Anda di halaman 1dari 8

‘Ayolah sedikit lagi’

Batinku berteriak menyemangati dari dalam saat kakiku mulai putus asa atas Langkah-langkah yang
Panjang tanpa henti

‘Yash, akhirnya’

Sudut bibirku tertarik keatas membentuk seutas senyuman kala merasakan angin sejuk yang
berhembus menerpa kulitku. Aku melangkah membuka pintu balkon dan Kembali merasakan
debaran angin yang semakin kencang. Tanpa terasa, mataku terpenjam lembut menikmati suasana
setenang ini.

Aku memutuskan untuk berdiri di pinggir balkon agar dapat menikmati keseluruhan pemandangan
indah kota kami. Langit biru kemerahan yang membentang luas dengan sang surya yang hampir
tenggelam di ufuk barat dan kerlap-kerlip lampu samar di tiap-tiap bangunan kota menambah
kecantikan sore hari ini tiada terbanding.

Usaha memang tidak pernah mengkhianati hasil. Saat aku mengabaikan rasa Lelah untuk mencapai
ruangan ini dengan menaiki satu persatu undakan tangga yang seperti tanpa ujung, maka balasannya
adalah pemandangan indah yang tak akan pernah tergantikan tengah hadir di hadapanku.

Tempat ini selalu menjadi tempat favoritku sejak dulu, dari saat hanya aku yang mengetahui ada
tempat seindah ini di kota kami sampai semua orang mulai melirik keberadaan ruangan kecil ini di
atas Menara sampai akhirnya tempat ini resmi ditutup selamanya oleh pemerintah karena beberapa
kali terjadi aksi nekat bunuh diri disini.

Menghembuskan nafas perlahan, mataku mulai mengamati satu persatu bintang yang sudah mulai
bermunculan. Bola mataku terus bergerak menelisik tiap-tiap sudut langit tanpa tersisa. Namun,
pandanganku langsung tertancap sempurna pada sebuah bintang berukuran kecil yang Nampak
paling mencolok di antara teman-temannya.

Seperti memiliki sebuah ikatan, aku selalu berhasil menemukan bintang itu tiap harinya, dimanapun
aku berada dan kapanpun sepanjang malam, mataku selalu berhasil menemukan keberadaan sang
bintang.

Aku sendiri juga tidak mengerti alasan bahwa aku tak akan pernah bisa tidur nyenyak sebelum
menemukan keberadaan sang bintang, bahkan menurut penuturan ayah ibuku, aku sudah
berperilaku aneh tersebut sejak baru lahir.
Kembali menatap lekat-lekat bintang itu, pikiranku seakan tenggelam dalam lautan kedamaian.
Namun, sebelum memori aneh yang akhir-akhir ini selalu muncul di kepalaku Kembali hadir.
Mengacaukan segalanya.

Berbagai memori acak yang tidak kukenal mulai merangsek masuk memenuhi kepalaku tanpa bisa
kucegah sedikitpun. Dengan refleks tanganku mencengkeram erat besi pinggiran pagar pembatas
balkon sedangkan mataku mulai terpejam seiring dengan sedikit gucangan yang kurasakan setelah
memori-memori tak tahu diri itu menguasai kendali atas diriku.

Anehnya, semua itu terputar layaknya sebuah film rekaan kenangan lama, padahal aku sendiri tidak
mengerti kapan dan dimana semua itu terjadi, bahkan siapa saja mereka.

Memori-memori itu bahkan ikut hadir beberapa kali dalam mimpiku, walau aku tak mampu
mengingatnya dengan jelas, namun aku seakan memiliki keyakinan yang kuat bahwa mimpi-mimpi
itu masih ada hubungannya dengan memori asing yang kerap kali menggangguku.

Satu hal yang terus mengganggu pikiranku adalah, aku seperti mengenal sosok lelaki itu, tapi entah
siapa. Aku mencoba menggali ingatanku dalam-dalam, dari semua orang yang sekiranya pernah
kutemui atau orang-orang yang sempat berinteraksi denganku. Barangkali aku dapat menemukan
jawaban dari salah satu di antara mereka.

Namun, nihil aku sama sekali tak menemukan titik terang akan hal itu sedikitpun hingga hari ini.

Menghela nafas Lelah, aku Kembali berfikir keras, menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi,
hingga berbagai pertanyaan-pertanyaan muncul di kepalaku.

‘Apakah aku pernah melupakan sesuatu? Atau, ‘Apakah kepalaku pernah terbentur sesuatu yang
keras hingga merusak sebagian ingatanku?’ Atau ‘Bahkan aku mengidap Ensefalitis, mungkin?’
Sepertinya tidak, tapi ingatkan aku untuk bertanya langsung pada kedua orangtuaku terutama ibuku
nanti.

Sebuah suara notifikasi masuk dari ponselku mampu mengambil alih seluruh perhatianku, tanganku
lantas bergerak membuka lock screen dan dengan cepat menyentuh lambang notifikasi yang sudah
tertera di layar beranda.
Mataku membulat sempurna saat membaca satu buah pesan singkat dari ibuku yang berbunyi ‘Nak,
kapan kau pulang? Ini sudah lewat sore hari’. Astaga bagaimana aku bisa melupakan janjiku pada ibu
untuk pulang sore tadi. Oh sial, kurasa aku harus segera Kembali sebelum ayah pulang dan parahnya,
aku bisa dihukum tak boleh keluar selama seminggu.

Membayangkannya saja sudah mampu membuatku bergidik ngeri, jangan sampai kejadian itu
terulang lagi seperti saat aku masih kecil dulu.

Saat itu aku hendak mencari tempat bermain baru yang lebih nyaman di pinggiran kota ini
menggunakan sepeda, dan aku menemukan sebuah hutan kecil disana, tertarik. Lantas aku masuk
dan sepedaku kutinggal di luar.

Namun, keasyikan bermain membuatku lupa jalan keluar, alhasil aku terjebak disana sampai malam,
membuat kedua orangtuaku kebingungan mencariku ke sekeliling kota. Berakhir dengan aku yang
dihukum tak boleh keluar rumah selama seminggu lamanya.

Dan aku ingat betul, betapa membosankannya saat masa hukuman itu berlangsung, hari-hari seakan
berjalan dengan sangat lambat. Yang boleh kulakukan di luar rumah hanyalah bersekolah, itupun
pulang dan pergiku harus Bersama kedua orangtuaku. Kursus balet pun tak diizinkan, membuatku
mati kutu selama seminggu itu.

Setelahnya, aku berjanji kuat-kuat pada diriku sendiri bahwa hal itu takkan pernah terjadi lagi.

Mataku bergerak mencari sepedaku yang tadi kuparkir disini, tapi dimana ia sekarang? Astaga, ini
bukan saat yang baik untuk bermain petak umpet. Aku mulai berlari mencari dengan memutari
Menara hingga mataku menangkap bayangan samar-samar sebuah sepeda yang terpakir dibalik
tembok pembatas.

Tanpa berpikir Panjang, aku lantas menaiki sepeda dengan tergesa-gesa. Kakiku mulai mengayuh
pedal sepeda dengan sekencang mungkin, tak peduli jika setelah ini mungkin saja rantai sepedaku
akan putus.

Satu hal yang ada dipikiranku saat ini hanyalah bagaimana caranya aku pulang kerumah secepat
mungkin dan tidak mendapatkan satupun hukuman dari ayahku. Walau aku sendiri tak yakin akan
keberhasilan itu.
Membuka pagar rumah dengan cemas-cemas harap, aku memakirkan sepedaku di samping mobil
ayah. Batinku bersorak senang saat menyadari tidak ada sepatu kerja ayah di rak sepatu, itu artinya
ayah belum sampai di rumah, aku bisa memohon pada ibuku untuk tidak dilaporkan ke ayah nanti.

Sambil bersenandung kecil, aku mulai melangkah membuka pintu. Dengan kepercayaan diri yang
sudah meningkat drastis, aku bergerak mencari ibuku di tempat beliau biasa berada.

Tempat yang pertama kutuju adalah ruang buku, dimana biasanya ibu akan menghabiskan Sebagian
besar waktu luangnya di sana dengan semua buku-buku yang selalu habis ia baca setiap harinya. Bisa
dibilang ibuku adalah seorang maniak buku, jika di kota kami sedang ada festival buku atau acara
apapun yang menyangkut tentang buku, ia akan menjadi orang pertama yang hadir disana.

Dahiku mengerut heran saat tak menemukan sosok ibu di atas kursi goyang kesayangannya. Aneh.
Biasanya ibu selalu berada disini saat ayah sedang tidak di rumah.

Mengangkat bahu acuh, aku mulai berjalan menaiki tangga. Berniat untuk mengganti baju dan
membersihkan tubuhku dahulu sebelum Kembali mencari ibu.

Namun, samar-samar aku mendengar percakapan dari lantai atas rumah kami, tepatnya dari arah
ruang kerja ayah. Suara ayah terdengar beberapa kali menyahut dengan nada tinggi. Dahiku
berkerut semakin dalam. Lho bukannya ayah belum pulang ya? Tapi tunggu, itu seperti bukan suara
ibu, lalu ayah bicara dengan siapa?

Berada di depan pintu ruang kerja ayah, tanganku sudah tak sabar untuk membuka kenop pintu
tersebut. Dari sini, aku masih dapat mendengar percakapan ayah dengan Wanita itu dengan sedikit
lebih jelas. Namun yang semakin membuatku heran adalah suara ayah yang beberapa kali meninggi
dan terdengar putus asa.

Memberanikan diri, aku mulai mengulurkan tangan untuk membuka pintu di depanku yang kuharap
sedang tak dikunci. Dan,

Ceklek

Pintu berhasil terbuka, aku langsung menjulurkan kepalaku ke dalam dan melihat dua orang laki-laki
dan perempuan yang sedang duduk berhadapan, sang lelaki terlihat sangat mirip dengan ayah
tersebut tampak sangat frustasi dan beberapa kali mengusap-usapkan wajahnya, sedangkan Wanita
di hadapannya yang tak kuketahui siapa dia hanya sesekali menangis dan menatap ayah dengan
sendu.
Sedetik kemudian mataku seperti disorot oleh lampu yang amat terang membuatku refleks menutup
mata erat-erat. Namun saat aku berhasil membuka mataku sesaat setelahnya, yang kutemukan
hanyalah fakta bahwa ruangan itu sama sekali tak terlihat tanda-tanda keberadaan seseorang di
dalamnya.

Aku mengerjap-erjapkan mataku cepat. Tadi jelas-jelas aku mendengar suara ayah dan seorang
Wanita dari dalam sini, walau samar. Dan mataku juga menangkap sosok mereka di dalam sini. Tapi
aku benar-benar mendengar dan melihatnya dengan jelas. Tak mungkin kan kalau pendengaran dan
penglihatanku terganggu? Yang benar saja, telinga dan mataku masih normal serta tak memiliki
satupun permasalahan dengan kedua organ tubuh ini

Mendengus kesal, semakin kesini tubuhku semakin aneh, entah perasaanku saja atau memang
tubuhku betulan aneh. Banyak hal-hal aneh yang tak biasanya kualami kini menimpa diriku, seperti
memori-memori itu, mimpi-mimpi yang kerap kali terulang, bahkan seleraku juga berubah, mulai
dari outfit pilihanku, atau juga ketertarikanku terhadap hal-hal yang berbau masa lalu.

Tanganku Kembali tergerak untuk menutup pintu ruang kerja ayah yang masih terbuka. Kakiku
melangkah perlahan menaiki tangga khusus menuju kamarku. Yap, aku berniat Kembali kepada
tujuanku semula, yaitu berganti baju dan membersihkan tubuhku.

∞∞∞

Aku berjalan menuruni satu persatu anak tangga dengan hati-hati, sekarang tujuanku adalah
mencari ibu. Baru saja aku hendak menuju balkon yang terdapat di lantai dua untuk mecari ibu,
sebuah suara berat yang amat kukenali memanggilku dari bawah. Ayahku.

Aku lantas menoleh dengan cepat untuk menatap wajah beliau yang penuh dengan peluh seperti
habis berlari 10x keliling stadion bola yang ada di kota kami. Aku menaikan alis heran sebelum
memberanikan diri menjawab panggilannya.

“Lho, ayah? Sudah pulang? Kupikir ayah belum pulang” Jawabku sekenanya berharap beliau belum
tahu perihal ketelatan aku saat pulang sekolah tadi.

Bukannya menjawab pertanyaanku, ayah justru pergi menjauh membuatku terpaksa mengikuti
langkahnya dari belakang. Rupanya ayah hendak menemui ibu yang sudah berdiri di depan pintu
dengan wajah cemasnya.
“Ini, anakmu” Ayah berkata dengan sedikit terengah-engah, sedangkan ibu yang sedang memandang
handphone nya lantas menoleh ke arah kami. Tatapannya langsung berbinar begitu mata kami
bertemu.

“ASTAGA DHEAA!!” Beliau langsung menubruk tubuhku erat dan membawa ke pelukan eratnya. Aku
bahkan dapat merasakan detak jantung ibu yang masih berdegup kencang.

Ayah terlihat menggelengkan kepalanya beberapa kali sedangkan aku hanya tersenyum kikuk
melihat keduanya. Sama sekali tak mengerti apa yang terjadi.

Seakan mengerti atas ketidakpahamanku, lantas ayah mulai membuka suaranya setelah meminum
habis satu gelas air yang tersedia di atas meja.

“Ibumu sangat khawatir denganmu. Kau tahu kau sudah terlambat berapa lama?” Kali ini ayah
bertanya dengan nada menuntut

Aku hanya mampu menggigit bibir bawahku gugup dan menggeleng tak yakin saat ditatap intens
oleh ayah, terlebih saat ibu mulai melonggarkan pelukannya.

“Sekarang jam berapa?” Aku refleks melarikan mataku menuju jam dinding yang terpasang di atas
pintu ruang tamu dan betapa kagetnya aku saat melihat bahwa sekarang telah pukul 3 pagi? Astaga,
ini serius?

“Kau tahu kau sudah terlambat pulang selama 9 jam Dhea! Dan selama itu pula ponselmu tak dapat
dihubungi”

Suara ayah Kembali terdengar menyentakku membentuk genangan air mata di pelupuk mataku. Aku
memang tak biasa dibentak apalagi oleh ayah. Beliau sangat menyayangiku tapi kurasa kali ini aku
sudah membuat kesalahan yang tak dapat ditoleransi.

Ibu terlihat menatap ayah yang dibalas dengan anggukan kecil dari ayah dan setelahnya ibu sudah
hilang melesat menaiki tangga.

Aku hanya menunduk pasrah sambil memainkan ujung jariku yang kini terlihat lebih menarik dari
wajah ayah yang selalu menjadi favoritku sejak kecil. Karena aku lebih dekat dengan ayah disbanding
ibu sejak dulu.
“Sekarang Kembali ke kamarmu dan bawa makanan ini untuk makan malammu” Ayah Kembali
bersuara dengan nada final

Bukannya menuruti perintah ayah, aku justru memberanikan diri menatap mata ayah dengan
mataku yang masih berlinang air mata.

“Ap-apakah aku akan dihukum yah?” Aku berkata dengan cemas-cemas harap. Sungguh aku
berharap jika ayah akan mengatakan tidak. Aku terus menatap ayah dengan penuh pengharapan.
Namun yang kudapatkan justru perkataan heran dari ayah.

“Matamu kenapa? Sejak kapan matamu berubah warna jadi biru?” Ayah bertanya dengan nada
heran

“Hah? Mataku?” Aku ikut heran akan sikap ayah yang cukup aneh

“Astaga, hentikan Dhea!”

“Lho ayah kenapa?” Aku semakin dibuat heran dengan sikap ayah yang tidak wajar. Aku berusaha
Kembali menatap mata ayah namun ayah seakan mengalihkan tatapannya dari wajahku

“Matamu Dhea!”

Baru saja aku hendak membuka mulut untuk bertanya, ayah sudah lebih duku mendorong tubuhku
ke tangga dengan matanya yang tak melihat ke arahku

“Cepat Kembali ke kamarmu malam ini atau besok kau benar-benar akan mendapatkan
hukumannya”

Sesudah berkata begitu ayah langsung pergi menaiki tangga untuk tamu di ujung ruangan
meninggalkanku sendiri dengan beribu pertanyaan yang memenuhi benakku.

Aku memutuskan untuk langsung tidur malam ini sebelum ayahku Kembali menemukanku masih
berkeliaran di luar kamar dan benar-benar memberikan hukumannya padauk esok hari.
Membuka pintu kamar dengan perlahan, aku langsung merebahkan diri di atas Kasur dengan
kepalaku yang seakan ingin meledak karena begitu banyak pertanyaan dan hal-hal aneh yang terjadi
akhir-akhir ini khususnya hari ini.

Entah ini hari kesialanku atau bagaimana yang jelas hari ini benar-benar menguras tenaga dan
fikiranku sepenuhnya. Aku mencoba menenangkan tubuhku dengan menghirup napas dalam-dalam
lalu menghembuskannya dengan perlahan.

Semoga saja trik sederhana ini mampu membuat tubuhku rileks setidaknya aku hanya ingin tidur
dengan tenang bukan tidur dengan beribu pikiran yang masih berkeliaran bebas di dalam kepalaku.

Sepertinya trik tadi berhasil, karena sesaat kemudian aku mulai merasakan sensasi berputar yang
menyenangkan sebelum sepenuhnya jiwaku mulai memasuki dunia mimpi. Dunia yang sangat
kuharapkan mampu mendamaikan tubuhku bukan menambah beban bagiku.

Yah, semoga saja

Anda mungkin juga menyukai