Seusai shalat Shubuh, aku bergegas membuka daun jendela kamar. Udara
pagi terasa menusuk tulangku. Aku sedikit menggigil. Kuraih jaket yang
tergantung dibelakang pintu. Kukenakan. Lumayan, agak hangat, gemaku.
Tergopoh-gopoh dari arah dapur, Bi Uma, adik bungsu almarhumah Ibu,
membawa secangkir kopi untukku. Kusripit kopi yang masih mengepulkan asap
itu.
kamu pasti kedinginan, Tari! Bukankah udara di jakarta beda benar
dengan udara di kota kelahiranmu, lombok timur ini ? ayo, habiskan kopimu,
mumpung masih hangat! Ujarnya sambil berlalu.
Aku mengangguk seraya tersenyum padanya. Kuperhatikan Bi Uma dari
arah belakang. Cara berjalan dan postur tubuhnya persis dengan almarhumah Ibu.
Bedanya hanya pada roman muka. Bi uma mirip almarhumah kakek, sedangkan
almarhumah Ibu mirip almarhumah nenek.
Pernah satu kali kutanyakan padanya, mengapa ia tidak menikah lagi
sepeninggal paman. Padahal waktu itu, ia masih muda dan cantik. Dengan tenang,
Bi umah menjawab bahwa cintanya hanya untuk paman seorang, dunai sampai
akhirat. Dan kini Bi Umah telah membuktikan ucapannya. Ia masih sendiri. Tanpa
anak. Tanpa suami lagi.
Apakah aku juga akan mengalami nasib seperti Bi Umah? Dalam usiaku
yang hampir berkepala empat. Siapakah yang sudi mengawiniku? Mana ada lakilaki yang ingin menikahi gadis tua sepertiku! Atau karena aku seorang dosen
dengan seabrek titel, hingga pria enggan mendekatiku? Berbagai pertanyaan
memenuhi pikiranku. Memang, dulu saat umurku menjelang 30, pernah ada 3
lelaki yang mencoba menarik hatiku.
Pertama, Pak Pur. Rekan sejawat yang juga dosen di kampusku. Tiga kali
menghubungiku. Entahlah, aku kurang tertarik padanya. Padahal ia sudah cukup
mapan. Punya rumah, mobil, dan perabotan rumah tangga yang lengkap. Bahkan
dikalangan mahasiswi, ia termasuk dosen idola. Tapi sekali lagi, aku kurang
tertarik.
Kedua, seorang duda dengan anak yang masih balita. Sudah lima kali ia
mengajakku jalan-jalan sambil membawa putrinya. Kami cepat akrab. Malahan,
putrinya tak mau pisah bila sudah berada dipangkuanku. Namun, naas menimpa
dirinya.
Vespa yang dikendarainya menabrak bajaj dalam perjalanan menuju
kantornya. Ia tewas seketika. Aku hampir pingsan mendengar berita itu. Lebih
tragis lagi, nasib yang dialami gadis kecil satu-satunya. Dalam usianya yang
masih kecil, harus kehilangan kedua orang tuanya. Setelah peristiwa itu, ia diasuh
oleh neneknya dan tinggal di Kalimantan. Ah, Lia, Lia! Sudah besarkah kau?
Tentu ya, barangkali kini kau sudah duduk dibangku SMP. Sudah lama kita tak
bertemu. Masih ingatkah kau dengan calon mamamu ini dulu?
Yang terakhir, Si Dio, mahasiswa tingkat akhir jurusan teknik Kimia.
Mahasiswa yang satu ini menurutku memang lain dari yang lain. Setiap mengikuti
mata kuliah yang kiuampu, ia acapkali mencuri pandang padaku. Ah, mata jalang
itu. Kenapa ia memandangku dengan cara seperti itu? Sejujurnya aku akui, aku
senag ditatap demikian. Bahkan ingin rasanya berlama-lama dipandangnya
semacam itu. Berdesir darah ini. Berdegup keras jantung ini. Aduh, Dio, Dio!
***
Hampir dua puluh tahun aku tak bertemu dengannya. Ya, sejak sama-sama
lulus dari SMA negeri selong dulu. Kebetulan ia sekelas bahkan sebangku dari
kelas I sampai kelas III IPA. Itulah sebabnya, ia akrab denganku. Kamui
senantiasa berbagi cerita suka dan duka.
Namun, dua minggu setelah aku menerima ijazah, ayahku mendapat tugas
baru di jakarta sebagai kepala RRI Stasiun Pusat. Kami sekeluarga diboyongnya.
Aku dan Tia berpisah. Semula kami saling berkirim kabar. Terakhir kali kuterima
kabar darinya, tiga bulan setelah perpisahan kami. Ia dan Bastian akan menikah.
Kabar yang sangat menykitkanku. Sejak itu, hubunganku dan Tia seolah-olah
terputus.
Dan kini, kami dipertemukan lagi, disaat semuanya telah berubah.
***
Tari! panggilnya mengejutkanku. Disekanya sisa-sisa keringat yang membasahi
sebagian wajahnya yng masih tampak cantik alami itu dengan lengan baju kebayanya.
Wajahnya sedikit menunduk. Pandangan kedua matanya jatuh pada lantai tempat sandal
jepitnya bertumpu.
Ya, Tia, sahutku sambil berpindah duduk dikursi sebelahnya. Berceritalah
padaku, Tia! Sudah sangat lama kita tak berjumpa . tentu banyak hal yang bisa kau
sampaikan. Kita berbagi rasa seperti dulu, sambungku.
Kulihat ia menarik nafas, mendesah. Matanya menerawang jauh ke luar sana.
Kedua tangannya sibuk memilin-milin ujung baju kebayanya.
Perkawinanku dengan Bastian, akhirnya kandas setelah aku mencoba bertahan
selama 4 tahun. Waktu itu, anak sulung kami baru duduk di kelas nol kecil. Kau tahu,
Tari, sesungguhnya orang tuaku menentang keras hubungan kami. Ayah menginginkan
aku bisa kuliah. Namun, alangkah terkejutnya ayah dan ibu, begitu mengetahui aku hamil
sebelum menikah. Mereka shocked karena malu dan juga marah. Aku diusir dari rumah.
Seluruh keluargaku menganggapku sampah. Saat pernikahanku, tak satupun diantara
keluargaku hadir. Yang menikahkanku adalah wali hakim. Aku benar-benar sendiri, Tari,
ceritanya datar tanpa ekspresi.
Kulirik dia. Matanya sembab dan sendu. Selanjutnya, ia menceritakan bahwa
setelah bercerai dengan Bastian, ia mencoba melamar pekerjaan dengan ijazah SMA-nya
ke berbagai perusahaan di kota kecilnya. Dasar nasib yang kurang beruntung, tak satupun
perusahaan menerimanya. Alasannya klise : tidak ada lowongan. Ia hampir putus asa.
Sementara untuk tetap bisa hidup bersama anakny, Tika, ia butuh makan. Itu berarti dia
harus segera mendapat pekerjaan. Untuk kembali ke rumah orang tuanya, menurutnya
rasanya tidak mungkin. Pastilah ia akan diusirnya. Akhirnya, ia nekat mendaftar sebagai
TKW ke Saudi Arabia. Tika dititipkannya pada mantan ibu mertuanya. Sedangkan
Bastian, mantan suaminya, kawin dengan janda kaya beranak tiga. Satu-satunya yang
masih dimilikinya, yaitu kalung seberat 10 gram pemberian ibunya ketika di SMA
dulu,dijualnya untuk bekal kesana. Belum genap satu tahun ia bekerja, majikan lakilakinya memperkosanya. Ia hamil. Berbagai macam obat ditelannya untuk mengenyahkan
janin yang dikandungnya. Namun sia-sia. Saat perutnya belum tampak besar, ia kembali
ke tanah air, ke kota kecilnya. Sedianya ia akan menjemput Tika. Tapi, betapa sangat
menyedihkanyya manakala melihat buah hatinya tergeletak tak berdaya di rumah sakit.
Penyakit tipus rupanya telah menggerogoti anak kesayangannya itu. Dua hari setelah
kepulangannya dari saudi, gadis kecilnya menghembuskan nafas terakhir. Seperti petir
meyambar disiang hari dirasakannya waktu itu.
Sampai peristiwa itu, orang tuanya belum bisa memaafkannya. Maklumlah,
ayahnya terkenal keras dan cukup disegani di kampungnya.
Seusai pemakaman anak tercintanya, ia segera meninggalkan kampung
halamannya. Satu-satunya orang yang dituju adalah neneknya yang tinggal di kaki
gunung Rinjani. Jauh dari saudara dan orangtuanya. Disanalah ia tinggal hingga janin
yang dikandungnya lahir. Tampaknya Tuhan masih ingin mengujinya. Bayinya lahir
cacat., tidak memiliki kedua tangan. Namun, kata bidan yang membantu persalinannya,
orok itu luar biasa sehat. Melihat kenyataan yang sangat menyakitkan itu, Tia ingin
mengakhiri hidupnya. Rasanya tidak ada yang perlu dipertahankan dari hidupnya yang
sia-sia. Ia merasa malu. Sangat malu. Nasihat-nasihat neneknya tak ada satupun yang
didengarnya.
Suatu hari yang telah direncanakan, ia mengiris urat nadi tangannya. Dalam
sekejap sebagian tubuhnya bersimbah darah. Segera ia dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Dan disanalah, orang tuanya mulai terbuka mata dan hatinya.
Meskipun demikian, Tia tak mau emnggantungkan kehidupannya kepada orang
tuanya. Biarlah ia dan anak satu-satunya yang lahir cacat tanpa ayah itu, tidak
mengganggu ayah, ibu dan saudara-saudaranya.
Akhirnya dengan sisa uang yang disimpannya sewaktu menjadi TKW dulu, ia berjualan
keliling dengan gerobak dorongnya. Ia tinggal di gubug kecil. Di kampung, bersebelahan
dengan kompleks perumahan, tempat Bi Uma tinggal sekarang.
Saat mengakhiri cerita, Tia tampak tersenyum. Ya, senyum kepahitan, sebuah
senyum yang mengantarkannya pada kehidupan yang malang.
Sekali lagi kupeluk dan kudekap dia. Dadanya tak lagi gemuruh. Detak
jantungnya tak lagi menyuarakan kepiluan. Yang ada hanya kepasrahan dan setitik
harapan.
***
masih tetap sendiri. Cukup, cukuplah Tuhan dan aku sendiri yang mengetahuinya. Karena
inilah titik balik kehidupanku. Titik balik jiwa dan ragaku.
Sesaat kemudian, Tia berpamitan. Capingnya dipasangnya lagi dikepalanya. Ia
sudah kembali pada gerobak dorongnya. Sebelum ia melangkah, kuselipkan tiga lembar
uang seratus ribuan ke dalam baju kebayanya.
Untuk anakmu, Tia!
Tia hanya menganggukkan kepalanya seraya beranjak dari tempatnya semula.
Matahari semakin tinggi. Lalu lalang kendaraan yang melintasi jalan kompleks
perumahan itu bertambah ramai. Tia dan gerobak dorongnya sudah semakin jauh.
Sesekali teriakannya menjajakan barang dagangannya, lamat-lamat kutangkap dari sini.