Anda di halaman 1dari 3

Genangan

Tak kusangka ku akan pindah ke kota ini. Berbeda jauh dari


kampung halamanku, Metro merupakan kota yang padat penduduknya.
Bangunan-bangunan di sini terlihat asing. Ini pertama kalinya aku
pindah ke lingkungan kota walau kini masih tinggal di bagian sudutnya.

Embun menyambutku pukul 6 pagi. Ayah mengantar ibu ke pasar


terdekat untuk membeli berbagai macam bahan makanan. Merasa sepi,
kulangkahkan kakiku keluar rumah untuk menyusuri lingkungan sekitar.
Sawah dan sungai memperindah segalanya. Andai saja tidak ada
sampah di mana-mana, pasti akan sungguh asri pemandangannya.
Para petani telah mulai mencangkul sawah. Aku berhenti sejenak untuk
menghampiri salah seorang dari mereka.

“Selamat pagi, pak!”, seru aku.


“Pagi, nak!”, jawab petani itu.

Aku berjalan ke arahnya, mengajaknya untuk berbincang-bincang.


Banyak hal yang kutanyakan. Termasuk tentang pekerjaan beliau. Ia
ternyata telah bekerja disini selama sepuluh tahun. Istrinya yang kini
telah tiada, tidak pernah membuatnya putus asa. Ia masih semangat
untuk menafkahi kedua anaknya yang kini masih berusia dan empat
tahun. Kami selanjutnya berbicara tentang hal-hal secara acak sambal
bersenda gurau.

Tak terasa, langit tiba-tiba mendung. Pak petani berjalan cepat


menuju tempat yang teduh. Sedangkan aku berlari menuju rumahku
setelah sebelumnya berpamitan dengannya.

Sesampainya aku di halaman rumah, hujan dengan serentak


mengguyur deras. Untuk pertama kalinya aku menyentuh rintik hujan di
kota ini. Ibu dan ayah belum juga pulang. Mereka mungkin masih ada di
pasar. Pintu kututup agar hujan tidak masuk. Kami belum sempat
memindahkan televisi dari rumah sebelumnya. Aku pun tak bisa
menontonnya disini. Sungguh bosan diriku kali ini.

Petir bergemuruh, pertanda badai akan datang. Aku mulai


mengkhawatirkan orang tuaku, ditambah dengan suara seperti gempa
dari luar rumah. Aku pergi ke kamarku untuk meraih telfon genggam.
Menelfon ibu, bertanya dimana ia dan ayah sekarang. Beliau akhirnya
menjawab, mereka masih berada di pasar sambil menunggu hujan reda.
Ia menasihatiku agar selalu berada di rumah dan berhati-hati sampai
mereka pulang.

Tak kusadari, lantai mulai dibasahi air yang datang dari bagian
bawah cela pintu. Aku panik, banjir kali ini harus kulalui sendirian. Aku
kembali menelfon ibu untuk memberitahu segalanya. Setelah
mendengar kabar bahwa rumah baru kami mulai banjir, ibu dan ayah
terkejut. Mereka akhirnya terpaksa untuk pulang lebih awal.

Air kian menyebar dan bertambah tinggi. Aku dan rumahku


sedang dalam masalah besar. Kupindahkan barang yang ada di lantai
ke atas meja serta melihat lingkungan luar rumahku melalui jendela.
Semuanya seolah telah diterjang badai. Tidak ada orang di luar sana.
Mereka pasti sudah menetap di rumah masing-masing.

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya ayah dan ibu pulang


dengan pakaian yang basah. Pintu akhirnya kubuka lalu aku menyambut
mereka dengan perasaan takut namun sedikit lega. Rupanya, ayah dan
ibu sempat jatuh dari motor di perjalanan menuju ke rumah. Mereka
tidak lagi peduli tentang masalah tersebut. Kami sekarang fokus untuk
mengevakuasi segala perabotan rumah.

Setelah hujan reda, kami mulai membersihkan air yang


membasahi seisi rumah. Dengan berbekal alat seadanya, kegiatan ini
tidak sia-sia. Lantai kami kembali bersih. Namun, beberapa barang di
rumah basah dan sulit untuk dikeringkan.

Selesai sudah pekerjaan kami. Akhirnya ayah mengajakku untuk


pergi ke rumah Pak RT. Terlihat rumah tersebut juga telah digenangi air.
Ayah mengetuk pintu. Pak RT membukanya sambil memberikan
senyuman ramah kepada kami. Ia menawarkan kami untuk duduk di
ruang tamu. Ayah berbicara dengan sopan, menjelaskan apa yang baru
saja terjadi. Pak RT dengan pelan berpendapat bahwa mungkin saja ini
terjadi karena ulah masyarakat setempat. Mereka membuang sampah
tidak pada tempatnya.

Beberapa menit telah kami gunakan untuk berdiskusi tentang


upaya menghentikan banjir tersebut. Aku, sebagai si paling muda
merasa tidak mengerti apa yang benar-benar mereka ucapkan. Yang
pasti, kami memutuskan untuk mengajak para warga untuk bersama-
sama membersihkan lingkungan sekitar. Kami juga putuskan untuk
memberikan hukuman kepada siapa pun yang membuang sampah
sembarangan agar tak terjadi lagi penyumbatan irigasi.
Hari minggu tiba. Para warga dikumpulkan di depan sebuah
masjid. Diumumkanlah segala peraturan yang seharusnya telah dibuat
sejak dahulu. Para warga setuju lalu mulai membersihkan segala yang
tersumbat. Sejak saat itu, tak ada lagi yang membuang sampah
sembarangan.

Maka saat hujan kembali mengguyur deras, kami tak lagi khawatir.
Tak akan ada lagi banjir. Kami merasa aman selagi para warga menaati
peraturan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai