Anda di halaman 1dari 88

“Apakah kamu siap menanggung segala resikonya?

” tanya seorang pria tua berbaju serba


hitam.

“Siap.”

“Mungkin kamu akan senang, puas dan merasa menang, Nak. Tapi karma itu ada dan harus
kamu tanggung sendiri.”
“Saya mengerti.”

Suara tertawa terdengar. “Kamu memang busuk, maka aku pun siap melakukan hal ini
untuk orang busuk seperti dirimu.”

Asap putih mengepul, menari-nari di udara. Ruangan gelap, mata terpejam. Tanpa suara,
tanpa kata. Namun, wajah itu datang. Seram. Mengerikan. Pasti akan mengganggu tidurmu.
Tidak. Jangan biarkan ia masuk ke dalam mimpimu!

Selamatkan jiwamu dari busuknya dunia. Selamatkan hatimu dari para iblis. Teruslah
berpikir hal-hal baik. Ingatlah pada sang pencipta. Jagalah agar tetap terisi, jangan kosong!
Atau iblis datang dan mengisi kekosonganmu. Dia ada, di dekatmu. Hati-hati manusia!

Alunan musik terdengar merdu, memanjakan telinga siapa pun yang mendengarnya.

Segala hal yang kita lakukan dalam hidup ini, maka kelak akan kita pertanggungjawabkan.
Terutama soal mulut, jagalah mulutmu! Jangan sampai orang lain terluka akibat ucapanmu,
perilakumu, sikapmu. Atau karma buruk akan datang ke anak cucumu.

Tapi begitulah hidup manusia, selalu ada pilihan. Hitam putih, baik jahat, benar salah. Dan
saat iblis datang, yang salah akan menjadi benar untukmu. Lalu, apakah kamu rela bila sisa
hidupmu diisi dengan kebenaran yang salah?

Jika kamu marah, simpanlah kemarahanmu. Jangan terbujuk rayuan mereka, jangan sakiti
siapa pun, jangan pernah bersekutu dengan mereka!

***

Suatu pagi yang indah, daun-daun beterbangan dari atas pohon. Tertiup semilir angin yang
membawa kesejukan ke seluruh duni. Burung-burung pun riang beterbangan, berpindah
dari satu pohon ke pohon lain. Di beranda rumah itu, nenek duduk dengan segelas teh
hangat di meja kecil. Kursi yang ia duduki sudah cukup tua, tapi begitulah kesukaan nenek.
Senang mengkoleksi barang antik. Sampai kini dirinya pun menjadi antik pula.

Seorang laki-laki paruh baya lewat tepat dengan rumahnya. Langkahnya kemudian
berhenti saat melihat Nenek sedang duduk di beranda rumahnya. “Permisi, Nek,” sapanya.

“Warto? Kamu mau ke mana?” tanya Nenek.

“Ke warung makan, Nek. Mau buka.”

Nenek pun mengangguk pelan. “Oh, warung makanmu ya? Sukses ya, warungmu ramai
akhir-akhir ini.”

“Ah enggak, lebih ramai warung makan Nenek. Dari dulu sampe sekarang gak pernah sepi,
semua orang yang ke sini pasti mampirnya ke rumah makan Nenek.”

“Ah, bisa aja.”

“Mari, Nek. Saya duluan ya.” Pria bernama Warto itu pun kemudian pamit dan lanjut
berjalan.

Nenek memandangi pria itu sambil tersenyum. Lalu perlahan, senyumannya memudar.
“Palsu,” gumam Nenek dengan wajah datar.

Dialah Nenek Murni, seorang yang bertahun-tahun menjalankan usaha warung makan. Kini
usahanya itu telah pindah tangan kepada anak tunggalnya. Saat di masa jayanya, warung
makan Nenek Murni menguasai jalan depan kampungnya. Selalu ramai dan jadi sasaran
para warga yang ingin yang perutnya lapar. Hingga bertahun-tahun berlalu, kini ia
beristirahat di usianya yang sudah senja.

“Sepertinya ada yang mau bertamu, dia sudah mau datang, kah?” gumam Nenek.

Dari beranda rumah, sebuah senyuman pun terukir di wajah sang nenek. Semakin
memperjelas kerutan di kulitnya. Nenek lalu memegang rambutnya yang sudah memutih,
mencabutnya satu helai dan memasukkannya ke dalam mulut. Nenek pun menelan sehelai
rambut itu. Matanya lalu menatap ke depan, begitu kosong dan hampa tanpa seorang pun
yang bisa ia sapa.
“Apakah kamu siap menanggung segala resikonya?” tanya seorang pria tua berbaju serba
hitam.

“Siap.”

“Mungkin kamu akan senang, puas dan merasa menang, Nak. Tapi karma itu ada dan harus
kamu tanggung sendiri.”
“Saya mengerti.”

Suara tertawa terdengar. “Kamu memang busuk, maka aku pun siap melakukan hal ini
untuk orang busuk seperti dirimu.”

Asap putih mengepul, menari-nari di udara. Ruangan gelap, mata terpejam. Tanpa suara,
tanpa kata. Namun, wajah itu datang. Seram. Mengerikan. Pasti akan mengganggu tidurmu.
Tidak. Jangan biarkan ia masuk ke dalam mimpimu!

Selamatkan jiwamu dari busuknya dunia. Selamatkan hatimu dari para iblis. Teruslah
berpikir hal-hal baik. Ingatlah pada sang pencipta. Jagalah agar tetap terisi, jangan kosong!
Atau iblis datang dan mengisi kekosonganmu. Dia ada, di dekatmu. Hati-hati manusia!

Alunan musik terdengar merdu, memanjakan telinga siapa pun yang mendengarnya.

Segala hal yang kita lakukan dalam hidup ini, maka kelak akan kita pertanggungjawabkan.
Terutama soal mulut, jagalah mulutmu! Jangan sampai orang lain terluka akibat ucapanmu,
perilakumu, sikapmu. Atau karma buruk akan datang ke anak cucumu.

Tapi begitulah hidup manusia, selalu ada pilihan. Hitam putih, baik jahat, benar salah. Dan
saat iblis datang, yang salah akan menjadi benar untukmu. Lalu, apakah kamu rela bila sisa
hidupmu diisi dengan kebenaran yang salah?

Jika kamu marah, simpanlah kemarahanmu. Jangan terbujuk rayuan mereka, jangan sakiti
siapa pun, jangan pernah bersekutu dengan mereka!

***

Suatu pagi yang indah, daun-daun beterbangan dari atas pohon. Tertiup semilir angin yang
membawa kesejukan ke seluruh duni. Burung-burung pun riang beterbangan, berpindah
dari satu pohon ke pohon lain. Di beranda rumah itu, nenek duduk dengan segelas teh
hangat di meja kecil. Kursi yang ia duduki sudah cukup tua, tapi begitulah kesukaan nenek.
Senang mengkoleksi barang antik. Sampai kini dirinya pun menjadi antik pula.

Seorang laki-laki paruh baya lewat tepat dengan rumahnya. Langkahnya kemudian
berhenti saat melihat Nenek sedang duduk di beranda rumahnya. “Permisi, Nek,” sapanya.

“Warto? Kamu mau ke mana?” tanya Nenek.

“Ke warung makan, Nek. Mau buka.”

Nenek pun mengangguk pelan. “Oh, warung makanmu ya? Sukses ya, warungmu ramai
akhir-akhir ini.”

“Ah enggak, lebih ramai warung makan Nenek. Dari dulu sampe sekarang gak pernah sepi,
semua orang yang ke sini pasti mampirnya ke rumah makan Nenek.”

“Ah, bisa aja.”

“Mari, Nek. Saya duluan ya.” Pria bernama Warto itu pun kemudian pamit dan lanjut
berjalan.

Nenek memandangi pria itu sambil tersenyum. Lalu perlahan, senyumannya memudar.
“Palsu,” gumam Nenek dengan wajah datar.

Dialah Nenek Murni, seorang yang bertahun-tahun menjalankan usaha warung makan. Kini
usahanya itu telah pindah tangan kepada anak tunggalnya. Saat di masa jayanya, warung
makan Nenek Murni menguasai jalan depan kampungnya. Selalu ramai dan jadi sasaran
para warga yang ingin yang perutnya lapar. Hingga bertahun-tahun berlalu, kini ia
beristirahat di usianya yang sudah senja.

“Sepertinya ada yang mau bertamu, dia sudah mau datang, kah?” gumam Nenek.

Dari beranda rumah, sebuah senyuman pun terukir di wajah sang nenek. Semakin
memperjelas kerutan di kulitnya. Nenek lalu memegang rambutnya yang sudah memutih,
mencabutnya satu helai dan memasukkannya ke dalam mulut. Nenek pun menelan sehelai
rambut itu. Matanya lalu menatap ke depan, begitu kosong dan hampa tanpa seorang pun
yang bisa ia sapa.
Kala hari telah berakhir, hari esok bagaikan kado yang kita tunggu-tunggu. Kita tak pernah
tahu apa isinya dan apapun itu pasti akan menjadi hal baru bagi kita. Hanya saja kado
selalu memberikan hal-hal yang kita suka, tapi hari esok tidak. Ia misterius dan tak bisa
ditebak. Sore ini matahari tenggelam diiringi rintik hujan yang mulai reda, setelah ia terus
turun membasahi tanah sejak beberapa jam lalu. Rasanya seperti matahari terbenam saat
siang hari.

Dua burung gereja tampak nyaman di atas ranting pohon yang begitu lesu, pijakan kaki
burung itu membuatnya melengkung. Ditambah tetes-tetes air hujan yang mengalir dari
daun, melewati kayu tipis itu dan terjun ke bawah. Menghantam tanah dan menciptakan
bunyi kecil yang sering kita dengar. Tiba-tiba sebuah kaki bersepatu hitam datang dan
menginjak genangan air itu.

Seseorang berjalan di sebuah jalan kecil dengan lebar lima meter dan rumah-rumah yang
berjajar rapi di pinggirnya. Sosok berbaju hitam itu lalu membuka gerbang tua yang sedikit
karatan, ketika dibuka menimbulkan suara berdecit yang khas. Kakinya melangkah masuk
ke sebuah halaman yang tak terlalu besar. Di kiri dan kanannya rumah tetangga berdiri
begitu dekat. Ia masuk ke dalam beranda rumahnya.

Badannya lalu duduk di kursi kecil, ia angkat satu kakinya. Sepatu yang seharian ia pakai
lalu dilepas olehnya. Begitu juga dengan sepatu di kaki yang satunya. Pria dengan rambut
rapi yang disisir ke belakang itu membuka pintu. Wajahnya berubah, dahinya mengkerut
saat ia melihat ke dalam. Tampak suasana begitu hening, sunyi dan anehnya di saat senja
begini penghuni belum menyalakan lampu.

Belum pernah rumahnya segelap ini saat malam akan datang. Pria itu menutup pintu,
berjalan masuk. Langkahnya pelan, kepalanya menoleh ke berbagai arah. Suara sepatunya
yang membentur lantai memecah keheningan rumah. Dirinya memeriksa berbagai tempat.
Namun, tak ia temukan satu pun tanda-tanda keberadaan orang.

“Mama? Kakak? Adek?” panggilnya sambil berjalan ke arah tombol lampu. Seluruh ruangan
pun menjadi terang saat suara tangannya menekan tombol di dinding. Lampu menyala
menyebar cahayanya. Suasana tetap sepi seperti saat ia datang. “Adek?” panggilnya lagi.

Tiba-tiba, terdengar suara dari arah kamar mandi. Suara yang sontak membuat wajahnya
semakin bingung. Ia berjalan melangkah ke arah suara. Suara tangisan seorang wanita itu
terdengar semakin keras di telinganya. Begitu sedih dan lirih. Ia melewati dinding yang
membatasi antara ruang tengah dengan dapur dan kamar mandi. Pria itu menelan
ludahnya saat dirinya tinggal beberapa meter di depan kamar mandi. Ada rasa bimbang di
wajahnya, rasa ragu akan atas apa yang ia lakukan ini.

Tapi mau tak mau pria itu harus ke sana dan memeriksa langsung. Ia adalah kepala
keluarga sekaligus pemilik rumah ini. Sambil menghela nafas, ia buka perlahan pintu itu.
Tiba-tiba sebuah suara nyaring hampir saja membuatnya lari. Suara itu begitu memekik
telinga, sampai-sampai ia mundur beberapa langkah dan menabrak rak piring. Suara piring
beradu pun membuat suasana semakin ricuh.

Seorang anak kecil berusia lima tahun lalu berhenti meniup terompet, benda yang sejak
tadi begitu nyaring di telinga. “Selamat ulang tahun, Ayah!” ucap seorang perempuan yang
berdiri dengan setelan baju terusan panjang. Sebuah kue dengan lilin dan hiasan indah
tampak di tangannya.

“Selamat ulang tahun!” Tiga orang anak-anaknya lalu keluar dari kamar mandi dan
memeluk ayah mereka. Sang ayah memegang kepala mereka satu-satu. Sementara istrinya
yang membawa kue ikut keluar bersama seorang wanita tua berambut putih yang
merupakan nenek mereka.

“Kalian itu kalo mau kasih kejutan gak gini dong? Masa ngumpetnya di kamar mandi?”
keluh ayah kepada mereka.

Mama lalu tertawa kecil, ia menyodorkan kue yang ada di tangannya. “Ayo tiup.”

“Tiup, Ayah!” kata Rara, anak pertamanya yang kini duduk di bangku SMA.

Niko yang berusia dua belas tahun dan Bobi si kecil yang tadi meniup terompet lalu meniru
Kakaknya. “Tiup! Tiup!”
Ayah lalu mendekatkan wajahnya ke arah lilin berbentuk angka empat puluh lima itu. Api
pun padam, semuanya ikut senang. Si kecil Bobi girang dan tak bisa menahan dirinya untuk
mencolek sedikit krim dari kue tersebut. Mama melangkah ke meja makan yang ada di
dekat dapur, perempuan dengan rambut dikuncir itu menaruh kuenya.
“Sehat terus ya, Rob,” ucap Nenek saat berjalan melewati Ayah.

“Ibu juga ya,” balas Ayah.

Malam itu menjadi malam yang istimewa, di hari ulang tahun ayah semuanya berkumpul
dengan pesta yang sederhana. Setelah kue dipotong, Bobi makan banyak sekali. Krim
putihnya sampai belepotan di mulut. Sesekali dirinya berebut potongan kue terbaik dengan
kakaknya Niko, tapi Rara dengan tenang memisahkan mereka. Mama dan ayah duduk
berdua sambil memperhatikan ketiga anak mereka, senyuman pun terukir diwajahnya.
Bahagia terpatri di hatinya.

Nenek duduk tak jauh dari mereka, ia tidak makan sama sekali. “Nenek takut kena penyakit
gula kaya temen Nenek,” ucapnya setiap kali ditawarkan makan kue. Aneh, padahal nenek
sehat dan tidak punya riwayat penyakit apapun di usia senjanya ini. Bahkan tahun ini
umurnya akan menyentuh angka tujuh puluh tahun.

Semua euforia itu berlangsung selama satu jam, meja berantakan oleh anak-anak mereka.
Bahkan Ayah yang sedang berulang tahun hanya makan satu potong saja. Sisanya ia
habiskan untuk melihat kebahagiaan anak-anaknya. Tawanya, candanya, obrolan polos
mereka.

“Sekarang, Ayah harus kasih doa. Harapan untuk ke depannya,” kata Rara sambil
membenarkan posisi duduknya.

Ayah lalu tersenyum. Matanya menatap ke atas, menangkap cahaya lampu yang etrang
benderang di langit-langit sana. Tangannya terlipat rapi di dada. Anak-anak
memeperhatikan wajahnya, menunggu kata apa yang akan keluar dari mulutnya. “Ayah
harap, Nenek sehat selalu dan panjang umur. Supaya bisa liat cucu-cucunya berhasil,
sukses punya banyak uang,” ucap ayah sambil menatap nenek dan anaknya secara
bergantian.

“Amin!” balas mereka secara bergantian.

Jam menunjukkan pukul delapan malam. Mama merapikan piring dan sendok yang
berantakan di meja. Gemerincing suara benda logam itu terdengar berisik saat tangan
mama menyatukannya ke dalam sebuah baskom plastik kecil. Kakinya lalu melangkah ke
arah wastafel. Hampir saja mama menjatuhkan baskom itu, ia kaget saat tiba-tiba nenek
sudah ada di wastafel sambil membersihkan piring.

Aneh karena sedari tadi tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Tidak ada langkah kaki,
tidak ada suara air dari keran. Tapi tiba-tiba dia sudah di sana. Piring pun sudah ada dua
yang bersih, tertata rapi di atas rak.

“Nek?” Mama mendekat sambil membawa baskom berisi sendok dan garpu di samping
wastafel. “Nenek kok turun lagi? Biar Irma aja yang bersihin semuanya, nenek ke atas aja,”
kata mama sambil melihat nenek. Wajah nenek datar, tangannya terus bergerak mengusap
piring-piring dengan spon kuning yang penuh oleh busa dari sabun.

Ia tidak menoleh, tidak juga melirik saat mama berucap. Apalagi membalas perkataannya,
ia terus saja mencuci piring mengabaikan Mama.

“Nek?” panggil Mama sekali lagi. Kali ini wajah mama berubah bingung, sedikit cemas
melihat sikapnya.

Setelah nenek selesai membersihkan satu piring yang ada di tangannya, ia langsung meraih
sebuah serbet. Tangan basah itu bertemu dengan serbet dan akhirnya kering seketika.
Nenek menoleh ke arah mama, sebuah senyuman muncul di wajah keriputnya. “Nenek ke
atas dulu ya,” ucapnya lalu berjalan meninggalkan mama sendiri.

“Iya, Nek,” jawab mama sambil memperhatikan nenek sampai ia naik tangga yang ada di
ruang tengah. Suara langkah kakinya terus terdengar hingga sampai di lantai dua. Mama
lalu mulai membersihkan piring dan sendok yang tersisa. Air keran ia buka lebih besar,
membuat volume air yang keluar bertambah. Tangannya lalu mulai memoles piring-piring
yang penuh dengan krim itu.

Nenek menapaki satu per satu anak tangga, di tengah tangga itu lalu belok ke arah samping.
Sesampainya di atas, ketiga cucunya sedang berkumpul di balkon yang tepat di depan
tangga. Sedangkan di kiri adalah kamar nenek dan di kanan ada dua kamar. Satu milik Rara
dan satu lagi milik Niko dan Bobi yang tidur sekamar.

“Nek, sini!” panggil Niko saat melihat nenek datang.


Akan tetapi Nenek tidak bergeming, langkah kakinya tidak berhenti. Wajahnya datar
mengabaikan sang cucu. Ia berjalan menuju pintu, tangannya memegang gagang pintu dan
segera masuk seolah tidak mendengar ajakan Niko.

“Eh, jalan!” kata Rara yang kemudian menepuk bahu Niko. Anak kedua itu tersadar dari
lamunannya sambil melihat kamar Nenek. Ia lalu mengambil satu pion catur yang
kemudian dipindahkan ke posisi lain.

Sementara itu, si kecil Bobi duduk bersandar di pagar balkon sambil memandangi ikan hias
yang ia pelihara. Ikan oranye itu bergerak dengan siripnya yang indah, seolah menari-nari
di dalam air. Pesonanya terpancar memanjakan mata Bobi.

Mata anak itu lalu berpindah saat ada satu objek yang mencuri perhatiannya. Kepalanya
berputar ke arah samping. Ia memandangi halaman depan rumahnya, tampak ada sesuatu
yang mencuri perhatiannya. Pupil matanya fokus ke satu titik. Ia melihat seorang laki-laki
tanpa busana berdiri di depan rumahnya, rambutnya panjang tak terurus dan badannya
kotor. Mirip orang gila yang berkeliaran di jalanan. Tangannya memegang sebuah kantung
plastik.

Tangannya lalu berkali-kali mengeluarkan sesuatu dari dalam kantung itu. Kemudian ia
lemparkan benda yang mirip tanah ke arah rumah mereka. Mata Bobi terus
memperhatikan orang itu, laki-laki telanjang terus saja melemparkan tanah ke arah
rumahnya. Tanpa ada tujuan yang jelas.

“Eh, liat tuh? Ngapain dia?” tanya Bobi sambil menunjuk orang itu. Ia lalu menaruh toples
berisi ikannya di lantai dan berdiri memperhatikan lebih jelas. Mendengar perkataan Bobi,
kedua kakaknya ikut berdiri. Wajah mereka tampak penasaran, buru-buru mereka
mendekat dan melihat ke arah yang ditunjuk Bobi.

“Apaan sih? Gak ada apa-apa juga,” kata Niko.

“Iya, gak ada apa-apa, Dek,” tambah Rara.

Bobi menoleh ke arah kakak-kakaknya. “Beneran lho itu, liat deh!” Saat Bobi kembali
menoleh ke arah orang tadi, tiba-tiba orang itu sudah berdiri menghadap ke arah balkon.
Wajahnya menghadap dan menatap Bobi. Matanya melotot, tapi anehnya Niko dan Rara
tidak melihat.
“Takut!” Bobi langsung mengambil toples ikannya dan berlari masuk ke dalam kamar.
Kedua kakaknya terdiam melihat tingkah adiknya itu, mata mereka kembali mempertegas
ke arah yang ditunjuk Bobi. Tetap tidak ada apa-apa di sana.

“Apaan sih, Bobi? Gak ada apa-apa juga,” kata Rara sambil kembali duduk di dekat papan
catur.

“Iya orang sepi begitu,” tambah Niko.


Mereka melanjutkan permainan mereka selama satu jam, sampai akhirnya mama naik ke
lantai atas dan membubarkan mereka saat sudah memasuki jam tidur. Anak-anak itu pun
menurut. Pintu balkon di tutup, lampu-lampu dimatikan. Keluarga itu pun terlelap dalam
sunyinya malam, bersiap untuk hari esok yang akan datang. Hari esok yang bagaikan kado
dengan isi yang misterius.

Rumah Pak Robi ramai hari itu juga, beberapa jam setelah nenek menghembuskan nafas
terakhir. Para warga sudah ramai-ramai mendatangi rumah duka. Para wanita tampak
sibuk menyiapkan rangkaian bunga. Laki-laki membuat batu nisan sementara
menggunakan sebuah kayu yang diukir sesuai dengan nama dan identitas lainnya
mengenai almarhumah.

Beberapa orang lainnya gotong royong membangun tenda seadanya dengan bambu-bambu
tebal yang menyanggah sebuah terpal untuk melindungi para tamu yang datang dari
teriknya matahari.

Hari ini merupakan pesta bagi keluarga Pak Robi. Pesta air mata yang tidak bisa mereka
sembunyikan. Kata-kata duka keluar dari mulut semua orang yang datang. Kursi-kursi
berwarna hijau sudah tersusun rapi di halaman depan rumah. Keranda dan tempat mandi
datang beberapa menit kemudian dengan dibawa beberapa anggota pengurus masjid
setempat.

Nenek terbaring lemas di ruang tengah. Dirinya tertutup kain batik berwarna  cokelat.
Wajah pucatnya dilapisi kain tipis transparan. Tangannya terlipat rapi di atas dada. Sanak
keluarga berkumpul mengelilinginya, beberapa tetangga mengaji membacakan ayat-ayat
suci. Beberapa lainnya berdzikir dengan khusyuk.

Ayah duduk bersandar di tembok, wajahnya masih tak percaya dengan kepergian nenek
yang begitu mendadak. Mata sembabnya jelas menunjukkan betapa pedih hatinya. Di
sampingnya mama duduk, kepalanya bersandar ke bahu ayah dengan raut wajah yang
sama. Menatap anak-anak mereka yang sedang mengaji di dekat jenazah sang nenek.

“Assalamualaikum!” Tak lama kemudian seorang berkacamata masuk ke dalam. Dengan


setelan sarung dan baju putih tangan panjang. Sebuah peci senada dengan baju terpasang
rapi di kepalanya. Di tangannya, ia menuntun seorang anak kecil berpakaian hampir sama.
Berusia lebih muda dari Bobi.

Laki-laki berusia lima puluh tahun itu menyalami satu per satu pelayat yang datang. Baru
kemudian duduk di samping Ayah dan Ibu. “Assalamualaikum,” ucapnya pelan.

“Wa’alaikumsalam, Pak Ustad,” jawab ayah sambil tetap menatap ke arah sang ibu yang
terbaring tak bernyawa. Pak Ustad melihat ke arah ayah menatap, sambil tersenyum ia
kembali menoleh.

“Yang sabar, Pak,” kata Pak Ustad yang duduk sambil memangku seorang anak.

Ayah menggelengkan kepala sambil menahan air mata. “Ibu saya itu, Pak. Gak punya
riwayat sakit apa-apa. Dia sehat selalu sampai di usia senjanya. Gak ada masalah sama
mata, telinga ataupun  tulang kaya orang tua pada umumnya. Dia sehat, bugar. Pola
makannya selalu dijaga. Tapi kenapa tiba-tiba dia meninggal begitu aja? Tiba-tiba ninggalin
kita yang belum siap ini, Pak?” kata ayah dengan nada sedih. Telapak tangan mama
menenangkannya, mengelus punggung ayah.

“Pak Robi, yang namanya kematian itu kehendak Allah. Emang bener, hidup sehat
menjauhkan kita dari penyakit. Tapi bukan berarti menjauhkan kita dari kehendak Allah.
Kita semua ini milik Allah, Pak Robi. Udah jadi hak Allah buat ambil kita kapan aja,” kata
Pak Ustad dengan suara pelan.

Ayah tidak menjawab lagi, masih dengan wajah yang sama ia menggeleng-gelengkan
kepala. Sesekali memejamkan mata dan mengatur nafasnya. Pikirannya masih kalut. Tak
terima dengan kepergian sang ibu.
Pak Ustad memperhatikannya, dan dengan jelas paham dengan apa yang dirasakan ayah.
“Pak Robi harus ikhlas,” ucapnya singkat.

Diam-diam, mata anak yang ada dalam pangkuan Pak Ustad menatap ke satu sudut di
dalam rumah. Pupil matanya fokus ke pojok ruangan, di mana terdapat lemari tua di sana
berisi barang-barang milik keluarga Pak Robi. Perlahan, anak itu mulai gelisah. Sesekali
menatap sang kakek yang tengah berbincang dengan Bu Irma istri Pak Robi.

Tangan kecil bocah itu lalu menarik pelan baju Pak Ustad. Membuatnya sesaat berpaling ke
arah sang anak. Saat berhasil mendapat perhatian kakeknya, anak itu berdiri dan
mendekatkan mulutnya ke telinga Pak Ustad.

“Ada ondel-ondel tuh, duduk di lemari,” bisik anak itu.

Sontak mata Pak Ustad, melirik ke arah lemari yang dimaksud. “Astaghfirullah,” gumamnya
pelan sambil memejamkan mata sejenak. Sedikit ekspresi kesal tampak di wajahnya.

“Adek,” panggil Pak Ustad. “Adek, keluar ya. Ada Najib di luar sama mamanya,” tambahnya.

Anak kecil itu mengangguk, lalu segera berjalan meninggalkan Pak Ustad dan keluar dari
rumah duka. Tangan Pak Ustad mengeluarkan sebuah tasbih dengan butiran-butiran kayu
yang cantik ditambah sedikit ukiran di beberapa sisinya. Jari-jemarinya mulai bergerak
memainkan tasbih, mulutnya komat-kamit berdzikir.

Sementara di luar, para anak-anak muda yang ditugaskan memasang tenda masih
kesulitan. Beranda rumah Pak Robi tidak cukup menampung para pelayat yang datang.
Ditambah para pelayat tidak mau duduk posisi di mana darah nenek tumpah. Walau sudah
dibersihkan, mereka mengaku masih mencium bau anyir dari lantai itu.

Mereka memilih duduk di kursi yang tertata rapi di halaman rumah, tapi cuaca yang panas
dan terik memaksa mereka untuk mendirikan tenda. Anak-anak muda itu sampai harus
naik ke atap bagian depan demi bisa mendirikan tenda dengan benar.

“Cil, tahan bentar! Gue iket nih,” kata seorang anak muda yang tengah mengikat tenda di
atas atap rumah Pak Robi. Seorang teman berdiri di bawah sambil memegangi batang
bambu yang berdirib tegak sebagai penyangga. Sesaat setelah merasa ikatan sudah
kencang, ia pun melepasnya.

Namun, setiap kali mereka berhasil memasang tenda, selalu ada angin besar yang langsung
merubuhkan kembali tenda mereka. Hal ini sudah terjadi berkali-kali dan membuat
mereka frustasi. Kali ini, angin kencang itu kembali datang. Lagi-lagi tenda roboh, kali ini
bambu seukuran lengan orang dewasa itu hampir saja mencelakai seorang pelayat yang
sedang duduk santai.

“Eh, yang bener aja lu! Kena kepala gue bisa mampus nih,” ujar pelayat itu sedikit marah
kepada anak muda yang sedang berdiri di atap.

“Yaelah, Bang. Suruh siapa tenda belom jadi udah duduk di situ. Bantuin kek,” balas si anak
muda dengan kesal. “Udahlah, capek gue gini terus. Dari tadi bikin kaga jadi-jadi mulu.
Emang setan nih angin! Sekarang aja kaga ada, entar mah kalo gue kelar bikin tenda nongol
lagi tuh,” keluh anak muda itu kepada salah seorang pengurus masjid.

“Bro, kalo di situ emang kaga bisa?” tanya si pengurus masjid sambil menunjuk ke arah
balkon yang berada di lantai dua. “Lu iket di pagernya bisa itu.”

Anak muda itu menoleh ke arah yang dimaksud. “Talinya kaga cukup, Bang! Kurang
panjang!” jawabnya.

Setelah melalui diskusi panjang, mereka tidak menemukan solusi terbaik untuk tenda ini.
Ditambah si anak muda yang berada di atap terus menerus mengeluh kepanasan. Membuat
mereka kesal dan akhirnya memutuskan untuk tidak mendirikan tenda sama sekali.

“Ibu-ibu, bapak-bapak. Kaga usah pake tenda, dari tadi roboh mulu. Panas dikit kaga apa-
apa dah, vitamin D. Yang penting kaga ujan,” kata salah satu pengurus masjid.

“Vitamin D pala lu soak, yang ada gosong kulit gue,” kata salah satu pelayat yang terpaksa
duduk di tengah panasnya terik matahari kala pagi menjelang siang itu. Beberapa pelayat
yang terpaksa duduk di tengah panas pun tampak menggerutu mengeluhkan tenda yang
tidak jadi didirikan.

Setelah azan zuhur berkumandang, jenazah yang sudah selesai dimandikan dan dipakaikan
kain kafan pun langsung dibawa menuju masjid. Nenek sudah masuk ke dalam keranda,
sebuah kain hijau dipasang menutupi keranda. Lengkap dengan hiasan rangkaian bunga
melati dan berbagai jenis bunga lainnya.

Beberapa orang mengangkat keranda termasuk ayah salah satunya. Bersama-sama mereka
berjalan meninggalkan masjid dan berjalan menuju pemakaman umum sambil terus
membacakan kalimat tauhid. Beberapa orang ada yang naik motor, sedangkan mama
bersama anak-anak telah lebih dulu berjalan menuju pemakaman saat jenazah disolatkan.

Langkah kaki beberapa orang pembawa keranda diikuti dengan para jemaah masjid mulai
memasuki jalan kampung. Sandal mereka beradu dengan genangan-genangan air bekas
hujan beberapa saat lalu. Pak Ustad memimpin di depan, tangan dan jari-jarinya tak henti-
henti memainkan tasbih. Matanya fokus ke depan. Di sampingnya, salah seorang pengurus
masjid membawa nisan.

Belum ada setengah perjalanan, para pembawa jenazah itu mulai kelelahan. Keranda yang
mereka bawa begitu berat. Seakan ada lebih dari satu jenazah di dalam sana. Ayah juga
merasakan hal yang sama. Bahu mereka terasa sakit menopang keranda yang beratnya
tidak wajar itu. Tapi, meski begitu tidak satu pun dari mereka berani mengeluh. Tapi mimik
wajah mereka tidak bisa disembunyikan.

“Oi, berat banget gak sih?” bisik salah satu pengangkat keranda yang buka suara.

“Stttt! Gak usah diomong, gak baik!”

Saat melewati sebuah rumah warga, kaca jendela memantulkan mereka yang tengah
mengangkat keranda. Tanpa ada yang sadar, dari pantulan kaca itu terlihat sosok
perempuan bergaun putih kotor dengan rambut berantakan tak terurus tengah duduk
manis di atas keranda yang membawa jenazah nenek sehingga menambah berat keranda
tersebut. Posisi wajahnya menghadap tepat ke arah Ayah.

Ketika melewati pertigaan pangkalan ojek, Pak Ustad menghentikan perjalanan beberapa
saat. Alhasil semuanya diam dan berdiri mengikuti perintah. Pria tua berkacamata itu
melihat sekitar.

“Pak, ada apa?” tanya salah satu warga.

“Tau nih, berat, Pak!” keluh salah satu pengangkat keranda.

“Kita lewat sana aja gimana? Lebih cepet sampe, hebat tenaga juga, kan?” Pak Ustad
menunjuk ke sebuah jalan yang melewati pemukiman warga.

“Yaudah gimana aja deh, saya ikut aja!”


Mereka pun akhirnya mengambil jalan lain yang dirasa akan lebih cepat membawa mereka
sampai ke pemakaman umum. Walau jalanan sedikit sempit karena bersebelahan dengan
rumah warga di sisi kiri dan kanan jalan.

Semua orang yang mendengar kalimat tauhid itu langsung keluar dan melihat keranda itu
melewati rumahnya. Bendera kuning yang dikibarkan jemaah memberi mereka petunjuk
siapa yang telah tutup usia.

Wajah Pak Ustad berubah jadi bingung saat melihat sebuah kayu besar menghalangi jalan
mereka. Ia kaget dan mempercepat langkahnya mendahului rombongan lainnya,
mendatangi seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berdiri di pinggir jalan yang
hanya memakai celana pendek. Wajah Pak Ustad sedikit cemas, laki-laki itu pun memasang
wajah yang sama.

“Pak? Ini gak bisa lewat sini?” tanya Pak Ustad kepada laki-laki itu.

“Enggak, Pak. Masih basah semennya, baru selesai ditambel tadi subuh sama anak-anak.
Apalagi kan tadi ujan, jadi ya masih basah,” jawabnya.

Melihat penghalang jalan itu, lagi-lagi rombongan pun berhenti. Para orang yang
mengangkut keranda mulai memasang wajah letih. Beberapa dari mereka bergantian
dengan orang lain. “Buset berat amat,” ucap salah satu jamaah masjid saat menggantikan
salah satu pembawa keranda.

“Bisa lewat sana, Pak. Lewat gang itu bisa tembus ke jalan gede.” Tangan laki-laki itu
mengarah ke sebuah gang yang menjadi penghubung ke jalan utama kampung. Gang itu
sendiri sepi, tidak ada motor atau apa pun yang menghalangi jalan. Di balik kacamatanya,
Pak Ustad menatap fokus ke dalam gang itu. Ia bisa melihat jelas ujung dari gang tersebut.

“Gimana, Pak? Puter balik?” tanya ayah yang sudah kelelahan menahan beban dari keranda.

“Wah, jauh dong kalo puter balik!”

“Lewat sini bisa, Pak. Nanti tembus ke jalan gede,” kata Pak Ustad sambil menunjuk sebuah
gang. Tanpa ragu, kakinya lalu melangkah memasuki gang itu. Para rombongan lalu saling
pandang satu sama lain. Dengan wajah bingung mereka bertanya-tanya. “Serius mau lewat
situ?” gumam salah satu dari mereka.

Mau tak mau, akhirnya mereka mengikuti saran dari Pak Ustad yang bahkan sudah
berjalan beberapa meter di depan. Gang itu hanya muat untuk dua orang saja, para
rombongan satu per satu masuk ke dalam gang. Bahkan para pembawa keranda bersusah
payah berjalan di dalam gang itu.

Ukurannya yang begitu sempit dan pas-pasan membuat mereka harus sedikit terjepit
dengan dinding rumah warga. Bahu mereka bergesekan dengan dinding rumah warga yang
kasar.

Setelah beberapa meter berjalan, para pembawa keranda untuk ketiga kalinya kembali
berhenti. Saat sebuah pipa saluran air milik warga menghalangi jalan mereka. Pipa air
berwarna putih itu terpasang di sisi kiri gang tersebut, terhubung dengan talang air di
pinggir genting rumah. Beberapa kali para jamaah membantu agar keranda itu bisa lewat.
Tapi tetap tidak bisa karena terhalang oleh pipa tersebut.

“Ya Allah,” ucap Pak Ustad sambil melihat pipa air yang menghalangi jalan itu.

“Dari awal udah salah ambil jalan sini,” kata salah satu warga yang ikut dalam rombongan.

“Bener kata gue, kan? Pemakaman almarhum ada yang mempersulit!” bisik warga lainnya.

“Iya, ada apa ini ya? Ya Allah, semoga gak ada apa-apa. Soalnya dari tadi kejadiannya aneh-
aneh.”

Sementara itu, ayah susah payah menahan berat keranda. Tubuhnya penuh keringat,
nafasnya mulai tak teratur. Mereka mencoba melewati pipa itu dengan sedikit
memiringkan posisi keranda supaya bisa muat.

“Pelan-pelan coba, pelan!”

Tiba-tiba, jenazah dalam keranda itu pun bergeser saat keranda menjadi miring. Bahkan
hampir saja jenazah di dalamnya terjatuh. Beruntung dua orang warga yang menyadari itu
langsung menahannya.

“Woi, hati-hati! Mau jatuh nih isinya!”


“Tahan dulu, tahan jangan sampe jatuh!”
Pak Ustad yang mulai ragu pun akhirnya buka suara. “Udah, udah! Kalo gak bisa jangan
dipaksa!” ujarnya.

“Gimana nih?” kata salah satu warga yang frustasi.

“Maaf, bapak-bapak. Mau gak mau, kita puter arah. Ambil jalan biasa aja,” ucap Pak Ustad
yang kemudian disambut dengan keluh kesah para rombongan yang hadir terutama
mereka yang ikut mengangkat keranda.

“Serius nih, Pak? Jauh lho!”

“Ya mau gimana lagi? Masa mau potong pipa punya orang, gak akan bisa kalo lewat sini."

Gundukan tanah bertabur bunga itu menjadi penanda akhir dari kehidupan Nenek, akhir
dari kebersamaan dari keluarga itu. Nisan yang berdiri di sana mencirikan rumah terakhir
bagi sang ahli kubur yang terbaring di bawahnya. Kaki-kaki para pelayat mulai berjalan
menjauh, tetapi Ayah dan sekeluarga masih di sana.

Tangan Ayah meraup bunga-bunga dari dalam plastik, dengan pelan ia menaburkannya di
atas tanah makam Nenek. Angin bertiup kencang, membuat dedaunan dari pepohonan
sekitar terbang menari di udara. Sebuah bunga kamboja jatuh tepat di atas makam Nenek.
Ayah masih belum ingin pulang. Walau kini ia sudah tampak ikhlas, tapi perasaan sedih
masih menguasai di lubuk hatinya. Entah apa yang ada dalam batinnya, matanya terus
menatap nisan Nenek.

Di belakang Ayah, Mama dan ketiga anaknya berdiri menunggu Ayah. Masing-masing dari
mereka memakai baju putih tangan panjang. Jilbab berwarna abu-abu terpasang di kepala
Rara. Bobi bersandar di kaki Mama, tangan wanita itu memegangi bahu anaknya.

“Aku haus,” kata Bobi.

Ayah lalu menoleh, melihat Bobi yang kehausan. Ayah merogoh sakunya, mengeluarkan
uang pecahan sepuluh ribu dan memberikannya kepada Mama. Tangan Mama
menerimanya tanpa banyak kata. “Kalian keluar duluan ya, beli minum buat Bobi. Nanti
Ayah nyusul,” ucap Ayah sambil tersenyum.
“Kita tunggu di warung depan gerbang ya, Ayah,” balas Mama yang kemudian menuntun
Bobi berjalan meninggalkan makam. Ayah tersenyum, melihat satu per satu anaknya
melangkah pergi. Kepalanya lalu kembali menghadap ke arah makam sang ibu. Mengelus
nisannya, meremas sedikit tanahnya.

Ayah lalu menghentikan ratapannya itu, ia berdiri. Tapi pandangannya tak bisa lepas dari
makam Nenek. “Robi pulang dulu, Bu.” Dengan wajah tegar Ayah berbalik badan,
melangkah meninggalkan makam. Kembali menginjak tanah-tanah lembek yang baru
terguyur hujan.

Ayah berjalan di jalan setapak melewati celah-celah kecil di antara makam-makam lain.
Sampai akhirnya kaki Ayah menginjak jalan utama yang berbahan semen dan bebatuan.
Sebelum berjalan lebih jauh, Ayah berhenti terlebih dahulu. Setelah ia melewati belokan di
depan, maka makam Nenek sudah tidak terlihat lagi. Ayah masih ingin melihat untuk yang
terakhir kali. Kepalanya lalu menoleh kembali ke arah makam.

Dari kejauhan, jarak sekitar belasan meter. Ayah melihat sosok perempuan berbaju putih
dengan rambut panjang gimbal dan berantakan. Wajahnya tidak terlihat karena sosok itu
menunduk. Yang lebih mencengangkan lagi, sosok perempuan misterius itu duduk tepat di
atas makam Nenek. Menjadikan makam itu seolah kursi yang bisa ia duduki.

Ayah pun tercengang, bingung sekaligus tak percaya dengan apa yang matanya lihat. Mata
Ayah terpejam beberapa saat, lalu menguceknya beberapa kali. Setelah itu matanya
kembali terbuka. Ia melihat kembali ke arah makam Nenek, sosok perempuan itu sudah
menghilang.

Tangannya lalu menggaruk kepala, wajahnya bingung. “Masa sih ada setan tengah hari
gini,” gumamnya. “Ah, bukan setan! Orang gila kayanya.”

Ayah berjalan kembali ke makam Nenek, wajahnya sedikit kesal. Ia semakin mendekat ke
arah makam. Sosok perempuan misterius itu masih menunduk, belum berpindah tempat.
Masih menduduki makam yang masih baru itu. “Heh!” teriak Ayah.
“Woi, jangan duduk di situ!” Ayah mulai turun ke jalan setapak. “Itu makam Ibu saya!”

Seorang tukang sapu yang kebetulan ada di lokasi menatap Ayah dengan tatapan aneh.
Dengan mengenakan topi, mulutnya menganga sambil kebingungan. Buru-buru ia
tinggalkan sapunya dan melangkah mengejar Ayah.

“Pak, bapak!” panggil tukang sapu itu.


Sontak Ayah menoleh ke arah asalnya suara. Tukang sapu itu mendekat ke arahnya.

“Bapak ngomong sama siapa, Pak?”

“Itu lho, Pak! Orang gila itu seenaknya dudukin makam Ibu saya. Kurang ajar! Bapak kok
diem aja sih liat orang gak sopan gitu?” Ayah memprotes si tukang sapu yang terkesan
masa bodo dengan wanita gila itu.

Akan tetapi, penjelasan dari Ayah justru membuat si tukang sapu kebingungan. “Hah?
Orang gila? Orang yang mana, Pak?”

“Itu lho! Masa gak liat sih. Itu—“

Ayah mendadak terdiam. Ketika ia menolehkan kepalanya kembali ke makam, sosok itu
sudah menghilang. Tak ada siapa-siapa di makam Ibunya. Taburan bunga dan gundukan
tanahnya juga masih rapi. Ayah mulai bingung sendiri.

“T-Tadi ada orang di sana?”

“Gak ada, Pak. Gak ada orang, Bapak saya liatin tadi ngomong sendiri.”

“Apa jangan-jangan beneran setan?” gumam Ayah. Ia kemudian menoleh kembali ke si


tukang sapu. “Y-Yaudah, Pak. Maaf ganggu, mungkin saya salah liat.” Ayah kembali berjalan
meninggalkan makam.

Dengan wajah terheran-heran, si tukang sapu menatap kepergian Ayah. “Mana ada orang
gila di sini, jangan-jangan malah Bapak yang gila, Pak. Dasar,” ucapnya yang kemudian
kembali melanjutkan pekerjaannya menyapu dedaunan kering yang berserakan di tanah.

***
Singkat cerita, malam pun datang. Hari berlalu begitu cepat. Jam demi jam berlalu seperti
angin yang berhembus setiap harinya. Karpet-karpet berwarna biru digelar di dalam
rumah Ayah. Termasuk di bagian beranda depan. Sofa dan meja di pindah ke dekat dapur.
Kursi-kursi tersusun rapi di halaman depan. Kabel-kabel panjang terlihat di beberapa sisi
rumah, terpasang di dinding dan terhubung ke pengeras suara yang disiapkan.

Mama dan Rara tengah berada di ruang tengah. Mereka berdua menyusun gelas-gelas
minuman di lantai, satu per satu gelas itu dikeluarkan dari dalam kardus. Di samping
mereka, Niko dan Bobi duduk rapi dengan peci putih terpasang di kepala mereka.
Sedangkan Ayah duduk di halaman depan, sambil memegang sebatang rokok di tangannya.

Ayah memakai bawahan sarung malam itu, dengan atasan baju kemeja abu-abu. Asap tipis
dari rokoknya menari di udara. Asap itu juga keluar setiap kali Ayah menghembuskan
nafasnya. Matanya menatap lurus ke depan, badannya bersandar santai. Menikmati angin
sepoi-sepoi malam yang terasa sedikit dingin.

Dari arah depan, tak lama datang rombongan jamaah masjid beserta Pak Ustad. Semuanya
baru saja selesai menunaikan solat isya berjamaah di masjid. Melihat itu Ayah langsung
menatikan rokoknya, membuangnya ke tempat sampah dan berdiri menuju gerbang.

“Assalamualaikum,” ucap Pak Ustad yang datang dan langsung bersalaman dengan Ayah.
Satu per satu rombongan itu masuk, Ayah menyalami satu per satu dari mereka.
Sesampainya di dalam, mereka langsung ambil posisi. Ada yang langsung duduk di dalam,
ada juga yang memilih di luar dengan kursi-kursi yang tersedia.

“Bos, maaf ya tadi gak ikut ke makam. Baru pulang kerja tadi sore gue,” kata salah satu
kawan Ayah yang rumahnya tak jauh dari mereka.

“Ah, gak apa-apa. Santai aja, masuk-masuk!” ucap Ayah dengan ramah menyambut para
sahabat yang datang.

Di dalam rumah, Mama menyiapkan mikrofon untuk Pak Ustad yang sudah duduk bersila
sambil membenarkan kacamatanya. Sebuah kertas berisi nama-nama ahli kubur tak lupa
Mama berikan.
“Eh, Pak! Isi dalem sini! Masih kosong, ngapain di luar,” kata salah satu jamaah yang duduk
di beranda dan di dalam.
“Di sini aja, Pak. Adem, sambil ngerokok,” jawab mereka yang duduk di luar.

Tak pakai basa-basi lagi, Pak Ustad memulai pembacaan doa. Suara Pak Ustad terdengar
jelas melalui pengeras suara yang sudah menyala. Para jamaah yang ikut datang turut
mengikuti tiap ayat doa yang keluar dari mulut Pak Ustad.

Ayah duduk di beranda, bersama orang-orang lainnya. Sedangkan Mama dan anak-anak
duduk di dalam. Selama sekitar setengah jam, ayat-ayat suci mereka lantunkan. Sampai
akhirnya, mereka mereka pun hampir di penghujung acara. Pak Ustad, mulai membacakan
doa-doa sebagai penutup.

Tiba-tiba, langit malam yang semula cerah menjadi mendung. Hujan deras lalu turun.
Orang-orang yang duduk di halaman depan pun kocar-kacir. Ada yang buru-buru masuk ke
dalam rumah dan beranda. Ada juga yang langsung lari keluar dan pulang ke rumah
masing-masing karena rumah Ayah sudah penuh.

Kursi-kursi kosong itu pun akhirnya basah terguyur hujan. Mereka terpaksa berdesak-
desakan di pelataran rumah. Beruntung saat itu sudah hampir selesai. Namun, biarpun
sudah selesai mereka akan basah kuyup bila langsung pulang. Mau tak mau mereka
menahan diri di sana.

Saat Pak Ustad masih membaca doa, dari lantai dua terdengar suara perempuan menangis.
Tangisannya begitu sedih, begitu lirih menyayat hati. Awalnya suara itu pelan, tapi semakin
lama semakin jelas terdengar. Semakin jelas di telinga para jamaah yang datang. Walau
suara Pak Ustad sudah keras, masih ada beberapa orang yang tetap mendengar
tangisannya. Alih-alih mengamini doa Pak Ustad, mereka jadi bertanya-tanya. Saling bisik
satu sama lain.

“Suara siapa tuh yang nangis?” tanya salah satu orang jamaah.

“Gak tau,” jawabnya dengan nada pelan.


Tangisan itu terus mengiringi doa Pak Ustad. Membuat beberapa jamaah yang datang
menjadi hilang konsentrasi. Semuanya melihat ke sumber suara, yaitu tangga yang menuju
ke lantai dua. Tapi Semua anggota keluarga berkumpul di bawah, tidak diketahui siapa
wanita misterius yang sedang menangis di lantai dua itu.
Pak Ustad pun mengakhiri doanya sekaligus rangakaian cara pengajian malam itu. Mama
dibantu dengan anak-anaknya lalu mengeluarkan berbagai jamuan untuk para jamaah yang
datang. Mulai dari kopi, rokok sampai kue-kue yang tersaji rapi di piring. Rombongan yang
terdiri dari bapak-bapak itu lalu saling mengobrol dan bercanda. Suasana menjadi ramai,
sembari menunggu hujan reda di luar sana.

Namun, suasana ceria itu tidak berlangsung lama. Kala sebuah bau yang teramat busuk
tiba-tiba tercium. Semua orang yang ada di sana kaget bukan main, mereka menutup
hidung. Tapi bau itu begitu kuat. Beberapa ada yang hampir muntah karena tak kuat
dengan baunya. Tidak diketahui dari mana asalnya.

“Hueekk! Bau apaan nih?!” keluh salah satu warga sambil menutup hidungnya. Tak cukup
menutup hidung dengan tangan, beberapa bahkan menutup hidung dengan sorbannya.

“Kentut lu ya?”

“Lah kok gue sih, yang bener aja lu. Masa iya gue kentut di sini?”

Para hadirin yang datang malah saling tuduh satu sama lain. Meski begitu, Pak Ustad yakin
bau itu bukan berasal dari kentut. Baunya mirip bau bangkai yang sudah berhari-hari dan
membusuk.

Anehnya, bau busuk itu hanya tercium oleh jamaah yang datang. Ayah dan sekeluarga sama
sekali tidak merasakan bau itu. Para warga yang datang pun kebingungan, mereka ingin
pergi tapi hujan masih lebat. Kalau mereka menunggu hujan reda, berarti mereka harus
merasakan bau busuk ini.

Ayah yang bingung karena tidak merasakan bau itu lalu beranjak masuk. Berjalan ke segala
arah, mengecek dapur, kamar mandi sampai satu per satu kamar. Tapi tidak menemukan
apa-apa, bahkan menciumnya saja tidak. “Gak ada apa-apa kok, gak ada bangkai,” ucap
Ayah saat kembali ke ruang depan seusai mengecek setiap sudut rumah.

“Astaghfirullah,” ucap Pak Ustad sambil menutup hidungnya. Kepalanya menggeleng


beberapa kali. Sambil mulutnya komat-kamit membaca doa, sesekali mata Pak Ustad
melirik ke arah lemari tua di sudut ruangan. Sumber datangnya bau busuk ini.
Malam sunyi, suasana sepi. Semua orang telah masuk ke rumahnya masing-masing meski
jam masih menunjukkan pukul sepuluh malam. Butir-butir halus air masih jatuh dari
angkasa yang penuh dengan awan pekat. Menutup cantiknya rembulan dan gemintang
malam yang menghias di balik kegelapan.

Dalam kesunyian itu, terdengar suara mangkuk diketuk. Seseorang mengadu sendok dan
wadah makan keramik itu sehingga suara nyaring tercipta. Ban gerobaknya melewati air-
air yang menggenang di jalan. Pria bertopi itu berjalan mendorong gerobaknya sambil
melihat sekitar. Berharap ada pelanggan yang datang.

Kakinya berhenti melangkah saat sampai di depan rumah Ayah sekeluarga. Ia


menghentikan ketukan mangkuknya saat seseorang memanggil dari dalam gerbang rumah
itu. Sosok wanita tua berjalan mendekat, membuka gerbang dan melontarkan senyum
keriputnya pada pedagang itu. Si pedagang seolah sudah paham, Nenek ini sudah lama jadi
langganannya.

“Nek? Kaya biasa ya, Nek?” tanya si pedagang sambil mengambil mangkuknya.

“Iya, Mas. Biasa aja,” jawab Nenek dengan nada datar.

“Siap!” ucap si pedagang. Ia membuka tutup panci besarnya. Asap tipis pun mengepul
keluar, bau harum nan lezat dari bakso di dalamnya pun tercium. Begitu hangat dan cocok
di tengah dinginnya malam.

Seperti yang sudah sering ia kerjakan, setelah mengelap mangkuk ia mulai meracik bumbu
dan penyedap rasa. Tak lupa saus dan kecap. Tangannya mengambil sendok besar yang
sejak tadi tergantung di dekat panci. Dengan gagang kayunya yang panjang, ia menyendok
bakso-bakso itu dari dalam panci berikut dengan kuahnya. Membasahi bumbu yang sudah
ia racik.

“Nih, Nek. Kalo kurang tambahin sendiri ya.” Sambil membawa semangkuk bakso yang ia
buat, si pedagang membalikkan badan. Tapi Nenek sudah tidak ada di sana. Mata pedagang
itu melihat sekitar, sesekali memperhatikan rumah di depannya itu. Ia lalu berinisiatif
untuk mengantar baksonya ke dalam.

“Yah, pake digembok segala lagi.”


“Assalamualaikum!” ucap pedagang itu dari luar gerbang. Setelah beberapa kali berucap
demikian, akhirnya terdengar seseoang membuka pintu depan. Mama keluar dan melihat
ke arah si tukang bakso. Ia pun langsung berjalan berjalan mendekat ke gerbang.

“Iya, Mas?” sapa Mama.

“Ini Nenek tadi beli bakso, tapi orangnya udah masuk kayanya,” kata si pedagang.
Mendengar itu, Mama kaget setengah mati. Wajahnya berubah, ada sedikit rasa takut. Tapi
dirinya belum bereaksi. Mama hanya mematung tepat di depan pedagang itu, ia gugup
bukan main.

“Lho? Kenapa, Bu?” tanya pedagang tadi.


“Gak apa-apa. Sini saya bawa ke dalem dulu ya,” kata Mama yang kemudian menerima
mangkuk bakso itu.

Mama berjalan masuk kembali ke dalam, si pedagang pun tenang dan bisa duduk santai
sambil menunggu pelanggan lain yang mungkin akan datang. Sebuah teras kecil di depan
gerbang rumah itu menjadi tempatnya duduk. Sebotol air mineral ia keluarkan dari dalam
gerobak, ia menenggaknya sampai setengah.

Keringatnya mengucur deras, ia elap dengan baju. Pedagang itu melepas topinya lalu ia
gunakan topi tersebut untuk mengipas-ngipas dirinya yang merasakan hawa panas yang
begitu terasa di sekitarnya. “Gila, gerimis-gerimis gini kok panas ya hawanya?” gumamnya
sambil melihat sekitar.

Akhirnya, ia putuskan untuk menyalakan rokok. Sebatang rokok itu terselip di bibirnya,
kemudian ujungnya ia sulut menggunakan api kecil dari korek gas. Tak lama dari arah
kanan jalan, dua orang pemuda lewat berjalan kaki. Dari jauh langkahnya sudah
mencurigakan, matanya menatap aneh si pedagang yang sedang istirahat tersebut.
Jalannya perlahan pelan, sambil saling bisik-bisik mereka saling pandang satu sama lain.

Si pedagang itu diam-diam memperhatikan dua pemuda aneh itu. “Lu pada ngapa sih?”
tanya si pedagang itu.
“Abang ngapain di sini, Bang? Tumben banget, Pak RT tuh nungguin mau beli katanya,”
tanya salah satu pemuda.

“Suruh tungguin aja, bentar lagi ke sana kok.”

“Lagian ngapain lu di sini, Bang? Kaya ada yang beli aja.”

“Biasa, Nenek Murni beli bakso.” Si pedagang itu kembali menengguk sebotol airnya.

“Lah? Nenek Murni udah meninggal, Bang!”

“Iya, baru tadi siang dimakamin,” tambah satu pemuda lainnya.

Mendengar itu si pedagang kaget. Air yang ada di mulutnya pun ia sembur ke depan,
sampai mengenai baju dua pemuda itu. Dengan mata terbelalak, ia menatap kedua orang di
depannya. “Ah, gila lu! Jangan main-main lu!” ucapnya setengah panik.

“Serius, Bang! Lu kali yang gila!”

“Jangan gitu lu, orang tua masih sehat gitu dikatain udah meninggal. Jangan gitu, kalo mau
bercanda jangan bawa-bawa orang tua apalagi meninggal-meninggal begitu. Ah, gue
timpuk juga lu.” Si pedagang bakso mengangkat sandalnya dan hendak melempar ke arah
mereka.

“Lah? Mata lu buta apa gimana, Bang? Tuh lu liat atas kepala lu.” Salah satu pemuda
menunjuk ke pagar rumah. Sontak si pedagang menoleh ke arah yang dimaksud, matanya
lalu menemukan sebuah bendera kuning terpasang di sana. Dengan bertuliskan ‘Bu Murni.’

“Lah?” si tukang bakso awalnya tak percaya.

“Nah lho, lu ngelayanin siapa tadi, Bang?”

“T-tadi, ada kok. Tadi beneran, Nek Murni.” Si pedagang menoleh ke arah halaman rumah
Nenek. Terlihat ada tumpukkan bangku plastik. Kemudian ada gulungan kabel dan
pengeras suara di beranda depan. Persis seperti rumah seseorang yang sedang berduka.

“Lu serius bikinin bakso Nenek Murni? Sadar, Bang! Nenek Murni udah meninggal.”
“Merinding gue, udah yuk cabut aja. Kepala batu nih tukang bakso!” Mereka pun mulai
berjalan cepat meninggalkan gerobak bakso itu.

Wajah pedagang itu pucat seketika, dirinya lemas dan hampir jatuh. Beruntung tangannya
masih bisa menahan diri dengan berpegangan pada gerobak. Sementara dua pemuda yang
memberitahunya sudah berlari pergi lebih dulu.

Nafas pedagang itu kian memburu, keringatnya mengalir deras. Ia lalu buru-buru beranjak
dari posisinya, tangannya dengan cepat merapikan toples-toples bumbu. Segera dirinya
berpindah ke belakang dan kembali mendorong gerobaknya. Bergegas meninggalkan
tempat tersebut.

“Mas, saya belum selesai makan.” Terdengar suara Nenek Murni dari arah belakang. Akan
tetapi si pedagang bakso itu enggan menoleh. Ia tak mau ambil resiko. Sambil membaca
doa sebisanya, ia dorong gerobak dan mulai meninggalkan lokasi.

“Mas, tunggu!” Suara Nenek kembali terdengar.

“Setan! Setan!” gumam si pedagang yang sudah tak bisa menahan rasa takutnya lagi sambil
mendorong gerobak dengan wajah pucat. Seluruh tubuhnya merinding dan gemetar saking
takutnya.

Tak lama setelah kepergian tukang bakso itu, Ayah keluar membawa mangkuk kosong.
Bakso yang ada di dalamnya telah dipindahkan ke mangkuk lain milik mereka sendiri.
Matanya menatap sekitar, ia bingung karena tidak ada siapa-siapa di depan rumah. “Mana?
Katanya ada tukang bakso,” gumam Ayah sambil menggaruk kepala.

Ayah berjalan beberapa meter ke depan gerbang, kepalanya berputar memperhatikan


sekitar. Tapi tak ia temukan pedagang apa pun. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk
kembali masuk ke rumah sambil membawa mangkuk kosongnya.

***

Sekitar pukul satu malam, suasana kampung semakin sepi. Sesekali motor lewat, tapi
aktivitas semua orang sudah terhenti. Kecuali mereka yang menjaga pos ronda. Meski
berada di pinggir ibukota, kehidupan di sini tidak berlangsung selama dua puluh empat
jam. Semua beristirahat pada porsi yang cukup.
Rumah Ayah sekeluarga telah gelap saat itu. Semua sudah terlelap dalam alam mimpi,
beristirahat dan meredakan letih setelah seharian mengurus pemakaman Nenek. Sebuah
hari yang mereka lewati dengan begitu mengejutkan, penuh dengan rasa pedih dan air
mata. Kini sudah saat mereka bersiap dan menatap hari esok.

Dari dalam kamarnya, Bobi terbangun. Ia membuka mata lalu menoleh ke kasur kakaknya
Niko yang tengah tidur pulas. Bobi turun dari kasur, kakinya lalu melangkah ke luar kamar.
Sambil mengucek-ngucek matanya, anak kecil itu berjalan di tengah gelapnya rumah
tengah malam itu.

Bobi si pemberani mulai menuruni tangga. Tujuannya adalah menuju kulkas. Sesampainya
di bawah, ia membuka kulkas. Cahaya lampu dari dalam lemari pendingin itu pun
menerangi ruang tengah yang gelap itu. Bobi yang seorang diri itu lalu meraih sebotol air
dingin, karena suasana rumah sepi ia lantas berani minum air dingin tanpa ada yang
menegur. Setengah dari botol kecil itu ia minum membasahi mulutnya.

Setelah selesai, ia menaruh botol kembali dan menutup pintu kulkas. Tangannya mengelap
mulut yang sedikit basah. Anak laki-laki itu kembali menaiki tangga, lalu masuk ke dalam
kamar. Langkahnya terhenti tepat setelah ia menutup pintu. Telinga Bobi mendengar suara
Nenek dari dalam kamar seberang.
Kamar seberang itu memang merupakan kamar Nenek semasa hidup. Dari dalam sana Bobi
mendengar Nenek sedang menangis di tengah kegelapan. Bobi kembali membuka pintu,
mengintip dari dalam kamarnya. Menatap ke pintu kamar Nenek. Suara tangisan itu pun
semakin jelas di telinganya.

“Nenek?” panggil Bobi dengan nada pelan. Mata anak itu terus tertuju ke arah kamar itu.

Setelah Bobi memanggil, suara tangisan itu pun berhenti. “Iya, Bobi?” balas Nenek dari
dalam kamarnya. Suaranya lirih dan sedikit menggema di telinganya.

Bobi mulai takut, ia menelan ludahnya. “Nenek kan udah meninggal,” kata Bobi.

“Bobi bangun? Temenin Nenek sini.” Suara Nenek dari dalam kamar itu mengajak Bobi
untuk datang dan menemaninya. “Sini, Sayang,” tambahnya.

“Nenek udah pulang ya?” Mata Bobi terus terpaku menatap pintu kamar itu. Tangannya
sedikit-sedikit membuka pintu lebih lebar, satu kakinya sudah siap melangkah keluar.
“Bobi?” panggil Niko dari kasurnya. Sang kakak terbangun dan mendapati adiknya berdiri
di depan pintu yang terbuka. “Tidur, Bobi. Jangan minum air dingin, nanti aku bilangin
Mama lho,” ancam Niko sambil kembali memejamkan matanya.

“Enggak! Bobi gak minum air dingin kok,” ucapnya yang kemudian menutup pintu kamar.

“Yaudah ngapain di situ, buruan tidur!”

“Iya, iya ini mau tidur kok.”

Anak polos itu berjalan kembali ke kasur dan memejamkan mata. Kembali berbaring dan
memejamkan mata. Sementara di luar sana, suara tangisan Nenek kembali terdengar.
Membuat Bobi terjaga dan tak bisa tidur selama beberapa menit, suara tangisan Nenek
terus memasuki telinganya.

Tangan Ayah mengeluarkan handuk basah dari dalam baskom air. Ia memeras lebih dulu
handuk tersebut. Lalu dengan pelan menaruhnya ke atas dahi Mama yang terbaring lemas
di kasurnya. Wajah Mama pucat, ia bahkan tak mampu berdiri saking lemasnya. Sebuah
selimut tebal masih melapisi tubuhnya, memberinya kehangatan dan mengindar dari hawa
dingin.

Setelah mengkompres dahi Mama, Ayah menaruh baskom air itu di lantai. Ia naikkan lagi
selimut Mama yang sedikit turun. Mata wanita itu menatap kosong ke langit-langit,
sedangkan mulutnya gemetar seperti sedang menggigil kedinginan.

“Rasanya gimana, Ma?” tanya Ayah.

Sambil mengigil, Mama menjawab, “gak enak pokoknya. Dingin, pusing.”

Ayah begitu prihatin dengan kondisi istrinya yang langsung memburuk dalam hitungan
jam. Sambil menghela nafas ia pun beranjak ke luar. “Ayah keluar sebentar, Ma. Mau liat
anak-anak,” ucap Ayah. Tapi Mama hanya diam dan tak menjawab.

Sesampainya di luar, Ayah bertemu dengan ketiga anaknya. Mereka sama-sama duduk di
meja makan sambil menyantap sarapan. Terdengar suara piring dan sendok mereka
beradu, sesekali candaan polos antara Niko dan Bobi terdengar. Ayah terus berjalan
mendekat dan sampai di meja makan. Menatap mereka yang sedang menghabiskan
sarapannya.
“Nanti kalo udah taruh di wastafel ya,” kata Ayah sambil tersenyum. Tangannya dengan
lembut mengusap rambut Bobi yang makan dengan lahap.

“Gak apa-apa, Yah. Nanti aku yang cuci piringnya,” kata Rara.

“Oh ya? Rara mau cuci piring?” tanya Ayah. Rara pun mengangguk. “Bagus deh, kalo gitu
berarti Ayah bisa berangkat sekarang ya. Anter Mama ke puskesmas, mumpung
pendaftarannya masih buka.”

“Iya, Ayah,” sahut Rara.

Laki-laki paruh baya itu lalu masuk kembali ke dalam, ia meraih jaket kulit yang tergantung
rapi di dinding kamar. Sambil memakainya, ia berjalan ke arah kasur. Mama tengah
memejamkan mata, dengan lembut tangan Ayah menyenggol kakinya. “Ma? Bangun dulu,
yuk. Ke puskesmas,” ajak Ayah.

Mendengar itu, Mama membuka mata. Dirinya lalu duduk perlahan, terlebih dahulu
bersandar di kepala ranjang. Dengan wajah lesu ia menatap sekitar. Dari ekspresinya jelas
terlihat Mama tidak sehat, seolah ada sesuatu yang ia rasakan dalam tubuhnya. Ayah
memberikan sweater rajut milik Mama.

Tak lama kemudian, mereka berdua keluar dari dalam kamar. Dengan lemas Mama
berjalan pelan dan duduk di meja makan bersama ketiga anaknya. Ayah mengeluarkan
motor yang sudah lama tidak ia pakai.

“Siapa yang bikinin telur?” tanya Mama sambil tersenyum melihat ketiga anaknya.

“Kakak,” jawab Bobi.

“Kak Rara.”

“Bagus, makan yang banyak.”

Tak lama terdengar suara Ayah memanggil dari luar. Pelan-pelan Mama beranjak dari
kursi. “Mama tinggal dulu ya. Sebentar kok, nitip rumah ya, Rara,” ucap Mama sambil
berjalan meninggalkan mereka.
Tak lama setelah Mama keluar rumah, pintu kamar mereka berdua yang semula terbuka
lebar tiba-tiba tertutup dengan sendirinya. Pintu itu ditutup dengan begitu keras, seolah
ada yang membanting dari luar. Membuat kaget ketiga saudara yang sedang makan itu.

Kedua anak laki-laki saling pandang dengan wajah bingung. Niko memberanikan diri
menoleh ke arah kamar orang tuanya. Tidak ada siapa-siapa, tapi pintu yang semula
terbuka lebar kini sudah tertutup rapat.

“Ssstt.” Niko memanggil adiknya.


Bobi menoleh ke sang kakak.

“Apaan tuh?” bisik Niko.

Bobi menggeleng. “Gak tau, kok ketutup sendiri ya?”

“Hantu, Bob!”

“Heh!” Dari arah wastafel Rara mendengar perbincangan mereka. “Gak ada hantu, gak usah
aneh-aneh deh. Palingan angin.”

“Mana ada angin di sini.”

“Apa jangan-jangan Nenek jadi hantu?” tanya Bobi dengan polosnya.

“Bob!” Rara segera menegur adiknya. “Jangan ngomong gitu ya, orang yang udah meninggal
itu udah tenang istirahat di samping Tuhan. Makanya kita banyak-banyak doa.” Rara
menasihati mereka, walau sebenarnya ia juga merasa ada yang tak beres dari pintu yang
tertutup sendiri itu.

“Tapi, Kak. Kok Nenek bisa sih pulang ke rumah lagi? Soalnya semalem Bobi denger suara
Nenek di kamarnya. Nenek lagi—“

“Bobi!” bentak Rara agak tegas. “Habisin makanannya, udah jangan banyak omong! Kalo
aku masih denger kalian ngomong, besok masak telur sendiri!”

Kedua anak laki-laki itu hanya bisa termenung dengan wajah  bingung bercampur takut
setelah mendengar ucapan dari Kakak perempuannya. Tak ada yang bersuara. Tak ada
yang berani bicara lagi, kemudian lanjut makan. Makan mereka pun dipercepat dengan
perasaan ingin cepat-cepat meninggalkan meja makan.

Sementara itu, di luar rumah. Ayah mulai menyalakan mesin motornya, menghasilkan
suara yang khas. Mama naik di belakang. Setelah siap, Ayah langsung tancap gas melaju ke
luar gerbang. Ban motor mereka mulai bersentuhan dengan jalan kampung yang tidak
terlalu bagus, ditambah beberapa polisi tidur yang harus mereka temui sepanjang jalan
menuju puskesmas.

Beberapa meter dari rumah, motor mereka melewati gerobak tukang sayur yang sedang
berhenti di pinggir jalan. Di sekitarnya, beberapa ibu-ibu berdiri mengelilingi sambil
melihat-lihat barang yang dijual. Sementara si pedagang duduk santai sambil merokok di
pinggir jalan. Salah satu pembelinya melihat motor yang baru saja melewatinya.

“Bu, tahu gak semalem pas suami saya ronda, dia dapet cerita apa?” tanya salah satu ibu
pembeli sayuran.

Sambil memilih-milih sayuran, pembeli lainnya menyahut, “emang ada cerita apa
semalem?”

“Katanya suami saya, tukang bakso yang bisa lewat sini kalo malem itu, tau, kan? Dia
katanya ketemu sama Nenek Murni, di depan rumahnya. Beli bakso,” ucap ibu tersebut.

“Ah, masa sih, Bu?”

“Iya, masa sih. Orang udah meninggal kok bisa beli bakso?”

“Serem deh.”

Mendengar pernyataan dari ibu pembeli itu, suasana pun jadi heboh. Satu per satu pembeli
yang ada di sana menanggapi. “Iya, katanya pas pengajian juga jamaah ada yang denger
suara nangis. Terus bau busuk,” tambah salah satu pembeli lainnya.

“Ada apa ya? Kok serem?”

“Merinding jadinya, jadi takut keluar malem lewat depan rumah situ.”
“Tapi gimana ya, kalo dipikir-pikir Nenek Murni meninggal mendadak. Gak ada sakit apa-
apa. Saya liat lho waktu pertama kali Nenek Murni meninggal. Darahnya itu banyak banget
di lantai. Kayanya ada yang gak beres tuh.”

“Iya, bener juga tuh, Bu. Kirain saya doang yang mikir begitu.”

“Eh, ini kapan selesainya atuh, Ibu? Dari tadi dagangan saya di puter-puter, dipegang-
pegang, tapi gak beli-beli. Saya juga, kan mau keliling, Bu!” kata si pedagang yang tiba-tiba
berdiri dan mengingatkan mereka semua. Alhasil, obrolan seru mereka pun terhenti akibat
si pedagang memotong percakapan.

“Iya, iya. Saya kan milih dulu, ganggu suasana aja,” keluh salah satu pembelinya sambil
menatap sebal si pedagang. Beberapa orang yang ada di sana pun memberikan reaksi yang
sama.
“Tau, Bang. Sabar dong.”

Mereka semua lantas terdiam dan fokus pada tujuan utama yaitu membeli sayur dan bahan
pokok lainnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, si tukang sayur kembali duduk dan
membuka ponselnya. “Mending buka sosmed aja dah, update status. Ibu-ibu mau beli sayur
tapi kebanyakan gosip jadinya lama. Posting!” sindir si pedagang sambil menekan tombol
post pada sosial medianya.

***

Sementara di puskesmas, Ayah sudah mendapat nomor antrian untuk Mama. Beruntung
puskesmas tidak terlalu ramai pagi itu, mereka mendapat nomor muda. Papan-papan
himbauan penyakit dan berbagai poster tentang kesehatan terpasang di dinding-dinding.
Semuanya berisi soal promosi hidup sehat. Satu dua orang datang silih berganti, ada yang
berobat ada pula yang meminta obat sambil membawa selembar resep berisi tulisan
dokter.

Ayah duduk di samping Mama. Di sebuah kursi besi yang sangat familiar di tempat-tempat
macam rumah sakit dan lainnya. Mata mereka tertuju pada televisi yang menampilkan soal
kampanye hidup sehat. Dan yang anehnya, tubuh Mama yang semula lemas dan panas saat
di rumah mendadak menjadi sehat saat di puskesmas. Bahkan sejak di jalan Mama sudah
merasa dirinya lebih baik.
“Masih lama ya?” tanya Mama sambil menoleh ke arah Ayah.

“Ya, namanya juga antri, Ma. Tungguin aja,” jawab Ayah.

Mama lalu menghela nafas. “Mama udah enakan kok, udah gak demam. Pulang aja yuk.”
Mama memegang dahinya. Disusul dengan Ayah yang juga mengecek suhu panas di dahi
istrinya itu. dan benar saja, tangan Ayah pun tidak merasakan panas apa pun.

“Iya sih, Mama emang udah gak demam. Wajah Mama juga udah gak pucet, tapi masih
ngerasa lemes gak?” tanya Ayah penasaran. Mama pun menjawab dan menggeleng. “Ya
syukur deh kalo udah sembuh, tapi berhubung udah ambil nomor. Gak ada salahnya kita
cek ke dokter. Sekalian ambil obat buat pencegahan,” tambahnya. Mama lalu mengiyakan.

Sekitar setengah jam menunggu, Mama masuk ke ruang praktek. Sebuah ruangan penuh
bau obat dan alat medis terpajang di mana-mana. Mereka duduk di hadapan sang dokter,
Mama mulai menyebutkan semua keluhan yang ia rasakan selama semalaman sampai pagi
ini.

Berdasarkan keterangan dari Mama, dokter pun mulai memeriksa. Segala kemungkinan
penyakit ia periksa. Tapi sang dokter mengerutkan dahi, tampak agak bingung. Dan di sisi
lain juga merasa senang.

“Ibu, dari yang saya periksa, Ibu gak apa-apa kok. Demamnya juga udah hilang ya.
Semuanya bagus, gak ada yang sakit,” kata sang dokter wanita itu.

“Iya, Dok. Semalaman saya di dalem kamar ngerasa demam. Tapi pas tadi keluar rumah
menuju ke sini tiba-tiba ngerasa sehat lagi,” jawab Mama.

“Alhamdulillah, Bu. Berarti cuma butuh udara segar ya. Sering-sering keluar rumah ya, Bu.
Berjemur di  bawah matahari pagi sebelum jam sepuluh itu bagus buat kesehatan. Bagus
kalo Ibu udah sehat, tapi saya kasih obat ya, Bu. Buat jaga-jaga kalo demam lagi.” Sang
Dokter lalu mulai menuliskan resep obat ke sebuah kertas yang tersedia.

Sedangkan Ayah dan Mama saling pandang. Di sisi lain mereka senang, demamnya sudah
hilang. Di sisi lain juga Ayah bingung melihat kondisi Mama yang berubah drastis, dari
semula pucat dan lemas kini menjadi sehat dan segar dalam waktu singkat. Tapi apapun
itu, tetap patut disyukuri kesembuhan ini. Mereka pun bisa pulang ke rumah dengan lega
dan bahagia.

Rembulan tak nampak malam itu. Sama seperti malam-malam sebelumnya, awan mendung
memenuhi langit. Menjatuhi bumi dengan tiap rintik-rintik hujan yang membasahi tanah.
Gemericik air mengalir terdengar dari atas genting rumah dan pipa saluran air. Suasana
amat sepi. Hawa dingin membuat semua orang nyaman di dalam rumah, suara hujan yang
khas seakan membuat mereka memejamkan mata.

Termasuk di rumah Ayah. Semua sudah tidur sejak jam menunjukkan pukul sebelas malam.
Di dalam kamar, handuk kecil yang basah menempel di dahi Mama. Kali ini Mama kembali
demam. Persis setelah pulang dari puskesmas dan kembali menginjakkan kaki di rumah
ini, Mama kembali jatuh sakit. Tak berdaya di atas ranjang. Bahkan setelah dibawa ke klinik
terdekat pada sore hari, kondisinya tetap tidak membaik.

Di sampingnya, Ayah tidur lelap menemani. Seluruh rumah gelap, tak ada satu pun lampu
menyala. Termasuk kamar anak-anak. Kecuali remang-remang cahaya lampu dari luar yang
masuk melewati ventilasi. Bobi dan Niko sudah terlelap cukup pulas. Diiringi suara air
hujan yang jatuh tepat di atap kamar mereka.

Dalam kesunyian itu, sebuah suara terdengar dari lantai bawah. Suara pintu depan yang
diketuk oleh seseorang. Suara ketukan pintu amat jelas, seakan ingin ada yang berkunjung
di tengah malam ini. Bahkan saking mengganggunya suara itu, Bobi yang ada di lantai atas
pun terbangun.

Matanya perlahan terbuka, wajahnya tampak mengantuk. Tatapannya sayu, badannya


serasa enggan bangkit dari kasur empuknya. Tapi suara ketukan itu terus menerus
terdengar dari lantai bawah. Sampai akhirnya Bobi bangun. Rambutnya acak-acakan ketika
ia bangkit dan duduk di kasur. Ia menoleh dan menatap kakaknya yang tidur di beberapa
meter di sampingnya.

“Kak?” panggil Bobi. “Kakak?” tambahnya. Suara ketukan itu masih terdengar jelas. Tapi
anak kecil itu jelas ragu dan takut menghampirinya. “Kak Niko!” Untuk terakhir kalinya ia
memanggil sang kakak. Niko benar-benar sudah tidur nyenyak.

“Assalamualaikum,” ucap suara seseorang dari lantai satu.


Mendengar ucapan salam, Bobi pun akhirnya berani untuk turun dari kasur dan berjalan ke
luar kamar. Di tengah gelapnya rumah, Bobi melangkah menuruni tangga. Hujan semakin
lebat di luar. Sesekali kilatan guntur masuk melalui celah-celah saluran udara. Suara
langkah kaki anak kecil menjadi satu-satunya yang terdengar malam itu.

“Assalamualaikum.” Ucapan salam itu kembali terdengar. Persis dibalik pintu depan.

“Wa'alaikumsalam,” ucap Bobi sambil terus berjalan mendekat. Anak kecil itu
mempercepat langkahnya. Melewati deretan sofa dan rak sepatu. Ia membuka kunci yang
masih terpasang di pintu. Tangannya lalu meraih gagangnya, pintu kayu itu ia buka dengan
ditarik ke dalam. Hawa dingin pun masuk ke dalam, dengan jelas Bobi bisa melihat ke luar.
Termasuk melihat sosok yang sejak tadi mengetuk.

Tepat dihadapannya, Bobi melihat Nenek berdiri di depan pintu. Nenek saat itu memakai
kain kafan yang masih baru, sepasang potongan kapas kecil juga menyumbat kedua lubang
hidungnya. Wajahnya pucat persis seperti sebelum dikuburkan kemarin dengan beberapa
helai rambut putih keluar dari kain kafan yang membungkus kepalanya. Ya, malam itu
Nenek pulang ke rumah sebagai sesosok pocong.

“Eh, Nenek. Nenek udah pulang?” tanya Bobi.

Nenek lalu tersenyum, menunjukkan kulit wajahnya yang keriput. Matanya yang agak
cekung ke dalam, gigi-giginya sudah menghitam. “Iya, Bob. Nenek masuk ya,” kata Nenek.

“Iya, Nek,” balas Bobi mempersilahkan.


Kaki Nenek yang sudah membiru lalu keluar dari dalam kain kafan, menapak dan mulai
melangkah masuk ke dalam. Jejak kaki cokelat bekas tanah kuburan pun tercetak di lantai
putih itu. Tetes-tetes air hujan yang membasahinya ikut mengalir di betisnya. Dengan
santai Nenek, duduk di sofa. Masih dalam bentuk pocongnya.

“Bob, ambilin Nenek air minum dong,” kata Nenek sambil mempertahankan senyum itu di
wajahnya. Bobi menuruti kemauan Nenek, ia beranjak ke dapur. Mengambil gelas kaca dari
dalam rak. Sebuah botol air besar ia keluarkan dan dituang ke dalam gelas.
“Ini, Nek!” kata Bobi sambil berjalan membawa segelas air.

“Makasih, cucu Nenek yang paling pinter.” Tangan Nenek yang putih pucat keluar dari
dalam bungkusan kain kafan. Urat-uratnya tampak menonjol dan ada sedikit warna
keungu-unguan yang menandakan mulainya proses pembusukan.

Nenek minum seperti biasa, Bobi bisa melihatnya. Anak itu tanpa rasa takut duduk di
samping sang Nenek yang sudah meninggal beberapa hari lalu. Di tengah gelapnya malam,
Nenek menatap cucunya. Tangannya mengusap kepala Bobi, kemudian begerak ke arah
pipi. Dengan gemas, Nenek mencubit pipi Bobi.

“Aduh!” celetuk Bobi yang merasa sedikit sakit. “Nenek, Nenek dari mana aja sih?” tanya
Bobi penasaran.

“Nenek abis dari tempat yang enak banget. Banyak makanan, mainan. Bobi mau ikut?”
Mendengar tawaran dari Nenek, anak kecil polos itu mengangguk.
"Tapi Bobi ganti baju dulu, pake baju kaya Nenek ya,” tambahnya. Bobi terus mengangguk
setiap kali Neneknya bicara.

“Hehehehe ....” Nenek tertawa sambil menunjukkan deretan giginya. Kulitnya yang tipis
seketika mengekerut saat tawa itu keluar.

“Hahaha.” Alih-alih takut, anak kecil itu malah ikut tertawa seakan sedang bercanda dengan
orang terdekatnya.

***

Pagi telah tiba, Ayah bangun dari tidurnya dengan perasaan kaget. Setelah kasur yang
ditidurinya serasa diguncang dengan hebat. Seperti merasakan gempa bumi. Setelah
membuka mata, Ayah yang panik langsung duduk dan melihat sekitar. Nyatanya guncangan
itu bukan karena gempa, melainkan karena tubuh Mama yang sudah dalam keadaan
kejang-kejang. Mata Mama melotot ke arah depan seakan sedang menatap sesuatu.
Mulutnya terbuka, mengeluarkan air liur dari dalamnya. Tubuh Mama begitu kaku saat itu.

“Ma? Mama?!” panggil Ayah yang panik. “Mama kenapa, Ma?” Ia menepuk-nepuk pipi
wanita itu. Berharap tangannya bisa menyadarkan sang istri. Namun, usaha itu sia-sia.
Ayah langsung turun dari ranjangnya. Bergegas keluar dari kamar.
Akan tetapi, setelah keluar dari kamar. Ayah justru menemukan masalah baru. Ia berjalan
melewati dapur menuju ruang depan. Di sana ia mendapati pintu depan yang sudah
terbuka lebar, lantai kotor dengan jejak tanah dari kaki seseorang. Dan parahnya, Bobi
tertidur di atas sofa. Tanpa sepengetahuan Ayah, semalaman Bobi tidur di sofa dengan
pintu terbuka.

“Eh, adek! Dek? Bangun, bangun!” kata Ayah menggoyang-goyangkan badan anak itu. Hawa
dingin terasa kala tangan Ayah menyentuh kulit Bobi. Tapi anak itu tidak bereaksi. Ayah
mendekatkan wajahnya ke kepala Bobi, terasa wangi bunga kuburan di rambut anaknya
itu. Dengan jelas tercium ke hidung Ayah.

Sampai tiba-tiba, dalam tidurnya kedua tangan Bobi terangkat ke atas. “Aku mau ikut
Nenek!” katanya mengigau dengan mata yang masih tertutup.

“Hus! Bangun! Bangun kamu!” Ayah tak henti-hentinya membangunkan Bobi dengan
menggoyangkan badannya, sementara matanya sesekali melirik ke arah kamar karena
cemas dengan keadaan Mama. Suara kaki ranjang beradu dengan lantai masih terdengar
dari dalam kamar, jelas Mama masih kejang-kejang.

“Ikut Nenek! Ayo! Ikut Nenek!” Bobi terus mengigau tak jelas. Sampai akhirnya Ayah
frustasi. Dengan telapak tangannya, Ayah menampar keras pipi anaknya hingga terbangun.

“Aduh!” kata Bobi yang terbangun dan langsung memegangi pipinya. Setelah bangun dari
tidurnya, Bobi seperti orang ling-lung. Ia bingung dan melihat sekitar, tak ingat apa-apa.
Matanya menatap lurus ke depan, sedikit menyipit.

“Heh! Kenapa kamu? Kok tidur di sini? Yang buka pintu siapa?!” tanya Ayah. “Ini kenapa?!”
Tangan Ayah memegang bekas biru di pipi Bobi. Seperti habis dicubit dengan begitu keras.

Tapi tak sepatah kata pun keluar dari mulut anak itu. Samar-samar, mulutnya bergumam,
“Nenek.”

Suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Tak lama muncul Rara yang baru saja
bangun dari tidurnya. “Kakak! Sini!” panggil Ayah. Remaja itu lalu melihat Ayahnya, ia yang
hendak ke kamar mandi bergegas berbelok arah ke arah sang Ayah. Tanpa ada rasa curiga
apapun, ia mendekat dan berdiri di dekat mereka berdua.
“Jagain adeknya dulu!” Ayah langsung memberikan Bobi kepada sang kakak
perempuannya. Rara sendiri bingung, ditambah dengan sikap Bobi yang diam saja. Tak
biasanya Bobi terlihat melamun seperti sekarang, biasanya dia selalu aktif. Sedangkan
Ayah langsung berjalan cepat kembali ke dalam kamar.

“Kenapa sih, Dek?” tanya Rara yang kebingungan. Dengan wajah datar, Bobi
menggelengkan kepala.

Ayah sampai di kamar, matanya menatap Mama yang terbaring lemas di kasurnya. Ia sudah
tidak lagi kejang-kejang. Tapi tubuhnya kian lemah, matanya menatap kosong ke atas.
Mulutnya terbuka sedikit. Ayah beranjak ke dekat meja kecil di samping lemari, mengambil
selembar tisu dari kotaknya.

Kemudian mendekati Mama. Dengan lembut ia elap air liur yang keluar dari celah bibirnya.
Mata Mama yang semula menghadap ke langit-langit kamar, langsung menoleh saat Ayah
berdiri di dekatnya. Dengan tatapan serius, Mama berkata, “Nenek datang! Nenek udah
pulang!”

Ayah menghembuskan nafas panjang. “Istighfar, Ma,” jawabnya singkat. Ia lalu membuang
tisu tadi ke tempat sampah kecil. Tangan Ayah berpindah ke dahi Mama. Masih panas
seperti sebelumnya. Sama sekali tidak menunjukkan adanya perubahan.

“Padahal kemarin pas di luar, Mama udah sembuh. Kenapa begitu balik ke rumah malah
jadi sakita lagi sih?” Ayah yang kebingungan menggaruk kepala.

“Mama harus makan, terus minum obat,” kata Ayah sambil berjalan ke luar. Ia teringat
kembali dengan anak bungsunya. Tapi di ruang depan hanya nampak Rara sedang
mengepel lantai yang kotor dengan jejak kaki tanah seseorang.

“Bobi mana, Kak?” tanya Ayah. Ia lalu berdiri membelakangi Rara, lalu membuka kotak
obat yang menempel di dinding.

“Udah ke kamar, mau tidur lagi katanya,” jawab Rara sambil mengepel. Karena penasaran,
ia berhenti sejenak. Menatap ke arah Ayah. “Ini jejak kaki siapa sih, Yah?” tanya anak
pertamanya itu.
“Kayanya si Bobi itu. Dia ngigau sampe jalan keluar rumah, terus masuk lagi,” jawab Ayah.
Sebuah toples obat kecil ia keluarkan dari dalam kotak. Tak lupa membaca nama obat-obat
itu.

“Oh, sleepwalking,” gumam Rara. “Tapi kok jejak kaki Bobi bisa segede ini ya, Yah? Setauku
kaki Bobi lebih kecil,” tambahnya.

Kali ini Ayah tidak bisa menjawab. Sambil menutup kotak obat, ia berbalik badan dan
menghadap ke arah Rara. “Ah, mungkin emang segitu kali ukuran kaki dia. Udah ya, mau
kasih Mama obat dulu,” jawab Ayah yang kemudian kembali masuk ke dalam kamar. Tak
lupa ia mengambil sebungkus roti yang ada di dapur.

Di depan pintu, Rara masih tak puas dengan jawaban itu. Ia tatap baik-baik jejak kaki di
lantai itu. “Aneh, kalo Bobi keluar masa jejak kakinya tanah begini? Di mana ada tanah?”
batinnya sambil melihat ke halaman luar yang seluruhnya sudah memakai semen.

Sedangkan jalanan depan sudah memakai aspal, sama sekali tak ada tanah merah di sini.
Kecuali Bobi mengigau sampai ke kuburan. Tapi akhirnya Rara berusaha menerima
jawaban Ayah. Ia memilih berpikir positif dan melanjutkan pekerjaannya.

Hari itu, beberapa tetangga datang ke rumah Ayah. Mereka bersama-sama bekerja di
dapur. Kompor-kompor semua menyala, bahkan sampai ada satu kompor tambahan.
Wajan sedang sampai kuali besar pun mereka gunakan saat itu. Hampir semua yang datang
merupakan sekelompok ibu-ibu. Mereka memasak demi menyambut malam ketiga
kepergian Nenek. Sudah jadi kebiasaan di kampung ini, jika masuk malam ketiga pihak
keluarga akan membagikan berkat makanan kepada jamaah yang ikut pengajian.

Suara besi tajam beradu dengan kayu terdengar beberapa kali, memotong berbagai bumbu
dapur dan sayuran. Aktivitas ini membuat lantai dapur sedikit licin karena berminyak.
Walau tampak melelahkan, semua yang datang membantu masak saat itu sangat
menikmati pekerjaannya. Semua melakukan demi membantu keluarga Ayah.

Sementara para ibu-ibu menyerbu dapur, Mama justru terbaring lemah di kamar. Masih
dengan keadaannya yang pucat dan tanpa tenaga. Bahkan diajak mengobrol pun ia enggan.
Hanya Rara yang ada di dapur dan membantu tetangga yang datang.
Asap mengepul ketika salah satu tetangga membuka panci besar berisi nasi yang sudah
matang di masak. Dengan sigap, dari arah belakang Ayah langsung mengangkat dan
menurunkan nasi dari atas kompor. Lalu berjalan beberapa meter dan meletakkan panci
nasi itu di tengah tiga orang ibu rumah tangga yang sudah duduk di posisinya. Tangan
mereka dilapisi plastik, kemudian mulai menyusun nasi itu ke dalam kotak makanan.

“Semoga yang dateng rame ya, soalnya lumayan banyak ini bikinnya,” kata salah satu
tetangga yang tengah memasukkan lauk pauk ke dalam plastik. Di sampingnya Rara yang
melakukan pekerjaan yang sama menanggapi dengan tersenyum.

“Amiin, semoga habis semua ya, Bu,” jawab Rara.

“Gak semua juga gak apa-apa, kalo abis semua nanti kamu makan apa sama adek-adekmu,”
sahut tetangga lainnya sambil tertawa kecil.

“Oh iya, hehe.” Rara tertawa kecil sambil mengambil plastik baru.

Saat hari perlahan mulai gelap, beberapa tetangga sudah pulang ke rumah masing-masing.
Menyisakan beberapa tetangga terdekat yang masih sibuk merapikan kotak-kotak
makanan ke dalam plastik. Sekitar dua orang tetangga, Rara dan Ayah mengerjakan sisa
pekerjaan itu di dapur. Mengejar waktu sebelum azan magrib berkumandang.

Di tengah aktivitas mereka itu, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Sontak semua menoleh ke
arah kamar. Mama keluar dan berdiri di depan pintu. Matanya menatap kosong ke depan,
wajahnya pucat. “Eh, udah enakan, Bu?” tanya salah satu tetangga. Namun, Mama tidak
menggubrisnya sama sekali. Ia hanya diam dan berdiri di sana tanpa reaksi apapun.

Rara dan Ayah pun saling pandang, sedikit khawatir melihat Mama yang mulai bersikap
aneh. “Mama? Kenapa? Butuh sesuatu?” tanya Ayah. Melihat itu, Rara inisiatif. Ia berdiri
dan mendekati Mamanya. Ia pegang tangan sang ibu, menatapnya dengan penuh
senyuman.

“Mama butuh apa? Biar Rara yang bantu ya,” kata anak pertamanya itu.

Kepala Mama lalu menoleh dengan lesu, menatap Rara dengan tatapan kosong. Beberapa
detik kemudian, wajahnya berubah. Matanya menatap tajam ke arah Rara, nafasnya mulai
memburu. Wajahnya bak banteng yang hendak mengamuk. Dengan begitu keras, tangan
Mama langsung menampar wajah anaknya sendiri sampai terpental ke belakang.

“Akkh!!” teriak Rara saat telapak tangan Mama dengan sekuat tenaga menghantam pipinya.
Rara sedikit terpental ke belakang dan menabrak rak piring. Menciptakan suara gaduh
yang terdengar ke seluruh rumah.

“Eh!!” Para tetangga yang ada di tempat pun langsung berdiri, sama-sama mereka
menolong Rara yang kesakitan. Sementara Ayah berdiri dan langsung memasang badan
tepat di depan istrinya. Wajahnya sedikit kesal sekaligus bingung. Kedua tangannya
memegang bahu Mama.

“Hei! Kenapa? Ngapain kamu tampar Rara? Dia ada salah sama kamu?” tanya Ayah dengan
nada kesal. Tapi Mama sama sekali tidak menjawab. “Masuk! Masuk kamar!” Ayah lalu
sedikit mendorong Mama masuk kembali ke kamarnya. Mama yang baru saja menampar
Rara sekuat tenaga itu mendadak kembali lemas, kakinya dengan lesu berjalan masuk ke
dalam kamar.

“Rara?” Ayah beralih ke anak pertamanya. Rara duduk bersandar di dinding sambil
meneteskan air mata. Salah satu tetangga mengambil selembar tisu dan mengelap darah
yang keluar dari sudut bibir Rara. “Gak apa-apa, kan? Kamu gak pusing?” tanya Ayah.

Rara menggeleng. Salah satu tetangga menyahut, “enggak, Pak. Cuma shock aja dia ini.”

Ayah lalu berdiri, mengusap kepalanya. Dengan wajah bingung ia menggelengkan kepala.
Menatap ke depan dengan wajah bingung. Sambil berdiri, Ayah hanya bisa terdiam. Sambil
melihat Rara, otak Ayah berputar memikirkan sikap Mama yang begitu aneh.

Tanpa sepengetahuan mereka semua, diam-diam Mama kembali keluar dari dalam kamar.
Kini dirinya berjalan ke arah salah satu meja di dapur. Sebenarnya salah satu tetangga
sudah melihatnya, tapi ia lebih memilih diam dan memperhatikannya. Mama lalu
mengambil sebilah pisau dapur dari meja. Melihat itu, barulah sang tetangga mulai histeris.

“Eh! Itu mau ngapain?!” katanya dengan nada keras sehingga membuat semuanya
berpaling ke arah Mama.
“Mama!” Ayah langsung bergegas mendekatinya. Pisau itu Mama arahkan ke lehernya
sendiri. Sebelum benda tajam itu menembus kulitnya, Ayah lebih dulu sampai dan langsung
memegang tangannya. Sekuat tenaga Ayah menahan tangan Mama agar tidak menusukkan
pisau itu.

“Lepas! Lepas, Ma! Mau ngapain kamu?!” bentak Ayah yang kesal.

Mata Mama lalu melotot ke arah Ayah, giginya saling beradu. “Lepasin! Aku mau mati aja,
Yah! Aku mau mati!” katanya dengan nada tinggi.

Kedua tetangganya lalu berdiri, mendekat membantu Ayah. Mereka berusaha melepaskan
pisau itu dari genggaman jari Mama. Namun tidak bisa, jari Mama menggenggam begitu
kuat. Kedua orang tetangga itu sudah sama-sama menyatukan kekuatan, tapi tetap saja
tangan Mama lebih kuat dari mereka.

“Aduh, Ibu! Ngapain? Jangan, serem tau ini tajem!” kata salah satu tetangga yang panik.

“Biarin! Biarin saya mau mati! Nenek ajak saya mati! Nenek suruh saya mati!” kata Mama.

“Nenek udah meninggal! Jangan percaya, bukan Nenek itu! Istigfar kamu!” kata Ayah
semakin marah. Ia masih terus menahan tangan Mama yang hendak menusukkan pisau itu
ke lehernya sendiri.

Sesekali pisau itu hampir menyentuh kulit leher Mama, tapi dengn kuat Ayah menariknya
lagi. Dibantu dengan dua orang tetangganya. Nyawa Mama bergantung pada kekuatan
mereka dalam menahan tangan Mama.

Selain itu, mereka juga bingung. Mereka butuh bantuan, akan tetapi jika salah satu dari
mereka pergi maka kekuatan jadi berkurang dan Mama bisa dengan mudahnya
menghunuskan pisau itu ke lehernya. Akhirnya salah satu dari mereka berinisiatif untuk
teriak.

“Tolong! Tolong!”

Sekuat tenaga mereka teriak, tetap tak ada yang mendengar. Tak ada pertolongan yang
datang,
Sampai akhirnya, azan magrib berkumandang. Dari luar rumah, suara seorang muazin
masjid terdengar merdu dan masuk ke dalam. Seketika itu juga, tubuh Mama menjadi
lemas dan langsung terjatuh ke lantai.

Papa lebih dulu menangkap tubuhnya. Sedangkan salah satu tetangganya, mengamankan
pisau ke tempatnya. “Bu, tahan kakinya,” ucap Ayah sambil menahan kepala Mama yang tak
sadarkan diri. Tetangganya itu memegangi kaki Mama, kemudian dengan cepat Ayah
mengangkat tubuh istrinya itu ke atas lengannya. Lalu menggendongnya ke dalam kamar.

Masih shock dengan apa yang baru terjadi, dua ibu rumah tangga yang merupakan tetangga
terdekat mereka itu berdiri di dapur. Mereka sama-sama kelelahan, segala tenaga sudah
mereka keluarkan demi menahan tangan Mama. Tak lupa mereka minum air, keringat
mengucur di keningnya.

Ayah keluar kamar saat Mama sudah terbaring aman di kasurnya. Sedangkan Rara sudah
beranjak dari posisinya ke kamar mandi, suara keran terdengar beberapa saat setelah
remaja itu masuk. Ayah mendekat ke kedua tetangganya.

“Maaf ya, ibu-ibu,” ucap Ayah.

“Gak apa-apa kok, untung aja ya, ada kita,” jawab salah satu tetangga.

“Kalo bisa, kejadian hari ini jangan dulu disebar ke tetangga lain ya, Bu.” Ayah menatap
mereka satu per satu. Sambil mengangguk mereka berdua sepakat untuk tidak bercerita
soal kejadian ini ke siapa pun.

“Kalau begitu kita pulang ya, Pak. Habis isya kita balik lagi ke sini,” kata mereka yang
kemudian bersiap pulang, mengambil barang-barang mereka.

“Silahkan, terima kasih banyak, Bu,” ucap Ayah sambil tersenyum.

“Awas, jaga Bu Irma ya. Jangan sampe kaya tadi lagi. Serem,” pesan kedua tetangga itu
sebelum akhirnya berjalan keluar rumah dan meninggalkan kediaman Ayah serta keluarga.

Setelah para tetangga pergi, Ayah berjalan kembali ke dalam kamarnya. Menatap sang istri
yang terbaring lemas di atas kasur. Wajah Mama begitu pucat, membuat Ayah semakin
khawatir dibuatnya.

“Ada apa sebenernya?” Ayah menghela napas kemudian kembali berjalan ke luar kamar.
Azan pun berhenti berkumandang, sementara dari kejauhan masjid-masjid lain masih
menyelesaikan azan mereka. Semua lantunan suara indah itu serasa menggema di langit
senja itu. Menjadi satu memenuhi kubah langit, mengantar sang surya terbenam dan
menghilang di cakrawala.

Tok! Tok! Tok!

Mata Niko yang semula terpejam langsung terbuka kala mendengar suara ketukan yang
cukup keras di kaca jendelanya. Matanya yang masih mengantuk melirik pelan ke arah
jendela kamar yang tertutup gorden. Telinganya ia pasang sebaik mungkin untuk
menegaskan suara tersebut. Dan memang ada, suara ketukan itu benar ada di jendelanya.

Tok! Tok! Tok!

Matanya melihat ke arah kasur adiknya. Bobi masih terlelap dengan nyaman di ranjangnya.
‘Mungkin angin’ pikir Niko yang berpikir positif. Ia kembali memejamkan matanya,
mencoba kembali ke alam mimpi.

Tok! Tok! Tok!

Suara itu kembali terdengar, semakin keras dan semakin jelas. Niko masih bisa
menahannya, badannya memeluk guling. Berusaha sekeras mungkin untuk tertidur. Tapi
mau bagaimana pun ia berusaha, dirinya tetap enggan kembali dalam tidur. Di tengah
kamar yang gelap, matanya kembali terbuka.

“Ah, Bobi pasti gak tutup jendela nih!” gumam Niko sambil melirik ke arah adiknya.
“Kebiasaan banget!”

Saat sedang terdiam, Niko teringat perkataan Bobi siang tadi. Ya, Bobi sempat
menceritakan kalau Nenek suka pulang ke rumah saat malam hari. Mengingat itu, sontak
seluruh badan Niko merinding. Wajahnya mulai menunjukkan ekspresi ketakutan.

Suara ketukan itu makin jelas di jendelanya. Matanya menatap lurus ke arah gorden. Ia
berharap sesuatu tersangkut di luar dan tertiup angin sehingga tak sengaja mengetuk
jendelanya. Kalau benar, Niko akan menyingkirkan sesuatu itu dan lanjut tidur sampai pagi
tiba.
Dirinya lalu memberanikan diri beranjak dari kasur. Jendela itu berada di tengah-tengah
antara kasurnya dengan kasur Bobi. Jika melihat ke luar, maka langsung terlihat
pemandangan belakang rumah. Niko sedikit mengintip dari sisi samping gorden. Ia tidak
melihat apa-apa di jendela, dengan begitu ia bisa percaya diri berjalan menghadap ke
jendela.

“Bob, Bob!” Niko menggoyangkan adiknya beberapa kali. Berharap Bobi bangun dan
menemaninya melihat ada apa di luar sana. Tapi Bobi yang tertidur pulas tidak bergerak
sama sekali, matanya terpejam dengan nyaman.

Melihat adiknya tidur membuat Niko tak tega membangunkannya. Selama beberapa detik
dirinya berdiri di depan kasur adiknya. Berpikir tindakan terbaik yang perlu ia lakukan,
sambil menunggu apakah ketukan itu masih akan terdengar.

Tok! Tok! Tok!

Suara itu terdengar lagi, tanpa pikir panjang Niko bergerak menuju jendela. Tangannya
memegang gorden, dengan cepat menyibak kain yang menutupi jendela tersebut. Dan di
luar jendela, tampak nenek berdiri menatapnya dengan wajah pucat dan kedua lubang
hidung tertutup kapas. Tangan nenek yang keluar dari kain kafan mengetuk kaca
jendelanya.

“Ba!” Nenek membuka mulutnya lebar-lebar dan mencoba mengagetkan Niko.

Tok! Tok! Tok!

“Nenek mau masuk, Niko,” ucap nenek dengan suara lirih.

Melihat itu, anak laki-laki usia dua belas tahun itu langsung ketakutan. Kakinya gemetar,
matanya terpaku menatap penampakan yang ada di depannya. Nenek yang sudah
meninggal berdiri di balik kaca jendela, mengetuk kaca dan meminta masuk. Dengan
setelah kain kafan yang kemarin ia lihat di pemakaman.

“N-Nenek? Nenek?!” kata Niko dengan mulut gagap.


“Iya ini Nenek, Nenek mau masuk. Mau tidur sama Niko,” katanya sambil terus mengetuk
kaca. “Hi Hi Hi ....” Nenek lalu tertawa kecil, kulit keriputnya mengkerut saat mulutnya
melengkung menciptakan senyum menyeramkan yang tidak ingin dilihat siapapun.

“Bismillahirohmanirrahim.” Niko memejamkan mata dan mulai membaca doa berharap


sosok itu hilang dari pandangannya. Tapi alih-alih menghilang, Nenek malah mengikuti
setiap ayat dan doa yang dibaca oleh Niko.

“Salah, Niko! Bukan begitu cara membacanya,” ucap Nenek mengoreksi pelafalan ayat Niko
yang banyak kesalahan.

“Aaaaaa!!” Sadar usahanya itu sia-sia, Niko menyibak kembali gorden jendelanya. Kembali
membiarkan kain itu menutupi jendelanya. Dirinya langsung melompat ke kasur, membuat
kasur itu bergoyang beberapa saat. Selimut ia tarik, ia tutupi seluruh tubuhnya. Bulu di
sekujur tubuh merinding bukan main. Nafasnya terengah-engah.

Tok! Tok! Tok!

Nenek mau tidur sama Niko.

Tok! Tok! Tok!

Nenek mau tidur sama Niko.

Tok! Tok! Tok!

Nenek mau tidur sama Niko.

Suara-suara menyeramkan itu terus terdengar, membuat Niko tidak bisa tidur sama sekali.
Telinganya seakan diperkosa, dipaksa mendengar panggilan-panggilan itu. Seolah suara itu
benar-benar tepat di telinganya. Matanya terpejam memaksa tidur, nafasnya tak beraturan.
Badannya gemetar.

Saat dirinya menutup mata, wajah Nenek yang menyeramkan malah semakin terbayang-
bayang. Terpaksa ia pun kembali membuka mata, seluruh badannya penuh dengan
keringat sampai membasahi baju belakangnya.
“Ayah!” Niko langsung turun dari kasurnya dan berlari menuju pintu dengan mata berkaca-
kaca. Tangannya memegang pintu dan berusaha membukanya. Akan tetapi pintu itu tak
bisa dibuka. Rasanya seperti ada seseorang yang menahan dari luar supaya pintu tak bisa
dibuka.

Mau ke mana sih, Niko?

“Aku takut!” Niko menangis dan duduk meringkuk di lantai sambil menutup kedua
matanya dengan tangan.
Sial bagi Niko, selama semalaman itu dirinya harus merasakan teror menyeramkan dari
sang nenek yang gentayangan mengganggu seisi rumah. Yang kini baru pertama kali
menimpa Niko seumur hidupnya.

Niko tertidur setelah hampir satu jam terjaga dan mendengar suara-suara itu. Dirinya
terlelap, membawa rasa takut itu ke alam mimpi. Dengan harapan hari esok segera datang,
matahari pagi segera terbit.

Pagi harinya, Niko terbangun setelah semalaman tidur di atas lantai. Matanya terbuka dan
langsung melihat langit-langit kamar. Bobi tampak sudah bangun lebih dulu, ia merubah
posisi tidurnya menjadi miring. Menghadap ke kasur Bobi, tapi matanya justru fokus ke
dinding. Di mana jendela itu terpasang. Sontak, Niko kembali teringat kejadian semalam.
Badannya kembali gemetar.

Niko lalu berdiri, walau pun sinar mentari pagi sudah masuk dari ventilasinya, Niko masih
merasa takut. Ia berjalan ke arah jendela, buru-buru tangannya membuka gorden itu.
Cahaya matahari yang menyilaukan mata langsung menyambutnya. Tak ada apa-apa di
balik jendela, hari sudah pagi dan langit sudah terang. Orang-orang sudah ramai memulai
aktivitas di luar sana.

Kakak ....

Kakak ....

Kakak ....
Rara membuka matanya kala suara itu berkali-kali memanggilnya, masuk ke telinganya
dan terngiang-ngiang di kepalanya. Jam menunjukkan pukul dua belas, tengah malam. Ia
mengangkat kepalanya sedikit, melihat ruang kamar yang gelap. Pandangannya sangat
terbatas, tapi ia bisa memastikan kalau kamarnya tidak ada siapa-siapa kecuali dirinya
sendiri.

Gadis itu tak mau ambil pusing. Ia kembali menaruh kepalanya di bantal yang empuk,
memejamkan mata dan mencoba kembali masuk ke alam mimpi. Selimut ia tarik menutupi
tubuhnya sebatas bahu.

Kakak ....

Kakak ....

Kakak ....

Mata Rara kembali terbuka. Kali ini dirinya mulai curiga. Akhirnya ia bangkit dari
posisinya, duduk di atas ranjang sambil melihat sekitar. Ia terdiam, memasang telinganya
baik-baik dan menunggu suara itu datang lagi.

Kakak ....

Buru-buru Rara menyibak selimutnya saat suara itu benar-benar terdengar di telinganya.
Ia buru-buru turun dari kasurnya. Kakinya mulai menyentuh lantai, melangkah dari kasur
mengarah ke pintu. Ia genggam gagang pintu itu, menariknya ke dalam hingga terbuka.
Rara mengeluarkan kepalanya sedikit, menengok ke kanan dan ke kiri. Seluruh rumah
benar-benar gelap, tidak ada siapa-siapa sepanjang mata melihat. Suara itu jelas bukan
suara kedua adik laki-lakinya.

Kakak ....

Gadis yang semula berdiri di ambang pintu, kini beranjak keluar dari kamar. Suara itu dari
lantai bawah, kakinya mulai menuruni satu per satu anak tangga. Matanya fokus menatap
ke bawah, memperhatikan anak tangga di tengah kegelapan. Menjaga dirinya agar tak salah
langkah.

Di lantai bawah, lagi-lagi ia tidak menemukan siapa-siapa. Terasa hawa dingin sedikit
masuk melalui ventilasi. Pintu kamar orang tuanya tertutup. Jadi tidak mungkin baginya
kalau mama yang memanggil. Di tengah kesunyian itu, Rara mencari ke segala arah, ia juga
membuka gorden jendela. Memandang ke luar rumah dari balik kaca jendela. Tidak ada
siapa-siapa.

Kakak ....

Ia kembali kaget, suara itu kembali terdengar. Anehnya, suara itu kini berasal dari lantai
dua. Entah bagaimana caranya sumber suara itu bisa berpindah. Tak mau tertinggal lagi,
Rara buru-buru berlari ke lantai atas. Suara kakinya beradu dengan anak tangga memecah
keheningan malam.

Kakak ....

Telinganya kembali mendengar suara itu. Sumber suara itu berasal dari kamarnya sendiri.
Langkah kakinya semakin cepat. Sesampainya di lantai dua, ia langsung meraih gagang
pintu. Pintu itu pun terbuka, ia melangkah masuk ke dalam.

Baru satu langkah ia masuk, kakinya langsung terhenti. Ia berdiri diam di tempat, terpaku
dan mematung di depan pintu. Matanya terbelalak menatap ke arah kasur. Di atas
kasurnya, nenek berbaring dengan kain kafan yang masih membungkus dirinya. Hidungnya
disumbat oleh dua bola kapas putih. Wajahnya pucat melihat ke arah di mana Rara berdiri.

Nenek menyeringai kala sang cucu datang, membuat kerutan wajahnya terlihat. Matanya
yang cekung ke dalam menatap Rara.

“Sini, Kak. Temenin Nenek tidur,” ucap nenek dengan lirih.

“Aaaaaaa!!!” Rara teriak sekuat tenaga. Dirinya yang semula kaku seperti patung  berlari ke
luar kamar. Pintu kamar itu ia banting dengan keras. Menghasilkan bunyi gaduh yang amat
mengganggu. Langkah kakinya dengan cepat menuruni tangga. Sampai akhirnya ia
menginjakkan kaki di lantai bawah.
Wajahnya panik ketakutan, buru-buru ia melanjutkan larinya ke arah kamar orang tuanya.
Pintu kayu itu ia gedor berkali-kali. Berharap ayah terbangun. “Ayah! Ayah! Ayah!” teriak
Rara dengan nada panik. Matanya sudah berkaca-kaca.

Tak lama kemudian terdengar suara dari dalam kamar, gagang pintu itu tampak bergerak.
Lalu pintu terbuka. Rara langsung memeluk ayah tepat setelah pintu di buka. Ayah yang
melihat Rara menangis ketakutan pun jadi ikut panik. Badan Rara gemetar ketakutan, ayah
bisa merasakannya.

“Eh? Kenapa sih, Kak?” tanya ayah sambil mengelus punggungnya. Ayah lalu melepas
pelukannya dan melihat wajah Rara. Wajah anak pertamanya itu sudah pucat. Air mata
berlinang membasahi pipinya. “Kenapa?!” tanya ayah sekali lagi.

Sambil terisak, Rara mencoba menjelaskan. “Itu tuh, itu. N-Nenek! Ada N-nenek, di kamar!”
jawabnya terbata-bata.

“Nenek? Yang bener kamu, Kak?” kata ayah meyakinkan.

“Bener! Ada Nenek! Aku gak bohong! Ada Nenek!” kata Rara yang tangisannya semakin
histeris.

Ayah lalu berjalan meninggalkan Rara yang masih terisak-isak. Ia berjalan naik ke lantai
atas. Gadis itu lalu duduk di pinggir pintu kamar ayah, sambil memeluk kedua kakinya. Ia
membenamkan wajahnya ke lutut, sambil terus menangis ketakutan.

“Kakak,” panggil mama yang berbaring di ranjangnya. Rara lalu menoleh ke arah mama
yang tidur dengan posisi miring menghadapnya. Mama menatap Rara sambil tersenyum.
“Nenek dateng mau ketemu Rara. Kok Rara malah ninggalin Nenek?” tanya mama sambil
mempertahankan senyum misteriusnya.

Mendengar itu, Rara langsung menutup pintu kamar sedikit. Hingga pandangannya tak lagi
bisa melihat mama yang terbaring di sana. Tangisannya masih terus berlanjut, matanya
kian sembab seiring air mata yang terus mengalir membasahi pipinya.

Suara langkah kaki seseorang terdengar dari arah tangga. Ayah turun dari lantai dua, lalu
mendekati Rara yang masih duduk meringkuk di depan pintu kamarnya. “Kakak, sini.”
Ayah lalu memegang tangan anaknya itu. Lalu mengajaknya berdiri, Rara berdiri dengan
wajah yang basah dengan air mata. Pandangannya melihat ke arah lain.

“Gak ada apa-apa di kamar. Gak ada Nenek, mungkin kamu mimpi buruk,” ucap ayah
menenangkan sambil mengelus kepalanya. “Kalo gak percaya ayo kita liat ke tas,” ajak
ayah.

“Enggak!” tegas Rara saat mendengar ajakan untuk naik ke atas.

Tangan gemetar Rara memegang kuat tangan ayah. “Terus sekarang gimana? Gak mau
balik ke kamar? Mau tidur di mana?” tanya ayah sambil menghembuskan nafas.

“Mau tidur di sofa aja,” jawab Rara.

“Kamu tidur sama mama aja. Ayah yang tidur di sofa,” kata ayah menawarkan.

Akhirnya malam itu, mereka sepakat. Rara masuk ke kamar mama, tapi dia juga tak berani
tidur di satu ranjang dengan mama yang akhir-akhir ini bersikap aneh. Rara memilih
menggelar kasur lantai dan tidur di bawah.

“Ayah,” panggil Rara sesaat sebelum sang ayah berjalan ke luar sambil membawa bantal
miliknya. “Ayah gak percaya kalo ada Nenek di kamar aku? Aku beneran, ada nenek di
sana,” tambah Rara.

Ayah menghela nafas. “Kita omongin besok ya,” ucap ayah yang kemudian berjalan ke luar
kamar dan menutup pintu. Malam itu, akhirnya Rara bisa tidur dengan tenang tanpa
gangguan dari nenek. Meskipun harus menumpang di kamar orang tuanya. Sementara ayah
mengalah tidur di sofa dengan satu bantal di kepalanya.

***

Keesokan paginya, Rara sudah agak membaik. Tapi ia masih suka melamun dan terbayang-
bayang kejadian semalam. Dirinya masih shock dengan yang dilihatnya. Seperti saat ini,
dirinya tengah melamun sambil mencuci piring bekas adiknya makan. Di depannya air
keran mengucur jatuh ke wastafel. Sedangkan sang ayah sedang membeli bubur di luar
untuk mama. Kedua adiknya yang sudah kenyang tengah menonton TV.
Di tengah lamunan Rara, tiba-tiba mama datang setengah berlari dari arah kamar. Tangan
mama langsung mendorong tubuh Rara yang berdiri di wastafel. Sampai-sampai Rara
terpental ke samping, piring yang sedang dicucinya terlepas. Beruntung hanya jatuh ke
dalam wastafel dan tidak jatuh ke lantai.

Mama lalu mengambil alih wastafel. Ia berdiri di sana dengan mata melotot dan mulut
sedikit terbuka. Nafasnya juga memburu sampai terdengar oleh Rara. Gadis itu terdiam
melihat mamanya, tak berani bereaksi. Apalagi ayah sedang tidak ada di rumah.

“Hueekk!!” Tiba-tiba mama muntah ke wastafel tersebut. Cairan kental berwarna merah
keluar dari mulutnya. Masuk ke wastafel dan mengotori salah satu piring yang sedang Rara
cuci. Melihat itu Rara langsung histeris.

“Mama!” Sebungkus bubur yang sedang dibawa ayah langsung terjatuh saat ia sampai di
rumah dan melihat mama yang muntah darah di wastafel. Ia teringat kembali pada saat
nenek meninggal, persis seperti yang mama alami sekarang. Ayah buru-buru mendekat dan
melihat kondisi sang istri.

Mulut mama tak henti-hentinya mengeluarkan darah. Saat ayah sudah berada di dekatnya,
mama langsung mengangkat wajahnya. Mulutnya yang belepotan dengan cairan merah
kental itu terbuka dengan lebar. Tangan kanan mama lalu masuk ke dalam mulutnya.

“Uukkh!! Nggkkhhh!” Tangannya mencoba meraih sesuatu di dalam tenggorokannya. Lalu


menariknya ke luar. Matanya melotot, kepalanya mendongkak menghadap ke arah langit-
langit.

“Mama! Mama! Kenapa?!” Papa pun mulai berlinang air mata. Ia memegangi badan sang
istri. Juga tangannya. Mulutnya terus menerus mengucap istighfar. Sedangkan anak
pertamanya hanya terdiam sambil tercengang melihat pemandangan di depannya itu.

Tangan mama lalu keluar dari dalam mulutnya. Jarinya memegang seekor kalajengking
kecil yang masih hidup. Ia lempar binatang itu ke wastafel.

“Hueek!” Mama kembali muntah. Kali ini mulutnya hanya mengeluarkan air dan sedikit
darah. Setelah itu, semuanya selesai. Tubuh mama lemas dan bersandar di badan ayah.
Tapi mata mama masih terbuka dan dalam keadaan sadar.
Sambil menangis sedih, ayah melihat kalajengking itu. Pikirannya mulai kacau. Tangannya
dengan kuat menahan tubuh mama yang hampir terjatuh. Meskipun dirinya sendiri
sebetulnya lemas melihat pemandangan barusan. Ia memejamkan matanya dan
menggelengkan kepala.

“Astagfirullahaladzim,” ucap ayah bersamaan dengan air mata yang jatuh mengalir di
pipinya.

"Niko! Bobi! Ayo turun semua!" panggil ayah dari bawah tangga.

Tak lama suara kaki kedua anak laki-lakinya terdengar, mereka pun tak lama setelah
panggilan sang ayah. "Duduk di sofa," perintah ayah saat mereka baru setengah menuruni
tangga. Kedua kakak beradik itu langsung menurut dan berjalan ke ruang depan lalu duduk
di sofa yang ada di sana. Di dekat mereka, sang kakak Rara sudah duduk sedari tadi.

Ayah lalu menyusul mereka. Duduk di salah satu sofa tunggal yang hanya semeter dari sofa
anak-anaknya. Wajah ayah amat serius, Niko dan Bobi saling pandang. Saling bertukar
isyarat. Namun keduanya sama-sama mengangkat bahu pertanda tidak tahu.

"Enggak, Ayah bukan mau marah-marah kok," ucap ayah menenangkan kedua anaknya
yang sedang bertanya-tanya itu. "Ayah kumpulin kalian di sini karena mau tanya soal
sesuatu." Wajah ayah berpaling ke samping. Dirinya ragu untuk menjelaskan maksudnya
mengumpulkan semua anaknya di ruang depan. Batinnya ragu akan apa yang sampaikan
beberapa saat lagi.

Rara sudah tahu apa yang ingi ayah bahas di sini. Gadis itu hanya diam menunduk sambil
menunggu ayah bicara, berbeda dengan kedua adiknya yang memang belum tahu apa-apa.
Sampai akhirnya ayah pun yakin dengan keputusannya.

"Jujur aja, kalian semenjak Nenek meninggal. Ngalamin apa aja?" tanya ayah sambil
menatap satu per satu anaknya dengan serius.
Mendengar pertanyaan itu, dua anak laki-lakinya sedikit kaget. Wajah mereka berubah
takut, tak terdengar sepatah kata pun dari mereka. Atau gelagat ingin menjawab. Keduanya
tampak membisu. Ingatannya kembali ke pada kejadian-kejadian menyeramkan yang
mereka alami. Sampai akhirnya, mereka mengikuti sang kakak menunduk.

"Mulai dari Bobi!" tegas ayah memaksa mereka bicara.

Anak 5 tahun itu mengangkat kepalanya. "Itu, waktu itu Nenek ngomong di kamar. Nangis,
terus aku tanya katanya aku suruh nemenin Nenek," jawab Bobi.

"Kamar siapa? Kamar kamu?" tanya ayah menegaskan.

"Kamar Nenek," jawabnya singkat.

"Terus waktu ayah temuin kamu tidur di sini, dengan pintu kebuka. Itu ada apa pas
malamnya?" Ayah kembali melontarkan pertanyaan. "Jawab aja, Bob. Coba ceritain ke
Ayah. Ayah mau tau," tambahnya.

"Ada Nenek. Nenek dateng malem-malem itu, minta minum." Sambil menunduk anak itu
menjelaskan. Bahkan sang ayah bergidik ngeri saat mendengar jawaban dari bocah itu.
Kemudian ia menenangkan dirinya sendiri. Ia tarik nafas panjang, lalu membuangnya
kembali.

"Niko, sekarang kamu!" ujar ayah.

Niko yang sejak tadi mulutnya gatal mendengar adiknya bercerita kini akhirnya
mendapatkan giliran. "Itu, Yah! Pas Niko tidur, ada yang ketuk-ketuk jendela. Pas dibuka
gak taunya Nenek. Dia bilang mau masuk ke rumah katanya, abis itu aku lanjut tidur. Tapi
susah banget, suara Nenek manggil aku terus!" tutur Niko menjelaskan.
"Jadi gitu ya, pantes kamu minta jendela di tutup kayu." Ayah lalu menegakkan posisi
duduknya. "Ayah udah ngerasa ada yang gak beres di sini. Terutama sama Mama juga. Tapi
kalian jangan khawatir, Ayah punya kenalan. Yang bisa mengusir hawa jahat dari rumah
kita. Ayah bakal minta tolong sama dia, kalian jangan takut," kata ayah menjelaskan.

Ayah lalu mempersilahkan anak-anaknya untuk kembali ke kamarnya masing-masing.


Sementara dirinya masih duduk di meja tunggal itu. Matanya menatap ke depan, kepalanya
penuh dengan berbagai pemikiran. Sedikit rasa cemas juga tampak di wajahnya, gelisah
dan tak tenang.
Keturunanmu akan aku habisi! Mati!

Tiba-tiba bisikan itu muncul dari telinga kirinya. Begitu pelan dan sedikit mendesis.
Dengan refleks ayah menoleh, tapi tidak ada siapa-siapa di samping kirinya. Nafasnya
mulai memburu, ekspresi kesal tergambar di wajahnya. Ia melihat sekitar lalu beranjak
pergi meninggalkan sofa dan masuk ke kamar.

***

Siang harinya, seorang remaja laki-laki seumuran Rara datang ke rumah. Dengan setelan
jaket jeans dan celana bahan berwarna hitam, ia berdiri di depan gerbang rumah sambil
bermain ponselnya. Rambut mengkilapnya tersisir rapi memantulkan sinar mentari.
Wajahnya melihat sekitar, menunggu sang penghuni rumah datang dan membuka gerbang.

Tak lama, Rara keluar dari pintu rumahnya. Buru-buru ia berjalan cepat ke depan gerbang
sambil memberi senyum pada temannya itu. Ia lalu membukakan gerbang untuk sang tamu
yang datang jauh-jauh menemuinya.

"Orang gak dikunci kok," kata Rara mempersilahkannya masuk.

"Ya kan gak enak kalo aku main masuk rumah orang." Anak laki-laki itu lalu berjalan
melewati gerbang dan masuk ke halaman depan rumah Rara. Mereka berdua lalu beranjak
ke pelataran rumah.

"Toni, ayo masuk!" ajak Rara kepada laki-laki yang ia panggil Toni itu.

"Gak usah, aku di sini aja." Toni lalu melepas jaket jeansnya. Memamerkan kaos mahal
dengan bahan berkualitas yang dijual terbatas di beberapa toko resmi. Dirinya memilih
salah satu kursi yang ada di beranda rumah. Karena temannya tidak ingin masuk, Rara pun
ikut menduduki kursi di sebelahnya.

"Kamu sendirian?" tanya Toni.

"Enggak, ada adik-adikku sama Mamaku. Kalo Ayah lagi keluar, ada urusan," jawab Rara.
"Aku bikinin kamu minuman ya, kayanya panas banget hari ini. Kamu pasti kepanasan,
kan?" tanya Rara sambil tersenyum.

Toni mengangguk. "Oh iya, jelas. Terik banget. Kayanya boleh yang dingin-dingin," jawab
laki-laki itu.

Rara beranjak dari kursinya. Gadis itu kembali masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan
Toni seorang diri di beranda depan. Sambil menunggu Rara, laki-laki itu mengeluarkan
sebuah cermin kecil. Sambil bersiul-siul, dirinya menatap bayangan dirinya di cermin.
Tangan kanannya lalu mengeluarkan sisir.

Ia sisir rambutnya beberapa kali ke arah belakang. Begitu klimis dan mengkilap, jari-jari
kecil sisir tersebut membuat rambutnya kian rapi dan enak dipandang. Tapi ia seakan tidak
puas, mau serapi apapun rambut itu akan terus ia sisir.

Toni terkejut, hampir lompat dari kursi saat tiba-tiba seorang nenek berdiri di sampingnya.
Ia menatap wajahnya. Nenek berambut putih itu menatap kosong ke depan, dengan
pakaian baju terusan warna putih yang sederhana. Di tangannya ia memegang segelas
minuman sirup berwarna oranye.

Toni bingung melihatnya, ia lalu menaruh sisir dan cerminnya. Beranjak dari kursi dan
berdiri menatap si nenek.

"Nek? Halo, Nek," sapa Toni.

"Halo, Nak," ucap Nenek yang tiba-tiba tersenyum sambil menunjukkan kerutan-kerutan di
wajah pucatnya itu. Tapi pandangan matanya masih menatap ke arah lain. "Ini, silahkan
diminum," kata nenek sambil memberikan segelas sirup itu kepada Toni.

Tangan Toni menerima gelas sirup yang nampak segar, kulitnya menyentuh gelas kaca
berembun itu. Rasa dingin terasa dari minumannya.

"Makasih ya, Nek," ucapnya sambil tersenyum ramah. Nenek lalu berbalik badan, lanjut
berjalan kembali ke dalam rumah. Sebelum wanita tua itu masuk ke dalam, Toni sempat
bertanya, "Raranya mana ya, Nek?"
"Mati!" kata si nenek dengan nada ketus sambil berjalan masuk. Ucapan itu membuat kaget
Toni, ia mengelus dada sambil menggelengkan kepala. Mulutnya menggerutu karena sikap
nenek tersebut.

Ia mendinginkan kepalanya dengan meminum sirup yang tampak segar itu. Ia melepas
dahaganya, bulir-bulir dan rasa khas jeruk masuk mengaliri tenggorokannya yang kering.
Setengah gelas minuman itu ia minum. Kemudian kembali melihat rambutnya di cermin.

"Toni, maaf lama ya. Tadi aku lupa naruh sirup di mana," cakap Rara sambil berjalan ke
luar dari rumah dengan segelas sirup di tangannya. Namun, wajahnya berubah aneh saat ia
melihat ada minuman lain di meja.

"Lho, tadi nenekmu udah kasih minuman kok, Rara. Yaudah buat kamu minum aja. Cheers!"
Toni mengangkat gelas miliknya, mendadak sirup yang barusan ia minum berubah menjadi
air kotor berisi tanah kuburan, bunga melati dan belatung. Toni pun kaget melihat isi
gelasnya berubah. Wajah Rara pun kurang lebih sama.

Ia taruh kembali gelasnya di meja. "Hiih! Apaan tuh?!" katanya dengan nada kaget sekaligus
jijik.

"Gak tau! Kamu dapet dari mana minuman itu?! Ini aku baru mau kasih kamu minum lho!"
Sambil bicara tangan Rara lalu menunjukkan gelas sirup yang ia pegang. Sirup yang asli
dari kulkas di dapurnya.

"Tadi Nenek kamu tuh yang kasih!" jawab Toni masih dengan wajah jijiknya.
Rara lalu menelan ludah. Wajahnya berubah menjadi takut. Ia menatap Toni dengan begitu
serius, mereka lalu saling bertatapan. "Apa? Kenapa?" tanya Toni yang bingung dengan
maksud tatapan Rara.

"Ton, Nenekku udah meninggal beberapa hari lalu," ucap Rara menjelaskan pada Toni.

"Huekk!!" Toni lalu langsung memuntahkan apa yang baru saja ia minum. Rara buru-buru
menaruh gelas sirup di meja. Ia langsung menolong Toni. Wajahnya pucat dan matanya
berair.

"Ton? Kamu gak apa-apa?" tanya Rara yang panik sambil memegang bahunya.
Tapi dengan sedikit kasar, Toni menepis tangan gadis itu. Dengan wajah takut sekaligus
panik, Toni berdiri. Tanpa pikir panjang dan sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Laki-
laki itu langsung lari terbirit-birit meninggalkan rumah Rara. Ia buka gerbang, dan lanjut
berlari melewati jalan-jalan. Sementara sisir dan cerminnya tertinggal di meja Rara.

Rara menatap kepergian Toni dengan wajah sedih, sekaligus prihatin dengan apa yang
dialaminya. Matanya berkaca-kaca, sampai akhirnya butiran air mata pun terjatuh ke
pipinya. Sambil sedikit terisak, Rara melihat sekitar.

"Sampai kapan Nenek mau gangguin kita terus?" gumam Rara sambil menangis.

Siang itu, motor ayah melaju di tengah-tengah jalan dengan pepohonan bambu di sisi kiri
dan kanan. Begitu lebat dan padat, bahkan sinar mentarai tak sanggup menembusnya. Di
sisi lain, udara sekitar menjadi teduh. Guncangan demi guncangan terasa di motornya saat
ayah melewati jalan tanah yang tidak rata.

Mata ayah fokus menatap ke depan dari balik helm yang ia kenakan. Tangannya dengan
stabil memegang dan mengarahkan jalannya motor. Sampai akhirnya, dari kejauhan ia
melihat sebuah bangunan semi-permanen sederhana dengan dinding anyaman bambu dan
atap berupa pelepah kelapa.

Perlahan laju motornya melambat, lalu berhenti tepat di rumah tersebut. Ayah mematikan
mesin motor, turun dari motor dan melepas helm di kepalanya. Mata ayah lalu melihat
sekitar. Keringat tampak membasahi dahinya. Ia cabut kunci motor dan menaruh helm
dengan aman. Ia mulai melangkah mendekat ke pintu rumah itu.

"Permisi! Ki? Aki?" panggil ayah sambil mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban dari
dalam. Ia lalu duduk di kursi bambu kecil di dekat pintu. Berharap seseorang datang dari
dalam dan membuka pintu. Beberapa kali dirinya mencoba mengetuk, tapi tetap tidak ada
jawaban dari dalam rumah.

Ayah lalu berdiri, ia berjalan ke samping rumah. Lalu lanjut ke halaman belakang.
Sesampainya di belakang, mata ayah melihat seorang laki-laki tua yang masih gagah berdiri
dengan badan yang tegap. Dengan kumis tebal di wajahnya serta rambut panjang terikat.
Tangannya membuang butiran-butiran beras ke tanah, kemudian ayam-ayam
peliharaannya yang berwarna hitam legam memakan beras tersebut.
"Ki Ronggo," panggil ayah sambil mendekat.

Laki-laki bernama Ki Ronggo itu lalu menaruh baskom berisi beras di bawah. Ia
membalikkan badannya dan menatap ayah. Sebuah senyuman timbul di wajahnya,
menyambut kedatangan tamunya itu. "Robi. Lama banget kamu saya tunggu dari tadi. Kena
macet?" tanya Ki Ronggo sambil mengelap tangannya dengan kain tipis.

"Kok Aki tahu saya mau dateng?" Ayah justru bertanya balik.

Ki Ronggo tertawa kecil. "Masih aja nanya begitu. Udah ayo, masuk! Kamu mau apa ke sini
juga saya udah tau!" Laki-laki tua itu lalu membuka pintu belakang, melepas sandal dan
masuk ke dalam.

Ayah mengikuti langkahnya. Ia melepas sandal dan menginjakkan kakinya di atas karpet
kasar rumah Ki Ronggo, masuk ke dalam rumah bambu yang kekurangan cahaya. Setelah
menutup pintu, ia langsung berjalan ke salah satu ruangan di mana Ki Ronggo masuk.
Sebuah tirai ia sibak, sampailah ayah di ruang kerja dukun tersebut.

Sebuah mangkuk tanah liat berisi arang dan berbagai bunga-bunga tergeletak tepat di
depan posisi duduknya. Ada juga berbagai benda yang tidak dimengerti apa fungsinya.
Mulai dari taring hewan buas, aneka bambu dan tongkat-tongkat kayu dengan bentuk
beragam.

Ki Ronggo sudah duduk bersila. Ayah lalu duduk tepat di hadapannya setelah mengucap
permisi. Hawa panas terasa di ruangan itu. Seketika keringatnya mengucur dari leher
sampai masuk ke bajunya. Ki Ronggo melepaskan ikatan di rambutnya, membiarkan
rambutnya dengan bebas jatuh ke bawah.

"Jadi seberapa berat masalahnya?" tanya Ki Ronggo sambil menyalakan sebatang rokok
yang terselip di antara bibirnya.

"Rumah saya, Ki. Setelah ibu saya meninggal, banyak hal-hal aneh di rumah saya. Anak-
anak saya diganggu makhluk halus. Bahkan istri saya sampai sakit-sakitan, sikapnya aneh.
Sampai-sampai pernah mau bunuh diri. Sampai akhirnya saya datang ke sini, minta
bantuan," tutur ayah menjelaskan maksudnya.
Ki Ronggo mengangguk. Sambil menghembuskan asap rokok dari dalam mulutnya, laki-laki
itu memejamkan mata. Tak bersuara dan tak berkata apapun. Wajahnya perlahan berubah.
Sambil tetap memejamkan mata, Ki Ronggo meraih sebuah keris yang tak jauh dari
jangkauannya. Ia genggam keris itu kuat-kuat.

Sementara suasana ruangan saat itu menjadi hening dan sepi. Ayah tidak berani
menganggu Ki Ronggo. Entah apa yang sedang dilakukannya, keringat mulai bercucuran di
wajahnya. Tak lama kemudian, beberapa keris milik Ki Ronggo yang tersimpan rapi di
tempatnya bergetar dengan sendirinya. Getaran itu begitu hebat hingga membuat suara
berisik.

Ki Ronggo langsung membuka mata, ia melirik ke arah keris-kerisnya itu. Dan seketika
keris itu berhenti bergetar saat mata laki-laki itu meliriknya. Ki Ronggo lalu menghentikan
aktivitasnya itu. Ia kembali menghisap rokok dan menatap ke arah ayah.

"Ada yang tanam barang di rumah kamu," ucapnya sambil mengeluarkan asap rokok.

"B-Barang? Apa itu, Ki?" tanya ayah.

"Barang jahat. Gak bener, barang itu yang bikin segala petaka di keluargamu. Dan akan
terus berlanjut selama barang itu masih di sana." Ki Ronggo mengambil botol dan
meminum air sesaat. "Barang itu berisi makhluk halus yang jahat, yang siap mencelakai
siapa pun yang menjadi target tuannya. Seseorang yang dendam sama kamu pasti yang
melakukan ini." Ki Ronggo lalu mengakhiri penjelasannya.

Ayah menelan ludah, matanya menatap Ki Ronggo dengan tatapan takut. "Maaf, Ki. Jadi,
keluarga saya kena santet?" tanya ayah blak-blakan. Setelah menyebut kata itu, keris-keris
milik Ki Ronggo kembali bergetar hebat. Namun, keris itu kembali berhenti bergetar saat Ki
Ronggo menatapnya.

"Tolong jangan sembarang ngomong di sini. Apalagi sebut kata itu, banyak yang gak suka
sama kata itu," kata Ki Ronggo memperingatkan sambil menghisap kembali rokoknya.
"Karena saya juga bukan orang yang mempraktekkan ilmu hitam seperti itu," tambahnya.

"Jadi gimana, Ki? Barang itu ditanam di mana?" tanya ayah.


Ki Ronggo tertawa kecil. "Gak ada yang tahu pasti. Sulit untuk melihat di mana barang itu
tertanam, si makhluk halus ini sengaja mengaburkan posisinya supaya saya gak bisa liat
barang itu," jawab Ki Ronggo.

"Tapi selama ini saya yakin gak ada orang asing yang masuk rumah dan gali tanah. Lagian
juga daerah rumah saya banyak yang udah pake semen. Jadi kalau ada yang gali harusnya
ninggalin jejak," kata ayah.

"Bukan begitu cara menanamnya. Barang itu barang halus, sudah pasti ditanamnya pun
secara halus. Melalui dukun-dukun tertentu, yang pasti bukan saya," balas Ki Ronggo.

"Kamu harus hati-hati. Makhluk ini yang seringkali menyerupai almarhumah ibumu. Dia
menyesatkan kalian! Makhluk ini sangat jahat! Sekarang istri kamu yang akan jadi korban
selanjutnya. Dia juga yang jadi penyebab kematian mendadak ibu kamu, dia belum
waktunya mati. Badannya masih sehat, tapi makhluk ini membunuhnya. Selanjutnya istri
kamu, lalu anak-anakmu. Terakhir kamu, dia sengaja pilih kamu terakhir supaya kamu bisa
merasakan penderitaan ditinggal anggota keluarga!" tutur Ki Rangga menjelaskan dengan
detail.

Mendengar itu, ayah ketakutan. Wajahnya sedikit panik, tapi ia tetap menjaga mulutnya. Ia
takut keluar kata-kata yang tidak sopan. "Jadi gimana?" tanya ayah.

Ki Ronggo lalu mematikan rokoknya, ia lalu menatap lurus ke arah ayah. "Kita ke rumahmu
sekarang! Makhluk itu sudah menantang saya. Saya akan datang dan menghabisi energi
jahat di rumahmu. Aku harus ke rumahmu, itulah satu-satunya cara!" kata Ki Ronggo
dengan tegas.

Mendengar itu, ayah mengangguk. Tanpa basa-basi, ia menuruti apa kata Ki Ronggo. Laki-
laki tua itu lalu mengambil tasnya. Barang-barangnya yang ia gunakan untuk ritual dan
praktek dibawa seperlunya.

Sementara ayah berjalan ke luar untuk menyalakan mesin motor. Ia mulai merasa lega
karena keberadaan Ki Ronggo di sisinya. Tapi setelah mendengarkan penjalasan dari
dukun itu, ia juga khawatir karena saat ini ia meninggalkan istri dan anaknya di rumah.
Namun, apapun itu dirinya siap untuk melakukan pengusiran kekuatan jahat yang
bersemayam di dalam rumahnya.
Malam itu sebuah lampu kendaraan menyala menerangi halaman rumah. Gerbang pun di
buka, bunyi roda besinya terdengar menandakan seseorang datang. Diiringi dengan suara
sepeda motor yang menggema di sunyinya malam. Motor ayah lalu berhenti dan terparkir
di halaman rumah.

Saat itu motornya membawa seseorang di jok belakang. Ki Ronggo dengan pakaian sweater
abu-abu dan rambut yang diikat rapi turun dari motor ayah. Matanya menatap lurus ke
arah rumah ayah. Hawa tak enak pun mulai keluar menerpa dirinya. Sementara itu, ayah
mematikan mesin dan melepas helm.
Ayah melihat Ki Ronggo yang tengah terpaku. “Ki, ayo silahkan masuk,” ucapnya mengajak
masuk.

Sesaat setelah ayah mengajak masuk Ki Ronggo. Mendadak pot bunga dan yang ada di
depan rumah terlempar dengan sendirinya. Kemudian pecah menghantam dinding,
tanahnya berjatuhan ke mana-mana. Suaranya pun amat bising. Ayah kaget, perlahan
matanya kembali melirik ke si pria tua di sampingnya itu.

Ki Ronggo tertawa kecil. "Belum apa-apa udah ada yang marah, kan? Hahaha ...,” katanya
dengan santai.

“J-Jadi gimana? Ki Ronggo mau apa?” tanya ayah sambil menelan ludah.

“Anak-anakmu, istrimu. Suruh mereka semua tunggu di luar!” ujar Ki Ronggo.

Ayah buru-buru masuk ke dalam rumah, pintu ia buka dan kakinya melangkah dengan
cepat. “Adek! Kakak!” panggilnya sambil berjalan naik ke lantai dua. Ketiga anaknya lalu
keluar dari kamarnya masing-masing. Mereka berpapasan di tengah tangga. Semua melihat
ayah yang naik ke atas dengan terburu-buru.

“Kalian semua keluar sekarang ya, duduk di teras aja gak apa-apa. Nanti ayah nyusul sama
mama,” kata ayah kepada anak-anaknya itu.

“Siap, Yah.” Kedua anak laki-lakinya langsung berjalan ke bawah tanpa banyak tanya.

“Emang kenapa, Yah?” tanya Rara.

“Udah keluar aja, Kak. Ayah mau bersihin rumah ini, Kakak gak mau diganggu lagi, kan?”
jawab ayah sambil mengusap kepala anak pertamanya itu. Rara langsung mengerti dengan
apa yang dimaksud ayah. Ia segera meninggalkan kamarnya, membawa handphone dan
menyusul kedua adiknya di luar.

Ayah lalu beranjak dari lantai dua, menuruni satu per satu anak tangga. Dirinya lalu beralih
ke arah kamar. Menjemput mama yang masih terbaring di ranjang. Ayah membuka pintu
kamar, matanya menangkap sosok mama yang sedang duduk di atas kasur.

“Mama, kita keluar sekarang—“

“Kenapa kamu panggil dia, Yah?” tanya mama yang tiba-tiba memotong kalimat ayah yang
belum sempat selesai. “Ngapain dia di sini?! Dia gak boleh di sini!!!” bentak mama dengan
wajah marah. Matanya memerah menatap ke arah ayah. Laki-laki itu pun perlahan mundur,
ketakutan melihat sang istri yang bersikap sedemikian seram.

Sebuah tangan tiba-tiba menyentuh punggung ayah yang tengah berjalan mundur. "Waaa!"
teriak ayah kaget.

"Huss! Ini saya." Ternyata itu adalah Ki Ronggo yang masuk tanpa sepengetahuannya. Mata
Ki Ronggo menatap dingin ke arah mama. Ketika melihat pria tua itu datang, mama
langsung berdiri. Wajahnya kian marah.

“Ki?” panggil ayah dengan wajah bingung.

“Gak apa-apa. Istrimu biarkan saja di dalam. Sekarang, jaga anak-anakmu di luar,” kata Ki
Ronggo.

“Tapi, Ki. Istri saya mau diapain?” tanya ayah dengan wajah khawatir. “Jangan sakiti dia, Ki.
Dia cuma dipengaruhi sama setan-setan itu,” tambahnya memohon.

Ki Ronggo menggeleng. “Saya tahu, saya tahu, Robi. Sekarang kamu pergi ke luar, saya
jamin istrimu gak akan kenapa-kenapa!” tegas Ki Ronggo menyuruh ayah pergi.

Mata ayah lalu berpaling ke arah sang istri. Dengan berat hati, ia lalu melangkah pergi.
Membiarkan mama berdua bersama Ki Ronggo di dalam rumah. Pria tua itu
memperhatikan ayah, memastikan ia benar-benar berada di luar.
Setelah ayah keluar dan menutup pintu, Ki Ronggo kembali menghadap ke depan, saling
bertatapan dengan mama yang sudah siap menerkam pria berambut panjang itu. Dari
tangan kanannya, ia mengeluarkan sebuah keris pusaka. Wajah dinginnya terus
menghadap ke arah mama, kumis tebalnya menambah wibawa dan kegagahannya.

“Mau apa kamu?!” tanya mama.

“Mau usir kamu,” jawab singkat Ki Ronggo.

“Tidak bisa!” balas mama.


“Bisa!”

“Tidak bisa!”

“Bisa!”

“Tidak bisa!”

“Bisa!”

“Tidak bisaaa!!!” teriak mama dengan suara yang sangat melengking. Mendadak suaranya
itu berubah, tidak seperti sebelumnya. Tubuhnya lalu berjalan cepat ke arah Ki Ronggo.
Kedua tangannya menghadap ke depan, jari-jarinya siap mencakar kulit pria tua itu.

Tapi Ki Ronggo sudah bersiap, ia keluarkan sebilah keris itu dari sarungnya. Besi tajam
melengkung itu ia arahkan kepada mama. Sekitar dua meter sebelum tangannya
menyentuh Ki Ronggo, mama langsung terpental kembali ke kasurnya.

Di kasur itu, mama mulai menggeliat. Matanya melotot berkaca-kaca, ia berteriak tak
karuan. Dirinya berusaha melawan energi jahat yang merasukinya. Ki Ronggo maju
beberapa langkah, ia berhenti saat tepat berada di ambang pintu kamar mama.

“Keluar kamu, Setan! Aku kembalikan kamu pada tuanmu, atau aku musnahkan kamu
sekarang juga! Musnah kamu dari dunia ini!” bentak Ki Ronggo dengan kesal. Wajahnya
mulai tegas, keris itu masih ia genggam dengan kuat.

“Hah ... hah ... hah ... Ayah,” lirih mama sambil terbaring lemas di kasurnya. Ia tampak begitu
malang sehingga membuat Ki Ronggo tidak tega melihatnya.
Pria tua itu melangkah ke kasur. Mendekati mama yang tak berdaya di sana, tapi matanya
masih waspada. Kakinya pun berjalan pelan, sebilah kerisnya masih ada di tangannya.
Bersiap untuk segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.

“Mbak? Gak apa-apa, Mbak?” tanya Ki Ronggo memastikan kondisi mama. Mama berbaring
dengan posisi wajah yang tertutup rambut. Sambil menghela nafas, Ki Ronggo meraih
rambut yang menutupi wajahnya. Rambut itu ia buka perlahan, helai demi helai.

“Aaaaa!!!” tiba-tiba mama berteriak keras dan langsung memegang tangan  Ki Ronggo. Ia
lalu mengigit tangan pria tua itu sekuat tenaga.

“Aaaarrgghh!” teriak Ki Ronggo kesakitan. Tangan mama lalu berpindah, berniat


menyerang bagian tubuh yang lain. Dengan brutal ia mencakar leher Ki Ronggo hingga
berdarah. “A-aakh!!” Ki Ronggo terus mengerang merasakan perihnya kuku mama
menggores kulitnya.

Sebelum dirinya kian parah, ia tempelkan besi keris di tangannya ke kepala mama. Sontak
mama merasakan panas di tubuhnya, gigitan itu ia lepas. Tubuh wanita yang dalam kendali
setan itu lalu berguling-guling dan bergerak sembarang arah di atas kasur. Membuat kasur
itu berguncang dan mengeluarkan bunyi yang berisik.

Sambil menahan sakit, Ki Ronggo mundur perlahan. Ia bersandar di tembok. Matanya


menatap tangannya yang tadi terkena gigitan. Luka gigitan itu bukan luka biasa, melainkan
lebih mirip luka bakar. Sedangkan, darahnya mengucur di lehernya yang terkena cakaran.
Tangan kiri Ki Ronggo lalu memegangi luka di leher itu.

“Sialan kamu!” Ki Ronggo mengangkat tangan kanannya yang memegang keris. Kembali ia
arahkan keris itu ke arah mama. Mama pun mulai terkulai lemas di atas kasur, mulut Ki
Ronggo komat-kamit membaca mantra. Tangan kirinya yang semula memegangi leher kini
berpindah ke saku sweaternya. Dari dalam saku itu, ia mengeluarkan sebuah bubuk putih.
Bubuk-bubuk itu ia tebarkan ke arah depan sambil terus membaca mantra.

“Kamu! Kamu tidak akan mampu menandingi aku, aku bisa saja ambil nyawa kamu! Jangan
main-main, jangan ikut campur jika masih sayang nyawa!” ucap sesosok makhluk tak kasat
mata yang suaranya begitu besar dan menggema di seisi kamar.
Tangan Ki Ronggo mulai gemetar tak karuan, begitu juga dengan kerisnya. Mata Ki Ronggo
terpejam, mulutnya tetap bertahan membacakan mantra andalannya. Pertarungan dan adu
kekuatan tak terlihat sedang terjadi. Tapi kekuatan yang dilawannya begitu besar.
Badannya pun mulai goyah.

“Pergi kamuuu!!!” Suara teriakan terdengar di dalam kamar itu. Setelah teriakan itu, keris
milik Ki Ronggo terbelah menjadi dua. Bahkan pergelangan tangan dukun itu sampai
terkilir, ia lalu jatuh terpental dan menabrak dinding. Badannya mulai berat dan panas.

“Aaaarrgghhh!” pekiknya kesakitan.

“Pergi! Pergi! Pergi! Hahahahahaha!” Suara misterius itu terus terdengar. Sampai-sampai
membuat Ki Ronggo gentar. Berbagai barang-barang di kamar beterbangan, terpental ke
sembarang arah. Sosok misterius itu seakan tengah menunjukkan kekuatannya. Matanya
berkaca-kaca, wajahnya pucat, tubuhnya lemas. Ia langsung menggunakan jurus
pamungkas, yaitu jurus kaki seribu untuk lari meninggalkan tempat itu.

Ia menyerah dan mengaku kalah, tak sanggup membendung energi yang teramat kuat nan
jahat itu. Jin-jin yang ia pelihara pun tidak ada yang berani melawan. Ilmu yang ia pelajari
dengan susah payah selama bertahun-tahun tak berguna dan harus menanggung malu atas
kekalahannya.

“Hahahahahahaha!” Sosok itu pun tertawa puas di dalam kamar. Begitu nyaring dan
memekik telinga. Merayakan kemenangannya. Sementara di kasur, mama terbaring lemah
tak sadarkan diri.

Suara air terjatuh ke lantai terdengar beberapa kali. Di dalam kamar mandi, tangan Rara
yang memegang gayung menyiram sekujur tubuhnya. Memberinya kesegaran di pagi hari
ini. Rambutnya basah, matanya terpejam saat busa-busa shampo muncul di kepalanya.
Wangi harum pun memenuhi seisi ruangan.

Kaki Rara berpijak pada lantai kamar mandi yang basah. Satu helai, dua helai rambut
rontok berjatuhan. Tapi rambut itu lebih panjang dari rambut Rara. Ya, jelas itu bukan
rambut Rara. Helai demi helai rambut misterius itu terus berjatuhan ke lantai kamar
mandi. Sampai saking banyaknya, Rara bisa merasakan kakinya yang menginjak sesuatu.
Buru-buru ia siram kepala dan wajahnya, menghilangkan busa yang membuat perih di
mata. Setelah busa hilang, ia menatap ke lantai. Tampak begitu banyak rambut yang sudah
bersebaran di lantai kamar mandi. Beberapa bahkan tersangkut di lubang saluran air.
Wajah Rara bingung, matanya menatap aneh kejadian itu.

Ia langsung membilas tubuhnya, lalu dengan cepat mengambil handuk. Matanya masih
terus menatap ke kumpulan rambut asing yang ada di lantai. Rambut yang sangat panjang,
lebih dari panjang rambut Rara. Satu helai, dua helai. Rambut itu terus bertambah,
berjatuhan dari atas.

Rara pun menelan ludah, wajahnya mulai ketakutan. Nafasnya pun tak karuan. Perlahan
kepalanya mendongkak ke atas, menatap ke arah jatuhnya rambut-rambut itu. Saat
matanya tepat melihat ke langit-langit kamar mandi. Tidak ada apa-apa di sana. Rara
bernafas lega.

Ia lalu bergegas pergi dan mengabaikan rambut itu. Rara membalikkan badannya, tiba-tiba
sosok perempuan bergaun putih lusuh berdiri tepat di depannya. Rambutnya berantakan
agak gimbal. Wajahnya hitam seperti mayat yang membusuk, mulutnya menyeringai
memperlihatkan gigi-giginya yang runcing dan berantakan.

“Aaaaaa!!!” Rara berteriak sekuat tenaga. Dengan segera ia lari keluar kamar mandi, tak
peduli semua orang kaget dengan teriakannya. Kakinya langsung melangkah cepat, ke arah
tangga dan naik ke lantai atas.

“Kakak?!” Ayah buru-buru keluar dari kamar. Ia sempat mengejar Rara, tapi anak
pertamanya itu sudah lebih dulu masuk ke kamarnya. Di ruang depan ada Niko dan Bobi.
Ayah mendekat ke ara mereka. “Kakak kenapa, Dek?” tanya ayah.

“Gak tau, Yah. Tadi abis mandi teriak, abis itu lari ke atas,” ungkap Bobi sambil memegang
toples ikannya.

Ayah lalu menghela nafas, ia langsung beralih ke kamar mandi. Tangannya membuka pintu,
memasukkan sedikit kepalanya ke dalam kamar mandi.

Tampak rambut misterius itu masih di sana. Bedanya kini setengah dari rambut itu telah
masuk ke lubang saluran air.
Ayah mendekati rambut misterius itu, tangannya langsung memegangnya tanpa ragu. Ia
lalu menarik rambut itu keluar dari lubang saluran air.

Anehnya, rambut itu seolah tidak ada ujungnya. Ayah terus menarik dan menarik, tapi
rambut itu sangat panjang. Ayah sama sekali tidak menemukan di mana ujungnya. Sekitar
empat meter panjangnya rambut itu ayah tarik dari dalam lubang, tapi tetap tidak ada
ujungnya.

“Apaan nih?” tanya ayah dengan wajah heran.

Itu rambut aku, hihihi.

Sebuah bisikan misterius terdengar di telinganya. Ayah menoleh sambil memasang wajah
kaget, tapi tak ada siapa-siapa di sekitarnya. Rambut yang tadi sudah ditarik keluar oleh
ayah tiba-tiba kembali masuk ke dalam lubang. Seolah ada yang menariknya dari dalam
lubang itu.

Buru-buru ayah berdiri, hampir saja ia terpeleset sebelum akhirnya berlari ke luar
meninggalkan kamar mandi. Sesampainya di luar, ayah melihat kedua anaknya Niko dan
Bobi sedang mengintip ke dalam kamar mama. Ayah langsung mendekat dan menegur
mereka.

“Kalian ngapain? Gak sopan begitu,” kata ayah.

“Ayah, liat deh. Mama lagi ngapain?” Niko menunjuk ke dalam kamar. Ayah pun ikut
melihat ke arah yang Niko tunjuk.

Sore nepi ka peuting

Putra abdi teu acan sumping ka bumi

Budak bageur, tong hilap ka bumi

Hihihihihihihi ....
Nyanyian misterius mama lalu selesai dengan sebuah tawa melengking yang sangat tidak
enak didengar telinga. Wajah mama menatap kosong ke depan, kulitnya pucat. Bagian
bawah matanya menghitam, liur hijau keluar dari hidungnya.

Ayah memberanikan diri, tak peduli siapa yang ada di dalam raga mama. Ia ingin bicara
dengan sang istri. Sedangkan kedua anaknya masih melihat di ambang pintu. Ayah masuk
ke dalam, kepala mama menoleh ke arah ayah. Ayah pun membalasnya dengan senyuman.

“Mama nyanyi apa?” tanya ayah.

Mata mama menatap tajam ayah. “Gak usah tahu!” bentaknya.

Ayah lalu mengangguk. “Oh, gitu ya. Buburnya udah abisin, Ma. Masih ada setengah,” kata
ayah menunjuk semangkuk bubur di meja.

Tangan mama lalu meraih bubur itu. Masih dengan wajah marahnya, mama melempar
mangkuk itu ke arah ayah. Bubur itu pun tumpah mengotori baju ayah, mangkuknya pecah
dan berserakan di lantai.

“Makan aja sendiri!!!” bentak mama yang kini melotot.

Ayah memejamkan mata, menarik nafas panjang dan mengambil pecahan-pecahan


mangkuk di lantai. “Ya udah,” ucap ayah pelan. Hatinya begitu tegar, begitu sabar
menghadapi mama yang semakin hari semakin memburuk.

“Berani kamu panggil dukun lagi ke sini, aku rusak tubuh ini! Aku bikin mati!” ancam sosok
yang ada di dalam tubuh mama. “Jangan kira ilmu pas-pasan seperti orang semalam bisa
kalahin aku!” tambahnya dengan nada tinggi.

“Oh, jadi Ayah salah orang ya, Ma. Nanti Ayah cari lagi orang lain lagi yang bisa sembuhin
kamu,” ucap ayah membalas perkataannya.

“Jangan panggil siapa-siapa ke sini, Anjing!” bentak mama. Tangan mama lalu mengambil
jam kecil di meja, dengan kuat melempar jam itu ke arah ayah. Beruntung ayah masih bisa
menghindar dan membaca arah lemparan mama.

“Aku matiin aja!” Mama langsung mengambil sebuah garpu di meja. Lalu ia arahkan garpu
itu ke leher mama, garpu itu ditekan sampai hampir menusuk leher mama. Tapi ayah
langsung sigap menyelamatkan. Ia tahan tangan mama dan menjauhkan garpu itu dari
lehernya.

“Jangan! Jangan! Iya saya janji gak akan panggil siapa-siapa ke sini. Oke, oke kamu
menang!” kata Ayah.

“Hahahahahahahaha ...,” tawa mama dengan keras sambil melempar garpu ke arah ayah. 
Mama lalu merebahkan dirinya di kasur. Perlahan tubuhnya lemas, lemah tak berdaya.
Pandangannya berubah menjadi sayu.

“Mama?” panggil ayah.

Mata mama melirik ayah. “Ayah,” jawabnya yang kemudian memejamkan mata. Setelah itu,
ayah membiarkan mama tertidur pulas di kasurnya. Ia berjalan ke luar, kedua anaknya
masih menunggu di luar kamar.

“Ngapain kalian? Gak nonton TV?” tanya ayah sambil memegang mangkuk pecah di
tangannya.

“Oh iya lupa! Ayo, Bob. Nyalain TV!” ajak Niko yang langsung menarik adiknya ke ruang
depan. Sementara ayah mengambil kantung plastik dan memasukkan pecahan mangkuk
yang tajam itu ke dalam plastik.

“Huuuuffft ....” Ayah menarik nafas panjang sambil mengusap wajahnya. Dirinya tampak
pusing dengan semua yang terjadi. “Aku harus usaha gimana lagi? Ke siapa lagi aku harus
minta bantuan?” gumam ayah.

Setelah berkata begitu, sebuah panci terjatuh dengan sendirinya. Ayah lalu sadar kalau ada
sosok lain yang mendengar ucapannya, ia tak boleh asal bicara di dalam rumah ini. Atau
keselamatan mama terancam.

Ayah kembali merapikan panci itu. Ia berjalan ke luar rumah sambil membawa kantung
plastik berisi pecahan mangkuk. “Ayah buang sampah dulu,” ucapnya pada anak-anak yang
asik menonton TV. Kedua bocah itu hanya mengangguk, tanpa memalingkan pandangannya
dari layar TV yang menampilkan kartun kesukaan mereka.

Malam harinya, ayah duduk di pos ronda bersama beberapa warga. Kala itu jam sudah
menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Beberapa orang tengah duduk santai sambil
menghisap rokok dan menikmati segelas kopi. Begitu pula dengan ayah. Ini pertama
kalinya sejak nenek meninggal, ayah memiliki waktu untuk bersantai bersama warga
lainnya. Mama tengah tidur pulas di rumah, ayah bisa tenang keluar beberapa saat
menghilangkan stress.

Kepala ayah bersandar di dinding pos, mulutnya menghisap sebatang rokok yang sisa
setengah. Asap rokoknya mengepul dari bagian ujung, terus terbang dan menari-nari di
bawah temaram cahaya lampu.

Di sampingnya, tiga orang tetangga termasuk hansip sedang sibuk bermain kartu.
Sementara seorang penjual mi ayam sedang duduk sambil bertelepon ria dengan sang istri
di kampung. Ayah lalu menoleh ke salah satu teman nongkrongnya. Pria botak itu bernama
Agus. Setelah ayah menyenggolnya beberapa kali, akhirnya Agus menoleh.

“Kenapa, Bang?” tanyanya pada ayah. Kartu-kartu di tangannya pun ia taruh ke lantai.

“Gue mau nanya,” jawab ayah.

“Soal apa?” Agus kembali bertanya.

“Lu tau gak di mana tempat orang pinter yang bisa ngusir hawa negatif gitu?” Kini giliran
ayah yang bertanya.
Mendengar ayah bertanya demikian, dua orang lainnya yang sedang main kartu mendadak
menghentikan permainannya. Mereka sama-sama menatap ayah, sedikit kaget sekaligus
senang dengan apa yang ayah ucapkan.

"Nah! Ini yang gue demen!” kata pria berkumis yang akrab disapa Bang Tohir.

“Hah? Demen kenapa?” tanya ayah.

“Bang, bang. Akhirnya lu ada inisiatif juga buat manggil orang pinter. Lu baru ngerasain apa
gimana?” tanya seorang hansip yang juga ada di dekat mereka. “Lu sadar gak? Akhir-akhir
ini kalo malem jalanan depan rumah lu sepi?” tambah sang hansip.

“Iya ya, sepi sih. Biasanya ada aja anak kecil main sampe jam sembilan. Ini kok abis magrib
sepi ya?” kata ayah sambil mengangguk.

“Bang, itu karena gak ada yang berani lewat rumah lu. Semenjak Nek Murni meninggal,
banyak kejadian aneh yang ada di rumah lu. Pokoknya aneh deh, serem kalo denger cerita
warga. Semua warga juga udah tau,” tutur Agus menjelaskan.

Bang Tohir lalu menyahut. “Warga sebenernya mau nyuruh lu buat manggil orang pinter
gitu. Cuma takutnya nanti lu tersinggung apa gimana, lagi juga keluarga lu masih berduka.
Kita warga pada gak enak mau kasih tau,” ungkap Bang Tohir.

“Jadi kita ikut seneng deh, Bang. Kalo lu punya inisiatif sendiri manggil orang pinter. Berarti
lu juga ngalamin, kan?” tanya Agus.

“Iya, Gus. Gue juga,” jawab ayah. “Jadi gimana nih? Gue harus kemana?” tanya ayah sekali
lagi.

Agus menyeruput kopinya, setelah itu kembali menatap ayah. “Lu gue kasih alamat aja ya.
Nanti lu datengin sendiri.” Tangan Agus mengambil pulpen dan sepotong kertas.
Tangannya mulai menggoreskan ujung pulpen itu. Tinta hitamnya lalu membentuk huruf
demi huruf yang merangkai berbagai kata.

“Ini alamat salah satu pemuka agama di salah satu kampung. Dia ini emang terkenal
jagonya ruqyah dan pengusiran setan. Lu coba dateng aja ke majelisnya dia,” kata Agus
sambil menyodorkan sepotong kertas itu. Sambil mengangguk ayah membaca alamatnya.
“Jauh juga, tapi makasih ya,” ucap ayah.

“Siap!” jawab Agus.

“Selamat berjuang, Bang! Pokoknya gue doa’in semoga lancar niat baik lu ini, salut gue,”
ucap Bang Tohir sambil mengacungkan jempol.

Sekitar jam sebelas malam, ayah pun beranjak dari pos. Mulai melangkah pulang ke rumah.
Meninggalkan Agus dan yang lainnya yang memang berniat untuk ronda malam itu. Ayah
sampai setelah berjalan beberapa puluh meter. Ia buka gerbang dan masuk ke dalam.

Hihihihi ....

Suara tawa perempuan terdengar melengking. Dari balkon lantai, sesosok perempuan
berambut panjang dan gimbal duduk sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Wajah
busuknya menatap ayah yang berjalan menuju pintu rumah. Bagian matanya menghitam
dan mulutnya tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang runcing.

“Astaghfirullah,” ucap ayah yang langsung memalingkan wajah. Ia buka pintu rumah dan
buru-buru masuk. Penampakan itu seakan menjadi ancaman dari sang setan supaya ayah
tidak berbuat macam-macam.

“Bobi, Niko. Kalo ngantuk balik ke kamar dong,” kata ayah yang langsung mematikan TV.
Sementara kedua anak laki-lakinya yang semula tertidur di sofa langsung bangkit dan
berjalan sedikit sempoyongan ke lantai atas.

Ayah lalu bergegas masuk ke kamar untuk mengistirahatkan diri. Ia berjalan ke kamar,
mengabaikan segala perasaan tak enak yang hinggap di tubuhnya. Ia masuk ke kamar,
berbaring dan menutup setengah badannya dengan selimut. Suara perempuan sedang
bersenandung terdengar dari luar kamarnya. Namun ayah mengabaikan itu, ia memilih
memejamkan matanya alih-alih mengurusi gangguan-gangguan itu.

***

Keesokan harinya sekitar pukul sepuluh pagi, seorang perempuan berusia tiga puluhan
dengan jilbab di kepalanya duduk di ruang depan. Menonton TV bersama Niko dan Bobi.
Perempuan itu adalah Rissa. Adik dari mama, bibi dari ketiga anaknya. Ayah sengaja
memanggilnya datang untuk menemani anak-anak dan istrinya. Mengingat dirinya tengah
bersiap pergi jauh.

Sambil memakai jaket kulit, ayah keluar kamar. Tangannya telah siap membawa helm dan
dompet. Kakinya berjalan menuju pintu depan. “Ris, tolong ya. Jagain rumah, nanti sore
Abang pulang,” kata ayah.

“Ayah mau kemana?” tanya Rara yang turun dari lantai dua. “Mau panggil dukun lagi? Gak
inget kemarin dukun kita gagal total?” tambah Rara dengan anda pesimis. Dirinya lalu
mendekat ke ruang tamu.

Ayah lalu memegang kepala anak pertamanya itu, sambil tersenyum ayah berkata, “Kakak.
Gak ada salahnya kita coba. Kali ini bukan dukun, ustad atau kiai gitu, semoga aja berhasil
ya. Kakak jangan mikir yang jelek-jelek, doa’in supaya usaha Ayah berhasil ya.”

Sambil menghela nafas, gadis itu pun mengangguk mengiyakan. Ayah lalu beranjak dari
rumah. Memakai sepatu dan berjalan mendekati motor yang sudah ia panaskan sedari tadi.
Ia naik ke atas motor, helm berwarna hitam terpasang di kepalanya.

Rara dan bibinya keluar, melihat kepergian ayah. “Berangkat dulu ya, Assalamualaikum!”
Motor ayah lalu mulai berjalan, keluar gerbang dan melaju melewati jalan kampung yang
sepi. Mata Rara terus memandangi ayahnya sampai sang ayah tidak lagi terlihat.

Tut!

Suara klakson ayah berbunyi menyapa Bang Tohir dan Agus yang sedang duduk di pos
ronda. Beberapa meter ke depan, motornya pun sampai di jalan besar. Mobil-mobil,
transportasi umum dan berbagai kendaraan lainnya menjadi satu di jalan besar itu. Ban
motor ayah mulai menyentuh aspal, dengan bebas melaju dengan lebih cepat.

Singkat cerita, berkilo-kilometer telah ayah lalui. Dari mulai perkotaan yang ramai, padat
dan sesekali macet sampai akhirnya ukuran jalan mulai mengecil. Pinggir jalan semula di
sini dengan ruko, gedung dan pertokoan kini berubah menjadi rumah penduduk.
Kendaraan tak terlalu padat, tampak pejalan kaki di sisi kiri dan kanan jalan.

Semakin jauh ayah melaju, semakin sepi suasana. Dua jam perjalanan, ayah mulai
memasuki daerah sepi dengan perkebunan di sekitarnya. Di tengah jalan yang sepi itu,
seekor sapi mendadak muncul dari semak-semak, menghalangi jalan ayah dan hampir saja
membuatnya celaka.

“Sapi siapa nih?” gumam ayah sambil menoleh sekitar. Anehnya, sapi tersebut tidak
bergerak ataupun lanjut berjalan. Binatang berbadan besar itu malah berdiri diam di sana,
seolah menghalangi jalan ayah. Berkali-kali klakson dibunyikan, berharap sang pemilik
datang atau si sapi ketakutan.

Tapi sapi itu tetap diam di sana. Ayah hilang kesabaran ia menjalankan kembali motornya,
barulah sapi itu pergi menyingkir. Anehnya setelah masuk ke balik pohon, sapi itu
mendadak menghilang tanpa jejak.

Perjalanan menyisakan beberapa kilometer lagi, sudah hampir sampai. Tapi anehnya, saat
ia sudah mulai sampai ke tujuan. Ada saja hambatan yang menimpa ayah. Ada saja
gangguan yang seolah-olah mengulur-ulur waktu ayah.

Mulai dari motornya yang sesekali mogok, lalu menyala lagi beberapa menit kemudian. Ada
juga kawanan bebek yang menghalangi jalan, sama kasusnya seperti sapi yang tidak mau
menyingkir dari jalan. Ada juga karung beras yang tumpah di tengah jalan, sampai akhirnya
ayah harus membantu si pemilik beras agar cepat beres dan motor ayah bisa lewat.

Sampai puncaknya, saat motor ayah melewati jalan desa dengan sawah di kiri dan kanan.
Dari balik helm, ia melihat sesosok perempuan berbaju putih yang tiba-tiba berdiri di
tengah jalan. Sontak ayah membuang ke kiri, motornya tergelincir dan ayah jatuh. Hampir
saja jatuh ke sawah. Para petani yang sedang beristirahat melihat kejadian tersebut, buru-
buru mereka langsung mendekat dengan maksud menolongnya.

“Sial, ada aja gangguannya,” gumam ayah sambil terbaring di tengah jalan.

“Gak apa-apa, Kang?” tanya seorang petani yang datang dan menolongnya.

Sambil dibantu berdiri, ayah menggelengkan kepala. “Gak apa-apa kok,” jawab ayah.
Beberapa petani lainnya mematikan motor dan mendirikannya kembali.

“Akang teh mau ke mana?” tanya si petani.

“ Ke majelisnya Pak Ustad Rohman,” jawab ayah singkat.


“Pak Kyai? Itu ada di sana, udah deket.” Tangan petani itu menunjuk lurus ke arah jalanan.
“Tapi kalo mau ketemu Pak Ustad gak bisa,” lanjutnya.

“Hah? Kenapa?” tanya ayah yang kaget.

“Pak Kyai baru aja pergi. Barusan mobilnya lewat, mau ada pengajian kayanya,” jawab
petani itu.

“Kalo mau ketemu Pak Kyai mah, kudu pagi-pagi atuh, Kang. Sekarang aja udah lewat jam
dua belas, paling ada anak muridnya aja di sana,” tambah salah satu petani lainnya.

“Saya harus ke sana, Pak. Makasih ya.” Ayah lalu kembali naik ke motornya. Dirinya tak
peduli ada atu tidaknya Pak Ustad yang dicari. Dirinya sudah pergi begitu jauh dan tidak
ingin pulang tanpa tangan kosong. Setidaknya ia mendapatkan info tentang sosok pemuka
agama yang dimaksud. Motor ayah pun kembali melaju, meninggalkan para petani
tersebut.

“Saya kasih tau Pak Kiai kalau dia pulang nanti,” kata salah seorang murid yang berjalan
bersama ayah di sekitar majelis.

Kaki mereka sama-sama melangkah di dalam bangunan megah itu. Pelataran yang luas
untuk mengaji, taman dan berbagai pendopo untuk bersantai. Tak lupa asrama dan masjid
besar yang terdapat di bagian depan. Sedangkan rumah Sang Kiai berukuran tak beda jauh
dengan rumah ayah. Cat hijau dan putih terlihat di mana-mana. Di beberapa tempat, suara
anak-anak mengaji terdengar merdu memanjakan telinga.

Mereka berdua sampai di parkiran. Setelah ayah bersantai beberapa jam di majelis dan
dihidangkan berbagai hidangan, dirinya kemudian berniat pulang setelah menunaikan
solat ashar berjamaah di masjid. Seorang anak remaja dengan peci dan sarung berdiri
menunggu ayah memakai helmnya.

“Tolong ya, Dek. Bilangin Pak Kiai,” kata ayah sebelum menjalankan motornya pergi dari
lokasi.

“Insyaallah, Pak. Saya sampaikan ke Pak Kiai,” jawab murid itu.


Ayah lalu menyalakan mesinnya, ia putar arah terlebih dahulu. Menghadapkan motornya
ke arah gerbang besar yang sudah terbuka. “Assalamualaikum,” ucap ayah yang kemudian
mulai maju meninggalkan tempat itu.

“Waalaikumsalam,” jawab murid itu. Dirinya lalu melangkah masuk kembali ke dalam
pelataran di mana anak-anak lain tengah mengaji dengan merdunya.

Perjalanan pulang yang berkilo-kilometer melewati sawah dan rumah-rumah warga pun
berlangsung lancar tanpa kendala. Malam pun tiba saat ayah masih dalam perjalanannya,
gemerlap lampu-lampu perkotaan menandakan dirinya yang sudah dekat dengan rumah.
Ayah mempercepat laju kendaraannya, melaju melewati berbagai kendaraan lain.

Angin dingin malam menerpa jaket yang melindungi tubuhnya. Tangannya terus menekan
pedal, pikirnya ingin segera sampai di rumah dan bertemu anak-anak. Setelah berlama-
lama di jalan aspal, sampailah ia di jalan kampung yang kasar. Terasa sedikit guncangan
saat melewati beberapa polisi tidur buatan warga.

Ayah sedikit kaget saat sampai di rumah, matanya menatap heran kerumunan orang yang
berkumpul di depan rumahnya. Rumahnya sudah ramai oleh warga saat ia datang.
Pikirannya langsung kacau, firasatnya tidak enak  Segera ia masuk melewati gerbang,
memarkirkan motor dan buru-buru melepas helm.

“Ada apa rame-rame di rumah saya?” tanya ayah dengan nada cemas. Beberapa warga lalu
menoleh ke arah ayah. Tapi mereka tidak bergeming, diam tanpa kata. Tidak ada yang
menjawab hingga akhirnya Pak Ustad keluar dari luar rumah ayah sambil memakai
kacamata.

Pria tua berkacamata itu mendekat ke arah ayah sambil menatapnya serius. Kakinya
perlahan bergerak melangkah dari dalam sarung hijau itu. “Pak Robi. Udah sejak kapan Bu
Irma kondisinya kaya gitu?” tanya Pak Ustad.

“Istri saya kenapa, Pak?” Ayah malah bertanya balik dengan nada panik.

“Pastinya Pak Robi lebih tau gimana keadaannya. Ikut saya.” Pak Ustad yang tak mau basa-
basi lalu masuk ke dalam rumah. Ayah ikut menuruti perintahnya. Di ruang depan, ketiga
anaknya bersama Rissa sedang duduk dengan wajah takut. Bahkan Rara tampaknya habis
menangis, matanya sembab dan pipinya lembab bekas air mata. Perasaan ayah semakin tak
enak.

Ayah menelan ludah saat berjarak beberapa meter tepat di depan kamarnya. Pak Ustad
membuka pintu kamar. Membiarkan ayah melihat sendiri keadaan mama. Di atas
ranjangnya, mama terbaring seperti biasa. Hanya bedanya, kali ini kaki dan tangan mama
diikat dengan rantai besi. Ayah yang kaget segera melangkah mendekat. “Mama? Kenapa,
Ma?!” tanya ayah dengan wajah cemas.

“Kurang ajar kamu!!” bentak mama. “Sudah aku bilang jangan coba-coba bawa orang pinter
ke sini!” tambahnya. Ayah pun berhenti saat mendengar ucapan itu, ia berdiri diam dan
terpaku di sana. Dari belakang, suara langkah Pak Ustad terdengar mendekat.

“Tadi Bu Irma mau bunuh diri pakai pisau. Kalau gak ada Rara yang halangin dia, mungkin
leher Bu Irma udah robek kena pisau dapur itu,” tutur Pak Ustad. “Adikmu, Rissa. Dia
keluar panik, teriak-teriak cari bantuan. Akhirnya warga denger, semua ramai-ramai
dateng ke sini dan menyelamatkan Bu Irma,” tambahnya.

Ayah tidak menjawab apa-apa, kepalanya menunduk, mulutnya membisu. Diam seribu
kata. Sesekali mulutnya mengucap istighfar. Entah bagaimana lagi ia berusaha, isi
kepalanya begitu rumit. Membuatnya memejamkan mata dan hening sejenak. Sampai
akhirnya telapak tangan Pak Ustad menyentuh bahunya.

“Kalau ada apa-apa, harusnya Pak Robi kasih tau warga. Kita bisa sama-sama jaga Bu Irma.
Kita bisa saling bantu, Pak. Jangan sungkan,” cakap Pak Ustad.

“Malam ini, saya sama warga udah sepakat bakal bikin acara pengajian di rumah Pak Robi.
Kita sama-sama baca Al-Quran sampai azan subuh. Abis itu, kita solat berjamaah di sini
juga. Kita minta pertolongan sama Allah, berharap setan-setan di sini pergi dan musnah,”
tambahnya.

"Gak ada salahnya kita coba ruqyah rumah ini, kita usir energi negatif, " kata Pak Ustad lagi.
Laki-laki berkacamata itu lalu berbalik badan, ia berjalan ke luar kamar meninggalkan ayah
bersama mama di dalam.
Sementara tatapan tajam mama terus mengarah ke wajah ayah bak seekor banteng yang
siap mengamuk. Laki-laki itu memberanikan diri, ia tatap balik mata mama. Perlahan ayah
mulai merasakan amarah dalam dirinya, ia lalu mendekat dan berdiri di depan mama.

Dengan nada penuh emosi ayah berkata, “pokoknya saya akan terus berusaha supaya kamu
musnah! Kamu pergi dari sini! Iblis!”

Cuih!

Mama langsung meludahi wajah ayah, air liur itu membasahi pipinya. Hampir mengenai
mata. “Berani macam-macam kamu?! Sialan!” bentak Mama dengan mata tajam dan sedikit
memerah. Ia mengerang dan mengamuk. Suara besi ranjang yang saling beradu terdengar
saat badan mama mulai berontak berusaha melepaskan diri dari rantai yang mengikat kaki
tangannya.

Ayah mengelap wajahnya dengan tisu. Ekspresinya begitu dingin, ia lalu melangkah keluar
kamar tanpa mengucap sepatah kata pun. Pintu ia tutup setengah, kemudian lanjut
berpindah ke ruangan depan. Di pelataran rumah, para warga sudah pulang. Tersisa Pak
Ustad dan beberapa warga yang masih duduk berjaga di sana.

Anak-anaknya duduk di sofa. Tidak ada yang berbicara. Mata Rissa dengan kakak iparnya
itu saling bertemu. Ayah menoleh ke anak pertamanya. Wajah gadis itu tampak suram,
matanya melamun. Sebuah plester dan perban tipis menempel di tangannya.

“Tangan Kakak kenapa?” tanya ayah yang kemudian duduk di sofa tunggal.

“Kena pisau,” jawab gadis itu singkat.

“Jadi tadi, Rara kena gores pisau. Mbak Irma mau bunuh diri, beruntung ada Rara yang—“

“Iya, iya! Udah denger kok dari Pak Ustad.” Ayah memotong kalimat Rissa adiknya yang
belum selesai terucap.
Perempuan berjilbab itu lalu menghela nafas, ikut prihatin dengan keadaan keluarga sang
kakak yang sedang ditimpa musibah. Ayah menyandarkan dirinya di sofa, membuat dirinya
santai setelah perjalanan yang jauh nan melelahkan. Ditambah dengan keadaan rumah
yang semakin buruk membuatnya kian merasa pusing.
Tangan ayah mengurut pelan dahinya yang mengkerut. Harapannya hanya ada pada Pak
Kiai, berharap sosok yang ia butuhkan itu bisa segera menghubunginya. Malam ini
mungkin akan menjadi malam yang berbeda, akan jadi malam yang panjang.

Singkat cerita para warga benar-benar melakukan pengajian bersama malam itu. Tepat jam
sebelas malam pengajian dimulai dengan dipimpin oleh Pak Ustad. Suara-suara warga dan
jama'ah masjid menggema di rumah ayah. Membacakan ayat suci dengan merdu.

Pada mulanya warga banyak yang datang ke pengajian, sampai perlahan-lahan beberapa
dari mereka pulang dan menyisakan beberapa jama'ah masjid yang terus melantunkan
ayat suci sampai azan subuh berkumandang. Sesekali gangguan datang. Suara tangisan,
suara merintih dan bisikan-bisikan gaib terdengar. Tapi tak menyurutkan niat ikhlas
mereka.

Tapi tanpa mereka sadari, sang setan tengah mengintai dalam diam. Menunggu celah untuk
beraksi dan mengacaukan suasana.

Malam itu rembulan menjadi saksi, gemintang malam bersinar mengiringi perjuangan
mereka dalam membebaskan keluarga malang ini dari cengkeraman energi negatif nan
terkutuk.

Malam ini merupakan malam ketujuh setelah nenek meninggal. Setelah semalam pengajian
dilakukan semalaman, warga berencana melaksanakan hal yang sama di malam ketujuh ini.
Demi mengusir energi jahat yang bersemayam di rumah.

Cuaca sedikit berawan, remang-remang cahaya rembulan mengintip dari awan yang
bergerak ke selatan tertiup oleh angin. Beberapa malam kemarin, jalanan di depan rumah
ayah selalu terlihat sepi. Tidak ada yang berani melintas saat sudah malam hari. Tapi
malam ini kebalikannya, warga justru datang meramaikan.

Saat itu jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Satu jam sebelum pengajian di mulai.
Beberapa warga serta jamaah berkumpul di pelataran depan rumah. Saling bercanda dan
mengobrol. Gelas-gelas kopi menemani perbincangan mereka.

Termasuk ayah yang saat itu duduk meluruskan kaki sambil bersandar di salah satu tiang
rumah. Mulutnya mengeluarkan asap tipis, tak lupa segelas kopi juga tersedia di
sampingnya. Bang Tohir dan Agus seperti biasa asik bermain kartu.
"Assalamualaikum," ucap Pak Ustad sambil melepas sandalnya. Melihatnya datang,
beberapa warga yang ada di sana langsung berdiri. Seperti pada umumnya bertemu orang
tua, mereka mencium tangan Pak Ustad dan menjawab salam. Termasuk juga ayah di
antaranya.

"Nah gini dong, rumah yang ada energi negatifnya justru harus dibuat ramai kaya gini.
Bukan dibikin sepi, jangan malah kalian takut. Kita harus lawan, setan kok ditakutin," kata
Pak Ustad sambil tertawa kecil.

"Siap Pak Ustad! Pokoknya ni malem kita perangin tuh setan! Biar minggat jauh-jauh!" kata
Bang Tohir yang bersemangat.

Braakkk!

Setelah Bang Tohir bicara begitu, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari atap rumah. Seolah
ada sesuatu yang jatuh di atas sana. Bunyinya begitu berisik hingga membuat para warga
kaget sekaligus takut.

Pak Ustad tersenyum. "Awas, Bang Tohir. Biar pun kita gak seneng mereka di sini, tapi
jangan ngomong sembarangan. Jangan pancing mereka buat pamer kekuatan," cakapnya
sambil tertawa kecil.

"Belum apa-apa udah ditegur ya, Pak," sahut Agus.

Pak Ustad lalu berjalan masuk ke dalam rumah. "Pak Robi, saya numpang duduk di sofa ya,
di luar ngebul sama asap rokok," kata Pak Ustad.

"Silahkan, Pak. Silahkan," kata ayah mempersilahkan Pak Ustad duduk di sofa. Laki-laki
bersarung itu lalu duduk di sofa yang empuk. Peci hitam di kepalanya ia lepas, lalu
digunakan untuk mengipas-ngipas dirinya. Menghilangkan hawa gerah dan panas.

Melihat Pak Ustad duduk sendiri di sofa, Agus lalu berinisiatif. Ia berdiri dan masuk ke
dalam. "Pak, mau minum kopi?" tanya Agus menawarkan.
"Boleh," jawabnya.

Agus lalu mengangguk, ia mulai melangkahkan kakinya menuju dapur rumah ayah.
Tangannya membuka sebuah lemari di atas wastafel, sebuah gelas kaca ia keluarkan.
Berikut satu saset kopi yang biasa diminum warga lainnya. Agus lalu menyeduh kopi
sebagaimana biasanya.

Nggggghhhhh ....

Terdengar suara misterius membuatnya berhenti sejenak, wajahnya menatap lurus ke


depan. Dahinya mengkerut. Kepala Agus lalu menoleh ke arah sumber suara. Yaitu kamar
mandi yang pintunya terbuka sedikit. Dari sana suara rintihan seorang perempuan
terdengar begitu pilu. Amat jelas di telinganya.

Nggggghhhh ....

"Rara ya?" tanya Agus sambil memperhatikan kamar mandi itu. "Bu Irma?" panggilnya lagi.
Tapi suara lirih tu terus terdengar. Menggema di dalam kamar mandi, seolah benar-benar
ada seseorang di sana.

Nnngghhhhh ....

Suara itu masih dan terus terdengar. Setelah menuang air panas dan mengaduk kopi, Agus
lalu beranjak terlebih dahulu meninggalkan kopinya. Ia berjalan ke arah kamar mandi
karena penasaran. Tangannya dengan perlahan mendorong pintu itu ke dalam sehingga
membuatnya bisa dengan bebas melihat ke dalam.

Tapi saat matanya menatap ke dalam, Agus tidak menemukan siapa pun di dalam sana.
Kamar mandi itu kosong. Wajah Agus berubah menjadi takut, nafasnya mulai tidak tenang.
Ia bergidik lalu melangkah cepat kembali ke dapur untuk mengambil kopinya.

Betapa kaget dirinya. Saat sampai di dapur, ia melihat gelas kopinya sudah kosong bahkan
sampai ke ampas-ampasnya. Padahal tidak ada seseorang selain dirinya, lagi pula kopi itu
masih cukup panas untuk ditenggak habis dalam waktu sesingkat itu. Agus semakin
ketakutan. "Gila, siapa nih yang ngabisin kopi panas-panas. Kaga melepuh apa tuh mulut?"
gumamnya dengan nada gemetar.

Itu saya, Bang ....

Suara perempuan tak dikenal menjawab gumaman Agus. Mata Agus melirik ke arah kamar.
Nafasnya mulai tak karuan, badannya benar-benar gugup dan gemetar hebat.
Dari balik pintu kamar yang sedikit tertutup itu, ia melihat sesosok perempuan sedang
mengintip, wajahnya hitam dan membusuk. Rambutnya gimbal berantakan, ia menyeringai
sambil menggerak-gerakkan kepalanya menggoda Agus yang tengah berdiri terpaku
menatapnya. "Abaaang ...," panggil sosok wanita itu.

Agus yang sudah sangat takut dengan refleks melempar sendok kecil ke arah sosok itu. Lalu
dirinya bergegas meninggalkan dapur. Sesampainya di ruang depan, Pak Ustad melihat
Agus yang berjalan cepat dengan wajah pucat.

"Gus, kenapa kamu? Kopinya mana?" tanya Pak Ustad.

"Aduh, gak tau deh, Pak." Mata Agus lalu menatap ke arah ayah yang sedang duduk santai
di pelataran. "Bang! Lu aja deh yang bikinin kopi buat Pak Ustad, kan elu yang punya
rumah," kata Agus sambil duduk kembali di posisinya semula.

"Kok jadi gue sih? Katanya lu mau bikin. Hadeeeh, Agus, Agus!" Ayah lalu mematikan
rokoknya dan berjalan masuk ke dalam rumah. Sementara Agus bersandar lemas din
dinding sambil mengelus dadanya. Menenangkan diri setelah apa yang dilihatnya barusan.
Matanya sesekali terpejam, tapi ia bisa mengendalikan dirinya dengan baik.

***

Satu jam kemudian. Pengajian pun di mulai, para warga duduk rapi di posisinya masing-
masing. Termasuk ayah di sana. Ada yang di luar juga ada yang di dalam. Sementara ketiga
anak dan istrinya sudah tertidur pulas di kamarnya masing-masing.

Lantunan ayat suci terdengar memenuhi rumah ayah. Pak Ustad dan beberapa jama'ahnya
membaca Al-Quran, sedangkan warga lainnya sekedar mengikuti dengan bacaan-bacaan
dan doa yang mereka bisa. Termasuk ayah. Dari balik kacamatanya, Pak Ustad melihat
huruf demi huruf dan mengucapnya dengan baik dan benar. Tangannya bergerak
mengikuti tiap-tiap baris.

Tapi, malam itu berbeda dengan malam sebelumnya yang berlangsung lancar tanpa
kendala. Baru setengah jam mereka mulai mengaji, tiba-tiba terdengar suara tangisan.
Fokus para warga dan jama'ah pun buyar, mereka tetap melanjutkan bacaannya. Akan
tetapi mata mereka mencari-cari di mana sumber suara itu.
Sumber suara yang berasal dari atap itu kian terdengar jelas. Pak Ustad mengisyaratkan
untuk mengabaikannya dan tetap teguh membaca ayat suci. Semuanya pun menurut, walau
telinganya tidak bisa bohong, tapi mau tak mau mereka harus terus melawan dengan ayat-
ayat suci.

Tak berhenti sampai di situ. Beberapa barang-barang seperti buku, sendok sampai
pengharum ruangan mulai berjatuhan dengan sendirinya. Seolah ada sesuatu tak kasat
mata menggerakkannya, sengaja membuyarkan konsentrasi mereka yang tengah fokus
membaca ayat suci.

Mereka tetap mengabaikan dan tidak mau ambil pusing. Lantunan ayat suci tidak berhenti
hanya karena gangguan dari mereka. Meski beberapa warga sempat menoleh kesana
kemari mencari sumber suara.

Pergi!

"Waaaa!!" jerit salah satu warga yang sontak mengagetkan warga lainnya. "A-Ada suara.
Ada suara yang bisikin saya," katanya dengan wajah gugup. Sambil tetap membaca Al-
Quran, Pak Ustad mengisyaratkannya untuk tetap tenang dan memerintahkan yang lain
untuk melanjutkan bacaan.

"Pak, tenang ya. Saya udah biasa, gak bakal diapa-apain kok," ucap ayah menenangkan
warga itu.

Pengajian pun kembali dilanjutkan. Iblis jahat itu tampaknya tidak menyerah. Kini ia mulai
membabi-buta dan membahayakan para warga yang datang. Mereka yang semula duduk
rapi, kini mulai berantakan. Tak karuan posisinya.

Barang-barang seperti pajangan, mainan Bobi, botol-botol mulai beterbangan ke segala


arah. Terlempar dan sesekali hampir mengenai warga. Warga panik, beberapa ada yang lari
kocar-kacir ke luar rumah. Kursi kayu, piring, dan berbagai perabotan pun ikut terlempar
dengan sendirinya. Menciptakan suara gaduh yang sangat menganggu. Tapi Pak Ustad
tetap membaca Al-Quran. Tetap pada pendiriannya walau warga dan jamaahnya sudah
banyak yang pergi ketakutan.

"Pak! Pak Ustad gimana ini?" tanya ayah panik. Tapi tak ada jawaban darinya.
Kegaduhan semakin menjadi-jadi. Sampai suara berisik itu membuat anak-anaknya
bangun. Mereka buru-buru berlari ke lantai bawah. "Ngapain kalian? Bahaya! Naik ke atas!"
teriak ayah memperingatkan sebelum barang-barang itu terlempar mengenai mereka.

"Pak, udah, Pak! Jangan dilanjutin! Bahaya!" kata ayah memohon agar Pak Ustad pergi.
Mulutnya tetap membaca ayat suci, kepalanya menggeleng menolak ajakan ayah. Ayah
semakin panik, ia tatap kegaduhan yang terjadi. Entah apa yang bisa ia perbuat.
Pintu dan jendela terbuka tutup dengan sendirinya. Pecahan-pecahan piring berantakan di
lantai rumah, berbagai barang-barang terus terlempar ke segala arah. Tak peduli ringan
atau berat.

Tak!!

Suara ujung tongkat kayu yang dipukul ke lantai terdengar nyaring. Setelah itu suara
pukulan tongkat itu terdengar, mendadak semua kegaduhan di dalam rumah berhenti.
Sang setan seakan terdiam dan tak berkutik. Ayah lalu menoleh ke sumber suara. Di
ambang pintu, seorang pria berpakaian gamis putih dan memakai surban di kepalanya
tengah berdiri sambil memegang sebuah tongkat.

Wajahnya keriput, pria tua itu tersenyum sambil melihat ke dalam rumah. Angin bertiup
kencang menyambut kedatangannya, aura positif masuk ke dalam rumah.

"Shodaqallahul Adzim." Pak Ustad menghentikan bacaannya saat sosok bergamis putih itu
datang. Lalu matanya menatap wajah pria tua itu, begitu juga dengan ayah.

"Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh," ucap sosok bergamis itu dengan nada


lembut sambil menunjukkan senyum di wajahnya.

"Wa'alaikumsalam Warahmatulahi Wabarakatuh," jawab Pak Ustad dan ayah secara


bersamaan.

Sosok berjubah putih dengan surban di kepalanya membuat gempar semua warga yang
datang. Tongkat kayu di tangannya menambah gagah pria tua itu. Kewibawaan serta aura
positif yang ia bawa begitu kuat memancar. Sinarnya, cahayanya. Membuat mata siapa pun
enggan berpaling berpaling darinya.

Dirinya berjalan masuk ke dalam rumah. Ia mendekat dan bersalaman dengan Pak Ustad,
lalu selanjutnya berpindah ke arah ayah yang terpaku diam melihatnya. Senyum orang itu
kembali timbul, ia menyodorkan tangannya pada ayah. Dengan sopan ayah mencium
tangannya.

"Saya dapat pesannya," kata pria tua itu pada ayah.

"Pak Kiai?" kata ayah sambil menatapnya.

Pria bersurban di hadapannya lalu mengangguk. "Saya datang untuk kamu," ucapnya.

"I-Iya, saya minta pertolongan, Pak. K-Kita semua sekeluarga diganggu," balas ayah
menjelaskan.

"Iya. Sekarang, kosongkan rumah ini. Kecuali istri kamu, biarkan dia kamarnya," jawab Pak
Kiai yang seakan sudah tahu segalanya. Ayah lalu berjalan menuju lantai atas, memanggil
ketiga anaknya. Rara beserta kedua adiknya lalu turun dari lantai dua, suara tangga
bertemu dengan telapak kaki mereka terdengar jelas. Mereka bergegas keluar bersama Pak
Ustad, sementara sang ayah memastikan kondisi mama sebelum meninggalkannya.

"Saya titip, Pak. Istri saya," ucap ayah dengan nada khawatir sebelum ikut menyusul anak-
anaknya di luar. Dengan tenang, Pak Kiai mengangguk. Langkah ayah kemudian mulai
keluar. Beberapa orang mengintip melalui jendela, pintu pun ditutup saat Pak Kiai benar-
benar sendirian di ruang depan.

Tepat setelah pintu ditutup, sebuah angin hebat terasa berputar-putar di dalam rumah.
Begitu dingin dan menusuk tulang. Jubah Pak Kiai berkibar-kibar. Tapi wajahnya tetap
datar tanpa ekspresi, dengan tenang menatap lurus ke depan seolah tak terjadi apa-apa.
Tangan kanannya menggenggam erat tongkat kayu.

Barang-barang mulai terlempar ke segala arah. Kegaduhan kembali terjadi.


Pak Kiai membiarkannya, matanya melirik ke beberapa sudut rumah. Tapi tidak ada tanda-
tanda pergerakan. Ia tetap berdiri di sana, tanpa berjengkal pun. Kakinya tetap kokoh di
posisinya. Seakan menunggu sesuatu datang.

Siapa kamu?!

Sebuah suara dari sosok tak kasat mata terdengar memenuhi seluruh ruangan. Suaranya
serak dan berat. Pak Kiai lalu tersenyum sambil mengangguk. "Saya Hamba Allah," ucapnya
menjawab.
Mau apa?!

"Saya kesini mau membumihanguskan musuh Allah," jawabnya dengan tenang.

Jangan harap bisa menang kamu manusia sombong!

Bentakan suara itu terdengar semakin keras dan menggema di dalam rumah. Bahkan
beberapa perabotan sempat bergetar tatkala suara terdengar meriah.

"Saya tidak sombong. Saya tidak mau menang. Yang berhak menang hanyalah Allah,"
ucapnya lagi. "Sekarang kamu mau pergi atau mau terbakar di sini?" tanya Pak Kiai.

Hihihihihihihi ....

Suara itu berubah, yang semula serak menjadi suara perempuan yang nyaring dan
melengking. Bahkan beberapa warga dan jamaah yang masih di luar rumah bisa
mendengar suaranya. Kedua tangan ayah sengaja menutup telinga Bobi, mencegah suara
itu terdengar olehnya. Semua orang bergidik ngeri di sana. Tak henti-henti mulut mereka
mengucap istigfar dan doa-doa.

Pak Kiai mengangkat tangan kirinya, mulutnya mulai membacakan doa-doa. Matanya
terpejam. Sedangkan di sekitarnya kembali gaduh, angin kencang kembali berputar di
sekelilinginya. Pintu dan jendela terbuka tutup tanpa ada yang menggerakan, barang-
barang terpental kesana-kemari. Beterbangan tak tentu arah. Tapi Pak Kiai mengabaikan
itu semua, ia tetap teguh pada doanya.

Bajingan! Bajingan!

Suara teriakan itu terdengar beberapa kali, begitu keras dan menusuk telinga. Gelas, piring
bahkan pisau hampir terlempar mengenai Pak Kiai. Tapi belum sampai mengenai dirinya,
barang-barang itu sudah terpental balik dengan sendirinya. Seolah ada kekuatan lain yang
melindungi pria tua itu.

Tangan kanan Pak Kiai mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, nafasnya mulai memburu.
Keringatnya mulai bercucuran. Tampak beberapa kali tongkat itu bergerak miring ke kiri
dan ke kanan. Tapi tangannya tetap mempertahankan agar tongkat itu tetap seimbang, jari-
jarinya menggenggam sekuat yang ia bisa. Semua kekacauan terus terjadi untuk
mengganggu konsentrasinya.
"Musnah kamu Iblis!" teriak Pak Kiai yang langsung menghentakkan tongkatnya ke lantai
dengan sekuat tenaga. Menciptakan suara ketukan yang singkat tapi nyaring di telinga.
Lantai keramik itu bahkan sampai retak.

Persis setelah ia hentakkan tongkatnya, kekacauan itu berhenti. Angin kencang tadi pun
sudah menghilang, jendela dan pintu kembali tertutup. Suara sosok misterius sudah tidak
lagi terdengar, berganti dengan suara langkah kaki seseorang terdengar dari dalam kamar.

Mama membuka pintu kamar, dengan tubuh lemas ia berjalan tertatih-tatih. Tangannya
berpegangan pada dinding, mempertahankan keseimbangannya. Pak Kiai tetap
mempertahankan posisinya. Tidak berpindah sama sekali.

Dengan mata tajam mama menatap Pak Kiai. Tangannya mengepal, seolah siap menerkam
pria tua bersurban itu. Kakinya perlahan mendekat. Mata Pak Kiai terus
memperhatikannya, membiarkan wanita itu melangkah mendatanginya.

"Dasar bajingan kamu! Busuk!" bentak mama sambil terus mendekat.

"Siapa yang perintah kamu ke sini?" tanya Pak Kiai.

"Ada! Orang deket. Kamu gak perlu tau, dia ingin semua orang-orang ini mati!" jawab
mama dengan suara yang tiba-tiba menjadi serak.

"Jangan kamu lanjutkan, pergi sekarang. Masih ada waktu," ujar Pak Kiai.

Tiba-tiba mama mendekat ke arah Pak Kiai, langkah kakinya tiga kali lebih cepat dari yang
sebelumnya. Ia sedikit berteriak, mengeluarkan suara mengerang bak singa yang
mengamuk. Tapi pria tua itu kembali menghentakkan tongkatnya ke lantai, seketika tubuh
mama terjatuh duduk ke lantai.

Melihat itu, Pak Kiai yang sedari tadi berdiri langsung berlutut di depan mama. Tangan
kirinya lalu memegang kepala ibu tiga anak itu. "Keluar kamu, kasihan Ibu ini. Keluar!"
bentak Pak Kiai. Namun, sosok yang bersemayam dalam tubuh mama tetap bertahan di
dalam tubuh wanita itu.

Matanya menatap tajam, mulutnya menyeringai. Samar-samar ia tertawa kecil. Tubuhnya


kaku saat mulut Pak Kiai mulai membaca doa-doa. Tangan kirinya bergerak memijat dahi
mama dengan pelan, mata pria tua itu terpejam.

Anda mungkin juga menyukai