Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ahsan Ziadah

Kelas : XII TKJ

KABUT IBU
Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu.
Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras
depan.

Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu
mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api sepercik pun menjilati
rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya,
mereka hanya akan saling berbisik, ”Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah
itu pasti sudah dikutuk.”

***

Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti warna
bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku
masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar belakang. Ibu terus
mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah berbincang dengan beberapa
orang. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok
yang disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama Tuhan.

Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang. Ayah
meminta kami untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah
abah (bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak terlampau jauh.

Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan pematang
yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam.
Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan
dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk pintu
terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya
bercucuran. Abah mengambilkan segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di
kamarnya.

Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di luar riuh
oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali. Abah menyuruhku untuk
segera memejamkan mata.

Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu sambil
menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di kamarnya.

Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang duluan,
begitu kata abah.
Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak tangannya
yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancur
berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat,
seperti darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan, membawaku pulang kembali ke
rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di depan rumah kami yang kian mengecil
dalam pandanganku. Orang-orang itu tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda.

”Mengapa kita tak jadi pulang, Bah?” tanyaku.

”Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu.” Abah tersengal-sengal mengayuh kereta untanya.

”Kotor kenapa, Bah?”

Abah terdiam beberapa jenak, ”Ya kotor, mungkin semalam banjir.”

”Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?”

”Ya banjir.”

”Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.”

”Hus!”

***

Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku tak
boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang.

”Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian jemput
ibumu.”

Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini masih
membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding
papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama sekali abah tak
kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya di depan rumah. Aku
mengempaskan napas lega. Menyongsong abah.

Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong tanpa
kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam.

Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu sedang sakit.
Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa
waktu kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah
dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi
kematian—lantaran mereka pernah hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang
menggenang di teras rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak
menahan ngeri.

***

Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah. Ketika
ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada
akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu.
Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari
pekerjaannya hanya diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan
bantal ke dinding dan terdiam lagi.

Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke kamarnya.
Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selimut,
semua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu
selalu berkabut.

Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut
yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi.
Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari
mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari matanya selalu
mengepul kabut tebal yang tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari
air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.

***

Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka pintu
dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak kami menyadari
keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan
minuman kami selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan
makanan. Beberapa kali kami menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang
sama. Tak tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan sama
sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan mata kami.

Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa
melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu
kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir dengan keadaan
ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan hantaman. Pintu itu
bergeming. Kami terus menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-
benar rebah berdebam di tanah.

Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan kami
mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap.
Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang
membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana. Aneh, kami juga
tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya
kabut yang kian menipis dan hilang.

Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor kecamatan.
Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu melaju, berbilang pekan
dan bulan, tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut
itu. Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami
berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di
kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada
kikisnya.

***

Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut
itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang
tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi memedulikan
ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah setan, rumah tak bertuhan,
rumah yang menanggung kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan
rumah kami, sebagaimana ia menelan ibu.

Ketika Kabut

Malang, 11-11-11
Unsur-unsur Intrinsik
1. Judul
Kabut Ibut

2. Tema
Penyihir si Pemuja Setan.

3. Latar
Tempat = dirumah penyihir
Waktu = Malam

4. Alur
Alur Mundur

5. Sudut pandang
Orang pertama

6. Pesan Moral
Penyihir dan pemuja setan tidak akan diterima ditengah masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai