Anda di halaman 1dari 21

Oohamabou

Story by Ingwiyhana
Prolog

“Ughh…Lapar.“
Aku masih pakai kaos abu-abu polos dan celana pendek hitam.
Bangun cuci muka, rapi kan rambut pakai tangan “swuush…swuush.”
Pakai hoodie hijau tua hadiah ulang tahun kemarin, berangkat lah
aku menuju Minimarket.
Berjalan lemas aku masuk gang sebelah rumah, mengarahkan
aku menuju jalan utama. Udara di sini segar sekali, penduduknya
sedikit, sepertinya cuma ada dua puluh sampai tiga puluh KK saja.
Terdapat pepohonan dan sawah di kanan dan kiri jalan utama. Entah
mengapa jalan ini terasa agak menyeramkan, sangat sepi dan
misterius mengingatkan aku dengan jalan yang ada di film In The
Tall Grass, seram.
Minimarket di sini hanya satu. Letaknya di ujung kampung dekat
pelang selamat datang. Mungkin butuh sekitar dua puluh menit untuk
sampai di sana.
Sampai lah aku di sana. Tempatnya terlihat bagus dan rapi. Aku
berkeliling, kelihatannya lengkap juga di sini jika dibandingkan
dengan yang ada sekitar tempat lama ku. Mungkin yang unik ada
tempat baca bukunya. Jarang sekali ada tempat seperti ini, atau malah
mungkin tidak ada, setidak nya di tempat lama ku. Tapi sayang sekali
aku tidak suka membaca buku, main game atau menonton film lebih
asyik buat ku, lebih mudah dilakukan juga. Aku mengambil
keranjang dan mulai mengambil beberapa camilan dan minuman,
memilah-milah harga dan rasanya lalu menuju kasir.
Kasirnya seorang perempuan dengan rambut hitam pendek se
bahu dan raut muka yang terlihat kesal, entah lah. Saat dia berbicara
suaranya lebih lembut dari yang ku pikirkan. Pasti bagus kalau
nyanyi lagu Indonesia, logatnya bahasa indonesianya terdengar tua
tapi keren. Setelah itu aku berjalan pulang.
Dalam perjalanan aku melewati sebuah pohon dengan kursi
panjang di bawahnya.
“Em…istirahat sebentar di sini.” Aku duduk menghadap jalan,
membuka se botol minuman soda dari plastik belanjaan.
“Ah...segar” kataku dalam hati.
“Udara di desa memang yang paling segar.”
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara erangan, aku sedikit
terperanjat. Melihat sekeliling tapi tak ada orang. Dari kejauhan
terlihat mobil yang akan melintas. Tak lama, aku kembali dikejutkan
dengan suatu benda jatuh tepat di depan ku. Apa?! buah Jambu? Aku
mendongakkan kepala, dan ya, ada seseorang di sana, perempuan
sepertinya.
“Hey…siapa?”
Dia cuma mengeram.
“Hey…!” kataku makin keras. Dia bergerak, menyikut buah di
sampingnya, buahnya jatuh mengenai hidungku.
“Aw..!!” Aku memegangi hidungku.
“ Eemm…ada apa si? ribut amat, lagi tidur woy!! ” Dia
memperbaiki posisi dan melihat ku. Aku mendongak dengan masih
memegangi hidung ku.
“Turun sini, apa-apaan?!” kataku dengan nada kesal.
“A…bentar-bentar” Dia bergerak turun, cepat seperti monyet.
Sekitar tujuh meter di atas tanah hanya butuh kurang dari sepuluh
detik dia sudah di depanku.
“Ada apa?”
Kulitnya coklat dengan baju kaos berwarna ungu dan training
hitam bergaris putih, tingginya sekitar se bahuku, rambutnya hitam
diikat belakang, agak berantakan, matanya sayu, dan di mukanya ada
garis lipatan, jelas sekali dia baru saja bangun tidur. Aku masih
bingung bagaimana dia bisa tidur di atas sana, bagaimana posisi nya,
apa tidak sakit itu muka ditempel ke batang pohon?
“Lihat nih!!” Aku menunjuk hidungku yang merah. Bagaimana
tidak? buah jambu se ukuran bogem orang dewasa, mungkin
diameternya kurang lebih sepuluh senti jatuh tepat di ujung
hidungku.
“Wahahahahaha…maaf ya hidung kamu jadi masuk gitu,”
badannya agak membungkuk dan berkali-kali menutup mulutnya
yang tertawa.
Tanpa menghiraukan nya tertawa, kuambil barang belanjaan dan
berjalan pergi.
“Eh…ke mana? ga diobati dulu?” Aku terus berjalan tanpa
menghiraukan nya. Perempuan aneh bakal susah dihadapi.
Aku baru berjalan enam langkah, tiba-tiba dia berteriak “Hey,
tangkap nih!” Aku membalikkan badan. Dia melempar sesuatu,
belum sempurna membalikkan badan sesuatu jatuh di wajah ku, kali
ini mata kananku. Saat itu aku berpikir pasti mataku akan bengkak,
dan terjadilah.
“Dan begitulah awal aku ketemu si Mahisa, setelah itu aku
diobati di rumahnya. Ketemu sama bapaknya yang kelihatan super
galak itu…”
“Wah…kaya nya waktu sial buat ketemu ya,” kata Aris sambil
tetap menatap layar smartphonenya.
“Yep, benar-benar sial,” tambah Ira, sambil mengangguk-angguk
dan tetap menatap layar smartphonenya. Mereka memang sudah
seperti Tim Gamer Pro kalau sudah main tidak bisa berpaling dari
layar mereka.
“Eiitss…enak aja, setelah itu, Ivan aku kasih makan banyak lho,
dan pas pulang aku kasih bingkisan keripik, itu keberuntungan kan?!,”
sanggah Mahisa sambil mencengkeram dan memoles kepala Ira. Ira
mencoba melepaskan cengkeramannya sambil terus menatap layar
smartphonenya.
Terdengar banyak langkah mendekat, datang tiga anak.
“Kak, kita nemu buku aneh ini, ada tulisan harta karun di atas
nya, lihat,” menunjuk tulisan di buku. Mahisa mengamati bukunya.
“Eh, iya..ini mirip buku yang kemarin kita lihat, ada inisial
BM. ”
“Bagas Mardial!!!,” teriak ketiga anak itu.
“Sampul nya ada ukiran seperti bentuk…hati?… di pinggir nya”
Mahisa membuka halaman pertama.
“Lihat, ada cap keluarga Mardial, tak salah lagi, pasti harta karun
itu beneran ada di sini.”
“Kita cari?”

&&&
#1
Rumah Nenek

Perjalanan hari ini terasa lebih lama, mungkin perjalanan


terlamaku di lima tahun terakhir. Hanya ada ayah menyetir di
samping dan aku berpangku tangan menghadap kaca di bangku
tengah. Sesekali kutengok hp ku, kalau-kalau ada pesan masuk.
Perjalanan sudah berlalu selama tiga jam, akhir nya kita berhenti
di depan Minimarket dengan pelang selamat datang di seberangnya.
“Selamat datang di desa Baru Dowo….” Kami berdua turun dari
mobil. Aku memutar badan melihat sekeliling.
“Ka, mau Ayah belikan sesuatu?”
“Tak usah yah.” Aku menoleh pada seorang nenek di seberang
jalan, berpakaian polos, bertopi petani, dan membawa arit di
belakang. Ia menaruh sepedanya di semak-semak. Lalu mata kamu
bertemu. Refleks ku mengangguk sambil tersenyum tanda menyapa.
Ia membalas mengangguk.
“Nenek tadi terlihat tidak asing, sepertinya aku pernah melihat
nya…entahlah….”
Kami meneruskan perjalanan masuk desa. Di sini cukup indah
dan bersih, masih banyak kebun dan lahan padi. Udaranya masih
lebih bersih dari rumah lama ku di kota. Di sana aku mungkin bisa
merasakan segar udara ini cuma di waktu pagi, itu pun sampai pukul
lima. Jika lebih, kendaraan sudah ramai dan asap mulai mengepul
lagi, menyesakkan sekali. Yah, ini hal baik mengingat kami pindah
ke sini memang bukan untuk liburan.
Lima belas menit kemudian, kita sampai di depan rumah dengan
gerbang hitam. Rumah dengan cat dominasi coklat dan dua lantai,
terlihat tidak asing. Yap ini rumah peninggalan Kakek. Rumahnya
cukup besar dengan banyak kamar, perabotan tua, rubahan, dan kalau
tidak salah Kakek pernah punya Perpustakaan di sini.
Aku teringat. Bagian terbaik nya adalah halaman belakang yang
rapi dengan tanaman bunga, beberapa kursi santai, dan pagar keliling
setinggi satu meter yang aku cat bersama Kakek waktu dulu.
Aku segera berlari menuju bagian belakang rumah. Ternyata
masih seperti dahulu, masih sangat rapi. Pak Wijan menjaganya
dengan sangat baik. Beliau penjaga yang memang dari dulu bekerja
dengan Kakek, atau bahkan jauh saat Nenek masih ada. Saat itu
tempat ini selalu jadi tempat liburan kami. Tapi tak pernah lagi sejak
itu dan sekarang kami kembali ke sini bukan untuk liburan.
Aku teringat terakhir kali aku ke sini ada pesta daging
merayakan ulang tahun Kakek. Sangat menyenangkan rasanya saat
saat itu. Kami semua terlihat sangat bahagia waktu itu, termasuk Ibu.
“Tenang saja Ka, kita cuma tinggal di sini sementara waktu,”
kata Ayah. Aku hanya mengangguk. Sebenarnya aku agak merasa
keberatan tapi mau bagaimana lagi.
Aku ini siswa tahun kedua SMP 20 Jakarta dan harus
melewatkan satu semester sekolahku di sini karena keadaan ekonomi
keluarga sedang berat.
Kami segera memasukkan barang dan bersih-bersih. Pak Wijan
memang sangat membantu, rumah ini masih tetap bersih dan bagus,
walaupun sudah lama tak ditinggali. Perabotan tua pun masih terlihat
baik dan bersih.
Ayah akan tidur di kamar lantai satu dekat pintu masuk,
seingatku itu kamar Kakek dan Nenek sewaktu dulu. Lumayan besar
dengan satu-satunya kamar yang punya kamar mandi dalam nya.
Aku memilih ruangan di lantai dua paling depan. Ruangan kecil
yang penuh dengan perabotan rumah. Aku belum pernah ke bagian
ini, sepertinya ini gudang.
“Kamu yakin mau ruangan ini? Ada banyak ruangan kosong di
bawah yang sudah siap…”
“Iya yah,”
“Bersihinnya berat lho.” Ayah berbicara dengan nada menggoda.
Aku menarik nafas panjang dan tanpa ku tanggapi kata-kata Ayah,
aku mulai mengangkati barang-barang.
Aku membayangkan. Satu kasur dan satu lemari di sana. Meja
belajar ku akan di taruh depan jendela bulat di ujung sana. Entah
mengapa ruangan ini akan terasa sangat nyaman dan damai.
“Ka, Ayah mau pergi. Nanti kalau ada perlu bisa minta tolong
Pak Wijan, tapi jangan ngerepotin beliau.”
“Iya, hati-hati di jalan” kataku sambil melambaikan tangan. Lalu
aku kembali mengangkat perabotan menuju gudang di bawah.
Sebelum malam tiba aku sudah selesai menata kamar ku, jelas
dengan bantuan Pak Wijan.

***

Sudah tiga hari aku di sini, Ayah bolak balik pergi ke kota, aku
jadi lebih sering sendiri di rumah. Suasana di sini selalu sejuk dan
tenang, tapi mulai terasa agak membosankan. Untung saja masih ada
smartphone ini, aku bisa main game untuk menghilangkan bosan.
“Eh…di sini ada tempat top up game tidak ya?”

&&&
#2
Kampung Segala Benda

“Assalamu'alaikum….”
Ayah mengetuk pintu rumah tetangga sebelah. Semalam Ayah
pulang dan pagi ini katanya kita mau nimbrung dulu sama tetangga
biar aku ada teman. Tetangga sebelah itu adalah…ehem…Pak Wijan
penjaga rumah Kakek.
“Wa'alaikum Salaam Warahmatullahi Wabarakaatuh.”
Seorang anak perempuan yang membuka pintu. Rambutnya
hitam se bahu dengan warna biru ujung nya, kulitnya putih,
wajahnya menunjukkan rasa malas membuka pintu dengan permen
lolipop di mulutnya, sepertinya dia seumur an denganku.
“Pak Wijan ada?” tanya Ayah
“Ow, sebentar saya panggil kan.” Dia masuk, tak lama kemudian
Pak Wijan keluar. Mengajak kami bersalaman dan mempersilahkan
kami masuk.
Kami duduk di ruang tamunya, dengan makanan aneka kue
tersedia di meja. Aku melihat sekeliling. Ada lemari penuh dengan
hiasan dinding dan patung kayu ada juga beberapa hiasan yang
sepertinya dibuat dari barang bekas. Ada patung kecil yang
sepertinya di buat dari kaleng soda cola, sepeda dari rantai bekas,
mobil dari besi korek gas sepertinya. Terlihat keren di pajang di rak.
Mataku terus berkeliling, ada satu pintu yang menarik perhatian,
seperti nya itu kamar perempuan. Terdapat tulisan ‘Cowo gak keren
ga boleh masuk’ dengan hiasan bentuk hati dan beberapa tempelan
foto Justin Beiber, Zayn Malik yang besar, dan poster One Direction
di bawahnya. Sudah pasti kamar perempuan.
Perempuan tadi membawa dua cangkir teh, menaruhnya di
depan kami lalu pergi. Pak Wijan duduk di kursi depan kami. Ayah
memulai.
“Begini Pak, soal rumah ayah dan ibu. bapak masih menyimpan
semua kunci nya kan? Kunci yang saya pegang hilang dan soal
pembayaran….” Terlihat sekali Ayah berhenti berkata dan berharap
sesuatu terjadi.
“Ira…sini sebentar”
“Ya…,” terdengar jauh suaranya.
“Ajak anak Pak Wibowo pergi berkeliling kampung”
“Oh…,” jawaban nya singkat dengan muka datar.
“Ayo…,” sambungnya sambil berbalik dan berjalan. Ayah
memberi isyarat untuk bangun. “Iya, iya.”
Aku bangun dan mengikuti anak perempuan tadi, berjalan masuk
menuju suatu pintu kayu, maksudku semua pintu di sana kayu tapi
yang ini tidak ada cat nya, cuma kayu polos berbentuk pintu yang
berdecit ketika dibuka dan ditutup.
Kita ada di garasi. Aku berdiri diam dengan mataku mengikuti
gerak anak perempuan itu. Ia menutup pintu, mengunci pintu. Ia
mengambil sebilah pisau di lemari dekat pintu. Digosok pada
pengasah beberapa kali.
“Sebelum berkeliling main sebentar boleh kali ya” kata nya
dengan nada terdengar sadis.
“Ha?yang bener donk, woy!bahaya itu!” Ia terus mendekat
dengan pisau nya, seakan ingin menusuk. Punggungku terbentur
tembok, terpojok.
“Gila ya?! woy!tolong!!.” Aku berteriak sambil mengangkat
kedua tangan di samping bahuku. Ia terus mendekat, lalu….
“Ahahahahaha….” Ia tertawa keras lalu berjalan ke sana kemari
mengambil beberapa benda, gergaji, kunci inggris, dan pemotong
rumput. Memberikan semua barang itu.
“Bawa ini, ini, ini.” Aku bawa semua barang yang dia ambil
tadi.
“Ayo.” Kita keluar garasi lewat pintu samping. Kita
menghampiri seseorang pria yang berdiri di sana. Aku memberikan
benda-benda tadi.
“Sampaikan terima kasih buat bapak ya.” Dia cuma
mengangguk.
“Udah…Ayo.” Aku berjalan mengikuti nya di belakang. Dia
mengambil hp dan menelepon seseorang.
“Aku di samping rumah nih, cepet ya,” suaranya lebih lembut
dan bersemangat kali ini.
“Siapa?pacar?” Dia cuma diam, membuka sebungkus lolipop
lalu di masukan ke mulutnya.
‘Wah..sial, aku dicuekin’
Setelah sekitar sepuluh menit menunggu. Seseorang datang,
menaiki sepeda berkeranjang dan membawa sebuah sepeda di tangan
kanannya. Ia berhenti di depan kami.
“Hai…Ra, nunggu lama ya…nih, permintaan maaf”
menyodorkan sebuah coklat.
Laki-laki itu berambut coklat belah tengah, memakai hem putih
dengan rompi coklat, bercelana pendek, dan bersepatu. Dari wajah
nya mungkin dia seusia ku. Di keranjang sepeda di depannya berisi
beberapa bungkus coklat dan berbagai jenis permen.
“Hey…aku Aris, selamat datang di sini ya” menyodorkan tangan
nya.
“Rumahku ada di ujung jalan sana.” Menunjuk ke arah salah
satu jalan. Tanpa suara Ira berjalan lalu duduk di kursi belakang
sepeda Aris.
“Ayo,” katanya.
“Ambil sepeda ini” kata Aris. Kami bersepeda mengelilingi
kampung. Dimulai dari belokan di depan.
“Jadi…Ivan, selamat datang di tour sepeda kita ini” Aris mulai
bicara seperti Pemandu Wisata. Ira diam membonceng dan memeluk
pinggang Aris. Aku mendengarkan sambil terus mengayuh pelan.
“Nama kampung ini adalah Kampung Baru Dowongi” Aris
menjelaskan.
“Kata orang-orang sekitar dan buku-buku jurnal yang di
temukan, kampung ini dulu dibangun oleh orang-orang Ternate di
sekitar tahun 1900 an, karena di sini banyak sekali Pohon Waru
tempat ini di nama kan Baru Dowongi. Baru Dowongi adalah
sebutan untuk Pohon Waru di Ternate.”
“Fun Fact kampung ini, kata nya di bawah kampung ini ada
ruang rahasia yang menyimpan mayat penyihir dan harta-harta nya,
haha.”
“Hmmm…oke.”
“Di sini cuma ada satu TK, satu SD, dan satu SMP. Kalau kita
ingin masuk SMA atau pun kuliah, harus ke kota.”
Kita terus menyusuri jalan pelan, menyusuri setiap jalan di sana.
Beberapa kali kita melewati perkebunan dan pertanian, sepertinya
menjadi komoditas pekerjaan utama di sini.
“Untuk tempat makan, cuma ada beberapa warung dari warga
sini, plus satu-satunya Minimarket ada di ujung jalan.”
Setelah sekitar limabelas menit berlalu kita berhenti di depan
suatu rumah besar dua lantai keliatan nya, dengan gerbang hitam.
“Inilah tempat yang paling menarik di sini.”
“Yep.” Ira menambahkan sambil mengangguk-anggukan kepala
nya, mengeluarkan lolipopnya dan memasukkannya lagi.
“Ow, rumah besar ini? Ada apa?” Aku menyilangkan tangan ku.
Rumah besar bergaya belanda. Letak nya dekat dengan sungai,
berada paling pojok dengan halaman depan penuh dengan ilalang dan
tumbuhan liar menutupi hampir semua bagian depan rumah. Di
beberapa bagian banyak bercak hitam dan tumbuhan rambat.
Tembok di beberapa bagian sudah retak, dan roboh.
“Kata orang-orang dan jurnal-jurnal, rumah ini dulu milik
pencuri terkenal yang menikah dengan seorang penyihir…”
“Bagas dan Anna Mardial…,” tambah Ira dengan nada super
tegang lalu kembali memasukkan lolipop ke mulutnya.
“…Ya…mereka tiba-tiba menghilang begitu saja sekitar tahun
1910 an sampai sekarang belum ada yang tau mereka ke mana. Kata
nya mereka meninggalkan semua barang curian dan hasil sihir
mereka di rumah ini, tepat nya di ruang rahasia….” Ira mengeluarkan
lolipopnya.
“Bawah…ta….nah,” ia menambahkan dengan nada penuh
misteri, mengibarkan tangan nya di depan muka nya memasukkan
lolipop nya kembali.
“Oke..oke...”

&&&
#3
Pohon Rahasia

Aku sedang makan beberapa singkong goreng yang dibawakan


Pak Wijan. Pertama kali nya aku makan ini. Rasa nya menarik, tidak
kalah sama kentang goreng, cuman terasa lebih, bagaimana ya,
tradisional.
“Prok..prok..prok.”
“Ivaaaan.”
Aku mendekat ke jendela. Itu Aris dan Ira di depan rumah
dengan sepeda dan sepeda lain di belakang mereka. Aku turun
menemui mereka.
“Ya? apa masih ada Tur lain?”
“Ayo ikut main, tidak ada kerjaan di rumah kan?,” teriak Aris.
“Kemana?”
Kita bersepeda. Kali ini entah kenapa mereka bersepeda dengan
cepat. Beberapa kali hampir saja aku menabrak pembatas jalan.
Mereka belok di depan tiba-tiba.
“Woy!, pelan-pelan, aku ketinggalan!!.” Aku semakin tertinggal
di belakang. Tiba-tiba muncul seorang perempuan dari gang.
“Aaaaa…,” teriak nya.
“Awas!!!.” Aku banting setir, menabrak pembatas jalan, dan
terjatuh di halaman suatu rumah, lutut ku berdarah.
“Kamu ga papa?” kata perempuan itu. Kulihat wajah nya, kulit
putih dan rambut hitam di ikat.
“Kamu?.” Pengalaman bertemu perempuan aneh di hari pertama
ku di sini. Aku merasa hari ini akan buruk.
“Kamu lagi?!” kata ku spontan. Aris dan Ira mendekat.
“Ey…kamu lagi ngapain Van?,” tanya Aris.
“Lagi tiduran nih panas banget rasanya,” kata ku jelas dengan
nada senang dan mengejek.
“Tiduran di sana nanti bisa” Ira menambahkan, dari nada bicara
nya jelas dia tak punya rasa humor, atau mungkin saja dia memang
bukan manusia dan tidak bisa merasakan apapun. Ira mendekat ke
perempuan itu dan membisikkan sesuatu.
“Ok?”
“Ok.” Perempuan itu menunjukkan OK Sign. Aris mendekat dan
berbisik.
“Kamu udah kenal? dia Mahisa,” Aris bertanya.
“Yea, cerita nya panjang.” Kita kembali menaiki sepeda.
“Aku naik apa?.” Aris dan Ira menunjuk pada bangku di
belakang sepeda yang ku pakai.
“Ya..elah” Akhirnya Mahisa naik di bangku belakangku. Kita
melanjutkan perjalanan, melesat bersepeda berkelak-kelok
menelusuri jalanan. Kita sampai di depan sebuah gerbang kayu besar.
“Pak, buka gerbang nya,” kata Aris
Gerbang terbuka. Terlihat sebuah rumah besar putih dengan air
mancur di depannya. Kita melaju cepat menuju samping rumah dan
memarkirkan sepeda lalu berjalan menuju pintu masuk depan.
“Jadi buat apa kita ke sini?”
“Buat makan!!!,” Ira dan Mahisa menjawab bersamaan
“Oke ,ayo.” Kita terus berjalan menelusuri ruangan mengikuti
Aris. Benar-benar besar rumah ini, dengan segala perabotan yang
kelihatan mengkilap di setiap sudut, berbagai gambar, tepatnya
lukisan keluarga tergantung di mana-mana.
“Jadi ada apa ini?”
“Ow, kalian di undang makan malam perayaan pernikahan
orangtua ku, makan lah sepuasnya”
Kami sampai di sebuah ruangan luas, dengan meja panjang di
tengah. Ada dua orang berdiri di sana.
“Silahkan duduk tuan”
Mereka menjentikkan jarinya, beberapa pelayan menyediakan
makanan di meja dengan cepat. Semakin banyak pelayan keluar dan
meletakkan makanan. Dalam sekejap meja penuh dengan makanan,
dari yang daging, sayuran, buah sampai roti tersedia di meja.
Minuman pun terlihat sangat beragam dengan berbagai warna.
Baunya pun sangat menarik selera.
Ira dan Mahisa terlihat sangat antusias untuk memakan semua
makanan yang di sediakan.
“Orang tua kamu di mana?”
Dua orang pelayan mendorong sebuah rak dengan TV di atas
dan dinyalakan.
“Mereka ada di luar negeri sekarang”
“Lho…”
Terlihat dua orang di dalam TV, laki-laki dan perempuan
memakai baju pantai, dan minuman di tangan mereka.
“Halo semua..”
“Halo ..om dan tante” kata kami bersamaan.
“Eh..itu siapa Ris? Teman baru? Ibu belum pernah melihatnya”
“Iya bu, ini Ivan, baru pindah ke sini belum lama”
“Ow..begitu”
“Wajah nya terlihat tidak asing untuk Ayah, apa kita sebelumnya
pernah bertemu?”
Aku tersenyum kecil. “Sepertinya belum Om.” Apa maksudnya
pernah bertemu, ke rumah ini saja baru pertama kali.
“Ah.. Ayah memang sering begitu, silah kan di makan, kalau
bisa dihabiskan ya.”
“Kami pergi dulu…dadah.”
“Iya Ayah, Ibu, selamat bersenang-senang,” balas Aris. Kami
pun mulai memakan hidangan yang ada.
Setelah beberapa, kami sudah mulai berhenti makan tanda sudah
tak kuat makan lagi. Padahal hidangan di meja masih banyak,
mungkin kita hanya makan sekitar dua puluh persen makanan di
meja.
“Guys, nanti setelah makan aku ajak kalian ke tempat rahasia
ya”
“...Tempat yang bahkan Om dan Tante aja gak tahu” tambah Ira.
Dia selalu saja menambahkan perkataan di Aris.
“ Ha?” aku dan Mahisa menunjukan reaksi yang sama.
“Pernah denger tentang Pohon Rahasia?”

&&&

Anda mungkin juga menyukai