Anda di halaman 1dari 6

Semu-Ku-Mu

Pukul 19.00
“Masuklah-masuklah kerumah ini”
Lirih batinku kala kulihat dari bingkai pintu, Arjal dan Nisa menatapku nanar.
Mereka hanya berdua. Arjal adikku tidak menggendong Syifa, anak mereka yang
terakhir kulihat masih belajar berjalan. Jika saja dia ikut, pasti sudah pandai berlari dan
memanggilku ‘Oom’ dengan suara nyaringnya.
Arjal dan Nisa masih bergeming dibingkai pintu. Keduanya sedikit menunduk
dengan jemari tangan yang bertautan. Saling menggenggam. Entah ada apa dengan
mereka. Tapi aku yakin, pasti ada sesuatu yang terjadi.
Setelah melempar senyum yang kubuat semanis mungkin, kupersilahkan mereka
masuk. Masuk kerumahku untuk kedua kalinya setelah tiga tahun yang lalu. Semenjak
penolakan bantuan itu.
Ya! Aku tinggal dirumah yang luas hampir 700 m2. Terbentang diantara rumah
rumah yang megah dan mewah. Perumahan elit, strategis. Dimana penghuninya
dijamin terjaga dengan satpam yang patroli 24 jam dan sistem satu pintu dengan
outdoor CCTV. Semuanya begitu melegakan berujung dengan keamanan dan
kenyamanan
“Kalian kesini naik apa?” tanyaku memecah keheningan.
Keduanya diam merunduk. Duduk dengan tubuh gemetar. Ada apa dengan
mereka? Ada apa dengan keluarga kecilnya yang bahagia dengan kesederhanaannya?
Hidup mereka normal. Lengkap. Sepasang suami istri dengan seorang anak yang
lucu. Suami yang memiliki pekerjaan tetap, meski sebagai buruh pabrik. Berangkat
pagi pulang sore, bahkan malam hari. Sedangkan sang istri dengan setia menyiapkan
keperluan setiap pagi. Merawat anaknya dengan penuh kasih sayang dan masih
menyempatkan diri membuat kue untuk dijual diwarung-warung. Dia semangat
menunaikan tugasnya sebagai istri dan ibu. Urusan domestik tidak pernah diabaikan,
bahkan dia masih ramah menanggapi pengamen dan pemulung diujung kelelahannya.
Landasan kehidupan rumah tangganya memang teramat baik. Hidup di Ibu Kota
yang keras dan sadis seakan tidak dirasakan. Mereka menampiknya dengan tinggal
dikontrakan sederhana, makan apa adanya, ramah dengan tetangga dan menjauhi
berhutang. Sehingga apa yang mereka lakukan menjadi pas dengan kantong.
“Sebelumnya maaf bang jika kedatangan kami mengganggu”.
Deg! Mendengar ucapan Arjal adikku satu-satunya, membuatku sesak. Dia sama
sekali tidak menggangguku. Dia selalu kurindukan. Selalu kunantikan kehadirannya.
Tinggal ditempat yang begitu asri ini, penuh pepohonan dan tanaman hias
dihalaman depan juga kolam ikan dihalaman belakang. Segenap tanaman yang selalu
terlihat rapih setiap pagi, siang bahkan sore dan malam hari. Tukang kebun keliling
juga ada disini. Menyiram tanaman setiap setiap hari. Menyapu halaman tanpa
menyisakan satu daun rontok sekalipun. Bunyi mesin penata rumput akan berderu
setiap minggu dihalaman depan dan belakang. Dan dari sekian keindahan ini,
sesungguhnya kebersamaan yang selalu kunanti. Mungkin mewujudkan keluarga kecil
seperti adikku. Sayangnya, aku hanya seorang diri dirumah ini. Tanpa istri apalagi
seorang anak. Sendirian, hanya berteman hembusan angin yang keluar masuk dari
ventilasi rumah bak istana ini.
“Bagaimana kabar kalian? Kenapa syifa tidak ikut?”
Sungguh alu tidak ingin ada kecanggungan seperti ini. Arjal, aku dan kamu adalah
kakak-adik. Bahkan dulu ketika masih kanak kanak, dimana kita selalu bersama para
tetangga sering menjuluki kita anak kembar. Anak-anak yang kompak. Hobimu
berpetualang disawah, ladang bahkan menjelajah hutan. Sedangkan hobiku bertekuk
lutut didahan pohon mangga yang bertengger disamping rumah. Berteman kertas
gambar lusuh dengan pensil seukuran kelingking yang dililit karet dibagian ujungnya.
Menggambar apa saja.
Hobiku berawal dari melepas penat melakukan rutinitas dirumah layaknya seorang
ibu. Ya! Aku mencuci, memasak, menyapu, memberi makan bebek, bahkan menimba
air dari desa sebelah. Kami tinggal bertiga dirumah yang dindingnya terbuat dari
bambu, hanya seluas 6 m2 tanpa kamar mandi apalagi kulkas. Setiap pagi dan sore
sungai adalah kunjunganku. Setelah menyuapi bapak untuk sarapan dan minum jamu
buatanku, aku dan Arjal bergegas kesungai dengan membawa sekeranjang pakaian
kotor. Aku mencuci, Arjal mandi dan bermain air. Aku mandi Arjal sudah entah
dimana, dia mulai berpetualang dan pulang sore hari.
Hingga suatu hari yang terik dihari entah keberapa ratus aku menggambar didahan
pohon mangga, Arjal menghampiriku. Dia memanggilku dari kejauhan dengan siang.
Tangannya menggenggam sesuatu. Aku loncat dari dahan dan menyambut dengan
senyum. Wajah polosnya dan senyum unjuk giginya yang kuning dia membuka
genggaman tangannya. Gumpalan bunga warna biru.
Sejak itu aku mulai mewarnai koleksi gambarku. Gambar langit kuwarnai dengan
bunga yang ditumbuk, ide brilian dari Arjal. Begitu juga gambar jalanan kuwarnai
dengan arang. Gambar gunga warna warni kuwarnai dengan kunyit yang menghasilkan
warna kuning, bunga Rosella yang menghasilkan warna merah, buah jamlang yang
menghasilkan warna ungu tua dan gambar daun daun kuwarnai dengan menumbuk
daun pandan. Setiap menggambar aku warnai, dan setiap aku mewarnai aku
menemukan semangat baru. Semangat menuju inovasi. Menentukan mimpi, masa
depan dan kebahagiaan. Hingga sampai hari ini, apa yang kumiliki adalah hasil dari
jerih payah masa lalu. Jerih payah mengundang kesuksesanku. Hanya duduk didepan
layar kubus pintar itu bekerja dan menghasilkan uang. Ya! Hanya duduk.
Arjal, itu masa lalu kita yang hampir berusia 30 tahun. Masih kuingat dengan
detail. Dan sebenarnya, dibalik kesuksesanku adalah kamu yang mengenalkanku
dengan cerianya pewarna alami itu.
Tapi kali ini…. pertemuan baru dari penantian selama tiga tahun, kenapa seakan
kita adalah orang asing? Ibarat orang yang berdesakan dalam bis tan tidak sengaja
saling mendorong, lalu saling mengucap maaf. Apa kita sekarang seperti itu? Orang
yang bertemu didalam bis. Kamu duduk didepan aku duduk dibelakang. Tidak saling
kenal.
Bisa dikatakan, kehidupanku lebih beruntung darinya. Aku tidak perlu menyapu,
mengepel apalagi mengelap kaca. Semua pekerjaan rumah sudah ada yang mengurus.
Cleaning service dengan tekunnya datang kerumahku setiap pagi. Asisten rumah
tangga juga begitu, mencuci, menyetrika, dan memasak. Pulang kerumahnya setiap
sore bukankah begitu menyenangkan? Aku hanya merogoh kantong, mengeluarkan
kertas penuh nominal itu dan semuanya beres. Tapi apa itu kebahagiaan? Sungguh, aku
lebih tertarik dengan kebahagiaan keluarga kecil adikku.
Bill Gates seorang milyader juga sependapat denganku bahwa uang memang
sebagai penunjang hidup. Tapi puncak dari kebahagiaan adalah dengan keberhasilan
anak-ananya. Begitu juga dengan pengusaha sukses Chamath Falihapitiya, dia juga
merasa tidak bahagia dengan kekayaanya. Karena kekayaannya yang dimiliki adalah
jembatan untuk melakukan sesuatu yang lebih besar dan dapat membantu orang lain.
Meski kata orang-orang, kesehatan fisikku juga begitu terjamin disini. Ada tombol
khusus di dalam untuk memanggil dokter terbaik. Dan tidak jauh dari komplek
rumahku, hanya selemparan batu. Ada GOR, menyediakan peralatan jenis olahraga apa
saja. Dan disamping bangunan yang selalu menggemakan suara itu, ada ruang fitness
yang memberi kebugaran dengan segenap peralatan canggihnya. Sekitar 100 meter
jalan kekanan, melewati taman bermain yang ramai setiap pagi dan sore menyaksikan
rontoknya bunga flamboyan yang memenuhi jalanan. Disitulah terbentang kolam
renang yang luaa, biru. Dikelilingi pancuran yang menyegarkan. Dan bukankah… ini
bisa kusebut dengan surga dunia? Hanya tinggal ditanah penuh bangunan dan
pemandangan asri ini yang luasnya sekitar 10 hektare, aku bia melakukan apa saja.
Seperti didunia kecil.
“Ada yang ingin kami sampaikan, bang…”
Pies. Kuusap dahiku yang berkeringat. Kulirik arlojiku pukul tujuh lebih tiga puluh
menit. Itu berarti sudah setengah jam kami duduk diruang tamu mewah ini. Ruang tamu
desain bangunan yunani, dengan pemilihan warna silver dan ornamen yang berwarna
lebih gelap serta paduan warna gorden lavender dengan kesan yang hangat. Sepaket
sofa besar mewah bergaya victoria juga menambah kesan glamor diruang tamuku. Sofa
dengan bahan dasar kayu mahoni sehingga tahan digunakan dalam waktu yang lama
dan berkaki cenderung pendek adar daya tahannya semakin kuat. Sungguh ruang tamu
yang membetahkan, dan yang membuatku benar-benar betah adalah lukisan di dinding
yang terkesan kuno dan usang. Lukisan dua anak kecil, yang satu didahan pohon
sedang yang satuberdiri dibawah pohon dengan senyum cerianya.
Kupandang sekilas lukisan it, aku menunduk. Satu dua melemparkan kata dengan
napas tertahan. Ada yang ingin disampaikan, sampaikan saja Arjal-ku. Apa yang terjadi
pada kalian? Apa kalian sedang susah mencari nafkah? Sukar dalam mencari susu
bubuk untuk Syifa? Atau listrik kontrakan kalian padam karena telat membayar
tagihan? Atau jangan jangan kalian diusir dari kontrakan karena tidak ada rupiah yang
tersisa bulan ini? Adikku, dalam diam ini… aku berjanji akan membantumu kesulitan
apapun.
Tentang kebutuhanku, aku bisa memenuhinya dalam hitungan menit. Cukup
membuka laptop. Mengaktifkan pasar online. Mengetik apa saja yang aku butuhkan.
Terakhir menklik tombol ‘Yes’ pada line paling bawah. Dan hanya menunggu satu jam
lebih, bel pintu rumahku berdering. Pesananku sampai tanpa cela. Sempurna. Sudah
kubilang tadi, tinggal diperumahan terbesar di ibukota ini, seperti hidup didunia kecil.
Apa saja ada. Swalayan toserba juga ada. Sopir antar jemput juga ada. Tidak ada
pemulung yang ‘kreasak-kresek’ dihalaman belakang. Tidak ada pengamen yang ‘jrang
jreng’ sumbang dihalaman depan. Hidup disini nyaman. Damai. Sentosa. Ah, apakah
ini hakekat kebahagiaan? Bagaimana jika pertanyaan ini kusertakan dengan
kebahagiaan sederhana dari keluraga kecil adikku?
“Kami akan bercerai, bang…”
Dug! Kakiku yang bergerak pelan dikolong meja tidak sengaja menyenggol salah
satu kaki pendeknya. Aku menyeringai. Tapi seringaianku ini tidak bisa menenangkan
pikiranku. Hanya rasa sakit karena kaki meja itu yang hilang.
Huh! Apa yang baru saja kudengar? Kata apa itu? Bukankah sepanjang tiga puluh
menit tadi aku begitu mengagumi keluarga kecil adikku yang sederhana dan bahagia
itu?
Sungguh, apa yang baru saja kudengar? Apa komitmen sabar dan penuh syukur itu
sudah tidak ada lagi diantara mereka? Apakah mereka lelah hidup susah? Apa
perekonomian sekarang seakan menyindir siapa saja? Yang tebal imannya dan begitu
kuat pendiriannya?
Aku sama sekali tidak menyukai kata itu, setelah tiga tahun tanpa kabar, dan hari
ini mereka hanya menyampaikan kata yang pahit itu? Apa kali ini… aku harus
memintamu untuk kedua kalinya agar kamu mau tinggal bersamaku? Dirumah ini? Apa
kamu mau adikku? Apa kamu tidak menolaknya? Adiiku. Disini ada banyak kamar.
Kamar yang luas dan mewah. Ada kamar mandi didalamnya. Telivisi yang lebarnya 29
inchi juga ada. Jika ingin yang lebih besar lagi seperti layar bioskop, juga ada. Diruang
tengah. Dimana nanti kita bisa saling bertukar cerita dan canda tawa. Rumahku jauh
dari pengap, ada penyejuk ruangan disetiap sudutnya. Penyejuk ruangan yang begitu
dibanggakan rakyat jelata. Begitu dibanggakan tetanggamu yang selalu tidur
bertelanjang baju senantiasa mengeluh ‘gerah’.
Adikku, jika kamu mau tinggal disini akan kuberikan segenap perhatianku pada
Syifa, keponakannku satu-satunya. Akan kumanjakan dia dengan tumpukan mainan
model terbaru. Lego cinderella yang diimpikan banyak anak perempuan seusianya.
Kubiarkan dia bersuka ria diruang bermain. Sesekali mengunjungi taman bermain
perumahan, Syifa dan Nisa istrimu asyik diayunan. Sedangkan aku dan kamu Arjal,
kompak bermain batminton.
Adikku, dapurku juga tidak kalah canggihnya dengan bagai dapur restoran
berbintang itu. Peralatan apa saja ada. Bahkan makanan apalagi. Nissa bisa memasak
resep apa saja. Tradisional atau internasional. Memasak rendang dengan mudah, cepat
dan bumbu kental melimpah. Atau membuat pizza dengan resep terbaik dengan topping
mozzarella yang tebal, atau juga membuat garlic bread untuk cemilan Syifa yang kaya
rasa manis-asin itu.
Adikku air dirumahku juga melimpah. Ada yang panas. Ada yang dingin. Nisa
istrimu, tidak perlu capek mengurus rumah. Semuanya sudah ada yang bertanggung
jawab. Adikku… maukah kamu menarik kembali kata yang teramat pahit itu? Karena
aku juga… harus menarik janjiku, aku tidak bisa membantumu untun urusan ini.
Kudongkakan kepala. Mataku sudah berkaca-kaca. Ucapan membuat hatiku teriris.
Pemikiranku kacau. Kudengar, Nisa menangis sesenggukan. Dam aku lihat, Arjal
memberi kehangatan itu. Merangkulnya dengan kecup kepala tiada henti.
Deg! Hatiku berkecambuk. Logika dan perasaanku beradu. Apa yang sebenarnya
terjadi dengan mereka? Apa mereka benar-benar menemukan jalan buntu sehingga kata
cerai menjadi finalnya? Jika mereka ingin bercerai kenapa kemesraan itu masih ada?
Kenapa kehangatan itu masih terasa? Apa kedatangan mereka kali ini menegurku untuk
merengkuh kebahagiaan? Kebahagiaan yang tidak semu? Kebahagiaan yang tidak
berteman dengan kemilaunya kemewahan dunia? Sungguh, aku sulit memahaminya?
Ah, sebenarnya mereka bercerai atau aku yang harus bercerai dengan kebahagiaan
semu ini?

Nama : Raras Adininggar


ID Instagram : narojilah_community
No WA : 085959536249
Email :

Anda mungkin juga menyukai