Anda di halaman 1dari 60

RL Stine:

Piano Hantu
(Goosebumps # 13)

Scan, format dan teks Inggris oleh Undead.


Terjemah oleh Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Senin, 04 Oktober 2013

Kupikir aku akan membenci pindah ke rumah baru. Tapi sebenarnya, aku
senang.
Aku memainkan suatu lelucon yang cukup buruk pada Ibu dan Ayah.
Sementara mereka sedang sibuk di ruang depan menunjukkan pada para pekerja
pindahan di mana harus menempatkan barang-barang, aku pergi menjelajah.
Aku menemukan sebuah ruangan yang benar-benar sangat bagus di sisi ruang
makan.
Ruangan itu memiliki jendela-jendela besar pada dua sisinya yang menghadap
ke halaman belakang. Sinar matahari mengalir ke dalam, membuat ruangan itu
lebih terang dan lebih ceria daripada (ruangan-ruangan) lain rumah tua itu.
Ruangan itu akan menjadi ruang keluarga baru kami. Kau tahu, dengan TV dan
pemutar CD, dan mungkin meja ping-pong dan semacamnya. Tapi sekarang
ruangan itu benar-benar kosong.
Kecuali dua bola debu abu-abu di salah satu sudut, yang memberikanku ide.
Tertawa pada diriku sendiri, aku membungkuk dan membentuk dua bola debu
itu dengan tanganku. Lalu aku mulai berteriak dengan suara benar-benar panik:
"Tikus! Tikus! Tolong! Tikus!"
Ibu dan Ayah datang mendadak ke ruangan itu pada waktu bersamaan. Mulut
mereka hampir-hampir jatuh ke lantai (maksudnya: kaget sekali) saat mereka
melihat dua tikus debu abu-abu itu.
Aku terus berteriak, "Tikus! Tikus!" Aku pura-pura takut pada mereka.
Berusaha keras berwajah bersungguh-sungguh.
Ibu hanya berdiri di ambang pintu, mulutnya melongo. Aku benar-benar
berpikir dia akan menjatuhkan giginya!
Ayah selalu lebih panik dari Ibu. Dia mengambil sapu yang bersandar di
dinding, berlari melintasi ruangan, dan mulai memukul, tikus debu malang itu
tak berdaya dengannya.
Pada saat itulah, aku tertawa, kepalaku tertunduk.
Ayah menatap gumpalan debu yang menempel di ujung sapu, dan akhirnya ia
menangkap lelucon itu. Wajahnya benar-benar memerah, dan kupikir matanya
akan meletup keluar dari balik kacamatanya.
"Sangat lucu, Jerome," kata Ibu dengan tenang, memutar matanya. Semua orang
memanggilku Jerry, tapi dia memanggilku Jerome saat ia kesal denganku.
"Ayahmu dan aku pasti menghargai kau menakut-nakuti kami setengah mati
ketika kami berdua sangat gugup, terlalu banyak bekerja dan berusaha untuk
bisa pindah ke rumah ini"
Ibu selalu benar-benar sinis seperti itu. Kupikir mungkin aku mendapatkan rasa
humorku darinya.
Ayah cuma menggaruk bagian botak di bagian belakang kepalanya. "Mereka
benar-benar tampak seperti tikus," gumamnya. Dia tak marah. Dia terbiasa
dengan leluconku. Mereka berdua.
"Mengapa kau tak bisa bertindak sesuai umurmu?" Tanya Ibu, sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku sudah!" Aku bersikeras. Maksudku, aku dua belas tahun. Jadi aku
bertindak seseuai umurku. Jika kau tak bisa bermain lelucon dengan orang
tuamu dan mencoba untuk bersenang-senang sedikit di umur dua belas tahun,
kapan kau bisa?
"Jangan seperti orang pintar," kata Ayah, memandangku tegas. "Ada banyak
pekerjaan yang harus dilakukan di sini, kau tahu, Jerry. Kau bisa membantu.."
Dia menyodokkan sapu ke arahku.
Aku mengangkat kedua tangan seolah-olah melindungi diri dari bahaya, dan
mundur. "Yah, kau tahu aku alergi!" teriakku.
"Alergi pada debu?" tanyanya.
"Tidak. Alergi bekerja!"
Aku harap mereka tertawa, tapi mereka hanya menghambur keluar dari ruangan,
bergumam sendiri.
"Kau setidaknya bisa mengawasi Bonkers," seru Ibu kembali kepadaku.
"Jauhkan dia dari para pekerja pindahan."
"Ya. Tentu," aku balas. Bonkers adalah kucing kami, dan tak mungkin aku
dapat menjaga Bonkers dari berbuat sesuatu!
Biarkan aku mengatakan kebenarannya bahwa Bonkers bukan anggota favoritku
dari keluarga kami. Bahkan, aku berusaha menjauh dari Bonkers selama yang
aku bisa.
Tak seorang pun yang menjelaskan kepada kucing bodoh itu bahwa dia
seharusnya binatang peliharaan. Sebaliknya, kupikir Bonkers percaya dia itu
harimau liar pemakan manusia. Atau mungkin kelelawar vampir.
Tipuan favoritnya adalah naik di bagian belakang kursi atau rak yang tinggi -
dan kemudian melompat dengan cakar-cakarnya yang keluar ke bahumu. Aku
tak bisa memberitahumu berapa banyak kaos bagus yang telah dicabik-cabik
oleh tipuannya ini. Atau berapa banyak darahku yang hilang.
Kucing keji - benar-benar terbiasa kejam.
Tubuhnya hitam semua kecuali lingkaran putih di dahinya dan satu mata. Ibu
dan Ayah berpikir dia benar-benar sangat bagus. Mereka selalu mengangkatnya,
menimangnya, dan mengatakan padanya betapa manisnya dia. Bonkers
biasanya menggaruk mereka dan membuat mereka berdarah. Tapi mereka tak
pernah belajar.
Ketika kami pindah ke rumah baru ini, kuharap mungkin Bonkers akan
ditinggal. Tapi, tak mungkin. Ibu memastikan bahwa Bonkers berada di dalam
mobil yang pertama kali, tepat di sampingku.
Dan tentu saja kucing bodoh itu muntah di kursi belakang.
Siapa yang pernah mendengar tentang kucing yang mabuk darat?
Dia melakukannya dengan sengaja karena dia mengerikan dan kejam.
Bagaimana pun, aku mengabaikan permintaan Ibu untuk tetap mengawasinya.
Bahkan, aku bergerak pelan-pelan ke dapur dan membuka pintu belakang,
berharap mungkin Bonkers akan lari dan tersesat.
Lalu aku meneruskan penjelajahanku.
Rumah kami yang lain kecil tapi baru. Rumah ini sudah tua. Papan-papan
lantainya berderit. Jendela-jendela berderak. Rumah itu tampak mengerang saat
kau berjalan melewatinya.
Tapi rumah ini benar-benar besar. Aku menemukan segala macam, kamar-
kamar kecil dan lemari-lemari yang dalam. Salah satu lemari di lantai atas sama
besarnya dengan tempat tidur lamaku!
Kamar baruku berada di ujung lorong di lantai dua. Ada tiga kamar lainnya dan
kamar mandi di sana. Aku bertanya-tanya apa yang Ibu dan Ayah rencanakan
dengan semua kamar itu.
Aku memutuskan untuk mengusulkan bahwa salah satu darinya dibuat menjadi
ruang Nintendo. Kita bisa menempatkan TV layar lebar di sana untuk bermain
game. Ini akan benar-benar bagus.
Saat aku membuat rencana untuk ruang permainan video baruku, aku mulai
merasa sedikit terhibur. Maksudku, tidaklah mudah untuk pindah ke rumah baru
di sebuah kota baru.
Aku bukan tipe anak yang sering menangis. Tapi aku harus mengakui bahwa
aku merasa sepertinya sering menangis ketika kami pindah dari Cedarville.
Terutama saat aku harus mengucapkan selamat tinggal kepada teman-temanku.
Terutama Sean. Sean adalah lelaki yang hebat. Ibu dan Ayah tak terlalu
menyukainya karena dia agak berisik dan dia suka bersendawa dengan benar-
benar keras. Tapi, Sean adalah teman terbaikku.
Maksudku, dia dulu teman terbaikku.
Aku tak punya teman di sini di New Gosyen.
Ibu berkata Sean bisa datang tinggal bersama kami selama beberapa minggu
musim panas ini. Ibu benar-benar baik sekali, terutama karena dia begitu
membenci sendawa Sean.
Tapi itu tidak benar-benar menghiburku.
Menjelajahi rumah baru membuatku merasa sedikit lebih baik. Ruang
berikutnya bagiku bisa jadi ruang olahraga, aku memutuskan. Kami akan
membawa semua mesin-mesin latihan yang tampaknya bagus yang mereka
tunjukkan di TV.
Para pekerja pindahan itU mengangkut barang-barang ke kamarku, jadi aku tak
bisa masuk ke sana. Aku membuka pintu untuk apa yang kupikir lemari. Tapi
aku terkejut, lalu melihat sebuah tangga kayu yang sempit. Aku menduga itu
mengarah ke loteng.
Loteng!
Aku tak pernah memiliki loteng sebelumnya. Aku berani bertaruh loteng itu
penuh dengan segala macam barang-barang lama yang hebat, pikirku gembira.
Mungkin orang-orang yang dulu tinggal di sini meninggalkan koleksi komik
buku tua mereka di sana - dan itu bernilai jutaan!
Aku sudah setengah menaiki tangga ketika aku mendengar suara Ayah di
belakangku. "Jerry, kau mau pergi ke mana ?"
"Naik," jawabku. Itu cukup jelas.
"Kau benar-benar tak seharusnya pergi ke sana sendirian," ia memperingatkan.
"Mengapa tidak? Apa ada hantu di atas sini atau sesuatu?" tanyaku.
Aku bisa mendengar langkah kaki yang berat di tangga kayu. Dia mengikutiku.
"Di sini panas," gumamnya, menyesuaikan kacamata di hidungnya. "Sangat
pengap."
Dia menarik-narik rantai yang tergantung dari langit-langit, dan lampu menyala,
memberikan cahaya kuning pucat di atas kami.
Aku melirik cepat berkeliling. Itu adalah suatu kamar yang panjang dan rendah,
langit-langit miring ke bawah pada kedua sisi bawah atap. Aku tidak terlalu
tinggi, tapi aku mengulurkan tangan ke atas dan menyentuh langit-langitnya.
Ada jendela-jendela bundar kecil di kedua ujungnya. Tapi tertutup debu dan tak
membiarkan banyak cahaya masuk.
"Kosong," gumamku, sangat kecewa.
"Kita dapat menyimpan banyak sampah di sini," kata Ayah, melihat ke
sekeliling.
"Hei - apa itu?" Aku melihat sesuatu di dinding jauh dan mulai berjalan cepat ke
arah itu. Papan lantai berderit dan berkeriat-keriut di bawah sepatuku.
Aku melihat selimut abu-abu menutupi sesuatu yang besar.
Mungkin itu semacam peti harta karun, pikirku.
Tak ada yang pernah menuduh aku tak punya imajinasi yang baik.
Ayah berada tepat di belakang saat aku meraih selimut berat dengan kedua
tangan dan menariknya menjauh.
Dan menatap piano hitam mengkilap.
"Wow," gumam Ayah, menggaruk-garuk botaknya, menatap piano itu dengan
terkejut. "Wow. Wow. Mengapa mereka pergi meninggalkan ini?"
Aku mengangkat bahu. "Ini terlihat seperti baru," kataku.
Aku menekan beberapa tuts dengan jari telunjukku. "Kedengarannya bagus."
Ayah menekan beberapa tuts juga.
"Ini benar-benar piano yang bagus," katanya, menggosok tangannya dengan
lembut di atas keyboard. "Aku ingin tahu apa yang dilakukannya tersembunyi di
sini di loteng seperti ini...."
"Ini misteri," aku setuju.
Aku tidak tahu seberapa besar misteri itu sebenarnya.

***

Aku tak bisa tidur malam itu. Maksudku, tidak mungkin.


Aku berada di tempat tidur tuaku yang bagus dari rumah lama kami. Tapi
menghadap ke arah yang salah. Menghadap ke dinding yang berbeda. Dan
lampu dari teras belakang tetangga itu bersinar melalui jendela. Jendela itu
berderak-derak karena angin. Dan semua bayangan-bayangan mengerikan itu
bergerak bolak-balik melintasi langit-langit.
Aku tak akan pernah bisa tidur di kamar baru ini, aku menyadari.
Ini terlalu berbeda. Terlalu menyeramkan. Terlalu besar.
Aku akan terjaga selama sisa hidupku!
Aku cuma berbaring di sana, mata terbuka lebar, menatap bayangan-bayangan
yang aneh.
Aku baru saja mulai santai dan terlena tidur ketika aku mendengar musik.
Musik piano.
Pada mulanya, kupikir itu datang dari luar. Tapi aku segera menyadari itu
datang dari atasku. Dari loteng!
Aku duduk tegak dan mendengarkan. Ya. Semacam musik klasik. Tepat di atas
kepalaku.
Aku menyentakkan selimut dan menurunkan kakiku ke lantai.
Siapa yang ada di loteng bermain piano di tengah malam? Aku bertanya-tanya.
Tidak mungkin Ayah. Dia tak bisa memainkan not (tangga nada). Dan Ibu
hanya bisa bermain "Chopstick," dan tidak cukup baik.
(chopstik: melodi yang mudah dan sederhana untuk dipelajari dan dimainkan)

Mungkin itu Bonkers, aku berkata pada diriku sendiri.


Aku berdiri dan mendengarkan. Musik itu berlanjut. Sangat pelan. Tapi aku bisa
mendengarnya dengan jelas. Setiap not-nya.
Aku mulai berjalan ke pintu dan jari kakiku tersandung karton yang belum
dibongkar. "Aduh!" jeritku, meraih kakiku dan melompat-lompat sampai rasa
sakit itu berkurang.
Ibu dan Ayah tak bisa mendengar, aku tahu. Kamar tidur mereka di lantai
bawah.
Aku menahan napas dan mendengarkan. Aku masih bisa mendengar musik
piano di atas kepalaku.
Berjalan perlahan-lahan, hati-hati, aku melangkah keluar dari kamarku dan ke
lorong. Papan-papan lantai berderit di bawah kaki telanjangku. Lantainya terasa
dingin.
Aku membuka pintu loteng dan bersandar ke dalam kegelapan.
Musik itu melayang turun. Itu adalah musik sedih, sangat lambat, sangat pelan.
"Siapa - siapa - yang di atas sana?" Aku tergagap.

Musik sedih itu berlanjut, melayang menuruni tangga sempit dan gelap padaku.
"Siapa di sana?" ulangku, suaraku sedikit gemetar.
Sekali lagi, tak ada jawaban.
Aku mencondongkan tubuh ke dalam kegelapan, mengintip ke arah loteng.
"Ibu, kau kah itu? Ayah?"
Tak ada jawaban. Melodi itu begitu menyedihkan, begitu lambat.
Bahkan sebelum aku menyadari apa yang kulakukan, aku menaiki tangga.
Tangga itu mengerang keras di bawah kaki telanjangku.
Udara terasa panas dan pengap saat aku tiba di puncak tangga dan melangkah ke
loteng yang gelap.
Musik piano itu mengelilingiku sekarang. Not-not tampaknya datang dari segala
arah sekaligus.
"Siapa itu?" tuntutku dengan suara melengking bernada tinggi. Kurasa aku
sedikit takut. "Siapa di sana?"
Sesuatu mengusap wajahku, dan aku kaget sekali.
Aku butuh waktu lama gemetar untuk menyadari bahwa itu rantai lampu.
Aku menariknya. Lampu kuning pucat menyebar di ruangan panjang dan sempit
itu.
Musiknya berhenti.
"Siapa di sana?" panggilku, memicingkan mata ke arah piano di dinding jauh.
Tak ada.
Tak ada orang di sana. Tak ada seorang pun yang duduk di depan piano.
Sunyi.
Kecuali deritan papan lantai di bawah kakiku ketika aku berjalan ke piano itu.
Aku menatapnya, menatap tuts-tuts piano.
Aku tak tahu apa yang aku harapkan untuk dilihat. Maksudku, seseorang yang
bermain piano. Seseorang telah memainkannya persis sesaat sampai lampu
menyala. Ke mana perginya?
Aku merunduk ke bawah dan mencari di bawah piano.
Aku tahu itu bodoh, tapi aku tak berpikir jernih. Jantungku berdebar sangat
keras, dan segala macam pikiran gila berputar melalui otakku.
Aku membungkuk dan memeriksa papan tuts piano. Kupikir mungkin ini adalah
salah satu piano kuno yang bermain sendiri. Seorang pemain piano. Kau tahu,
seperti yang kadang-kadang kau lihat di film kartun.
Tapi ini tampaknya seperti sebuah piano biasa. Aku tak melihat sesuatu yang
khusus padanya.
Aku duduk di bangku.
Dan melompat.
Bangku piano itu hangat! Seperti jika seseorang baru saja duduk di atasnya!
"Wah!" teriakku keras-keras, menatap bangku mengkilap hitam itu.
Aku mengulurkan tangan dan merasakannya. Ini benar-benar hangat.
Tapi aku mengingatkan diriku sendiri seluruh loteng benar-benar hangat, lebih
hangat dari bagian lain rumah. Panas tampaknya mengapung di sini dan
menetap.
Aku kembali duduk dan menunggu untuk hatiku yang berpacu untuk kembali
normal.
Apa yang terjadi di sini? Aku bertanya pada diriku, berbalik untuk menatap
piano itu. Kayu hitam itu dipelitur begitu bagus, aku bisa melihat pantulan
wajahku menatap ke arahku.
Bayanganku terlihat sangat ketakutan.
Aku menunduk ke papan tuts dan lalu menekan pelan beberapa not.
Seseorang telah memainkan piano ini beberapa saat yang lalu, aku tahu.
Tapi bagaimana dia bisa menghilang ke udara tipis ini tanpa kulihat?
Aku memetik not lain, lalu not lainnya. Suaranya menggema melalui ruangan
panjang dan kosong itu.
Lalu aku mendengar deritan keras. Dari bawah tangga.
Aku membeku, tanganku masih di tuts piano.
Deritan lain. Langkah kaki.
Aku berdiri, terkejut, kakiku gemetaran.
Aku mendengarkan. Aku benar-benar mendengarkan, aku bisa mendengar udara
bergerak.
Langkah lain. Lebih keras. Lebih dekat.
Seseorang berada di tangga. Seseorang memanjat ke loteng.
Seseorang mendatangiku.
3

Berderit. Berderit.
Tangga itu menunjukkan jalan di bawah langkah-langkah yang berat.
Napasku tercekat di tenggorokan. Aku merasa seolah-olah aku akan mati lemas.
Membeku di depan piano, aku mencari tempat untuk bersembunyi. Tapi tentu
saja tak ada.
Berderit. Berderit.
Dan lalu, saat aku menatap ketakutan, satu kepala menjulur di atas tangga.
"Ayah!" teriakku.
"Jerry, apa yang kau lakukan di sini?" Dia melangkah ke cahaya kuning pucat.
Rambut cokelat tipisnya berdiri di seluruh kepalanya. Celana piyama-nya
tergulung. Satu kakinya digulung sampai lutut. Ia memicingkan mata padaku. Ia
tak memakai kacamatanya.
"Yah - aku - aku pikir -" Aku tergagap. Aku tahu aku terdengar seperti orang
tolol. Tapi yang benar saja - aku ketakutan!
"Apakah kau tahu jam berapa ini?" tuntut Ayah dengan marah. Ia melirik
pergelangan tangannya, tapi ia tak memakai arlojinya. "Ini tengah malam,
Jerry!"
"Aku - aku tahu, Yah," kataku, mulai merasa sedikit lebih baik. Aku
menghampirinya. "Aku mendengar musik piano. Dan kupikir -"
"Kau apa?" Matanya yang gelap melebar. Mulutnya ternganga. "Kau dengar
apa?"
"Musik piano," ulangku. " Di atas sini. Jadi aku naik ke lantai atas untuk
memeriksanya, dan -"
"Jerry!" Ayah meledak. Wajahnya menjadi benar-benar merah. "Sudah
terlambat untuk lelucon bodohmu itu!"
"Tapi, Ayah -" Aku mulai protes.
"Ibumu dan aku mati-matian membongkar dan memindahkan perabotan
sepanjang hari," kata Ayah, mengeluh letih. "Kami berdua lelah, Jerry. Aku tak
perlu memberitahumu bahwa aku sedang tidak kepingin untuk lelucon. Aku
harus bebekerja besok pagi. Aku butuh tidur."
"Maaf, Ayah," kataku pelan.
Aku bisa lihat tak mungkin aku akan membuatnya percaya padaku tentang
musik piano.
"Aku tahu kau senang berada di rumah baru," kata Ayah, meletakkan tangan di
bahu kemeja piyamaku. "Tapi, ayolah Kembali ke kamarmu. Kau perlu tidur,
juga."
Aku menoleh ke belakang di piano. Piano gelap itu berkilauan dalam cahaya
kuning pucat. Seolah-olah bernapas. Seolah-olah hidup.
Aku membayangkannya bergemuruh ke arahku, mengejarku ke tangga.
Gila, pikiran aneh. Kurasa aku lebih lelah daripada yang kupikir!
"Apa kau ingin belajar memainkannya?" Ayah tiba-tiba bertanya.
"Hah?" Pertanyaannya mengejutkanku.
"Apakah kau ingin les piano? Kita bisa membawa piano itu ke bawah. Ada
ruangan untuknya di ruang keluarga."
"Yah.. Mungkin," Jawabku. "Ya. Itu mungkin bagus."
Dia mengangkat tangannya dari bahuku. Kemudian dia meluruskan piyama dan
mulai menuruni tangga. "Aku akan membicarakan hal ini dengan ibumu,"
katanya. "Aku yakin dia akan senang. Dia selalu ingin seseorang jadi pemain
musik dalam keluarga ini. Tarik rantai lampunya, oke?"
Dengan patuh, aku mengulurkan tangan dan mematikan lampu. Kegelapan tiba-
tiba yang begitu hitam, mengejutkanku. Aku tinggal dekat di belakang ayahku
saat kami berjalan menuruni tangga yang berderit.
Lalu di tempat tidurku, aku menarik selimut sampai ke daguku. Agak dingin di
kamarku. Di luar, angin musim dingin berhembus keras. Jendela kamar tidur
berderak dan bergetar, seolah-olah menggigil.
Les piano mungkin menyenangkan, pikirku. Jika mereka membiarkan aku
belajar bermain piano rock, bukan musik-musik klasik membosankan yang
emosional itu.
Setelah beberapa pelajaran, mungkin aku bisa synthisezer (musik gabungan).
Bisa dua atau tiga papan tuts yang berbeda. Menghubungkannya ke komputer.
Lalu aku bisa membuat beberapa komposisi (lagu). Mungkin bersama-sama
membuat grup.
Ya. Ini bisa benar-benar sangat baik.
Aku memejamkan mata.
Jendela berderak-derak lagi. Rumah tua ini tampak mengerang.
Aku akan terbiasa suara-suara ini, aku berkata pada diriku sendiri. Aku akan
terbiasa dengan rumah tua ini. Setelah beberapa malam, aku bahkan tak akan
mendengar suara-suara.
Aku baru saja akan tertidur ketika aku mendengar musik piano lembut yang
sedih itu mulai lagi.

Senin pagi, aku bangun sangat pagi. Jam kucingku dengan ekor dan mata yang
begerak-gerak belum dibongkar. Tapi aku bisa tahu itu pagi karena cahaya abu-
abu pucat masuk melalui jendela kamarku.
Aku cepat berpakaian, menarik sepasang jins pudar bersih dan kemeja berwarna
hijau tua yang tak terlalu berkerut. Itu adalah hari pertamaku di sekolah baruku,
jadi aku sangat bersemangat.
Aku menghabiskan lebih banyak waktu pada rambutku daripada yang biasa
kulakukan. Rambutku berwarna cokelat, tebal dan liat, dan aku butuh waktu
lama untuk mengaturnya rapi dan membuat posisinya rata, cara yang kusukai.
Ketika akhirnya aku selesai, aku berjalan menyusuri lorong menuju tangga
depan. Rumah itu tetap sunyi dan gelap.
Aku berhenti di luar pintu loteng. Pintu itu terbuka lebar.
Bukankah aku menutupnya ketika aku turun dengan ayahku?
Ya. Aku ingat menutupnya erat-erat. Dan sekarang, inilah dia, terbuka lebar.
Aku merasakan hawa dingin yang dingin di bagian belakang leherku. Aku
menutup pintu, mendengarkan suara klik.
Jerry, tenang saja, aku memperingatkan diriku sendiri. Mungkin kancingnya
longgar. Mungkin pintu loteng selalu terayun terbuka. Ini rumah tua, ingat?
Aku sudah berpikir tentang musik piano. Mungkin itu tiupan angin melalui
senar piano, aku berkata pada diriku sendiri.
Mungkin ada lubang atau sesuatu di jendela loteng. Dan angin bertiup dan
membuatnya terdengar seolah-olah sedang bermain piano.
Aku ingin percaya itu bahwa angin yang membuat bahwa musik lambat sedih
itu. Aku ingin mempercayainya, jadi aku percaya.
Aku memeriksa pintu loteng sekali lagi, memastikannya terkunci, lalu menuju
ke dapur.
Ibu dan Ayah masih di kamar mereka. Aku bisa mendengar mereka berpakaian.
Dapur itu gelap dan sedikit dingin. Aku ingin menyalakan tungku perapian, tapi
aku tak tahu di mana alat pengatur panas itu.
Tidak semua barang dapur kami telah dibongkar. Kardus-kardus masih
ditumpuk di dinding, penuh dengan gelas dan piring dan barang-barang.
Aku mendengar seseorang datang di lorong.
Sebuah kardus besar kosong di samping kulkas memberiku ide. Tertawa-tawa
sendiri, aku melompat di dalamnya dan menarik tutupnya di atasku.
Aku menahan napas dan menunggu.
Langkah kaki di dapur. Aku tak tahu apa itu Ibu atau Ayah.
Jantungku berdebar-debar. Aku terus menahan napas. Jika aku tak menahannya,
aku tahu aku akan tertawa terbahak-bahak.
Langkah-langkah kaki itu berjalan melewati kardusku ke wastafel (bak cuci
piring). Aku mendengar air mengalir. Siapa pun itu dia sedang mengisi ceret.
Langkah-langkah kaki itu menuju ke kompor listrik.
Aku tak bisa menunggu lagi.
"KEJUTAN!" Aku menjerit dan melompat berdiri dalam kardus.
Ayah menjerit terkejut dan menjatuhkan ceret. Ceret itu mendarat di kakinya
dengan suara keras, lalu miring ke samping di lantai.
Air menggenang di sekitar kaki Ayah. Ceret itu bergulir ke arah kompor listrik.
Ayah melolong dan memegang kakinya yang terluka dan melompat-lompat.
Aku tertawa seperti orang gila! Kau harus melihat ekspresi wajah Ayah saat aku
melompat dari kardus. Aku benar-benar berpikir dia akan menjatuhkan giginya!
Ibu mendadak masuk ke dalam ruangan, masih mengancingkan manset lengan
bajunya. "Apa yang terjadi di sini?" teriaknya.
"Cuma Jerry dan lelucon konyolnya," gerutu Ayah.
"Jerome!" teriak Ibu, melihat semua air tumpah di lantai linoleum. "Yang benar
saja."
"Cuma coba membantu membangunkan kalian," kataku, sambil nyengir.
Mereka banyak mengeluh, tapi mereka terbiasa merasakan humor sintingku.

***

Aku mendengar musik piano lagi malam itu.


Itu pasti bukan angin. Aku mengenali melodi yang menyedihkan yang sama.
Aku mendengarkan selama beberapa saat. Itu datang tepat dari atas kamarku.
Siapa di sana? Siapa yang bermain? Aku bertanya pada diriku sendiri.
Aku mulai keluar dari tempat tidur dan menyelidiki. Tapi kamarku dingin, dan
aku benar-benar lelah karena hari pertamaku di sekolah baru.
Jadi aku menarik selimut untuk menutupi kepalaku untuk meredam musik piano
itu, dan dengan cepat jatuh tertidur.

***

"Apa Ibu dengar musik piano tadi malam?" tanyaku pada ibuku.
"Makan cornflake(jonjot jagung)-mu," jawabnya. Dia mengencangkan sabuk
jubah mandi dan mencondongkan tubuhnya ke arahku atas meja dapur.
"Mengapa aku harus dapat cornflake?" Aku menggerutu, menggerakkan sendok
di dalam mangkuk.
"Kau tahu aturannya," katanya, mengerutkan kening. "Sereal sampah hanya di
akhir pekan."
"Aturan bodoh," gumamku. "Kupikir cornflake adalah sereal sampah."
"Jangan beri aku waktu yang sulit," keluh Ibu, menggosok pelipisnya. "Aku
sakit kepala pagi ini."
"Karena bermain piano tadi malam?" tanyaku.
"Bermain piano apa?" tanyanya kesal. "Mengapa kau terus berbicara tentang
bermain piano?"
"Apa Ibu tak mendengarnya? Piano di loteng? Seseorang memainkannya tadi
malam."
Dia melompat berdiri. "Oh, Jerry, tolonglah. Tak ada lelucon pagi ini, oke? Aku
katakan padamu aku sakit kepala."
"Apa aku mendengar kalian bicara tentang piano?" Ayah masuk ke dapur,
membawa koran pagi. "Orang-orang datang sore ini untuk membawanya ke
ruang keluarga." Dia tersenyum padaku. "Lenturkan jari-jari itu, Jerry."
Ibu harus berjalan ke meja untuk menuang secangkir kopi. "Apa kau benar-
benar tertarik pada piano itu?" tanyanya, menatapku ragu-ragu. "Apa kau benar-
benar akan berlatih dan melakukannya?"
"Tentu saja," jawabku. "Mungkin."

***

Dua tukang memindahkan piano di sana saat aku pulang dari sekolah. Mereka
tak terlalu besar, tapi mereka kuat.
Aku naik ke loteng dan mengamati mereka sementara Ibu menarik kardus-
kardus keluar dari ruang keluarga untuk membuat tempat untuk piano itu.
Kedua pria itu menggunakan tali dan sejenis kerekan khusus. Mereka
memiringkan piano ke samping, kemudian mengangkatnya ke kerekan.
Menurunkannya menuruni tangga yang sempit benar-benar sulit. Piano itu
menabrak dinding beberapa kali, walaupun mereka bergerak perlahan dan hati-
hati.
Kedua wajah tukang itu benar-benar merah dan berkeringat pada saat mereka
berhasil membawa piano itu di lantai bawah. Aku mengikuti mereka saat
mereka meluncur melintasi ruang tamu, lalu melalui ruang makan.
Ibu keluar dari dapur, tangannya masuk ke saku celana jeans, dan mengamati
dari ambang pintu saat mereka menggulung kerekan itu dengan piano ke ruang
keluarga.
Para pria menegangkannya untuk memiringkan piano itu tepat ke sisi atas. Kayu
berplitur hitam benar-benar bersinar di bawah sinar matahari sore yang cerah
melalui jendela ruang keluarga.
Lalu, saat mereka mulai menurunkan piano ke lantai, Ibu membuka mulutnya
dan mulai menjerit.

"Kucing itu! Kucing itu!" jerit Ibu, wajahnya berkerut ketakutan.


Benar saja, Bonkers sedang berdiri tepat di tempat di mana mereka menurunkan
piano.
Piano berat itu berdebam ke lantai. Bonkers berlari keluar dari bawahnya tepat
pada waktunya.
Sayang sekali! pikirku, menggelengkan kepala. Kucing bodoh itu hampir
mendapatkan apa yang pantas baginya.
Orang-orang itu meminta maaf saat mereka terengah-engah, menyeka dahi
mereka dengan syal merah-putih mereka.
Ibu berlari ke Bonkers dan mengangkatnya. "Kucing kecilku yang malang."
Tentu saja Bonkers mengayunkan pukulan ke lengan Ibu, cakarnya merobek
keluar beberapa benang di lengan sweater. Ibu menurunkannya ke lantai, dan
makhluk itu meluncur cepat keluar dari ruangan.
"Dia sedikit panik berada di rumah baru," kata Ibu kepada dua pekerja itu.
"Dia selalu bertindak seperti itu," kataku pada mereka.
Beberapa menit kemudian, para tukang pindah itu pergi. Ibu berada di
kamarnya, berusaha untuk memperbaiki sweternya. Dan aku sendirian di ruang
keluarga dengan pianoku.
Aku duduk di bangku dan meluncur bolak-balik di atasnya. Bangku itu
mengkilat dan halus. Benar-benar licin.
Aku merencanakan aksi komedi yang benar-benar lucu di mana aku duduk
untuk memainkan piano untuk Ibu dan Ayah, hanya saja bangku sangat licin,
aku terus tergelincir jatuh ke lantai.
Aku hampir tergelincir dan jatuh untuk sementara waktu. Aku bersenang-
senang.
Jatuh adalah salah satu hobiku. Hal itu tak semudah seperti yang terlihat.
Setelah beberapa saat, aku lelah terjatuh. Aku hanya duduk di bangku dan
menatap tuts. Aku mencoba memilih sebuah lagu, menekan not-not sampai aku
menemukan yang tepat.
Aku jadi mulai bersemangat tentang belajar bermain piano.
Aku bayangkan itu akan menyenangkan.
Aku salah. Sangat salah.

***

Sabtu siang, aku berdiri menatap ke luar jendela ruang tamu. Ini adalah hari
mendung berangin. Tampaknya seperti akan turun salju.
Aku melihat guru piano itu berjalan di jalanan masuk. Dia tepat waktu. Jam dua.
Menekan wajahku ke jendela, aku bisa melihat bahwa ia besar, agak gendut. Dia
memakai mantel merah panjang menggembung dan berambut putih lebat. Dari
jarak ini, ia tampak kelihatan seperti Santa Claus.
Dia berjalan sangat kaku, seolah-olah lututnya tidak sehat. Radang sendi atau
semacamnya, tebakku.
Ayah menemukan namanya di sebuah iklan kecil di bagian belakang surat kabar
New Gosyen. Dia menunjukkan kepadaku. Dikatakan:
SEKOLAH SHREEK
Metode baru berlatih piano
Karena itu satu-satunya iklan yang ada di koran untuk guru piano, Ayah
menelponnya.
Dan sekarang, Ibu dan Ayah menyambut guru itu di pintu dan mengambil jaket
tebal merahnya.
"Jerry, ini adalah Dr Shreek," kata Ayah, memberi tanda kepadaku untuk
meninggalkan tempatku di jendela.
Dr Shreek tersenyum padaku. "Halo, Jerry."
Dia benar-benar tampak seperti Santa Claus, kecuali dia punya kumis putih,
bukan jenggot. Pipinya merah bulat, senyumnya ramah, dan matanya yang biru
agak berkedip-kedip saat dia menyapaku.
Dia memakai kemeja putih yang tak dimasukkan sekitar perutnya yang besar,
dan celana longgar abu-abu.
Aku melangkah maju dan menjabat tangannya. Tangannya merah dan agak
seperti sepon.
"Senang bertemu Anda, Dr Shreek," kataku sopan.
Ibu dan Ayah saling nyengir. Mereka tak pernah bisa percaya saat aku sopan!
Dr Shreek meletakkan tangan seponnya di atas bahuku. "Aku tahu aku punya
nama yang lucu," katanya, tertawa. "Aku mungkin harus mengubahnya. Tapi,
harus harus akui, itu benar-benar menarik perhatian!."
Kami semua tertawa.
Ekspresi Dr Shreek berubah serius. "Apa kau pernah memainkan alat musik
sebelumnya, Jerry?"
Aku berpikir keras. "Yah, aku punya kazoo sekali!"
(kazoo: mainan alat musik tiup, yang ada membran yang menghasilkan suara
saat kau berdendang ke bagian mulutnya)

Semua orang tertawa lagi.


"Piano sedikit lebih sulit daripada kazoo," kata Dr Shreek, masih tergelak.
"Biarkan aku melihat pianomu."
Aku menuntunnya melewati ruang makan dan masuk ke ruang keluarga. Dia
berjalan dengan kaku, tapi tampaknya tidak menghambatnya.
Ibu dan Ayah minta diri dan menghilang ke lantai atas untuk membongkar
(barang-barang) lagi.
Dr Shreek mempelajari tuts piano itu. Lalu ia mengangkat bagian belakangnya
dan memeriksa senar-senar dengan matanya. "Alat musik yang sangat bagus,"
gumamnya. "Sangat bagus."
"Kami menemukan di sini," kataku padanya.
Mulutnya melongo agak terkejut. "Kalian menemukannya?"
"Di loteng. Seseorang benar-benar meninggalkannya di sana," kataku.
"Aneh," jawabnya, menggosok dagunya yang tembam. Dia merapikan kumis
putih sambil menatap tuts.
"Apa kau tak tahu siapa yang memainkan piano ini sebelum dirimu?" ia
bertanya lirih. "Tidakkah kau bertanya-tanya jari-jari siapa yang menyentuh
tombol-tombol ini?"
"Yah..." Aku benar-benar tak tahu harus berkata apa.
"Misterius sekali," katanya berbisik. Lalu ia memberi isyarat padaku untuk
duduk di bangku piano.
Aku tergoda untuk melakukan komediku dan tergelincir tepat ke lantai. Tapi
kuputuskan aku akan menyimpannya saat aku mengenalnya lebih baik.
Dia tampak seperti semacam pria periang yang baik. Tapi aku tak ingin dia
berpikir aku tak serius untuk belajar bermain piano.
Dia duduk di sampingku di bangku. Dia begitu lebar, hampir tak ada ruang
untuk kami berdua.
"Apakah Anda akan memberikan les saya di sini, di rumah setiap minggu?"
tanyaku, bergeser sejauh yang aku bisa untuk membuat ruang.
"Aku akan memberimu les di rumah pertama kalinya," jawabnya, mata birunya
berbinar padaku. "Lalu, jika kau menunjukkan bakat, Jerry, kau bisa datang ke
sekolahku."
Aku mulai mengatakan sesuatu, tapi ia meraih tanganku.
"Biar kulihat," katanya sambil mengangkat tanganku ke dekat wajahnya. Ia
membaliknya dan mempelajari kedua belah sisinya. Kemudian dia dengan hati-
hati memeriksa jari-jariku.
"Tangan yang indah !" serunya terengah-engah. "Tangan yang bagus sekali!"
Aku menunduk menatap tanganku. Tanganku tak terlihat seperti sesuatu yang
istimewa bagiku. Tangan yang normal.
"Tangan bagus," ulang Dr. Shreek. Dia menempatkan tanganku dengan hati-hati
di tuts piano. Dia menunjukkan padaku setiap not, dimulai dengan C, dan dia
membuatku memainkannya dengan jari yang benar.
"Minggu depan kita akan mulai," katanya padaku, berdiri dari bangku piano.
"Aku hanya ingin bertemu kau hari ini."
Dia mencari-cari di tas kecil yang disandarkannya ke dinding. Dia
mengeluarkan buku catatan dan menyerahkannya padaku. Buku itu berjudul
Permulaan untuk Bermain: Suatu Pendekatan Hands On.
(Hands On: ajakan berpartisipasi aktif)

"Lihat ini, Jerry. Cobalah pelajari not-not pada halaman dua dan tiga.." Dia
berjalan ke mantelnya, yang Ayah sampirkan di belakang sofa.
"Sampai jumpa Sabtu depan," kataku.
Aku merasa sedikit kecewa karena pelajaran itu begitu singkat. Kupikir aku
akan bermain beberapa riff rock yang bagus sekarang.
(riff: frase kalimat musik yang diulang)

Ia memakai mantelnya, lalu kembali ke tempat aku duduk. "Kurasa kau akan
menjadi murid yang sempurna, Jerry," katanya, tersenyum.
Aku menggumamkan terima kasih. Aku terkejut melihat matanya terpaku pada
tanganku. "Bagus. Bagus," bisiknya.
Aku tiba-tiba tiba ngeri.
Kupikir wajahnya itu tampak kelaparan.
Apa yang begitu spesial tentang tanganku? Aku bertanya-tanya. Mengapa ia
begitu menyukainya?
Ini aneh. Benar-benar aneh.
Tapi tentu saja aku tak tahu seberapa anehnya. . . .

CDEFGABC.
Aku berlatih not-not di halaman dua dan tiga dari buku catatan piano itu. Buku
ini menunjukkan jari mana yang digunakan dan segalanya.
Ini mudah, pikirku.
Jadi, kapan aku bisa mulai memainkan beberapa (lagu) rock and roll?
Aku masih mendeteksi not-not itu dengan perasaan ketika Ibu muncul dari
ruang bawah tanah dan menjulurkan kepala ke ruang keluarga. Rambutnya telah
terlepas dari syal yang diikatkan di kepalanya, dan ada noda kotoran yang
menempel di dahinya.
"Apakah Dr. Shreek sudah pergi?" tanyanya, heran.
"Ya. Dia berkata dia hanya ingin bertemu denganku,." Kataku. "Dia akan
kembali Sabtu depan. Katanya aku punya tangan yang sangat bagus."
"Kau?" Dia menyibakkan rambut yang menutupi matanya. "Yah, mungkin kau
bisa memakai tangan yang sangat baik itu turun ke ruang bawah tanah dan
menggunakannya untuk membantu kami membongkar beberapa kardus."
"Oh, tidak!" teriakku, dan aku tergelincir dari bangku piano dan jatuh ke lantai.
Dia tak tertawa.

***

Malam itu, aku mendengar musik piano.


Aku duduk tegak di tempat tidur dan mendengarkan. Musik itu melayang dari
lantai bawah.
Aku turun dari tempat tidur. Papan lantai (terasa) dingin di bawah kakiku yang
telanjang. Aku harusnya punya karpet, tapi Ayah belum punya waktu untuk
meletakkannya.
Rumah itu sunyi. Melalui jendela kamarku, aku bisa melihat salju yang lembut
turun, serpihan kecil abu-abu yang halus, di langit yang hitam.
"Seseorang bermain piano," kataku keras-keras, dikejutkan oleh suara tidurku
yang parau. "Seseorang di bawah sana memainkan pianoku."
Ibu dan Ayah pasti mendengarnya, pikirku. Kamar mereka berada di ujung
rumah. Tapi mereka di bawah. Mereka pasti mendengarnya.
Aku bergerak pelan-pelan ke pintu kamarku.
Melodi lembut sedih yang sama. Aku telah menyenandungkannya persis
sebelum makan malam. Ibu bertanya padaku di mana aku pernah
mendengarnya, dan aku tak bisa ingat.
Aku bersandar di kusen pintu, jantungku berdebar-debar, dan mendengarkan.
Musik itu melayang begitu jelas, aku bisa mendengar setiap notnya.
Siapa yang bermain?
Siapa?
Aku harus mencari tahu. Menyeret tanganku di sepanjang dinding, aku bergegas
melewati lorong yang gelap itu. Ada lampu malam oleh tangga, tapi aku selalu
lupa untuk menyalakannya.
Aku berjalan menuju tangga. Lalu, mencengkeram erat pegangan tangga kayu,
aku merayap ke bawah, satu langkah di satu waktu, mencoba untuk pelan-pelan.
Berusaha untuk tidak menbuat takut pemain piano pergi.
Tangga kayu berderit pelan di bawah berat badanku. Tapi musik itu terus.
Lembut dan sedih, hampir memilukan.
Berjingkat dan menahan napas, aku melintasi ruang tamu. Sebuah lampu jalan
menuangkan sapuan kuning pucat di lantai. Melalui jendela depan yang besar,
aku bisa melihat kepingan salju kecil melayang turun.
Aku hampir tersandung kardus berisi vas-vas (jambangan bunga) yang belum
dibongkar di samping kiri meja kopi. Tapi aku menyambar bagian belakang
sofa dan menahan jatuhnya diriku.
Musik itu berhenti. Lalu mulai lagi.
Aku bersandar di sofa, menunggu hatiku untuk berhenti berdebar begitu keras.
Mana Ibu dan Ayah? Aku bertanya-tanya, menatap ke arah lorong belakang di
mana kamar mereka berada.
Tak bisakah mereka mendengar piano itu juga? Apa mereka penasaran? Apa
mereka tak bertanya siapa yang di ruang keluarga di tengah malam, bermain
sebuah lagu yang begitu sedih?
Aku menarik napas dalam-dalam dan mendorong diriku menjauh dari sofa.
Perlahan-lahan, diam-diam, aku berjalan melewati ruang makan.
Lebih gelap di belakang sana. Tak ada cahaya dari jalanan. Aku bergerak
dengan hati-hati, menyadari kursi dan kaki meja yang bisa membuatku
tersandung.
Pintu ke ruang keluarga hanya beberapa kaki di depanku. Musik itu semakin
keras.
Aku maju selangkah. Lalu, selangkah lagi.
Aku bergerak ke pintu yang terbuka itu.
Siapa itu? Siapa itu?
Aku mengintip ke dalam kegelapan.
Tapi sebelum aku bisa melihat, seseorang mengeluarkan jeritan mengerikan di
belakangku - dan mendorongku keras, membuatku jatuh ke lantai.

Aku membentur lantai keras itu pada lutut dan sikuku.


Jeritan keras lainnya - tepat di telingaku.
Bahuku berdenyut kesakitan.
Lampu menyala.
"Bonkers!" raungku.
Kucing itu melompat dari bahuku dan terburu-buru keluar dari ruangan.
"Jerry - apa yang kau lakukan? Apa yang terjadi?" tuntut Ibu dengan marah saat
ia berlari ke dalam ruangan.
"Keributan apa ini?" Ayah berada tepat di belakangnya, menyipitkan matanya
dengan tajam tanpa kacamatanya.
"Bonkers melompat padaku!" jeritku, masih di lantai. "Aduh. Bahuku. Kucing
bodoh!"
"Tapi, Jerry -" Ibu memulai. Dia membungkuk untuk membantu menarikku.
"Kucing bodoh!" Aku mengomel. "Dia melompat turun dari rak. Dia
membuatku ketakutan setengah mati. Dan lihat - lihat baju piyamaku!"
Cakar kucing itu telah merobek tepat melalui bahu.
"Apa kau terluka? Apa kau berdarah?" tanya Ibu, menarik kerah baju bawah
untuk memeriksa bahuku.
"Kita benar-benar harus melakukan sesuatu pada kucing itu," gumam Ayah.
"Jerry benar. Dia itu ancaman."
Ibu segera melompat untuk membela Bonkers. "Dia cuma ketakutan, itu saja.
Mungkin dia pikir Jerry itu pencuri."
"Pencuri?" jeritku dengan suara begitu tinggi, hanya anjing yang bisa
mendengarku. "Bagaimana mungkin dia berpikir aku pencuri? Apa tak
seharusnya kucing itu melihat dalam gelap?"
"Nah, apa yang kau lakukan di sini, Jerry?" Tanya Ibu, meluruskan kerah baju
piyamaku. Dia menepuk bahuku. Seolah-olah itu akan membantu.
"Ya Mengapa kau bersembunyi di bawah sini?" tuntut Ayah, menyipitkan mata
dengan tajam padaku. Dia nyaris tak bisa melihat apa-apa tanpa kacamata.
"Aku tak bersembunyi," jawabku dengan marah. "Aku mendengar musik piano
dan -"
"Kau apa?" sela Ibu.
"Aku mendengar musik piano. Di ruang keluarga. Jadi aku turun untuk melihat
siapa yang bermain."
Kedua orang tuaku menatapku seolah-olah aku seorang Mars.
"Apa kalian tak mendengarnya?" teriakku.
Mereka menggelengkan kepala.
Aku berbalik ke piano itu. Tak ada orang di sana. Tentu saja.
Aku bergegas ke bangku piano, membungkuk, dan mengusap tanganku atas
permukaannya.
Hangat.
"Seseorang habis duduk di sini. Aku bisa mengetahuinya!." seruku.
"Tidak lucu," kata Mom, menyeringai.
"Tidak lucu, Jerry," tiru Ayah. "Kau turun ke sini untuk membuat semacam
lelucon - bukan begitu!" tuduhnya.
"Hah? Aku?"
"Jangan pura-pura tak bersalah, Jerome," kata Ibu, memutar matanya. "Kami
tahu kau. Kau tak pernah tidak bersalah.."
"Aku tak membuat lelucon!" teriakku marah. "Aku mendengar musik,
seseorang bermain -"
"Siapa?" tuntut Ayah. "Siapa yang bermain?"
"Mungkin itu Bonkers," canda Mom.
Ayah tertawa, tapi aku tidak.
"Lelucon yang lucu, Jerry? Apa yang kau rencanakan?" tanya Ayah.
"Apa kau akan melakukan sesuatu pada piano itu?" tuntut Ibu, menatapku
begitu tajam, aku bisa merasakannya. "Itu alat musik yang berharga, kau tahu."
Aku mendesah lelah. Aku merasa sangat frustrasi, aku ingin berteriak, menjerit,
melemparkan suatu benda, dan mungkin menghantam mereka berdua.
"Piano hantu!" teriakku. Kata-kata itu muncul begitu saja di kepalaku.
"Hah?" Sekarang giliran Ayah memandangku dengan tajam.
"Piano ini pasti berhantu!" Aku bersikeras, suaraku gemetar. "Piano ini terus
bermain - tetapi tak ada seorang pun yang memainkannya!"
"Aku sudah cukup mendengar," gumam Ibu, menggelengkan kepala. "Aku akan
kembali ke tempat tidur."
"Hantu, ya?" Tanya Ayah, menggosok dagunya sambil berpikir. Dia melangkah
ke arahku dan menunduk, cara yang dia lakukan ketika dia akan mengatakan
sesuatu yang serius. "Dengar, Jerry, aku tahu rumah ini mungkin tampak tua
dan agak menakutkan. Dan aku tahu betapa sulitnya bagimu untuk
meninggalkan teman-temanmu dan pindah."
"Ayah, tolonglah -" selaku.
Tapi dia terus berjalan. "Rumah ini hanya tua, Jerry. Tua dan sedikit kumuh.
Tapi itu tak berarti rumah ini berhantu. Hantu-hantu yang tak kau lihat itu
sebenarnya rasa takutmu yang keluar."
Ayah adalah psikolog utama di perguruan tinggi.
"Lewati saja kuliahnya, Yah," kataku. "Aku mau tidur."
"Oke, Jer," katanya, menepuk-nepuk bahuku. "Ingatlah - dalam beberapa
minggu, kau akan tahu aku benar. Dalam beberapa minggu, urusan hantu ini
semua akan tampak konyol bagimu."
Boy, betapa salahnya dia!

***

Aku membanting menutup lokerku dan mulai menarik jaketku. Lorong sekolah
yang panjang bergema dengan suara-suara tawa, bantingan loker, panggilan-
panggilan dan teriakan-teriakan.
Lorong itu selalu ribut pada Jumat sore. Sekolah sudah selesai, sekarang dan
akhir pekan!
"Oooh, bau apa itu?" teriakku, dengan wajah jijik.
Di sampingku, seorang gadis berlutut, mengais-ngais tumpukan sampah di
lantai lokernya.
"Aku bertanya-tanya di mana apel itu menghilang!" serunya.
Dia berdiri, memegang apel cokelat yang kisut di satu tangan. Aroma asam
menyerbu lubang hidungku. Kurasa aku akan terlempar paksa!
Aku pasti telah membuat wajah lucu, karena dia tertawa terbahak-bahak.
"Lapar?" Dia menyodorkan benda menjijikkan itu di wajahku.
"Tidak, terima kasih." Aku menyorongkannya kembali ke arahnya. "Kau bisa
memilikinya."
Dia tertawa lagi. Dia agak cantik. Dia punya rambut hitam lurus yang panjang
dan mata hijau.
Dia menaruh apel busuk itu di atas lantai. "Kau anak baru, kan?" dia bertanya.
"Aku Kim. Kim Li Chin."
"Hai," kataku. Kukatakan padanya namaku. "Kau di kelas matematikaku. Dan
kelas IPA-ku.," Kataku.
Dia kembali ke lokernya, mencari lebih banyak barang.
"Aku tahu," jawabnya. "Aku melihatmu jatuh dari kursimu saat Pak Klein
memanggilmu."
"Aku cuma melakukan itu agar jadi lucu," aku menjelaskan dengan cepat. "Aku
tak benar-benar jatuh."
"Aku tahu," katanya. Dia menarik sweter wol tebal abu-abu ke bawah sweternya
yang lebih tipis. Lalu ia mengulurkan tangan dan mengeluarkan sebuah kotak
biola hitam dari lokernya.
"Apa itu kotak bekalmu?" candaku.
"Aku sudah terlambat untuk pelajaran biolaku," jawabnya, membanting
menutup lokernya. Dia berusaha untuk mendorong gembok tertutup.
"Aku ikut les piano," kataku. "Yah, maksudku aku baru saja mulai."
"Kau tahu, aku tinggal di seberang jalan darimu," katanya, menyesuaikan
ranselnya di bahu. "Aku melihatmu pindah "
"Sungguh?" jawabku, terkejut. "Yah, mungkin kau bisa datang dan kita bisa
bermain bersama. Maksudku, bermain musik. Kau tahu. Aku ikut les setiap hari
Sabtu dengan Dr Shreek."
Mulutnya ternganga ngeri saat dia menatapku. "Kau melakukan apa?"
teriaknya.
"Ikut les piano dengan Dr Shreek," ulangku.
"Oh!" Dia berteriak pelan, berbalik, dan mulai berlari ke arah pintu depan.
"Hei, Kim -" Aku memanggilnya. "Kim -? Apa yang salah"
Tapi dia menghilang keluar pintu.

"Tangan yang sempurna. Sempurna!." Dr Shreek menyatakan.


"Terima kasih," jawabku canggung.
Aku duduk di bangku piano, membungkuk di atas piano, tanganku tersebar di
tuts-tuta. Dr Shreek berdiri di sampingku, menatap tanganku.
"Sekarang mainkan bagian itu lagi," perintahnya, mengangkat mata birunya
padaku. Senyumnya memudar di bawah kumis putih saat ekspresi wajahnya
berubah serius. "... Bermainlah dengan hati-hati, anakku. Perlahan dan hati-hati.
Berkonsentrasilah pada jari-jarimu. Setiap jari itu hidup, ingat - hidup!"
"Jari-jariku hidup," ulangku, menatap jari-jemariku.
Pikiran yang aneh betul, kataku pada diriku sendiri.
Aku mulai bermain, berkonsentrasi pada not-not pada lembar musik yang
bersandar di atas papan tuts. Itu adalah sebuah melodi sederhana, bagian pemula
oleh Bach.
(Bach: Johann Sebastian Bach, seorang komponis Jerman. Yang membuat gaya
lagunya berbeda dari yang lain adalah semua lagu yang dibuatnya kebanyakan
ditujukan untuk Tuhan.)

Kurasa itu terdengar cukup bagus.


"Jari-jari! Jari-jari!" teriak Dr Shreek. Dia membungkuk ke arah keyboard,
membawa wajahnya dekat dengan wajahku. "Ingat, jari-jari itu hidup!"
Ada apa dengan orang ini dan jari? tanyaku pada diriku sendiri.
Aku menyelesaikan bagian itu. Aku melirik dan melihat kerutan gelap
wajahnya.
"Cukup bagus, Jerry," katanya lembut. "Sekarang ayo kita coba sedikit lebih
cepat."
"Aku melakukan kesalahan di bagian tengah ke atas," aku mengaku.
"Kau kehilangan konsentrasimu," jawabnya. Dia mengulurkan tangan dan
merentangkan jari-jariku di atas tuts-tuts.
"Sekali lagi," perintahnya. "Tapi lebih cepat. Dan berkonsentrasilah.
Berkonsentrasilah pada tangan-tanganmu..."
Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai bagian itu lagi. Tapi kali ini aku
segera mengacaukannya.
Aku mulai selesai. Kedengarannya cukup bagus. Hanya beberapa bunyi
debaman.
Aku bertanya-tanya apakah Ibu dan Ayah bisa mendengarnya. Lalu aku teringat
mereka pergi berbelanja.
Dr Shreek dan aku sendirian di rumah.
Aku menyelesaikan bagian itu dan menurunkan tanganku ke pangkuanku
dengan satu desahan.
"Tidak buruk. Sekarang lebih cepat," perintah Dr Shreek.
"Mungkin kita seharusnya mencoba bagian lainnya," usulku. "Ini mulai agak
membosankan."
"Lebih cepat kali ini," jawabnya, benar-benar mengabaikanku. "Kedua tangan,
Jerry. Ingat tangan-tangan itu. Mereka itu hidup. Biarkan mereka bernapas!"
Biarkan mereka bernapas?
Aku menunduk menatap tanganku, mengharapkannya untuk berbicara kembali
padaku!
"Mulailah," perintah Dr Shreek tegas, mencondongkan tubuh ke arahku. "Lebih
cepat."
Sambil mendesah, aku mulai bermain lagi. Lagu membosankan yang sama.
"Lebih cepat!" teriak pengajar itu. "Lebih cepat, Jerry!"
Aku bermain lebih cepat. Jari-jariku bergerak di atas tuts-tuts, menekannya
dengan keras. Aku mencoba untuk berkonsentrasi pada not-not itu, tapi aku
bermain terlalu cepat bagi mataku untuk mengikutinya.
"Lebih cepat!" teriak Dr Shreek penuh semangat, menatap papan tuts itu.
"Seperti itulah! Lebih cepat, Jerry!"
Jari-jariku bergerak begitu cepat, mereka jadi kabur!
"Lebih cepat! Lebih cepat!"
Apa aku memainkan not-not yang tepat? Aku tak tahu. Ini terlalu cepat, terlalu
cepat untuk mendengar!
"Lebih cepat, Jerry!" perintah Dr Shreek, berteriak sekuat tenaga. "Lebih cepat!
Tangan-tangan itu hidup! Hidup!"
"Aku tak bisa melakukannya!" teriakku. "Tolong -!"
"Lebih cepat! Lebih cepat!"
"Aku tak bisa!" Aku bersikeras.
Ini terlalu cepat. Terlalu cepat untuk bermain. Terlalu cepat untuk mendengar.
Aku mencoba berhenti.
Tapi tanganku terus berjalan!
"Berhenti! Berhenti!" Aku berteriak ke arah tanganku dengan ngeri.
"Lebih cepat! Bermainlah lebih cepat!" perintah Dr Shreek, matanya melebar
bersemangat, wajahnya yang merah cerah. "Tangan-tangan itu hidup!"
"Tidak - tolong! Berhentilah!" Aku berkata ke tanganku. "Berhentilah bermain!"
Tapi tangan itu benar-benar hidup. Mereka tak akan berhenti.
Jari-jariku terbang di atas tuts-tuts itu. Satu gelombang pasang not gila
membanjiri ruangan keluarga.
"Lebih cepat! Lebih cepat!" perintah pengajar itu.
Dan meskipun aku berteriak-teriak ketakutan untuk berhenti, tanganku dengan
gembira mematuhinya, bermain lebih cepat, lebih cepat dan lebih cepat.

Lebih cepat dan lebih cepat, musik berputar-putar di sekelilingku.


Mencekikku, pikirku, terengah-engah. Aku tak bisa bernapas.
Aku berusaha untuk menghentikan tanganku. Tapi tanganku bergerak gila-
gilaan di atas papan tuts, bermain lebih cepat. Lebih cepat.
Tanganku mulai terasa sakit. Terasa sakit berdenyut-denyut.
Tapi tetap saja tanganku bermain. Lebih cepat. Lebih cepat.
Sampai aku terbangun.
Aku duduk di tempat tidur, terjaga.
Dan menyadari bahwa aku sedang duduk di atas tanganku.
Kedua tanganku sakit kesemutan. Resah dan gugup. Tanganku jadi kesemutan.
Aku telah tertidur. Les piano aneh itu hanya mimpi.
Mimpi buruk yang aneh.
"Ini masih Jumat malam," kataku keras-keras. Bunyi suaraku membantu
membawaku keluar dari mimpi.
Aku menggerak-gerakkan tanganku, mencoba untuk melancarkan peredaran
(darah), mencoba untuk menghentikan kesemutan yang tak nyaman ini.
Dahiku berkeringat, keringat dingin. Seluruh tubuhku terasa lengket. Kemeja
piyama menempel basah di punggungku. Aku bergidik, tiba-tiba kedinginan.
Dan menyadari musik piano itu tak berhenti.
Aku terkesiap dan mencengkeram seprai erat-erat. Sambil menahan napasku,
aku mendengarkan.
Not-not itu melayang ke kamar tidurku yang gelap.
Tak ada bunyi gemuruh not gila-gilaan dari mimpiku. Melodi lambat sedih yang
telah kudengar sebelumnya.
Masih gemetar karena mimpiku yang menakutkan, aku diam-diam berdiri
keluar dari tempat tidur.
Musik itu melayang dari ruang keluarga, begitu lembut, begitu memilukan.
Siapa yang bermain di bawah sana?
Tanganku masih kesemutan saat aku berjalan di atas lantai dingin ke pintu. Aku
berhenti di lorong dan mendengarkan.
Lagu itu berakhir, lalu mulai lagi.
Malam ini aku akan memecahkan misteri ini, batinku.
Jantungku berdebar-debar. Seluruh tubuhku bergetar sekarang. Resah dan
gugup turun naik di punggungku.
Mengabaikan betapa takutnya perasaanku, aku berjalan cepat menyusuri lorong
menuju tangga. Cahaya malam yang remang-remang di dekat lantai membuat
bayanganku naik ke atas pada dinding.
Ini membuatku sejenak terkejut. Aku tertahan mundur. Tapi kemudian aku
bergegas menuruni tangga, bersandar di pegangan tangga keras untuk menjaga
langkah-langkah dari berderit.
Musik piano itu semakin keras saat aku melintasi ruangan tamu yang gelap.
Tak ada yang akan menghentikanku malam ini, kataku pada diriku sendiri. Tak
ada.
Malam ini aku akan melihat siapa yang bermain piano.
Musik bernada tinggi yang lembut itu terus, begitu ringan dan sedih.
Aku berjingkat dengan hati-hati melalui ruang makan, menahan nafas,
mendengarkan musik.
Aku melangkah ke pintu ke ruang keluarga.
Musik itu terus, sedikit lebih keras.
Melodi yang sama, berulang-ulang.
Mengintip ke dalam kegelapan, aku melangkah ke dalam ruangan.
Satu langkah. Langkah lainnya.
Piano itu hanya beberapa kaki di depanku.
Musik itu begitu jelas, begitu dekat.
Tapi aku tak bisa melihat siapa pun di bangku piano. Aku tak bisa melihat siapa
pun di sana sama sekali.
Siapa yang bermain? Siapa yang bermain sedih, musik menyedihkan ini dalam
kegelapan?
Tubuhku gemetaran, aku melangkah lebih dekat lagi. Langkah lainnya.
"Siapa - siapa di sana?" panggilku dalam bisikan tercekat.
Aku berhenti, tanganku tersimpul tegang ke tinju yang erat di pinggangku. Aku
menatap tajam ke kegelapan, berusaha melihat.
Musik itu terus. Aku bisa mendengar jari-jari di atas tuts-tuts, mendengar
dorongan kaki pada pedal.
"Siapa di sana? Siapa yang bermain?" Suaraku kecil dan melengking.
Tak ada seorang pun di sini, aku menyadari kengerianku.
Piano itu bermain, tapi tak ada seorang pun di sini.
Lalu, perlahan-lahan, sangat perlahan-lahan, seperti awan abu-abu yang
terbentuk di langit malam, hantu itu mulai muncul.

10

Mula-mula aku hanya bisa melihat garis samar-samar, garis abu-abu pucat
bergerak di kegelapan.
Aku terkesiap. Jantungku berdebar begitu keras, kurasa akan meledak.
Garis-garis abu-abu itu mengambil bentuk, mulai terisi.
Aku berdiri membeku ngeri, terlalu takut untuk lari atau bahkan berpaling.
Dan saat aku menatap, seorang wanita muncul. Aku tak tahu apakah dia masih
muda atau tua. Dia menunduk dan matanya tertutup, dan berkonsentrasi pada
tuts-tuts piano.
Dia punya rambut bergelombang panjang tergantung lepas ke bahunya. Dia
mengenakan atasan lengan pendek dan rok panjang. Wajahnya, kulitnya,
rambutnya - abu-abu. Semuanya abu-abu.
Dia terus bermain seolah-olah aku tak berdiri di sana.
Matanya tertutup. Bibirnya membentuk senyum sedih.
Dia agak cantik, aku menyadari.
Tapi dia itu hantu. Hantu yang bermain piano di ruang keluarga kami.
"Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini?" Suara tegangku bernada tinggi
mengejutkanku. Kata-kata itu terbang keluar, hampir di luar kendaliku.
Dia berhenti bermain dan membuka matanya. Dia menatap tajam ke arahku,
mempelajariku. Senyumnya memudar dengan cepat. Wajahnya tak
menunjukkan emosi sama sekali.
Aku menatap kembali, ke dalam abu-abu. Rasanya seperti melihat seseorang
dalam kabut berat yang gelap.
Bersamaan dengan berhentinya musik, rumah itu jadi begitu tenang, ketenangan
yang begitu menakutkan.
"Siapa - siapa kau?" ulangku, terbata-bata dengan suara kecilku.
Mata abu-abu menyipit sedih. "Ini rumahku," katanya. Suaranya berbisik
kering, kering seperti daun-daun yang mati. Kering seperti kematian.
"Ini rumahku." Kata-kata bisikan itu sepertinya datang dari jauh, begitu pelan
aku tak yakin aku telah mendengarnya.
"Aku - tak mengerti," aku tercekat, merasa udara dingin di bagian belakang
leherku. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Rumahku," terdengar jawaban berbisik. "Pianoku."
"Tapi, siapa kau?" ulangku. "Apa kau hantu?"
Saat aku mengucapkan pertanyaan takutku, dia mendesah keras. Dan saat aku
menatap ke warna abu-abu murni itu, aku melihat wajahnya mulai berubah.
Mata tertutup, dan pipinya mulai meredup. Kulit abu-abu tampak jatuh,
mencair. Terkulai seperti adonan kue, seperti tanah liat lunak. Jatuh ke bahunya,
lalu jatuh ke lantai. Rambutnya mengikuti, jatuh dalam gumpalan-gumpalan
tebal.
Suatu jeritan diam keluar dari bibirku saat tengkoraknya tampak. Tengkorak
abu-abunya.
Tak ada yang tersisa dari wajahnya kecuali mata, mata abu-abunya, yang
menonjol dalam rongga mata yang terbuka, menatapku melalui kegelapan.
"Jauhi pianoku!" katanya parau. "Aku memperingatkanmu - jauhi!"
Aku mundur dan berpaling dari tengkorak serak mengerikan itu. Aku mencoba
untuk berusaha menjauh, tapi kakiku tak mau bekerja sama.
Aku jatuh.
Lututku membentur lantai.
Aku berusaha untuk berdiri, tapi aku gemetar terlalu keras.
"Jauhi pianoku!" Tengkorak abu-abu itu menatapku dengan mata melototnya.
"Ibu! Ayah!" Aku mencoba berteriak, tetapi yang keluar bisikan yang tertahan.
Aku berusaha berdiri, jantungku berdebar, tenggorokanku tertutup ketat dengan
rasa takut.
"Ini rumahku! Pianoku! JAUHI!"
"Bu! Tolong aku! Yah!"
Kali ini aku berhasil berteriak. "Bu - Yah - tolong!"
Aku lega, aku mendengar tabrakan dan gedebak gedebuk di lorong. Langkah-
langkah kaki yang berat.
"Jerry? Jerry? Kau di mana?" panggil Ibu. "Aduh!"
Aku mendengarnya menabrak sesuatu di ruang makan.
Ayah yang pertama sampai di ruang keluarga.
Aku meraih bahunya, lalu menunjuk. "Yah -lihat! Hantu! Itu hantu!"
11

Ayah menyalakan lampu. Ibu tersandung ke dalam ruangan, memegangi salah


satu lututnya.
Aku menunjuk ngeri ke bangku piano.
Yang sekarang kosong.
"Hantu - aku melihatnya!" teriakku, gemetar. Aku berpaling ke orang tuaku.
"Apa kalian mendengarnya? Kalian dengar kan?"
"Jerry, tenang." Ayah meletakkan tangannya pada bahuku gemetar. "Tenang!
Tak apa-apa. Semuanya baik-baik saja."
"Tapi apakah kalian melihatnya?" tuntutku. "Dia duduk di sana, bermain piano,
dan -"
"Aduh, aku benar-benar melukai lututku." Erang Ibu. "Aku terbentur meja kopi.
Aduh."
"Kulitnya jatuh. Matanya melotot keluar dari tengkoraknya!" aku memberitahu
mereka. Aku tak bisa mengeluarkan tengkorak menyeringai itu keluar dari
pikiranku. Aku masih bisa melihatnya, seolah-olah fotonya telah diukir ke
mataku.
"Tak ada orang di sana," kata Ayah pelan, memegang bahuku. "Lihat? Tak ada."
"Apa kau mimpi buruk?" Tanya Ibu, membungkuk untuk memijat lututnya.
"Ini bukan mimpi buruk!" jeritku. "Aku melihatnya! Aku benar-benar
melihatnya! Dia berbicara padaku. Dia bilang ini pianonya, rumahnya."
"Ayo kita duduk dan membicarakan hal ini," usul Ibu. "Apa kau suka secangkir
coklat panas?"
"Kalian tak percaya padaku - bukan begitu?" teriakku marah. "Aku mengatakan
yang sebenarnya!"
"Kami tak benar-benar percaya pada hantu," kata Ayah pelan. Dia menuntunku
ke sofa kulit merah di dinding dan duduk di sampingku. Menguap.
Ibu mengikuti kami, menurunkan dirinya ke lengan sofa yang lembut.
"Kau tak percaya pada hantu, bukan begitu, Jerry?" tanya Ibu.
"Aku sekarang percaya!" seruku. "Mengapa kalian tak mendengarkanku? Aku
mendengarnya bermain piano. Aku turun ke bawah dan aku melihatnya. Dia
seorang wanita. Dia abu-abu seluruhnya. Dan wajahnya rontok. Dan
tengkoraknya muncul keluar. Dan -...... Dan - "
Aku melihat Ibu memandang Ayah.
Mengapa mereka tak percaya padaku?
"Seorang wanita di tempat kerja bercerita tentang seorang dokter," kata Ibu
lembut, meraih ke bawah dan meraih tanganku. "Seorang dokter bagus yang
bicara dengan anak-anak muda. Dr Frye, kurasa itu namanya."
"Hah? Maksud Ibu psikiater?"jeritku nyaring. "Ibu pikir aku gila?"
"Tidak, tentu saja tidak," jawab Ibu dengan cepat, masih memegangi tanganku.
"Kupikir ada sesuatu yang membuatmu sangat gugup, Jerry. Dan aku tak
berpikir itu akan menyakitkan untuk berbicara dengan seseorang tentang hal
itu."
"Kau gugup akan apa, Jer?" Tanya Ayah, merapikan kerah kemeja piyamanya.
"Rumah baru ini? Pergi ke sekolah baru?"
"Apa les piano itu?" tanya Ibu. "Apa kau khawatir tentang les itu?"
Dia melirik piano, berkilauan hitam dan mengkilat di bawah lampu langit-
langit.
"Tidak, aku tak khawatir tentang les," gumamku sedih. "Aku bilang - aku
khawatir tentang hantu!"
"Aku akan membuatkanmu janji dengan Dr Frye," kata Ibu pelan. "Katakan
padanya tentang hantu, Jerry? Aku berani bertaruh dia bisa menjelaskan
semuanya lebih baik dari yang ayahmu dan aku bisa."
"Aku tidak gila," gumamku.
"Sesuatu yang telah membuatmu kesal. Sesuatu yang memberikanmu mimpi
buruk," kata Ayah. "Dokter ini akan dapat menjelaskannya kepadamu." Dia
menguap dan berdiri, merentangkan lengan di atas kepala. "Aku harus tidur."
"Aku juga," kata Ibu, melepaskan tanganku dan turun dari lengan sofa. "Apa
kau pikir bisa pergi tidur sekarang, Jerry?"
Aku menggelengkan kepala dan bergumam, "Aku tak tahu."
"Apa kau ingin kami untuk mengantarmu ke kamarmu?" tanya Ibu.
"Aku bukan bayi kecil!" teriakku. Aku merasa marah dan frustrasi. Aku ingin
berteriak dan menjerit sampai mereka percaya padaku.
"Ya, selamat malam, Jer," kata Ayah. "Besok hari Sabtu, jadi kau bisa tidur
terlambat."
"Ya. Tentu," gumamku.
"Jika kau bermimpi yang lebih buruk, bangunkan kami," kata Ibu.
Ayah mematikan lampu. Mereka menuju lorong ke kamar mereka.
Aku berjalan melintasi ruang tamu ke tangga depan.
Aku begitu marah, aku ingin memukul sesuatu atau menendang sesuatu. Aku
juga benar-benar tersinggung.
Tapi saat aku menaiki tangga berderak dalam kegelapan, kemarahanku berubah
menjadi rasa takut.
Hantu itu telah lenyap dari ruang keluarga. Bagaimana jika dia menungguku di
kamarku?
Bagaimana jika aku berjalan ke kamarku dan tengkorak abu-abu menjijikkan
dengan bola mata melotot itu menatapku dari tempat tidurku?
Papan lantai berderit dan mengerang di bawahku saat aku perlahan-lahan
berjalan melalui lorong ke kamarku. Aku tiba-tiba merasa ngeri.
Tenggorokanku mengencang. Aku berusaha untuk bernapas.
Dia di sana. Dia ada di sana menungguku.
Aku tahu itu. Aku tahu dia akan berada di sana.
Dan jika aku menjerit, kalau aku berteriak minta tolong, Ibu dan Ayah benar-
benar akan berpikir aku gila.
Apa yang hantu itu inginkan?
Mengapa dia bermain piano setiap malam? Mengapa ia mencoba untuk
menakut-nakutiku?
Mengapa dia memberitahuku untuk menjauh?
Pertanyaan-pertanyaan meluncur melalui pikiranku. Aku tak bisa menjawabnya.
Aku terlalu lelah, terlalu takut untuk berpikir jernih.
Aku ragu-ragu di luar kamarku, terengah-engah.
Lalu, berpegangan ke dinding, aku mengumpulkan keberanianku dan
melangkah masuk.
Saat aku bergerak ke kegelapan, hantu itu bangkit di depan tempat tidurku.

12

Aku menjerit tercekik dan terhuyung-huyung kembali ke ambang pintu.


Lalu aku sadar bahwa aku menatap selimutku. Aku pasti telah menendangnya di
kaki tempat tidur pada waktu aku mimpi buruk tentang Dr Shreek. Selimut itu
berdiri menggumpal di lantai.
Hatiku berdebar-debar, aku maju pelan-pelan kembali ke dalam ruangan, meraih
selimut dan seprai, menariknya kembali ke tempat tidur.
Mungkin aku gila! Pikirku.
Tidak, aku meyakinkan diriku sendiri. Aku mungkin takut, frustrasi dan marah -
tetapi aku melihat apa yang kulihat.
Sambil menggigil, aku meluncur ke tempat tidur dan menarik selimut sampai ke
daguku. Aku memejamkan mata dan mencoba untuk memaksa keluar gambar
tengkorak abu-abu jelek itu dari pikiranku.
Saat aku akhirnya mulai tertidur, aku mendengar musik piano itu mulai lagi.

***

Dr Shreek tiba tepat jam dua sore berikutnya. Ibu dan Ayah di garasi,
membongkar kardus-kardus lagi. Aku mengambil mantel Dr Shreek, lalu
membawanya ke ruang keluarga.
Di luar, hari yang dingin berangin kencang, salju yang mengancam. Pipi Dr
Shreek berwarna pink karena kedinginan. Dengan rambut dan kumisnya yang
putih, dan perut bundar di bawah kemeja putih longgar, ia tampak lebih seperti
Santa Claus daripada sebelumnya.
Dia mengusap tangannya yang gemuk bersama-sama untuk menghangatkannya
dan memberi isyarat padaku untuk duduk di bangku piano.
"Alat musik yang benar-benar indah," katanya riang, menjalankan satu
tangannya di atas piano mengkilap hitam itu. "Kau pria muda sangat beruntung
yang menemukan piano ini menunggumu."
"Kurasa," jawabku tanpa semangat.
Aku tidur sampai jam sebelas, tapi aku masih lelah. Dan aku tak bisa mengusir
hantu itu dan peringatannya dari pikiranku.
"Apa kau melatih not-notmu?" tanya Dr Shreek, bersandar piano, membolak-
balik halaman buku kerja musik itu.
"Sedikit," kataku.
"Biarkan aku melihat apa yang telah kau pelajari. Sekarang." Dia mulai untuk
menempatkan jari-jariku di atas tuts-tuts. "Ingat? Ini tempat kau mulai."
Aku memainkan satu scale.
(scale: suatu rangkaian not-not yang berbeda-beda dalam pola titi nada yang
sesuai ke suatu grup, biasanya tanpa oktaf)

"Tangan yang bagus," kata Dr Shreek, tersenyum. "Terus ulangi hal itu,
silakan."
Les itu berjalan lancar. Dia terus mengatakan padaku betapa baiknya aku,
meskipun aku hanya memainkan not dan scale yang sederhana.
Mungkin aku punya bakat, pikirku.
Aku menanyakan kapan aku bisa mulai mempelajari beberapa riff rock.
Dia tertawa untuk suatu alasan. "Pada waktunya," jawabnya, menatap tanganku.
Aku mendengar Ibu dan Ayah masuk melalui pintu dapur. Beberapa detik
kemudian, Ibu muncul di ruang keluarga, menggosok lengan sweternya. "Benar-
benar mulai dingin di luar sana," katanya, tersenyum pada Dr Shreek. "Kurasa
itu akan bersalju."
"Sangat menyenangkan dan hangat di sini," jawab Dr. Shreek, kembali
tersenyum.
"Bagaimana lesnya?" tanya Ibu.
"Sangat bagus," kata Dr Shreek padanya, mengerling padaku. "Kurasa Jerry
menunjukkan banyak harapan. Aku ingin dia untuk mulai les di sekolahku."
"Itu bagus sekali!" seru Ibu. "Apakah Anda benar-benar berpikir ia punya
bakat?"
"Dia punya tangan yang sangat baik," jawab Dr Shreek.
Sesuatu tentang caranya mengatakan hal itu membuatku ngeri.
"Apakah Anda mengajarkan musik rock di sekolah Anda?" tanyaku.
Dia menepuk bahuku. "Kami mengajarkan semua jenis musik. Sekolahku
sangat besar, dan kami punya banyak pengajar yang bagus. Kami punya siswa
dari segala macam usia. Apa kau rasa kau bisa datang sepulang sekolah pada
hari Jumat?"
"Itu akan baik sekali," kata Ibu.
Dr Shreek melintasi ruangan dan menyerahkan satu kartu pada ibuku. "Ini
alamat sekolahku, aku khawatir itu ada di ujung lain kota."
"Tidak masalah," kata Ibu, mempelajari kartu itu. "Aku selesai kerja lebih awal
pada hari Jumat. Aku bisa mengantarnya."
"Itu akhir les kita untuk hari ini, Jerry," kata Dr Shreek. "Latihlah not-not baru.
Dan sampai jumpa hari Jumat."
Dia mengikuti ibuku ke ruang tamu. Aku mendengar mereka mengobrol dengan
tenang, tapi aku tak bisa mengetahui apa yang mereka katakan.
Aku berdiri dan berjalan ke jendela. Sekarang mulai bersalju, serpihan salju
yang sangat besar turun benar-benar keras. Salju sudah mulai menempel.
Menatap ke halaman belakang, aku bertanya-tanya apakah ada bukit-bukit yang
baik untuk kereta luncur di New Gosyen. Dan aku bertanya-tanya apakah kereta
luncurku telah dibongkar.
Aku berteriak ketika piano itu tiba-tiba mulai bermain.
Keras, bergemerincing bising. Seperti seseorang yang sangat marah
menghantam tuts-tuts dengan kepalan tangan yang berat.
Hantam. Hantam. Hantam.
"Jerry - hentikan!" teriak Ibu dari ruang tamu.
"Aku tak melakukannya!" teriakku.

13

Kantor Dr Frye itu tidaklah seperti kantor psikiater yang kubayangkan. Kantor
itu kecil dan cerah. Dindingnya berwarna kuning, dan ada gambar-gambar
berwarna-warni burung beo, burung tukan dan burung lainnya menggantung di
sekitar.
(tukan: burung hutan tropis cerdik berwarna pemakan buah-buahan dari
Amerika yang memiliki paruh sangat besar)

Dia tak punya sofa kulit hitam seperti yang selalu dimiliki para psikiater di TV
dan di film. Sebaliknya, ia punya dua kursi hijau yang tampak lembut. Dia
bahkan tak punya meja. Hanya dua kursi.
Aku duduk di satu kursi, dan dia duduk di kursi yang lain.
Dia jauh lebih muda daripada yang kupikirkan. Dia terlihat lebih muda dari
ayahku. Dia punya rambut merah bergelombang, diatur rapi dengan sejenis gel
atau sesuatu, pikirku. Wajahnya penuh dengan bintik-bintik.
Dia benar-benar tak tampak seperti seorang psikiater sama sekali.
"Ceritakan tentang rumah barumu," katanya. Dia menyilangkan kakinya. Ia
meletakkan catatan panjangnya di kakinya saat dia mengamatiku.
"Itu adalah rumah besar tua," kataku. "Itu saja."
Dia memintaku untuk menggambarkan kamarku, jadi aku melakukannya.
Lalu kami berbicara tentang rumah asal kami dan kamar lamaku. Lalu kami
berbicara tentang teman-temanku di rumah sana. Lalu kami berbicara tentang
sekolah baruku.
Aku merasa gugup ketika kami mulai. Tapi dia tampak baik-baik saja. Dia
mendengarkan dengan seksama semua yang kukatakan. Dan dia tak memberiku
pandangan lucu, seperti aku telah gila atau apa.
Bahkan saat aku bercerita tentang hantu.
Dia menuliskan dengan cepat beberapa catatan ketika aku bercerita tentang
piano yang bermain di malam akhir-akhir ini. Dia berhenti menulis ketika aku
mengatakan kepadanya bagaimana aku melihat hantu, bagaimana rambutnya
rontok, lalu wajahnya, dan bagaimana ia berteriak padaku untuk menjauh.
"Orang tuaku tidak percaya padaku," kataku, meremas lengan lembut kursi.
Tanganku berkeringat.
"Ini cerita yang cukup aneh," jawab Dr Frye. "Jika kau jadi ibu atau ayah, dan
anakmu menceritakan kisah itu, apakah kau akan percaya?"
"Tentu," kataku. "Jika itu benar."
Dia mengunyah penghapus pensil dan menatapku.
"Apakah Anda pikir aku gila?" tanyaku.
Ia menurunkan catatannya. Dia tak tersenyum mendengar pertanyaan itu.
"Tidak, aku tidak berpikir kau gila, Jerry Tetapi pikiran manusia dapat benar-
benar aneh terkadang.."
Lalu ia berkuliah panjang lebar tentang bagaimana kadang-kadang kita takut
akan sesuatu, tetapi kita tak mengaku pada diri sendiri bahwa kita takut. Jadi
pikiran kita melakukan semua macam hal untuk menunjukkan bahwa kita takut,
meskipun kita terus berkata bahwa kita tak takut.
Dengan kata lain, dia juga tak percaya padaku.
"Pindah ke rumah baru menciptakan segala macam stres ini," katanya. "Hal ini
memungkinkan kita untuk mulai membayangkan bahwa kita melihat makhluk-
makhluk, bahwa kita benar-benar mendengar makhluk itu, agar kita tak perlu
mengakui pada diri kita betapa kita benar-benar takut"
"Aku tidak membayangkan musik piano itu," kataku. "Aku bisa
menyenandungkan melodi itu untuk Anda. Dan aku tidak membayangkan
hantu. Aku dapat memberitahu Anda dia tampak seperti apa."
"Mari kita bicara tentang hal itu minggu depan," katanya, berdiri. "Waktu kita
sudah habis. Tapi sampai waktu berikutnya, aku hanya ingin meyakinkanmu
bahwa pikiranmu sangatlah normal. Kau tidak gila, Jerry. Kau harus tidak
memikirkan itu sebentar."
Dia menjabat tanganku. "Kau akan lihat," katanya, membukakan pintu untukku.
"Kau akan kagum pada apa yang kita tahu dibalik hantumu."
Aku menggumamkan terima kasih dan berjalan keluar dari kantornya.
Aku berjalan melewati ruang tunggu kosong itu dan melangkah ke lorong.
Dan kemudian aku merasa cengkeraman es hantu itu mengetat di leherku.

14

Arus dingin menakutkan itu melalui seluruh tubuhku.


Dengan jerit ketakutan, aku tersentak menjauh dan berbalik menghadapinya.
"Bu!" teriakku, suaraku nyaring dan kecil.
"Maaf tanganku begitu dingin," jawabnya dengan tenang, tak menyadari betapa
dia membuatku sangat ketakutan. "Di luar dingin. Apa kau tak mendengar aku
memanggilmu?."
"Tidak," kataku. Leherku masih terasa gatal. Aku mencoba untuk menggosok-
gosok menghilangkan rasa dingin. "Aku eh memikirkan sesuatu, dan -......"
"Yah, aku tak bermaksud untuk menakut-nakutimu," katanya, memimpin jalan
melewati tempat parkir kecil untuk mobil. Dia berhenti untuk menarik kunci
mobil dari tasnya. "Apa kau dan Dr. Frye bicara dengan baik?"
"Sedikit," kataku.
Hantu itu membuatku melompat kaget, aku menyadarinya saat aku naik ke
mobil. Sekarang aku melihat hantu di mana-mana.
Aku harus tenang, aku berkata pada diriku sendiri. Aku harus benar-benar.
Aku harus berhenti berpikir bahwa hantu itu mengikutiku.
Tapi bagaimana?

***

Jumat sepulang sekolah, Ibu mengantarku ke sekolah musik Dr Shreek itu. Ini
adalah hari abu-abu yang dingin. Aku menatap napasku mengepul naik jendela
penumpang saat kami melaju. Hari itu salju turun sehari sebelumnya, dan jalan-
jalan masih dingin dan licin.
"Kuharap kita tidak terlambat," Ibu cemas. Kami berhenti karena suatu cahaya.
Dia membersihkan kaca di depannya dengan punggung sarung tangannya. "Aku
takut untuk mengendarai lebih cepat daripada ini."
Semua mobil merayap bersamaan. Kami melewati sekelompok anak-anak yang
membangun benteng salju di halaman depan. Salah satu anak kecil berwajah
merah menangis karena yang lain tak memperbolehkannya bergabung dengan
mereka.
"Sekolah ini hampir di kota berikutnya," kata Ibu, memompa rem saat kami
meluncur menuju ke arah perempatan. "Aku heran mengapa sekolah Dr. Shreek
begitu jauh dari segalanya."
"Aku tak tahu," jawabku datar. Aku agak gugup. "Apa kau pikir Dr Shreek akan
jadi pengajarku? Atau apakah kau pikir aku akan dilatih orang lain?"
Ibu mengangkat bahu. Ia membungkuk ke depan di roda kemudi, berjuang
untuk melihat melalui kaca berembun.
Akhirnya, kami berbelok ke jalan tempat sekolah itu berada. Aku menatap blok
gelap rumah-rumah tua. Rumah-rumah itu memberikan jalan pada hutan,
pohon-pohon meranggas miring di bawah selimut salju putih.
Di sisi lain dari hutan berdiri sebuah bangunan batu bata, setengah tersembunyi
di balik pagar tinggi.
"Ini pasti sekolah itu," kata Mom, menghentikan mobil di tengah jalan dan
menatap gedung tua itu. "Tak ada tanda-tanda atau apa pun. Tapi itu hanya satu-
satunya bangunan di blok."
"Tampaknya menyeramkan," kataku.
Memicingkan mata melalui kaca depan, ia menarik mobil ke jalanan sempit
berkerikil, hampir tersembunyi oleh kungkungan tinggi salju yang menutupi.
"Apa Ibu yakin ini adalah sekolah itu?" tanyaku. Aku membersihkan tempat di
jendela dengan tangan dan mengintip melaluinya. Bangunan tua itu tampak
lebih mirip penjara daripada sebuah sekolah. Rumah itu punya deretan jendela
kecil di atas lantai dasar, dan semua jendelanya dipalang. Tanaman menjalar
tebal menutupi bagian depan gedung, sehingga tampak lebih gelap dari
seharusnya.
"Aku cukup yakin," kata Ibu, menggigit bibir. Dia menurunkan jendela dan
menjulurkan kepalanya keluar, menatap rumah besar tua itu.
Suara musik piano melayang ke dalam mobil. Not-not, skala-skala dan melodi-
melodi diramu bersama-sama.
"Ya. Kita sudah menemukannya!" kata Ibu dengan gembira. "Ayo, Jerry. Cepat.
Kau terlambat. Aku akan pergi mencari sesuatu untuk makan malam. Aku akan
kembali dalam satu jam."
Aku membuka pintu mobil dan melangkah keluar ke jalan bersalju. Sepatuku
berderak keras saat aku mulai berlari ke arah gedung itu.
Musik piano itu semakin keras. Skala dan lagu campur aduk bersama-sama
dalam suatu gemuruh kebisingan yang memekakkan telinga.
Sebuah jalan sempit menuju ke beranda depan. Jalanan itu belum disekop, dan
lapisan es terbentuk di bawah salju. Aku terpeleset dan hampir jatuh saat aku
mendekati pintu masuk.
Aku berhenti dan menatap. Ini lebih mirip rumah hantu dari sekolah musik,
pikirku dengan menggigil.
Mengapa aku seperti punya perasaan sangat takut?
Cuma gugup, kataku pada diriku sendiri.
Menjauhkan perasaanku, aku memutar kenop pintu kuningan dingin dan
membuka pintu yang berat itu. Pintu itu berderit terbuka perlahan. Mengambil
napas dalam-dalam, aku melangkah masuk ke sekolah.

15

Suatu ruangan panjang dan sempit membentang di hadapanku. Lorong itu


gelapnya mengejutkan. Datang dari salju putih yang terang, mataku butuh
waktu lama untuk menyesuaikan diri.
Dindingnya berubin gelap. Sepatuku berdebam ribut di lantai yang keras. Not-
not piano bergema melalui lorong. Musik itu tampaknya meledak keluar dari
segala arah.
Dimana kantor Dr Shreek? Aku bertanya-tanya.
Aku berjalan menyusuri lorong. Lampu meredup. Aku berputar ke lorong
panjang lain, dan musik piano itu semakin keras.
Ada pintu cokelat gelap di kedua sisi lorong ini. Pintu-pintu itu punya jendela-
jendela bundar kecil di dalamnya. Saat aku terus berjalan, aku melirik ke
jendela.
Aku bisa melihat pengajar-pengajar yang tersenyum di setiap ruang, kepala
mereka bergoyang-goyang seirama musik piano.
Mencari kantor, aku melewati pintu demi pintu. Setiap ruang memiliki siswa
dan pengajar. Suara piano menjadi gemuruh, seperti samudra musik yang
menabrak dinding ubin gelap.
Dr. Shreek benar-benar memiliki banyak siswa, pikirku. Pasti ada seratus piano
bermain sekaligus!
Aku berbelok lagi dan lagi.
Tiba-tiba aku sadar bahwa aku telah benar-benar kehilangan indera arahku .
Aku tak tahu di mana aku berada. Aku tak bisa menemukan jalan kembali ke
pintu depan jika kuinginkan!
"Dr Shreek, di mana kau?" Aku bergumam sendiri. Suaraku tenggelam oleh
ledakan musik piano yang menggema di dinding dan langit-langit rendah.
Aku mulai merasa agak takut.
Bagaimana jika lorong-lorong gelap ini berputar selamanya? Aku
membayangkan diriku berjalan dan berjalan selama sisa hidupku, tak mampu
menemukan jalan keluar, ditulikan oleh hentakan musik piano.
"Jerry, berhentilah menakut-nakuti dirimu," kataku keras-keras.
Sesuatu tertangkap mataku. Aku berhenti berjalan dan menatap langit-langit.
Sebuah kamera hitam kecil bertengger di atas kepalaku.
Tampaknya kamera video, seperti kamera keamanan yang kau lihat di bank dan
toko-toko.
Apakah ada orang menontonku di layar TV di suatu tempat?
Jika ada, mengapa mereka tak datang membantuku menemukan jalan ke Dr.
Shreek?
Aku mulai marah. Sekolah macam apa ini? Tak ada tanda-tanda. Tak ada
kantor. Tak ada seorang pun yang menyambut.
Saat aku berbelok di sudut lain, aku mendengar suara ketukan aneh. Mulanya
kupikir itu hanya piano lain di salah satu ruang latihan.
Ketukan itu makin keras, mendekat. Aku berhenti di tengah-tengah lorong dan
mendengarkan. Suatu dengkingan bernada tinggi naik di atas suara ketukan-
ketukan itu.
Lebih keras. Lebih keras.
Lantainya tampak bergetar.
Dan saat aku menatap ke lorong gelap, satu monster besar berbelok di sudut itu.
Monster itu luar biasa besar, tubuh persegi itu bersinar dalam cahaya redup
seolah-olah ia terbuat dari logam. Kepala persegi panjangnya yang muncul itu
dekat langit-langit.
Kakinya menabrak lantai yang keras saat ia bergerak untuk menyerangku. Mata-
mata di sisi kepalanya berkilat-berkilat merah menyala.
"Tidak!" jeritku, menelan ludah.
Monster itu mengeluarkan jawaban dengkingan bernada tinggi. Lalu ia
menurunkan kepalanya yang berkilau seolah-olah mempersiapkan diri untuk
bertempur.
Aku berbalik, memutuskan untuk melarikan diri.
Aku terkejut, saat aku berbalik, aku melihat Dr. Shreek.
Dia berdiri hanya beberapa meter di lorong. Dr Shreek sedang menonton
makhluk besar itu bergerak kepadaku, wajahnya tersenyum senang.

16

Aku berhenti sebentar dengan terkesiap keras.


Di belakangku, makhluk itu menerjang lebih dekat, menggemborkan
dengkingan marah.
Di depanku, Dr Shreek, mata birunya bersinar senang, menghalangiku
melarikan diri.
Aku menjerit, bersiap-siap untuk ditangkap dari belakang oleh monster
keperakan itu.
Tapi monster itu berhenti.
Sunyi.
Tak ada tabrakan dari kaki logamnya yang berat. Tak ada dengkingan yang
melengking.
"Halo, Jerry," kata Dr Shreek dengan tenang, masih menyeringai. "Apa yang
kau lakukan di sepanjang jalan belakang sini?"
Bernapas keras, aku menunjuk ke monster itu, yang berdiri diam, menatap ke
arahku. "Aku - aku -"
"Kau mengagumi penyapu lantai kami?" tanya Dr Shreek.
"Apa Anda?" Aku berhasil berbicara.
"Penyapu lantai kami. Benda ini agak spesial," kata Dr. Shreek. Dia melangkah
melewatiku dan meletakkan tangan di bagian depan benda itu.
"Itu - itu mesin?" Aku tergagap.
Dia tertawa. "Kau tak berpikir itu hidup, kan?"
Aku benar-benar melongo pada benda itu. Aku masih terlalu ketakutan untuk
berbicara.
"Mr Toggle, petugas kebersihan kami, membuat ini untuk kami," kata Dr.
Shreek, menggosokkan tangannya sepanjang bagian depan besi persegi itu. "Ini
bekerja seperti mimpi. Mr Toggle bisa membuat apa pun. Dia jenius, seorang
jenius sejati."
"Me-mengapa alat ini punya wajah?" tanyaku, mundur menempel ke dinding.
"Mengapa alat ini punya mata yang menyala?"
"Cuma selera humor Mr Toggle," jawab Dr. Shreek, tergelak. "Dia juga yang
memasang kamera-kamera itu." Dia menunjuk ke kamera video yang bertengger
di langit-langit. "Mr Toggle adalah mekanik jenius.Kami tak bisa melakukan
apa-apa tanpa dia. Kami benar-benar tidak bisa."
Aku mengambil beberapa langkah maju dengan enggan dan mengagumi
penyapu lantai itu dari lebih dekat.
"Aku - aku tidak bisa menemukan kantor Anda," kataku pada Dr Shreek. "Aku
berkeliling dan berkeliling -"
"Aku minta maaf," jawabnya cepat. "Ayo kita mulai lesmu. Ayo."
Aku mengikutinya saat dia memimpin jalan kembali ke arah aku datang. Dia
berjalan dengan kaku namun cepat. Kemeja putihnya tidak dimasukkan di depan
perutnya yang besar. Dia mengayunkan tangannya kaku saat dia berjalan.
Aku merasa benar-benar bodoh. Bayangkan, membiarkan diriku ketakutan oleh
penyapu lantai!
Dia membuka salah satu pintu coklat dengan jendela bundar, dan aku
mengikutinya ke ruangan itu. Aku melirik ke sekitarnya dengan cepat. Ini
adalah sebuah ruangan persegi kecil yang diterangi oleh dua baris lampu pijar di
langit-langit. Tak ada jendela.
Perabotnya hanya piano coklat kecil tegak, bangku piano yang sempit, dan meja
musik kecil.
Dr Shreek memberi isyarat agar aku duduk di bangku piano, dan kami mulai
pelajaran kami. Dia berdiri di belakangku, menempatkan jari-jariku dengan hati-
hati di tuts-tuts, meskipun aku sekarang tahu bagaimana melakukannya sendiri.
Kami berlatih not-not yang berbeda. Aku menekan C dan D. Kemudian kami
mencoba E dan F. Dia menunjukkan padaku akord (paduan nada) pertamaku.
Lalu dia membuatku melakukan skala berulang-ulang.
"Bagus!" umumnya menjelang akhir jam. "Kerja bagus, Jerry. Aku lebih
senang." Pipi Santa Claus-nya jadi merah muda cerah di bawah kumis putihnya.
Aku meremas kedua tanganku, berusaha untuk menyingkirkan kram.
"Apakah Anda akan menjadi guru saya?" tanyaku.
Dia mengangguk. "Ya, aku akan mengajarkanmu dasar-dasarnya," jawabnya.
"Lalu ketika tanganmu sudah siap, kau akan diserahkan kepada salah satu
pengajar kami yang bagus."
"Ketika tanganku sudah siap?"
Apa sebenarnya yang dia maksud dengan itu?
"Mari kita coba potongan pendek ini," katanya, meraihku dari atas untuk
membalik halaman dalam buku musik itu. "Sekarang, bagian ini hanya memiliki
tiga not. Tapi kau harus memperhatikan not seperempat dan not setengah. Apa
kau ingat berapa lama untuk melanjutkan not setengah?"
Aku menunjukkannya di piano. Lalu aku mencoba memainkan melodi pendek
itu. Aku lakukan dengan cukup baik. Hanya beberapa debaman.
"Bagus! Bagus!" Dr Shreek menyatakan, menatap tanganku saat aku bermain.
Dia melirik arlojinya. "Aku khawatir waktu kita habis. Sampai jumpa hari
Jumat berikutnya, Jerry. Pastikan untuk mempraktekkan apa yang aku
tunjukkan kepadamu."
Aku mengucapkan terima kasih dan berdiri. Aku senang les itu berakhir.
Berkonsentrasi begitu keras benar-benar melelahkan. Kedua tanganku
berkeringat, dan aku satu tanganku masih kram.
Aku menuju ke pintu, lalu berhenti.
"Saya pergi lewat mana?" tanyaku. "Bagaimana saya sampai ke depan?"
Dr Shreek sibuk mengumpulkan lembaran-lembaran kerja yang telah kami
digunakan, menyelipkannya ke dalam buku musik. "Terus saja ke kiri," katanya
tanpa mendongak. "Kau tak akan melewatinya."
Aku berpamitan dan melangkah keluar ke lorong gelap. Telingaku langsung
diserang oleh dentuman not-not piano.
Apa les-les lainnya belum selesai? Aku bertanya-tanya.
Bagaimana mereka terus bermain meskipun waktunya sudah habis?
Aku melirik di kedua arah, memastikan tak ada penyapu-penyapu lantai
menunggu untuk menyerang. Lalu aku berbelok ke kiri, seperti yang Dr Shreek
perintahkan, dan mulai mengikuti lorong ke arah depan.
Saat aku melewati pintu demi pintu, aku bisa melihat pengajar-pengajar yang
tersenyum dalam setiap ruang, kepala mereka bergerak seirama dengan
permainan piano.
Sebagian besar siswa dalam kamar yang lebih maju dariku, aku menyadari.
Mereka tak berlatih not-not dan skala-skala. Mereka bermain potongan panjang
yang rumit.
Aku berbelok ke kiri, lalu ketika koridor berakhir, berbelok ke kiri sekali lagi.
Aku butuh beberapa saat untuk menyadari bahwa aku tersesat lagi.
Apakah aku kelewatan berbelok ke kiri di suatu tempat?
Lorong-lorong gelap dengan deretan pintu cokelat di kedua sisi semuanya
tampak sama.
Aku berbelok ke kiri lagi. Jantungku mulai berdebar. Mengapa tak ada orang
lain di lorong?
Lalu di depan aku melihat pintu ganda. Pintu keluar depan harusnya melalui
pintu-pintu itu, aku memutuskan.
Aku berjalan penuh semangat menuju pintu ganda dan mulai mendorong
melaluinya - ketika tangan yang kuat menyambar dari belakang, dan suara serak
kasar di telingaku, "Tidak, kau tidak boleh!"

17

"Hah?" jeritku kaget.


Tangan-tangan itu menarikku mundur, lalu melepaskan bahuku.
Pintu ganda itu berayun kembali ke tempatnya.
Aku berbalik melihat seorang pria tinggi kurus dengan rambut panjang hitam
kurus dan pangkal jenggot hitam. Dia mengenakan kemeja kuning di bawah
pakaian kerja denim.
"Bukan ke arah situ," katanya lembut. "Kau sedang mencari halaman depan? Itu
di sana." Dia menunjuk ke lorong ke kiri.
"Oh. Maaf," kataku, terengah-engah. "Anda... membuatku takut."
Pria itu meminta maaf. "Aku akan mengantarkanmu ke depan," dia
menawarkan, menggaruk pangkal pipinya. "Izinkan aku untuk
memperkenalkan diri. Aku Mr Toggle."
"Oh. Hai," kataku. "Saya Jerry Hawkins. Dr Shreek bercerita padaku tentang
Anda. Saya melihat penyapu lantai Anda."
Dia tersenyum. Matanya yang hitam menyala seperti batu bara gelap. "Cantik
bukan? Aku memiliki beberapa ciptaan lain seperti itu, beberapa bahkan lebih
baik."
"Dr Shreek mengatakan Anda mekanik jenius," kataku tak terkendali.
Mr Toggle tertawa sendiri. "Ya, aku memprogramnya untuk mengatakan itu!"
candanya.
Kami berdua tertawa.
"Lain kali (saat) kau datang ke sekolah, aku akan menunjukkan beberapa
penemuanku yang lain," Mr Toggle menawarkan, mengatur tali pengikat
pakaian kerja di atas bahu kurusnya.
"Terima kasih," jawabku.
Pintu depan tepat di depan. Aku tak pernah sebegitu senang melihat sebuah
pintu!
"Saya yakin saya akan hapal tata letak tempat ini," kataku.
Dia kelihatannya tak mendengarkanku.
"Dr Shreek memberitahuku bahwa kau punya tangan yang sangat baik,"
katanya, senyum aneh terbentuk di bawah pangkal jenggot hitamnya. "Itulah
apa yang kita cari di sini, Jerry. Itulah apa yang kita cari."
Merasa agak canggung, aku berterima kasih padanya. Maksudku, apa yang
seharusnya kau katakan saat seseorang memberitahumu betapa sangat bagusnya
tangan yang kau miliki?
Aku membuka pintu depan yang berat dan melihat Ibu menunggu di mobil.
"Selamat malam!" panggilku, dan penuh semangat berlari keluar dari sekolah,
ke malam bersalju.

***

Setelah makan malam, Ayah dan Ibu bersikeras bahwa aku (harus)
menunjukkan kepada mereka apa yang telah kupelajari dalam pelajaran piano.
Aku benar-benar tak ingin. Aku hanya belajar satu lagu sederhana itu, dan aku
masih belum bisa memainkan seluruhnya tanpa salah.
Tapi mereka memaksaku ke ruang keluarga dan mendorongku ke bangku piano.
"Jika aku akan membayar untuk les itu, aku ingin mendengar apa yang
kaupelajari," kata Ayah. Dia duduk dekat dengan Ibu di sofa, menghadap
belakang piano.
"Kami hanya mencoba satu lagu," kataku. "Tak bisakah kita menunggu sampai
aku belajar lebih banyak?"
"Mainkan," perintah Ayah.
Aku mendesah. "Tanganku kram."
"Ayolah, Jerry. Jangan membuat alasan," bentak Ibu tak sabar. "Mainkan saja
lagu itu, oke? Lalu kami tak akan mengganggumu lagi malam ini.?"
"Seperti apa sekolahnya?" Tanya Ayah pada Ibu. "Itu di sisi lain kota, bukan?"
"Hampir di luar kota," kata Ibu padanya. "Sekolah itu di dalam rumah yang
sangat tua. Tampak agak rusak, sebenarnya. Tapi Jerry mengatakan padaku
dalamnya bagus."
"Tidak, aku tidak," selaku. "Aku bilang rumah itu besar. Aku tak mengatakan
itu bagus. Aku tersesat di lorong-lorongnya dua kali!"
Ayah tertawa. "Aku melihat kau punya indera arah ibumu!"
Ibu mendorong ayah main-main. "Mainkan saja potongan (lagu itu)," katanya
padaku.
Aku menemukan lagu itu di buku musik dan menyandarkan buku itu di depanku
di atas piano. Lalu aku mengatur jari-jariku pada tuts-tuts dan siap untuk
bermain.
Tapi sebelum aku memencet not pertama, piano itu meledak dengan rentetan
not-not rendah. Kedengarannya seperti jika seseorang memukul tus-tuts itu
dengan kedua tangannya.
"Jerry - hentikan," kata Ibu tajam. "Itu terlalu keras."
"Itu bukan apa yang kau pelajari," tambah Ayah.
Aku mengatur jari-jariku di tempat dan mulai bermain.
Tapi not-notku tenggelam oleh suara keras mengerikan itu lagi.
Ini terdengar seperti anak kecil memukul tuts-tuts itu sekeras yang dia bisa.
"Jerry - yang benar saja!" teriak Ibu, memegang telinganya.
"Tapi aku tak melakukannya!" jeritku. "Itu bukan aku!"

18

Mereka tak percaya padaku.


Sebaliknya, mereka marah. Mereka menuduhku tak pernah menganggap sesuatu
serius, dan menyuruhku naik ke kamarku.
Aku benar-benar senang bisa keluar dari ruang keluarga dan jauh dari piano
hantu itu. Aku tahu siapa yang memukul tuts-tuts dan membuat keributan itu.
Hantu itu yang melakukannya.
Mengapa?
Dia berusaha membuktikan apa?
Dia berencana melakukan apa padaku?
Pertanyaan-pertanyaan itu tak bisa kujawab. . . belum.

***
Jumat sore berikutnya, Mr Toogle menepati janjinya. Dia menyambutku di
pintu sekolah piano setelah ibuku menurunkan aku. Dia memimpinku melalui
lorong-lorong berliku-liku ke ruang kerja yang besar.
Ruang kerja Mr Toogle seukuran auditorium. Ruangan yang luas itu penuh
dengan mesin-mesin dan peralatan elektronik.
Satu makhluk logam besar berkepala dua, setidaknya tiga kali tinggi penyapu
lantai yang telah membuatku ketakutan minggu sebelumnya, berdiri di tengah.
Ia dikelilingi oleh mesin rekaman, setumpuk motor listrik, peti-peti peralatan
dan komponen-komponen yang aneh, peralatan video, tumpukan roda sepeda,
kerangka-kerangka piano tanpa isinya, kandang-kandang hewan, dan sebuah
mobil tua dengan kursi yang dibuang.
Di salah satu dinding tampak panel kontrol. Disitu ada layar video lebih dari
selusin, semuanya menyala, semuanya menampakkan (apa) yang terjadi di
kelas-kelas yang berbeda di sekolah. Di sekitar layar-layar itu dan ribuan
tombol-tombol, lampu-lampu merah dan hijau yang berkedip, speaker, dan
mikrofon.
Di bawah panel kontrol, pada meja sepanjang ruangan, berdiri setidaknya
selusin komputer. Semuanya tampak menyala.
"Wow!" seruku. Mataku terus melirik dari satu benda menakjubkan ke yang
lainnya. "Saya tidak percaya ini!"
Mr Toogle terkekeh. Matanya yang gelap menjadi cerah.
"Aku menemukan cara untuk tetap sibuk," katanya. Dia menuntunku ke sudut
yang bersih dari ruangan besar itu. "Ayo kutunjukkan beberapa alat musikku."
Dia berjalan ke deretan lemari besi tinggi berwarna abu-abu di sepanjang
dinding. Dia menarik beberapa barang dari lemari dan bergegas kembali.
"Apa kau tahu apa ini, Jerry?" Dia mengacungkan sebuah alat kuningan
mengkilap melekat pada semacam tangki.
"Saksofon?" tebakku.
"Saksofon yang sangat spesial," katanya, sambil menyeringai. "Lihat? Melekat
pada tangki udara bertekanan. Itu artinya kau tak harus meniupnya? Kau bisa
berkonsentrasi pada jarimu."
"Wow," kataku. "Itu benar-benar keren."
"Sini. Gunakanlah," desak Mr Toggle. Dia menyelipkan topi kulit cokelat di
atas kepalaku. Topi itu punya beberapa kabel tipis mengalir keluar belakang,
dan itu melekat pada keyboard kecil.
"Apa itu?" tanyaku, mengatur topi itu di atas telingaku.
"Kedipkan matamu," perintah Mr Toggle.
Aku mengedipkan mataku, dan keyboard memainkan suatu nada. Aku gerakkan
mataku dari kanan ke kiri. Keyboard itu memainkan nada lain. Aku
mengedipkan satu mata. Keyboard itu memainkan satu not.
"Itu benar-benar dikontrol mata," kata Mr Toggle dengan bangga. "Tak perlu
tangan."
"Wow," ulangku. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Benda ini luar biasa!
Mr Toogle melirik ke sederetan jam di dinding panel kontrol. "Kau terlambat
untuk kelas, Jerry. Dr Shreek akan menunggu. Katakan padanya ini salahku,
oke?"
"Oke," kataku. "Terima kasih untuk menunjukkan kepada saya semuanya."
Dia tertawa. "Aku tak menunjukkan semuanya," candanya. "Ada banyak lagi."
Dia mengusap pangkal janggutnya. "Tapi kau akan melihat semua pada
waktunya."
Aku berterima kasih padanya lagi dan bergegas menuju pintu. Hampir jam
empat lima belas menit. Aku berharap Dr Shreek tak akan marah karena aku
terlambat lima belas menit.
Saat aku berlari melintasi ruang kerja yang sangat besar, aku hampir berlari ke
deretan lemari besi gelap, tertutup dan digembok.
Berpaling dari lemari-lemari itu, aku tiba-tiba mendengar satu suara.
"Tolong!" Suatu teriakan lemah.
Aku berhenti di samping lemari dan (berusaha) keras mendengarkan.
Dan mendengarnya lagi. Suatu suara kecil, sangat samar. "Bantu aku,
tolonglah!"

19

"Mr Toggle - apa itu?" teriakku.


Dia mulai mengutak-atik kabel pada topi kulit coklat itu. Dia perlahan-lahan
mendongak. "Apa? Apa?"
"Teriakan itu," kataku, menunjuk ke lemari. "Aku mendengar suara."
Dia mengerutkan dahi. "Itu cuma peralatan yang rusak saja," gumamnya,
kembali memperhatikan kabel-kabel itu.
"Hah? Peralatan rusak?" Aku tak yakin aku telah mendengarnya dengan benar.
"Ya. Cuma beberapa peralatan yang rusak," ulangnya sabar. "Sebaiknya kau
bergegas, Jerry. Dr Shreek pasti bertanya-tanya di mana kau berada."
Aku mendengar teriakan kedua. Satu suara yang sangat lemah dan kecil. "Bantu
aku - tolonglah!"
Aku ragu-ragu. Mr Toogle menatapku tak sabar.
Aku tak punya pilihan. Aku berbalik dan lari dari ruangan, teriakan lemah itu
masih di telingaku.

***
Pada hari Sabtu sore aku keluar untuk membersihkan salju dari jalan masuk
rumah kami. Salju turun malam sebelumnya, hanya satu atau dua inci. Sekarang
adalah salah satu dari hari-hari cerah musim dingin dengan langit biru yang
terang.
Rasanya bagus untuk berada di udara segar, melakukan beberapa latihan.
Semuanya tampak begitu segar dan bersih.
Aku sedang menyelesaikan di bagian bawah jalan masuk, lenganku mulai sakit
karena menyekop saat aku melihat Kim Li Chin. Dia keluar dari mobil Honda
hitam ibunya, membawa tas biola. Kuduga ia pulang dari les.
Aku pernah melihatnya di sekolah beberapa kali, tapi aku tak benar-benar bicara
dengannya sejak hari ia lari dariku di lorong.
"Hei!" panggilku di seberang jalan, bersandar pada sekop, sedikit terengah-
engah. "Hai!"
Dia menyerahkan tas biola pada ibunya dan melambai kembali. Lalu dia datang
ke arahku dengan berlari-lari kecil, hightops hitamnya berderak di atas salju.
"Bagaimana kabarmu?" tanyanya. "Cukup bersalju, ya?"
Aku mengangguk. "Ya. Mau menyekop? Aku masih harus melakukan
pekerjaan."
Dia tertawa. "Tidak, terima kasih."
Dia punya tawa tinggi bergemerincing, seperti dua gelas berdenting bersama-
sama.
"Kau datang dari les biola?" Tanyaku, masih bersandar pada sekop.
"Ya. Aku mengerjakan potongan Bach. Ini cukup sulit."
"Kau lebih maju dariku," kataku. "Aku kebanyakan masih melakukan not dan
skala."
Senyumnya memudar. Matanya jadi bijaksana.
Kami berbicara sebentar tentang sekolah. Lalu aku bertanya apakah ia mau
datang dan makan beberapa cokelat panas atau sesuatu.
"Bagaimana kerjanya?" tanyanya, menunjuk. "Kupikir kau harus menyekop
itu."
"Ayah akan kecewa jika aku tak menyimpan sebagian untuknya," gurauku.

***

Ibu mengisi dua cangkir putih besar dengan coklat panas. Tentu saja aku
membakar lidahku pada tegukan pertama.
Kim dan aku sedang duduk di ruang baca. Kim duduk di bangku piano dan
mengetuk ringan beberapa tuts.
"Piano ini memiliki nada yang benar-benar baik," katanya, wajahnya semakin
serius. "Lebih baik dari piano ibuku."
"Kenapa kau lari sore itu?" semburku.
Itulah yang ada di pikiranku sejak kejadian itu terjadi. Aku harus tahu
jawabannya.
Dia menurunkan matanya ke keyboard piano dan pura-pura tak mendengarku.
Jadi aku bertanya lagi. "Kenapa kau lari seperti itu, Kim?"
"Aku tidak," jawabnya akhirnya, masih menghindari mataku. "Aku terlambat
untuk les, itu saja."
Aku menaruh cangkir cokelat panasku turun di meja kopi dan bersandar di
lengan sofa.
"Aku bilang aku akan les piano di Sekolah Shreek, ingat? Lalu wajahmu terlihat
aneh, dan kau lari."
Kim menghela napas. Cangkir cokelat putih panas di pangkuannya. Aku melihat
bahwa ia mencengkeram erat-erat di kedua tangan. "Jerry, aku benar-benar tak
ingin membicarakannya," katanya pelan. "Ini terlalu... Terlalu menakutkan."
"Menakutkan?" tanyaku.
"Apa kau tak tahu kisah tentang Sekolah Shreek?" tanyanya.

20

Aku tertawa. Aku tak yakin mengapa. Mungkin itu (karena) ekspresi serius di
wajah Kim. "Cerita? Cerita macam apa?"
"Aku benar-benar tak ingin memberitahumu," katanya. Dia mengisap lama dari
cangkir putih, lalu mengembalikannya ke pangkuannya.
"Aku baru pindah ke sini, ingat?" kataku padanya. "Jadi aku belum pernah
mendengar cerita apa pun. Cerita tentang apa?."
"Hal-hal tentang sekolah," gumamnya. Dia turun dari bangku piano dan berjalan
ke jendela, membawa cangkir di satu tangan.
"Hal macam apa?" tuntutku. "Ayolah, Kim - katakan padaku!"
"Yah... Hal-hal seperti ada monster di sana," jawabnya, menatap keluar jendela
ke halaman belakang bersaljuku. "Monster asli yang hidup di ruang bawah
tanah."
"Monsters?" Aku tertawa.
Kim berbalik.
"Itu tak lucu," bentaknya.
"Aku sudah melihat monster," kataku, menggelengkan kepala.
Wajahnya benar-benar terkejut. "Kau apa?"
"Aku sudah melihat monster," ulangku. "Mereka itu penyapu lantai."
"Hah?" Mulutnya ternganga. Dia hampir menumpahkan cokelat panas di bagian
depan kaosnya. "Penyapu lantai?"
"Ya. Mr Toggle membuatnya. Dia bekerja di sekolah.. Dia semacam mekanik
jenius. Dia membuat segala macam hal."
"Tapi -" ia mulai.
"Aku melihat satu di hari pertamaku di sekolah," aku melanjutkan. "Kupikir itu
semacam monster. Ia membuat suara mendengking aneh,. Dan datang tepat ke
arahku. Aku kaget sekali! Tapi itu adalah salah satu pembersih lantai Mr Toggle
itu."
Kim memiringkan kepalanya, menatapku serius. "Yah, kau tahu bagaimana
cerita-cerita dimulai," katanya. "Aku tahu cerita-ceita itu mungkin tidak benar.
Semua cerita itu mungkin punya penjelasan sederhana seperti itu."
"Semua?" tanyaku. "Ada lagi?"
"Yah..." Dia ragu-ragu. "Ada cerita tentang bagaimana anak-anak masuk untuk
les dan tak pernah keluar lagi. Bagaimana mereka lenyap, menghilang begitu
saja."
"Itu tidak mungkin," kataku.
"Ya, kurasa," ia cepat-cepat menyetujui.
Lalu aku teringat suara kecil dari lemari, meminta bantuan.
Itu pasti beberapa penemuan Mr Toggle, aku berkata pada diriku sendiri. Pasti
itu.
Peralatan rusak, katanya. Dia tak tampak sedikit pun gembira atau marah
tentang hal itu.
"Lucu ya bagaimana cerita-cerita menakutkan itu dimulai," kata Kim, berjalan
kembali ke bangku piano.
"Yah, gedung sekolah piano itu menyeramkan dan tua," kataku. "Benar-benar
terlihat seperti semacam rumah besar berhantu. Kukira kemungkinan itulah
mengapa cerita-cerita jadi dimulai."
"Mungkin," katanya setuju.
"Sekolah itu tak berhantu, tetapi piano itu berhantu!" Kataku padanya.
Aku tak tahu apa yang membuatku mengatakan itu. Aku tak memberitahu siapa
pun tentang hantu dan piano. Aku tahu tak seorang pun akan percaya padaku.
Kim agak kaget dan menatap piano itu. "Piano ini berhantu? Apa maksudmu?
Bagaimana kau tahu?"
"Di larut malam, aku mendengar seseorang memainkannya," kataku. "Seorang
wanita. Aku melihatnya sekali."
Kim tertawa. "Kau bercanda denganku- benar kan?"
Aku menggeleng. "Tidak, aku serius, Kim. Aku melihat wanita ini larut malam.
Dia memainkan melodi sedih yang sama berulang-ulang."
"Jerry, ayolah!" Kim memohon, memutar matanya.
"Wanita itu berbicara padaku. Kulitnya rontok. Itu... Itu sangat menakutkan,
Kim. Wajahnya lenyap. Tengkoraknya menatapku. Dan dia memperingatkan
aku untuk menjauh. Menjauh...."
Aku merasa gemetar. Entah bagaimana aku telah menghentikan adegan
menakutkan itu keluar dari pikiranku selama beberapa hari. Tapi sekarang, saat
aku mengatakan pada Kim, semua itu kembali padaku.
Kim tersenyum lebar. "Kau seorang pendongeng lebih baik daripada aku,"
katanya. "Apa kau tahu banyak cerita-cerita hantu?"
"Ini bukan cerita!" teriakku. Tiba-tiba, aku putus asa baginya untuk percaya
padaku.
Kim mulai menjawab, tapi ibuku menjulurkan kepala ke ruang keluarga dan
mengganggu. "Kim, ibumu baru saja telpon. Dia merasa kau harus pulang
sekarang."
"Kurasa aku sebaiknya pergi," kata Kim, meletakkan cangkir cokelat panas.
Aku mengikutinya keluar.
Kami baru saja sampai di pintu ruang keluarga ketika piano itu mulai bermain.
Sekumpulan not aneh yang campur aduk.
"Lihat?" teriakku gembira pada Kim. "Lihat? Sekarang apakah kau percaya
padaku?"

21

Kami berdua kembali menatap piano itu.


Bonkers mondar-mandir di atas tuts-tuts, ekornya naik lurus dibelakangnya.
Kim tertawa. "Jerry, kau lucu aku hampir mempercayaimu!"
"Tapi - tapi -" Aku tergagap.
Kucing bodoh itu membuatku bodoh lagi.
"Sampai jumpa di sekolah," kata Kim. "Aku suka cerita hantumu."
"Terima kasih," kataku lemah. Lalu aku bergegas melintasi ruangan untuk
mengejar Bonkers dari piano itu.

***

Larut malam itu aku mendengar piano bermain lagi.


Aku duduk tegak di tempat tidur. Bayangan-bayangan di atas langit-langitku
tampak bergerak-gerak pada seirama musik itu.
Aku telah tertidur ringan, gelisah. Aku pasti menendang selimut dalam tidurku,
karena selimut itu berkumpul di kaki tempat tidur.
Sekarang, mendengarkan melodi lambat yang akrab itu, aku terjaga.
Itu bukan Bonkers yang mondar-mandir di atas tuts-tuts. Itu hantu.
Aku berdiri. Papan-papan lantai sedingin es. Di luar jendela kamar, aku bisa
melihat pohon-pohon gundul musim dingin bergoyang dalam angin yang kuat.
Saat aku bergerak pelan-pelan ke pintu kamar tidur, musik itu semakin keras.
Haruskah aku pergi ke sana? tanyaku pada diriku sendiri.
Apa hantu itu akan menghilang begitu aku melongokkan kepalaku ke ruang
keluarga?
Apakah aku benar-benar ingin melihatnya?
Aku tak ingin melihat bahwa seringai tengkorak mengerikan itu lagi.
Tapi aku sadar aku tak bisa hanya berdiri di sana di ambang pintu. Aku tak bisa
kembali ke tempat tidur. Aku tak bisa mengabaikannya.
Aku harus pergi menyelidiki.
Aku tertarik ke bawah, seolah-olah ditarik oleh tali tak terlihat.
Mungkin ini Ibu dan Ayah akan mendengarnya juga, pikirku sambil berjalan di
sepanjang lorong. Mungkin mereka akan melihatnya juga. Mungkin mereka
akhirnya akan percaya padaku.
Kim melintas dalam pikiranku saat aku mulai menuruni tangga berderit. Dia
pikir aku mengarang cerita hantu. Dia mengira aku mencoba melucu.
Tapi benar-benar ada hantu di rumahku, hantu yang bermain pianoku. Dan aku
satu-satunya yang tahu itu.
Ke ruang tamu. Menyeberangi karpet usang ke ruang makan.
Musik itu mengalun begitu lembut, begitu tenang.
Benar-benar musik hantu, pikirku. . . .
Aku ragu-ragu sejenak tepat di pintu ruang keluarga. Apakah ia akan lenyap
begitu aku mengintip?
Apakah dia menungguku?
Mengambil napas dalam-dalam, aku melangkah ke ruang keluarga.

22

Dia menundukkan kepala, rambutnya yang panjang jatuh menutupi wajahnya.


Aku tak bisa melihat matanya.
Musik piano itu sepertinya berputar-putar di sekitarku, menarikku lebih dekat
meskipun aku ketakutan.
Kakiku gemetar, tapi aku melangkah lebih dekat. Lalu, satu langkah lagi.
Dia abu-abu. Nuansa abu-abu di kegelapan dari langit malam melalui jendela-
jendela.
Kepalanya muncul dan bergoyang seirama dengan musik. Lengan blusnya
mengepul saat lengannya bergerak-gerak di atas tuts.
Aku tak bisa melihat matanya. Aku tak bisa melihat wajahnya. Rambutnya yang
panjang menutupi tubuhnya, seolah-olah bersembunyi di balik tirai.
Musik itu memuncak, begitu sedih, begitu sangat sedih.
Aku melangkah lebih dekat. Aku tiba-tiba sadar aku lupa untuk bernapas. Aku
membiarkan napasku keluar dengan suara keras.
Dia berhenti bermain. Mungkin suara napasku memberitahunya bahwa aku ada
di sana.
Saat ia mengangkat kepalanya, aku bisa melihat mata pucatnya menatapku
melalui rambutnya.
Aku tak bergerak.
Aku tak bernapas.
Aku tak bersuara.
"Cerita-cerita itu benar," bisiknya. Sebuah bisikan kering yang sepertinya
datang dari jauh.
Aku tak yakin aku telah mendengar dengan benar. Aku mencoba mengatakan
sesuatu, tapi suaraku tercekat di tenggorokan.
Tak ada suara yang keluar sama sekali.
"Cerita-cerita itu benar," ulangnya. Suaranya hanyalah udara, desisan udara.
Aku terbelalak menatapnya.
"Ce-cerita apa?" aku akhirnya berhasil berkata.
"Cerita-cerita tentang sekolah," jawabnya, rambutnya tergerai menutupi
wajahnya. Kemudian dia mulai menaikkan lengannya dari tuts-tuts piano.
"Mereka benar," keluhnya. "Cerita-cerita itu benar."
Dia mengangkat tangan-tangannya ke arahku.
Menganga ngeri pada tangan-tangan itu, aku menjerit - lalu mulai muntah.
Lengan-lengannyanya berakhir pada ujungnya. Dia tak punya tangan.

23

Hal berikutnya yang kutahu, ibuku merangkulkan lengannya padaku. "Jerry,


tenang. Jerry, apa-apa. Tak apa-apa," dia terus mengulangi.
"Hah? Bu?"
Aku terengah-engah. Dadaku naik-turun naik-turun. Kakiku goyah semua.
"Ibu? Di mana -? Bagaimana -?"
Aku mendongak dan melihat ayahku berdiri beberapa kaki jauhnya,
memicingkan mata ke arahku melalui kacamatanya, kedua lengan disilangkan di
depan jubah mandinya. "Jerry, kau berteriak cukup keras untuk membangunkan
seluruh kota!"
Aku menatapnya tak percaya. Aku bahkan tak sadar aku menjerit.
"Tak apa-apa sekarang," kata Ibu menenangkan. "Tak apa-apa, Jerry. Kau
sekarang baik-baik saja."
Aku ? Baik ?
Sekali lagi, aku membayangkan hantu wanita itu, semuanya abu-abu, rambutnya
yang tergerai, membentuk tirai di wajahnya. Sekali lagi, aku melihatnya
mengangkat lengannya untuk menunjukkan padaku. Sekali lagi, aku melihat
ujung yang mengerikan di mana seharusnya ada tangannya.
Dan lagi, aku mendengar bisikan keringnya, "Cerita-cerita itu benar."
Mengapa dia tak punya tangan? Mengapa?
Bagaimana dia bermain piano tanpa tangan?
Mengapa dia menghantui pianoku? Mengapa dia ingin menakut-nakutiku?
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar begitu cepat di dalam otakku, aku ingin
menjerit dan menjerit dan menjerit. Tapi aku telah berteriak.
"Ibu dan aku sama-sama tertidur nyenyak. Kau membuat kami ketakutan
setengah mati," kata Ayah. "Aku tak pernah mendengar raungan seperti itu."
Aku tak ingat berteriak. Aku tak ingat hantu itu menghilang, atau Ibu dan Ayah
menyerbu masuk.
Itu terlalu mengerikan. Kukira pikiranku benar-benar mematikannya.
"Aku akan membuatkanmu cokelat panas," kata Ibu, masih memegangku erat-
erat. "Cobalah untuk berhenti gemetar."
"Aku - aku sudah berusaha," kataku tergagap-gagap.
"Kiranya itu mimpi buruk yang lain," aku mendengar Ayah memberitahu Ibu.
"Pasti salah satu kenangan pikiran yang timbul."
"Itu bukan mimpi buruk!" jeritku.
"Maaf," kata Ayah dengan cepat. Dia tak ingin untuk aku mulai lagi.
Tapi sudah terlambat. Bahkan sebelum aku menyadari hal itu terjadi, aku mulai
menjerit. "Aku tak ingin bermain piano. Keluarkan piano itu dari sini!!
Keluarkan!"
"Jerry, tolonglah -" Ibu memohon, wajahnya penuh dengan kekhawatiran.
Tapi aku tak bisa berhenti. "Aku tak ingin bermain piano! Aku tak ingin les!!
Aku tak akan pergi ke sekolah piano itu! Aku tak akan pergi, tak akan!"
"Oke, oke!" teriak Ayah, memekik mengatasi suara lolongan putus asaku. "Oke,
Jerry. Tak akan ada yang memaksamu."
"Hah?" Aku menatap orangtuaku dari satu ke yang lain, mencoba untuk melihat
apakah mereka serius.
"Jika kau tak ingin les piano, kau tak harus ikut," kata Ibu, menjaga suaranya
dengan nada rendah menenangkan. "Lagi pula kau hanya (perlu) masuk sekali
lagi ."
"Ya," Ayah cepat-cepat bergabung. "Saat kau pergi ke sekolah pada hari Jumat,
cukup beritahu Dr Shreek bahwa itu pelajaran terakhirmu."
"Tapi aku tak mau -" aku mulai.
Ibu meletakkan tangan lembutnya ke mulutku. "Kau harus memberitahu Dr
Shreek, Jerry. Kau tak bisa berhenti begitu saja."
"Katakan padanya pada hari Jumat," desak Ayah. "Kau tak harus bermain piano
jika kau tak ingin. Sungguh."
Mata ibu menelitiku. "Apa itu membuatmu merasa lebih baik, Jerry?"
Aku melirik piano itu, yang sekarang diam, berkilauan suram dalam lampu
redup di atas kepala.
"Ya, kurasa." Gumamku ragu. "Kurasa lebih baik."

***

Jumat sore sepulang sekolah, hari abu-abu gelap berangin dengan awan-awan
salju yang melayang rendah di atas kepala, Ibu mengantarku ke sekolah piano.
Dia berhenti di jalan panjang antara pagar tinggi dan berhenti di depan pintu
masuk ke gedung, gelap tua itu.
Aku ragu-ragu. "Tak bisakah aku hanya lari dan memberitahu Dr Shreek bahwa
aku berhenti, kemudian lari segera kembali keluar?"
Ibu melirik jam di dasbor. "Ambil satu les lagi, Jerry. Itu tak akan menyakiti.
Kami sudah membayar untuk itu."
Aku mendesah sedih. "Maukah Ibu ikut denganku? Atau bisakah menungguku
di sini?"
Ibu mengerutkan kening. "Jerry, aku punya tiga (tempat) berhenti. Aku akan
kembali dalam satu jam, aku janji."
Dengan enggan, aku membuka pintu mobil. "Selamat tinggal, Bu."
"Jika Dr Shreek bertanya mengapa kau berhenti, katakan padanya bahwa les itu
mengganggu sekolahmu."
"Oke. Sampai jumpa dalam satu jam," kataku.
Aku membanting pintu mobil, lalu mengamati saat ia melaju pergi, ban
berderak di atas jalanan yang berkerikil.
Aku berbalik dan berjalan ke gedung sekolah.
Sepatuku berbunyi keras saat aku berjalan melalui lorong-lorong gelap ke
kamar Dr Shreek itu. Aku mencari Mr Toggle, tetapi tak melihatnya. Mungkin
dia dalam ruang kerjanya yang sangat besar menciptakan hal-hal yang lebih
menakjubkan.
Bunyi gemuruh not-not piano yang biasa mengalir dari kamar-kamar praktek
saat aku melewatinya. Melalui, jendela bundar kecil aku bisa melihat para
pengajar tersenyum, melambaikan tangan mereka, menjaga irama, kepala
mereka berayun untuk permainan siswa mereka .
Saat aku berbelok di sudut dan menuju ke satu koridor, panjang dan gelap,
sebuah pikiran aneh muncul dalam kepalaku. Aku tiba-tiba menyadari bahwa
aku belum pernah melihat siswa lain di lorong.
Aku telah melihat para pengajar melalui jendela ruangan. Dan aku telah
mendengar suara dari permainan siswa mereka. Tapi aku belum pernah melihat
siswa lain.
Tak satu pun.
Aku tak punya waktu lama untuk berpikir tentang hal ini. Senyuman Dr Shreek
menyambutku di luar pintu ruang praktek kami. "Bagaimana kabarmu hari ini,
Jerry?"
"Oke," jawabku, mengikutinya ke ruangan.
Dia mengenakan celana abu-abu longgar dengan tali selempang merah cerah di
atas kemeja putih kusut. Rambutnya yang putih tampak seolah-olah tak pernah
disisir dalam beberapa hari. Dia memberi isyarat bagiku untuk mengambil
tempatku di bangku piano.
Aku cepat-cepat duduk, melipat tanganku tegang di pangkuanku. Aku ingin
pembicaraanku berakhir dengan cepat sebelum kami mulai pelajaran. "Eh.. Dr
Shreek.?"
Dia berjalan kaku di ruangan kecil itu sampai ia berdiri tepat di depanku. "Ya,
anakku?" ia berseri-seri ke arahku, pipi Santa Claus-nya merah muda terang.
"Yah... Saya... Ini akan menjadi pelajaran terakhir saya," aku berhasil berkata.
"Saya telah memutuskan saya... Eh... Harus berhenti."
Senyumnya menghilang. Dia meraih pergelangan tanganku. "Oh, tidak,"
katanya, seraya merendahkan suaranya menggeram. "Tidak. Kau tidak akan
pergi, Jerry."
"Hah?" jeritku.
Ia memperketat cengkeramannya pada pergelangan tanganku. Dia benar-benar
menyakitiku.
"Berhenti?" serunya. "Tidak dengan tangan-tangan itu." Wajahnya menyeringai
dipelintir menjadi jelek. "Kau tak bisa berhenti, Jerry. Aku perlu tangan-tangan
yang indah itu."

24

"Lepaskan!" jeritku.
Dia mengabaikanku dan memperketat cengkeramannya, matanya menyipit
mengancam. "Benar-benar tangan yang sangat baik," gumamnya. "Bagus."
"Tidak!"
Dengan teriakan melengking, aku menyentakkan pergelangan tanganku bebas.
Aku melompat dari bangku piano dan mulai berlari ke pintu.
"Kembalilah, Jerry!" teriak Dr Shreek marah. "Kau tak bisa pergi!"
Dia mengejarku, bergerak kaku tapi pasti, mengambil langkah-langkah panjang.
Aku membuka pintu dan melesat keluar ke lorong. Dentuman musik piano
menyambut telingaku. Lorong panjang dan gelap itu kosong seperti biasanya.
"Kembalilah, Jerry!" panggil Dr Shreek tepat di belakangku.
"Tidak!" Aku berteriak lagi.
Aku ragu-ragu, mencoba untuk memutuskan pergi ke arah mana, jalan mana
yang menuju pintu depan. Lalu aku menunduk dan mulai berlari.
Sepatuku berdebam di lantai keras. Aku berlari secepat yang aku bisa, lebih
cepat dari yang pernah kulakukan dalam hidupku. Ruang-ruang praktek itu
menderu lewat dalam kegelapan yang remang-remang.
Tapi aku terkejut, Dr Shreek terus tepat di belakangku. "Kembalilah, Jerry,"
serunya, bahkan tak terdengar kehabisan napas. "Kembalilah. Kau tak bisa
lepas dariku.."
Menoleh ke belakang, aku melihat bahwa ia mendekatiku.
Aku bisa merasakan kepanikan naik ke tenggorokanku, mencekik udaraku.
Kakiku sakit. Jantungku berdebar begitu keras, rasanya dadaku seperti akan
meledak.
Aku berbelok di tikungan dan berlari turun ke lorong lain yang panjang.
Dimana aku?
Apakah aku menuju pintu depan?
Aku tak tahu. Lorong gelap ini tampak seperti yang lain.
Mungkin Dr Shreek benar. Mungkin aku tak bisa pergi, pikirku, merasakan
denyut darah di pelipisku ketika aku berbelok di tikungan lain.
Aku mencari Mr Toggle. Mungkin ia bisa menyelamatkanku. Tapi lorong itu
kosong. Musik piano mengalir keluar dari setiap ruangan, tapi tak ada yang
keluar di lorong.
"Kembalilah, Jerry. Tak ada gunanya lari!!"
"Mr Toggle!" aku menjerit, suaraku serak dan sesak napas. "Mr Toggle -
Tolong aku! Tolong aku, tolonglah!"
Aku berbalik ke tikungan lain, sepatuku meluncur di lantai halus yang
mengkilat. Aku terengah-engah sekarang, dadaku sesak.
Aku melihat pintu-pintu ganda di depan. Apakah itu mengarah ke depan?
Aku tak bisa ingat.
Dengan erangan rendah, aku menjulurkan kedua tangan dan mendorong pintu.
"Tidak!" Aku mendengar Dr Shreek berteriak di belakangku. "Tidak, Jerry!
Jangan pergi ke lorong resital!"
(resital: konser atau pertunjukan yg ditampilkan seorang pemain musik
atau kelompok kecil pemain musik)
Terlambat.
Aku mendorong pintu dan menguncinya di dalam. Masih berlari, aku
menemukan diriku di sebuah ruangan besar terang benderang.
Aku melangkah - lalu berhenti di ngeri.
Musik piano memekakkan telinga - seperti gemuruh guntur yang tak pernah
berakhir.
Pada awalnya, ruangan itu kabur. Lalu perlahan-lahan jadi terlihat dengan jelas.
Aku melihat baris demi baris piano hitam. Disamping masing-masing piano itu
berdiri seorang pengajar yang tersenyum. Para pengajar itu semuanya tampak
sama. Mereka semua mengangguk-anggukkan kepala mereka seirama musik.
Musik itu dimainkan oleh -
Musik itu sedang dimainkan oleh -
Aku terkesiap, menatap dari baris ke baris.
Musik itu dimainkan oleh - TANGAN-TANGAN!
Tangan-tangan manusia mengambang di atas papan-papan tuts.
Tak ada orangnya.
Hanya TANGAN-TANGAN!

25

Mataku menyusuri deretan piano. Sepasang tangan mengambang di atas piano


masing-masing.
Para pengajar semuanya pria berkepala botak berseragam abu-abu dengan
senyum terpampang di wajah mereka. Kepala mereka muncul dan bergoyang-
goyang, mata abu-abu mereka terbuka dan tertutup saat-saat tangan-tangan itu
bermain di atas papan tuts.
Tangan-tangan.
Hanya tangan-tangan.
Saat aku ternganga lumpuh, mencoba memahami apa yang kulihat, Dr Shreek
menyerbu masuk ke ruangan dari belakangku. Dia lari meloncat pada kakiku,
mencoba untuk menggasakku.
Entah bagaimana aku menghindar jauh dari tangan-tangannya yang terulur.
Dia mengerang dan perutnya membentur lantai. Aku melihatnya meluncur di
lantai yang halus itu, wajahnya merah karena marah.
Lalu aku berbalik, menjauh dari puluhan tangan, menjauh dari piano-piano yang
memekakkan telinga, dan mulai kembali ke pintu.
Tapi Dr Shreek lebih cepat dari yang kubayangkan. Aku terkejut, dia berdiri
dalam satu detik, bergerak cepat untuk menghalang-halangiku melarikan diri.
Aku mendecit berhenti.
Aku mencoba berbalik, untuk menjauh darinya. Tapi aku kehilangan
keseimbangan dan jatuh.
Musik piano itu mengitariku. Aku mendongak untuk melihat deretan tangan-
tangan itu memukul menjauh di papan tuts mereka.
Dengan terkesiap takut, aku berusaha berdiri.
Terlambat.
Dr Shreek itu mendekatiku, senyum gembira kemenangan tampak di wajah
bulatnya yang merah.

26

"Tidak!" jeritku, dan mencoba untuk berdiri.


Tapi Dr Shreek membungkuk di atasku, menyambar pergelangan kaki kiriku,
dan menahannya. "Kau tak bisa pergi, Jerry," katanya dengan tenang, bahkan
tidak kehabisan napas.
"Biarkan aku pergi! Biarkan aku pergi!" Aku mencoba untuk memutar keluar
dari cengkeramannya. Tapi ia cukup kuat. Aku tak bisa membebaskan diri.
"Tolong aku! Siapa pun tolong aku!" Aku berteriak, menjerit di atas gemuruh
piano-piano.
"Aku membutuhkan tangan-tanganmu, Jerry," kata Dr Shreek. "Betul-betul
tangan yang indah."
"Anda tidak bisa! Anda tidak bisa!" jeritku.
Pintu ganda itu mendadak terbuka.
Mr Toggle berlari masuk, ekspresi wajahnya bingung. Matanya melesat dengan
cepat di sekitar ruangan besar itu.
"Mr Toggle!" teriakku gembira. "Mr Toggle -! Tolong saya! Dia gila! Tolong
saya!"
Mr Toggle melongo kaget. "Jangan khawatir, Jerry!" katanya.
"Tolong aku! Cepat!" jeritku.
"Jangan khawatir!" ulangnya.
"Jerry, kau tak bisa pergi!" teriak Dr Shreek, menahanku di lantai.
Berjuang untuk membebaskan diri, aku melihat Mr Toggle berlari ke dinding.
Dia membuka pintu besi abu-abu, membuka beberapa jenis panel kontrol.
"Jangan khawatir!" katanya padaku.
Aku melihatnya menarik sebuah tombol di panel kontrol.
Seketika itu tangan Dr Shreek mengendur.
Aku menarik kakiku bebas dan bergegas berdiri, terengah-engah.
Dr Shreek merosot jadi satu tumpukan. Tangannya terkulai lemas di sisi
tubuhnya. Matanya tertutup. Kepalanya tenggelam, dagunya turun ke dadanya.
Dia tak bergerak.
Dia semacam robot, aku melihatnya dengan takjub.
"Apa kau baik-baik saja, Jerry?" Mr Toggle telah bergegas ke sampingku.
Aku tiba-tiba sadar seluruh tubuhku gemetar. Musik piano itu menderu di dalam
kepalaku. Ruangan itu mulai berputar-putar.
Aku memegang kedua tanganku di telingaku, berusaha untuk menutup suara
berdebar-debar.
"Buat mereka berhenti! Katakan pada mereka untuk berhenti!" teriakku.
Mr Toggle berlari-lari kecil kembali ke panel kontrol dan melepaskan tombol
lain.
Musik itu berhenti. Tangan-tangan itu membeku di tempat di atas papan tuts
mereka. Para pengajar itu berhenti mengangguk-anggukkan kepala mereka.
"Robot. Semua robot," gumamku, masih gemetar.
Mr Toggle bergegas kembali, matanya yang gelap mempelajariku. "Kau baik-
baik saja?"
"Dr Shreek - dia robot," bisikku gemetar. Kalau saja aku bisa membuat lututku
untuk berhenti gemetar!
"Ya, dia ciptaan terbaikku," kata Mr Toggle tersenyum. Dia menaruh tangannya
di bahu Dr Shreek itu. "Dia benar-benar manusia hidup, bukan?"
"Mereka - mereka semua robot," bisikku, menunjuk ke para pengajar yang
membeku samping piano mereka.
Mr Toggle mengangguk. "Yang primitif," katanya, masih bersandar pada Dr
Shreek. "Mereka tidak semaju temanku Dr Shreek ini."
"Anda - membuat mereka semua?" tanyaku.
Mr Toggle mengangguk, tersenyum. "Setiap dari mereka."
Aku tak bisa berhenti gemetar. Aku mulai merasa benar-benar sakit.
"Terima kasih untuk menghentikannya, kurasa Dr Shreek berada di luar kontrol
atau sesuatu. Saya - saya harus pergi sekarang," kataku lemah.
Aku mulai berjalan menuju pintu ganda, memaksa lutut gemetarku untuk
bekerja sama.
"Belum," kata Mr Toggle, menempatkan tangan lembutnya di bahuku.
"Hah?" Aku berbalik menatapnya.
"Kau tak bisa pergi dulu," katanya, senyumnya memudar. "Aku membutuhkan
tangan-tanganmu, lihatlah."
"Apa?"
Dia menunjuk piano di dinding. Seorang pengajar berseragam abu-abu berdiri
lemas di sampingnya, wajahnya tersenyum beku. Tak ada tangan menggantung
di atas papan tuts.
"Itu akan jadi pianomu, Jerry," kata Mr Toggle.

27

Aku mulai mundur ke arah pintu ganda satu langkah di satu waktu. "Me-
mengapa?"
Aku tergagap. "Mengapa Anda perlu tangan saya?"
"Tangan manusia terlalu sulit untuk dibuat, terlalu rumit, terlalu banyak
bagian," jawab Mr Toggle. Dia menggaruk pangkal jenggot hitamnya dengan
satu tangan saat ia bergerak ke arahku.
"Tapi -" Aku mulai, mengambil satu langkah lagi.
"Aku bisa membuat tangan-tangan indah itu bermain," Mr Toggle menjelaskan,
matanya terkunci padaku. "Aku telah merancang program komputer untuk
membuatnya bermain lebih indah daripada manusia hidup yang bisa mainkan.
Tapi aku tidak bisa membuat tangan. Para siswa harus memberikan tangan."
"Tapi kenapa?" tuntutku. "Kenapa kau melakukan ini?"
"Untuk membuat musik yang indah, alami," jawab Mr Toggle, melangkah lebih
dekat. "Aku suka musik yang indah, Jerry. Dan musik jauh lebih indah, jauh
lebih sempurna, ketika tak ada kesalahan manusia."
Dia melangkah lagi ke arahku. Lalu, selangkah lagi. "Kau mengerti, kan?"
Matanya yang gelap menyala kepadaku.
"Tidak!" jeritku. "Tidak, saya tak mengerti. Anda tak bisa mengambil tangan
saya! Anda tidak bisa!"
Aku mundur selangkah lagi. Kakiku masih gemetar.
Jika aku bisa melalui pintu-pintu itu, pikirku, mungkin aku punya kesempatan.
Mungkin aku bisa berlari lebih cepat dia. Mungkin aku bisa keluar dari
bangunan gila ini.
Itu adalah satu-satunya harapanku.
Mengumpulkan kekuatanku, mengabaikan debaran hatiku, aku berbalik.
Aku melesat menuju pintu.
"Ohh!" Aku menjerit saat hantu wanita itu muncul di depanku.
Wanita dari rumahku, dari pianoku.
Dia bangkit, semua abu-abu kecuali matanya. Matanya bersinar merah seperti
api. Mulutnya terpilin dalam geraman marah yang jelek. Dia melayang ke
arahku, menghalangi jalanku ke pintu.
Aku terjebak, aku sadar.
Terjebak antara Mr Toggle dan hantu.
Tak ada jalan keluar sekarang.

28

"Aku telah memperingatkanmu!" teriak hantu wanita, matanya merah menyala


karena marah. "Aku telah memperingatkanmu!"
"Tidak, tolong -" Aku berhasil berteriak dengan suara tercekik. Aku
mengangkat tanganku di depanku, mencoba untuk melindungi diri darinya.
"Tolong - biarkan aku pergi!"
Yang mengejutkanku, dia melayang melewatiku.
Dia melotot pada Mr Toggle, aku menyadarinya.
Mr Toggle terhuyung ke belakang, wajahnya tegang ketakutan.
Wanita hantu mengangkat lengannya. "Bangkitlah!" raungnya. "Bangkitlah!"
Dan saat ia melambaikan tangannya, aku melihat kibaran di piano-piano.
Kibaran itu menjadi kabut. Gumpalan awan abu-abu bangkit dari masing-
masing piano.
Aku mundur ke pintu, mataku melebar tak percaya.
Di masing-masing piano itu, kabut gelap itu mengambil bentuk.
Mereka hantu, aku sadar.
Hantu anak laki-laki, perempuan, pria, dan wanita.
Aku mengamati, membeku karena ketakutan, karena mereka bangkit dan
meminta tangan mereka. Mereka menggerakkan jari-jarinya, menguji tangan
mereka.
Dan kemudian, dengan lengan-lengan terentang, tangan-tangan mereka berkibar
di depan mereka, hantu-hantu itu melayang menjauh dari piano mereka,
bergerak dalam barisan, dalam satu berkas, ke arah Mr Toggle.
"Tidak! Pergi! Pergi!" jerit Mr Toggle.
Dia berbalik dan mencoba melarikan diri melalui pintu. Tapi aku menghalangi
jalannya.
Dan hantu-hantu itu bergerombol di atasnya.
Tangan-tangan mereka menariknya ke bawah. Tangan-tangan mereka
mendesaknya ke lantai.
Dia menendang dan berjuang dan menjerit.
"Bebaskan aku! Lepaskan aku!! Minggir!"
Tapi tangan-tangan itu, puluhan dan puluhan tangan, merata di atasnya,
menahannya bawah, mendorongnya tertelungkup di lantai.
Wanita hantu abu-abu itu berpaling padaku.
"Aku mencoba untuk memperingatkanmu!" teriaknya diatas jeritan panik Mr
Toggle itu. "Aku mencoba untuk menakut-nakutimu agar pergi. Aku tinggal di
rumahmu. Aku adalah korban dari sekolah ini! Aku mencoba untuk menakut-
nakutimu untuk jadi korban, juga!"
"Aku - aku -"
"Lari!" perintahnya. "Cepat - cari bantuan!"
Tapi aku membeku di tempat, terlalu terkejut dengan apa yang kulihat untuk
bergerak.

***

Saat aku menatap tak percaya, tangan-tangan hantu mengerumuni Mr Toggle


dan mengangkatnya dari lantai. Dia menggeliat-geliat dan berjuang, tetapi ia tak
bisa membebaskan dirinya dari genggaman kuat mereka.
Mereka membawanya ke pintu dan lalu keluar. Aku mengikuti ke pintu untuk
melihat.
Mr Toggle tampak mengambang, mengambang ke dalam hutan di samping
sekolah. Tangan-tangan itu membawanya pergi. Dia menghilang ke pepohonan
yang campur aduk.
Aku tahu ia tak akan pernah terlihat lagi.
Aku berbalik untuk mengucapkan terima kasih kepada hantu wanita yang
berusaha memperingatkaku.
Tapi dia juga sudah pergi.
Aku sendirian sekarang.
Lorong membentang di belakangku dalam keheningan yang menakutkan.
Kesunyian yang remang-remang.
Musik piano itu telah berakhir. . . selamanya.

***

Beberapa minggu kemudian, hidupku sudah cukup normal kembali.


Ayah memasang iklan di koran dan segera menjual piano itu pada sebuah
keluarga di kota. Piano itu meninggalkan tempat di ruang keluarga, sehingga
Ibu dan Ayah dapat TV layar lebar!

***

Aku tak pernah melihat hantu wanita itu lagi. Mungkin dia pindah dengan piano
itu. Aku tak tahu.
Aku mendapat beberapa teman baik dan mulai terbiasa dengan sekolah baruku.
Aku berpikir serius untuk mencoba tim bisbol.
Aku bukan pemukul yang baik, tapi aku bagus di lapangan.
Semua orang bilang aku punya tangan yang bagus.
Scan, format dan teks Inggris oleh Undead.
Terjemah oleh Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

Anda mungkin juga menyukai