Anda di halaman 1dari 37

4 TAHUN TINGGAL

DIRUMAH HANTU

Tempat tinggal kami dulu termasuk dalam kawasan yang sepi, terutama
pada malam hari. Memang tidak begitu jauh dari keramaian kota Depok,
merupakan salah satu propinsi di Jawa barat. Konon orang bilang Depok adalah
tempat Jin buang anak, namun nggak ada sedikitpun ane mempercayai perihal Jin
buang anak dalam cerita-cerita orang.

Untuk mencapai rumah kami tersebut masih harus menggunakan Jasa


tukang Ojek atau naik motor sendiri, karena belum ada angkot yang melewati
daerah kami. Jarak dari Jalan raya Bogor ke dalam memang masih jauh, ada
beberapa kilometer. Bila agan naik motor, maka akan dengan leluasa melihat
keindahan di sepanjang jalan, melewati dua buah tanjakan yang terasa curam. Di
Tanjakan ke dua inilah tempat ane dan anak istri bernaung beberapa tahun
lamanya. Rumah dengan kiri kanan kesunyian. Sebelah kanan hamparan sawah
dari lapangan Golf yang belum digunakan oleh perusahaan, sehingga digarap oleh
penduduk sekitar. Lengkap dengan jurang terjal dan empang yang bila dilihat
seksama lebih menyerupai telaga, apalagi bila malam, tampak hitam pekat.

Di sisi depan dan kiri tempat kami terdapat sebuah tanah kosong. persis di
kiri penuh belukar yang semula digunakan sebagai lapangan bulu tangkis yang
akhirnya dibiarkan mati begitu saja menjadi rimbunan rumput ilalang. Bila malam
hari agan melewati jalanan di depan rumah kami, pasti akan tergerak untuk
melihat kesunyian yang mendirikan bulu roma, yang hanya terdengar desau angin
dan gesekan rumput ilalang.
Tepat di rumah kami ini, jangan harap agan mendapatkan penerangan jalan
dari rumah kami. Meskipun ada beberapa stop kontak dan bekas lampu penerang
di depan rumah, tapi tidak pernah lagi kami nyalakan. Mungkin orang akan
berpendapat betapa pelitnya kami sampai lampu jalan atau minimal lampu depan
rumah saja nggak dinyalakan. Itu mungkin pendapat orang yang baru lewat.
Mungkin. Tapi bagi penduduk sekitar kampung kami tentunya tidak asing lagi
dengan hal gelapnya depan rumah kami. Sengaja kami tidak menyalakan lampu
depan rumah karena kami sudah merasa bosan untuk menyalakannya. Kenapa
Bosan? Kelak agan akan mengetahui dengan sendirinya nanti.

Rumah ini kami tinggali sejak beberapa tahun yang lalu. Ane bangga
menempati rumah dengan desain yang artistik dan terletak di tanah yang cukup
tinggi dibanding tanah sekitar, sehingga jika dilihat dari bawah tanjakan, akan
nampak seperti Villa di atas bukit.
Rumah ini kami beli dari seorang pensiunan Kolonel Tentara yang pindah karena
sesuatu hal. Hari pertama kami menempati rumah ini, seperti lazimnya orang
pindahan kami melakukan selamatan dengan mengundang beberapa tetangga.
Malamnya kami lewatkan dengan tidur yang pulas karena suasana sekitar rumah
memang asri dengan hawa dingin menyejukkan dibawa oleh angin dari padang
golf.

Beberapa hari lamanya tinggal di sini tak ada kejadian yang aneh, sampai
pada suatu pagi Ane mendapati rokok filter yang baru saja ane beli, hilang secara
misterius. Sebungkus rokok itu baru ane hisap satu batang, lainnya masih utuh.
Itulah awal mula keanehan yang kami dapatkan. Kalau hilangnya bukan didepan
mata ane sendiri, mungkin ane nggak peduli. Toh hanya sebungkus rokok, apa
artinya sebungkus rokok yang hilang. Tapi yang membuat Ane penasaran adalah
bahwa rokok itu hilang di depan mata ane sendiri, di mana nggak ada seorangpun
yang lewat atau pernah bergabung beberapa waktu sebelumnya di sini. Ane
anggap hilang begitu saja, dan melupakan kejadian itu, dua hari kemudian Ane
dikejutkan dengan kemunculan kembali rokok ane yang hilang tepat di tempat
semula. Rokok itu masih utuh, tepat kurang satu batang karena sudah ane hisap
sebelumnya. Ane tanya pembantu ane, apakah dia yang sengaja berbuat begitu
untuk mengerjai atau menakuti ane, nyatanya bukan dan pembantu ini juga
merasa takjub bercampur ketakutan. Lagi-lagi ane anggap bahwa kejadian yang
saya alami ini hanyalah kebetulan atau ane yang salah lihat.

Ane punya anak kecil, laki-laki yang berusia 1,5 tahun waktu kami baru
menempati rumah ini. Nggak ada lain dan bukan, yang dikerjakan anak ane ini
nangis tiap hari. Bagi ane mendengar tangis bayi terus-menerus adalah hal yang
biasa. Tapi kalau tangis itu berkepanjangan dan tak henti-hentinya, tentulah jadi
masalah juga bagi kami.

Kami sengaja memberikan pengasuh khusus pada bayi Kami ini, seorang ibu
paruh baya yang cukup rajin dalam mengerjakan sesuatu. Ibu ini sangat tanggap
pada apa yang harus dia kerjakan tanpa kami menyuruhnya. Dia mulai bekerja
setelah pembantu yang pertama pulang tanpa sebab musabab yang jelas.
Kehadiran ibu ini ditengah-tengah kami adalah hal yang istimewa, di mana kami
menganggap dia sebagai ibu kami sendiri. Di saat-saat kami mulai dicekam rasa
penasaran dan ketakutan dengan kejadian demi kejadian aneh, keberadaan
seseorang yang lebih tua dari usia kami adalah anugerah, minimal kami merasa
nyaman, terutama dari hal-hal yang aneh. Sikecil pun mulai berkurang
tangisannya. Kami lalui hari-hari dengan tenang dan menyenangkan sampai pada
suatu saat kami kedatangan orang tua kami.

Tanpa kami sangka-sangka, si Ibu pengasuh bayi ini secara tiba-tiba


mengajukan berhenti dari pekerjaannya dengan mendadak. Nggak ada rayuan atau
apapun yang dapat mencegah keinginannya untuk berhenti dari kerja di rumah ini.
Kamipun tidak dapat berbuat apa-apa selain dari mengikhlaskan kepergian
pembantu kami yang bijak ini, walaupun dengan kecamuk pertanyaan yang tidak
terpecahkan saat itu. Baru bertahun-tahun kemudian pertanyaan itu terjawab
kenapa si Ibu pembantu ini minta berhenti mendadak. Ternyata kami telah
dikelabui oleh kekuatan jahat yang akan kami ceritakan lagi nanti, pada bagian
akhir kisah ini.

Akhirnya kami mendapatkan lagi pembantu, yang masih belia, namanya


Ratih. Berusia sekitar 18tahunan. Terlalu muda untuk ukuran pembantu yang
diharapkan dapat mengerjakan segala sesuatunya. Bila pembantu yang lama kami
dapat lebih tenang karena faktor usia yang cukup, tapi dengan pembantu yang
baru ini kami tidak begitu mengharapkan perubahan yang berarti. Yang penting
istri ane nggak terlalu repot lagi. Walaupun masih muda, lama-lama Ratih dapat
menyesuaikan juga dengan keadaan di rumah kami. Tapi itu tidak berlangsung
lama. Baru sepuluh hari kerja, Ratih sudah meminta berhenti. “Saya mau berhenti
saja Pak, orang tua Saya menyuruh Saya pulang” Demikian kalimat yang diucapkan
Ratih saat meminta ijin berhenti dari kami, dengan sorot mata yang ketakutan.
“Bukankah mbak Ratih sudah berjanji akan berkerja di tempat kami minimal
2bulan biar kami dapat mencari penggantinya dulu..?” kata Ane mengingatkan
akan janji Ratih pada saat kami terima kerja dulu. Ratihpun tidak bisa mengelak,
dia surut juga. Memang kami dulu membuat kesepakatan dengan Ratih bahwa
minimal kerja di rumah kami selama dua bulan, dan jika mau berhenti harus
memberi tahu paling tidak satu bulan sebelumnya agar kami dapat mencari
penggantinya sesegera mungkin. Hal itu kami lakukan karena belajar dari
pengalaman pertama dengan pembantu kami yang dulu. Perihal alasan Ratih untuk
pulang kampung pun ane fikir hanya akal-akalan saja.

Kami lega dan menganggap sudah selesai wacana Ratih untuk pulang
kampung. Tapi hari-hari berkutnya setelah Ratih meminta berhenti itu jadi terasa
kaku, dia lebih banyak diam. Istriku sering ke kamar Ratih untuk sekedar
menghibur Ratih agar kerasan. Kamarnyapun kami pasangi Tivi sendiri agar betah.
Kamar Ratih adalah kamar yang dulu ditempati pembantu kami yang pertama.
Letaknya agak jauh dari kamar kami, kamar utama yang ukurannya lebih besar,
terletak paling belakang di bagian rumah. Dari kamar kami ini dapat melihat
langsung ke pemandangan belakang rumah yang banyak ditumbuhi pohon pisang
dan petai cina melalui jendela kamar. Dari slot jendela yang sudah berkarat,
pertanda bahwa jendela ini sangat jarang dibuka. Baru setelah kami tempati,
jendela ini difungsikan lagi.

Hari itu hari minggu, hari libur untuk ane setelah seminggu bekerja. Ane
bolak-balik dari rumah ke tempat kerja di Bogor. Kebetulan supersibuk sehingga
hari liburpun kadang-kadang tidak lagi menjadi hari libur. Saya tetap harus
mengerjakan tugas-tugas di luar rumah. Karena hari minggu ini nggak ada tugas
yang mengharuskan ane keluar rumah, Saya bersama istri dan anak ane yang saat
ini sudah berusia 2 tahun menyempatkan jalan-jalan ke Mall sambil menikmati
kebersamaan. Memang kami jarang mendapatkan suasana begini. Petangnya, kami
kembali ke rumah. Sampai di rumah pas magrib. Keadaan rumah sepi, lampu-
lampu dalam rumah sudah menyala terang.

“Ratih..” “Ratih..!” Teriak istri ane memanggil Ratih, kalau-kalau


ketiduran. nggak ada sahutan dari dalam rumah. ane pun gedor-gedor rumah,
tetap nggak ada reaksi,padahal biasanya nggak begini. Biasanya Ratih akan
langsung membukakan pintu saat kami baru nyampai di rumah. Lama pintu tidak
dibukakan, juga nggak ada tanda-tanda kalau Ratih masih melek. Mungkin Ratih
memang tertidur di kamarnya. Tapi kamarnya kan dekat dari ruang tamu, bahkan
terletak persis garis lurus dari pintu utama, jadi mustahil jika dengan panggilan
segitu kerasnya Ratih tetap tidak bangun-bangun juga. Ane ngecek pintu, ternyata
nggak dikunci, hanya ditutup dengan pengait slot yang sebenarnya bisa dibuka dari
luar, dengan cara menariknya dari lubang jendela samping pintu. Ane menjulurkan
lengan dan berusaha meraih slot yang menahan pintu untuk agar dapat dibuka.
Alhamdulillah. Pintu dapat terbuka dengan sendirinya. Kamipun masuk dengan
menahan gondok dan kesal.
Kami memasuki rumah. Kamar Ratih kelihatan gelap, lampunya nggak
dinyalakan. Ane melihat sosok tubuh Ratih yang diam kaku, sama sekali nggak
terusik dengan kehadiran kami. “Sakitkah dia?” fikir ane. Tetap dengan
keadaannya yang diam kaku, pintu yang sedikit menganga kami buka lebar. Istriku
bertanya “Kenapa kamu diam saja? Dari tadi kami panggil-panggil, kamu kenapa
diam saja?” Tidak ada respon, Ratih tetap diam dengan sebagian rambut
panjangnya menutupi muka. Muka Ratih nyaris tidak kelihatan, hanya dagunya
saja yang kelihatan sangat pucat. Dia bangkit dan terduduk dengan memeluk
sebelah kakinya di atas Ranjang. Anak bayiku menangis tiba-tiba. Mungkin karena
kesal merasa dicueki, istriku berteriak. “Kamu kenapa diam saja? Apa yang kamu
lakukan?!”
Ratih diam saja, namun tiba-tiba dia menangis dengan suara lantang, lebih
menyerupai jeritan. Huah……….ckhdggrkhhh….!! Saya nggak mau tahu urusanmu…!
Saya mau bebas..!” Suara itu terdengar sangat keras melengking, memecah
kesunyian petang.
“Saya tidak peduli…..!” “Hi hi hi hi hi hi hi…. Hi hi hi hi….” Suara lantang itu
berubah menjadi suara tawa. Ya, suara tertawa yang sangat mengerikan. Bulu
kuduk ane langsung berdiri, merinding! Istri ane diam saja, mungkin schok dengan
jawaban yang baru saja ia terima. Tapi ane mengkap hal yang aneh. Dari pertama
kedatangan kami, dan apalagi dengan suara tangis yang tiba-tiba berubah menjadi
suara tertawa melengking yang menakutkan. Ane tarik tubuh istri untuk menjauhi
tubuh Ratih. Suara tertawa masih melengking-lengking, berpadu dengan tangis
anak ane yang makin keras. “Ma, tunggu di sini sebentar. Saya keluar” Kata ane,
lengsung berlari menuruni tanjakan.
Ane langsung menuju ke tempat pemancingan, di sana ada satu ruangan
yang memang digunakan sebagai tempat istirahat pegawai pemancingan sekaligus
tempat biasa ane nongkrong. Ada 6 orang bergerombol membentuk lingkaran,
mereka sedang main domino. Kaget melihat kedatangan ane yang mendadak. “Ada
apa ya Pak?” Tanya Pak Narto yang lagi main domino. Pak Narto ini sehari-hari
sebagai pegawai pemancingan yang cukup akrab dengan ane, karena sebelum kami
menempati rumah ini pun ane sudah mengenalnya. Setelah ane jelaskan hal
kejadian yang baru saja kami alami, semua orang yang ada di pemancingan
langsung berlari menghambur ke rumah ane, Istri ane masih ketakutan tapi
berusaha menenangkan diri, memeluk sikecil. Orang-orang tercekat melihat
pemandangan dihadapannya. Ratih dengan rambut yang masih riap-riapan
menutupi mukanya, berputar-putar di atas ranjang, tidak menempel kasur! Ya,
Ratih melayang-layang dengan suara tangis dan tawa yang bergantian,
memekakkan telinga. Salah satu orang dari kelima rombongan langsung inisiatif
memanggil orang pintar, agak jauh dari rumah.
Sementara kami tercengang dengan kejadian terbangnya Ratih, tanpa fakir
panjang ane dengan Pak Narto dan Mul memegang tubuh Ratih dan
menempelkannya ke ranjang. Ane membaca doa-doa dengan suara keras, dan
Ratih kelihatan agak melunak. Dua orang memegangi kaki Ratih. “Saya tidak mau
anak ini tinggal di sinii!!” teriakan panjang kembali terucap dari bibir Ratih. Saya
yakin itu bukan suara Ratih yang biasanya. “Siapa kamu?” Saya berteriak tak kalah
kencang. “Saya Kuntilanak..!!!” teriak bibir Ratih yang sudah berubah putih pucat,
Ane tercengang, bergidik. Kaki dan tangan terasa dingin banged. Ane lepasin
pegangan pada tubuh Ratih, sambil membaca ayat Al fatihah! Dengan nanar Ratih
memandang kearah Saya dan berucap. “Ha ha ha aha ha… baca aja terus..!” Ane
terdiam. Istri ane sudah mulai tenang, mungkin sudah menyadari apa yang sudah
terjadi dihadapannya. Dia membaca ayat kursi, orang-orang ikut membaca ayat
kursi, tapi Ratih semakin lantang tertawa. “Jangan baca ayat kursi, baca surat
Yasin!” Istrikupun langsung membaca Surat Yasin, namun belum selesai istri ane
membaca surat Yasin, si Ratih sudah berubah kembali menjadi Kuntilanak dan
berteriak “jangan begitu bacanya.. kamu Salah!! Ambil Alqur an, bacakan Yasin
secara benar..!”
Bersamaan dengan itu Paranormal atau orang pintar yang dipanggil Mul datang.
Paranormal langsung melakukan Sholat di ruang tamu, dan istri ane mengambil
alqur an. Membacanya dengan terburu-buru karena mulut Ratih tetap meracau
tidak karuan….
Paranormal melakukan sholat berulang-ulang hingga akhirnya Ratih bisa
kembali sadar. Malam itu kami nggak berani tidur, sepanjang malam ane jagain
pintu kamar karena istri ane ketakutan.
Paginya mbah Gimar/nama paranormal itu datang dan menjelaskan pada
kami bahwa si Ratih harus dipulangkan hari itu juga karena ternyata Ratih
termasuk gadis Bau lawean, konon gadis bau lawean akan selalu dirasuki setan
atau arwah penasaran, terutama jika tinggal di tempat angker.
Sebenarnya ane dan istri sudah nggak kuat berlama-lama tinggal di rumah
ini, apalagi kondisi si kecil yang selalu nangis terus tanpa sebab yang jelas. Tapi
apa mau dikata, ane bukan orang kaya yang bisa pindah-pindah rumah kapanpun
dia mau. kami tetap bertahan. kejadian demi kejadian kecil terus kami alami,
termasuk sumur pompa yang selalu mati. sudah berpuluh kali didatangkan ahli
sumur tetap saja begitu. dan bisa mengalir normal setelah kami sediakan sajen
bubur merah bubur putih atas saran sesorang yang kami anggap “mengerti”
Hari berganti hari, kami seolah melupakan kengerian yang sering kami
alami. karena saking terbiasanya kami menjadi kebal akan gangguan “mereka” dan
sadar bahwa memang ada hantu di rumah kami. kami nggak heran bila agan main
ke rumah kami, meskipun siang hari, tiba-tiba lari terbirit-birit karena melihat
“sesuatu”. kebanyakan sih bentuk kuntilanak dan pocongkkkkkkkkk yang selalu
berdiri di atas tangga untuk ke lantai atas.
Pernah suatu ketika ane menonton siaran TV di malam hari, padahal kondisi
sedang mengantuk tapi ane nggak mau tidur karena takut mimpi buruk. Memang
posisi TV di ruang tengah, sedangkan anak istri tidur di kamar. jadi ane seorang
diri menonton tivi. mungkin saking lelahnya ane tertidur dan nggak ingat apa-apa,
tahu-tahu terbangun dan di hadapan ane sudah berdiri pucat, sosok
pocongkkkkkkkkk yang tergantung di bawah tangga, persis di depan ane nonton
TV.
Pada bulan ke sebelas kami menempati rumah ini, tepatnya seminggu pada
bulan ramadhan, ane browsing di depan monitor sambil menunggu waktu sahur
tiba. seperti ada kekuatan yang menarik leher ane untuk membalikkan tubuh
menengok ke belakang. Ane terperanjat, hampir tidak percaya dengan yang ane
lihat. keramik di depan kamar ane bergerak-gerak membentuk gelombang. Seolah
ada sesuatu yang hendak keluar dari bawah lantai keramik. dengan memberanikan
diri, ane datangi keramik yang masih bergerak-gerak itu lalu ane tepuk dengan
telapak tangan dan terhenti.
Siangnya ane cerita ke tetangga dan atas saran tetangga didatangkanlah
seorang juru kematian yang biasa dipanggil pak modin/lebai. Pak modin sholat di
dekat lantai keramik yang semalam bergerak-gerak sendiri. Dengan khusuk pak
Modin duduk bersila seolah menerawang sesuatu. Terkuaklah suatu rahasia yang
mungkin selama ini ditutup rapat oleh penjual tanah tempat rumah ini berdiri,
bahwa dibawah rumah ini adalah kuburan. ada tiga mayat yang dikubur di sini,
tepatnya di depan kamar utama(kamar ane dan istri). Akhirnya hari itu juga
keramik digali dan ternyata memang masih ada jenasah2 hancur yang sudah
menjadi tanah dan kami pindahkan ke pemakaman umum kampung, persis
selayaknya menguburkan jenasah. diakhir kisah ini nanti, terkuak lagi kebenaran
cerita bahwa ternyata nggak hanya 3 jenasah yang dikubur di tanah sebelum
dibangunnya rumah ini, melainkan ada 13 (tigabelas) jenasah.
Mungkin agan dan aganwati bertanya-tanya, kenapa dulunya sudah tahu ada
kuburannya kok dibikin rumah. yup. Ternyata orang yang membangun rumah ini,
yaitu pemilik pertama, nggak dikasih tahu penjual tanah bahwa tanah tersebut
bekas kuburan. akibatnya kuburan-kuburan itu jadi terpendam tepat di bawah
pondasi rumah, dalam kamar dan di depan kamar.
Jika agan mendengar cerita ada tukang ojek yang membawa penumpang lalu
penumpang itu turun di depan rumah kami, jangan heran karena karena seringkali
itu adalah arwah penasaran yang berulangkali mengerjai para pengojek. Bahkan
ada yang sampai pingsan di pinggir jalan. Sebenarnya jauh sebelum banyak
kejadian aneh, banyak tukang ojek yang memberitahu bahwa rumah yang ane
tempati berhantu, tapi waktu itu ane nggak percaya.
Hanya di rumah ini pula ane bisa ditemui menjadi dua orang gan, padahal
ane nggak punya saudara kembar. nanti ya, ane ceritakan lagi disambungan kisah
ini. ane udah ngantuk dan persiapan tidur dulu karena sudah lumayan ngantuk.
Proses pemindahan jasad-jasad yang sudah menjadi tanah itu dilakukan oleh
beberapa orang, hadir pula pak RT yang akhirnya mengiyakan dan tak bisa lagi
menutupi misteri sebenarnya akan rumah berhantu ini. Selesai pemindahan
kuburan malamnya kami melakukan tahlil dengan mengundang hampir seluruh
warga di lingkungan RT. Tahlil dilakukan selama tiga malam. lega sudah hati ane,
seolah lepas dari batubesar yang menghimpit dada. Ane berharap bahwa teror-
teror hantu yang melingkari kami selama ini akan berhenti setelah kami
perlakukan mereka seperti saudara kami sendiri dengan prosesi selayaknya
pemindahan kuburan. Selama beberapa waktu lamanya tak lagi terjadi hal-hal di
luar nalar. Mertua ane sengaja datang dari Jawa timur untuk menemani kami. Ane
berfikir bahwa keadaan sudah kondusif dan terlepas dari pengaruh setan, Tapi hari
kelima Mertua bersama kami, tiba-tiba ibu paruh baya pengasuh bayi kami
memohon untuk berhenti dari kerja. Serasa sesak dada ane saat siIbu paruh baya
mengutarakan niatnya. Ane diam saja, dan melihat wajah si Ibu, nampak pucat
dengan mata sembab seperti habis menangis. “Ibu habis menangis?” tanya ane
penasaran. “Enggak pak, Saya memang sudah nggak betah” Siibu sesenggukan.
“Saya nggak enak sama mertua Bapak” kata ibu paruhbaya.
Akhirnya kami pun merelakan si Ibu paruhbaya itu berhenti kerja. Otomatis
si kecil lebih sering bersama dengan Ibu mertuaku, karena istri ane siangnya harus
kuliah di Depok. Memang istri ane masih usia 21 tahun ketika itu. Ane nggak
terlalu mempersoalkan dengan berhentinya ibu paruh baya, namun yang menjadi
masalah adalah ibu mertua ane nggak bisa lama-lama menemani kami, hanya satu
bulan saja beliau pulang. Mau nggak mau ane kelimpungan. Ane datangi lagi ibu
paruhbaya untuk bekerja di rumah kami kembali, tapi menolak secara halus. Ane
desak tetap nggak mau, si Ibu malah cerita bahwa sebenarnya ia berhenti karena
pernah dipelototi oleh Ibu Mertua ane, dan diusir mentah-mentah. kejadiannya di
dalam kamar. Ane telepon mertua ane, beliau bersumpah atas nama Tuhan bahwa
tak pernah satu kalipun ke kamar ibu itu, apalagi sambil memelotot. Ane merasa
nggak enak, mulai terasa ada keganjilan. Merinding. Tapi ane pendam begitu saja
karena takut istri ane panik.
Beberapa hari kemudian kami mendapatkan pembantu baru, namun dia
nggak bisa nginap di rumah kami. Pembantu baru kami ini bernama Romlah, asli
sunda. dia memiliki seorang anak usia 5tahun tapi sanggup bersih-bersih rumah
seadanya dan tugas utama mengasuh anak kami. Daripada kosong tanpa pembantu,
kami terima saja. Pada hari kedua dia bekerja, si anak ikut dibawa karena
neneknya lagi ada keperluan. Jam 8 pagi Romlah datang bersama anaknya yang
masih kecil itu, Romlah langsung bersih-bersih rumah sedangkan sianak bermain
sendiri di bawah tangga. Belum ada setengah jam Romlah bekerja, anaknya
menjerit dan memaksa untuk pulang, “Pak, Saya pulang dulu, nanti saya datang
lagi” Pamit Romlah. Ane hanya mengiyakan, nggak bisa memaksa mereka untuk
tetap tinggal. Lama Romlah pergi mengantar anak, ditunggu-tunggu nggak datang
juga. ketika ane bersama istri menjemput ke rumahnya, Romlah meminta untuk
berhentii bekerja, lebih tepatnya membatalkan kerja pada kami. Agan-agan dan
aganwati, apa yang telah terjadi? Setelah ane desak, Romlah mengaku bahwa
anaknya tadi cerita, melihat pocongkkk yang loncat-loncat di atas tangga rumah
ane. Kondisi anak Romlah bahkan masih panas.
Hari-hari selanjutnya kami lalui hanya bertiga, yaitu Ane, istri dan anak
kesayangan kami, Pijar. kami menjalani hari-hari seperti biasa, berusaha
melupakan segala yang terjadi biarpun pada kenyataannya tetap saja tegang.
Hampir tiap malam bulu kuduk kami meremang, ditambah hawa lembab yang
dibawa oleh angin padang Golf semakin membuat kami larut dalam ketakutan. tapi
sekali lagi, ane harus dapat menguatkan diri, apalagi di depan istri ane. karena
kalau ane udah nunjukin rasa takut ane, istri ane tentu lebih takut lagi dan merasa
nggak ada yang melindungi.
Apabila petang menjelang, pasti akan terdengar suara orang mengaji dari
MP3 yang sengaja ane setel agak kencang. Lumayan, sedikit menurunkan tensi
ketegangan kami. Dari teman-teman di kantor tempat ane bekerja, sebuah
institusi negeri, didatangkan 3orang paranormal. Tapi tetap tidak ada perubahan
yang berarti. Suatu hari, anak kami mengalami panas demam. obat dari dokter
sudah diminumkan tapi suhu badan tetap naik turun nggak stabil. Ane pusing Gan.
Hari itu kami bergantian mengompres sikecil dengan air hangat, menjaga agar
tidak sampai terjadi step. Kami bikin semacam jadual piket. Satu jam ane yang
ngompres, satu jam lagi gantian istri ane. Begitu seterusnya. Sampailah pada saat
ane dibangunkan paksa oleh istri, padahal masih jam ane tidur.
“Pa, suhu badan pijar tinggi lagi.. aku takut..” kata istri ane.
“Ya sudah, kita melek berdua saja” tukas ane sambil melihat sekeliling.
Kamar utama kami letaknya paling belakang, bersebelahan dengan sumur
yang sudah lama nggak dipakai. Tepat di samping kamar, terdapat Jendela Nako
yang mengarah ke lapangan golf. dari jendela ini kami dapat melihat pemandangan
di belakang rumah. Ane memandang sekeliling, perasaan ane nggak enak banged.
“Bentar ya ma..” kata ane lalu keluar kamar dan menuju jendela, mengecek
keadaan sekeliling. Ane terperanjat. Ada sesuatu, tampak jelas bayangan di depan
ane, tepat disamping jendela. Ane serasa mimpi. Seseorang tampak duduk
membelakangi ane, dengan rambut panjang sepunggung dan pakaian yang juga
panjang.
Hawa dingin yang menusuk membuat ane bergidik tapi ane coba menenangkan
diri.

“Maaf, ibu Siapa?” keluar juga suara dari mulut ane.

“Ibu siapa?” nggak ada jawaban. Sosok itu menggerakkan kepala tapi tetap
membelakangi ane, terdengar lirih “Saya suka dengan anakmu”.

“Tolong ibu pergi dari sini, jangan ganggu anak Saya.” Namun Si Ibu misterius itu
tetap diam tak bereaksi. Menyadari kalau anak ane dalam bahaya, ane mengambil
ember berisi air yang kebetulan ada di dekat ane. dengan menahan keringat dingin
dan juga takut, ane siramkan air dalam ember ke sosok itu, sambil terus berdoa
sebisa ane. Secara tiba-tiba si Ibu berambut panjang itu menghilang. Dengan
lunglai ane kembali masuk kamar. Alhamdulillah suhu badan anak ane sudah
normal. Namun sampai pagi kami nggak berani tidur. Ane bersyukur suhu badan
sikecil tetap stabil dan langsung sehat.
Ketakutan yang menyenangkan dalam hidup adalah manakala kita sudah bisa
menikmati rasa takut itu. Menikmati karena keterpaksaan maupun sengaja pasrah
pada bahaya sebab memang tidak ada pilihan lain. Meski rasa takut itu sering
menyerang sedikit keberanian dalam diri ane, tapi kembali lagi kepasrahan akan
situasi yang sangat sulitlah yang membuat bahaya tak lagi terfikirkan. Rumah ini
bagaikan penjara yang nyata bagi kami. Adanya 3 kuburan di depan kamar utama
kami saja sudah cukup mengintimidasi nyali istri ane. Tapi toh tetap ane kuatkan
dengan segala cerita indah dan kekuasaan Tuhan yang nggak akan mungkin bisa
dikalahkan oleh setan. Meski sebenarnya menolak, banyak keganjilan yang sengaja
ane sembunyikan dari istri. Semata demi mempertahankan keberanian diri kami.
Meski ane juga harus membohongi diri sendiri.
Ruangan paling aman dalam rumah kami adalah kamar utama. Rasanya
begitu jengah bila kami duduk di ruang tamu ataupun ruang tengah, kecuali ketika
ada orang lain atau Tamu yang kebetulan singgah ke rumah kami. Saat ini, dua
kamar dengan ukuran besar-besar praktis kosong. Kamar depan sedianya kami
khususkan buat kamar Tamu, dan kamar tengah untuk pembantu, Tapi sejak kami
tak memiliki pembantu lagi, kamar itu kami biarkan kosong. Sedangkan kamar
tamu lebih mirip sebagai gudang dengan berbagai macam barang yang ditaruh di
sana. Keduanya sama-sama gelap. Ane malas mencari pembantu lagi, karena malas
melihat intrik yang akan terjadi dengan mereka. Praktis dua kamar kosong ini
semakin nggak terjamah oleh kami. Dua kamar ini sebenarnya bersebelahan, tapi
terpisah oleh Kamar mandi. Sebuah Kamar mandi yang aneh menurut ane. Karena
dalam kurun waktu yang nggak begitu lama, satu tahun semenjak ane rehab
keseluruhan rumah, ubinnya sudah ngelotok tanpa sebab apa-apa. dan lebih aneh
lagi, ubin yang terbuat dari keramik pucat itu menyembul terangkat. Lambat laun
keramik ini terkelupas dengan sendirinya.
Keadaan sudah sangat senyap ketika ane mulai berkemas. Pekerjaan
memaksa ane untuk berangkat malam-malam. Ane tengok istri dan anak ane,
sudah tertidur hampir dua jam yang lalu. Ane tak tega membangunkan mereka.
Ane kaget ketika terdengar suara byuuurr… byurr…. suara air yang jatuh seperti
seseorang sedang mandi, berasal dari arah kamar mandi tamu. Ane ke kamar
mandi depan, tapi nggak ada siapa-siapa. “Sudah jelas..” batin ane bergumam
sendiri. Sebenarnya ane gondok banged dengan kondisi kamar mandi tamu yang
selalu gelap, dan ane Bosan mengganti bohlamnya. tiap minggu maunya diganti
terus lampu itu, atau memang nggak mau terang? kutuk ane dalam hati.
Lagi-lagi ane harus melewati kondisi gelap di teras rumah. seperti halnya
kamarmandi, lampu di teras ini juga tak pernah berumur lama. dia hanya mampu
bertahan seminggu atau paling lama dua minggu sampai ane Bosan menggantinya
terus. Hawa dingin berdesir mengusap leher ane ketika keluarkan motor melewati
pagar rumah, Sunyi sekali. Lampu teras rumah sudah lama mati membuat gelap
yang ada semakin pekat. diiringi desau angin, ane berangkat
Ane pacu motor dengan kecepatan yang lumayan tinggi. tapi seolah motor
ane terasa berat. setengah perjalanan menuju Kedunghalang Bogor, melewati
Lampu merah Pemda Cibinong. Jalanan sepi, hanya tampak aspal yang mengkilap
bermandi gerimis. hanya satu dua angkot yang nampak kelelahan menembus
malam. Ketika tiba-tiba di depan ane ada seekor kucing besar menyebrang jalan,
ane tak lagi bisa menghindarinya, tak bisa lagi mengendalikan motor ane untuk
tidak menggilasnya. “Beerrdddh” terasa sekali tubuh kucing yang besar itu tergilas
ban motor ane. Ane langsung injak rem dan CCiiiitt. Ane turun dari motor.
beberapa tukang ojek yang mangkal di seberang menghampiri ane, ane terus
mencari kucing itu, kucing yang ane tabrak barusan. aneh. Kucing itu tidak ada!
“Pak, tadi lihat kan kucing besar menyebrang jalan?” tanya ane pada salah satu
Ojek di dekat ane. “Ya pak, ada tadi.” Jawab tukang Ojek. “Terasa banged tadi
kena ban motor ane, tapi kok nggak ada bangkainya ya?” tukas ane. Gimana ya
Pak? Tanya ane lagi, tapi tukang-tukang ojek itu juga nggak bisa njelasinnya.
Ane melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya membuang Uang kertas
limaribuan ke tengah jalan, dengan maksud sebagai tolak balak atas kejadian tadi.
Baru beberapa saat motor ane bergerak, di depan sebuah mobil carry yang
berhenti dengan beberapa penumpang menyetop ane sambil bertanya “Pak tadi
nabrak Kucing juga?” Ane berhenti.
“Kok Bapak tahu?” tanya ane.
“Iya pak, karena kami juga menabrak kucing besar” Jawab orang itu sambil
memperhatikan ane
“Tadi sudah Saya cari Pak, tapi nggak ada”
“Nggak ada?”
“Ya, sama sekali nggak ada”
“Aneh ya Pak..”
Alhamdulillah sampai di Bogor tidak terjadi apa-apa. tugas dapat ane
kerjakan dengan sedikit perasaan yang nggak enak. Gan, ane merasa seperti
diikuti seseorang, atau mungkin sesuatu. baru setelah ane ingat-ingat lagi, dalam
perjalanan setelah dari Lampu merah Pemda, dua kali atau mungkin tiga kali
disalip oleh mobil yang sama. ketika melewati tikungan menuju ke tempat kerja
ane, ada seorang laki-laki yang tiba-tiba muncul, sehingga hampir terkena motor
ane. dan anehnya, wajah laki-laki itu seperti pernah ane kenal.. tapi entah di
mana. sekarang ane ingat, ya! laki-laki itu mirip dengan orang yang serombongan
mobil berhenti dan menanyakan perihal Kucing. Bahkan bukan mirip, ane yakin
kalo itu orang yang sama. Udahlah, mungkin hanya kebetulan saja. Demikian batin
ane menenangkan diri.
Paginya, sebelum subuh ane tinggalkan Kedunghalang untuk pulang ke
Cimanggis. Rasanya semalam itu perjalanan yang lama dan melelahkan. Hati-hati
ane pacu sepeda motor dengan kecepatan sedang, bahkan cenderung lambat.
terasa berat seolah seribu beban menghimpit di benak ane. Melewati Pom Bensin
Kandangroda, ane mampir sebentar bermaksud mengisi bensin. semalam ane
sampai lupa untuk isi bensin gara-gara kucing sialan itu.
“Berapa liter Pak?” Tanya petugas bensin sambil menyorongkan alatnya.
“Penuhin aja deh” Jawab ane.
Lalu si petugas Bensin mengucurkan alatnya, mengisi tangki motor ane
sampai penuh.
Selesai membayar bensin, motor ane starter dan “Gruennggg…
Gruengggghhh” Motor ane gas tapi roda motor ane tetap diam. Terhenti. Ane Gas
lagi lebih kencang, tidak reaksi apa-apa. Motor ane tetap diam seolah ada yang
mencengkram.
Berkali-kali ane geber itu motor, tetap diam. Roda motor seakan terpaku pada
lantai Pom Bensin. Beberapa petugas Pom bensin mencoba mendorong motor ane,
hasilnya sama saja.
Satpam yang sedang bertugas mendekat dan ikut mencoba motor ane. Tapi
tetap tidak bisa. Ane bingung, mereka lebih bingung lagi. Akhirnya sepeda motor
ane titipkan pada Satpam Pom Bensin. Ane minta nomor telepon Petugasnya, lalu
ane pulang dengan menumpang Metromini arah Kampung Rambutan.
Sesampainya di rumah, Istri ane cerita bahwa sepanjang malam, di dalam
kamar istri dan anak ane nggak berani keluar kamar. Mereka terbangun ketika
lewat tengah malam, anak ane menangis terus seolah-olah melihat sesuatu,
sementara dari luar kamar tidur terdengar suara HP mainan anak ane yang
berbunyi terus, tang teng tong tang teng tong… nggak ada habis-habisnya. Dan
suara HP mainan itu berhenti setelah menjelang pagi.
Beberapa hari kemudian ane ceritakan kejadian itu pada seorang Ustad yang
kebetulan mengerti dan bisa berkomunikasi dengan Gaib, dari ketika ane
menabrak kucing besar sampai motor ane yang ngadat secara tiba-tiba tanpa
sebab. “Itu bukan kucing yang kamu tabrak!” Kata Pak Ustad
“Hah?” Suara ane “Semua saling berkaitan, Mereka tinggal di Rumahmu
Juga.”
Ane nggak ngerti dengan semua yang Ane alami ini. Apa kesalahan ane dan
keluarga Ane sampai-sampai harus terjebak dalam kemelut yang tak ada ujung dan
pangkalnya, terjebak di rumah hantu. Kata-kata dari pak Ustad beberapa waktu
yang lalu membuat ane bergidik. sebegitu parahkah rumah ini, sampai-sampai
penghuni gaibnya ikut campur dalam urusan ane di luar rumah. pantas saja orang-
orang sebelum ane nggak bertahan lama tinggal di sini, paling lama dari mereka
hanya satu setengah tahun. Ane harus menyalahkan siapa? penjual rumah yang
telah ane beli? menurut Ane dia tidak bersalah karena dia juga merupakan korban
dari ketidaktahuan. Kondisinya ketika meninggalkan Rumah ini juga sudah cukup
menggambarkan betapa menderitanya selama hidup dan tinggal di Rumah ini,
meski ditutup-tutupi. Dan Ane memang minat dengan rumah ini. Jujur saja, ane
sangat suka dengan model Rumah ini. Suka dengan bentuknya, suka dengan
keasrian dan lingkungan pemandangan alamnya.
Memang pertama kali ane datang bersama perantara yang menawarkan
rumah ini, Saat melihat keadaan rumah waktu itu ketika malam, ane sempat
merinding. Entah oleh sebab apa. Tapi Ane buang jauh-jauh perasaan itu.
Akhirnya Rumah ini ane beli dengan harga yang sangat murah bila dibanding
dengan apa yang ane dapatkan. Harusnya ini jadi lampu merah atau tanda tanya
buat ane untuk nggak melanjutkan pembelian, setidaknya curiga. Karena rasanya
nggak wajar. Selain mendapatkan Rumah ini, ane juga mendapatkan seluruh
isinya. Si pemilik pergi hanya dengan membawa pakaiannya saja. Seandainya ane
tidak membawa barang apapun dari tempat tinggal ane yang lama, peninggalan
dari si penjual rumah ini saja sudah sangat cukup untuk memenuhi sekedar
keperluan rumah tangga kecil. Televisi, Kulkas, 3 set tempat tidur lengkap dengan
bantal-bantalnya, 2 Lemari, 3 set meja kayu jati antik, dan lain-lain. Ane tidak
sempat berfikir bahwa barang-barang ini juga telah menjadi media bagi para setan
dalam melaksanakan pestanya di kegelapan sepanjang malam, di kelak kemudian
hari.
Ada yang ane Suka dari barang-barang itu, terutama satu set meja di ruang
tamu. Memiliki bentuk yang dapat menarik orang yang melihatnya. dia seakan
mengandung magnet magnet untuk seseorang memilikinya. Bentuknya antik, mirip
dengan kursi-kursi tua pada bangsawan-bangsawan kuno. dengan ornamen ukiran
pada lengan dan badan kursi itu. Di kursi inilah kemudian sering terlihat seorang
nenek kebaya merah dan sanggul besar di kepalanya, sedang duduk termangu
seolah ada seseorang yang ia tunggu.
Semilir angin dari arah lapangan Golf Emeralda menyejukkan membawa
nyanyian alam. Derunya Terasa dingin lembab menyentuh kulit tubuh Ane. Sangat
melenakan, membuat lamunan terasa nikmat di siang itu. Fragmen-fragmen dari
perjalanan ane ke sini, silih berganti berebut tempat di kepala ane. membuat sulit
untuk ane pejamkan mata dan tertidur biarpun hanya sekejap. Galau ane semakin
bertumpuk dengan bertubinya masalah demi masalah yang ane hadapi. Entah ada
hubungnnya dengan rumah ini atau hanya kebetulan saja, yang jelas ane
merasakan kemunduran semenjak ane tinggal di rumah ini. Ane nggak bisa
menyalahkan orang yang menjual rumah pada ane, karena dia memang bertindak
demi keselamatannya sendiri, dan tentunya wajar bila dia menutupi semuanya.
Kembali fikiran ane melayang ke mana-mana, sebelum akhirnya ane mencium bau
wangi yang menyergap kesadaran ane. Rasa kantuk yang muncul secara tiba-tiba,
telah membuat lunglai persendian ane.
Ane paksakan menuju kamar, lalu Ane baringkan tubuh di kasur, istirahat.
Seketika kelambu tempat tidur ane berubah menjadi putih dan bergerak-gerak lalu
menutup dengan sendirinya. nampak sebuah wajah cantik putih dengan rambut
panjang putih berkilauan Lengannya terbuka di antara kain berwarna perak
ditubuhnya. Dia mendekatkan telapak tangannya dan meraih bahu ane. terlihat
ikat kepala di atas keningnya, lebih mirip mahkota berwarna perak. kuku-kukunya
panjang dan juga berwarna putih perak menyentuh kulit ane. Ane seakan terlena
dan terbuai, atau memang ane sudah dalam pengaruh rasa kantuk yang
berlebihan. Perempuan di depan ane mendekap lalu menindih tubuh ane, tapi
kemudian kesadaran ane kembali pulih. Entah dari mana tiba-tiba muncul
kekuatan yang mengarahkan ane untuk mendorong tubuh perempuan itu menjauh
dari ane, wajah perempuan itu berubah marah dan lalu seolah wajah itu tersayat
dari dalam dagingnya dan nampak kulit wajahnya retak-retak oleh semacam luka.
Dari luka-lukanya mengeluarkan darah yang membasahi hampir seluruh wajahnya.
Ane pejamkan mata dan berharap untuk segera sadar bila ini hanya mimpi. Tapi
tetap nggak bisa, pemandangan itu tetap terpampang di depan ane, bahkan leher
ini seperti kaku nggak bisa bergerak. Ane teriak-teriak dengan melafalkan ayat-
ayat suci yang biasa ane bacakan ketika ane dalam rasa takut, suara ane tak bisa
keluar, tertahan.
Ane baca berulang-ulang ayat-ayat itu sampai akhirnya kelambu di tempat
tidur ane kembali berwarna biru muda dengan posisi yang membuka seperti awal
ane merebahkan diri. Masih tercium bau wangi, dan amis. Wangi yang menyengat
seperti bau bunga kematian. ane ingat pernah mencium bau seperti ini dulu di
kampung, ketika ada tetangga ane yang meninggal, biasanya dipakaikan bunga-
bunga yang bercampur-campur hingga tidak jelas lagi bau wanginya. Ane gosok-
gosok mata ane, dan berharap kalau yang terjadi tadi hanya mimpi. Ya, hanya
mimpi.
Benarkah hanya mimpi? Bau bunga dan amis masih sangat menyengat
menusuk hidung ane. Ane lihat jam di HP, baru 3 sore. Ane sapu pandangan ke
sekeliling, nggak ada sesuatu yang mencurigakan selain dari bau bunga yang tetap
menyebar di ruang tidur. Ane keluar kamar, lalu menyusul istri dan anak ane yang
main ke tetangga sejak siang tadi. Kengerian tadi nggak ane ceritakan pada istri
ane, karena ane nggak ingin istri ketakutan. Menjelang magrib Ane putar MP3
orang mengaji dari komputer, suaranya mengalun dan memupuk kembali
keberanian ane.
Pagi buta ane sudah berkemas untuk berangkat kerja ke Bogor, semua
sudah rapi kecuali HP ane. HP yang semula ane taruh di atas meja nggak satupun
yang kelihatan. “Ma, lihat HP Saya nggak?” tanya ane pada istri, “nggak tahu Pa”
jawabnya. Ane desak istri ane sampai-sampai dia sumpah bahwa dia nggak tahu
dimana dua HP ane berada. Kami mencarinya keseluruh ruangan dan HP itu tetap
nggak ada. Dengan menggunakan HP istri, Ane coba miscall Nomor HP Ane. Masih
ada nada sambung. Ane berfikir bahwa HP itu mungkin dicuri orang, ane cek lagi
ke seluruh ruangan. Nggak mungkin dicuri orang. Semua engsel nggak ada yang
rusak dan semua pintu dari semalam terkunci rapat. Ane coba lagi telepon, tetap
tidak diangkat meski ada nada sambung. Akhirnya Ane anggap kedua HP itu sudah
hilang. HP Nokia ketupat yang waktu itu masih baru-barunya keluar, dan
Sonyericsson K750i (sampai saat tulisan ini diketik, HP-HP itu tetap tak ditemukan.
Ketika besoknya TS Coba telpon lagi, diangkat tapi hanya suara gemuruh dan
perempuan cekikikan .Red.)
Jam 6.30 wib motor ane sudah merayap di pelataran kantor tempat ane
kerja. Setelah memarkir motor, Ane buka kancing Jaket kulit dan bersiap menuju
ruangan ane, tiba-tiba dikejutkan dengan teriakan teman kerja ane. “Bang, awas
Ular!!” begitu teman ane dengan suara tinggi. “Mana?” tanya Ane sambil mata ane
memandang ke sekeliling berusaha mencari ular yang dimaksud.
“Tenang.. tenang Bang… tenang. Diam saja di situ.” sambungnya.
“Kok?” Ane bingung.
“Itu Ularnya di jaket Abang”
“Masya Allah… Kok bisa sih?”
Lalu dengan bantuan teman ane, Ane copot jaket kulit ane. Rupanya ada
Ular belang yang ada di dalam jaket ane, dan hanya kepalanya saja yang nongol
kelihatan dari luar jaket, sementara badan ular itu masih berada di dalam Jaket
ane. Sungguh aneh Gan. Tapi, ini benar-benar terjadi. Entah sejak kapan ular itu
berada di dalam jaket Ane.
Ane menghabiskan kerja di hari itu dengan perasaan yang nggak karuan.
Teman Ane yang lain bilang, bahwa dia memiliki teman yang ahli dalam mengusir
gangguan di dalam rumah yang angker atau berhantu. Konon, temannya ini sudah
biasa dipanggil oleh para pejabat untuk urusan suprnatural. Ane pun setuju untuk
dinetralisir rumah ane, siapa tahu memang paranormal ini benar bisa, dan rumah
ane bisa dibebaskan dari Hantu.
Sore harinya, rombongan paranormal datang. Mereka meminta disediakan
garam kasar untuk sarana mereka mengusir Hantu. Orangnya masih cukup enerjik
dan muda-muda, mungkin sekitar 36 tahunan. Seorang diantara mereka yang
paling tinggi tubuhnya menyebar garam ke seluruh ruangan. “Bapak, ibu.. Rumah
ini merupakan pusat atau tempat bermain dan pertemuan dari hantu-hantu di
sekitar daerah sini. Tadi sudah kami usir dan kami pagari rumah ini, mudah-
mudahan sudah tidak berani ke sini lagi.” Kata paranormal itu setelah selesai
menjalankan ritualnya.
“Mereka bisa diusir Pak?”
“ya, mudah-mudahan Pak.” jawab sang Paranormal.
Mereka pun pulang sebelum Magrib.
Malam Harinya, Anak ane menangis terus
Bergantian ane dan istri ane menggendong si kecil, tapi tetap saja anak kami
terus menangis sambil menunjuk-nunjuk ke sudut ruang belakang. Ia terus
menangis. Ane memandang ke sudut ruang belakang, berharap melihat keganjilan
ataupun penampakan setan yang telah membuat anak ane menangis. Tapi hanya
gelap, pekat. Tidak ada apa-apa di sana. Kemudian, dengan mengasumsikan bahwa
di depan ane terdapat sesuatu makhluk ataupun hantu yang nggak bisa Ane lihat,
Ane keluarkan kalimat-kalimat seperti seseorang yang sedang berbicara dengan
orang lain, ini sering Ane lakukan dan biasanya anak Ane kembali tenang.
“Tolong jangan ganggu anak Saya ”
“Tolong pergi dari sini”
Tetap nggak ada reaksi apa-apa. Anak Ane masih menangis.
Istri ane yang menggendong si kecil nampak kelelahan. Lalu istri ane secara
spontan membacakan ayat-ayat alqur’an. Si kecil terdiam, berhenti menangis.
Entah berhenti menangis karena sudah capek atau memang sang pengganggu
sudah pergi. Kami pun lega. Ane ajak istri ane masuk kamar utama untuk
ketenangan. Tapi baru saja kami buka pintu, terdengar air mengalir dari kran
kamar mandi tamu di arah depan. Istri ane ketakutan. Beberapa saat setelah itu
lampu ruang tengah dan lruang tamu tiba-tiba padam.
Kami tetap masuk ke dalam kamar. “Tenang aja Ma, nggak usah Takut.” Ane coba
menenangkan istri ane walaupun sebenarnya ane sendiri juga takut. Takut kalau
hantu-hantu itu marah dan sengaja membuat ulah karena kedatangan tiga
paranormal tadi sore.
Hingga hampir tengah malam ane nggak tidur. Suara air mengalir dari kran
masih terdengar, suara yang nggak seberapa keras tapi seakan memekakan telinga
ane. Jarak antara kamar mandi tamu dengan kamar utama kami sekitar sepuluh
meter tapi suara aliran kran sungguh sangat mengganggu. Air itu akan terus
mengalir sebelum tabung penampungan air di atas habis. “Ini tak bisa dibiarkan”
gerutu Ane dalam hati, kesal. Lalu Ane bangkit dan bermaksud mematikan kran di
depan, melewati gelap ruang tengah. Ane coba tekan stop kontak untuk
menyalakan lampu, tapi lampu tetap padam dan nggak mau nyala. “Berarti cuma
kebetulan lampu ini konslet…” bisik ane dalam hati. Lalu Ane menuju Kamar
mandi dan mematikan kran itu. Sepanjang ane melewati ruang depan dan ruang
tengah, bulu kuduk ane merinding dan setiap gerakan ane seolah ada yang
memperhatikan ane. Terdengar suara berderap gaduh, seperti suara ramai bocah-
bocah yang sedang kejar-kejaran, berlarian menjauhi ruang tamu. Di luar
terdengar anjing melolong dengan suara yang nyaring, membuat bulu kuduk Ane
berdiri. Ane singkap gorden jendela depan, berusaha melihat ke luar rumah. Sepi
senyap. hanya suara lolong anjing yang semakin lama semakin memilukan, lirih,
dan hilang. Ane merasa banyak mata yang memperhatikan Ane, ane merasa
diawasi.
Ane merasa sia-sia dengan memanggil ketiga Paranormal yang datang sore
tadi. Antara marah, sedih dan kalut. Entah berapa paranormal yang pernah kami
panggil untuk mengusir hantu-hantu itu. Pada kenyataannya selalu manjur di
depan saja, dan hantu tetap meneror kami kembali. Yang terjadi malam ini lebih
parah, di luar dugaan. Para hantu seperti ngamuk dan tidak terima.
Beberapa hari kemudian Ane mendapat saran bahwa untuk mengusir hantu,
harusnya dengan bantuan orang pintar setempat atau orang pintar yang asli
kelahiran daerah dimana terdapat ancaman hantu tersebut. didapatlah nama-nama
orang pintar, orang pintar asli kelahiran daerah sini.
Suatu sore, Ane bersama anak dan istri, sedang berada di rumah salah satu
sesepuh tempat kami tinggal, namanya Pak Maih. rata-rata orang di sini mengenal
nama Pak Maih. Orangnya sudah cukup berumur tua tapi masih nampak gurat
semangatnya. Selesai Shalat, Pak Maih membacakan doa-doa panjang. Mulutnya
komat-kamit dengan mata terpejam.
“Kenapa kamu ganggu keluarga ini?” begitu suara yang keluar dari mulut pak Maih
yang kemudian dijawab sendiri dengan suara yang kali ini lebih berat dan
serak.”Itu memang rumah tempat kami tinggal, apa salah kami?” demikian suara
serak itu menjawab.
“Ya sudah, kamu dan teman-temanmu pindah dari sana” suara asli pak Maih.
“Siapa yang lebih dulu di sana? kami lahir dan besar di sana” demikian kira-kira
sedikit percakapan monolog yang terjadi antara Pak Maih dengan “dirinya”
sendiri. Intinya, para hantu itu nggak mau dipindah Gan. Kamipun hanya bisa
pasrah. Lalu pak Maih bicara pada kami agar tidak lagi memindah atau mengusir
makhluk-makhluk halus yang ada di rumah kami.
“Dipindahkan kemanapun, diusir kemanapun, mereka akan tetap kembali, entah
untuk beberapa saat, entah untuk selamanya” kami diam. pak Maih melanjutkan
bicara
“Ibarat tanah kelahiran kita, kemanapun kita merantau pergi, suatu saat akan
rindu dan pulang lagi sekedar menengok atau kembali pulang ke rumah tempat
kelahiran kita.”
Akhirnya kami pulang dengan perasaan lebih plong. Lega rasanya. biarlah
hantu-hantu itu tetap datang-datang lagi nggak apa-apa, toh Pak Maih sudah
berusaha mengungsikan mereka ke tempat yang jauh. kamipun bertekad untuk
nggak peduli jika sewaktu-waktu para setan itu mendatangi rumah kami lagi. Kami
bertekad, biarlah hantu-hantu itu tetap tinggal di rumag kami, yang penting kami
tidak diganggu. Memang selama ini kami sangat ingin mengusir keberadaan
mereka, ternyata malah nggak seperti harapan kami. Pada kenyataannya Omongan
Pak Maih terjadi juga. Belum genap satu bulan sejak komunikasi kami dengan Pak
Maih yang telah mengungsikan para hantu dengan damai, hantu-hantu laknat itu
mulai bermunculan kembali.
Suatu malam, kebetulan Ibu mertua sudah bersama kami lagi, Beliau sengaja
datang dari Jawa timur karena kangen pada cucu dan kasihan setelah mendengar
cerita kami. Malam itu seperti biasa ane mengerjakan tugas-tugas dari kantor.
Ohya Gan, ibu mertua ane ini tidur di kamar tengah yang ada jendela persis
bersebelahan dengan ruang tempat ane biasa main komputer. Jadi dari jendela
itu, bila kita berada di dalam kamar ini akan dapat melihat jelas keadaan ruang
tengah. Tentunya bisa juga melihat siapapun yang sedang ngetik atau browsing di
depan komputer di ruang tengah. Ibu mertua ane ini tiba-tiba lemas dan membiru.
kami panik, tapi ane mahfum dengan apa yg mungkin telah terjadi.
Siangnya Ibu mertua cerita kepada ane, pada ane sendiri. Kata ibu, setiap
malam setiap ane duduk di depan komputer, ibu mertua juga melihat ane sedang
mondar-mandir di ruang tengah. Bahkan tadi malam sosok yang menyerupai Ane
masuk ke dalam kamar ibu Mertua ane sambil menatap tajam ibu mertua ane, Lalu
membentak “Kamu pulang atau mati!” Ya. itu yang diucapkan sosok yang
menyerupai ane persis, sambil tetap melotot.
Akhirnya, takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan maka Ane setuju saja
saat Ibu mertua Ane pulang sehari setelah adanya teror itu.
Kepulangan Ibu mertua Ane ke Jawa timur cukup membuat istri ane agak
terguncang. Baru saja sedikit lega bisa menikmati hidup dalam kenyamanan
bersama Ibu, kini harus kehilangan lagi, meski hanya untuk sementara saja. Tapi
Ane tahu, hal itu sangat berpengaruh pada ketegaran istri Ane.
Tak terasa dua tahun lebih lamanya, anak kami tumbuh menjadi anak yang
sehat dengan kulit putih dan sorot mata tajam. Dia memiliki daya penglihatan
‘lebih’. Ia sering mengerti apa yang sedang terjadi di hadapannya. Mungkin karena
terbiasa melihat kerumunan hantu, si kecil jagoan kami menjadi peka pada
barang-barang yang kasat mata.
Tempo hari istri Ane sempat bercerita, dia bersama anak kami, menyetrika
pakaian di Kamar pembantu. Pada saat istri ane asyik menyetrika, anak ane jalan-
jalan sendiri keluar masuk kamar, kadang jalan, kadang dia berlari-lari kecil.
Mungkin sudah capek, anak ane masuk lagi menemani ibunya. “Capek ya Ma..?”
Tanya sikecil. “Iya nak..” Istri Ane menjawab sambil lalu, sekenanya saja. Lalu
Anak ane nyeletuk dengan berkata “Ma.. Mama.. kenapa nggak minta bantu mbak
itu saja?” begitu celoteh sikecil dengan suara cadelnya, sambil tangannya
menggelayut ke tubuh ibunya.
“Gimana?” Tanya istri Ane kurang faham. Anak ane lalu menunjuk ke
tembok kamar sambil berkata “Itu Ma.. Kenapa nggak minta gosokin mbak itu
saja?” Istri ane bergidik mendengarnya. Ia memandang ke arah depan tempat yang
ditunjuk oleh anak kami. Bulu kuduknya semakin merinding, tapi ia tetap tabah.
Meskipun untuk hal-hal yang kasatmata ini istri ane kurang peka dan kadang
tidak bisa merasakan kehadiran makhluk halus, tapi dia termasuk pemberani
untuk ukuran keberanian seorang perempuan. Kadang-kadang kalau Ane sedang
dihinggapi rasa takut yang sangat, justru istri Ane lah yang seakan lebih menjadi
berani dari Ane. dia bisa menjadi seorang Hero bila teman di sampingnya berubah
menjadi lemah.
Beberapa anak tetangga teman bermain anak kami, sering datang ke rumah.
usia mereka sebaya dengan usia anak kami. Memang menginjak usia hampir empat
tahunan ini si kecil sengaja kami ajarkan untuk bersosialisasi dengan orang lain,
minimal dengan teman sebayanya. Tapi sayangnya setiap kali teman-temannya
bermain ke rumah, salah satu dari mereka pasti ada yang ketakutan dan cepat-
cepat menjauh pergi. Jawaban anak-anak kecil itu selalu dengan menirukan
gerakan loncat-loncat kecil seperti gerakan vampir dalam film china. Ach, tidak.
Lebih mirip gerakan pocongkkkkkkkkkkkk yang meloncat-loncat kecil. Akhirnya
istri Ane lah yang lebih sering mengantar bermain anaknya ke rumah tetangga,
daripada mendapati hal kejadian yang aneh.
Suatu hari, Ane belikan dia mainan Kolam renang dari karet seperti yang
banyak dijual di pinggir jalan. Ane bahagia sekali melihat anak ane gembira. Paling
tidak, ibunya tidak lebih tegang lagi. Pernah di suatu kesempatan anak kami
berenang sendiri di dalam kolam renang plastik itu. Tak lama anak kami bermain
air, tiba-tiba anak Ane kelihatan sangat pucat dan suhu badannnya panas tinggi,
bahkan lama-lama seperti membiru. Tiga hari anak kami diopname di Rumah sakit
Simpangan Depok. Hampir setiap waktu anak kami berteriak meminta pulang,
sementara obat-obat dari dokter yang diberikan tak kunjung menurunkan panas
tubuhnya

Anak kami selalu meminta di bawa ke luar ruangan sambil memanggil-
manggil namanya sendiri. “Pijar… pijar…” begitu selalu yang diucapkan anak kami.
Pada hari kedua, seorang bocah pengunjung Rumah sakit yang kebetulan lewat
bersama ibunya didepan kami, ketakutan dan lalu berlindung pada ibunya.
Mukanya langsung disembunyikan ke baju ibunya. Bocah ini ternyata Indigo yang
bisa melihat secara langsung pemandangan kasat mata di hadapannya.
“Takut Bu, Nenek itu.. Bu…” begitu kata si bocah. Ibunya lalu menjelaskan
pada kami perihal anaknya itu. Rupanya si bocah melihat ‘seorang’ nenek-nenek
dengan wajah yang sangat buruk terus memegangi tangan anak ane.
Ane yang sedang berusaha menenangkan anak ane yang rewel itupun
langsung membaca doa-doa. Ibu-ibu yang lain membacakan ayat-ayat suci ke dalam
gelas, lalu air itu diminumkan pada anak Ane. Anak ane sedikit tenang, tapi selang
satu jam kemudian anak Ane rewel lagi sambil terus memanggil-manggil namanya
sendiri. Suaranya bergema, terdengar agak lain dengan suara anak ane dalam
kesehariannya. Secara logika, tidak mungki seseorang akan memanggil-manggil
namanya sendiri bila dalam kondisi yang sadar. Ane seperti tersadar bahwa adanya
anak Ane memanggil-manggil namanya sendiri adalah bukan kemauan anak Ane.
Seorang pengunjung lain memanggilkan tetangganya yang biasa menangani
anak yang ketempelan setan, jurig, atau Hantu, namanya Pak Nano. Dengan
bantuan pak Nano inilah, akhirnya anak kami bisa sehat lagi dan panasnya normal
kembali. “Anak bapak memang ada yang mengikuti” Begitu penjelasan Pak Nano.
Selanjutnya Pak Nano membacakan doa-doa dengan tanpa suara, hanya mulutnya
saja yang nampak komat-kamit. Sampai menjelang Isya Pak Nano bersama kami,
menjaga anak kami agar tidak didatangi Nenek-nenek buruk rupa itu lagi. Dan
memang, nenek-nenek itu tak lagi datang ke Rumah sakit lagi ke tempat anak kami
dirawat. Nenek-nenek itu kembali ke “rumah”nya, di rumah Kami.
Semenjak kejadian itu, anak kami menjadi hyperaktif, nakal dan suka usil
pada temannya. Karena rewel dan sering mengusili teman-temannya ini, lama-
lama kami jengah juga. Berbagai referensi dari Internet, koran maupun saran
teman Ane lahap. Ane mencari referensi tentang penyembuhan anak hyperaktif.
Hingga pada sebuah Rumah sakit di Kelapadua, kami menemukan seorang Psikolog,
namanya Pak Rahmat. Kami sering berkonsultasi dengan beliau. Beliau jugalah
yang banyak memberikan tips-tips dan berbagai cara penanganan untuk anak yang
hyperaktif. Dari seringnya Konsultasi ini, Kami menjadi dekat dengan Pak Rahmat,
hingga ada apa-apa yang menyangkut kenakalan anak, selalu Ane konsultasikan
padanya.
Suatu ketika Ane mendapat telpon dari Pak Rahmat yang akan memberikan
cara terapy anak hyperaktif.
“Bisa Bapak datang ke rumah Saya?” kata suara di telepon.
“OK. Jam berapa Pak?” Jawab ane.
“Nanti Jam 9 malam.” kembali suara Pak Rahmat.
“Nggak bisa siang saja Pak?” Tanya Ane, tapi jawaban Pak Rahmat tetap
seperti semula, kami disuruh datang Jam 9 malam.
Hujan baru saja berhenti mengguyur langit Cimanggis ketika jam di dinding
menunjukkan pukul delapan malam. Bau harum tanah yang terkena air
menyebarkan aroma yang sedap. Mencium aroma ini Ane teringat dulu waktu di
kampung suka memakan makanan Ampoh, makanan kegemaran nenek Ane dulu.
Kami bersiap-siap berangkat menuju ke Alamat Rumah Pak Rahmat, agak jauh dari
rumah ane. Sikecil digendong istri ane, keduanya dengan jaket tebal untuk
menahan dingin udara malam. Sampai di tengah perjalanan motor Ane mogok,
tanpa sebab apa-apa. Sudah ane cek semua normal. Akhirnya kami berhenti di
sebuah tempat dan baru melanjutkan perjalanan 30 menit kemudian. Tanpa
bantuan siapapun, motor ane kembali bisa dihidupkan.
Sampai di mulut Kampung tempat tinggal pak Rahmat, Ane hubungi nomor
telponnya. Lama tidak ada jawaban. Ane panggil lagi, tetap tak ada jawaban,
bahkan nomor itu tidak aktif. Kami telusuri alamat yang pernah diberikan Pak
Rahmat. sekitar Jam 10 malam Ane coba telpon lagi, baru ada jawaban. “Ya pak,
Saya tunggu” Kata pak Rahmat di telpon.
Suasana mendadak terasa dingin, kiri dan kanan jalan hanya tampak rumah-
rumah yang sudah mulai tutup jendela. Suara lolong anjing tiba-tiba menyentak
perasaan Ane. Kami mulai merasa nggak enak. Tapi perasaan itu Ane tepis dan
melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan, terlihat orang-orang berlalu lalang
dalam diam. semua diam. Kami berhenti, lalu seorang Ojek menghampiri kami,
ojek ini mengenal Pak Rahmat dan mengantarkan kami. Rumah pak Rahmat
sederhana dengan pelataran parkir yang cukup luas. di depannya berjajar pot-pot
dengan tumbuh-tumbuhan berbagai jenis. Termasuk pohon bunga melati yang
harum wanginya langsung tercium hidung ane, agak menyengat. Setelah memarkir
motor, Ane menggendong si kecil sementara Istri Ane mengikuti di belakang.
Nggak lama kami menunggu, Pak Rahmat muncul dari dalam dengan pakaian putih-
putih, bersama istrinya.
Lalu pak Rahmat memperkenalkan istrinya. “Ini istri saya, Markonah”
demikian pak Rahmat memperkenalkan diri. Setelah kami berbasa-basi sebentar,
pak Rahmat masuk kembali ke dalam rumah, dan keluar kembali sambil
menenteng sebuah buku besar. Buku yang sangat tebal tapi nampak sudah kumal.
Ane nggak sempat menanyakan kenapa bukunya sudah nampak kumal begitu.
setelah banyak memberi penjelasan mengenai hiperaktif dan terapi penangannya,
pak Rahmat mengelus-elus leher dan kepala anak ane. sambil memijit dengan
gerakan seperti orang sedang mengurut. “nanti jadi anak yang sehat dan pinter ya
nak” Ucap pak Rahmat, dan ane mengaminkannya.
Jam sebelas malam Kami berpamitan, Pak Rahmat dan istrinya mengantar
kami sampai ke mulut gerbang rumahnya. Terdengar suara anjing melolong,
panjang. Entah kenapa tiba-tiba bulu kuduk ane berdiri.
Kurang dari satu jam kemudian kami sudah sampai di rumah.
“Permisi ya,..” kata kami ketika masuk ke dalam rumah, seolah kami sedang
melewati ‘orang-orang’ lain. Ini sudah menjadi kebiasaan kami beberapa waktu
lamanya sejak banyak teror oleh hantu-hantu di rumah kami. Terbukti dengan
kami lakukan ucapan permisi ini, gangguan hantu sedikit mereda. Badan kami
letih, capek.
Udara yang dingin membawa kami ke dalam tidur yang lelap. Tidur dengan tanpa
beban.
Beberapa bulan kemudian, hari itu kami bermaksud silaturahmi sambil
mengkonsultasikan perkembangan si kecil. Kami berangkat siang hari, selesai
dhuhur. Sesampainya di perkampungan Pak Rahmat, rumah yang pernah kami
singgahi dulu itu tak kunjung ditemukan. Kami pun mencari lagi, muter-muter lagi
dan mencari persis seperti yang kami lalui malam itu. Kami juga menanyakan pada
penduduk sekitar, tak ketemu juga. Lebih dari satu jam kami mencari, namun
tetap tidak ketemu. Lalu kami tanyakan pada orang-orang yang tinggal persis di
gang-gang yang pernah kami datangi waktu itu, tidak ada yang tahu.
“Pak Rahmat yang mana ya?”
“perasaan sini nggak ada yang namanya Pak Rahmat”
begitu rata-rata jawaban yang kami terima.
Karena sudah kepalang tanggung, kami berusaha mengingat-ingat lagi. kami
ikuti jejak yang masih kami ingat. –Kami berhenti di sini, belok di sana, lalu ke
sini, ke sini, ketemu belokan lagi, dan persis di depan lapangan.– Dengan
pengurutan seperti ini seharusnya pasti ketemu. Tapi, ternyata tetap Tidak!!
Rumah itu tetap tidak kami ketemukan. Yang ada di tempat itu, tempat kami
menemui Pak Rahmat dan istrinya itu hanyalah RUMAH TUA dengan bagian atap
rumah yang sudah tak terawat dan hampir roboh. Bahkan bagian dinding-dinding
depan rumahnya sebagian sudah hancur dimakan usia. rumah itu seperti sudah
puluhan tahun tidak pernah dihuni.
Spoiler for .:
Karena tak percaya dengan pemandangan di depan mata kami, Ane coba
mengulangi lagi dari perjalanan awal, tapi ketemunya tetap Rumah tua itu. Dan,
semenjak itu HP Pak Rahmat tidak pernah lagi bisa dihubungi. Kami tanyakan ke
Rumah sakit tempat Pak Rahmat pernah dinas, tidak ada yang tahu alamatnya.
Satu-satunya alamat, tempat yang kami datangi siang itu.
Hilangnya Pak Rahmat secara di luar nalar membuat Ane penasaran.
Beberapa hari kemudian Ane sengaja mendatangi lagi, mengurutkan dari awal
sejak perjalanan dari rumah kami ke tempat Pak Rahmat. Rumah Pak Rahmat
tetap tidak dapat ane temukan. Tidak puas dengan pencarian di rute yang sudah
ada, ane menyusuri lagi jalanan di depan mata, tapi tetap nihil. Kemudian
pencarian fakta ini ane lanjutkan dengan mendatangi Rumah sakit tempat dulu
pertama kali kami berkonsultasi dengan Pak Rahmat.
“Alamatnya, ya kami tidak menyimpannya selain alamat itu Pak.” Kata Dokter
Heny menjelaskan pada ane.
“Yang kami datangi itu tidak ada rumah lain selain Rumah tua itu Bu.” Kata
Ane sedikit menekan suara untuk memberi efek penting pada kalimat yang ane
sampaikan.
“Menurut Saya juga nggak jelas itu Pak Rahmat…” Kembali Dokter Heny.
“Maksudnya bagaimana Bu?” tanya Ane.
“Pak Rahmat datang sendiri ke sini, melamar sendiri untuk bekerja di
Rumahsakit ini” menjelaskan, Dokter heny.
“O…” Ane membentuk bulatan di mulut.
“Pak Rahmat juga berhenti dari Rumah sakit ini dengan tanpa penjelasan
apa-apa.” Ane terdiam, tak mampu mencerna lebih dalam tentang apa yang
sedang kami bicarakan.
Ane pulang beberapa waktu kemudian. Penjelasan dari Dokter Heny cukup
membuat Ane merasa tidak perlu mencari dan melacak Pak Rahmat lagi.
-Pak Rahmat berhenti dengan tanpa mengajukan berhenti, tapi menghilang
begitu saja Pak, tanpa pamitan-
Sepanjang perjalanan pulang, terngiang terus kata-kata Dokter Heny.
Sebuah tanya yang masih belum ada penjelasan sampai sekarang. Tapi Dua
kemungkinan yang bisa Ane simpulkan dari kejadian itu mengenai Pak Rahmat. Pak
Rahmat itu sebenarnya bukan manusia, tapi makhluk gaib yang mungkin saja
tingkatannya di dunia pergaiban sudah tinggi, atau mungkin Pak Rahmat adalah
makhluk gaib yang memiliki derajat tinggi sehingga bisa menjelma dan
memanifestasikan diri secara langsung, menampakkan dirinya di dunia nyata.
Kemungkinan yang kedua, Pak Rahmat itu memang benar-benar ada dan beliau
adalah manusia biasa, tapi orangnya mungkin sembrono dengan pergi begitu saja
saat bosan dengan pekerjaan, sedangkan yang kami temui di malam itu bukan Pak
Rahmat yang sebenarnya.
Lalu siapakah yang kami temuai pada malam itu? Mungkin saja itu adalah jin
yang memiliki misi tersendiri sehingga merasa berkepentingan dengan
menampakkan dirinya kepada kami.
Sudahlah, Ane sudah suntuk dengan rutinitas kerja yang sudah memakan
separuh waktu ane setiap harinya, ditambah dengan berbagai intrik. Ane tak mau
lagi semakin memberati beban otak ane. Yang penting, Ane selamat, anak istri
juga selamat.
Anak kami sudah semakin bisa dikendalikan emosinya. Jika selama ini dia
lebih sering mengusili teman-temannya, Pijar yang sekarang sudah mudah untuk
dikendalikan dan mau mengerti keinginan dari orang-orang yang menyayanginya.
Bulan berganti, tahun pun ikut berganti. Selamat pagi alam, selamat pagi
kehidupan. Pagi yang jernih, Pagi yang suci. Matahari bersinar menyapu wajah
sebuah kampung, Kampung Sindangkarsa. Udara segar yang dibawa angin padang
Golf Emeralda membuat ketegangan Ane sedikit mengendur
Di sebuah pondokan beratap asbes sederhana, duduk empat orang dengan
pakaian seadanya. Salah satu diantara mereka mengenakan sarung, sambil terus
menghisap rokok kretek di tangannya. Hari ini hari libur, Ane bisa bebaskan
sedikit beban dari rutinitas kerja. Setelah sekian lamanya waktu Ane banyak
tersita oleh kekalutan dengan menurunnya penghasilan, semakin lama semakin
drastis. Pak Narto memberitahu Ane, Pak Gimar sedang di pondokan. Pondokan
Pemancingan Rohiman. Itulah yang menyeret langkah Ane ke pondokan sepagi ini.
Laki-laki berkain sarung itu, namanya Gimar. Ane lebih sering memanggilnya
dengan panggilan mBah Gimar. Bukan karena usianya yang sudah tua, tapi karena
dia memiliki kelebihan yang jarang dimiliki orang lain. Melihatnya kehadirannya
ini, Ane jadi teringat betapa dulu Pak Gimar cukup tangkas dalam “mengobati”
Ratih, bekas pembantu ane yang saat itu kesurupan. Kata Pak Narto, mBah Gimar
baru beberapa hari ini kembali ke Cimanggis, setelah lama dia pulang ke
Sumatera.
“Bagaimana kondisi rumah Bapak sekarang?” Tanya pak Gimar, sambil
matanya menatap Ane. yang lain terdiam, asyik menikmati hidangan singkong
goreng dari pak Narto. Ane tidak langsung menjawab. Ane tergoda untuk menjajal
sejauh mana Pak Gimar menebak suatu keadaan.
“Kelihatannya bagaimana Pak?” tanya ane kemudian.
“Banyak lagi sekarang penghuninya ya?” kata Pak Gimar, balik bertanya
Akhirnya Ane ceritakan kejadian-kejadian penting setelah kepergian Pak
Gimar.
Pak Gimar antusias mendengarkan setiap kata demi kata yang ane ucapkan.
Kadang kepalanya menggeleng, kadang manggut-manggut. dari air mukanya
kelihatan seolah sedang menerawang sesuatu.
“Bahkan HP Saya, dua-duanya hilang Pak, sampai sekarang tidak
kembali!”Kata Ane mengakhiri penjelasan seputar kejadian-kejadian yang pernah
muncul di rumah hantu.
“HP-hp itu sudah tidak bakal ketemu, tidak bakal kembali lagi.” Kata pak Gimar
mendesis
“Tolong diambilkan deh Pak, Pak Gimar kan bisa menembus Gaib…” kata Ane
berharap.
“Tidak bisa Pak, karena HP itu sudah menjadi Mahar” jawab pak Gimar, tegas.
“Mahar bagaimana pak?” tanya ane, tak mengerti. Pak Gimar mematikan rokoknya
yang tinggal sejengkal, kemudian menyalakan lagi rokok yang baru. sejurus
kemudian dia berkata. “HP-hp itu diambil karena dipandang sebagai mahar Bapak”
Ane semakin tidak mengerti dengan pembicaraan Pak Gimar tentang mahar ini.
“Begini ya Pak, dari berpuluh gaib di rumah itu, ada salah satu yang
berwujud perempuan cantik.”
“Perempuan cantik?”
“Iya”
“Lalu bagaimana Pak?”
“Dia cinta sama Bapak dan menikah.”
“Menikah???”
“Menikah Bagaimana Pak? tolong jangan ngacau dong Pak”
“Dia sudah menikah dengan Bapak”
Bulu kuduk ane langsung meremang. Tak pernah terfikirkan ucapan seperti
itu akan keluar dari mulut seorang Gimar.
“Saya tidak pernah pacaran atau ketemu dengan makhluk halus yang Bapak
maksud, apalagi sampai menikah?” Tanya Ane lagi, sambil menahan galau di hati.
“Itu oleh makhluk gaib bisa dikatakan menikah secara batin. Maka dari
itulah kita
Apa yang telah dikatakan Pak Gimar sangat membuat Ane schok dan menjadi
beban fikiran ane selama berhari-hari. Selama ini tak ada keganjilan mengenai
apapun yang ada hubungannya dengan apa yang telah dikatakan oleh Pak Gimar.
Ketidakpercayaan Ane ini wajar karena Ane juga tidak pernah mendengar ada
pernikahan yang hanya diakui secara sepihak, Makhluk halus pula yang
mengklaimnya, entah benar entah tidak ucapan Pak Gimar ini. Akhirnya Pak Gimar
mengatakan bahwa apa yang telah dialami tidaklah menjadi gangguan apa-apa,
karena bukan keinginan dari manusianya untuk mencintai.
Ane tidak percaya dan tak akan pernah mempercayai hal itu. Ane tak bisa
mengatakan hal yang telah membuat Ane murung itu pada Istri Ane. tak ada
gunanya membicarakan omong kosong yang telah dikatakan oleh Pak Gimar.
Biarlah hal itu Ane hadapi dan selesaikan sendiri omong kosong ini.
Beberapa minggu kemudian, ketika gerimis menaburi atap dengan suaranya
yang berisik, Ane berada di suatu tempat, seperti sebuah taman besar. Tepat di
taman itu terdapat sebuah kubangan besar yang menyerupai Kolam renang. Ane
Hanya sendiri berada di dalam kolam renang itu. Air di Kolam renang itu hanya
sedikit membasahi bagian kaki Ane, tidak sampai melewati batas mata kaki. Tapi
dingin air ini cukup membuat ane menggigil dan tak ingin sedikitpun ane
membasahkan air ini lebih lama, apalagi menyentuhkan bagian lain tubuh Ane.
Pada sepanjang lekukan kolam renang yang luas ini banyak sosok manusia yang
tidak menghiraukan gerimis yang ada, semua dengan kesibukan masing-masing
seperti dalam sebuah tempat wisata. Tampak di sebelah kiri dan kanan orang-
orang sibuk berjualan dengan nampan-nampan besar di hadapan mereka,
sementara para pembeli hanya saling tunjuk dengan apa yang diingininya, dengan
tanpa suara. Yang terdengar hanya suara angin, suara rintik hujan, dan suara hati
Ane yang tak mengerti akan apa yang sedang mereka lakukan, akan apa yang
sedang terjadi pada Ane.
Nyata sudah bahwa yang sedang berdiri di dalam kubangan basah ini hanya
Ane sendiri. Tak ada siapa-siapa di kolam ini, selain Ane yang masih dengan seribu
tanda tanya. Lalu Ane paksakan mendekat pada salah satu tepi kolam,
melangkahkan kaki menuju garis tangga di depan Ane. Dengan pakaian yang mulai
basah dan tubuh kelu oleh gerimis, ane hampir juga mencapai garis tangga itu,
sekitar empat langkah untuk Ane bisa memanjat dan berlari menjauh dari kolam
renang ini. Semakin mendekat garis tangga, semakin ane dapat melihat lebih jelas.
Orang-orang itu, orang-orang itu… berwajah putih. Ya, mereka semua berwajah
putih pucat. Pucat pasi, hanya bentuk oval di setiap lingkar luar pelupuk matanya
saja yang mengurangi kepucatan wajah mereka. Ane tidak merasa takut, entah
mengapa rasa takut itu tidak ada. Beberapa dari orang-orang itu seperti
memperhatikan Ane, tapi Ane diam saja. Ane tidak tahu lagi apa yang harus Ane
kerjakan. Ane terpaku di sana, diam. Ane baru merinding ketika tatapan mata Ane
tertuju pada salah satu wajah pucat pasi, wajah laki-laki misterius. Mirip, sangat
mirip. terlintas sebentuk Kucing besar berkelebat di pelupuk mata Ane, Ya. wajah
laki-laki itu sangat mirip dengan orang yang berkali-kali Ane temui di sepanjang
perjalanan Ane ke Bogor waktu itu, perjalanan mengerikan ketika motor Ane juga
menabrak seekor kucing. Wajah orang itu telah membekas di otak Ane saking
terlalu sering dia muncul pada malam ketika itu
Orang-orang berwajah pucat itu terus memperhatikan Ane, lalu serentak
memalingkan pandangan dari Ane dan manatap kedepan ketika dari Kejauhan
tampak berjalan dua Orang dengan berpakaian hitam satu orang Perempuan
dengan langkah yang gemulai seakan melayang, posisinya tepat satu langkah di
depan sebelah kanan lainnya, laki-laki yang juga berpakaian hitam. Pakaian
mereka memiliki motif seperti ukiran dari bordir keemasan. Perempuan yang
sangat teramat cantik itu terus melangkah, diiringi laki-laki di belakangnya.
Kemudian baru Ane sadari bahwa perempuan ini mengenakan penutup
kepala yang tetap dapat memperlihatkan rambutnya yang indah, lebih menyerupai
sebuah Mahkota keemasan. Mereka berhenti tepat didepan ane yang termangu
dibawah kolam renang. Seperti ada kekuatan aneh yang membuat Ane
melangkahkan kaki Ane ke depan. Si perempuan berwajah cantik ini mengulurkan
tangan kanannya meraih tangan kiri Ane, sambil tersenyum. Melihat senyuman itu
Ane merasakan sesuatu yang entah dimana dan merasa sudah tidak asing lagi
dengan perempuan itu. Lalu dengan tetap meraih tangan kiri Ane, Dia
memakainkan sebuah cincin bermatakan batu besar menyerupai Akik, dengan
warna putih kecoklatan, besarnya menyerupai ibu jari dengan sebuah tulisan arab,
seperti tulisan (Allah) Asma Allah yang sering Ane lihat dalam tulisan-tulisan di
kertas maupun kitab.
“Saya seperti mengenal perempuan ini, tapi siapa?” kata hati Ane.
Seperti mengerti isi hati Ane, dia berucap
“Iya. Aku yang datang.. Aku…(dia menyebut sebuah nama besar yang sudah
sangat terkenal di mitos kalangan jawa dan Sunda. Red)”
Setelah cincin dipakaikan dan melingkari jari manis Ane, tiba-tiba Ane
seperti tersentak oleh sebuah kekuatan dan tak mendapati pemandangan itu lagi,
tapi Ane seperti terlempar dan terbaring di kamar utama Ane, sendirian. Tangan
Ane meraba kedua kelopak mata Ane, ternyata Ane hanya bermimpi. Terlihat Jam
di dinding menunjukkan pukul 2 dinihari. Ane baru ingat bahwa Ane benar-benar
sendiri di dalam rumah ini, anak dan istri Ane sudah dua hari ini pulang ke
kampung bersama Ibu mertua yang sengaja menjemput mereka beberapa hari yang
lalu.
.
Hari-hari yang Kami jalani setelah itu adalah hari yang penuh dengan
ketidakpastian, penuh dengan kesialan. Perlahan namun pasti bisnis-bisnis Ane
mulai berjatuhan, bertumbangan dan banyak sekali masalah yang kami terima,
entah sebab apa. Praktis Ane hanya mengandalkan segala sesuatunya hanya dari
hasil kerja Pokok Ane. Ane mengalami pengkhianatan yang begitu besar. Ratusan
juta melayang karena uang Ane dibawa lari orang yang telah Ane percayai, hingga
usaha yang telah Ane rintis pun hancur dengan menyisakan hutang yang harus Ane
tanggung sendiri. Jika saja Rumah dan segala perabotannya dijual semuapun tidak
akan cukup untuk membayar jumlah hutang itu. Sedangkan Ane tak dapat berbuat
apapun juga.
Orang yang telah mengkhianatii Ane itu lalu meninggal karena Bunuh diri.
Ane hanya bisa pasrah, tapi pasrah yang bagaimana, Ane tak mengerti. Hari
berganti minggu, berganti bulan… tahun ketiga ane bertahan Ane sudah nggak
punya apa-apa lagi dan pintu-pintu rejeki ane seperti tertutup(diTutup?).
Beruntung ane masih dilindungi Allah. Ane tetap bertahan, sampai tahun ke tiga
ane tinggal disana dengan menanggung duka dan kepedihan. kami
mempertahankan hidup seadanya saja. semua gaji langsung habis untuk mencicil
hutang, beratus juta, tapi Ane bersyukur tidak sampai mati bunuh diri.
Ditengah kefrustrasian ane, istri ane mengajak ke seorang ulama yang cukup
terkenal dan sering muncul di TV. dari sanalah akhirnya tepat tahun ke empat ane
sekeluarga tinggal di rumah sialan itu, ane sedekahkan hampir semua barang-
barang yang ane miliki dan hanya hanya sisa sedikit bekal untuk kami sekeluarga
menempuh hidup baru setelah keluar dari rumah hantu. Rumah itu ane jual
murah, hanya separuh harga dari saat ane membeli dulu. ane tidak berfikir untuk
menjual lewat kaskus, karena meskipun ane sudah punya ID kaskus sejak tahun
2008 tapi ane tidak mengikuti. Rumah sengaja ane jual murah karena memang
orang-orang sekitar juga sebagian sudah pada tahu kalau rumah itu berhantu. Ane
mulai lagi semuanya dari Nol.
Alhamdulillah Semua hutang itu akhirnya bisa lunasi setelah ane keluar dari
Rumah hantu itu.
Kini Ane menjalani hari-hari Ane bersama anak dan istri Ane, dengan usaha
yang kami rintis dari nol lagi dan Ane lebih tenang dalam menjalani profesi Ane
sebagai Anggota Pasukan Elit di Kepolisian, sementara istri Ane buka Usaha kecil-
kecilan di Rumah baru yang terasa nyaman dan tak lagi ditebar teror.
Beberapa waktu yang lalu, kira-kira belum genap tiga bulan, ane ketemu
dengan Pak Yusnadi, RT tempat tinggal ane dulu. Pak Yusnadi ini bercerita bahwa
3bulan semenjak transaksi jual beli rumah ane itu, Pak Abdul(Bukan nama
sebenarnya) mulai menemui banyak kesialan. padahal dia orang yang sangat
berada dan bahkan memiliki usaha semacam pabrik di luar negeri, Malaysia Tanah
Pak Abdul bahkan berceceran di mana-mana. Rumah yang dibeli dari Ane itu tidak
ditempati, tapi dibiarkan kosong begitu saja, Tapi entah mengapa Pak Abdul Ribut
besar dengan keluarganya sendiri dan belum genap satu tahun Pak Abdul memiliki
rumah itu, Pak Abdul meninggal dunia secara mendadak.
Ada orang yang bilang bahwa Pak Abdul meninggal karena serangan jantung,
ada juga yang bilang bahwa kematiannya misterius. Sepeninggal ane dari Rumah
itu, oleh istri Pak Abdul rumah itu dikontrakkan pada seorang pendatang, seorang
ibu-ibu. Entah kebetulan entah karena faktor apa, si Ibu ini juga mengalami
kesialan yang juga luar biasa. Usaha yang dia rintis di rumah itu selalu mengalami
kebangkrutan. Bahkan dia …(terpaksa tidak bisa ane share dulu krn ane belum
minta ijin utk share hal dia ini)
Selain dengan diperlihatkannya makhluk yang sering turun dan naik
ditangga, Si Ibu ini juga mendapat teror dalam bentuk lain, termasuk usahanya.
Berkali-kali buka usaha selalu berakhir dengan kebangkrutan.
Mendengar cerita Pak RT ini, ane merasa bersyukur dengan melepas Rumah
hantu itu. Rumah yang sering hampir membunuh Ane karena keanehan dan
pengaruh aura negatifnya.
Dengan wajah yang seperti diliputi rasa takut, pak RT melanjutkan
ceritanya. “Rumah itu nggak hanya terdapat 3 buah makam di bawahnya, tapi 13″
dari ingatan para sesepuh. Beberapa dari makam/kuburan itu sudah ada sejak
jaman Jepang. Ada nada sesal ketika Pak RT mengucapkan kalimat itu, seperti
ingin menarik kembali ucapannya tapi tidak bisa.
“Lalu bagaimana dengan kesepuluh makam yang masih ada itu Pak?” Tanya
Ane.
“Makam itu masih tetap ada di sana, tidak bisa dipindahkan.” Kalau
memindahkan jasad-jasad itu berarti harus membongkar total rumah itu karena
letak makam-makam itu persis di bawah pondasi rumah” Tergambar nada
ketakutan dari mimik muka Pak RT yang kelihatan menegang. seperti ada desiran
aliran darah yang membuat ane bergidik, ngeri. Tak pernah terbayangkan bahwa
selama ini kami, tinggal di Rumah yang berhantu, dengan kuburan yang tidak
hanya 3, tapi tigabelas makam di bawahnya.
“Pak RT, ada sosok perempuan dengan wajah dan tubuh berlumuran darah
di rumah itu..” Ane kembali memancing pembicaraan dengan Pak RT. “Iya, benar.
di sana pernah ada yang kecelakaan, seorang perempuan yang kecelakaan dengan
kondisi yang sangat mengenaskan, di depan rumah itu” Menurut teman saya yang
mengerti, ibu itu mati penasaran” Jlebbh..!! kembali, bulu kuduk ane meremang.
“Lalu kenapa Lampu-lampu yang kami pasang selalu tidak awet?”
“Sudah dari sananya… Bahwa Lampu atau lilin yang dinyalakan di atas
kuburan itu dilarang, dan akan selalu cepat mati/tidak awet. Dan lagi pula, para
dedemit, hantu blau, setan peri prahyangan tidak suka dengan keadaan terang”
Ane pandangi Rumah itu, rumah dengan kiri kanan kesunyian. Dindingnya
seperti menyiratkan senyuman sinis dan kemanangan. di sebelah kanan rumah itu,
yang dulunya kosong, tetap kosong. Di sebelah rumah kosong itu, sekarang sudah
ada penghuninya, seorang penghuni baru. pemilik lama pindah dan dibeli oleh
orang baru, seorang Batak. Tapi di seberang rumah itu, yang dulu terdapat Rumah
besar tapi dibiarkan kosong, sampai sekarang tetap kosong. Bayangan hitam
atapnya yang menjulang tinggi akan selalu melemparkan kengerian bagi orang yang
melihatnya di waktu malam.
Ane bergidik, ngeri ketika melewati tanjakan di depan bekas rumah Ane,
yang telah membawa korban kecelakaan berkali-kali dari sejak Ane belum tinggal
di sana sampai setelah ane pindah.
Angin padang Golf merayapi pori-pori kulit tubuh Ane, terasa dingin seperti
melepaskan kerinduan pada pertemuan setelah sekian lama terpisah. Ane suka
dengan sejuknya anginmu, ane suka dengan kesunyian dan dingin hawamu di
waktu malam. Tapi ane tak ingin hidup tergadai oleh rasa takut yang
berkepanjangan, selamat tinggal Rumah hantu, selamat tinggal kesunyian, selamat
tinggal kesialan. Kuingin kau menjadi doa bagiku, doa untuk ketenangan dan
ketentraman di harihari kedepan yang harus ane lalui, bersama anak-anak Ane,
bersama istri Ane yang setia, sampai hari tua nanti.
Ikuti @pijar88
4 TAHUN TINGGAL DI RUMAH HANTU (BONUS)
Sumur Pantek Depan Rumah
Suara Genset meraung-raung membelah kebisingan jalan kampung.
Bercampur-berpadu dengan suara hilir mudik kendaraan di depan rumah Ane.
Suaranya kadang menderu kadang mencicit menyerupai lengkingan seorang
perawan yang sedang terancam. Getaran yang ditimbulkannya menggoyang jalinan
pilar-pilar bambu yang menahan beban genset itu sendiri.
Pak Midun nampak cemas mengawasi Pipa besi panjang yang mengaduk-aduk
tanah sejengkal, lokasi tanah yang akan kami bikin sumur. Lokasinya memang
kurang menguntungkan, berada tepat di sebelah kiri depan halaman rumah kami,
antara perbatasan teras dengan halaman. Pak Midun mondar-mandir, kecemasan
di wajahnya semakin tampak nyata tergambar.
“Coba kita ulangi lagi dengan tekanan yang lebih besar Man..” kata Pak
Midun, suaranya hampir tak terdengar, tertelan deru genset yang menggeram.
Sementara dua orang anak buah Pak Midun sudah sangat kelelahan, seperti malas
oleh situasi yang dihadapi mereka kini. “Tetap saja Pak” Teriak Maman.
“Kena batu lagi Pak, padahal kedalaman sudah 14 meter.” Kata Pak Midun
seperti menujukan ke Ane. Ane diam, pura-pura tak menghiraukan dengan apa
yang terjadi. Ane tak ingin memburu-buru Pak Midun atau yang lainnya untuk
segera menyelesaikan pembuatan sumur ini, karena mereka juga sudah bekerja
dengan cukup keras dan nyatanya berkali-kali menemui kendala pada lapisan
tanah di bawah yang selalu mentok dengan batu.
Matahari sudah semakin dekat ke cakrawala tapi pekerjaan belum selesai.
Mata bor tetap mengenai batu. Entah seberapa besar dan tebal batu itu sampai tak
tembus-tembus juga. Dua pekerja kelelahan, mesin Genset mati. Pekerjaan
dihentikan.
Bertiga mereka menikmati hidangan yang disajikan istri Ane. Pak Midun
kelihatan pucat. Laki-laki paruh baya ini masih nampak gagah meski usianya sudah
kepala lima. Pak Midun ini adalah paman dari kawan Ane, yang sehari-hari banyak
menerima pesanan pengerjaan Sumur bor atau pantek. Keponakannya seorang
insinyur yang kebetulan minggu-minggu terakhir ini banyak berinteraksi dengan
Ane untuk urusan bisnis. Daryono, nama keponakan dari Pak Midun ini banyak
koneksi jual beli limbah industri yang sering kami jalankan. Kadang besi tua,
kadang sisa-sisa tembaga dari berbagai proyek yang banyak ia ketahui. Daryono
memberikan rekomendasi untuk pamannya sendiri ketika Ane mengeluh akan air
di rumah kami yang selalu bermasalah. Jalan satu-satunya untuk masalah air di
rumah kami adalah membuat sumur baru karena sumur lama terlalu dekat dengan
pembuangan air, itulah masalahnya. Dua hari ini Pak Midun bersama dua orang
anak buahnya mengerjakan Sumur baru di rumah kami.
Hari pertama pengerjaan, mata bor mengenai batu. lalu pindah titik lokasi
beberapa meter dari titik pertama. Pada titik lokasi kedua juga menemui batu
besar, pada kedalaman yang baru tiga meter. Mau tidak mau, dicari lagi titik baru
hingga didapat titik terakhir yang posisinya malah lebih dekat ke teras, persis di
depan rumah.
Dan mata bor sudah mencapai kedalaman empat belas meter ketika tiba-tiba mata
bor itu mengenai batu, tak tembus-tembus juga.
“Pak, kelihatannya ini aneh” Pak Midun mengeluh, menghela nafas. Dari
getar suaranya seperti ada rasa khawatir.
“Sering seperti ini Pak?” tanya Ane.
“Justru itulah, baru kali ini mata bor Saya tak tembus-tembus. Sudah tiga
kali matabor Saya patah, sudah tiga kali ganti mata bor. Sebesar apa batu itu…”
Pak Midun menggeleng-gelengkan kepala, mencoba menghilangkan kegalauannya.
“Aneh ya Pak…” Ane menimpali. Di luar mulai gelap. langit menghitam.
Beberapa teguk kopi hitam membuat Ane tenang. Dari Mushola kampung terdengar
adzan, suaranya cempreng tanpa ekho. Menggelegar memecah udara petang.
Gerimis menitik pelan.. Kampung Sindangkarsa menggigil.
Mereka berpamitan, pak Midun berjanji untuk datang lagi seusai Magrib.
Pancang-pancang bambu dan tanah-tanah sisa pantek yang menggunduk di
sekeliling titik sumur yang belum jadi itu terlihat mengerikan dalam kondisi gelap.
Ane mundur beberapa langkah ketika terdengar suara gemuruh mengitari titik
sumur itu. Suaranya begitu jelas. Bergegas Ane masuk ke dalam, kemudian Sholat
Magrib bersama istri Ane. dari luar rumah, terdengar suara anjing menyalak
melolong.
Selepas Isya, Pak Midun datang sendirian. Dia membawa sebuah bungkusan
kresek hitam. Agak gugup dibukanya kresek besar itu, dikeluarkannya serbuk kopi
berikut rokok klobot dan sebungkus gula pasir. “Saya baru saja dapat petunjuk
Pak, mudah-mudahan besok sumur itu sudah bisa diteruskan dan langsung selesai”
Berbicara Pak Midun, menjelaskan pada Ane.
“Maksud Pak Midun?” tanya Ane.
Untuk tempat-tempat ‘khusus’ seperti tempat Bapak ini tak bisa
disepelakan. Tak bisa digali atau dibor begitu saja.”
“Begitu ya Pak?”
“Ini saya bikinkan sendiri, Saya minta disediakan wadah saja Pak, Baki
kosong”
Lalu Ane mengambil Baki di dapur. Istri Ane yang sedang ngeloni si kecil
menanyakan untuk apa Baki itu, Ane bilang bahwa Pak Midun memerlukannya.
Pak Midun meletakan Baki dengan gelas-gelas berisi kopi pahit kopi hitam,
dan rokok klobot di dekat titik sumur baru kami. Dinyalakannya gulungan kertas
dalam asbak, lalu tangannya menaburkan kemenyan. Mulutnya mendesis-desis
membacakan sesuatu yang nggak Ane tahu, pelan dan hanya bunyi desisan yang
terdengar. Bau harum kemenyan yang kemerutuk di atas api menambah seram,
Suasana terasa mencekam. tak ada satupun mobil atau motor yang lewat di
jalanan depan rumah, hening menghentak seakan mengiringi doa-doa yang
dibacakan Pak Midun. Selesai melakukan ritualnya, Pak Midun terpekur. dia
bangkit sambil matanya nyalang menyapu segenap penjuru halaman rumah Ane,
kemudian matanya tertuju ke dalam rumah. “Saya pulang Pak” Pamit pak Midun
kemudian.
Keesokan harinya Pak Midun dan anak buahnya kembali melanjutkan
pemantekan sumur yang tertunda karena mata bor yang terhenti oleh lapisan
batu. Beberapa menit saja bor berputar, lapisan batu sudah tertembus dan
mengenai lapisan empuk bumi, airpun mengucur deras, bening.
*****
Beberapa bulan kemudian.
“Ma, kenapa Payung itu dibuka di dalam rumah? Mama yang buka?” Tanya
Ane Siang itu Ane baru pulang dari kegiatan ringan kantor, tapi cukup membuat
Ane kelelahan karena perjalanan yang cukup jauh.
“Bukan Saya Pa, bener. sumpah” Istri Ane menjelaskan. Memang Ane paling
tidak suka bila ada payung dalam kondisi mengembang (tidak tertutup) di dalam
rumah. Dari sejak kecil jika Ane membuka payung ketika masih di dalam rumah,
ibu Ane pasti langsung melarang, beliau mengatakan “Ora ilok” Dalam bahasa
tempat kelahiran Ane, Ora ilok berarti sangat tidak boleh untuk dilanggar. Mungkin
berbau tahayul, tapi itulah.. kadang sesuatu yang memang sudah terlanjur
diperingatkan akhirnya bisa berakibat kurang baik bila dilanggar. Jika diperhatikan
dari segi kata-katanya, Ora ilok berarti Tidak Indah atau tidak Elok. Mungkin
karena tidak indah dalam pandangan mata, sehingga orang-orang tua jaman dahulu
sengaja mendramatisir kalimat-kalimat atau kata-kata itu dengan ancaman-
ancaman terselubung.
Dan memang, pada kanyataannya apa-apa yang didahului dengan Ora ilok
untuk melarang sesuatu itu menjadi ampuh untuk ditaati. Siang ini, ternyata ada
payung yang terbuka di dalam rumah Ane. Payung yang terbuka di dalam rumah
Ane. Ane langsung tutup payung itu dan Ane masukkan ke dalam karung di kamar
depan. Entah siapa yang membuka payung ini di dalam rumah kami? ‘Hah’
Persetan! Ane tak peduli. Hanya bisa mengira-ngira saja, kalau memang bukan
Ane, mungkin saja anak-anak tetangga sebelah. mungkin pagi tadi mereka pada
main ke rumah. Kalau bukan mereka juga, mungkinkah Ane ya? Kalau Ane sih
kayaknya tidak mungkin. Berartiiiiii……..??? Agan tebak sendiri ya…
Tiga hari setelah itu, di tengah panas sore yang tak begitu terik Ane menaiki
motor Ane bersama dengan anak dan istri Ane. Kami dalam perjalanan pulang
setelah seharian kami keluar. Kebetulan kami ada kegiatan arisan bersama teman-
teman satu kerjaan Ane. Motor Ane bawa pelan, hingga lebih dari 30 menit kami
baru sampai Pasar Cibinong. Mampir sebentar di Pasar Cibinong sekedar belanja-
belanja baju, makan, dan lanjut lagi perjalanan. Cuaca berubah, Langit mendung.
Awan bergumpal-gumpal berarak seperti serombongan prajurit yang siap
meluncurkan anak panahnya ke bumi dengan rintisan tetes tetes air. Ane pacu
sepeda motor agak kencang, sesampai di pertigaan Mandala, kemudian di Simpang
Joran Motor ane mengarah ke kanan. berbelok untuk ke kampung Ane ketika
kemudian tiba-tiba muncul iring-iringan orang dengan membawa keranda mayat.
Seketika Ane hentikan motor Ane. Ane tak mau menyalip iring-iringan, apalagi saat
sedang membawa anak kecil seperti saat ini.
“Siapa yang meninggal Mas?” Tanya Ane pada salah satu orang yang
kebetulan lewat persis di depan Ane. Kelihatannya dia habis melayat.
“Pak Midun Mas..”. Jawabnya singkat
“Duggg!!!” Ane kaget. ANE KAGET !!! Segera Ane balik kanan, putar haluan.
Kembali ke Jalan Raya Besar. Melewati Simpangan Joran, dan pada Pertigaan gang
Durian, Ane belokkan motor. Sengaja melewati jalan Gang Durian. baru sekitar
tujuh menit motor merayap pada pertigaan utama untuk ke jalan bakti Mulya,
kembali kami tersentak!!!. Tampak Iring-iringan dengan keranda mayat sedang
menuju pemakaman umum… Mau tak mau Ane putar haluan lagi. Tancap lagi dan
melewati gang lain, masuk jalan utama dan masuk gang Baring untuk ke Jalan Raya
Besar kembali. Hahhhh??? Kembali ane sport Jantung. Iring-iringan laki-laki dengan
empat orang paling depan, dengan keranda mayat di atas pundak mereka.
Akhirnya kami kembali ke Jalan Raya Besar dan masuk Gapura Simpangan
Joran. Kami dikejutkan sebuah suara. “Mas, anaknya pucat tuh..”
Ane menoleh, sebelah motor Ane. Supri dengan motor bebeknya.
“Iya Pa… anak kita pucat!”
Sesampai di rumah, kami pijit-pijit kecil anak kami, alhamdulillah tak
terjadi apa-apa. Gerimis turun, langit menumpahkan butir-butir airnya.
FOTO-FOTO
RUMAH
HANTU

Anda mungkin juga menyukai