Anda di halaman 1dari 4

Hangus

Ares
Aku bersenandung disela-sela Pak Arif menuliskan tugas di papan tulis. Entah
mengapa yang berputar dalam benakku adalah bisingnya lagu ‘Tak Kan Ada Cinta Yang
Lain’, batinku terus memuji indahnya syair yang menjelma menjadi bait-bait lirik.
Pagi itu pukul setengah sembilan pagi, mata kuliah pertama hampir selesai.
“Arunika, pukul berapa sekarang?”, tanya Pak Arif.
Aku berputar mencari letak jam dinding, padahal harusnya aku tau betul di kelas tidak
ada jam. Namun samar kulihat angka jarum jam yang sedikit buram itu.
“Setengah sembilan, Pak”, jawabku.
“Baik, kita akhiri sesi mata kuliah hari ini, sampai berjumpa di semester mendatang”,
ujar Pak Arif sembari meninggalkan kelas.
Aku tak kalah sewot, langsung kukemas seluruh barangku. Dengan terburu-buru aku
bersiap-siap dan membopong ransel.
“Mau kemana sih, Run? Buru-buru banget”, tanya Retno.
“Biasaaa.. mepet nih! Mau ikut gak?”, jawabku sembari sedikit teriak.
“Wih, mau dong! Kemana tuh?”, balasnya.
“Ke Araabb!..”, jawabku sembrono.
“Yeh kampret!”, ketus Retno.
Aku hanya tertawa mendengarnya. Tak lama aku langsung turun ke parkiran dan
mulai menghidupkan kendaraan super itu. Walau bukan motor pembalap, tapi jiwaku sudah
seperti pembalap liar.
Di jalan aku mendengarkan lagu dari band ternama yang dikenal kental dengan seni
sastranya, siapa lagi kalau bukan Dewa19?
Hari itu bisa dibilang sedikit gila, dengan nekat aku pergi mengunjungi Nenekku yang
tinggal di Cirebon. Tanpa kukabari siapapun, Ibu, Ayah, teman-teman, atau bahkan
kekasihku, aku pergi sendiri dengan rasa berani juga rindu yang menyeruak seisi sukmaku.
Rasanya sudah lama aku ingin berkunjung ke rumah tempat kutaruh masa-masa kecil,
dan kebahagiaanku. Aku selalu mengingat betapa cerewetnya Nenek kalau sudah bercerita,
bahkan tawanya terdengar jelas meski kupingku terpasang ear phone.
Rasanya waktu berlalu cepat, sebelum sampai Cirebon, harus ku lewati dulu beberapa
daerah seperti Sumedang dan Majalengka. Normalnya, aku baru sampai dalam lima jam,
entah kekuatan mana yang menyertaiku sehingga aku bisa sampai di sana hanya dalam dua
jam saja.
***
Kulewati kota yang terik itu. Dari tepi jalan, mulai banyak orang yang menggunakan
bahasa campuran khas Cirebon. “Sunda, tapi medok”, pikirku dalam batin.
Tiba lah aku di jalan yang tak asing. Hanya dalam sejenak aku tersadar, ini adalah
balai desa yang dulu memiliki buah mangga terlebat dari seluruh kampung. Tak lupa, aku
nyengir saat mengingat pernah tak sengaja melempar batu dari ketapel yang justru bukan
terkena buah mangga, tetapi mengenai kepalanya Pak Kades.
Hanya membutuhkan waktu lima menit dari balai desa untuk sampai di rumah Nenek.
Saat aku tiba, segera kuparkirkan motor di samping pekarangan yang masih lebat dengan
pohon singkong, pohon pepaya, juga pohon pisang.
Aku mulai menapaki kaki, dengan perlahan aku berjalan, dan kulihat seorang
perempuan paruh baya yang sedang menyirami bunga-bunga kesukaannya. Bunga di hari itu
tampak segar berkilauan, memancarkan mahkotanya yang paling mahligai untuk berlomba-
lomba menarik perhatian serangga. Namun siapa yang mengira, aku justru terkesima dengan
seseorang yang sedang merawatnya itu.
“Assalamu’alaikum, Bu haji..”, teriakku dari jauh.
“Wa’alaikumussalam!”, jawab Nenek yang mengernyitkan dahinya, mencari-cari
siapa dibalik sosok suara menggelegar di pekarangan rumahnya saat siang-siang begini.
“Nek, apa kabar?”, tanyaku tiba-tiba sembari menghampiri dan menjulurkan tangan
untuk bersalaman.
“MasyaaAllah, si geulis geuningan. Kok bisa kesini? Sama siapa?”, jawab Nenek
sembari membalas uluran tanganku.
Belum sempat kujawab, ia berusaha merogoh punggungku yang kemudian ia dekap
dengan erat. Terasa seperti sesuatu yang hilang bagiku, namun potongan itu kembali
sempurna seketika. Aku membalas pelukan itu dengan erat, kuusap punggung yang raganya
sudah rapuh.
“Sendiri, Nek. Please, jangan bilang siapa-siapa. Jangan bilang Ibu, Papah, atau
Tante, siapapun jangan..”, ujarku yang memohon-mohon.
“Yaudah, yuk masuk dulu. Makan dulu, kita santai sambil ngobrol”, ajaknya.
Aku mengangguk setuju. Kumasuki rumah berjuta kenangan itu, dengan suasana
hangatnya yang kembali hidup, semua seperti dahulu kembali. Kulihat meja hias dengan
cermin yang biasa kugunakan untuk bercermin. Seperti biasa, semua terbebas dari debu,
begitulah Nenek yang perfeksionis kalau soal kebersihan.
Aku disuguhi makanan masa kecilku, bubur sumsum. Begitu manis, legit, juga
semerbak aroma pandan yang kental, menjadi ciri khas bubur buatan Nenek. Dengan senang
hati aku mantap menyantap, sembari kudengarkan obrolan ringan Nenek yang tak begitu jelas
kudengar. Mungkin, kupingku yang bermasalah?
Jelasnya, aku justru merasa waktu kian berlari dengan terbirit-birit. Hingga yang
kurasa baru beberapa menit di sini, ternyata aku sudah melewati jam demi jam yang
berdenting cepat. Aku memutuskan pulang di sore hari, karena pikirku hanya dalam dua jam
aku sudah bisa kembali ke rumah.
“Nek, ada apa tuh ramai-ramai?”, aku tersentak saat segerombolan orang datang ke
dalam rumah Nenek.
“Mau ada pengajian”, balas Nenek dengan melontarkan senyumnya.
“Hah? Pengajian apa?”, tanyaku penasaran.
Nenek tak menjawab, ia hanya terdiam dan tersenyum. Aku mulai berpikir, aku tak
akan pulang dan akan menginap saja sembari menyaksikan pengajian itu.
Tiba-tiba Nenek berkata padaku.
“Jangan, kamu jangan menginap. Pulang aja, nanti gak bisa pulang”, ujarnya sembari
mengusap bahuku.
“Loh? Kenapa, Nek? Nenek kok tau Arun ada niat mau nginap?”, tanyaku semakin
heran disertai panik.
Lagi-lagi ia tak menjawab dan justru ikut masuk ke dalam rumah. Aku yang sedang
menghabiskan bubur sontak ikut masuk. Kulihat banyak tetangga dan saudara yang kukenal,
aku berusaha menyapa, bahkan beberapa kuajak bersalaman.
Aneh, mereka seperti tak melihat keberadaanku. Aku berusaha memanggil satu demi
satu, namun tak ada juga yang menanggapiku. Aku mencari Nenek, bahkan sekeliling rumah
sudah kucari, namun nihil.
“Nek! Kemana sih?”, teriakku yang berusaha mencari.
Aku panik, suaraku hilang. Aku hanya bisa mendengar kerumunan orang yang
berhamburan datang, aku bahkan tak bisa mendengar tangisanku sendiri.
Dengan tersedu-sedu, aku terisak menyesak dada. Air mata terus jatuh basahi kelopak
mata yang kini tak terbendung, rasanya sakit, namun lega. Kini tangisanku juga membasahi
bantal yang kudekap semalaman, rasanya tak ingin tubuhku terbangun, aku masih
merindukan pelukan hangat yang sudah hangus itu, melebihi hangat selimut yang
menemaniku semalaman.
Profil Penulis

Halo! Saya, Ashri Rabiyandi Sumirat, dengan nama pena Ares, yang biasa menjadi
panggilan dari orang-orang. Saya seorang gadis kelahiran Bandung yang lahir pada tanggal
29 Maret, 2004 tepat pada saat adzan ashar berkumandang. Kini saya tinggal di Samarang,
Garut. Saya memiliki banyak cita-cita, namun saya lebih ingin jiwa seni dan sastra saya tidak
pernah hilang, sehingga bisa saya turunkan pada anak, cucu saya, nanti. Motto hidup saya
“Bukan hidup kalau gak menantang”.
Maknanya, saya sangat menyukai berbagai tantangan. Entah itu sesuatu yang belum
saya coba, atau bahkan mempertahankan dan meningkatkan apa yang telah saya punya. Bagi
saya, tiap rintangan adalah bagian-bagian estetika dan nilai yang diperoleh selama hidup,
karena hidup hanya sekali maka tidak ada salahnya untuk berani.

Anda mungkin juga menyukai