereka sudah membacakan doa-doa di rumah atas kematianku? Entahlah, aku pun tak tahu
harus melakukan apa lagi. Mungkin sebentar lagi mereka akan datang membawa pimpinannya
dan memberondongkan peluru ke seluruh tubuhku, lalu aku dicincang dan dibuang ke sungai-
sungai. Aku telah ikhlas! Aku bersiap mati dalam perjuangan, bukankah melayu itu bangsa yang
terus berjuang? Ya, aku siap mati dalam keadaan apapun. Hanya saja andai saja aku mati, Istri
dan Anakku harus tahu. Sehingga mereka tak terlalu berharap dengan kepulanganku. Sebab,
kepulangan terbaik itu adalah pulang ke Maha Pencipta.

(SEKETIKA TERSENTAK) Siapa itu? Suara langkah kaki datang mendekat. Banyak sekali
yang datang. Tidak aku, harus bersembunyi. Bersembunyi pun aku mati, lebih baik aku berdiri
tegak menantang dan memandang wajah mereka satu demi satu. Aku harus berdiri!

(PINTU DIDOBRAK)

Tembak aku, tembak!!! Mengapa kalian tidak menembak? Aku sudah siap mati! Kucai? Dan
Polisi …

Aku baik-baik saja, tidak kurang satu apapun. Kucai … (SAMBIL MEMELUKNYA)

Begitulah, aku tak tahu dengan garis perjuangan yang sedang aku lakukan. Sementara, Kucai
sedang berkonflik dengan dirinya. Aku melihat wajahnya dan mengatakan bahwa kau adalah
melayu. Banggalah dengan menjadi bangsa pejuang. Jangan pernah mengkhianati diri sendiri,
kampung dan bangsamu. Aku tak melihat wajahnya yang mengucurkan derasnya air mata, air
mata perjuangan yang masih panjang akan dilaksanakan. Pengorbanan darah dan air mata yang
belum tahu kapan akan selesai. Tugas kami hanya berjuang. Kampung itu adalah satu-satunya
yang kami punya. Kami tak ingin kami mati perlahan-lahan didera penyakit kerakusan. Ya,
Kucai, bawalah aku pulang. Aku sudah rindu dengan anak dan istriku. Perjuangan belum selesai.
Aku harus pulang segera, menyusun kekuatan. Masih banyak malam yang akan kita lalui. Masih
banyak panggilan-panggilan kampung yang akan mengajak kita turun melawan. Ini bukan
panggilan terakhir! Bukan!

(SUARA SIRINE POLISI MULAI BERDATANGAN DAN PANGGUNG MULAI KOSONG)

*SELESAI*

Anda mungkin juga menyukai