Anda di halaman 1dari 24

Kabut Ibu

dengan 71 komentar

136 suara

Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak
memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan.

Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu mereka
kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api sepercik pun menjilati rumah
kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka
hanya akan saling berbisik, ”Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti
sudah dikutuk.”

***
Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti warna
bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih
sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar belakang. Ibu terus
mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah berbincang dengan beberapa
orang. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok
yang disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama Tuhan.

Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang. Ayah
meminta kami untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah
abah (bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak terlampau jauh.

Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan pematang yang
licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam.
Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan dingin,
hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk pintu terburu-buru
dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah
mengambilkan segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya.

Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di luar riuh oleh
teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali. Abah menyuruhku untuk segera
memejamkan mata.
Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu sambil
menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di kamarnya.

Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang duluan,
begitu kata abah.

Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak tangannya yang
bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancur
berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat,
seperti darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan, membawaku pulang kembali ke
rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di depan rumah kami yang kian mengecil
dalam pandanganku. Orang-orang itu tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda.

”Mengapa kita tak jadi pulang, Bah?” tanyaku.

”Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu.” Abah tersengal-sengal mengayuh kereta untanya.

”Kotor kenapa, Bah?”

Abah terdiam beberapa jenak, ”Ya kotor, mungkin semalam banjir.”

”Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?”

”Ya banjir.”

”Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.”

”Hus!”

***

Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku tak
boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang.

”Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian jemput
ibumu.”

Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini masih
membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding
papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama sekali abah tak
kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya di depan rumah. Aku
mengempaskan napas lega. Menyongsong abah.

Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong tanpa
kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam.

Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu sedang sakit.
Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa waktu
kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal
yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematian—
lantaran mereka pernah hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang
di teras rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri.

***

Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah. Ketika ibu
kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada akhirnya,
aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu
yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya
hanya diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding
dan terdiam lagi.

Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke kamarnya.
Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selimut,
semua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu selalu
berkabut.

Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut
yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi.
Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari
mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari matanya selalu
mengepul kabut tebal yang tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari
air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.

***

Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka pintu dan
jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak kami menyadari
keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan
minuman kami selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan
makanan. Beberapa kali kami menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang
sama. Tak tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan sama
sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan mata kami.

Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa melihat
jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu kamar ibu.
Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis
dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Kami
terus menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah
berdebam di tanah.

Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan kami
mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap.
Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang
membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana. Aneh, kami juga tidak
melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut
yang kian menipis dan hilang.

Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor kecamatan. Kami
juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan,
tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu
masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami berani
menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut
itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.

***

Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut itu
terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu,
dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi memedulikan ocehan
orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah
yang menanggung kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah
kami, sebagaimana ia menelan ibu.
Ketika Kabut
Malang, 11-11-11
About these ads

Kabut Ibu
dengan 71 komentar

136 suara

Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak
memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan.

Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu mereka
kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api sepercik pun menjilati rumah
kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka
hanya akan saling berbisik, ”Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti
sudah dikutuk.”

***
Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti warna
bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih
sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar belakang. Ibu terus
mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah berbincang dengan beberapa
orang. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok
yang disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama Tuhan.

Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang. Ayah
meminta kami untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah
abah (bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak terlampau jauh.

Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan pematang yang
licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam.
Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan dingin,
hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk pintu terburu-buru
dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah
mengambilkan segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya.
Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di luar riuh oleh
teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali. Abah menyuruhku untuk segera
memejamkan mata.

Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu sambil
menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di kamarnya.

Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang duluan,
begitu kata abah.

Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak tangannya yang
bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancur
berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat,
seperti darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan, membawaku pulang kembali ke
rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di depan rumah kami yang kian mengecil
dalam pandanganku. Orang-orang itu tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda.

”Mengapa kita tak jadi pulang, Bah?” tanyaku.

”Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu.” Abah tersengal-sengal mengayuh kereta untanya.

”Kotor kenapa, Bah?”

Abah terdiam beberapa jenak, ”Ya kotor, mungkin semalam banjir.”

”Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?”

”Ya banjir.”

”Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.”

”Hus!”

***

Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku tak
boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang.

”Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian jemput
ibumu.”

Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini masih
membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding
papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama sekali abah tak
kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya di depan rumah. Aku
mengempaskan napas lega. Menyongsong abah.

Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong tanpa
kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam.

Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu sedang sakit.
Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa waktu
kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal
yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematian—
lantaran mereka pernah hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang
di teras rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri.

***
Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah. Ketika ibu
kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada akhirnya,
aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu
yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya
hanya diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding
dan terdiam lagi.

Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke kamarnya.
Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selimut,
semua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu selalu
berkabut.

Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut
yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi.
Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari
mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari matanya selalu
mengepul kabut tebal yang tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari
air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.

***

Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka pintu dan
jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak kami menyadari
keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan
minuman kami selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan
makanan. Beberapa kali kami menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang
sama. Tak tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan sama
sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan mata kami.

Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa melihat
jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu kamar ibu.
Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis
dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Kami
terus menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah
berdebam di tanah.

Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan kami
mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap.
Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang
membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana. Aneh, kami juga tidak
melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut
yang kian menipis dan hilang.

Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor kecamatan. Kami
juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan,
tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu
masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami berani
menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut
itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.

***

Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut itu
terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu,
dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi memedulikan ocehan
orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah
yang menanggung kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah
kami, sebagaimana ia menelan ibu.

Ketika Kabut
Malang, 11-11-11
About these ads

Kain Perca Ibu


dengan 60 komentar

77 suara

Ada kebiasaan Ibu yang telah dilakukannya sejak menikah dengan Bapak. Ibu selalu menyimpan
pakaian-pakaian yang memiliki arti begitu mendalam baginya.

Salah satunya adalah kebaya pengantin lengkap dengan kain batik pesisiran, rapi ia simpan di dalam
koper kecil usang di bawah ranjang. Setelah ijab kabul sekitar lima puluhan tahun silam, kebaya
brokat putih itu dikenakan untuk kedua kalinya ketika Mbak Ratih, kakak sulung kami, bersanding
dengan lelaki pilihan hatinya di pelaminan.

Sepanjang resepsi perkawinan Mbak Ratih, kami adik-adik perempuannya menatap kagum sekaligus
iri. Membayangkan betapa sakralnya riwayat kebaya yang saat itu melekat di tubuh Mbak Ratih.
Kebaya itu dijahitkan sendiri oleh mendiang ibunya Ibu di tengah keadaan negeri yang sedang porak-
poranda.
Sekitar pertengahan tahun 1950-an Indonesia dalam keadaan darurat perang karena banyaknya
pemberontakan di berbagai daerah di tanah air. Militer memegang posisi yang menonjol dalam
mengatur kehidupan masyarakat. Kemiskinan terasa sampai ke pelosok-pelosok. Ibu dan Bapak yang
tinggal di pinggiran kota kecil Magelang dinikahkan secara sederhana di tengah keadaan ekonomi
yang kacau-balau. Banyak rakyat terpaksa makan bulgur, semacam campuran ketan dan beras, yang
menurut informasi diperoleh dari sisa makanan ternak kiriman Amerika untuk membantu rakyat
Indonesia.

Karena tidak punya uang untuk membeli kain brokat yang layak, mendiang Eyang Putri terpaksa
mengeluarkan gorden yang biasanya hanya dipasang menghiasi ruang tamu untuk acara istimewa
setahun sekali seperti kaulan dan kendurian. Gorden yang terbuat dari kain semacam brokat itu pun
digunting Eyang Putri dan dijahit menjadi kebaya pengantin. Seusai menikah, Bapak yang tentara itu
harus buru-buru berangkat ke medan perang melawan pemberontak.
Sejarahnyalah yang membuat kebaya itu begitu terasa mahal saat dikenakan oleh Mbak Ratih yang
menjadi pengantin. Entah bagaimana cara Ibu menyimpannya. Kebaya itu masih tampak sekemilau
dulu. Ibu menisik dengan sangat hati-hati bagian-bagian yang mulai renggang dan menambahkan
manik-manik agar terlihat lebih indah dan modern.

Mewariskan pakaian lama itu merupakan pertanda cinta Ibu kepada keturunannya. Bagi kami pun
sudah menjadi semacam tradisi yang ditunggu-tunggu. Ibu hanya melakukannya untuk momen-
momen penting bagi keluarga kami. Sebelum memberikannya, biasanya Ibu mengumpulkan semua
anak perempuannya di ruang tengah, kami duduk bersila di lantai, Ibu duduk di kursi menceritakan
terlebih dulu riwayat pakaian itu. Kami seperti terseret pada kenangan masa lalu yang mengharu biru.
Lalu kami semua berharap-harap cemas menantikan siapakah yang menjadi orang yang beruntung
pada hari itu.

Ketika putri pertama Mbak Ratih lahir, yang juga menjadi cucu pertama Ibu, Ibu melungsurkan
selimut dan baju bayi yang dulu membungkus tubuh mungil Mbak Ratih ketika pertama kali
menghirup udara bebas di barak militer karena saat itu negara sedang sibuk menumpas
pemberontakan. Bayangkan. Betapa Ibu tidak pernah melewatkan setiap peristiwa penting dalam
kehidupannya.

Jika bukan kami yang terpilih, dan tidak beruntung pada hari itu, kami akan masuk ke kamar masing-
masing dengan kepala menunduk, menyimpan tangis kami diam-diam. Karena itu artinya kami
belum dianggap istimewa oleh Ibu.

***

Tradisi itu berlanjut hingga kami, anak-anak perempuan Ibu, pindah berpencar ke kota-kota lain,
menikah dan punya anak. Aku merantau ke Jakarta, bekerja dan menikah dengan Mas Harris. Mbak
Ratih pindah ke Bandung mengikuti suaminya. Mbak Suti menetap di Semarang dengan keluarganya.
Laras, adik bungsu kami, memilih tinggal di Bogor dengan suami dan anak-anaknya. Hanya Ibu dan
Bapak yang berkeras tetap tinggal di Magelang, meskipun Bapak sudah pensiun dari ketentaraan.

Setiap Lebaran kami berkumpul di sana, setelah acara sungkem dan makan ketupat opor buatan Ibu,
kami akan berkumpul di ruang tengah. Seperti dulu. Hanya kali ini dengan anggota yang lebih
banyak. Karena ditambah dengan cucu-cucu Ibu yang sudah berjumlah delapan orang. Dua orang
cucu dari Mbak Ratih, tiga dari Mbak Suti, satu dari aku, dua dari Laras.

Perasaan kami masih seperti dulu, berdebar-debar cemas, menunggu siapakah yang dipilih Ibu pada
Lebaran tahun ini. Sedangkan bagi anak-anak kami, cerita Ibu seperti dongeng sejarah yang
mengagumkan. Mungkin di benak mereka seperti melihat film dokumenter dengan layar hidup.

Siapa yang beruntung mendapatkan lungsuran pakaian merasa seperti menjadi pemenang lotre
miliaran rupiah. Dan sepanjang tahun, cerita itu akan didengung-dengungkan terus di antara
keluarga kami. Menjadi topik hangat sampai tiba Lebaran berikutnya.

***

Yang paling berkesan bagiku adalah Lebaran lima tahun yang lalu. Ibu menyerahkan kebaya Kartini
berukuran mungil dengan sulaman emas yang cantik sekali. Menurut Ibu, itu adalah kebaya yang
kupakai saat perayaan hari Kartini ketika aku masih kelas satu sekolah dasar. Ketika itu aku diminta
oleh guru menjadi Kartini dalam sandiwara yang dipentaskan di sekolah, lalu diajak berkeliling
kecamatan bersama pawai sekolah.

Kebaya itu yang kemudian dikenakan oleh putriku saat pawai yang sama tiga puluh tahun kemudian.
Mataku berkaca-kaca melihat putriku yang mungil tampak begitu jelita dalam balutan kebaya
beludru. Ibu bercerita, beludru itu diperolehnya dari tetangganya yang juru rias pengantin. Ibu
menjahit sendiri dan menambahkan sulaman emas yang memanjang dari leher hingga ke ujung
bawah kebaya. Kini aku mengerti betapa besarnya cinta Ibu kepadaku.

Menyadari betapa sehelai pakaian bisa merekam begitu banyak peristiwa penting dalam hidup kami,
maka kami pun mengikuti jejak Ibu menyimpan semua pakaian yang kami anggap memiliki nilai
sejarah. Kelak saat anak-anak kami dewasa nanti, kami akan menyerahkannya satu per satu kepada
mereka dengan cerita yang membuat harganya tidak bisa diukur dengan mata uang mana pun.

***

Tradisi itu terhenti ketika suatu pagi Ibu menelepon kami sambil terisak-isak. Hanya menangis. Tidak
ada kata-kata yang tercetus dari mulutnya yang penuh air mata. Kami tahu apa yang terjadi, dan
segera berangkat ke Magelang dengan pesawat paling pagi.

Kami menguburkan jasad Bapak keesokan harinya di pemakaman umum dekat rumah agar Ibu
mudah kapan pun ingin nyekar. Karena kami semua bekerja, kami sepakat untuk bergantian menjaga
Ibu selama masa berkabungnya. Aku mengambil cuti untuk bisa menemani Ibu melewati
kesedihannya ditinggal Bapak. Tapi rupanya kehadiranku seperti tidak nyata di mata Ibu. Ibu yang
dulu begitu periang dan senang mengobrol sekarang menjadi pendiam dan sering duduk melamun di
beranda. Di sana biasanya Ibu menemani Bapak melewati waktu senja, minum kopi tubruk dan pisang
goreng, sambil bernostalgia. Aku memahami kepedihan Ibu. Jadi aku biarkan saja Ibu dengan
dunianya. Aku duduk menemaninya di sana. Sama-sama diam. Yang penting aku bisa memastikan
bahwa Ibu tetap sehat dan tidak kekurangan suatu apa.

Setelah lewat berbulan-bulan, kami melihat kondisi Ibu mulai cukup tenang. Kami, anak-anak
perempuan Ibu, berembuk untuk membujuk Ibu menjual rumah lalu pindah tinggal di rumah salah
satu dari kami. Ibu boleh memilih ingin tinggal di Bandung, Semarang, Bogor, atau Jakarta. Mbak
Ratih yang kami minta mewakili pergi ke Magelang untuk meluluhkan hati Ibu. Dari semua anak
perempuannya, Mbak Ratih yang paling banyak mendapatkan lungsuran pakaian simpanan Ibu.

Mbak Ratih pulang tanpa membawa Ibu. Ibu berkeras tinggal sendiri di Magelang, dengan seorang
pembantu. Hidup dengan segala kenangannya tentang Bapak.

Mbak Suti yang tinggal paling dekat dengan Ibu sering kali harus pulang-pergi Semarang-Magelang
untuk mengawasi keadaan Ibu. Kami merasa kasihan kepada Mbak Suti karena selain bekerja, ia juga
mengurus anak-anaknya sendiri.

Supaya Ibu tidak terlalu larut dengan kesedihan, akhirnya kami berkompromi bergantian membelikan
tiket pesawat untuk Ibu. Dengan begitu Ibu bisa bergantian menginap di rumah kami, mengunjungi
anak-anak dan cucunya secara rutin. Mungkin dengan berada di antara kami, hati Ibu akan sedikit
terhibur. Ibu bersedia, tapi tidak bersedia naik pesawat. Terpaksa kami membelikannya karcis kereta
api, meskipun khawatir dengan keadaan fisiknya yang mulai renta.

Rupanya Ibu bahagia naik kereta api. Ibu bisa mengingat kembali masa-masa pacaran dan bulan
madunya bersama almarhum Bapak, bertemu di peron, dan bepergian naik kereta api.

Sesibuk apa pun, aku sekeluarga selalu menyempatkan menjemput Ibu di stasiun. Aku, suamiku, dan
putriku. Ibu memeluk kami erat-erat. Tampak bahagia bertemu kami. Meskipun aku melihat ada
ruang kosong di matanya.

Ada yang hilang dalam setiap pertemuan kami. Ibu tidak pernah lagi melungsurkan pakaian-pakaian
lamanya. Kami pun tidak berani mengungkitnya. Mungkin Ibu butuh waktu untuk pulih. Karena kini
menceritakan kenangan berarti mengungkit lagi kesedihannya. Semua saat yang bernilai baginya
tentu erat berkaitan dengan almarhum Bapak. Ibu melahirkan Mbak Ratih ketika Bapak harus
bertugas menumpas pemberontakan. Ibu menamakanku Sri karena bidan bernama Sri yang dijemput
Bapak subuh-subuh naik sepeda ontel untuk membantu persalinan Ibu melahirkanku. Dan, semua
hal yang dulu terasa patriotik sekarang menjadi begitu pedih. Karena Bapak telah pergi.

***

Rupanya dalam setahun Ibu menemukan kembali dirinya. Lebaran tahun itu, ketika kami
menjenguknya di Magelang, Ibu kembali kepada tradisi lamanya. Ibu mengumpulkan kami semua di
ruang tengah dan mulai bercerita. Satu per satu peristiwa diceritakan dengan rinci oleh Ibu. Kami
menyimak sungguh-sungguh. Di saat kami tengah hanyut dengan ceritanya, Ibu mengeluarkan
sehelai kain lebar, membentangkannya di hadapan kami. Kami terbelalak melihat hamparan kain
berisi potongan-potongan kain perca yang disambung dan dijahit menjadi bed cover.

Semua peristiwa yang baru saja diceritakannya itu tiba-tiba saja terobek-robek, menjadi potongan-
potongan yang tidak bernilai, menjadi seonggok bed cover lebar.

”Kita ndak boleh termakan kenangan,” begitu kata Ibu, tersendat. ”Kita bisa mati merana.”

***

Sekarang setiap kali mengunjungi rumah anak-anaknya, Ibu selalu meminta kami mengeluarkan
pakaian-pakaian lama yang masih kami simpan. Dengan berat hati kami memberikannya. Di hadapan
kami juga, Ibu menggunting pakaian-pakaian itu menjadi potongan-potongan kain perca. Kami yang
sejak kecil terbiasa mendengarkan betapa pakaian menyimpan nilai sejarah, jadi merasa seperti
teriris-iris.

Pada kunjungan berikutnya, potongan-potongan kain perca itu telah dijahit Ibu, dan berubah menjadi
bermacam-macam fungsi. Kemahiran Ibu menjahit rupanya tidak termakan usia. Ibu menyulapnya
menjadi seprai, sarung bantal, taplak meja, yang menawan.

Kadang-kadang kami usil memesan Ibu untuk menjahitkan kain perca itu menjadi bermacam-macam
hal remeh seperti serbet, keset, sampai tutup galon air mineral. Mbak Ratih malah pernah
mengusulkan agar Ibu membuka bursa pengumpulan baju bekas di rumahnya, lalu menjual hasil
jahitan kain percanya.

Kini kami terbiasa menertawakan sejarah. Di rumahku misalnya. Kami melihat kemeja kerja suamiku
yang pertama kali dikenakan ketika naik jabatan menjadi alas piring makan kami. Atau baju batikku
ketika menghadiri pementasan tari putriku menjadi tatakan gelas minum. Sungguh lucu rasanya.
Kami tertawa-tawa mengingat semua peristiwa itu.

***

Suatu pagi pembantu di rumah Ibu meneleponku dengan suara panik. Ibu terjatuh di kamar mandi.
Aku langsung berangkat naik pesawat dengan jadwal paling awal. Sesampainya di Magelang, semua
anak perempuan Ibu sudah berkumpul. Aku melihat Ibu telah dibaringkan di ranjang di ruang tengah,
tempat kami biasa berkumpul. Jasad Ibu diselubungi kain perca jahitannya sendiri.

Aku menghambur memeluk Ibu. Mencium punggung tangannya dengan penuh bakti untuk terakhir
kali.

***

Seminggu setelah kepergian Ibu, baru kami memiliki kekuatan untuk membereskan barang-barang
peninggalan Ibu. Kami melakukannya bersama-sama. Keempat anak perempuan Ibu. Kami
melangkah masuk ke kamar Ibu dengan air mata tertahan.
Perlahan kami membuka lemari pakaian Ibu. Menemukan setumpuk pakaian Bapak di sudut sana.
Utuh. Terlipat rapi. Tidak digunting Ibu menjadi potongan-potongan kain perca.

Jakarta, 7 Desember 2010


Ngiang Kata Ibu
Terdengar suara pintu digedor dari luar. Darahku
mendadak naik ke ubun-ubun. Siapa sih sepagi ini ingin
bertamu dengan sapaan yang kasar.

Kuintip dari balik gorden jendela nako yang segaris


dengan pintu masuk. Seorang bertubuh gemuk,
berkopiah, dan menyandang tas kumal melempar
senyum.

Kubuka pintu.

“Ada apa ya, Pak?”

“Minta sedekah, Pak!” Aku kaget, bersambung dongkol.


Suaranya keras, terdengar kasar. Tapi, ia tampak tetap
tersenyum. Melihat tubuhnya, menurutku, tak pantas ia
jadi pengemis.

Ketika aku ingin mengatakan, “Maaf, lain kali,” tiba-tiba


wajah laki-laki kekar peminta sedekah itu menjelmakan
wajah ibu di kepalaku.
“Ingat, selagi ada rezeki dan usia untuk bersedekah,
bersedekahlah. Kepada siapa pun, jika niatnya tulus
untuk bersedekah, itu sangat baik bagi kehidupan…,”
begitu kata ibu semasa hidup masih terngiang, seakan
berwasiat. Dan ibu tak pernah berkata, sebagaimana
orang kebanyakan, bahwa bersedekah akan
mendapatkan pahala dari Tuhan. Tetapi, ibu selalu
berkata, “Baik untuk kehidupan….” Mungkin, aku
disuruh menafsirkan makna yang terkandung di
dalamnya: kehidupan dunia dan akhirat!

“Ayo, Pak. Jangan melamun, berilah saya sedekah!”


Suaranya meninggi, barangkali bisa terdengar ke rumah
sebelah.

Tak pernah aku bertemu pengemis sebengal dan tak


rendah hati seperti yang sedang menadahkan tangannya
di depanku.

Kurogoh saku celana. Ternyata yang tertarik keluar uang


Rp 5.000. Ketika aku merogoh saku, mencari-cari kalau
ada lembaran seribuan, akan lebih baik lagi receh Rp
500 untuk pengemis sekasar ini. Tetapi, pengemis itu
malah berucap, “Sekali-kali lima ribu enggak apa, lho
Pak!”

Wajah ibu kembali membayang. “Ikhlas pun banyak


ujiannya, lho!”

Dengan setengah dongkol dan setengah lagi


memaksakan diri ikhlas, kuserahkan uang Rp 5.000 itu
kepadanya.

Dia menepuk pundakku dengan santainya sambil


berkata, “Terima kasih, semoga ikhlas! Yuk.
Assalamu’alaikum….”

Kurang ajar!

Baru saja dia melangkah, cepat-cepat kututup pintu.


Kali ini kurasakan, betapa untuk ikhlas dengan
pengemis itu membutuhkan kelapangan hati, kebesaran
jiwa.

Tapi, aku merasakan hati dan jiwaku menyempit dan


mengecil pagi ini.

Rumah yang kutempati saat ini adalah rumah


peninggalan almarhum ibu. Sedangkan ayah lebih
memilih tinggal di Riau bersama kakak sulungku. Ia
merasa tak sanggup tinggal di rumah yang kutempati
ini. “Terlalu diusik oleh kenangan bersama ibu. Nanti
aku bisa sakit karena rindu ibumu yang
berkepanjangan,” begitu alasan ayah, sehingga bersama
si sulung ia merasa nyaman.

Istriku yang saat ini menunggu kelahiran anak kami


yang pertama merasa senang tinggal di rumah, yang
sepertinya akan jadi milikku. Kami hanya berdua orang
kakak beradik. Kakakku sudah beli rumah di Riau, kota
tempat ia mengembangkan kariernya.

Sudah setahun kami tinggal di rumah milik dan


kebanggaan ibu. Sudah setahun pula ibu meninggalkan
kami untuk selama-lamanya. Kami pindah ke rumah ini
seminggu sebelum ibu wafat. Ibu wafat setelah kembali
dari shalat subuh berjemaah di surau. Tak ada sakit. Ia
cuma mendadak mengatakan, dadanya sesak. Lalu
tersenyum. Dalam senyum itu, ibu terkulai.

Tetapi, sejak kepergian ibu, rumah kami sangat sering


didatangi pengemis. Apalagi sejak harga BBM naik.
Padahal, rumah kami terlihat sederhana sekali
dibanding rumah yang berada di kiri kanan, depan
belakang kompleks kami ini. Rumah-rumah lain
tampaknya sesekali saja didatangi pengemis dengan
berbagai usia, kekumalan pakaian, polah tingkah serta
yang cacat anggota tubuh maupun buta. Pekerjaanku
sebagai guru honor, yang terpaksa juga nyambi kerja
lain, tentulah bukan terbilang banyak uang untuk bisa
bersedekah tiap hari. Maaf, hal itu semestinya tak
pantas diucapkan.

Kadang Bu Mur depan rumah ada benarnya juga. “Pak


Copan, dalam sehari itu kadang dua atau tiga pengemis
datang. Bahkan hari tertentu bisa sampai lima
pengemis. Pak Copan atau istri kasih juga. Maaf-maaf
kata nih ya Pak Copan, melihat keadaan Pak Copan yang
cuma guru honor, sebenarnya posisinya harus
dimengerti pengemis-pengemis itu, bahwa Pak Copan
layak mendapat sedekah. Honor sebulan Rp 400.000,
dia, pengemis itu kalau sehari saja dapat Rp 50.000,
dan itu bukan mustahil, satu setengah juta sebulan.”

Aku tertawa mendengar apa yang dikatakan Bu Mur itu.


Tidak sedikit pun merasa tersinggung. Apalagi
mendengar Pak Kuncut, lelaki sebelah rumahku. “Para
pengemis itu sering ke rumahmu, sejak almarhum
ibumu dulu, tak pernah ditolak. Pasti dikasih. Kadang
ibumu malah kasih buah-buahan, baju bekas dan kalau
tak ada uang beri beras. Kalau tak ada sama sekali,
ibumu malah janji, insya Allah besok. Akhirnya, ketika
ibumu tiada, mereka terbiasa. Lihat, pengemis-
pengemis yang selalu datang kan yang sering mengemis
semasa ibumu hidup. Mereka yakin, pasti ibumu
menyuruh melakukan hal sama kepada anaknya
terhadap pengemis….”

“Ada pula yang kurang ajar. Waktu ibumu meninggal,


banyak pengemis yang datang. Bukan melayat. Tapi
minta sedekah kepada para pelayat yang turut
berdukacita…,” kuingat itu ucapan Mbak Sri yang
rumahnya bersebelahan dengan Bu Mur.

“Lihat Pak Piliek. Dia mengaku, tak pernah memberi


pengemis yang datang ke rumahnya sepeser pun. Dia
merasa lebih tenang, karena para pengemis tahu kalau
ke rumah Pak Piliek, dia tak mendapatkan apa-apa,
maka mereka tak pernah datang lagi….”

Tiba-tiba aku merasa gundah. Kenapa mereka


menjadikanku, kebiasaan baik, yang kata ibu “baik
untuk kehidupan”, sebagai gunjingan hangat, dan
kadang dinilai sebagai bodoh. Kenapa mereka merasa
kasihan kepadaku, yang hampir setiap hari ada saja
pengemis yang datang dan jika aku atau istri ada di
rumah selalu diberi walau lima ratus perak. Bukankah ini
yang diamanahkan ibu, agar memelihara sifat berbagi,
bersedekah yang kata ibu “baik untuk kehidupan”.

Memang, kadang aku merasa tak ikhlas. Hal itu sering


kurasakan, ketika aku ingin menolak memberi dengan
mengatakan “maaf” kepada pengemis, tiba-tiba
perkataan ibu mengiang di telingaku. Aku memberinya,
seakan terpaksa. Setelah itu, kurasakan batinku gelisah
beberapa saat, dan tenang kembali setelah kuhibur diri
dengan ucapan klise yang kudapat dari istriku,
“Namanya juga manusia biasa, wajar ada ikhlas ada
tidak. Ini bagian dari ujian memuliakan diri….”

Mengenang ibu, aku merasa mengenang dirinya dalam


mandi cahaya kemuliaan. Ketika dia telah tiada aku baru
menyadari, ia betul-betul menjalani hidup ini dengan
sederhana. Ibu selalu kulihat seperti dalam senyum.
Selalu mengajarkanku agar menjauhi pertengkaran
karena berebut uang, jangan memakan uang atau hak
orang lain, apalagi korupsi. Kata ibu, masih kuingat,
jangan biarkan fakir miskin, para duafa tak membawa
apa-apa, dari tangan mereka yang bertadah ada sabun
pembersih rezeki kita dari ketakhalalan yang tak
sengaja. Bantulah mengurangi rasa lapar mereka. Kalau
kita biarkan mereka nestapa, papa berkepanjangan
tanpa kepedulian kita, ia kelak bukan tak mungkin
membutuhkan nyawa kita, darah kita, dan ingin
merampas kenyamanan hidup kita. Ibu bergetar ketika
ia berkata, “Kau tak ingin, tangan yang biasa menadah
lagi itu menghunuskan pisau dan menghunjamkan ke
jantung kita yang merasa berkecukupan ini. Ia kelak
bisa saja haus darah, tak butuh uang atau beras dari
kaum kaya atau kikir yang ketakutan karena tak seorang
pun mau bersedekah….”

Mengenang semua yang dipaparkan ibu semasa hidup,


kata mirip khotbah, membuat aku bergidik. Tak dapat
kubayangkan, kaum-kaum miskin minta darah untuk
diminumnya kepada setiap rumah yang dikunjunginya.
Kadang aku merasa menggelepar, “Tuhan, kadang aku
bersedekah hanya karena takut mereka menjadi
beringas oleh kemiskinannya yang panjang….”

Kadang, aku pun meragukan apa yang pernah


dipaparkan ibu. “Jangan-jangan ini kabar penakut agar
aku rajin bersedekah, berbagi untuk apa yang dikatakan
ibu ‘baik untuk kehidupan’….” Kenapa ibu tak pernah
berkata seperti ustadz, guru mengaji atau guru
agamaku semasa sekolah, bahwa dengan bersedekah
kita akan mendapat pahala dari Tuhan? Kalau rajin
sedekah, Tuhan akan sayang dan rezeki kita berlipat
ganda. Bisa masuk surga, dan sebagainya.

Pak Piliek kudengar sakit. Sudah seminggu ternyata. Ia


tidak mau dibawa ke rumah sakit. Tak mau ke dukun.
Permintaannya aneh: rindu pengemis minta sedekah ke
rumahnya.

Aku merasa ini aneh. Bukankah selama ini Pak Piliek


antipengemis. Para pengemis pun enggan ke rumahnya,
karena kalau tak ditolak kadang dihardik dengan kasar.
Kini, dia rindu pengemis.

Tiba-tiba ada keanehan menyerang diriku. Sejak


seminggu lalu, rasanya sejak Pak Piliek sakit, rumah
kami tak pernah kedatangan pengemis lagi. Ke mana
mereka. Biasanya paling tiga hari atau lima hari paling
lama pengemis tak berkunjung ke rumahku.
Bu Nini, istri Pak Piliek, menemuiku selepas magrib.

“Suamiku ingin sekali bersedekah, ingin ada pengemis


menghampirinya. Katanya, setelah itu dia mati pun tak
apa…,” kata Bu Nini.

Aku menarik napas. Tersenyum. Aneh juga


mendengarnya.

“Memangnya sakitnya apa, ya Bu?”

“Itulah. Aku juga heran. Kalau sudah malam, dia sering


berkata, ya silakan masuk, makan dulu, baru mengemis
lagi…, ini sedikit uang untuk anak dan keluargamu.
Hati-hati di jalan, ya. Mengemis itu halal, kalau tak
dikasih kerja oleh pemerintah, tak dikasih modal oleh
orang kaya, mengemis halal…. Lalu setelah itu dia
tertawa….”

Aku mulai bergidik.

“Jadi apa yang bisa saya bantu?”

“Begini, pengemis kan paling sering ke rumahmu ini.


Kalau dia datang, bawa dia ke rumahku, biar suamiku
tenteram….”

“Baik, baik Bu. Itu mudah!”

Tetapi, seminggu, bahkan sebulan kemudian, pengemis


tak juga datang-datang. Aneh. Sejak Pak Piliet sakit,
pengemis tak pernah datang ke rumahku.

Aku baru saja pulang melayat ke rumah Pak Piliek.


Kabarnya, dia mengembuskan napas terakhir setelah ia
mengatakan merasa bahagia, karena sempat bermimpi
bersedekah kepada para pengemis yang tak pernah ia
beri ketika berkunjung ke rumahnya. Bu Nini cerita,
suaminya itu terjaga dengan mata berbinar, dan
bergumam sendiri, “Indah…, indahnya memberi….”

Keesokan harinya, sehari setelah Pak Piliek


dimakamkan, aku mendengar suara
“assalamu’alaikum….” Dari balik pintu depan suara itu
kurasakan menghampiri telinga, lalu terasa di dada.

Ketika kubuka pintu, aku terkejut. Seorang perempuan


dengan bola mata kosong, berbaju compang-camping,
tongkat kayu di tangannya. Rambutnya panjang terurai.
Ada aroma wangi, memancar dari tubuhnya. Ada desah
napas hangat kurasakan di detak jantungku.

“Minta sedekah, Pak,” suaranya, oh, merdu. Jangan-


jangan pengemis dari surga?

“Ya, ya. Tunggu.”

Aku bergegas ke dalam, mengambil uang dan kembali,


lalu memasukkan ke kalengnya selembar uang seribuan.

“Terima kasih, semoga baik untuk kehidupan….”

Ah. Itu, itu ungkapan ibu. Aku ternganga, menarik


napas.

Perempuan pengemis itu membalik badannya, lalu


berjalan, tanpa menoleh ke belakang. Ia melampaui
pagar, dengan langkah tertatih, menjauh. Kuamati
langkahnya, makin lama, kian tampak ia seperti tak
buta.

Malamnya, aku rindu perempuan bermata bolong tapi


terlihat cantik dan menawan. Tubuhnya harum, dan di
balik bibirnya yang seakan belum menggariskan
senyum, bergetar, “…baik untuk kehidupan….”

Dalam tidur, aku bertemu dengannya, “Ibu…, Ibu…, Ibu”

Cerpen Kompas.
Ibu Tahu Rahasiaku
dengan 5 komentar

15 suara

Ketika aku turun dari angkutan, orang-orang yang mengantar jenazah Bido baru saja pulang dari
kuburan. Sepintas aku melihat, di depan warung kopi Bido, masih ada tenda kecil dan jajaran kursi,
juga ceceran bunga. Aku terus saja berjalan menuju rumah.

Sore ini, ibuku tidak banyak bicara. Ia hanya membuatkanku kopi, memasukkan tasku ke kamar, dan
membiarkanku sendirian di teras samping. Ia tahu untuk apa aku pulang, tapi tidak bertanya
mengapa aku terlambat mengikuti pemakaman. Aku juga tidak sempat bertanya, mengapa di dapur
ada banyak orang, tikar tergelar di ruang tamu dan beranda depan. Mungkin akan ada arisan.

Aku bahkan tidak tahu persis apakah aku benar-benar kenal Bido dengan baik atau tidak. Aku jarang
berbicara dengannya, semakin jarang ketika aku sudah tidak tinggal di kampung lagi. Tapi tidak bisa
kumungkiri, ada beberapa peristiwa di masa laluku yang membuatku merasa mempunyai hubungan
khusus dengannya.

Dua puluhan tahun yang lalu, untuk pertama kalinya aku merasa dikhianati teman-teman
sepermainanku. Saat itu, aku baru duduk di kelas lima sekolah dasar. Jauh hari, aku dan teman-
teman sebayaku merancang untuk menonton wayang kulit di kota lain yang jaraknya 60-an kilometer
dari kampungku. Dalangnya, Ki Manteb Sudarsono. Semua rencana sudah matang. Tapi tepat di sore
hari saat kami seharusnya berkumpul di pertigaan jalan besar untuk bersama mencegat angkutan,
tidak ada seorang pun yang datang. Padahal aku telah membayar mahal rencana itu karena sore
sebelumnya, aku merengek meminta izin orangtuaku untuk tidak ikut piknik bareng mereka ke Bali.
Sore itu, aku bertekad untuk berangkat sendirian dengan rasa marah.
Tepat di saat aku hampir melambaikan tangan ke sebuah angkutan yang terlihat dari jauh, seseorang
menyapaku. Aku menoleh. Orang itu bernama Bido. Umurnya jauh lebih tua dari umurku. Tahu kalau
aku akan berangkat sendirian dan tahu kalau aku tidak mungkin membatalkan rencanaku, ia
langsung ikut nangkring di atas angkutan. Saat aku tanya ia hendak ke mana, ia menjawab ingin
menemaniku. Rasa ragu bepergian jauh dan sendirian, tidak punya famili dan teman di kota tujuan,
mendadak rampung jadi pikiran begitu Bido menemaniku.

Malam itu akhirnya aku menonton sampai tuntas pagelaran wayang yang sudah kutunggu- tunggu.
Malam itu pula, aku merasa seperti laki-laki yang sudah dewasa. Tidak jauh dari si dalang, aku
kelepas-kelepus merokok, bahkan Bido memberiku segelas kopi yang sudah dicampur dengan
sedikit arak, supaya aku tidak masuk angin karena pagelaran itu diadakan tepat di bibir pantai. Itulah
kali pertama aku minum arak.

Tapi saat itu bukan kali pertama aku merasa ditolong oleh Bido. Beberapa tahun sebelumnya, Bido
juga mengulurkan tangannya, memberi jalan kepadaku untuk melakukan sesuatu.

Saat itu ada lomba catur menjelang tujuh belasan di kampung. Malam itu aku masuk babak final.
Musuhku bernama Anton, anak seorang mantri suntik yang baru saja pindah ke kampungku. Ia kelas
enam dan aku baru kelas tiga kalau tidak kelas dua. Aku yakin aku pasti menang di pertandingan itu.
Tapi malam itu, orang-orang berpihak kepada Anton. Mereka itu ada Pak Camat, Pak Lurah, beberapa
polisi dan tentara, ada juga guru ngajiku, semua memihak Anton. Aku menduga karena bapak Anton
juga menonton. Berkali-kali, Anton mengulang langkah. Kalau aku berpikir lama, mereka
menyuruhku cepat-cepat melangkah, kalau Anton berpikir lama, mereka sibuk mengajarinya. Aku
kalah. Aku hanya bisa membalas ketika di malam resepsi para pemenang diundang naik ke
panggung, aku malah pergi. Ibu yang mengambilkan hadiahku. Begitu sampai di rumah, ketika
hadiah itu diulungkan kepadaku, aku membantingnya. Ibuku hanya diam dan mengelus-elus
rambutku, lalu membuatkanku mi goreng dan telor gulung kesukaanku.

Kemarahanku kepada Anton mereda ketika suatu saat, sepulang sekolah, Bido mencegatku. Ia
membisiki sesuatu. Segera aku berlari ke rumah. Malamnya, aku tidak bisa tidur.

Pagi harinya, kampung kami geger. Di halaman depan rumah yang disewa keluarga Anton terdapat
pohon nangka yang sedang berbuah. Dan di pohon itu ada buah nangka besar yang terpotong
separuh. Di dekat buah yang terpotong itu, ada kertas tertempel dengan bunyi: Njaluk nangkamu
separo, ya!

Bukan pencurian nangka yang membuat geger, tapi pencurian nangka dengan tulisan di pohonlah
yang membuat geger. Peristiwa seperti itu baru terjadi pertama kali di kampungku. Aku semestinya
merasa aman. Pohon itu terlalu tinggi untuk kunaiki. Buah yang hilang separuh itu juga terlalu besar
untuk dibawa oleh anak seumuranku. Lagi pula, malam itu, ibu dan bapakku tahu aku berada di
rumah. Tapi yang tidak pernah kupikirkan adalah, tulisan di kertas itu memakai spidol besar. Di
kampungku saat itu, spidol besar tidak dijual di toko-toko. Tidak sembarang orang memilikinya. Aku
baru sadar kalau aku melakukan kebodohan ketika siang sepulang sekolah, ibu merapikan spidol
besar dari laci dan menyimpannya di lemari, lalu dikunci. Saat itu, ibu menatapku tajam sekali.

Aku bahkan lupa nama asli Bido. Ia tinggal dengan emaknya di pinggir kampung, dekat sungai.
Rumahnya kecil dan reyot. Mbok Nah, emak Bido, menafkahi diri dengan mencari kayu bakar dan
daun jati yang dicari di hutan.

Awalnya, aku tidak begitu tahu kenapa Bido terlihat begitu perhatian kepadaku. Barulah ketika aku
beranjak besar, aku mengumpulkan kabar-kabar yang bisa menyusun alasan itu.

Dulu, ibuku adalah wali kelas Bido di sekolah dasar. Tiba-tiba suatu saat, ibuku diberi tahu kalau
Bido ditangkap karena dituduh mencuri kayu dari hutan. Ibuku marah sekali. Ia lalu ngeluruk pergi
seorang diri ke kantor Perhutani untuk mengeluarkan Bido. Ibuku sangat yakin, Bido tidak bersalah.
Bido hanya membantu emaknya mencari rencek, kayu bakar yang dipunguti dari dahan-dahan yang
sudah jatuh ke tanah. Konon terjadi pertengkaran hebat di kantor Perhutani. Mungkin karena ibuku
menangis, mungkin juga karena ibuku perempuan dan seorang guru sehingga para petugas
Perhutani merasa malu, atau mungkin karena saat itu ibuku sedang hamil, hari itu juga Bido
dikeluarkan dari tahanan polisi hutan yang terletak di kompleks kantor Perhutani. Aku adalah bayi
yang dikandung ibuku saat ia ngeluruk ke kantor Perhutani itu.

Selepas peristiwa itu, Bido tidak lagi mau meneruskan sekolah. Ia keluar. Dan semenjak itu, ia
tumbuh nyaris menghabiskan waktu di hutan membantu emaknya. Konon nama Bido diberikan
kepadanya karena suatu saat, ia menangis di sepanjang jalan kampung, melempari dua pemburu
yang datang dari kota karena menembak seekor bido, sejenis elang kecil, yang kerap bertengger di
atas pohon sukun di belakang rumahnya. Bido menangis, melempar kedua pemburu itu dengan batu
sambil berteriak, “Bidoku! Bidoku! Bidoku!”

Jauh di dalam hatiku, aku ingin sekali membalas pertolongan Bido. Dan itu terjadi ketika aku duduk
di bangku sekolah menengah atas. Saat itu, aku harus sekolah di luar kampung, dan setiap akhir
pekan aku pulang. Suatu saat, aku membawa pulang beberapa kaset film biru. Aku menontonnya
dengan beberapa orang di kampung, termasuk Bido. Setelah itu, Bido sering bertanya kepadaku
kapan lagi aku membawa film ohyes, begitu Bido menyebut film biru karena ada banyak kata ’oh yes’
di film itu. Beberapa kali aku menyewa film-film ohyes agar Bido senang.

Tetapi balas budi kepada Bido kurasa impas ketika suatu saat ia tertimpa masalah. Aku mendengar
Bido digelandang ke kantor polisi karena dilaporkan oleh Haji Munawir. Bido dituduh mencuri rokok
di toko kelontong Haji Munawir. Orang-orang kampung kemudian bisa meyakinkan pihak kepolisian
kalau Bido tidak melakukannya sebab di malam kejadian, Bido tengah berjudi di desa sebelah. Tapi
pengakuan dari orang-orang itu terlambat, Bido sudah telanjur dimasukkan ke sel berhari-hari, dan
ia sudah telanjur malu. Begitu keluar dari sel, Bido mengasah parang, hampir melabrak Haji Munawir,
tapi untunglah ada banyak orang yang melarang dan menghentikannya di tengah jalan. Yang
membuatku tersentuh dan tiba-tiba merasa ikut terlibat adalah, ketika tengah mabuk arak di warung,
Bido mengatakan betapa menderita emaknya yang sudah tua karena tuduhan itu.

Berminggu-minggu aku berpikir keras, sering pulang ke kampung walaupun tidak akhir pekan,
mengamati sesuatu, membuat perhitungan di secarik kertas, dan menunggu. Hingga kemudian suatu
malam, kupaparkan rencanaku kepada Bido.

Aku bilang, baru saja Haji Munawir menebar benih di kolam ikannya. Jika habis magrib Bido menutup
saluran air yang menuju ke kolam, lalu membobol tanggulnya dengan lubang dua kepal tangan,
maka tepat di tengah malam, kolam itu akan asat. Dan kalau ia menutup lubang itu lalu membuka
lagi saluran air, maka menjelang pagi, kolam itu akan kembali tergenang air seperti sedia kala. Tapi
kolam itu sudah kosong, tidak ada benih ikan lagi.

Hanya selang beberapa hari, Bido melakukan aksi itu dengan sukses. Butuh waktu lebih dari sebulan
bagi Haji Munawir untuk menyadari bahwa kolamnya sudah tidak berisi ikan lagi. Tiap sore ia masih
ke kolam menebarkan pakan ikan. Baru sebulan lebih kemudian, seluruh orang kampung melihat Haji
Munawir meraung di sepanjang jalan, menangis, mengumpat dan berdoa.

Setelah kejadian itu, setiap aku bertemu Bido kami saling tersenyum penuh arti. Tetapi lagi-lagi aku
melakukan kesalahan. Saat aku duduk di meja kamarku, ibu melempar kertas yang berisi coretan-
coretan strategi menguras kolam itu. Coretan itu kusimpan di saku tas sekolahku, dan kali itu aku
melemparkan tas itu di bak pakaian kotor. Seperti biasa, sebelum dicuci, ibu selalu memeriksa ulang
adakah sesuatu yang tertinggal di pakaian-pakaian kotor. Kali itu, ibu bukan hanya memandangku
tajam sekali, tetapi ada air yang berlinang di kedua pelupuk matanya.

Setelah aku kuliah dan bekerja, hanya sesekali saja aku bertemu Bido, terutama saat pulang kampung
menjelang Lebaran. Beginilah kisah yang kudengar dan kuamati sepintas, terutama saat aku pulang.

Ketika emak Bido meninggal dunia, Bido menjual tanah dan rumah warisannya, lalu mendirikan
warung kopi di dekat lapangan sepak bola. Ia menyekat warung kopinya menjadi dua, satu ruang
untuk jualan kopi, satu ruang untuk berjudi. Segera warung kopi itu menjadi warung paling ramai di
kampungku. Semua orang datang ke sana, juga para aparat keamanan. Dan beginilah yang khas dari
Bido, ia duduk-duduk di atas lincak yang terletak di depan warungnya, dengan tenang menemui
polisi atau tentara yang datang. Sementara itu, dua pekerja meladeni para pengunjung warung kopi
dan mereka yang sedang berjudi. Saat itu, Bido selalu mengenakan sarung, berkopiah, dan memakai
pakaian Korpri lengan panjang yang sudah mangkak, entah lungsuran dari siapa.

Tidak lama kemudian, di warung Bido tersedia arak. Warung itu semakin ramai saja oleh pembeli dan
para penjudi. Bido tetap seperti biasa, menunggu warung dengan duduk-duduk di depan, tapi saat
itu ia sudah mengganti ’seragamnya’ dengan kaus kepolisian berlengan panjang. Dan satu lagi,
sebuah jam tangan melingkar di pergelangan tangannya. Hanya yang aneh, jam yang dikenakannya
tidak jalan lagi alias mati.

Tak lama kemudian, desas-desus berkecamuk. Seusai reformasi, konon Bido ikut terlibat dalam
pencurian kayu di hutan. Ketika nama-nama yang sering disebut berada di belakang aksi itu
membangun rumah mewah dan membeli mobil, tidak ada yang berubah di diri Bido. Dan saat banyak
pencuri tertangkap, para makelar kayu kehilangan rumah dan mobil mereka, para aparat yang terlibat
dipecat dan dipindah, Bido masih tetap tenang di warung kopinya.

Bido juga disebut-sebut berada di belakang maraknya bisnis judi togel. Tapi ketika orang-orang
penjaga togel berseliweran dengan memakai sepeda motor baru dan memegang telepon genggam,
Bido masih anteng saja, tetap menunggu warung dan duduk tenang di atas lincak. Hanya lagi-lagi
’seragamnya’ yang berubah, ia memakai jaket doreng ala tentara. Saat para penjaga togel lari
ketakutan karena operasi judi besar-besaran terjadi, Bido hanya cukup menutup bilik judinya.

Selentingan terakhir yang kudengar tentang Bido adalah saat ia diduga terlibat mensponsori seorang
calon bupati dalam pemilihan langsung di daerahku. Siapa pun yang tidak mengikuti Bido secara
langsung, mungkin akan menepis tudingan itu, termasuk aku. Bagaimana mungkin seorang yang
hanya memiliki warung kopi dan arak bisa ikut mensponsori pencalonan seorang bupati? Tapi banyak
orang yang bilang, bahwa tandonan uang Bido sejak terlibat pencurian kayu sampai togel
menumpuk, dan semua dipakai untuk urusan pencalonan itu.

Jago Bido kalah. Konon karena kekalahan itulah Bido gampang uring-uringan. Warung kopinya mulai
sepi, dua orang yang membantunya di warung kopi keluar karena tidak tahan diomeli Bido. Warung
kopi Bido semakin sepi ketika bermunculan warung-warung kopi lain yang memadukan antara
warung kopi dengan meja biliar dan playstation. Bido kemudian jatuh sakit lalu meninggal dunia.

Menjelang magrib, ibu menghampiriku. Ia menyorongkan handuk dan kain sarung, sambil berpesan
singkat, “Cepat mandi. Nanti kamu ya yang mimpin tahlilan untuk Bido….”

Aku terkejut. Tapi kemudian aku teringat sesuatu. Bido tidak punya istri dan kerabat. Aku melupakan
rasa terkejutku dan segera bertanya ke ibu, di mana tahlilan akan dilaksanakan?

“Di sini,” jawab ibu singkat. Sepasang mata ibu menatapku, tapi kali ini tidak tajam lagi….

About these ads

Anda mungkin juga menyukai