Anda di halaman 1dari 3

Desember, 2015

Terus Gue Anak Siapa?


Ceritanya hari ini gue lagi bosen. Yah kayaknya ini hal lumrah yang sering dialami para
masasiswi labil seperti gue. Tumpukan tugas kuliah yang balapan sama tumpukan baju kotor
membuat hidung gue yang kering makin berlendir, ember kosong gue makin penuh dan
kucing di deket rumah gue makin banyak yang kawin. Dan gue berencana ingin ngilangin
bosen gue dengan melakukan aktifitas yang luar biasa, amazing dan ekstrim. Ya, gue pun
pergi ke pasar.

Karena gue gak mungkinngajak Syahrini, BTS dan antek-anteknya, terpaksa gue ngajak temen
gue. Namanya Norma, Sasa, Fani, dan Eka. Norma itu temen gue, dia asalnya dari Madiun.
Tapi sekarang udah pindah rumah ke Rembang. Kalau Sasa, dia juga temen gue. Nama
bapaknya Pak Ishak kalo namanya ibunya gue ga tau. Kalo Eka, dia juga temen gue. Eh, sorry
ini gak penting.

Tadinya kita berlima bingung mau naik kendaraan apa. Kita gak mau naik taxi, becak ataupun
bajai. Gak exelent. Atas pertimbangan yang panjang dan matang serta dengan seksama dan
dalam tempo yang sesingkat singkatnya kita pun menelurkan sebuah keputusan besar. Kita
naik angkutan kota alias angkot.

Sebenernya gue juga gak ada niat khusus pergi ke pasar. Yang gue tau kalo oranglagi bosen
atau galau terus pergi ke pasar, otomatis bakalan ngeliat barang-barang bagus yang dijual.
Entah itu baju, sepatu, sendal, pernak-pernik, sampai makanan yamg memanjakan mata,
hati, dan jiwa kita. Yang nantinya akan ditransfer ke otak kita. Dan bila otak kita merangsang
sesuatu yang indah-indah maka akan memancarkan aura positif yang nantinya akan
membuat fikiran refresh. Nah, dari hasil penelitian itu akhirnya gue memlilih pasar sebagai
obyek pelarian.

Tempat yang kita tuju adalah rumah makan. Iya perut kita meledak-ledak membabi buta,
meronta-ronta dan membara-bara. Sorry lebay. Intinya kita kelaperan. Kita masuk ke rumah
makan itu. Rumah makan Padang. Kita duduk di kursi. Si Norma ke mbak penjualnya untuk
mesenin makanan-makanan kita. Norma pesen nasi sama cumi. Sasa juga pesen nasi sama
cumi. Eka pesen nasi sama cumi juga. Fanni juga pesen nasi sama cumi. Intinya kita semua
pesen nasi sama cumi. Kecuali gue. Gue pesen bakso.

Nah, ketika gue duduk di ujung kursi panjang, tiba-tiba ada seorang nenek, kayaknya salah
satu pegawai dari rumah makan itu deh. Dia ngedeketin gue. Dia udah tua. Kira-kira 70
tahunan gitu. Senyum–senyum dan makin mendekat ke arah gue.

Gue bales senyum. Dan nenek itu pun buka suara. “Duh iki cah ayu tenan...” (Duh ini anak
cantik sekali).

Gue bales senyum lagi, “Matur nuwun mbah.” (Terima kasih mbah).

“Ya Allah cah, raimu pada karo putuku sing ragil.” (Ya Allah nak, mukamu mirip sama cucuku
yang terakhir).
Glek! Gue nelan ludah tadinya sendok sama piring isi gorengan di atas meja depan gue mau
gue telen juga. Tapi kagak jadi.

“Masa mbah? Putune sampeyan teng pundi?” (Masa sih mbah? Cucu mbah ada dimana?)

“Neng Jakarta. Wis suwe ora bali. Langka kabar. Raine persis banget karo kowe cah. Saiki
masih sekolah. Ana lesung pipite juga kaya kowe. Ya Alloh plek jipek pokoke karo kowe cah.”
(Di Jakarta. Udah lama gak pulang. Gak ada kabar. Mukanya mirip banget sama kamu nak.
Sekarang masih sekolah. Ada lesung pipitnya juga kaya kamu. Ya Allah sama banget
pokoknya sama kamu nak).

Terus nenek itu nunjuk ke pipi gue yang sedikit agak menjorok ke dalam. Gue makin nelen
ludah. Fikiran gue berfantasi liar. Jangan-jangan gue cucu nenek itu yang udah lama hilang di
Jakarta yang gak ada kabar dan gak pulang-pulang. Atau jangan-jangan gue termasuk dalam
rentetan kasus cucu yang tertukar di dukun beranak. Atau malah jangan-jangan gue saudara
kembar yang kepisah sama cucu nenek itu? Apa jangan-jangan nenek gue yang ketuker sama
nenek itu? Lah terus gue anak siapa? Anak nyokap gue? Apa nyokap gue anak nenek itu?
Apa anak nyokap gue ketuker sama anak nenek itu? Apa gue anak nenek itu? Ahh... jutaan
tanya hinggap dalam benakku. Akupun lemas. Tiada daya tiada upaya. Hingga dada ini terasa
sesak, dan akupun sulit bernafas. Sorry gak sedramatis itu.

“Yo wes mbah, semoga bisa dipertemukan lagi. Di telepon aja aja mbah.” (Ya udah nek,
semoga bisa dipertemukan lagi. Ditelepon aja nek)

“Yo.” (Ya). Nenek itupun nyengir. Giginya keliatan.

Gue bales nyengir. Gigi gue juga kayaknya keliatan deh.

“Yo wes mbah, kula kondur rumiyin nggeh.” (Ya udah neh, kita pulang dulu nek). Guepun
pamit. Si Norma juga udah selesai beli nasinya. Kami keluar rumah makan ninggalin nenek
tadi. Gue melontarkan senyum terakhir buat nenek itu. Sebelum pergi, gue sempat tanya
siapa nama cucunya dan siapa nama nenek tadi.

“Jenenge Ain. Nuraini. Aku jenenge Sukinem.” (Namanya Ain. Nuraini. Aku namamya
Sukinem).

Gue pun melambaikan tangan. “Assalamualaikum.”

Kita kembali pulang naik kendaraan yang lebih exelent dari sebelumnya. Metromini.

Ahh.. gue masih mikir dan penasaran sama ucapan nenek tadi. Yah, bagi kalian yang
namanaya Nuraini dan lagi sekolah di Jakarta, siapa tau loe yang dimaksud nenek tadi. Atau
jangan-jangan loe sodara kembar gue yang kepisah dari kecil. Atau jangan-jangan nenek kita
ketuker. Atau malah justru nyokap kita ketuker. Atau....... ahh.. tau ah. Gelap.
Laila Mei Harini, Mahasiswi UNIDA (Universitas Darussalam), Ngawi, Jawa Timur,  berdomisili di kota
Cilacap, Jawa Tengah. Beralamat di jl. Mawar no. 34 RT.04/01, Sidakaya, Cilacap. Wanita yang lahir
tanggal 1 Mei 1996  ini sangat menyukai dunia kepenulisan. Sudah banyak lomba yang sempat diikuti.
087719772928 / (0282) 536328.

Anda mungkin juga menyukai