Anda di halaman 1dari 3

TIME TREVELER

Matahari terbit dari timur, selalu dari timur, tenggelam di barat selalu di barat tak pernah izin,
alpha ataupun alasan konyol kita sebagai manusia. Begitulah kita, banyak hal konyol yang sering kita
maklumi, bukan hal lumrah namun kita sering lalai, tak peduli sebagaimana alam ini mencipta dengan
alamnya. Ada satu hal yang tak pernah luput, mundur, sedikit salah dan tepat. Yaitu WAKTU, kita
bermain didalamnya terlindas kadang terlempar jauh hingga sering penyesalan yang menimpa lalu
bangkit lumrahnya sebagai manusia. Jarang namun aku merasakannya, kesalahan dari semesta ini
“WAKTU”. Aku terlempar mundur berpuluh tahun yang lampau, aku simpan cerita ini sehingga mungkin
disini aku bisa menceritakan apa yang aku alami dengan “kesalahan” waktu yang seharusnya berputar
maju.

Oktober, musim penghujan yang tak pernah surut selalu menggenang hingga desember menari-
nari ditepi kamarku menanti hujan berhenti lalu pergi menemui sahabat lamaku, walau hanya sebentar
namun aku sudah berjanji kepadanya untuk datang tepat waktu. Waktu menunjukan pukul 4 sore
namun tak ada pertanda jika hujan akan berhenti, kulihat ayahku termenung didipan kecil buatannya
sendiri sambil menatap rumbai yang sering bocor, ibu sedang menenun sembari kadang menyanyikan
lagu era majapahit, kau tahu kawan? Ibu memang susah beranjak soal minat lagu-laguan masa kini.

“Bu aku pamit hendak pergi,” kuputuskan untuk tetap menuju rumah sahabatku.

Tanpa menatap Ibuku berkata lirih “Hendak kemana nak? masih hujan tunggulah terang, “

“Ada tugas sekolah yang harus aku kerjakan saat ini, Bu.” Aku berbohong demi kebaikan.

“Ya sudah, uang saku dari Ayah masih cukup?” Aku tak menjawab, dalam hati uang saku lima ribu sudah
habis tadi pagi saat aku berada di sekolah. Ingin ku meminta uang tambahan kuurungkan mengingat
Ayah di PHK bulan lalu karena pandemi covid-19.

“Pergilah nak, jangan terlalu malam ingat jika sudah azan magrib mampirlah ke Masjid, “

“Iya, Bu,”

“Yah, Aku berangkat dulu,” Ayah menatapku.

“Kemana nak?”

“Tugas sekolah Yah,”

“Jangan kemalaman, Ayah ada acara kampung tahlilan, motor mau Ayah pakai,” kata Ayahku.

“Baik Yah,”

Kukenakan jaket tebal, mantel dan kupacu sepeda motorku, kulalui hujan lebat dan pekat ini
demi menemui sahabat lamaku, entah apa yang merasukiku tapi waktu hujan aku memang sering
merasa bahwa rindu ini tak terbendung. Hara nama sahabatku, tunggulah sebentar lagi aku sampai.
Perjalanan memakan waktu satu jam setengah, melewati lembah-lembah desa, hutan dan genangan air
yang menggenang di jalanan aspal.
Gapura rumah sahabatku terlihat di depan mataku, hujan masih deras dan malam semakin gelap, sayup
dalam deras kudengar azan berkumandang bersahut-sahutan, aku mengabaikannya aku putuskan untuk
tetap memacu sepeda motorku mengingat rumah sahabatku sudah dekat.

Tiba-tiba suara aneh kudengar pelan, sangat pelan namun ada hamper tak kudengar tapi aku yakin itu
adalah suara yang sedikit berbeda, aku mengabaikannya. Sempat merinding mengingat rumah
sahabatku dekat dengan tempat yang konon katanyaangker, wingit dan sacral, tempat itu berupa
Gua,Gua Kedaton kalua tidak salah. Suara itu bordering semakin terdengar, seperti ramai pasar,

Celaka!

ini selalu Padahal aku yakin betul jika jalanan ini selalu sepi taka da orang, apalagi memasuki waktu
magrib. Aku merinding panas dingin jantungku beregup kencang, kabut putih menerjang di depanku
kabut itu menebal semakin tebal sehingga jarak pandangku hanya sebatas 1 sampai 2 meter saja.

Suara itu semakin keras membuat tidak nyaman, lalu suara letupan kencang yang membuatku tidak
sadar, aku jatuh pingsan, terakhir yang kuingat sepeda motorku terperosok aku terpelanting lalu entah,
aku tak sadar. Bangun siuman, berusahamenerka dan mendalami apa yang terjadi sadar dan tak sadar,
yang aku sadari aku terlempar jauh di urutan waktu yang tak menentu, di ruang yang masih sama
tempat terakhir aku terjatuh dari sepeda motorku, aku terperosok jauh terpelanting dari sepeda motor,
tubuhku tak karuan sakit dan perih, namun besyukur masih hidup, darah menetes dari luka-luka
tubuhku namun nasib baik taka da luka yang berarti, dan helm yang kukenakan masih menempel di
kepalaku. Aku berdiri tertatih motorku tercebur di parit kondisi motorku rusak parah aku melihat
sekeliling sekitar bantuan ataupun berbelanja kebutuhanku.

Langkahku tertatih, nafasku berat dan tersengal, jantungku berdebar, pikiranku kacau, perasaanku tak
menentu, kepalaku berat, pandanganku nanar, terbelah seperti kaca, lalu

“Brukkkk…”

Aku jatuh pingsan untuk yang kedua kalinya. Aku berusaha bangkit dari dipan sederhana yang
menyangga ku diatas tanah, seorang Ibu berkebaya bersanggul berwajah sahaja menuju ke arahku
sembari membawakan sebuah wadah dari anyaman bambu.

Ibu itu berkata kepadaku,

“Oalah Nak, kamu sudah bangun, tidak usah dipaksakan berbaring saja dulu, kamu aman disini.” Lalu
duduk disampingku. Aku kembali berbaring menatap kosong pada anyaman pohon kelapa yang dianyam
sedemikian rupa sehingga menjadikannya sebuah atap yang tersusun rapih.

“Kamu sudah sadar,Nak?”

“Sudah Bu”

“Panggil saya mbok Nak, biasanya saya dipanggil simbok Ranti samaorang kampung sini.”

“Iya,Mbok”

Banyak pertanyaan dalam hati kecilku namun kuurungkan menunggu kata dan jawab dari Ibu-ibu yang
meminta untuk dipanggil mbak itu.
“ Tadi aku menemukanmu di dekat pasar, lalu simbok memimnta orang-orang di pasar untuk membantu
mengangkatmu kesini,” tutur kata dari mulut simbok begitu halus,sopan,tidak menggurui,tidak
menghakimi dan mengayomi laksana seorang ibu.

“Simbok berkata kepada orang-orang kalua kamu anak Simbok yang merantau jadi Nak orang-orang
tidak akan curiga kepadamu, kalua orang-orang tahu kamu bukan warga sini bahaya Nak, kamu bisa
dibawa ke kerajaan,” tubuhku sakit dan ngilu, namun perasaan nyaman ketika di dekat Simbok begitu
lekat sehingga ketika mendengar suaty masalah pun aku tetap merasakan perasaan nyaman.

“Simbok tahu kamu bukan warga sini, tapi peralatan pusaka di kepalamu dan baju anehmu sudah
Simbok simpan, sebenarnya kamu itu darimana Nak? Dari daerah mana? Atau jangan-jangan dari
kerajaan luar daerah?” mendengar kata kerajaan aku sedikit gusar namun tetap mengontrol diriku, jika
aku bilang dari masa depan maka Simbok akan semakin kebingungan dan aku rasa akan menjadi
masalah.

“Tidak Mbok, di kepalaku memang ada benda pusaka apa Mbok?”

“Itu yang hitam bundah kamu pasang di kepalamu,Simbok sempat kesulitan ketika hendak
melepaskannya dari kepalamu.”

Dalam hati aku berkata itu bukan benda pusaka melainkan helm yang masih menempel di kepalaku, aku
berusaha memaklumi cara pandangnya yang hidup di masa lampau.

“Ini aku dimana, Mbok?” aku mengalihkan perhatian Simbok memegang dahiku lalu menatapku
memberikan kenyamanan layakmya seorang Ibu.

“Sudah Nak kamu tidak usah berpikir macam-macam, kamu aman disini.”

“Tapi aku dimana ini,Mbok?”

“Kamu dirumahku Nak, kamu tidak perlu berpikir macam-macam, kamu aman disini.”

“Nama desamya apa Mbok?”

“Karepan” Karepan adalah nama desa aku diselamatkan oleh Simbok yang aku yakin suu saat desa ini
adalah nama salah satu desa didaerah Gunung kidul di masa depan. Aku yakin betul terjebak di masa
lalu,masa dimana kerajaan masih berkuasa dan suatu saat terpecah belah karena ulah dari adu domba
company dan antek-anteknya, aku sadari aku terjebak di zona waktu masa lalu yang tak menentu,
namun jika dilihat dari tempat aku yakin, aku masih di tempat yang sama hanya waktu yang berbeda
dan bisa dibilang aku melompat jauh ke belakang dimana masa kerajaan masih berdiri.

Anda mungkin juga menyukai