Piano Hantu
(Goosebumps # 13)
Kupikir aku akan membenci pindah ke rumah baru. Tapi sebenarnya, aku
senang.
Aku memainkan suatu lelucon yang cukup buruk pada Ibu dan Ayah.
Sementara mereka sedang sibuk di ruang depan menunjukkan pada para pekerja
pindahan di mana harus menempatkan barang-barang, aku pergi menjelajah.
Aku menemukan sebuah ruangan yang benar-benar sangat bagus di sisi ruang
makan.
Ruangan itu memiliki jendela-jendela besar pada dua sisinya yang menghadap
ke halaman belakang. Sinar matahari mengalir ke dalam, membuat ruangan itu
lebih terang dan lebih ceria daripada (ruangan-ruangan) lain rumah tua itu.
Ruangan itu akan menjadi ruang keluarga baru kami. Kau tahu, dengan TV dan
pemutar CD, dan mungkin meja ping-pong dan semacamnya. Tapi sekarang
ruangan itu benar-benar kosong.
Kecuali dua bola debu abu-abu di salah satu sudut, yang memberikanku ide.
Tertawa pada diriku sendiri, aku membungkuk dan membentuk dua bola debu
itu dengan tanganku. Lalu aku mulai berteriak dengan suara benar-benar panik:
"Tikus! Tikus! Tolong! Tikus!"
Ibu dan Ayah datang mendadak ke ruangan itu pada waktu bersamaan. Mulut
mereka hampir-hampir jatuh ke lantai (maksudnya: kaget sekali) saat mereka
melihat dua tikus debu abu-abu itu.
Aku terus berteriak, "Tikus! Tikus!" Aku pura-pura takut pada mereka.
Berusaha keras berwajah bersungguh-sungguh.
Ibu hanya berdiri di ambang pintu, mulutnya melongo. Aku benar-benar
berpikir dia akan menjatuhkan giginya!
Ayah selalu lebih panik dari Ibu. Dia mengambil sapu yang bersandar di
dinding, berlari melintasi ruangan, dan mulai memukul, tikus debu malang itu
tak berdaya dengannya.
Pada saat itulah, aku tertawa, kepalaku tertunduk.
Ayah menatap gumpalan debu yang menempel di ujung sapu, dan akhirnya ia
menangkap lelucon itu. Wajahnya benar-benar memerah, dan kupikir matanya
akan meletup keluar dari balik kacamatanya.
"Sangat lucu, Jerome," kata Ibu dengan tenang, memutar matanya. Semua orang
memanggilku Jerry, tapi dia memanggilku Jerome saat ia kesal denganku.
"Ayahmu dan aku pasti menghargai kau menakut-nakuti kami setengah mati
ketika kami berdua sangat gugup, terlalu banyak bekerja dan berusaha untuk
bisa pindah ke rumah ini"
Ibu selalu benar-benar sinis seperti itu. Kupikir mungkin aku mendapatkan rasa
humorku darinya.
Ayah cuma menggaruk bagian botak di bagian belakang kepalanya. "Mereka
benar-benar tampak seperti tikus," gumamnya. Dia tak marah. Dia terbiasa
dengan leluconku. Mereka berdua.
"Mengapa kau tak bisa bertindak sesuai umurmu?" Tanya Ibu, sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku sudah!" Aku bersikeras. Maksudku, aku dua belas tahun. Jadi aku
bertindak seseuai umurku. Jika kau tak bisa bermain lelucon dengan orang
tuamu dan mencoba untuk bersenang-senang sedikit di umur dua belas tahun,
kapan kau bisa?
"Jangan seperti orang pintar," kata Ayah, memandangku tegas. "Ada banyak
pekerjaan yang harus dilakukan di sini, kau tahu, Jerry. Kau bisa membantu.."
Dia menyodokkan sapu ke arahku.
Aku mengangkat kedua tangan seolah-olah melindungi diri dari bahaya, dan
mundur. "Yah, kau tahu aku alergi!" teriakku.
"Alergi pada debu?" tanyanya.
"Tidak. Alergi bekerja!"
Aku harap mereka tertawa, tapi mereka hanya menghambur keluar dari ruangan,
bergumam sendiri.
"Kau setidaknya bisa mengawasi Bonkers," seru Ibu kembali kepadaku.
"Jauhkan dia dari para pekerja pindahan."
"Ya. Tentu," aku balas. Bonkers adalah kucing kami, dan tak mungkin aku
dapat menjaga Bonkers dari berbuat sesuatu!
Biarkan aku mengatakan kebenarannya bahwa Bonkers bukan anggota favoritku
dari keluarga kami. Bahkan, aku berusaha menjauh dari Bonkers selama yang
aku bisa.
Tak seorang pun yang menjelaskan kepada kucing bodoh itu bahwa dia
seharusnya binatang peliharaan. Sebaliknya, kupikir Bonkers percaya dia itu
harimau liar pemakan manusia. Atau mungkin kelelawar vampir.
Tipuan favoritnya adalah naik di bagian belakang kursi atau rak yang tinggi -
dan kemudian melompat dengan cakar-cakarnya yang keluar ke bahumu. Aku
tak bisa memberitahumu berapa banyak kaos bagus yang telah dicabik-cabik
oleh tipuannya ini. Atau berapa banyak darahku yang hilang.
Kucing keji - benar-benar terbiasa kejam.
Tubuhnya hitam semua kecuali lingkaran putih di dahinya dan satu mata. Ibu
dan Ayah berpikir dia benar-benar sangat bagus. Mereka selalu mengangkatnya,
menimangnya, dan mengatakan padanya betapa manisnya dia. Bonkers
biasanya menggaruk mereka dan membuat mereka berdarah. Tapi mereka tak
pernah belajar.
Ketika kami pindah ke rumah baru ini, kuharap mungkin Bonkers akan
ditinggal. Tapi, tak mungkin. Ibu memastikan bahwa Bonkers berada di dalam
mobil yang pertama kali, tepat di sampingku.
Dan tentu saja kucing bodoh itu muntah di kursi belakang.
Siapa yang pernah mendengar tentang kucing yang mabuk darat?
Dia melakukannya dengan sengaja karena dia mengerikan dan kejam.
Bagaimana pun, aku mengabaikan permintaan Ibu untuk tetap mengawasinya.
Bahkan, aku bergerak pelan-pelan ke dapur dan membuka pintu belakang,
berharap mungkin Bonkers akan lari dan tersesat.
Lalu aku meneruskan penjelajahanku.
Rumah kami yang lain kecil tapi baru. Rumah ini sudah tua. Papan-papan
lantainya berderit. Jendela-jendela berderak. Rumah itu tampak mengerang saat
kau berjalan melewatinya.
Tapi rumah ini benar-benar besar. Aku menemukan segala macam, kamar-
kamar kecil dan lemari-lemari yang dalam. Salah satu lemari di lantai atas sama
besarnya dengan tempat tidur lamaku!
Kamar baruku berada di ujung lorong di lantai dua. Ada tiga kamar lainnya dan
kamar mandi di sana. Aku bertanya-tanya apa yang Ibu dan Ayah rencanakan
dengan semua kamar itu.
Aku memutuskan untuk mengusulkan bahwa salah satu darinya dibuat menjadi
ruang Nintendo. Kita bisa menempatkan TV layar lebar di sana untuk bermain
game. Ini akan benar-benar bagus.
Saat aku membuat rencana untuk ruang permainan video baruku, aku mulai
merasa sedikit terhibur. Maksudku, tidaklah mudah untuk pindah ke rumah baru
di sebuah kota baru.
Aku bukan tipe anak yang sering menangis. Tapi aku harus mengakui bahwa
aku merasa sepertinya sering menangis ketika kami pindah dari Cedarville.
Terutama saat aku harus mengucapkan selamat tinggal kepada teman-temanku.
Terutama Sean. Sean adalah lelaki yang hebat. Ibu dan Ayah tak terlalu
menyukainya karena dia agak berisik dan dia suka bersendawa dengan benar-
benar keras. Tapi, Sean adalah teman terbaikku.
Maksudku, dia dulu teman terbaikku.
Aku tak punya teman di sini di New Gosyen.
Ibu berkata Sean bisa datang tinggal bersama kami selama beberapa minggu
musim panas ini. Ibu benar-benar baik sekali, terutama karena dia begitu
membenci sendawa Sean.
Tapi itu tidak benar-benar menghiburku.
Menjelajahi rumah baru membuatku merasa sedikit lebih baik. Ruang
berikutnya bagiku bisa jadi ruang olahraga, aku memutuskan. Kami akan
membawa semua mesin-mesin latihan yang tampaknya bagus yang mereka
tunjukkan di TV.
Para pekerja pindahan itU mengangkut barang-barang ke kamarku, jadi aku tak
bisa masuk ke sana. Aku membuka pintu untuk apa yang kupikir lemari. Tapi
aku terkejut, lalu melihat sebuah tangga kayu yang sempit. Aku menduga itu
mengarah ke loteng.
Loteng!
Aku tak pernah memiliki loteng sebelumnya. Aku berani bertaruh loteng itu
penuh dengan segala macam barang-barang lama yang hebat, pikirku gembira.
Mungkin orang-orang yang dulu tinggal di sini meninggalkan koleksi komik
buku tua mereka di sana - dan itu bernilai jutaan!
Aku sudah setengah menaiki tangga ketika aku mendengar suara Ayah di
belakangku. "Jerry, kau mau pergi ke mana ?"
"Naik," jawabku. Itu cukup jelas.
"Kau benar-benar tak seharusnya pergi ke sana sendirian," ia memperingatkan.
"Mengapa tidak? Apa ada hantu di atas sini atau sesuatu?" tanyaku.
Aku bisa mendengar langkah kaki yang berat di tangga kayu. Dia mengikutiku.
"Di sini panas," gumamnya, menyesuaikan kacamata di hidungnya. "Sangat
pengap."
Dia menarik-narik rantai yang tergantung dari langit-langit, dan lampu menyala,
memberikan cahaya kuning pucat di atas kami.
Aku melirik cepat berkeliling. Itu adalah suatu kamar yang panjang dan rendah,
langit-langit miring ke bawah pada kedua sisi bawah atap. Aku tidak terlalu
tinggi, tapi aku mengulurkan tangan ke atas dan menyentuh langit-langitnya.
Ada jendela-jendela bundar kecil di kedua ujungnya. Tapi tertutup debu dan tak
membiarkan banyak cahaya masuk.
"Kosong," gumamku, sangat kecewa.
"Kita dapat menyimpan banyak sampah di sini," kata Ayah, melihat ke
sekeliling.
"Hei - apa itu?" Aku melihat sesuatu di dinding jauh dan mulai berjalan cepat ke
arah itu. Papan lantai berderit dan berkeriat-keriut di bawah sepatuku.
Aku melihat selimut abu-abu menutupi sesuatu yang besar.
Mungkin itu semacam peti harta karun, pikirku.
Tak ada yang pernah menuduh aku tak punya imajinasi yang baik.
Ayah berada tepat di belakang saat aku meraih selimut berat dengan kedua
tangan dan menariknya menjauh.
Dan menatap piano hitam mengkilap.
"Wow," gumam Ayah, menggaruk-garuk botaknya, menatap piano itu dengan
terkejut. "Wow. Wow. Mengapa mereka pergi meninggalkan ini?"
Aku mengangkat bahu. "Ini terlihat seperti baru," kataku.
Aku menekan beberapa tuts dengan jari telunjukku. "Kedengarannya bagus."
Ayah menekan beberapa tuts juga.
"Ini benar-benar piano yang bagus," katanya, menggosok tangannya dengan
lembut di atas keyboard. "Aku ingin tahu apa yang dilakukannya tersembunyi di
sini di loteng seperti ini...."
"Ini misteri," aku setuju.
Aku tidak tahu seberapa besar misteri itu sebenarnya.
***
Musik sedih itu berlanjut, melayang menuruni tangga sempit dan gelap padaku.
"Siapa di sana?" ulangku, suaraku sedikit gemetar.
Sekali lagi, tak ada jawaban.
Aku mencondongkan tubuh ke dalam kegelapan, mengintip ke arah loteng.
"Ibu, kau kah itu? Ayah?"
Tak ada jawaban. Melodi itu begitu menyedihkan, begitu lambat.
Bahkan sebelum aku menyadari apa yang kulakukan, aku menaiki tangga.
Tangga itu mengerang keras di bawah kaki telanjangku.
Udara terasa panas dan pengap saat aku tiba di puncak tangga dan melangkah ke
loteng yang gelap.
Musik piano itu mengelilingiku sekarang. Not-not tampaknya datang dari segala
arah sekaligus.
"Siapa itu?" tuntutku dengan suara melengking bernada tinggi. Kurasa aku
sedikit takut. "Siapa di sana?"
Sesuatu mengusap wajahku, dan aku kaget sekali.
Aku butuh waktu lama gemetar untuk menyadari bahwa itu rantai lampu.
Aku menariknya. Lampu kuning pucat menyebar di ruangan panjang dan sempit
itu.
Musiknya berhenti.
"Siapa di sana?" panggilku, memicingkan mata ke arah piano di dinding jauh.
Tak ada.
Tak ada orang di sana. Tak ada seorang pun yang duduk di depan piano.
Sunyi.
Kecuali deritan papan lantai di bawah kakiku ketika aku berjalan ke piano itu.
Aku menatapnya, menatap tuts-tuts piano.
Aku tak tahu apa yang aku harapkan untuk dilihat. Maksudku, seseorang yang
bermain piano. Seseorang telah memainkannya persis sesaat sampai lampu
menyala. Ke mana perginya?
Aku merunduk ke bawah dan mencari di bawah piano.
Aku tahu itu bodoh, tapi aku tak berpikir jernih. Jantungku berdebar sangat
keras, dan segala macam pikiran gila berputar melalui otakku.
Aku membungkuk dan memeriksa papan tuts piano. Kupikir mungkin ini adalah
salah satu piano kuno yang bermain sendiri. Seorang pemain piano. Kau tahu,
seperti yang kadang-kadang kau lihat di film kartun.
Tapi ini tampaknya seperti sebuah piano biasa. Aku tak melihat sesuatu yang
khusus padanya.
Aku duduk di bangku.
Dan melompat.
Bangku piano itu hangat! Seperti jika seseorang baru saja duduk di atasnya!
"Wah!" teriakku keras-keras, menatap bangku mengkilap hitam itu.
Aku mengulurkan tangan dan merasakannya. Ini benar-benar hangat.
Tapi aku mengingatkan diriku sendiri seluruh loteng benar-benar hangat, lebih
hangat dari bagian lain rumah. Panas tampaknya mengapung di sini dan
menetap.
Aku kembali duduk dan menunggu untuk hatiku yang berpacu untuk kembali
normal.
Apa yang terjadi di sini? Aku bertanya pada diriku, berbalik untuk menatap
piano itu. Kayu hitam itu dipelitur begitu bagus, aku bisa melihat pantulan
wajahku menatap ke arahku.
Bayanganku terlihat sangat ketakutan.
Aku menunduk ke papan tuts dan lalu menekan pelan beberapa not.
Seseorang telah memainkan piano ini beberapa saat yang lalu, aku tahu.
Tapi bagaimana dia bisa menghilang ke udara tipis ini tanpa kulihat?
Aku memetik not lain, lalu not lainnya. Suaranya menggema melalui ruangan
panjang dan kosong itu.
Lalu aku mendengar deritan keras. Dari bawah tangga.
Aku membeku, tanganku masih di tuts piano.
Deritan lain. Langkah kaki.
Aku berdiri, terkejut, kakiku gemetaran.
Aku mendengarkan. Aku benar-benar mendengarkan, aku bisa mendengar udara
bergerak.
Langkah lain. Lebih keras. Lebih dekat.
Seseorang berada di tangga. Seseorang memanjat ke loteng.
Seseorang mendatangiku.
3
Berderit. Berderit.
Tangga itu menunjukkan jalan di bawah langkah-langkah yang berat.
Napasku tercekat di tenggorokan. Aku merasa seolah-olah aku akan mati lemas.
Membeku di depan piano, aku mencari tempat untuk bersembunyi. Tapi tentu
saja tak ada.
Berderit. Berderit.
Dan lalu, saat aku menatap ketakutan, satu kepala menjulur di atas tangga.
"Ayah!" teriakku.
"Jerry, apa yang kau lakukan di sini?" Dia melangkah ke cahaya kuning pucat.
Rambut cokelat tipisnya berdiri di seluruh kepalanya. Celana piyama-nya
tergulung. Satu kakinya digulung sampai lutut. Ia memicingkan mata padaku. Ia
tak memakai kacamatanya.
"Yah - aku - aku pikir -" Aku tergagap. Aku tahu aku terdengar seperti orang
tolol. Tapi yang benar saja - aku ketakutan!
"Apakah kau tahu jam berapa ini?" tuntut Ayah dengan marah. Ia melirik
pergelangan tangannya, tapi ia tak memakai arlojinya. "Ini tengah malam,
Jerry!"
"Aku - aku tahu, Yah," kataku, mulai merasa sedikit lebih baik. Aku
menghampirinya. "Aku mendengar musik piano. Dan kupikir -"
"Kau apa?" Matanya yang gelap melebar. Mulutnya ternganga. "Kau dengar
apa?"
"Musik piano," ulangku. " Di atas sini. Jadi aku naik ke lantai atas untuk
memeriksanya, dan -"
"Jerry!" Ayah meledak. Wajahnya menjadi benar-benar merah. "Sudah
terlambat untuk lelucon bodohmu itu!"
"Tapi, Ayah -" Aku mulai protes.
"Ibumu dan aku mati-matian membongkar dan memindahkan perabotan
sepanjang hari," kata Ayah, mengeluh letih. "Kami berdua lelah, Jerry. Aku tak
perlu memberitahumu bahwa aku sedang tidak kepingin untuk lelucon. Aku
harus bebekerja besok pagi. Aku butuh tidur."
"Maaf, Ayah," kataku pelan.
Aku bisa lihat tak mungkin aku akan membuatnya percaya padaku tentang
musik piano.
"Aku tahu kau senang berada di rumah baru," kata Ayah, meletakkan tangan di
bahu kemeja piyamaku. "Tapi, ayolah Kembali ke kamarmu. Kau perlu tidur,
juga."
Aku menoleh ke belakang di piano. Piano gelap itu berkilauan dalam cahaya
kuning pucat. Seolah-olah bernapas. Seolah-olah hidup.
Aku membayangkannya bergemuruh ke arahku, mengejarku ke tangga.
Gila, pikiran aneh. Kurasa aku lebih lelah daripada yang kupikir!
"Apa kau ingin belajar memainkannya?" Ayah tiba-tiba bertanya.
"Hah?" Pertanyaannya mengejutkanku.
"Apakah kau ingin les piano? Kita bisa membawa piano itu ke bawah. Ada
ruangan untuknya di ruang keluarga."
"Yah.. Mungkin," Jawabku. "Ya. Itu mungkin bagus."
Dia mengangkat tangannya dari bahuku. Kemudian dia meluruskan piyama dan
mulai menuruni tangga. "Aku akan membicarakan hal ini dengan ibumu,"
katanya. "Aku yakin dia akan senang. Dia selalu ingin seseorang jadi pemain
musik dalam keluarga ini. Tarik rantai lampunya, oke?"
Dengan patuh, aku mengulurkan tangan dan mematikan lampu. Kegelapan tiba-
tiba yang begitu hitam, mengejutkanku. Aku tinggal dekat di belakang ayahku
saat kami berjalan menuruni tangga yang berderit.
Lalu di tempat tidurku, aku menarik selimut sampai ke daguku. Agak dingin di
kamarku. Di luar, angin musim dingin berhembus keras. Jendela kamar tidur
berderak dan bergetar, seolah-olah menggigil.
Les piano mungkin menyenangkan, pikirku. Jika mereka membiarkan aku
belajar bermain piano rock, bukan musik-musik klasik membosankan yang
emosional itu.
Setelah beberapa pelajaran, mungkin aku bisa synthisezer (musik gabungan).
Bisa dua atau tiga papan tuts yang berbeda. Menghubungkannya ke komputer.
Lalu aku bisa membuat beberapa komposisi (lagu). Mungkin bersama-sama
membuat grup.
Ya. Ini bisa benar-benar sangat baik.
Aku memejamkan mata.
Jendela berderak-derak lagi. Rumah tua ini tampak mengerang.
Aku akan terbiasa suara-suara ini, aku berkata pada diriku sendiri. Aku akan
terbiasa dengan rumah tua ini. Setelah beberapa malam, aku bahkan tak akan
mendengar suara-suara.
Aku baru saja akan tertidur ketika aku mendengar musik piano lembut yang
sedih itu mulai lagi.
Senin pagi, aku bangun sangat pagi. Jam kucingku dengan ekor dan mata yang
begerak-gerak belum dibongkar. Tapi aku bisa tahu itu pagi karena cahaya abu-
abu pucat masuk melalui jendela kamarku.
Aku cepat berpakaian, menarik sepasang jins pudar bersih dan kemeja berwarna
hijau tua yang tak terlalu berkerut. Itu adalah hari pertamaku di sekolah baruku,
jadi aku sangat bersemangat.
Aku menghabiskan lebih banyak waktu pada rambutku daripada yang biasa
kulakukan. Rambutku berwarna cokelat, tebal dan liat, dan aku butuh waktu
lama untuk mengaturnya rapi dan membuat posisinya rata, cara yang kusukai.
Ketika akhirnya aku selesai, aku berjalan menyusuri lorong menuju tangga
depan. Rumah itu tetap sunyi dan gelap.
Aku berhenti di luar pintu loteng. Pintu itu terbuka lebar.
Bukankah aku menutupnya ketika aku turun dengan ayahku?
Ya. Aku ingat menutupnya erat-erat. Dan sekarang, inilah dia, terbuka lebar.
Aku merasakan hawa dingin yang dingin di bagian belakang leherku. Aku
menutup pintu, mendengarkan suara klik.
Jerry, tenang saja, aku memperingatkan diriku sendiri. Mungkin kancingnya
longgar. Mungkin pintu loteng selalu terayun terbuka. Ini rumah tua, ingat?
Aku sudah berpikir tentang musik piano. Mungkin itu tiupan angin melalui
senar piano, aku berkata pada diriku sendiri.
Mungkin ada lubang atau sesuatu di jendela loteng. Dan angin bertiup dan
membuatnya terdengar seolah-olah sedang bermain piano.
Aku ingin percaya itu bahwa angin yang membuat bahwa musik lambat sedih
itu. Aku ingin mempercayainya, jadi aku percaya.
Aku memeriksa pintu loteng sekali lagi, memastikannya terkunci, lalu menuju
ke dapur.
Ibu dan Ayah masih di kamar mereka. Aku bisa mendengar mereka berpakaian.
Dapur itu gelap dan sedikit dingin. Aku ingin menyalakan tungku perapian, tapi
aku tak tahu di mana alat pengatur panas itu.
Tidak semua barang dapur kami telah dibongkar. Kardus-kardus masih
ditumpuk di dinding, penuh dengan gelas dan piring dan barang-barang.
Aku mendengar seseorang datang di lorong.
Sebuah kardus besar kosong di samping kulkas memberiku ide. Tertawa-tawa
sendiri, aku melompat di dalamnya dan menarik tutupnya di atasku.
Aku menahan napas dan menunggu.
Langkah kaki di dapur. Aku tak tahu apa itu Ibu atau Ayah.
Jantungku berdebar-debar. Aku terus menahan napas. Jika aku tak menahannya,
aku tahu aku akan tertawa terbahak-bahak.
Langkah-langkah kaki itu berjalan melewati kardusku ke wastafel (bak cuci
piring). Aku mendengar air mengalir. Siapa pun itu dia sedang mengisi ceret.
Langkah-langkah kaki itu menuju ke kompor listrik.
Aku tak bisa menunggu lagi.
"KEJUTAN!" Aku menjerit dan melompat berdiri dalam kardus.
Ayah menjerit terkejut dan menjatuhkan ceret. Ceret itu mendarat di kakinya
dengan suara keras, lalu miring ke samping di lantai.
Air menggenang di sekitar kaki Ayah. Ceret itu bergulir ke arah kompor listrik.
Ayah melolong dan memegang kakinya yang terluka dan melompat-lompat.
Aku tertawa seperti orang gila! Kau harus melihat ekspresi wajah Ayah saat aku
melompat dari kardus. Aku benar-benar berpikir dia akan menjatuhkan giginya!
Ibu mendadak masuk ke dalam ruangan, masih mengancingkan manset lengan
bajunya. "Apa yang terjadi di sini?" teriaknya.
"Cuma Jerry dan lelucon konyolnya," gerutu Ayah.
"Jerome!" teriak Ibu, melihat semua air tumpah di lantai linoleum. "Yang benar
saja."
"Cuma coba membantu membangunkan kalian," kataku, sambil nyengir.
Mereka banyak mengeluh, tapi mereka terbiasa merasakan humor sintingku.
***
***
"Apa Ibu dengar musik piano tadi malam?" tanyaku pada ibuku.
"Makan cornflake(jonjot jagung)-mu," jawabnya. Dia mengencangkan sabuk
jubah mandi dan mencondongkan tubuhnya ke arahku atas meja dapur.
"Mengapa aku harus dapat cornflake?" Aku menggerutu, menggerakkan sendok
di dalam mangkuk.
"Kau tahu aturannya," katanya, mengerutkan kening. "Sereal sampah hanya di
akhir pekan."
"Aturan bodoh," gumamku. "Kupikir cornflake adalah sereal sampah."
"Jangan beri aku waktu yang sulit," keluh Ibu, menggosok pelipisnya. "Aku
sakit kepala pagi ini."
"Karena bermain piano tadi malam?" tanyaku.
"Bermain piano apa?" tanyanya kesal. "Mengapa kau terus berbicara tentang
bermain piano?"
"Apa Ibu tak mendengarnya? Piano di loteng? Seseorang memainkannya tadi
malam."
Dia melompat berdiri. "Oh, Jerry, tolonglah. Tak ada lelucon pagi ini, oke? Aku
katakan padamu aku sakit kepala."
"Apa aku mendengar kalian bicara tentang piano?" Ayah masuk ke dapur,
membawa koran pagi. "Orang-orang datang sore ini untuk membawanya ke
ruang keluarga." Dia tersenyum padaku. "Lenturkan jari-jari itu, Jerry."
Ibu harus berjalan ke meja untuk menuang secangkir kopi. "Apa kau benar-
benar tertarik pada piano itu?" tanyanya, menatapku ragu-ragu. "Apa kau benar-
benar akan berlatih dan melakukannya?"
"Tentu saja," jawabku. "Mungkin."
***
Dua tukang memindahkan piano di sana saat aku pulang dari sekolah. Mereka
tak terlalu besar, tapi mereka kuat.
Aku naik ke loteng dan mengamati mereka sementara Ibu menarik kardus-
kardus keluar dari ruang keluarga untuk membuat tempat untuk piano itu.
Kedua pria itu menggunakan tali dan sejenis kerekan khusus. Mereka
memiringkan piano ke samping, kemudian mengangkatnya ke kerekan.
Menurunkannya menuruni tangga yang sempit benar-benar sulit. Piano itu
menabrak dinding beberapa kali, walaupun mereka bergerak perlahan dan hati-
hati.
Kedua wajah tukang itu benar-benar merah dan berkeringat pada saat mereka
berhasil membawa piano itu di lantai bawah. Aku mengikuti mereka saat
mereka meluncur melintasi ruang tamu, lalu melalui ruang makan.
Ibu keluar dari dapur, tangannya masuk ke saku celana jeans, dan mengamati
dari ambang pintu saat mereka menggulung kerekan itu dengan piano ke ruang
keluarga.
Para pria menegangkannya untuk memiringkan piano itu tepat ke sisi atas. Kayu
berplitur hitam benar-benar bersinar di bawah sinar matahari sore yang cerah
melalui jendela ruang keluarga.
Lalu, saat mereka mulai menurunkan piano ke lantai, Ibu membuka mulutnya
dan mulai menjerit.
***
Sabtu siang, aku berdiri menatap ke luar jendela ruang tamu. Ini adalah hari
mendung berangin. Tampaknya seperti akan turun salju.
Aku melihat guru piano itu berjalan di jalanan masuk. Dia tepat waktu. Jam dua.
Menekan wajahku ke jendela, aku bisa melihat bahwa ia besar, agak gendut. Dia
memakai mantel merah panjang menggembung dan berambut putih lebat. Dari
jarak ini, ia tampak kelihatan seperti Santa Claus.
Dia berjalan sangat kaku, seolah-olah lututnya tidak sehat. Radang sendi atau
semacamnya, tebakku.
Ayah menemukan namanya di sebuah iklan kecil di bagian belakang surat kabar
New Gosyen. Dia menunjukkan kepadaku. Dikatakan:
SEKOLAH SHREEK
Metode baru berlatih piano
Karena itu satu-satunya iklan yang ada di koran untuk guru piano, Ayah
menelponnya.
Dan sekarang, Ibu dan Ayah menyambut guru itu di pintu dan mengambil jaket
tebal merahnya.
"Jerry, ini adalah Dr Shreek," kata Ayah, memberi tanda kepadaku untuk
meninggalkan tempatku di jendela.
Dr Shreek tersenyum padaku. "Halo, Jerry."
Dia benar-benar tampak seperti Santa Claus, kecuali dia punya kumis putih,
bukan jenggot. Pipinya merah bulat, senyumnya ramah, dan matanya yang biru
agak berkedip-kedip saat dia menyapaku.
Dia memakai kemeja putih yang tak dimasukkan sekitar perutnya yang besar,
dan celana longgar abu-abu.
Aku melangkah maju dan menjabat tangannya. Tangannya merah dan agak
seperti sepon.
"Senang bertemu Anda, Dr Shreek," kataku sopan.
Ibu dan Ayah saling nyengir. Mereka tak pernah bisa percaya saat aku sopan!
Dr Shreek meletakkan tangan seponnya di atas bahuku. "Aku tahu aku punya
nama yang lucu," katanya, tertawa. "Aku mungkin harus mengubahnya. Tapi,
harus harus akui, itu benar-benar menarik perhatian!."
Kami semua tertawa.
Ekspresi Dr Shreek berubah serius. "Apa kau pernah memainkan alat musik
sebelumnya, Jerry?"
Aku berpikir keras. "Yah, aku punya kazoo sekali!"
(kazoo: mainan alat musik tiup, yang ada membran yang menghasilkan suara
saat kau berdendang ke bagian mulutnya)
"Lihat ini, Jerry. Cobalah pelajari not-not pada halaman dua dan tiga.." Dia
berjalan ke mantelnya, yang Ayah sampirkan di belakang sofa.
"Sampai jumpa Sabtu depan," kataku.
Aku merasa sedikit kecewa karena pelajaran itu begitu singkat. Kupikir aku
akan bermain beberapa riff rock yang bagus sekarang.
(riff: frase kalimat musik yang diulang)
Ia memakai mantelnya, lalu kembali ke tempat aku duduk. "Kurasa kau akan
menjadi murid yang sempurna, Jerry," katanya, tersenyum.
Aku menggumamkan terima kasih. Aku terkejut melihat matanya terpaku pada
tanganku. "Bagus. Bagus," bisiknya.
Aku tiba-tiba tiba ngeri.
Kupikir wajahnya itu tampak kelaparan.
Apa yang begitu spesial tentang tanganku? Aku bertanya-tanya. Mengapa ia
begitu menyukainya?
Ini aneh. Benar-benar aneh.
Tapi tentu saja aku tak tahu seberapa anehnya. . . .
CDEFGABC.
Aku berlatih not-not di halaman dua dan tiga dari buku catatan piano itu. Buku
ini menunjukkan jari mana yang digunakan dan segalanya.
Ini mudah, pikirku.
Jadi, kapan aku bisa mulai memainkan beberapa (lagu) rock and roll?
Aku masih mendeteksi not-not itu dengan perasaan ketika Ibu muncul dari
ruang bawah tanah dan menjulurkan kepala ke ruang keluarga. Rambutnya telah
terlepas dari syal yang diikatkan di kepalanya, dan ada noda kotoran yang
menempel di dahinya.
"Apakah Dr. Shreek sudah pergi?" tanyanya, heran.
"Ya. Dia berkata dia hanya ingin bertemu denganku,." Kataku. "Dia akan
kembali Sabtu depan. Katanya aku punya tangan yang sangat bagus."
"Kau?" Dia menyibakkan rambut yang menutupi matanya. "Yah, mungkin kau
bisa memakai tangan yang sangat baik itu turun ke ruang bawah tanah dan
menggunakannya untuk membantu kami membongkar beberapa kardus."
"Oh, tidak!" teriakku, dan aku tergelincir dari bangku piano dan jatuh ke lantai.
Dia tak tertawa.
***
***
Aku membanting menutup lokerku dan mulai menarik jaketku. Lorong sekolah
yang panjang bergema dengan suara-suara tawa, bantingan loker, panggilan-
panggilan dan teriakan-teriakan.
Lorong itu selalu ribut pada Jumat sore. Sekolah sudah selesai, sekarang dan
akhir pekan!
"Oooh, bau apa itu?" teriakku, dengan wajah jijik.
Di sampingku, seorang gadis berlutut, mengais-ngais tumpukan sampah di
lantai lokernya.
"Aku bertanya-tanya di mana apel itu menghilang!" serunya.
Dia berdiri, memegang apel cokelat yang kisut di satu tangan. Aroma asam
menyerbu lubang hidungku. Kurasa aku akan terlempar paksa!
Aku pasti telah membuat wajah lucu, karena dia tertawa terbahak-bahak.
"Lapar?" Dia menyodorkan benda menjijikkan itu di wajahku.
"Tidak, terima kasih." Aku menyorongkannya kembali ke arahnya. "Kau bisa
memilikinya."
Dia tertawa lagi. Dia agak cantik. Dia punya rambut hitam lurus yang panjang
dan mata hijau.
Dia menaruh apel busuk itu di atas lantai. "Kau anak baru, kan?" dia bertanya.
"Aku Kim. Kim Li Chin."
"Hai," kataku. Kukatakan padanya namaku. "Kau di kelas matematikaku. Dan
kelas IPA-ku.," Kataku.
Dia kembali ke lokernya, mencari lebih banyak barang.
"Aku tahu," jawabnya. "Aku melihatmu jatuh dari kursimu saat Pak Klein
memanggilmu."
"Aku cuma melakukan itu agar jadi lucu," aku menjelaskan dengan cepat. "Aku
tak benar-benar jatuh."
"Aku tahu," katanya. Dia menarik sweter wol tebal abu-abu ke bawah sweternya
yang lebih tipis. Lalu ia mengulurkan tangan dan mengeluarkan sebuah kotak
biola hitam dari lokernya.
"Apa itu kotak bekalmu?" candaku.
"Aku sudah terlambat untuk pelajaran biolaku," jawabnya, membanting
menutup lokernya. Dia berusaha untuk mendorong gembok tertutup.
"Aku ikut les piano," kataku. "Yah, maksudku aku baru saja mulai."
"Kau tahu, aku tinggal di seberang jalan darimu," katanya, menyesuaikan
ranselnya di bahu. "Aku melihatmu pindah "
"Sungguh?" jawabku, terkejut. "Yah, mungkin kau bisa datang dan kita bisa
bermain bersama. Maksudku, bermain musik. Kau tahu. Aku ikut les setiap hari
Sabtu dengan Dr Shreek."
Mulutnya ternganga ngeri saat dia menatapku. "Kau melakukan apa?"
teriaknya.
"Ikut les piano dengan Dr Shreek," ulangku.
"Oh!" Dia berteriak pelan, berbalik, dan mulai berlari ke arah pintu depan.
"Hei, Kim -" Aku memanggilnya. "Kim -? Apa yang salah"
Tapi dia menghilang keluar pintu.
10
Mula-mula aku hanya bisa melihat garis samar-samar, garis abu-abu pucat
bergerak di kegelapan.
Aku terkesiap. Jantungku berdebar begitu keras, kurasa akan meledak.
Garis-garis abu-abu itu mengambil bentuk, mulai terisi.
Aku berdiri membeku ngeri, terlalu takut untuk lari atau bahkan berpaling.
Dan saat aku menatap, seorang wanita muncul. Aku tak tahu apakah dia masih
muda atau tua. Dia menunduk dan matanya tertutup, dan berkonsentrasi pada
tuts-tuts piano.
Dia punya rambut bergelombang panjang tergantung lepas ke bahunya. Dia
mengenakan atasan lengan pendek dan rok panjang. Wajahnya, kulitnya,
rambutnya - abu-abu. Semuanya abu-abu.
Dia terus bermain seolah-olah aku tak berdiri di sana.
Matanya tertutup. Bibirnya membentuk senyum sedih.
Dia agak cantik, aku menyadari.
Tapi dia itu hantu. Hantu yang bermain piano di ruang keluarga kami.
"Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini?" Suara tegangku bernada tinggi
mengejutkanku. Kata-kata itu terbang keluar, hampir di luar kendaliku.
Dia berhenti bermain dan membuka matanya. Dia menatap tajam ke arahku,
mempelajariku. Senyumnya memudar dengan cepat. Wajahnya tak
menunjukkan emosi sama sekali.
Aku menatap kembali, ke dalam abu-abu. Rasanya seperti melihat seseorang
dalam kabut berat yang gelap.
Bersamaan dengan berhentinya musik, rumah itu jadi begitu tenang, ketenangan
yang begitu menakutkan.
"Siapa - siapa kau?" ulangku, terbata-bata dengan suara kecilku.
Mata abu-abu menyipit sedih. "Ini rumahku," katanya. Suaranya berbisik
kering, kering seperti daun-daun yang mati. Kering seperti kematian.
"Ini rumahku." Kata-kata bisikan itu sepertinya datang dari jauh, begitu pelan
aku tak yakin aku telah mendengarnya.
"Aku - tak mengerti," aku tercekat, merasa udara dingin di bagian belakang
leherku. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Rumahku," terdengar jawaban berbisik. "Pianoku."
"Tapi, siapa kau?" ulangku. "Apa kau hantu?"
Saat aku mengucapkan pertanyaan takutku, dia mendesah keras. Dan saat aku
menatap ke warna abu-abu murni itu, aku melihat wajahnya mulai berubah.
Mata tertutup, dan pipinya mulai meredup. Kulit abu-abu tampak jatuh,
mencair. Terkulai seperti adonan kue, seperti tanah liat lunak. Jatuh ke bahunya,
lalu jatuh ke lantai. Rambutnya mengikuti, jatuh dalam gumpalan-gumpalan
tebal.
Suatu jeritan diam keluar dari bibirku saat tengkoraknya tampak. Tengkorak
abu-abunya.
Tak ada yang tersisa dari wajahnya kecuali mata, mata abu-abunya, yang
menonjol dalam rongga mata yang terbuka, menatapku melalui kegelapan.
"Jauhi pianoku!" katanya parau. "Aku memperingatkanmu - jauhi!"
Aku mundur dan berpaling dari tengkorak serak mengerikan itu. Aku mencoba
untuk berusaha menjauh, tapi kakiku tak mau bekerja sama.
Aku jatuh.
Lututku membentur lantai.
Aku berusaha untuk berdiri, tapi aku gemetar terlalu keras.
"Jauhi pianoku!" Tengkorak abu-abu itu menatapku dengan mata melototnya.
"Ibu! Ayah!" Aku mencoba berteriak, tetapi yang keluar bisikan yang tertahan.
Aku berusaha berdiri, jantungku berdebar, tenggorokanku tertutup ketat dengan
rasa takut.
"Ini rumahku! Pianoku! JAUHI!"
"Bu! Tolong aku! Yah!"
Kali ini aku berhasil berteriak. "Bu - Yah - tolong!"
Aku lega, aku mendengar tabrakan dan gedebak gedebuk di lorong. Langkah-
langkah kaki yang berat.
"Jerry? Jerry? Kau di mana?" panggil Ibu. "Aduh!"
Aku mendengarnya menabrak sesuatu di ruang makan.
Ayah yang pertama sampai di ruang keluarga.
Aku meraih bahunya, lalu menunjuk. "Yah -lihat! Hantu! Itu hantu!"
11
12
***
Dr Shreek tiba tepat jam dua sore berikutnya. Ibu dan Ayah di garasi,
membongkar kardus-kardus lagi. Aku mengambil mantel Dr Shreek, lalu
membawanya ke ruang keluarga.
Di luar, hari yang dingin berangin kencang, salju yang mengancam. Pipi Dr
Shreek berwarna pink karena kedinginan. Dengan rambut dan kumisnya yang
putih, dan perut bundar di bawah kemeja putih longgar, ia tampak lebih seperti
Santa Claus daripada sebelumnya.
Dia mengusap tangannya yang gemuk bersama-sama untuk menghangatkannya
dan memberi isyarat padaku untuk duduk di bangku piano.
"Alat musik yang benar-benar indah," katanya riang, menjalankan satu
tangannya di atas piano mengkilap hitam itu. "Kau pria muda sangat beruntung
yang menemukan piano ini menunggumu."
"Kurasa," jawabku tanpa semangat.
Aku tidur sampai jam sebelas, tapi aku masih lelah. Dan aku tak bisa mengusir
hantu itu dan peringatannya dari pikiranku.
"Apa kau melatih not-notmu?" tanya Dr Shreek, bersandar piano, membolak-
balik halaman buku kerja musik itu.
"Sedikit," kataku.
"Biarkan aku melihat apa yang telah kau pelajari. Sekarang." Dia mulai untuk
menempatkan jari-jariku di atas tuts-tuts. "Ingat? Ini tempat kau mulai."
Aku memainkan satu scale.
(scale: suatu rangkaian not-not yang berbeda-beda dalam pola titi nada yang
sesuai ke suatu grup, biasanya tanpa oktaf)
"Tangan yang bagus," kata Dr Shreek, tersenyum. "Terus ulangi hal itu,
silakan."
Les itu berjalan lancar. Dia terus mengatakan padaku betapa baiknya aku,
meskipun aku hanya memainkan not dan scale yang sederhana.
Mungkin aku punya bakat, pikirku.
Aku menanyakan kapan aku bisa mulai mempelajari beberapa riff rock.
Dia tertawa untuk suatu alasan. "Pada waktunya," jawabnya, menatap tanganku.
Aku mendengar Ibu dan Ayah masuk melalui pintu dapur. Beberapa detik
kemudian, Ibu muncul di ruang keluarga, menggosok lengan sweternya. "Benar-
benar mulai dingin di luar sana," katanya, tersenyum pada Dr Shreek. "Kurasa
itu akan bersalju."
"Sangat menyenangkan dan hangat di sini," jawab Dr. Shreek, kembali
tersenyum.
"Bagaimana lesnya?" tanya Ibu.
"Sangat bagus," kata Dr Shreek padanya, mengerling padaku. "Kurasa Jerry
menunjukkan banyak harapan. Aku ingin dia untuk mulai les di sekolahku."
"Itu bagus sekali!" seru Ibu. "Apakah Anda benar-benar berpikir ia punya
bakat?"
"Dia punya tangan yang sangat baik," jawab Dr Shreek.
Sesuatu tentang caranya mengatakan hal itu membuatku ngeri.
"Apakah Anda mengajarkan musik rock di sekolah Anda?" tanyaku.
Dia menepuk bahuku. "Kami mengajarkan semua jenis musik. Sekolahku
sangat besar, dan kami punya banyak pengajar yang bagus. Kami punya siswa
dari segala macam usia. Apa kau rasa kau bisa datang sepulang sekolah pada
hari Jumat?"
"Itu akan baik sekali," kata Ibu.
Dr Shreek melintasi ruangan dan menyerahkan satu kartu pada ibuku. "Ini
alamat sekolahku, aku khawatir itu ada di ujung lain kota."
"Tidak masalah," kata Ibu, mempelajari kartu itu. "Aku selesai kerja lebih awal
pada hari Jumat. Aku bisa mengantarnya."
"Itu akhir les kita untuk hari ini, Jerry," kata Dr Shreek. "Latihlah not-not baru.
Dan sampai jumpa hari Jumat."
Dia mengikuti ibuku ke ruang tamu. Aku mendengar mereka mengobrol dengan
tenang, tapi aku tak bisa mengetahui apa yang mereka katakan.
Aku berdiri dan berjalan ke jendela. Sekarang mulai bersalju, serpihan salju
yang sangat besar turun benar-benar keras. Salju sudah mulai menempel.
Menatap ke halaman belakang, aku bertanya-tanya apakah ada bukit-bukit yang
baik untuk kereta luncur di New Gosyen. Dan aku bertanya-tanya apakah kereta
luncurku telah dibongkar.
Aku berteriak ketika piano itu tiba-tiba mulai bermain.
Keras, bergemerincing bising. Seperti seseorang yang sangat marah
menghantam tuts-tuts dengan kepalan tangan yang berat.
Hantam. Hantam. Hantam.
"Jerry - hentikan!" teriak Ibu dari ruang tamu.
"Aku tak melakukannya!" teriakku.
13
Kantor Dr Frye itu tidaklah seperti kantor psikiater yang kubayangkan. Kantor
itu kecil dan cerah. Dindingnya berwarna kuning, dan ada gambar-gambar
berwarna-warni burung beo, burung tukan dan burung lainnya menggantung di
sekitar.
(tukan: burung hutan tropis cerdik berwarna pemakan buah-buahan dari
Amerika yang memiliki paruh sangat besar)
Dia tak punya sofa kulit hitam seperti yang selalu dimiliki para psikiater di TV
dan di film. Sebaliknya, ia punya dua kursi hijau yang tampak lembut. Dia
bahkan tak punya meja. Hanya dua kursi.
Aku duduk di satu kursi, dan dia duduk di kursi yang lain.
Dia jauh lebih muda daripada yang kupikirkan. Dia terlihat lebih muda dari
ayahku. Dia punya rambut merah bergelombang, diatur rapi dengan sejenis gel
atau sesuatu, pikirku. Wajahnya penuh dengan bintik-bintik.
Dia benar-benar tak tampak seperti seorang psikiater sama sekali.
"Ceritakan tentang rumah barumu," katanya. Dia menyilangkan kakinya. Ia
meletakkan catatan panjangnya di kakinya saat dia mengamatiku.
"Itu adalah rumah besar tua," kataku. "Itu saja."
Dia memintaku untuk menggambarkan kamarku, jadi aku melakukannya.
Lalu kami berbicara tentang rumah asal kami dan kamar lamaku. Lalu kami
berbicara tentang teman-temanku di rumah sana. Lalu kami berbicara tentang
sekolah baruku.
Aku merasa gugup ketika kami mulai. Tapi dia tampak baik-baik saja. Dia
mendengarkan dengan seksama semua yang kukatakan. Dan dia tak memberiku
pandangan lucu, seperti aku telah gila atau apa.
Bahkan saat aku bercerita tentang hantu.
Dia menuliskan dengan cepat beberapa catatan ketika aku bercerita tentang
piano yang bermain di malam akhir-akhir ini. Dia berhenti menulis ketika aku
mengatakan kepadanya bagaimana aku melihat hantu, bagaimana rambutnya
rontok, lalu wajahnya, dan bagaimana ia berteriak padaku untuk menjauh.
"Orang tuaku tidak percaya padaku," kataku, meremas lengan lembut kursi.
Tanganku berkeringat.
"Ini cerita yang cukup aneh," jawab Dr Frye. "Jika kau jadi ibu atau ayah, dan
anakmu menceritakan kisah itu, apakah kau akan percaya?"
"Tentu," kataku. "Jika itu benar."
Dia mengunyah penghapus pensil dan menatapku.
"Apakah Anda pikir aku gila?" tanyaku.
Ia menurunkan catatannya. Dia tak tersenyum mendengar pertanyaan itu.
"Tidak, aku tidak berpikir kau gila, Jerry Tetapi pikiran manusia dapat benar-
benar aneh terkadang.."
Lalu ia berkuliah panjang lebar tentang bagaimana kadang-kadang kita takut
akan sesuatu, tetapi kita tak mengaku pada diri sendiri bahwa kita takut. Jadi
pikiran kita melakukan semua macam hal untuk menunjukkan bahwa kita takut,
meskipun kita terus berkata bahwa kita tak takut.
Dengan kata lain, dia juga tak percaya padaku.
"Pindah ke rumah baru menciptakan segala macam stres ini," katanya. "Hal ini
memungkinkan kita untuk mulai membayangkan bahwa kita melihat makhluk-
makhluk, bahwa kita benar-benar mendengar makhluk itu, agar kita tak perlu
mengakui pada diri kita betapa kita benar-benar takut"
"Aku tidak membayangkan musik piano itu," kataku. "Aku bisa
menyenandungkan melodi itu untuk Anda. Dan aku tidak membayangkan
hantu. Aku dapat memberitahu Anda dia tampak seperti apa."
"Mari kita bicara tentang hal itu minggu depan," katanya, berdiri. "Waktu kita
sudah habis. Tapi sampai waktu berikutnya, aku hanya ingin meyakinkanmu
bahwa pikiranmu sangatlah normal. Kau tidak gila, Jerry. Kau harus tidak
memikirkan itu sebentar."
Dia menjabat tanganku. "Kau akan lihat," katanya, membukakan pintu untukku.
"Kau akan kagum pada apa yang kita tahu dibalik hantumu."
Aku menggumamkan terima kasih dan berjalan keluar dari kantornya.
Aku berjalan melewati ruang tunggu kosong itu dan melangkah ke lorong.
Dan kemudian aku merasa cengkeraman es hantu itu mengetat di leherku.
14
***
Jumat sepulang sekolah, Ibu mengantarku ke sekolah musik Dr Shreek itu. Ini
adalah hari abu-abu yang dingin. Aku menatap napasku mengepul naik jendela
penumpang saat kami melaju. Hari itu salju turun sehari sebelumnya, dan jalan-
jalan masih dingin dan licin.
"Kuharap kita tidak terlambat," Ibu cemas. Kami berhenti karena suatu cahaya.
Dia membersihkan kaca di depannya dengan punggung sarung tangannya. "Aku
takut untuk mengendarai lebih cepat daripada ini."
Semua mobil merayap bersamaan. Kami melewati sekelompok anak-anak yang
membangun benteng salju di halaman depan. Salah satu anak kecil berwajah
merah menangis karena yang lain tak memperbolehkannya bergabung dengan
mereka.
"Sekolah ini hampir di kota berikutnya," kata Ibu, memompa rem saat kami
meluncur menuju ke arah perempatan. "Aku heran mengapa sekolah Dr. Shreek
begitu jauh dari segalanya."
"Aku tak tahu," jawabku datar. Aku agak gugup. "Apa kau pikir Dr Shreek akan
jadi pengajarku? Atau apakah kau pikir aku akan dilatih orang lain?"
Ibu mengangkat bahu. Ia membungkuk ke depan di roda kemudi, berjuang
untuk melihat melalui kaca berembun.
Akhirnya, kami berbelok ke jalan tempat sekolah itu berada. Aku menatap blok
gelap rumah-rumah tua. Rumah-rumah itu memberikan jalan pada hutan,
pohon-pohon meranggas miring di bawah selimut salju putih.
Di sisi lain dari hutan berdiri sebuah bangunan batu bata, setengah tersembunyi
di balik pagar tinggi.
"Ini pasti sekolah itu," kata Mom, menghentikan mobil di tengah jalan dan
menatap gedung tua itu. "Tak ada tanda-tanda atau apa pun. Tapi itu hanya satu-
satunya bangunan di blok."
"Tampaknya menyeramkan," kataku.
Memicingkan mata melalui kaca depan, ia menarik mobil ke jalanan sempit
berkerikil, hampir tersembunyi oleh kungkungan tinggi salju yang menutupi.
"Apa Ibu yakin ini adalah sekolah itu?" tanyaku. Aku membersihkan tempat di
jendela dengan tangan dan mengintip melaluinya. Bangunan tua itu tampak
lebih mirip penjara daripada sebuah sekolah. Rumah itu punya deretan jendela
kecil di atas lantai dasar, dan semua jendelanya dipalang. Tanaman menjalar
tebal menutupi bagian depan gedung, sehingga tampak lebih gelap dari
seharusnya.
"Aku cukup yakin," kata Ibu, menggigit bibir. Dia menurunkan jendela dan
menjulurkan kepalanya keluar, menatap rumah besar tua itu.
Suara musik piano melayang ke dalam mobil. Not-not, skala-skala dan melodi-
melodi diramu bersama-sama.
"Ya. Kita sudah menemukannya!" kata Ibu dengan gembira. "Ayo, Jerry. Cepat.
Kau terlambat. Aku akan pergi mencari sesuatu untuk makan malam. Aku akan
kembali dalam satu jam."
Aku membuka pintu mobil dan melangkah keluar ke jalan bersalju. Sepatuku
berderak keras saat aku mulai berlari ke arah gedung itu.
Musik piano itu semakin keras. Skala dan lagu campur aduk bersama-sama
dalam suatu gemuruh kebisingan yang memekakkan telinga.
Sebuah jalan sempit menuju ke beranda depan. Jalanan itu belum disekop, dan
lapisan es terbentuk di bawah salju. Aku terpeleset dan hampir jatuh saat aku
mendekati pintu masuk.
Aku berhenti dan menatap. Ini lebih mirip rumah hantu dari sekolah musik,
pikirku dengan menggigil.
Mengapa aku seperti punya perasaan sangat takut?
Cuma gugup, kataku pada diriku sendiri.
Menjauhkan perasaanku, aku memutar kenop pintu kuningan dingin dan
membuka pintu yang berat itu. Pintu itu berderit terbuka perlahan. Mengambil
napas dalam-dalam, aku melangkah masuk ke sekolah.
15
16
17
***
Setelah makan malam, Ayah dan Ibu bersikeras bahwa aku (harus)
menunjukkan kepada mereka apa yang telah kupelajari dalam pelajaran piano.
Aku benar-benar tak ingin. Aku hanya belajar satu lagu sederhana itu, dan aku
masih belum bisa memainkan seluruhnya tanpa salah.
Tapi mereka memaksaku ke ruang keluarga dan mendorongku ke bangku piano.
"Jika aku akan membayar untuk les itu, aku ingin mendengar apa yang
kaupelajari," kata Ayah. Dia duduk dekat dengan Ibu di sofa, menghadap
belakang piano.
"Kami hanya mencoba satu lagu," kataku. "Tak bisakah kita menunggu sampai
aku belajar lebih banyak?"
"Mainkan," perintah Ayah.
Aku mendesah. "Tanganku kram."
"Ayolah, Jerry. Jangan membuat alasan," bentak Ibu tak sabar. "Mainkan saja
lagu itu, oke? Lalu kami tak akan mengganggumu lagi malam ini.?"
"Seperti apa sekolahnya?" Tanya Ayah pada Ibu. "Itu di sisi lain kota, bukan?"
"Hampir di luar kota," kata Ibu padanya. "Sekolah itu di dalam rumah yang
sangat tua. Tampak agak rusak, sebenarnya. Tapi Jerry mengatakan padaku
dalamnya bagus."
"Tidak, aku tidak," selaku. "Aku bilang rumah itu besar. Aku tak mengatakan
itu bagus. Aku tersesat di lorong-lorongnya dua kali!"
Ayah tertawa. "Aku melihat kau punya indera arah ibumu!"
Ibu mendorong ayah main-main. "Mainkan saja potongan (lagu itu)," katanya
padaku.
Aku menemukan lagu itu di buku musik dan menyandarkan buku itu di depanku
di atas piano. Lalu aku mengatur jari-jariku pada tuts-tuts dan siap untuk
bermain.
Tapi sebelum aku memencet not pertama, piano itu meledak dengan rentetan
not-not rendah. Kedengarannya seperti jika seseorang memukul tus-tuts itu
dengan kedua tangannya.
"Jerry - hentikan," kata Ibu tajam. "Itu terlalu keras."
"Itu bukan apa yang kau pelajari," tambah Ayah.
Aku mengatur jari-jariku di tempat dan mulai bermain.
Tapi not-notku tenggelam oleh suara keras mengerikan itu lagi.
Ini terdengar seperti anak kecil memukul tuts-tuts itu sekeras yang dia bisa.
"Jerry - yang benar saja!" teriak Ibu, memegang telinganya.
"Tapi aku tak melakukannya!" jeritku. "Itu bukan aku!"
18
***
Jumat sore berikutnya, Mr Toogle menepati janjinya. Dia menyambutku di
pintu sekolah piano setelah ibuku menurunkan aku. Dia memimpinku melalui
lorong-lorong berliku-liku ke ruang kerja yang besar.
Ruang kerja Mr Toogle seukuran auditorium. Ruangan yang luas itu penuh
dengan mesin-mesin dan peralatan elektronik.
Satu makhluk logam besar berkepala dua, setidaknya tiga kali tinggi penyapu
lantai yang telah membuatku ketakutan minggu sebelumnya, berdiri di tengah.
Ia dikelilingi oleh mesin rekaman, setumpuk motor listrik, peti-peti peralatan
dan komponen-komponen yang aneh, peralatan video, tumpukan roda sepeda,
kerangka-kerangka piano tanpa isinya, kandang-kandang hewan, dan sebuah
mobil tua dengan kursi yang dibuang.
Di salah satu dinding tampak panel kontrol. Disitu ada layar video lebih dari
selusin, semuanya menyala, semuanya menampakkan (apa) yang terjadi di
kelas-kelas yang berbeda di sekolah. Di sekitar layar-layar itu dan ribuan
tombol-tombol, lampu-lampu merah dan hijau yang berkedip, speaker, dan
mikrofon.
Di bawah panel kontrol, pada meja sepanjang ruangan, berdiri setidaknya
selusin komputer. Semuanya tampak menyala.
"Wow!" seruku. Mataku terus melirik dari satu benda menakjubkan ke yang
lainnya. "Saya tidak percaya ini!"
Mr Toogle terkekeh. Matanya yang gelap menjadi cerah.
"Aku menemukan cara untuk tetap sibuk," katanya. Dia menuntunku ke sudut
yang bersih dari ruangan besar itu. "Ayo kutunjukkan beberapa alat musikku."
Dia berjalan ke deretan lemari besi tinggi berwarna abu-abu di sepanjang
dinding. Dia menarik beberapa barang dari lemari dan bergegas kembali.
"Apa kau tahu apa ini, Jerry?" Dia mengacungkan sebuah alat kuningan
mengkilap melekat pada semacam tangki.
"Saksofon?" tebakku.
"Saksofon yang sangat spesial," katanya, sambil menyeringai. "Lihat? Melekat
pada tangki udara bertekanan. Itu artinya kau tak harus meniupnya? Kau bisa
berkonsentrasi pada jarimu."
"Wow," kataku. "Itu benar-benar keren."
"Sini. Gunakanlah," desak Mr Toggle. Dia menyelipkan topi kulit cokelat di
atas kepalaku. Topi itu punya beberapa kabel tipis mengalir keluar belakang,
dan itu melekat pada keyboard kecil.
"Apa itu?" tanyaku, mengatur topi itu di atas telingaku.
"Kedipkan matamu," perintah Mr Toggle.
Aku mengedipkan mataku, dan keyboard memainkan suatu nada. Aku gerakkan
mataku dari kanan ke kiri. Keyboard itu memainkan nada lain. Aku
mengedipkan satu mata. Keyboard itu memainkan satu not.
"Itu benar-benar dikontrol mata," kata Mr Toggle dengan bangga. "Tak perlu
tangan."
"Wow," ulangku. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Benda ini luar biasa!
Mr Toogle melirik ke sederetan jam di dinding panel kontrol. "Kau terlambat
untuk kelas, Jerry. Dr Shreek akan menunggu. Katakan padanya ini salahku,
oke?"
"Oke," kataku. "Terima kasih untuk menunjukkan kepada saya semuanya."
Dia tertawa. "Aku tak menunjukkan semuanya," candanya. "Ada banyak lagi."
Dia mengusap pangkal janggutnya. "Tapi kau akan melihat semua pada
waktunya."
Aku berterima kasih padanya lagi dan bergegas menuju pintu. Hampir jam
empat lima belas menit. Aku berharap Dr Shreek tak akan marah karena aku
terlambat lima belas menit.
Saat aku berlari melintasi ruang kerja yang sangat besar, aku hampir berlari ke
deretan lemari besi gelap, tertutup dan digembok.
Berpaling dari lemari-lemari itu, aku tiba-tiba mendengar satu suara.
"Tolong!" Suatu teriakan lemah.
Aku berhenti di samping lemari dan (berusaha) keras mendengarkan.
Dan mendengarnya lagi. Suatu suara kecil, sangat samar. "Bantu aku,
tolonglah!"
19
***
Pada hari Sabtu sore aku keluar untuk membersihkan salju dari jalan masuk
rumah kami. Salju turun malam sebelumnya, hanya satu atau dua inci. Sekarang
adalah salah satu dari hari-hari cerah musim dingin dengan langit biru yang
terang.
Rasanya bagus untuk berada di udara segar, melakukan beberapa latihan.
Semuanya tampak begitu segar dan bersih.
Aku sedang menyelesaikan di bagian bawah jalan masuk, lenganku mulai sakit
karena menyekop saat aku melihat Kim Li Chin. Dia keluar dari mobil Honda
hitam ibunya, membawa tas biola. Kuduga ia pulang dari les.
Aku pernah melihatnya di sekolah beberapa kali, tapi aku tak benar-benar bicara
dengannya sejak hari ia lari dariku di lorong.
"Hei!" panggilku di seberang jalan, bersandar pada sekop, sedikit terengah-
engah. "Hai!"
Dia menyerahkan tas biola pada ibunya dan melambai kembali. Lalu dia datang
ke arahku dengan berlari-lari kecil, hightops hitamnya berderak di atas salju.
"Bagaimana kabarmu?" tanyanya. "Cukup bersalju, ya?"
Aku mengangguk. "Ya. Mau menyekop? Aku masih harus melakukan
pekerjaan."
Dia tertawa. "Tidak, terima kasih."
Dia punya tawa tinggi bergemerincing, seperti dua gelas berdenting bersama-
sama.
"Kau datang dari les biola?" Tanyaku, masih bersandar pada sekop.
"Ya. Aku mengerjakan potongan Bach. Ini cukup sulit."
"Kau lebih maju dariku," kataku. "Aku kebanyakan masih melakukan not dan
skala."
Senyumnya memudar. Matanya jadi bijaksana.
Kami berbicara sebentar tentang sekolah. Lalu aku bertanya apakah ia mau
datang dan makan beberapa cokelat panas atau sesuatu.
"Bagaimana kerjanya?" tanyanya, menunjuk. "Kupikir kau harus menyekop
itu."
"Ayah akan kecewa jika aku tak menyimpan sebagian untuknya," gurauku.
***
Ibu mengisi dua cangkir putih besar dengan coklat panas. Tentu saja aku
membakar lidahku pada tegukan pertama.
Kim dan aku sedang duduk di ruang baca. Kim duduk di bangku piano dan
mengetuk ringan beberapa tuts.
"Piano ini memiliki nada yang benar-benar baik," katanya, wajahnya semakin
serius. "Lebih baik dari piano ibuku."
"Kenapa kau lari sore itu?" semburku.
Itulah yang ada di pikiranku sejak kejadian itu terjadi. Aku harus tahu
jawabannya.
Dia menurunkan matanya ke keyboard piano dan pura-pura tak mendengarku.
Jadi aku bertanya lagi. "Kenapa kau lari seperti itu, Kim?"
"Aku tidak," jawabnya akhirnya, masih menghindari mataku. "Aku terlambat
untuk les, itu saja."
Aku menaruh cangkir cokelat panasku turun di meja kopi dan bersandar di
lengan sofa.
"Aku bilang aku akan les piano di Sekolah Shreek, ingat? Lalu wajahmu terlihat
aneh, dan kau lari."
Kim menghela napas. Cangkir cokelat putih panas di pangkuannya. Aku melihat
bahwa ia mencengkeram erat-erat di kedua tangan. "Jerry, aku benar-benar tak
ingin membicarakannya," katanya pelan. "Ini terlalu... Terlalu menakutkan."
"Menakutkan?" tanyaku.
"Apa kau tak tahu kisah tentang Sekolah Shreek?" tanyanya.
20
Aku tertawa. Aku tak yakin mengapa. Mungkin itu (karena) ekspresi serius di
wajah Kim. "Cerita? Cerita macam apa?"
"Aku benar-benar tak ingin memberitahumu," katanya. Dia mengisap lama dari
cangkir putih, lalu mengembalikannya ke pangkuannya.
"Aku baru pindah ke sini, ingat?" kataku padanya. "Jadi aku belum pernah
mendengar cerita apa pun. Cerita tentang apa?."
"Hal-hal tentang sekolah," gumamnya. Dia turun dari bangku piano dan berjalan
ke jendela, membawa cangkir di satu tangan.
"Hal macam apa?" tuntutku. "Ayolah, Kim - katakan padaku!"
"Yah... Hal-hal seperti ada monster di sana," jawabnya, menatap keluar jendela
ke halaman belakang bersaljuku. "Monster asli yang hidup di ruang bawah
tanah."
"Monsters?" Aku tertawa.
Kim berbalik.
"Itu tak lucu," bentaknya.
"Aku sudah melihat monster," kataku, menggelengkan kepala.
Wajahnya benar-benar terkejut. "Kau apa?"
"Aku sudah melihat monster," ulangku. "Mereka itu penyapu lantai."
"Hah?" Mulutnya ternganga. Dia hampir menumpahkan cokelat panas di bagian
depan kaosnya. "Penyapu lantai?"
"Ya. Mr Toggle membuatnya. Dia bekerja di sekolah.. Dia semacam mekanik
jenius. Dia membuat segala macam hal."
"Tapi -" ia mulai.
"Aku melihat satu di hari pertamaku di sekolah," aku melanjutkan. "Kupikir itu
semacam monster. Ia membuat suara mendengking aneh,. Dan datang tepat ke
arahku. Aku kaget sekali! Tapi itu adalah salah satu pembersih lantai Mr Toggle
itu."
Kim memiringkan kepalanya, menatapku serius. "Yah, kau tahu bagaimana
cerita-cerita dimulai," katanya. "Aku tahu cerita-ceita itu mungkin tidak benar.
Semua cerita itu mungkin punya penjelasan sederhana seperti itu."
"Semua?" tanyaku. "Ada lagi?"
"Yah..." Dia ragu-ragu. "Ada cerita tentang bagaimana anak-anak masuk untuk
les dan tak pernah keluar lagi. Bagaimana mereka lenyap, menghilang begitu
saja."
"Itu tidak mungkin," kataku.
"Ya, kurasa," ia cepat-cepat menyetujui.
Lalu aku teringat suara kecil dari lemari, meminta bantuan.
Itu pasti beberapa penemuan Mr Toggle, aku berkata pada diriku sendiri. Pasti
itu.
Peralatan rusak, katanya. Dia tak tampak sedikit pun gembira atau marah
tentang hal itu.
"Lucu ya bagaimana cerita-cerita menakutkan itu dimulai," kata Kim, berjalan
kembali ke bangku piano.
"Yah, gedung sekolah piano itu menyeramkan dan tua," kataku. "Benar-benar
terlihat seperti semacam rumah besar berhantu. Kukira kemungkinan itulah
mengapa cerita-cerita jadi dimulai."
"Mungkin," katanya setuju.
"Sekolah itu tak berhantu, tetapi piano itu berhantu!" Kataku padanya.
Aku tak tahu apa yang membuatku mengatakan itu. Aku tak memberitahu siapa
pun tentang hantu dan piano. Aku tahu tak seorang pun akan percaya padaku.
Kim agak kaget dan menatap piano itu. "Piano ini berhantu? Apa maksudmu?
Bagaimana kau tahu?"
"Di larut malam, aku mendengar seseorang memainkannya," kataku. "Seorang
wanita. Aku melihatnya sekali."
Kim tertawa. "Kau bercanda denganku- benar kan?"
Aku menggeleng. "Tidak, aku serius, Kim. Aku melihat wanita ini larut malam.
Dia memainkan melodi sedih yang sama berulang-ulang."
"Jerry, ayolah!" Kim memohon, memutar matanya.
"Wanita itu berbicara padaku. Kulitnya rontok. Itu... Itu sangat menakutkan,
Kim. Wajahnya lenyap. Tengkoraknya menatapku. Dan dia memperingatkan
aku untuk menjauh. Menjauh...."
Aku merasa gemetar. Entah bagaimana aku telah menghentikan adegan
menakutkan itu keluar dari pikiranku selama beberapa hari. Tapi sekarang, saat
aku mengatakan pada Kim, semua itu kembali padaku.
Kim tersenyum lebar. "Kau seorang pendongeng lebih baik daripada aku,"
katanya. "Apa kau tahu banyak cerita-cerita hantu?"
"Ini bukan cerita!" teriakku. Tiba-tiba, aku putus asa baginya untuk percaya
padaku.
Kim mulai menjawab, tapi ibuku menjulurkan kepala ke ruang keluarga dan
mengganggu. "Kim, ibumu baru saja telpon. Dia merasa kau harus pulang
sekarang."
"Kurasa aku sebaiknya pergi," kata Kim, meletakkan cangkir cokelat panas.
Aku mengikutinya keluar.
Kami baru saja sampai di pintu ruang keluarga ketika piano itu mulai bermain.
Sekumpulan not aneh yang campur aduk.
"Lihat?" teriakku gembira pada Kim. "Lihat? Sekarang apakah kau percaya
padaku?"
21
***
22
23
***
Jumat sore sepulang sekolah, hari abu-abu gelap berangin dengan awan-awan
salju yang melayang rendah di atas kepala, Ibu mengantarku ke sekolah piano.
Dia berhenti di jalan panjang antara pagar tinggi dan berhenti di depan pintu
masuk ke gedung, gelap tua itu.
Aku ragu-ragu. "Tak bisakah aku hanya lari dan memberitahu Dr Shreek bahwa
aku berhenti, kemudian lari segera kembali keluar?"
Ibu melirik jam di dasbor. "Ambil satu les lagi, Jerry. Itu tak akan menyakiti.
Kami sudah membayar untuk itu."
Aku mendesah sedih. "Maukah Ibu ikut denganku? Atau bisakah menungguku
di sini?"
Ibu mengerutkan kening. "Jerry, aku punya tiga (tempat) berhenti. Aku akan
kembali dalam satu jam, aku janji."
Dengan enggan, aku membuka pintu mobil. "Selamat tinggal, Bu."
"Jika Dr Shreek bertanya mengapa kau berhenti, katakan padanya bahwa les itu
mengganggu sekolahmu."
"Oke. Sampai jumpa dalam satu jam," kataku.
Aku membanting pintu mobil, lalu mengamati saat ia melaju pergi, ban
berderak di atas jalanan yang berkerikil.
Aku berbalik dan berjalan ke gedung sekolah.
Sepatuku berbunyi keras saat aku berjalan melalui lorong-lorong gelap ke
kamar Dr Shreek itu. Aku mencari Mr Toggle, tetapi tak melihatnya. Mungkin
dia dalam ruang kerjanya yang sangat besar menciptakan hal-hal yang lebih
menakjubkan.
Bunyi gemuruh not-not piano yang biasa mengalir dari kamar-kamar praktek
saat aku melewatinya. Melalui, jendela bundar kecil aku bisa melihat para
pengajar tersenyum, melambaikan tangan mereka, menjaga irama, kepala
mereka berayun untuk permainan siswa mereka .
Saat aku berbelok di sudut dan menuju ke satu koridor, panjang dan gelap,
sebuah pikiran aneh muncul dalam kepalaku. Aku tiba-tiba menyadari bahwa
aku belum pernah melihat siswa lain di lorong.
Aku telah melihat para pengajar melalui jendela ruangan. Dan aku telah
mendengar suara dari permainan siswa mereka. Tapi aku belum pernah melihat
siswa lain.
Tak satu pun.
Aku tak punya waktu lama untuk berpikir tentang hal ini. Senyuman Dr Shreek
menyambutku di luar pintu ruang praktek kami. "Bagaimana kabarmu hari ini,
Jerry?"
"Oke," jawabku, mengikutinya ke ruangan.
Dia mengenakan celana abu-abu longgar dengan tali selempang merah cerah di
atas kemeja putih kusut. Rambutnya yang putih tampak seolah-olah tak pernah
disisir dalam beberapa hari. Dia memberi isyarat bagiku untuk mengambil
tempatku di bangku piano.
Aku cepat-cepat duduk, melipat tanganku tegang di pangkuanku. Aku ingin
pembicaraanku berakhir dengan cepat sebelum kami mulai pelajaran. "Eh.. Dr
Shreek.?"
Dia berjalan kaku di ruangan kecil itu sampai ia berdiri tepat di depanku. "Ya,
anakku?" ia berseri-seri ke arahku, pipi Santa Claus-nya merah muda terang.
"Yah... Saya... Ini akan menjadi pelajaran terakhir saya," aku berhasil berkata.
"Saya telah memutuskan saya... Eh... Harus berhenti."
Senyumnya menghilang. Dia meraih pergelangan tanganku. "Oh, tidak,"
katanya, seraya merendahkan suaranya menggeram. "Tidak. Kau tidak akan
pergi, Jerry."
"Hah?" jeritku.
Ia memperketat cengkeramannya pada pergelangan tanganku. Dia benar-benar
menyakitiku.
"Berhenti?" serunya. "Tidak dengan tangan-tangan itu." Wajahnya menyeringai
dipelintir menjadi jelek. "Kau tak bisa berhenti, Jerry. Aku perlu tangan-tangan
yang indah itu."
24
"Lepaskan!" jeritku.
Dia mengabaikanku dan memperketat cengkeramannya, matanya menyipit
mengancam. "Benar-benar tangan yang sangat baik," gumamnya. "Bagus."
"Tidak!"
Dengan teriakan melengking, aku menyentakkan pergelangan tanganku bebas.
Aku melompat dari bangku piano dan mulai berlari ke pintu.
"Kembalilah, Jerry!" teriak Dr Shreek marah. "Kau tak bisa pergi!"
Dia mengejarku, bergerak kaku tapi pasti, mengambil langkah-langkah panjang.
Aku membuka pintu dan melesat keluar ke lorong. Dentuman musik piano
menyambut telingaku. Lorong panjang dan gelap itu kosong seperti biasanya.
"Kembalilah, Jerry!" panggil Dr Shreek tepat di belakangku.
"Tidak!" Aku berteriak lagi.
Aku ragu-ragu, mencoba untuk memutuskan pergi ke arah mana, jalan mana
yang menuju pintu depan. Lalu aku menunduk dan mulai berlari.
Sepatuku berdebam di lantai keras. Aku berlari secepat yang aku bisa, lebih
cepat dari yang pernah kulakukan dalam hidupku. Ruang-ruang praktek itu
menderu lewat dalam kegelapan yang remang-remang.
Tapi aku terkejut, Dr Shreek terus tepat di belakangku. "Kembalilah, Jerry,"
serunya, bahkan tak terdengar kehabisan napas. "Kembalilah. Kau tak bisa
lepas dariku.."
Menoleh ke belakang, aku melihat bahwa ia mendekatiku.
Aku bisa merasakan kepanikan naik ke tenggorokanku, mencekik udaraku.
Kakiku sakit. Jantungku berdebar begitu keras, rasanya dadaku seperti akan
meledak.
Aku berbelok di tikungan dan berlari turun ke lorong lain yang panjang.
Dimana aku?
Apakah aku menuju pintu depan?
Aku tak tahu. Lorong gelap ini tampak seperti yang lain.
Mungkin Dr Shreek benar. Mungkin aku tak bisa pergi, pikirku, merasakan
denyut darah di pelipisku ketika aku berbelok di tikungan lain.
Aku mencari Mr Toggle. Mungkin ia bisa menyelamatkanku. Tapi lorong itu
kosong. Musik piano mengalir keluar dari setiap ruangan, tapi tak ada yang
keluar di lorong.
"Kembalilah, Jerry. Tak ada gunanya lari!!"
"Mr Toggle!" aku menjerit, suaraku serak dan sesak napas. "Mr Toggle -
Tolong aku! Tolong aku, tolonglah!"
Aku berbalik ke tikungan lain, sepatuku meluncur di lantai halus yang
mengkilat. Aku terengah-engah sekarang, dadaku sesak.
Aku melihat pintu-pintu ganda di depan. Apakah itu mengarah ke depan?
Aku tak bisa ingat.
Dengan erangan rendah, aku menjulurkan kedua tangan dan mendorong pintu.
"Tidak!" Aku mendengar Dr Shreek berteriak di belakangku. "Tidak, Jerry!
Jangan pergi ke lorong resital!"
(resital: konser atau pertunjukan yg ditampilkan seorang pemain musik
atau kelompok kecil pemain musik)
Terlambat.
Aku mendorong pintu dan menguncinya di dalam. Masih berlari, aku
menemukan diriku di sebuah ruangan besar terang benderang.
Aku melangkah - lalu berhenti di ngeri.
Musik piano memekakkan telinga - seperti gemuruh guntur yang tak pernah
berakhir.
Pada awalnya, ruangan itu kabur. Lalu perlahan-lahan jadi terlihat dengan jelas.
Aku melihat baris demi baris piano hitam. Disamping masing-masing piano itu
berdiri seorang pengajar yang tersenyum. Para pengajar itu semuanya tampak
sama. Mereka semua mengangguk-anggukkan kepala mereka seirama musik.
Musik itu dimainkan oleh -
Musik itu sedang dimainkan oleh -
Aku terkesiap, menatap dari baris ke baris.
Musik itu dimainkan oleh - TANGAN-TANGAN!
Tangan-tangan manusia mengambang di atas papan-papan tuts.
Tak ada orangnya.
Hanya TANGAN-TANGAN!
25
26
27
Aku mulai mundur ke arah pintu ganda satu langkah di satu waktu. "Me-
mengapa?"
Aku tergagap. "Mengapa Anda perlu tangan saya?"
"Tangan manusia terlalu sulit untuk dibuat, terlalu rumit, terlalu banyak
bagian," jawab Mr Toggle. Dia menggaruk pangkal jenggot hitamnya dengan
satu tangan saat ia bergerak ke arahku.
"Tapi -" Aku mulai, mengambil satu langkah lagi.
"Aku bisa membuat tangan-tangan indah itu bermain," Mr Toggle menjelaskan,
matanya terkunci padaku. "Aku telah merancang program komputer untuk
membuatnya bermain lebih indah daripada manusia hidup yang bisa mainkan.
Tapi aku tidak bisa membuat tangan. Para siswa harus memberikan tangan."
"Tapi kenapa?" tuntutku. "Kenapa kau melakukan ini?"
"Untuk membuat musik yang indah, alami," jawab Mr Toggle, melangkah lebih
dekat. "Aku suka musik yang indah, Jerry. Dan musik jauh lebih indah, jauh
lebih sempurna, ketika tak ada kesalahan manusia."
Dia melangkah lagi ke arahku. Lalu, selangkah lagi. "Kau mengerti, kan?"
Matanya yang gelap menyala kepadaku.
"Tidak!" jeritku. "Tidak, saya tak mengerti. Anda tak bisa mengambil tangan
saya! Anda tidak bisa!"
Aku mundur selangkah lagi. Kakiku masih gemetar.
Jika aku bisa melalui pintu-pintu itu, pikirku, mungkin aku punya kesempatan.
Mungkin aku bisa berlari lebih cepat dia. Mungkin aku bisa keluar dari
bangunan gila ini.
Itu adalah satu-satunya harapanku.
Mengumpulkan kekuatanku, mengabaikan debaran hatiku, aku berbalik.
Aku melesat menuju pintu.
"Ohh!" Aku menjerit saat hantu wanita itu muncul di depanku.
Wanita dari rumahku, dari pianoku.
Dia bangkit, semua abu-abu kecuali matanya. Matanya bersinar merah seperti
api. Mulutnya terpilin dalam geraman marah yang jelek. Dia melayang ke
arahku, menghalangi jalanku ke pintu.
Aku terjebak, aku sadar.
Terjebak antara Mr Toggle dan hantu.
Tak ada jalan keluar sekarang.
28
***
***
***
Aku tak pernah melihat hantu wanita itu lagi. Mungkin dia pindah dengan piano
itu. Aku tak tahu.
Aku mendapat beberapa teman baik dan mulai terbiasa dengan sekolah baruku.
Aku berpikir serius untuk mencoba tim bisbol.
Aku bukan pemukul yang baik, tapi aku bagus di lapangan.
Semua orang bilang aku punya tangan yang bagus.
Scan, format dan teks Inggris oleh Undead.
Terjemah oleh Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu