Stine:
Jangan Sembarangan Mengucapkan Keinginan
(Goosebumps # 12)
UCAPKAN KEINGINANMU!
Samantha Byrd selalu konyol. Semua yang dilakukannya memang aneh dan
menggelikan. Ia jadi bulan-bulanan para sahabat se-tim basketnya. Oleh musuh
bebuyutannya, Judith Belwood, Sam selalu dikerjain.
Namun tiba-tiba semuanya berubah. Sam bertemu orang yang bisa mengabulkan
tiga keinginannya. Benar-benar bisa.
Celakanya Sam ceroboh mengucapkan keinginannya. Celakanya lagi,
keinginannya terkabul.
Dan justru menjadi mimpi buruk bagi Sam!
Goosebumps
GURU pelajaran Ekonomi Rumah Tangga adalah Daphne. Aku suka pada Daphne.
Ia wanita bertubuh besar, riang, dagunya berlipat-lipat, dan suka bergurau.
Menurut desas-desus, Daphne selalu menyuruh kami memasak kue, pai, brownies,
supaya bisa dimakannya sendiri setelah pelajaran selesai.
Kurasa omongan begitu jahat juga. Tapi mungkin ada benarnya juga.
Pelajaran Ekonomi Rumah Tangga dimulai tepat setelah makan siang, jadi kami
tidak pernah terlalu lapar. Lagi pula, sebagian besar hasil masakan kami tidak
enak, anjing saja rasanya tidak akan suka. Jadi biasanya kami tinggalkan saja di
kelas.
Aku selalu menunggu-nunggu pelajaran itu. Selain karena Daphne guru yang
asyik, cuma pelajaran itulah yang tidak pernah ada pekerjaan rumahnya.
Satu-satunya hal yang menyebalkan pada pelajaran Ekonomi Rumah Tangga,
Judith juga ada di situ. Tadi Judith dan aku bertengkar di ruang makan siang. Aku
duduk di ujung meja, sejauh mungkin dari dia. Tapi aku masih bisa mendengar ia
bercerita pada dua anak kelas delapan. "Byrd berusaha terbang waktu pelajaran
matematika."
Semua orang tertawa dan memandangi aku.
"Kau menjegal aku, Judith!" teriakku marah. Mulutku sedang penuh selada telur,
yang mengalir ke daguku waktu aku berteriak.
Semua orang menertawakan aku lagi.
Judith mengatakan sesuatu, aku tidak bisa mendengarnya karena ruang makan
siang berisik sekali. Ia mencibir padaku dan mengibaskan rambut merahnya ke
belakang bahu.
Aku berdiri dan mendatanginya. Aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan. Tapi
aku marah sekali sampai tidak bisa berpikir jernih
Untunglah Cory muncul di seberang meja. Diletakkannya baki makan siangnya di
meja, dibalikkannya kursi seperti biasa, dan duduk.
"Berapa empat tambah dua?" godanya.
"Empat puluh dua," jawabku sambil membelalakkan mata. "Kau percaya Judith?"
tanyaku suram.
"Tentu saja aku percaya Judith," katanya sambil membuka bungkusan makan
siangnya. "Judith ya Judith."
"Apa maksudmu?" bentakku.
Ia mengangkat bahu. Ia meringis. "Entah."
Cory lumayan cakep. Matanya cokelat tua yang agak berkerut di sudut, hidung
yang sedikit terlalu panjang, dan senyum bengkok yang lucu.
Rambutnya bagus, tapi tidak pernah disisirnya. Jadi ia selalu pakai topi. Topi
Orlando Magic, meskipun ia tidak tahu dan tidak peduli pada tim itu. Ia cuma suka
topinya.
Ia mengintip bungkusan makan siangnya dan memberengut.
"Lagi-lagi?" tanyaku sambil mengelap selada telur dari bagian depan baju kausku
dengan serbet.
"Yeah. Lagi-lagi," jawabnya sebal.
Dikeluarkannya makan siang yang selalu dibuatkan ayahnya setiap pagi. Sandwich
keju panggang dan jeruk. "Hii!"
"Kenapa setiap hari ayahmu selalu membuatkan keju panggang?" tanyaku. "Tidak
kau bilang padanya kejunya jadi dingin dan lengket waktu makan siang?"
"Sudah kubilang," geram Cory sambil meletakkan selembar sandwichnya di satu
tangan dan diamatinya seperti mengamati bahan laboratorium ilmiah. "Katanya
keju protein bagus."
"Bagaimana bisa jadi protein bagus kalau tiap hari kau buang ke tempat sampah?"
tanyaku.
Cory tersenyum miring. "Aku tidak bilang padanya tiap hari membuang sandwich
ke tempat sampah." Dimasukkannya sandwich liat itu ke dalam bungkusan dan
mengupas jeruk.
"Untung kau datang," kataku sambil menelan gigitan terakhir sandwich selada
telurku. "Aku tadi baru saja akan bangun dan membunuh Judith di sana itu."
Kami berdua memandang sekilas ke ujung meja.
Judith dan kedua anak kelas delapan itu memiringkan kursi dan menertawakan
sesuatu. Salah satu anak kelas delapan itu memegang majalah, kurasa majalah
People, ia sedang menunjukkan gambar di majalah pada teman-temannya.
"Jangan bunuh Judith," kata Cory sambil terus mengupas jeruk. "Kau bisa susah
nanti."
Aku tertawa, tertawa mengejek. "Kau bercanda? Aku bisa dapat penghargaan."
"Kalau kau bunuh Judith, tim bola basketmu bisa kalah melulu nanti," kata Cory,
asyik mengupas jeruk.
"Oh, jahat sekali kau!" seruku. Kulemparkan bola kertas alumunium ke arahnya.
Bola itu mental di dadanya dan jatuh ke lantai.
Ia benar, tentu saja. Judith pemain terbaik tim kami, the Montrose Mustangs. Ia
satu-satunya pemain terbaik. Ia pintar sekali membawa bola, bolanya takkan
terselip di kakinya. Dan matanya tajam sekali sehingga bisa menembak dari jauh.
Aku, tentu saja, pemain paling parah di tim. Kuakui itu. Aku benar-benar goblok,
seperti kubilang tadi, yang tidak bisa macam-macam di lapangan basket.
Sebetulnya aku tidak mau ikut bermain di tim Mustangs. Aku tahu aku bakal
bermain jelek.
Tapi Ellen ngotot. Ellen adalah pelatih bola basket tim anak perempuan. Ia ngotot
memaksaku bergabung..
"Sam, kau tinggi sekali!" katanya padaku. "Kau harus bermain bola basket. Kau
punya bakat alam!"
Yah, aku memang punya bakat alam. Bakat alam jadi orang goblok.
Aku sama sekali tidak bisa menembak, tembakan hukuman pun tidak bisa.
Terutama tembakan hukuman.
Dan aku tidak bisa berlari tanpa tersandung sepatu Reebok-ku sendiri.
Tanganku kecil, meskipun bagian lain tubuhku tidak, jadi aku tidak terlalu pandai
melempar atau menangkap bola.
Kurasa Ellen sudah dapat pelajaran: tinggi bukanlah segalanya
Tapi sekarang ia malu untuk mengeluarkan aku dari tim. Jadi aku masih saja
bergabung terus. Aku berlatih keras. Maksudku, aku tetap merasa nanti akan
pandai juga main basket. Jangan sampai permainanku semakin parah.
Kalau saja Judith tidak sejahat itu.
Dan kalau saja ia lebih ramah padaku.
Tapi, seperti kata Cory, "Judith ya Judith." Ia selalu membentak-bentak aku selama
latihan, mengolok-olok aku, dan membuatku merasa setinggi enam puluh senti
(yang kadang-kadang memang itulah harapanku)!
"Byrd, bantulah kami, terbang sajalah kau jauh-jauh!" Kalau sekali lagi dia bicara
begitu, akan kutinju dia. Betul.
"Apa yang kau pikirkan, Sam?" Suara Cory membuyarkan lamunan pahitku.
"Tentu saja tentang Judith," gumamku. "Si Nona Sempurna."
"Hei, stop," kata Cory sambil membagi jeruk.
"Tahu tidak, kau juga punya sifat yang baik."
"Oya?" bentakku. "Apa sifat baikku? Tinggi badanku?"
"Bukan." Akhirnya dimakannya potongan jeruknya. Belum pernah kulihat orang
makan jeruk segitu lamanya!
"Kau juga pandai," katanya. "Dan kau lucu."
"Terima kasih banyak," kataku, dengan dahi berkerut.
"Dan kau sangat baik hati," tambahnya. "Kau sangat baik hati, makanya kau akan
memberikan sebungkus keripik kentang itu buatku, kan?" Disambarnya bungkusan
itu sebelum aku bisa menyembunyikannya.
Aku tahu pasti ada apa-apanya di balik pujian itu.
Kuamati Cory menyikat keripik kentangku. Aku tidak ditawari sedikit pun.
Lalu bel berbunyi, dan aku segera masuk ke kelas Ekonomi Rumah Tangga.
Di sanalah aku jadi kacau.
Kejadiannya begini: kami membuat puding tapioka. Dan semuanya berantakan.
Kami semua punya mangkuk adonan besar warna jingga, dan bahan-bahan untuk
memasak diletakkan di meja panjang di sebelah kompor.
Aku sibuk mengaduk adonanku. Adonanku kelihatan bagus dan empuk, suaranya
plop plop kalau kuaduk dengan sendok kayu panjang.
Entah kenapa tanganku jadi lengket. Mungkin ketumpahan puding sedikit. Jadi aku
berhenti mengaduk dan melap tanganku di celemek.
Aku lumayan bersih—untuk ukuranku. Cuma ada sedikit genangan puding kuning
di mejaku. Sisanya sebagian besar ada di dalam mangkuk adonan.
Aku selesai mengaduk, dan ketika kuangkat kepala, ada Judith.
Aku agak terkejut karena tadi ia bekerja di seberang sana, di dekat jendela.
Biasanya kami selalu berusaha memisahkan diri sejauh mungkin.
Judith tersenyum aneh. Dan ketika mendekati aku, ia pura-pura tersenyum.
Aku bersumpah ia cuma pura-pura tersandung. Ditumpahkannya seluruh isi
mangkuk adonan tapiokanya ke sepatuku.
Sepatu Doc Martens biruku yang baru.
"Ups!" katanya.
Cuma itu. Cuma "Ups."
Kupandang sepatu baruku yang tertutup adonan puding kuning empuk.
Saat itulah aku jadi kacau.
Aku meraung marah dan mengulurkan tangan ke tenggorokan Judith.
Aku tidak bermaksud melakukannya. Kurasa aku jadi gila sesaat begitu karena
marah sekali.
Aku mengulurkan kedua tanganku dan mencengkeram tenggorokan Judith, dan
mulai mencekiknya.
Sepatu baruku! Sepatu baruku jadi hancur!
Judith meronta-ronta dan berusaha berteriak. Dijambaknya rambutku dan mencoba
mencakarku.
Tapi kupegang terus tenggorokannya dan meraung lagi, seperti harimau marah.
Daphne terpaksa memisahkan kami.
Ditariknya bahuku, lalu dijejalkannya tubuhnya yang besar di antara kami,
menghalangi pandangan kami.
Napasku memburu. Dadaku naik turun.
"Samantha! Samantha! Kenapa kau ini?" Kurasa itu yang diteriakkan Daphne.
Aku tidak terlalu mendengarnya. Di telingaku terdengar suara menggemuruh, keras
seperti suara air terjun. Kurasa cuma karena perasaanku sedang marah saja.
Sebelum aku sadar, aku sudah menjauh dari meja dan lari ke luar ruangan. Aku
berlari ke lorong sekolah yang sepi—dan berhenti.
Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku marah sekali.
Kalau aku bisa mengajukan permintaan, kataku pada diri sendiri, aku tahu akan
minta apa: Hancurkan Judith! Hancurkan Judith! Hancurkan Judith!
Aku tidak tahu harapanku itu akan segera terkabul.
Ketiga-tiganya!
DAPHNE menyeretku masuk ke kelas lagi dan memaksa Judith dan aku
bersalaman dan saling minta maaf. Kalau tidak begitu, kami akan dikeluarkan dari
sekolah.
"Tadi benar-benar kecelakaan," gumam Judith samar. "Kenapa kau ini, Byrd?"
Minta maaf apaan tuh.
Tapi aku mau bersalaman dengan dia. Aku tidak mau orangtuaku sampai dipanggil
ke sekolah karena anak perempuan mereka berusaha mencekik teman sekelasnya.
Dan aku ikut latihan basket sepulang sekolah—meskipun segan-segan.
Aku tahu kalau aku tidak datang, Judith akan mengatakan pada semua orang
berhasil ia menakut-nakuti aku.
Aku datang karena tahu Judith tidak mau aku datang. Yang menurutku adalah
alasan tepat.
Selain itu, aku juga perlu gerak badan. Aku perlu berlari bolak-balik melintasi
lapangan beberapa ratus kali supaya perasaan marahku bisa hillang. Aku perlu
menghilangkan rasa frustrasi karena tidak bisa mencekik Judith sampai puas.
"Ayo lari cepat," usul Ellen.
Beberapa anak lain mengeluh, tapi aku tidak. Aku sudah berlari sebelum Ellen
meniup peluit.
Kami semua mengenakan celana pendek dan kaus tanpa lengan. Ellen mengenakan
baju olah-raga kelabu yang longgar di mana-mana.
Rambut Ellen merah keriting kribo, tubuhnya lurus dan kurus, ia kelihatan seperti
korek api.
Ellen tidak terlalu suka berolahraga. Ia memberitahu kami ia jadi pelatih basket
anak perempuan karena dibayar ekstra, dan ia perlu uangnya.
Setelah berlari di sekeliling aula, latihan berlangsung seperti biasanya.
Judith dan Anna sering saling memberi bola. Dan mereka berdua sering
menembakkan bola—tembakan melompat, tembakan lay-up, bahkan tembakan
melengkung.
Anak-anak lain berusaha menyamai mereka. Aku berusaha tidak diperhatikan.
Aku masih terbayang-bayang kekacauan gara-gara puding tapioka tadi dan ingin
sebisa mungkin tidak berhubungan dengan Judith—atau siapa saja. Maksudku, aku
benar-benar sedang suntuk.
Dan mengamati Judith menembak sejauh enam meter, menangkap pantulan
bolanya sendiri, dan memberikan bola pada Anna dengan teknik dua tangan yang
sempurna, sama sekali tidak mengurangi kesuntukanku.
Tentu saja, keadaan jadi semakin parah.
Anna ternyata memberikan bola padaku. Aku tidak berhasil menangkapnya. Bola
itu lolos dari tanganku, mengenai dahiku, dan menggelinding ke luar.
"Bangun, Byrd!" kudengar Ellen berteriak.
Aku tetap berlari-lari. Aku berusaha tidak kelihatan gugup karena telah
menggagalkan kesempatanku berlatih.
Beberapa menit kemudian, kulihat bolanya terbang ke arahku lagi, dan kudengar
Judith berteriak, "Tangkap yang ini, Bangau!"
Aku terkejut sekali mendengar ia terang-terangan menyebutku "Bangau" sehingga
aku jadi bisa menangkap bola. Aku mulai membawa bola ke jaring—tiba-tiba
Anna mengulurkan tangan dan dengan mudah mencuri bola. Ia berbalik dan
menembak bola ke jaring, hampir saja masuk.
"Hebat, Anna!" teriak Ellen.
Dengan napas terengah-engah, aku berbalik dan berkata marah pada Judith, "Kau
bilang apa aku tadi?"
Judith pura-pura tidak mendengar.
Ellen meniup peluit. "Fast break!" teriaknya.
Kami berlatih fast break sekaligus tiga-tiga. Kami membawa bola cepat-cepat,
memberikan bola ke depan dan ke belakang. Lalu anak yang berada di bawah hoop
sambil membawa bola harus menembak.
Aku harus latihan slow break! pikirku sendiri.
Aku tidak punya masalah untuk menyamai anak-anak lain. Kakiku kan paling
panjang. Aku bisa lari lumayan cepat. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa
kalau sedang lari.
Ketika Judith, Anna, dan aku ribut berlari-lari di lapangan, aku berdoa semoga
permainanku tidak memalukan. Keringat bercucuran di dahiku. Jantungku
berdebar-debar kencang.
Kuambil bola pendek dari Anna, membawanya ke bawah jaring, dan menembak.
Bolanya terbang lurus ke atas, lalu mental di lantai.
Mendekati papan ring saja tidak.
Kudengar anak-anak di pinggir lapangan tertawa. Judith dan Anna seperti biasa
mencibir meremehkan.
"Tembakan bagus!" seru Judith, anak-anak semakin keras tertawa.
Setelah dua puluh menit siksaan fast break, Ellen meniup peluit.
"Latihan," teriaknya. Itu tanda supaya kami membuat dua tim dan bertanding.
Aku menarik napas, kuusap keringat di dahi dengan punggung tangan.
Aku berusaha ikut terlibat dalam permainan. Aku berkonsentrasi keras, sebagian
besar agar tidak kacau. Tapi aku agak patah semangat juga.
Lalu, setelah bermain beberapa menit, Judith dan aku sama-sama menyerbu bola.
Entah bagaimana caranya, ketika aku menyerbu bola, lenganku terjulur, lutut
Judith terangkat kuat-kuat—dan menusuk dadaku seperti pisau.
Rasa sakitnya menyambar ke sekujur tubuhku.
Aku berusaha berteriak. Tapi suaraku tidak mau keluar.
Napasku megap-megap, suaranya aneh, seperti suara anjing laut sakit—lalu aku
sadar aku tidak bisa bernapas.
Semuanya jadi merah. Merah terang yang bersinar-sinar.
Lalu hitam.
Aku tahu aku akan mati.
MERASAKAN napas putus seperti itu pastilah perasaan paling tidak enak sedunia.
Mengerikan sekali rasanya. Kau berusaha bernapas, tapi tidak bisa. Dan rasa
sakitnya terus saja semakin mengembang, seperti ada balon ditiup di dalam
dadamu.
Aku benar-benar mengira aku sudah mati.
Tentu saja beberapa menit kemudian aku sudah sembuh. Aku masih merasa lemas
sedikit, agak pusing. Tapi pada dasarnya aku baik-baik saja.
Ellen menyuruh salah satu ada yang mengantarkan aku ke ruang ganti pakaian.
Tentu saja, Judith bersedia. Ketika kami berjalan, ia minta maaf. Katanya tadi itu
kecelakaan. Benar-benar kecelakaan.
Aku diam saja. Aku tidak butuh permintaan maafnya. Aku sama sekali tidak mau
bicara dengannya. Aku cuma ingin mencekiknya lagi.
Sekali ini sampai mati.
Maksudku, seberapa yang bisa ditahan orang dalam satu hari? Judith sudah
menjegalku waktu pelajaran matematika, menumpahkan puding tapiokanya yang
menjijikkan di sepatu Doc Martens baruku waktu pelajaran Ekonomi Rumah
Tangga, dan menendangku sampai pingsan waktu latihan basket.
Apa sekarang aku harus tersenyum dan menerima permintaan maafnya?
Tidak usah ya! Sampai kapan pun aku tidak sudi.
Aku berjalan diam ke ruang ganti pakaian, kepalaku tertunduk, mataku menatap
lantai.
Ketika dilihatnya aku tidak mau memaafkannya, Judith jadi marah.
Coba lihat kelakuannya! Dadaku ditendangnya—eeh, malah dia yang marah!
"Terbang saja kau, Byrd!" gumamnya. Lalu ia lari lagi ke aula.
Aku ganti pakaian tanpa mandi lagi. Lalu kukumpulkan barang-barangku, keluar
dari gedung, dan mengambil sepeda.
Cukup sudah, pikirku sambil menuntun sepeda melintasi pelataran parkir di
belakang sekolah.
Setengah jam kemudian. Langit siang tampak kelabu dan mendung.
Kurasakan sedikit tetesan hujan di kepala.
Cukup sudah, ulangku dalam hati.
Rumahku dua blok dari sekolah, tapi aku sedang tidak ingin pulang.
Aku ingin naik sepeda terus. Aku ingin naik sepeda lurus saja dan tidak menoleh-
noleh lagi.
Aku marah, sebal, dan gemetaran. Tapi lebih banyak marahnya.
Tidak kupedulikan hujan, aku naik ke atas sepeda dan mengayuhnya menjauh dari
rumah. Halaman depan dan rumah-rumah berseliweran.
Aku tidak melihatnya. Aku tidak melihat apa-apa.
Aku menggenjot semakin kuat dan semakin kuat. Enak sekali rasanya menjauh
dari sekolah. Menjauh dari Judith.
Hujan mulai turun semakin deras. Aku tidak peduli. Kutengadahkan kepala ke
langit sambil menggenjot sepeda. Air hujan terasa dingin dan menyegarkan di
kulitku yang panas.
Ketika memandang ke depan lagi, kulihat aku sudah sampai Hutan Jeffers, deretan
panjang pepohonan yang membatasi lingkungan rumahku dengan lingkungan
sebelah.
Di antara pohon-pohon yang tinggi dan tua itu ada jalan setapak kecil untuk naik
sepeda. Pohon-pohon itu gundul dan tampak sedih dan kesepian tanpa daun-
daunnya. Kadang-kadang aku bersepeda di situ, untuk mengetahui seberapa cepat
aku bisa naik sepeda di jalan yang berkelok-kelok dan tidak rata.
Tapi langit semakin gelap, awan hitam melayang rendah. Dan kulihat ada kilatan
petir di langit di atas pepohonan.
Kuputuskan sebaiknya berbalik dan pulang saja. Tapi ketika aku berbalik, ada
orang melangkah di depanku. Seorang wanita!
Aku terkesiap, terkejut melihat ada orang di jalan sepi di samping pepohonan ini.
Aku memicingkan mata menatapnya, sementara hujan semakin deras,
bergemericik di jalanan sekitarku. Wanita itu tidak muda, dan tidak tua. Matanya
kelam, seperti batu bara, wajahnya putih pucat.
Rambutnya yang hitam lebat tergerai di belakang.
Pakaiannya agak kuno. Di bahunya melingkar syal wol merah cerah yang tebal. Ia
mengenakan rok hitam panjang sampai ke mata kaki.
Matanya yang kelam kelihatan seperti menyala ketika menatap mataku.
Ia kelihatan bingung.
Mestinya aku lari.
Mestinya aku menggenjot sepedaku menjauh dari dia secepat-cepatnya.
Kalau saja aku tahu...
Tapi aku tidak menjauh. Aku tidak pergi.
Aku malah tersenyum padanya. "Bisa saya bantu?" tanyaku.
WAKTU sedang makan malam tiba-tiba aku teringat pada permintaan itu.
Aku tidak bisa melupakan bagaimana bola kristal tadi memancarkan cahaya merah
aneh.
Mom berusaha menyuruhku makan bubur kentang lagi, aku tidak mau. Bubur
kentang ini dari kotak—kau tahu kan, seperti potongan kentang, atau makanan
kotakan lainnya—dan rasanya sama kali tidak seperti rasa bubur kentang asli.
"Sam, kau harus makan lebih banyak kalau mau tumbuh besar dan kuat," kata
Mom sambil menyodorkan mangkuk kentang padaku.
"Mom, aku tidak ingin tumbuh lagi!" seruku. "Aku sudah lebih tinggi dari Mom,
padahal umurku baru dua belas!"
"Tolong jangan teriak-teriak," kata Dad sambil mengambil buncis.
Buncis kalengan. Mom tadi terlambat pulang kerja dan tidak sempat memasak
makanan asli.
"Aku juga tinggi waktu berusia dua belas tahun," kata Mom serius.
Disodorkannya kentang pada Dad.
"Lalu Mom menciut!" seru Ron, mengejek. Abangku mengira ia lucu.
"Maksudku aku tinggi untuk anak seusiaku," kata Mom.
"Yah, aku terlalu tinggi untuk anak seumurku," gerutuku. "Aku terlalu tinggi untuk
anak seumur berapa pun."
"Beberapa tahun lagi kau tidak akan bicara begitu," kata Mom.
Ketika ia melihat ke arah lain, kumasukkan tanganku ke kolong meja dan
memberikan buncis pada Punkin.
Punkin anjingku, anjing kampung cokelat kecil. Ia makan segalanya.
"Ada bakso lagi?" tanya Dad. Ia sebetulnya tahu masih ada bakso. Ia cuma ingin
Mom bangun dan mengambilkannya.
Mom mengambilkannya.
"Bagaimana latihan bola basketmu?" tanya Dad padaku.
Aku mencibir dan mengacungkan dua jempol ke bawah.
"Dia terlalu tinggi untuk main basket," gumam Ron dengan mulut penuh makanan.
"Bola basket butuh stamina," kata Dad.
Kadang kadang aku tidak tahu kenapa Dad mengucapkan hal-hal yang
diucapkannya.
Maksudku, mesti kujawab apa perkataan seperti itu?
Tiba-tiba aku teringat pada wanita gila tadi dan permintaan yang kuucapkan. "Hei,
Ron, mau main basket sebentar setelah makan malam?" tanyaku sambil mengaduk-
aduk buncis di piringku dengan garpu.
Kami punya ring basket di depan garasi dan ada lampu sorot untuk menerangi jalan
masuk. Kadang-kadang setelah makan malam Ron dan aku main basket satu lawan
satu. Kau tahu, kan. Untuk menyegarkan diri sebelum mengerjakan pekerjaan
rumah.
Ron memandang ke luar jendela ruang makan. "Hujan sudah berhenti?"
"Yeah. Sudah," kataku. "Kira-kira setengah jam vang lalu."
“Lapangannya masih basah," katanya.
"Sedikit genangan air tidak akan merusak permainanmu," kataku sambil tertawa.
Ron jago sekali main bola basket. Ia punya bakat jadi atlet. Jadi tentu saja ia nyaris
tidak berminat main denganku. Ia lebih suka membaca buku di kamar. Buku apa
saja.
"Aku banyak pekerjaan rumah," kata Ron sambil mendorong kaca mata berbingkai
hitamnya yang melorot.
“Sebentar saja," kataku memohon-mohon. "Cuma latihan menembak sedikit."
"Bantu adikmu," desak Dad. "Kau bisa mengajarinya.”
Ron terpaksa setuju. "Tapi cuma sebentar, ya." Ia memandang ke luar jendela lagi.
"Kita bakal basah kuyup.”
"Kubawakan handuk," kataku sambil meringis.
"Jangan sampai Punkin keluar," kata Mom. "Nanti kakinya basah semua dan
mengotori lantai."
"Entah kenapa kita mau melakukan hal ini," gerutu Ron.
Aku tahu ini konyol, tapi aku harus melihat apakah permintaanku jadi kenyataan.
Mungkinkah aku tiba-tiba jadi jago main bola basket?
Mungkinkan aku tiba-tiba bisa mengalahkan Ron?
Benar-benar bisa memasukkan bola ke ring?
Bisakah aku membawa bola tanpa tersandung?
Membawa bola ke arah yang kuinginkan?
Menangkap bola tanpa mental di dadaku?
Aku terus mengejek diriku karena memikirkan permintaanku tadi.
Konyol. Benar-benar konyol.
Cuma karena seorang wanita gila menawarkan untuk mengabulkan tiga
permintaan, kataku dalam hati, bukan berarti kau harus bersemangat dan mengira
kau langsung berubah jadi Michael Jordan!
Tapi aku tetap tidak sabar ingin melawan bersama Ron.
Apakah aku akan menerima kejutan besar?
8
AKU berdiri kaku seperti patung. Badanku rasanya dingin seperti batu.
Lalu, ketika sosok kecil itu keluar dari kegelapan, aku jadi tertawa.
"Punkin!" teriakku. "Kok kau bisa keluar?"
Aku bahagia sekali melihatnya —bahagia sekali karena ternyata bukan Ron yang
berlari-lari d rumput—sehingga kuangkat anjing kecil itu dan kupeluk erat-erat.
Tentu saja aku jadi penuh lumpur karena kakinya kotor. Tapi aku tidak peduli.
Sam, tenangkan dirimu, kataku mengejek diri sendiri, sementara Punkin meronta-
ronta. Harapanmu mengenai Ron tidak akan jadi kenyataan karena Clarissa dan
bola merah menyalanya tidak ada di sini.
Kau harus berhenti memikirkan tiga permintaan itu, kataku dalam hati. Konyol
sekali. Dan kau jadi gila karena memikirkannya.
"Ada apa? Kok dia bisa keluar?" teriak Ron, muncul dari garasi sambil membawa
bola.
"Pasti menyelinap ke luar," jawabku sambil mengangkat bahu. Kami main lagi
selama beberapa menit. Tapi udara dingin dan basah. Dan sama sekali tidak asyik,
terutama buatku.
Aku tidak berhasil memasukkan satu bola pun.
Kami mengakhiri permainan dengan lomba tembakan penalti, permainan pendek
seperti KUDA. Ron menang mudah. Nilaiku masih nol besar.
Ketika kami berlari ke rumah, Ron menepuk punggungku. "Mau main lempar-
lemparan ke dalam gelas saja?" godanya. "Atau mungkin Parcheesi?"
Aku mengeluh kesal. Tiba-tiba aku ingin sekali menceritakan padanya kenapa aku
merasa begitu kecewa, menceritakan tentang wanita aneh tadi dan tiga
permintaanku.
Aku belum bercerita pada Mom dan Dad. Ceritanya terlalu konyol, sih.
Tapi kurasa mungkin saja abangku akan menganggap ceritaku lucu.
"Aku harus menceritakan kejadian tadi sore padamu," kataku ketika kami
membuka sepatu di dapur. "Kau takkan percaya pada apa yang kualami. Aku—"
"Nanti saja," katanya, dibukanya kaus kakinya yang basah dan dimasukkannya ke
dalam sepatu. “Aku harus mengerjakan pekerjaan rumah."
Ia masuk ke kamar.
Aku berjalan ke kamarku, tapi telepon berdering. Kuangkat setelah dering pertama.
Dari Cory, ia menelepon untuk menanyakan bagaimana latihan bola basketku.
"Hebat," kataku kasar. "Hebat sekali. Aku begitu menakjubkan sampai mereka
akan menghapus nomorku."
"Kau mana punya nomor," kata Cory mengingatkan.
Teman yang hebat.
***
10
" KENAPA kalian ini, anak-anak?" desak Ellen ketika kami berdesak-desakan di
pinggir lapangan. Dipandanginya kami, diamatinya satu per satu dengan prihatin.
Anna terduduk lemas di lantai, bahunya membungkuk. Kelihatannya untuk buka
mata saja ia sudah tidak sanggup.
Judith bersandar di dinding ruang olahraga. Napasnya terengah-engah, tampak
titik-titik keringat di dahinya yang pucat.
"Ayo, yang semangat, dong," desak Ellen sambil menepuk tangannya. "Kukira
kalian bersemangat untuk bertanding."
"Di sini udaranya pengap," keluh salah satu pemain.
"Rasanya capek sekali," kata yang lain sambil menguap.
"Mungkin kami terkena sesuatu," kata Anna dari bawah.
"Kau merasa tidak enak juga?" tanya Ellen padaku.
"Tidak," kataku. "Aku baik-baik saja."
Di belakangku Judith mengerang kepayahan dan berusaha menjauh dari dinding.
Wasit, anak sekolah menengah yang mengenakan pakaian garis-garis hitam putih
yang sangat kedodoran, meniup peluit. Ia memberi tanda agar kami kembali ke
lapangan.
"Aku tidak mengerti," Ellen menarik napas sambil menggeleng. Dibantunya Anna
berdiri. "Aku tidak mengerti. Aku benar-benar tidak mengerti."
Aku mengerti.
Aku sangat mengerti.
Harapanku jadi kenyataan. Aku benar-benar tidak percaya! Wanita aneh itu benar-
benar punya kekuatan gaib. Dan ia telah memenuhi permintannku.
Meskipun tidak seperti yang kubayangkan.
Aku ingat sekali kata-kata yang kuucapkan. Aku berharap jadi pemain terkuat di
tim bola basket. Artinya aku ingin wanita itu membuatku jadi pemain yang lebih
kuat, lebih baik.
Tapi ia malah membuat pemain-pemain lain jadi lebih lemah!
Aku tetap saja pemain payah. Aku tetap tidak bisa membawa, mengoper,
menembakkan bola. Tapi aku pemain paling kuat di tim!
Kenapa aku dulu bisa goblok begitu? Aku marah-marah sendiri sambil berlari ke
tengah lapangan. Harapan tidak pernah menjadi kenyataan seperti yang kau
inginkan. Ketika sampai di tengah lapangan, aku berbalik dan melihat Judith,
Anna, dan pemain-pemain lain timku berjalan malas-malasan masuk lapangan.
Bahu mereka membungkuk, dan mereka berjalan dengan sepatu diseret-seret.
Harus kuakui aku agak senang juga melihatnya. Maksudku, aku merasa sangat
sehat. Dan mereka kelihatan begitu lemah dan memelas.
Judith dan Anna pantas menerimanya, kataku dalam hati. Aku berusaha supaya
tidak tersenyum ketika mereka ogah-ogahan berdiri di posisi mereka. Tapi
mungkin aku tersenyum juga sedikit.
Wasit meniup peluit dan memanggil kami sebelum ia melempar bola tanda
permainan dimulai. Judith berhadap-hadapan dengan seorang pemain Jefferson di
lingkaran tengah.
Wasit melemparkan bola ke atas. Pemain Jefferson melompat tinggi.
Judith setengah mati berusaha melompat. Aku bisa melihat ketegangan di
wajahnya.
Tapi kakinya tetap saja menempel di lantai.
Pemain Jefferson memberikan bola pada salah satu teman satu timnya, dan mereka
segera berlari membawa bola ke ujung lapangan.
Aku berlari sekuat tenaga mengejar mereka. Tapi teman-temanku cuma bisa
berjalan.
Dengan mudah Jefferson memasukkan bola. "Ayo, Judith—kita bisa menyusul
mereka!" teriakku sambil bersemangat bertepuk tangan.
Judith menatapku hampa. Matanya yang hijau tampak pudar, seperti luntur.
"Ambil! Ambil! Ayo, Mustangs!" teriakku penuh semangat.
Aku suka sekali memanas-manasi begini.
Dengan lemah Judith melempar bola ke dalam lapangan. Kuambil dan kubawa ke
ujung lapangan.
Di bawah ring, salah satu pemain Jefferson menabrakku dari belakang ketika aku
berusaha menembak.
Dua tembakan penalti untukku.
Rasanya lama sekali teman-temanku baru datang dan berbaris di dekat ring.
Tentu saja kedua tembakanku gagal.
Tapi aku tidak peduli.
"Ayo, Mustangs!" teriakku sambil bertepuk tangan penuh semangat.
"Bertahan! Bertahan!”
Tiba-tiba aku jadi pemain dan cheerleader juga. Aku benar-benar menikmati jadi
pemain paling hebat di tim.
Asyik sekali rasanya melihat Judith dan Anna berjalan membungkuk dan terseret-
seret di lapangan seperti regu kalah yang kecapekan! Benar-benar asyik!
Kami kalah dengan kedudukan dua puluh-empat.
Judith, Anna, dan pemain lain tampak senang pertandingan sudah selesai. Aku
berlari-lari ke ruang ganti pakaian sambil tersenyum lebar.
Aku hampir selesai berganti pakaian ketika teman-teman satu timku terseret-seret
masuk.
Judith berjalan mendekatiku dan bersandar di lemariku.
Dipandanginya aku dengan tatapan curiga.
"Kenapa kau bisa penuh semangat begini?" desaknya.
Aku mengangkat bahu. "Entahlah," kataku. "Persaanku baik-baik saja. Seperti
biasanya."
Keringat mengalir di dahi Judith. Rambut merahnya menempel di kepalanya
karena basah.
"Ada apa, Byrd?" desaknya sambil menguap. "Aku tidak mengerti."
"Mungkin kau kena flu atau apalah," kataku, berusaha menutupi betapa senangnya
aku.
lni benar-benar hebat!
"Ohh, aku capek sekali," erang Anna sambil mendekati Judith.
"Aku yakin besok kalian pasti sudah baikan," kataku riang.
"Ada yang aneh di sini," gumam Judith lemah. Ia berusaha menatapku tajam, tapi
matanya terlalu lelah untuk difokuskan.
"Sampai ketemu besok!" kataku gembira, kuambil barang-barangku dan berjalan
ke luar. "Baikan, ya, teman-teman!"
Aku berhenti di luar ruang ganti pakaian. Mereka akan merasa baikan besok,
kuyakinkan diriku sendiri. Mereka akan kembali normal. Mereka tidak mungkin
tetap seperti sekarang—kan?
Keesokan harinya kabar buruk menimpaku seperti satu ton batu bata.
12
15
17
"TIDAK—tunggu!" teriakku.
Wanita itu tersenyum dan ditutupinya kepalanya dengan syal.
"Tunggu! Saya tidak serius!" teriakku sambil berlari mendatanginya. "Saya tidak
tahu Anda ada disini. Tunggu—OW!"
Kakiku tersandung batu di jalanan, aku terjatuh.
Lututku terasa sakit sekali. Rasa sakitnya terasa di sekujur tubuh.
Ketika kulihat lagi, ia sudah tidak ada.
Setelah makan malam, Ron mau diajak main basket di belakang. Tapi udara terlalu
dingin dan berangin. Butir-butir salju mulai berjatuhan.
Kami akhirnya main ping-pong di ruang bawah tanah.
Susah rasanya main ping-pong di ruang bawah tanah rumah kami.
Yah, alasan pertama langit-langitnya terlalu rendah, bola selalu terpental kesana
dan memantul ke mana-mana. Selain itu, Punkin punya kebiasaan buruk mengejar-
ngejar bola dan menggigitinya sampai bolong.
Aku cuma pandai main ping-pong. Aku punya servis yang sangat menipu, dan aku
pintar memukul bola ke arah kerongkongan lawan.
Biasanya aku bisa mengalahkan Ron dua set dari tiga set pertandingan.
Tapi malam ini ia tahu aku tidak main serius.
"Ada apa?" tanyanya ketika kami memukul bola pelan-pelan. Matanya yang kelam
menatapku dari balik kacamata berbingkai hitamnya.
Kuputuskan aku harus menceritakan padanya soal Clarissa, bola kristal merahnya,
dan tiga permintaanku. Aku ingin sekali bercerita pada seseorang.
"Beberapa hari yang lalu aku membantu seorang wanita aneh," kataku. "Dan ia
berjanji akan mengabulkan tiga permintaanku. Kuucapkan permintaanku, dan
sekarang semua pemain tim bola basketku sebentar lagi mati!"
Ron menjatuhkan pemukulnya ke atas meja. Mulutnya ternganga.
"Waduh, kebetulan sekali!" teriaknya.
"Hah?" Aku melongo menatapnya.
"Kemarin aku ketemu peri pelindungku!" seru Ron. "Ia berjanji akan membuatku
jadi orang paling kaya di dunia, dan ia akan memberi aku mobil Mercedes dari
emas dengan kolam renang di belakangnya!"
Ia tertawa terbahak-bahak. Dikiranya ia lucu sekali.
"Aaaaaagh!" Aku menggeram karena marah dan frustrasi. Lalu kulemparkan
pemukulku ke arah Ron dan lari ke kamarku di atas.
Kubanting pintu kamar dan berjalan mondar-mandir di dalam, tanganku terlipat di
dada.
Aku terus menenangkan diri sendiri, tidak bagus kalau sampai kacau begini. Tapi
tentu saja percuma menyuruh diri sendiri tenang. Kau malah jadi semakin tegang.
Kuputuskan aku harus melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikiran, supaya tidak
teringat Judith terus, dan Clarissa, dan permintaan baru yang tidak sengaja
kuucapkan.
Permintaan keduaku.
"Tidak adil!" teriakku kuat-kuat sambil terus berjalan mondar-mandir.
Aku sama sekali tidak sadar waktu mengucapkan permintaan keduaku itu. Wanita
itu menipuku! Ia tiba-tiba muncul—dan menipuku!
Aku berhenti di depan cermin dan bermain-main dengan rambutku.
Rambutku pirang dan sangat indah. Begitu indahnya, sehingga rasanya tidak perlu
diatur dengan gaya macam-macam. Biasanya kuikat jadi buntut kuda di sebelah
kanan kepalaku. Kulihat ada model yang agak mirip dengan aku di majalah
Seventeen menata rambutnya seperti itu.
Supaya ada kerjaan, kucoba-coba gaya rambut yang lain. Sambil mengamati diriku
di cermin, kucoba menyisir rambut ke belakang.
Lalu kucoba membelah rambut di tengah dan kugerai menutupi telinga. Kelihatan
payah sekali.
Percuma. Aku tetap saja teringat Judith terus. Akhirnya kuikat jadi buntut kuda
lagi. Lalu kusisir sebentar, kulempar sisirnya sambil menarik napas, dan mondar-
mandir lagi.
Aku terus bertanya-tanya: Apakah harapanku sudah jadi kenyataan?
Apa aku telah menyebabkan Judith menghilang?
Meskipun benci pada Judith, aku jelas tidak mau bertanggungjawab karena telah
membuatnya menghilang untuk selamanya.
Sambil mengerang keras, aku melompat ke tempat tidur. Apa yang harus
kulakukan? tanyaku dalam hati. Aku harus tahu apa harapanku telah jadi
kenyataan.
Kuputuskan akan menelepon rumah Judith.
Aku tidak mau bicara dengan dia. Akan kutelepon saja rumahnya dan kulihat apa
dia masih ada.
Aku tidak mau mengatakan dari siapa teleponnya.
Kucari nomor telepon Judith di buku alamat sekolah. Aku tidak hapal.
Aku cuma pernah meneleponnya sekali.
Tanganku gemetar ketika meraih telepon di atas meja. Kutekan nomor teleponnya.
Aku perlu mengulangi sampai tiga kali. Salah tekan terus.
Aku benar-benar ketakutan. Rasanya perutku melilit dan jantungku lompat ke
tenggorokan. Teleponnya berbunyi.
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
Apakah ia sudah menghilang?
18
EMPAT kali.
Tidak ada yang mengangkat.
"Dia sudah tidak ada," gumamku keras-keras,punggungku terasa dingin.
Sebelum telepon berdering lima kali, kudengar ada bunyi klik. Ada orang
mengangkat telepon. "Halo?"
Judith!
"Halo? Siapa ini?" desaknya.
Kubanting telepon.
Jantungku berdebar-debar. Tanganku sedingin es. Aku menarik napas lega. Judith
masih ada. Ia benar-benar masih ada. Ia belum menghilang dari muka bumi ini.
Dan, kusadari suaranya sudah kembali normal. Ia tidak kedengaran parau atau
lemah. Suaranya kedengaran judes seperti biasanya.
Apa artinya ini? Aku melompat berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir lagi,
berusaha memahami segalanya.
Tentu saja, aku tidak bisa memahaminya.
Aku cuma tahu permintaan keduaku tidak dikabulkan.
Dengan perasaan agak lega, aku naik ke tempat tidur dan segera tertidur pulas
tanpa mimpi.
Kubuka sebelah mataku, lalu yang sebelah lagi. Cahaya matahari pagi yang pucat
bersinar menembus jendela kamar tidurku. Sambil menggeram mengantuk,
kusibak selimut dan duduk.
Kupandang jam di atas meja dan terkesiap. Sudah hampir pukul delapan lewat
sepuluh? Kugosok mataku dan kupandang lagi. Ya.
Pukul delapan lewat sepuluh.
"Hah?" teriakku, berusaha menghilangkan kantuk dari suaraku. Setiap pagi Mom
selalu membangunkan aku pukul tujuh supaya aku bisa sampai di sekolah pukul
setengah sembilan.
Ada apa?
Sekarang aku pasti sudah telat.
"Hei—Mom!" teriakku. "Mom!" Aku melompat bangun dari tempat tidur. Kakiku
yang panjang terlilit selimut, aku nyaris jatuh.
Hebat sekali, pagi-pagi sudah kacau begini—memang ciri khas Samantha!
"Hei, Mom—" teriakku dari pintu kamar. "Ada apa? Aku jadi telat, nih!"
Karena tidak mendengar jawaban, kubuka baju tidur dan cepat-cepat mencari
pakaian bersih dari dalam lemari. Hari ini hari Jumat, hari cuci pakaian. Jadi aku
terpaksa mencari sampai ke tumpukan bawah.
"Hei, Mom? Ron? Ada yang sudah bangun?" Setiap pagi Dad berangkat kerja
pukul tujuh.
Biasanya aku mendengarnya berjalan ke sana kemari. Tapi pagi ini aku tidak
mendengar apa-apa. Kupakai celana jins-ku dan baju hangat warna hijau muda.
Lalu kusisir rambutku, kupandang wajahku yang masih mengantuk di cermin.
"Ada yang sudah bangun?" teriakku. ''Kenapa hari ini tidak ada yang
membangunkan aku? Ini bukan hari libur kan?"
Kudengarkan dengan cermat sambil memakai sepatu Doc Martens-ku.
Tidak terdengar suara radio dari dapur. Aneh sekali, pikirku. Setiap pagi Mom
selalu mendengar siaran berita dari radio itu. Kami selalu bertengkar soal radio.
Mom ingin mendengar berita, dan aku ingin mendengar musik.
Tapi hari ini tidak terdengar suara apa-apa.
Ada apa, sih?
"Hei—aku terpaksa tidak sarapan!" teriakku ke bawah tangga. "Aku sudah telat."
Tidak ada jawaban.
Kupandang cermin sekali lagi, kusisir rambut dari keningku, dan segera keluar ke
lorong.
Kamar abangku di sebelah kamarku. Pintunya tertutup.
O-oh, Ron, pikirku. Kau terlambat bangun juga?
Kugedor pintunya. "Ron? Ron, kau sudah bangun?"
Sepi.
"Ron?" kudorong pintunya sampai terbuka. Kamarnya gelap, cuma ada cahaya
pudar dari jendela. Tempat tidurnya rapi.
Apa Ron sudah berangkat? Kenapa ia sudah merapikan tempat tidur?
Biasanya tidak pernah!
"Hei, Mom!" Dengan perasaan bingung, aku segera menuruni tangga.
Di tengah jalan, aku tersandung dan nyaris jatuh. Gerakan Kacau Nomor Dua.
Bagus sekali untuk pagi-pagi begini.
"Ada apa, sih, di bawah sini? Apa sekarang sudah akhir pekan? Apa aku tidur
selama hari Jumat?"
Dapur kosong. Tidak ada Mom. Tidak ada Ron. Tidak ada sarapan.
Apa mereka harus pergi cepat-cepat ke suatu tempat? Kuperiksa pintu kulkas
kalau-kalau ada pesan tertempel.
Tidak ada.
Dengan perasaan bingung, kulirik jam. Hampir pukul setengah sembilan. Aku
sudah terlambat untuk pergi ke sekolah.
Kenapa tidak ada yang membangunkan aku? Kenapa mereka semua pergi pagi-
pagi sekali?
Kucubit diriku. Betul-betul kucubit. Siapa tahu aku mimpi.
Tapi tidak.
"Hei—semua?" panggilku. Suaraku bergema di rumahku yang kosong.
Aku lari ke lemari depan untuk mengambil mantel. Aku harus berangkat ke
sekolah. Aku yakin misteri ini akan jelas juga nantinya.
Cepat-cepat kupakai mantel dan lari ke atas untuk mengambil tas ranselku. Perutku
ribut keroncongan. Biasanya aku sarapan paling tidak segelas sari buah dan
semangkuk sereal.
Yah, pikirku, aku nanti beli makan siang yang agak banyak saja.
Beberapa saat kemudian, aku keluar dari pintu depan dan pergi ke garasi di
samping untuk mengambil sepeda. Kutarik pintu garasi—dan berhenti.
Aku berdiri kaku sambil menatap ke dalam garasi.
Mobil ayahku. Masih ada di dalam garasi. Dad belum berangkat kerja.
Kalau begitu, kemana mereka semua?
19
AKU kembali ke dalam rumah dan menelepon kantor Dad. Telepon berdering-
dering, tapi tidak ada yang mengangkat.
Kucari lagi pesan dari Dad dan Mom di dapur. Tapi tidak ada apa-apa.
Ketika kulirik jam di dapur, kulihat aku sudah terlambat sekolah dua puluh menit.
Aku perlu surat terlambat, tapi tidak ada yang bisa menuliskannya untukku.
Aku cepat-cepat ke luar untuk mengambil sepeda. Lebih baik telat daripada tidak
masuk sekolah sama sekali, pikirku. Sebetulnya aku tidak takut. Aku cuma
bingung.
Kutelepon Dad dan Mom waktu makan siang nanti dan akan kutanyakan ke mana
orang-orang pergi pagi ini, kataku dalam hati.
Sambil mengayuh sepeda ke sekolah, aku mulai merasa agak marah.
Mereka kan bisa bilang padaku kalau hendak berangkat pagi-pagi!
Di jalanan tidak ada mobil, dan tidak ada anak-anak bersepeda.
Kurasa semua orang sudah berada di sekolah atau di tempat kerja atau di mana saja
orang biasanya berada waktu pagi hari. Aku memecahkan rekor bisa sampai ke
sekolah cepat sekali.
Setelah memarkir sepeda, kurapikan ransel di bahuku dan lari ke sekolah. Lorong-
lorong sekolah gelap dan kosong. Suara langkah kakiku bergema keras di lantai.
Kumasukkan mantel ke lemari penyimpanan. Ketika kubanting pintunya, suaranya
terdengar seperti suara ledakan di lorong yang kosong.
Seram juga lorong-lorong ini kalau kosong begini, pikirku. Aku lari ke kelasku,
yang letaknya tidak jauh dari lemari penyimpananku.
"Ibu saya lupa membangunkan, makanya saya jadi terlambat bangun."
Itulah alasan yang akan kukatakan pada Sharon begitu masuk kelas.
Maksudku, itu kan bukan sekadar alasan. Itulah yang sebenarnya.
Tapi aku tidak pernah mengatakan alasan keterlambatanku itu pada Sharon.
Kudorong pintu kelas—dan terkejut.
Kosong. Kelas kosong.
Tidak ada anak-anak. Tidak ada Sharon.
Lampu belum dinyalakan. Dan tulisan kemarin masih ada di papan tulis.
Aneh, pikirku.
Tapi waktu itu aku belum tahu betapa anehnya kejadian yang akan terjadi.
Aku berdiri kaku sesaat, menatap ruang kelas yang kosong dan gelap.
Lalu aku teringat mungkin saja semua orang sedang berkumpul di auditorium.
Aku cepat-cepat berbalik dan berlari-lari melewati lorong kosong ke auditorium di
depan sekolah.
Pintu ruang guru terbuka. Kuintip dan terkejut ketika melihat ruangan itu kosong
juga. Mungkin guru-guru ikut berkumpul juga, pikirku.
Beberapa detik kemudian, kubuka pintu auditorium.
Dan kupandangi ruangan yang gelap itu.
Auditorium sepi dan kosong.
Kututup pintu dan berlari-lari di lorong. Aku berhenti dan memandang ke dalam
semua ruangan yang kosong.
Aku segera sadar cuma aku satu-satunya orang di gedung ini. Tidak ada anak-anak.
Tidak ada guru. Aku bahkan memeriksa kamar penjaga sekolah di bawah. Kosong.
Apa sekarang hari Minggu? Apa sekarang hari libur? Aku berusaha menebak-
nebak ke mana semua orang pergi, tapi gagal.
Dengan panik, kumasukkan koin ke telepon umum di samping kantor kepala
sekolah dan menelepon ke rumah.
Kubiarkan telepon berdering sampai sepuluh kali. Tetap tidak ada orang di rumah.
"Ke mana sih orang-orang?" teriakku di koridor yang kosong.
Jawabannya cuma gema suaraku.
"Ada yang mendengarkan aku?" teriakku, kubentuk tanganku seperti terompet di
depan mulut. Sepi.
Tiba-tiba aku merasa ketakutan sekali. Aku harus keluar dari gedung sekolah yang
mengerikan ini. Kusambar mantel dan segera lari. Aku bahkan tidak sempat
menutup pintu lemari.
Sambil menyandang mantel di bahu, aku lari ke luar, ke tempat sepeda. Cuma
sepedaku yang diparkir di sana. Aku kesal sendiri karena tidak dari tadi
menyadarinya.
Kukenakan mantel, kurapikan ransel, dan mengayuh sepeda ke rumah.
Lagi-lagi kulihat tidak ada mobil di jalan. Tidak ada orang.
"Aneh sekali!" teriakku kuat-kuat.
Kakiku tiba-tiba terasa berat, seakan-akan ada yang membebani. Aku tahu pasti
karena merasa panik. Jantungku berdebar-debar. Aku terus mencari-cari orang—
siapa saja—di jalan.
Di tengah perjalanan pulang, aku berputar dan kukayuh sepeda ke arah kota.
Daerah pertokoan cuma beberapa blok di sebelah utara sekolah.
Aku naik sepeda di tengah jalan. Buat apa di pinggir-pinggir. Tidak tampak ada
mobil atau truk dari arah mana pun.
Bank mulai nampak, lalu toko serba ada. Ketika kukayuh sepeda sekuat tenaga,
kuperhatikan semua toko yang berderet di kedua sisi Montrose Avenue.
Semuanya gelap dan kosong.
Tak ada orang di kota. Tak ada seorang pun di toko.
Tak seorang pun.
Kurem sepeda di depan toko Farber's dan melompat turun. Sepedaku jatuh ke
samping. Aku melangkah ke trotoar, dan mendengarkan.
Yang terdengar cuma suara tirai terbanting-banting ditiup angin di atas tempat
tukang potong rambut.
"Halo!" Aku berteriak sekuat tenaga. "Hallllooooo!"
Aku segera berlari panik dari toko ke toko, kutekan wajahku ke etalase, mengintip
ke dalam, setengah mati mencari-cari manusia lain.
Bolak-balik. Aku berlari di kedua sisi jalan, semakin lama aku semakin merasa
takut.
"Hallooooo! Halllooooo! Ada yang mendengarkan aku?"
Tapi aku tahu percuma saja berteriak-teriak.
Sambil berdiri di tengah jalan, melotot memandangi toko-toko gelap dan trotoar
sepi, aku tahu aku sendirian.
Sendirian di dunia.
Tiba-tiba aku sadar permintaanku telah dikabulkan.
Judith sudah menghilang. Dan semua orang telah menghilang bersamanya.
Semua orang.
Mom dan Dad-ku. Abangku, Ron. Semua orang.
Bisakah aku bertemu mereka lagi?
Aku terduduk di teras semen di depan tempat potong rambut dan memeluk diriku
sendiri, berusaha menahan badanku supaya tidak gemetaran.
Sekarang bagaimana? pikirku suram. Sekarang bagaimana?
20
AKU tidak tahu berapa lama aku duduk di teras itu, memeluk diri sendiri, kepalaku
tertunduk, pikiranku pusing karena panik. Aku bisa saja duduk di sana terus,
mendengarkan suara tirai berdebam-debam, mendengarkan angin bertiup di jalanan
yang sepi—kalau saja perutku tidak berkeriuk dan keroncongan.
Aku berdiri, tiba-tiba ingat tadi pagi tidak sempat sarapan.
"Sam, kau sendirian di dunia ini. Kok masih ingat makan, sih?" tanyaku pada diri
sendiri keras-keras.
Entah kenapa lega juga rasanya mendengar ada suara manusia, meskipun itu
suaraku sendiri.
"Aku lapaaaaaar!" teriakku.
Aku menunggu, siapa tahu ada jawaban. Meskipun terasa sangat goblok, aku tetap
tidak mau menyerah.
"Ini semua salah Judith," gumamku sambil mengambil sepeda yang tergeletak di
jalan.
Aku mengayuh sepeda pulang melewati jalan-jalan yang kosong, mataku
memelototi halaman dan rumah-rumah yang sepi. Ketika melewati rumah Carter di
sudut blok rumahku, aku berharap anjing terrier putih kecil mereka mengejar-
ngejar sepedaku sambil menggonggong seperti biasanya.
Tapi tak ada seekor anjing pun yang tersisa di duniaku. Punkin-ku yang malang
pun tidak.
Cuma ada aku. Samantha Byrd. Manusia terakhir di bumi.
Begitu sampai di rumah, aku bergegas masuk ke dapur dan membuat sandwich
selai kacang. Sambil menelan, kupandang tempat selai kacang yang terbuka.
Hampir kosong.
"Bagaimana aku mencari makan nanti?" tanyaku keras-keras.
"Bagaimana nasibku kalau makanan sudah habis?"
Kuisi gelasku dengan sari jeruk. Tapi aku ragu-ragu, akhirnya kuisi cuma setengah.
Apa kurampok saja toko serba ada? tanyaku pada diri sendiri. Apa kuambil saja
makanan yang kubutuhkan?
Apa bisa disebut perampokan kalau tidak ada orang? Kalau tidak ada orang di
mana-mana?
Apa itu penting? Apa ada yang penting?
"Bagaimana caraku mengurus diri sendiri? Aku baru dua belas tahun!" teriakku.
Untuk pertama kalinya, aku ingin menangis. Tapi kumasukkan sepotong sandwich
selai kacang lagi ke mulutku dan kuusir perasaan ingin menangis tadi.
Aku malah memikirkan Judith. Perasaan sedih dan takutku segera berubah jadi
perasaan marah.
Kalau Judith tidak mengolok-olok aku, berusaha membuatku malu, kalau Judith
tidak terus-terusan mengejek dan berkata, "Terbang sajalah kau, Byrd!" dan semua
perkataan kasarnya ,yang lain, aku takkan meminta macam-macam soal dirinya,
dan aku takkan jadi sendirian sekarang.
"Aku benci kau, Judith!" jeritku.
Kujejalkan potongan terakhir sandwich ke dalam mulut—tapi tidak kukunyah.
Aku berdiri kaku. Dan mendengarkan.
Aku mendengar sesuatu.
Suara langkah kaki. Ada orang berjalan di ruang duduk.
21
22
CAHAYA dari jendela ruang duduk memudar ketika matahari tertutup awan.
Ketika cahaya meredup, wajah wanita tua itu menggelap. Di bawah matanya ada
keriput hitam dan dalam. Dahinya berkerut. Ia kelihatan seperti tenggelam ke
dalam bayangan.
"Inilah permintaan saya," kataku dengan suara gemetar. Aku bicara pelan-pelan,
hati-hati. Aku ingin memikirkan setiap perkataanku.
Sekali ini aku tidak ingin salah bicara lagi.
Aku tidak mau ia punya kesempatan untuk menjebakku.
"Aku mendengarkan," bisiknya, wajahnya sekarang sudah tertutup bayangan
semua. Kecuali matanya, yang menyala merah seperti api.
Aku berdeham. Kutarik napas dalam-dalam.
"Inilah permintaan saya," kataku hati-hati. "Saya ingin semua kembali normal.
Saya ingin semua kembali persis seperti dulu—tapi—"
Aku ragu-ragu.
Haruskah kuucapkan bagian ini?
Ya! kataku dalam hati.
"Saya ingin semua seperti dulu—tapi saya ingin Judith menganggap saya orang
paling hebat sedunia!"
"Aku akan mengabulkan permintaan ketigamu, katanya sambil menganggap bola
kaca tinggi-tinggi. "Permintaan keduamu akan dibatalkan. Waktu akan kembali
lagi pada pagi ini. Selamat tinggal, Samantha."
"Selamat tinggal," kataku.
Aku ditelan oleh cahaya merah yang memancar. Ketika cahaya itu memudar,
Clarissa sudah tidak ada.
"Sam! Sam—ayo bangun!"
Suara ibuku terdengar dari bawah.
Aku duduk tegak di tempat tidur, langsung terbangun. "Mom!" teriakku bahagia.
Aku teringat semuanya. Aku ingat bangun di rumah yang kosong, di dunia yang
kosong. Dan aku ingat permintaan ketigaku.
Tapi waktu sudah kembali ke pagi ini lagi. Kupandang jam. Tujuh.
Mom membangunkan aku pada jam yang biasanya.
"Mom!" Aku melompat dari tempat tidur, lari ke bawah dengan masih mengenakan
baju tidur, dan dengan perasaan senang kupeluk Mom erat-erat. "Mom!"
"Sam? Kau baik-baik saja?" Mom melangkah mundur, wajahnya tampak terkejut.
"Kau sedang demam, ya?"
"Selamat pagi!" seruku bahagia sambil memeluk Punkin, yang tampak terkejut
juga. "Dad masih di rumah?" Aku tidak sabar ingin bertemu Dad juga, ingin tahu ia
sudah ada lagi.
"Dad berangkat beberapa menit yang lalu," kata Mom sambil terus menatapku
curiga.
"Oh, Mom!" seruku. Aku tidak bisa menutupi perasaan bahagiaku.
Kupeluk dia lagi.
"Wo." Kudengar di belakangku Ron masuk ke dapur.
Aku berbalik dan melihatnya memandangi aku, matanya menyipit tidak percaya di
balik kaca matanya. Aku lari mendekat dan memeluknya juga.
"Mom—Mom kasih apa sari buahnya?" desak Ron sambil berusaha membebaskan
diri. "Hii! Lepaskan aku!"
Mom mengangkat bahu. "Jangan minta aku menjelaskan kelakuan adikmu,"
jawabnya datar. Ia berbalik ke lemari dapur. "ganti pakaian, Sam. Kau tidak mau
terlambat, kan?"
"Indah sekali pagi ini!" seruku.
"Yeah. Indah," ulang Ron sambil menguap. "Kau pasti bermimpi hebat, Sam."
Aku tertawa dan bergegas naik untuk berganti pakaian.
Aku tidak sabar ingin segera sampai ke sekolah. Aku tidak sabar ingin melihat
teman-temanku, melihat aula penuh lagi dengan wajah-wajah yang tertawa dan
bicara.
Sambil mengayuh sepeda sekuat tenaga, aku tersenyum setiap kali ada mobil
lewat. Aku senang bisa melihat orang-orang lagi. Aku melambai pada Mrs. Miller
di seberang jalan, yang sedang membungkuk untuk mengambil koran paginya.
Aku bahkan senang-senang saja waktu anjing terrier keluarga Carter mengejar-
ngejarku, menyalak-nyalak dan menggigiti tumitku.
"Anjing bagus!" seruku bersemangat.
Semua kembali normal, kataku dalam hati. Semuanya sudah kembali normal.
Kubuka pintu depan sekolah dan mendengar suara pintu lemari dibanting dan
teriakan anak-anak.
"Hebat!" teriakku kuat-kuat.
Seorang anak kelas enam berlari di sudut dan menabrakku, aku sampai terjatuh.
Aku tidak berteriak marah. Aku cuma tersenyum.
Aku bahagia sekali bisa kembali ke sekolah, kembali ke sekolahku yang ramai dan
ribut.
Sambil terus tersenyum, kubuka lemari penyimpananku. Dengan gembira
kupanggil beberapa temanku di seberang lorong.
Aku bahkan mengucapkan selamat pagi pada Mrs. Reynolds, kepala sekolah kami!
"Hei—Bangau!" teriak seorang anak kelas tujuh padaku. Diejeknya aku, lalu
menghilang di sudut. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli pada ejekan orang-orang.
Suara yang berisik begini sangat indah!
Ketika akan membuka mantel, kulihat Judith dan Anna datang.
Mereka asyik mengobrol, dua-duanya bicara. Tapi Judith diam ketika melihat aku.
"Hai, Judith," panggilku datar. Aku ingin tahu bagaimana kelakuan Judith
sekarang. Apa kelakuannya padaku akan berubah? Apa ia akan lebih ramah
padaku?
Apa ia akan ingat betapa kami dulu saling membenci?
Apa ia akan berubah?
Judith melambai pada Anna dan bergegas mendekatiku. "Pagi, Sam," katanya, dan
tersenyum.
Lalu dibukanya topi ski wol-nya—dan aku terkesiap.
23
24
25
AKU mencoba berteriak, tapi tangan itu menutup mulutku.
Aku—aku bisa tercekik! pikirku, kaku karena ketakutan. Aku tidak bisa bernapas!
"Sst—jangan menjerit!" bisik penyerangku. Lampu kamar dinyalakan.
Tangan itu tidak lagi menutup mulutku.
"Judith!" kataku parau, suaraku tercekat di tenggorokan.
Ia tersenyum, matanya yang hijau berkilat-kilat karena bersemangat, dan
ditempelkannya jari ke bibirnya. "Ssttt.
"Judith—ngapain kau di sini?" akhirnya aku bisa berteriak, suaraku sudah kembali.
Jantungku masih berdebar-debar keras sekali, rasanya aku sampai tidak bisa
bernapas. "Bagaimana caramu masuk?"
"Pintu belakangmu tidak terkunci," bisiknya. "Aku bersembunyi di lemari dan
menunggumu. Kurasa aku sempat tertidur sebentar tadi."
"Tapi kenapa?" desakku marah. Aku bangun dan kupijakkan kakiku ke lantai.
"Mau apa kau?"
Senyumnya hilang. Mulutnya cemberut. "Katamu kita bisa belajar bersama,"
katanya dengan suara seperti anak kecil. "Jadi kutunggu kau, Sam."
Cukup sudah.
"Keluar!" teriakku.
Aku akan bicara lagi, tapi aku terdiam ketika pintuku diketuk.
"Sam—kau baik-baik saja?" seru ayahku. "Kau sedang bicara dengan seseorang?"
"Aku baik-baik saja, Dad," kataku.
"Kau tidak sedang menelepon, kan?" tanyanya curiga. "Kau tahu kau tidak boleh
menelepon malam-malam begini."
"Ya. Aku mau tidur sekarang," kataku.
Kutunggu sampai kedengaran suara langkah kakinya di tangga. Lalu aku berbalik
menatap Judith. "Kau harus pulang," bisikku. "Begitu keadaan sepi—"
"Tapi kenapa?" desaknya, sakit hati. "Kau bilang kita akan belajar aljabar."
"Tidak!" teriakku. "Lagipula, sekarang sudah terlalu malam. Kau harus pulang.
Orangtuamu pasti sudah cemas memikirkan kau, Judith."
Ia menggeleng. "Aku pergi diam-diam. Mereka mengira aku sudah tidur." Ia
tersenyum. "Tapi kau baik sekali mau memikirkan orangtuaku, Sam. Kau memang
anak yang paling penuh perhatian."
Pujian konyolnya malah membuatku semakin marah. Aku marah sekali, rasanya
ingin sekali merobeknya.
"Aku suka sekali kamarmu," katanya sambil memandang berkeliling sekilas. "Kau
sendiri yang memilih poster-poster itu?"
Aku menarik napas kesal.
"Judith, aku ingin kau pulang—sekarang," bentakku pelan, kata per kata, supaya ia
bisa mendengarkan aku.
"Besok kita bisa belajar bersama?" tanyanya memohon. "Aku betul-betul butuh
bantuanmu, Sam."
"Mungkin," jawabku. "Tapi kau tidak boleh menyelinap ke rumahku lagi, dan—"
"Pintar sekali kau," katanya. "Di mana kau beli baju tidurmu? Garis-garisnya bagus
sekali. Coba aku punya baju seperti itu."
Sambil memberi tanda supaya dia diam, aku pelan-pelan keluar kamar. Semua
lampu sudah dimatikan. Orangtuaku sudah masuk kamar.
Sambil menarik tangan Judith, aku berjalan ke bawah, berjingkat-jingkat tanpa
suara, melangkah satu-satu. Lalu aku benar-benar mendorongnya ke luar dari pintu
depan dan mengunci pintu begitu ia keluar.
Aku berdiri di ruang tengah yang gelap, terengah-engah, pikiranku bekerja keras.
Apa yang bisa kulakukan? Apa yang bisa kulakukan? Apa yang bisa kulakukan?
Berjam-jam kemudian aku baru bisa tertidur. Dan ketika akhirnya aku terlelap, aku
memimpikan Judith.
"Kau kelihatan lelah, Sayang," kata Mom waktu sarapan.
"Tidurku tidak nyenyak," kataku mengaku. Ketika aku keluar dari pintu depan,
Judith sudah menungguku di jalan masuk.
Ia tersenyum dan melambai penuh semangat. "Kurasa kita bisa berjalan ke sekolah
pagi ini," katanya riang. "Tapi kalau kau mau naik sepeda, aku akan senang sekali
berlari di sampingmu."
"Tidak!" jeritku. "Tidak! Tolong—tidak!"
Aku benar-benar lupa diri! Aku sudah tidak tahan lagi.
Kujatuhkan ranselku dan segera berlari. Entah ke mana aku lari. Aku tidak peduli.
Aku cuma tahu aku harus lari dari dia. "Sam—tunggu! Tunggu!"
Aku menoleh dan melihatnya lari mengejarku. "Jangan—tolong!
"Pergi! Pergi!" jeritku.
Tapi kulihat ia lari semakin cepat, sepatunya berdetak-detak di trotoar, semakin
mendekatiku.
Aku berbelok ke halaman rumah orang dan lari ke balik pagar tanaman, berusaha
bersembunyi dari dia.
Aku tidak tahu apa yang kulakukan. Aku tidak punya rencana, tidak punya tujuan.
Pokoknya aku harus lari!
Sekarang aku lari di halaman belakang, menyeberangi jalan masuk, di belakang
garasi-garasi.
Dan Judith mengikuti, lari sekuat tenaga, buntut kudanya yang pendek bergerak-
gerak ketika ia lari. "Sam—tunggu! Sam!" panggilnya terengah-engah.
Tiba-tiba aku lari menembus hutan, pohon-pohon dan rumput tinggi saling
berbelit. Aku lari menembusnya, mula-mula jalan sini, lalu ke sana, melompati
dahan-dahan yang jatuh, melewati tumpukan tebal daun-daun cokelat kering.
Aku harus lari dari dia! kataku dalam hati. Aku harus lari!
Tapi aku lalu tersandung akar pohon yang menonjol dan jatuh, tersungkur di atas
hamparan daun-daun mati.
Dasar kikuk.
Dan sedetik kemudian, Judith sudah berdiri di atasku.
26
AKU mengangkat kepala—dan terkejut ketika melihat ternyata orang itu bukan
Judith.
Clarissa membungkuk ke arahku. Syal merahnya melilit bahunya, matanya yang
hitam menatapku tajam.
"Kau!" teriakku marah, dan segera lompat berdiri.
"Kau tidak senang," katanya pelan sambil mengerutkan kening.
"Permintaan Anda telah menghancurkan hidup saya!" teriakku sambil
menyingkirkan daun-daun mati dari bagian depan baju hangatku.
"Aku tidak ingin kau jadi sedih," jawabnya. "Aku berusaha membalas kebaikan
hatimu."
"Saya ingin dulu tidak bertemu dengan Anda!" teriakku marah.
"Baik." Dengan satu tangan diangkatnya bola kristal merah. Sambil mengangkat
bola kristal itu, matanya yang kelam menyala, merah seperti warna kristal itu.
"Aku akan membatalkan permintaan ketigamu. Ucapkanlah satu permintaan
terakhir. Karena kau tidak senang, aku akan mengabulkan satu lagi
permintaanmu."
Aku bisa mendengar suara daun-daun bergemerisik di belakangku.
Judith berlari-lari mengejarku.
"Saya—saya tidak ingin bertemu dengan Anda!" teriakku pada Wanita Kristal itu.
"Saya ingin Judith saja yang bertemu dengan Anda!"
Bola kristal itu menyala semakin terang sampai cahaya merahnya
menyelubungiku.
Ketika cahaya itu memudar, ternyata aku sedang berdiri di pinggir hutan.
Fiuh! pikirku. Leganya! Untung lolos.
Aku beruntung sekali!
Aku bisa melihat Judith dan Clarissa berdiri di bawah pohon besar.
Mereka berdiri berdekatan sambil berbicara serius.
Ini baru balas dendam yang sempurna! kataku dalam hati. Sekarang Judith yang
akan mengucapkan permintaan—dan hidupnya yang akan hancur total!
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, aku berusaha mendengar apa yang sedang mereka
bicarakan. Aku ingin tahu apa yang diinginkan Judith.
Aku yakin sekali mendengar Judith berkata, "Byrd, terbang sajalah kau!"
Tapi itu tidak masuk akal.
Aku sangat bahagia! Amat sangat bahagia! Aku bebas, benar-benar bebas!
Tiba-tiba aku merasa sangat berbeda. Lebih ringan. Lebih bahagia.
Biar Judith mengucapkan permintaannya! pikirku girang. Biar dia tahu seperti apa
jadinya!
Sambil memiringkan kepala kulihat seekor cacing tanah gemuk berwarna cokelat
menjulurkan kepalanya dari dalam tanah. Tiba-tiba aku merasa sangat lapar.
Kujulurkan kepalaku dan kutangkap ujung cacing itu. Lalu kumakan.
Lezat sekali.
Kukepakkan sayapku, merasakan angin.
Lalu aku terbang, rendah di atas hutan.
Angin dingin terasa begitu menyegarkan di bulu-buluku.
Sambil mengepakkan sayap lebih kencang, terbang semakin tinggi di langit, aku
memandang ke bawah dan melihat Judith. Ia berdiri di samping Clarissa.
Judith menatapku dari bawah, dan kurasa permintaan pertamanya telah
dikabulkan—karena ia tersenyum lebar sekali.
END
Ebook PDF: eomer eadig
Http://ebukulawas.blogspot.com