Anda di halaman 1dari 8

Bangga

Oleh : Femi Noviyanti

Matahari mulai beranjak dari peraduannya. Suara kokok ayam bersahutan. Di


kamarnya, dering alarm ponsel Ara berbunyi nyaring. Sudah beberapa kali. Dengan
malas Ara mematikannya dan kembali bersembunyi di balik selimut.
Dia mencoba memejamkan matanya lagi. Namun sayup-sayup terdengar bunyi yang
khas. Suara yang kini tak asing lagi bagi Ara. Semakin lama semakin keras.
“Tok..tok…..tok..tok...tok..tok...”
Suara itu membuatnya menghela nafas panjang. Keinginannya untuk kembali tidur
sirna.
Dia tahu betul suara apa yang didengarnya. Itu adalah bunyi alat pahat yang beradu
dengan palu di atas kayu. Bunyi yang sehari-hari akrab dengan telinganya ketika di
rumah.
Ara memutuskan bangun dan ke luar dari kamarnya. Dia melewati sumber suara.
Namun gadis itu acuh tak acuh.
Ara tahu betul orang yang sedang berkutat dengan alat pahat dan kayu itu
memperhatikannya. Dia tak menoleh sedikitpun. Dia justru berjalan cepat menuju
kamar mandi dan segera menguncinya.
Dengan rasa kesal, Ara memutuskan untuk mandi dan sesegera mungkin bersiap ke
luar rumah.
“Ara...mau ke mana pagi-pagi,” sapa ibunya, si empunya sumber suara alat pahat
yang didengar Ara, menyapa sesaat ketika dia ke luar dari kamar mandi.
“Mau pergi,” jawab pelajar SMA itu singkat.
“Kan hari Minggu, mau ke mana?,” perempuan bernama Umi itu masih mengejar
dengan pertanyaan lanjutan.
“Terus harus di rumah? Dengar suara tak tok tak tok seharian? Bosen Bu,” kali ini
nada suaranya meninggi.
Seperti biasa, ibunya hanya bisa menghela nafas. Melihat sikap anak sulungnya
yang semakin hari semakin menjadi.
Di satu sisi, Ara pun kembali menghela nafas. Dia mencoba meredam rasa
kesalnya.
--
Minggu pagi itu Ara memilih bertemu dengan teman-temannya. Mereka berencana
mengerjakan tugas bersama di rumah salah satu anak.
Ini kali pertama dia datang ke rumah temannya itu. Dari pintu gerbang, rumah
tersebut tampak menjulang tinggi. Halamannya cukup luas. Ada berbagai jenis
tanaman di sana.
Beberapa temannya sudah terlihat di salah satu sudut taman. Mereka duduk
melingkar di kursi taman. Tampak asik bercengkrama.
Saat Ara datang, si pemilik rumah menyambut hangat. Sesaat kemudian keluar pula
perempuan setengah baya yang dipanggil mama oleh temannya.
Ara tak henti-hentinya memperhatikan sosok tersebut. Perawakannya tinggi, berkulit
putih dengan rambut sebahu. Baju santai dan riasan tipis di wajah semakin
menambah pesonanya. Cantik.
Dari cerita yang didengarnya, perempuan tersebut berprofesi sebagai dosen di salah
satu perguruan tinggi ternama. Satu profesi dengan suaminya yang juga seorang
dosen.
Seketika dia membandingkan dengan kondisinya. Rumahnya jauh berbeda dengan
rumah yang saat ini diinjaknya. Jangankan halaman yang luas dengan aneka
tanaman, jarak pintu rumahnya dengan jalan di depan rumahnya tak kurang dari dua
meter. Bangunan rumahnya kecil, ukuran 7x12 meter.
Layaknya perumahan bersubsidi, rumahnya hanya memiliki dua kamar, ruang tamu,
satu dapur, dan kamar mandi. Sumpek.
Soal keluarganya tak perlu ditanya. Bak langit dan bumi. Ayahnya merantau di luar
kota. Sementara ibunya, sibuk bergelut dengan alat pahat dan kayu setiap harinya.
Bukan riasan, melainkan debu dan keringat yang selalu dilihatnya menghiasi wajah
ibunya.
Ara membayangkan andai keluarganya hidup berkecukupan layaknya keluarga
teman-temannya. Tentu akan sangat bahagia.
Di tengah lamunannya, dia dikagetkan dengan pertanyaan Mama temannya.
Perempuan yang tak henti menyunggingkan senyum yang membuat kecantikannya
semakin terpancar itu bertanya tentang apa yang dikerjakan ibunya di rumah.
“Tidak ada yang membanggakan, Bu. Ibuku hanya tukang ukir yang kadang-kadang
ngamplas juga,” jawabnya dengan suara lemah.
Sepulang dari rumah temannya, Ara sengaja tak langsung pulang. Dia
menghabiskan waktu dengan berputar-putar di taman dekat gang rumahnya.
Barulah setelah menjelang magrib dia kembali ke rumah. Pintu rumahnya tertutup.
Namun dari luar dia sudah mendengar aktivitas ibunya yang menandakan si ibu ada
di dalam rumah.
“Ara..baru pulang? Makan dulu..,” kata Ibunya lembut.
“Sudah,” jawabnya.
“Kakak makan apa? Makan di mana?,” kini giliran adiknya yang bertanya.
“Makan enak, di rumah teman kakak. Makanan yang sudah pasti tak ada di rumah
ini,” jawab Ara dengan tegas.
“Makan apa...kenapa aku nggak diajak,” adiknya mulai merengek dan sesaat
kemudian menangis meraung-raung lantaran Ara tak lagi menjawabnya.
Umi yang semula berkonsentrasi dengan kayu di depannya kemudian berdiri. Dia
memanggil Ara untuk mendekat, tapi anak sulungnya itu tak mendengarkannya.
Perempuan yang belum menginjak kepala empat itu kemudian menghampiri Ara.
Dia menghentikan langkah putrinya sebelum akhirnya masuk ke kamar.
“Ara...belakangan ini Ibu merasa sikapmu keterlaluan. Apa yang salah sehingga
perangaimu menjadi begini,” Umi bertanya dengan nada cukup tinggi, berbeda dari
biasanya.
Melihat Ara yang masih diam, ibunya melanjutkan kalimatnya. “Sebagai anak
pertama harusnya kamu mau mengerti kondisi keluarga, mendukung apa yang
orang tua kamu lakukan, bukan sebaliknya,” katanya.
“Mengerti kondisi bagaimana lagi Bu? bapak yang tidak pulang bertahun-tahun
dengan kiriman uang yang tak jelas? Atau mengerti kondisi ibu yang selalu sibuk
bekerja dengan kayu-kayu ini? semua sibuk tapi tak pernah bisa mencukupi semua
kebutuhan,” akhirnya apa yang ditahan Ara diungkapkannya.
“Kamu jelas-jelas tahu semua yang Ibu lakukan untukmu. Ibu bekerja dari pagi
sampai malam tapi tak pernah lupa menyiapkan semua kebutuhanmu. Makanan
selalu tersedia, pakaian tercuci bersih. Apa lagi?,” Umi menjawab dengan kalimat
panjang.
“Tapi apakah semua cukup? Ara malu Bu. Malu dengan teman-teman kalau melihat
kondisi keluarga kita. Sama sekali tak ada yang bisa dibanggakan,” katanya sambil
terisak.
“Saat acara sekolah, teman-teman lain datang dengan orang tuanya berpenampilan
rapi. Semuanya berpakaian mahal dan datang dengan kendaraan mewah. Tapi aku?
Ibuku datang dengan pakaian lusuh. Datang naik bus. Aku malu Bu! Sampai kapan
Ibu bekerja dengan kayu-kayu ini? uang banyak tak mungkin ke luar dari kayu-
kayuan ini,” teriak Ara lagi.
“Meskipun tak bisa memenuhi semua kebutuhan mewah kita, setidaknya kita bisa
makan dari apa yang ibu kerjakan. Harusnya kamu bersyukur,” ibunya yang mulai
terpancing emosi menjawab sembari berteriak.
Perseteruan keduannya baru berhenti saat adik Ara menangis semakin kencang.
Pertengkaran seperti ini bukanlah yang pertama. Ibu dan anak ini sudah berkali-kali
terlibat pertengkaran dengan persoalan yang sama. Namun tak pernah ada
penyelesaikan.
Ara merasa, banyak kebutuhannya yang tidak terpenuhi. Mulai dari kebutuhan
sekolah hingga kebutuhan lainnya. Dia ingin mendapatkan lebih.
Sementara Umi, merasa apa yang dilakukannya sudah maksimal. Dia memang terus
menekuni pekerjaan yang sudah dikerjakannya sedari remaja. Baginya bekerja
mengukir di rumah merupakan caranya untuk bisa menjalankan peran ganda,
sebagai sosok pencari nafkah sekaligus sosok ibu yang merawat anak-anaknya.
Umi beberapa kali berkeinginan untuk alih profesi. Terlebih saat mendengar cerita
dari tetangganya yang bekerja di pabrik. Cerita tentang banyaknya gaji yang
diperoleh setiap bulan sempat membuatnya ingin bekerja di tempat yang sama.
Namun ketika memikirkan bagaimana kondisi anak-anaknya, keinginan itupun sirna.
Dia ingin tetap bekerja di rumah sembari merawat kedua anaknya.
Terlebih lagi mengukir sudah dikerjakannya sejak remaja. Dulu sembari bersekolah
dia mengasah kemampuannya mengukir dengan didampingi oleh orang tuanya.
Kala itu pendapatannya sebagai remaja yang mengukir cukup tinggi, bahkan bisa
digunakan untuk membayar biaya sekolahnya hingga SMA.
Meskipun perempuan, tapi hasil ukirannya halus. Hal itu diakui oleh orang-orang
yang memberinya pekerjaan. Karenanya, permintaan untuk menyelesaikan ukiran
terus berdatangan. Dia bahkan sempat mendapatkan julukan si tukang ukir alusan.
Dia terus mengukir sampai akhirnya memutuskan menikah di usia 18 tahun. Setelah
menikah suaminya sempat melarang bekerja. Umi dimanjakan dengan nafkah yang
berkecukupan.
Namun hal itu tak bisa dinikmati dalam waktu lama. Setelah anak pertamanya
masuk sekolah dan dia melahirkan anak kedua, kebutuhan meningkat. Nafkah dari
suaminya tak lagi cukup. Karenanya dia memutuskan kembali untul bekerja, kembali
mengukir di rumah.
Kondisi saat ini berbeda dengan dulu. Permintaan untuk menyelesaikan ukiran tak
datang sesering dulu. Kalaupun ada hanya ukiran-ukiran untuk mebel minimalis.
Tentunya dengan bayaran yang berbeda jika dibandingkan dengan mebel ukiran
penuh.
Pendapatan Umi digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Suaminya
memang masih ada dan saat ini merantau di luar kota tapi kiriman uang dari
suaminya tak datang setiap bulan. Karena itulah pendapatannya dari mengukir
sangat membantu pemenuhan kebutuhan keluarganya.
Mengingat semua yang sudah dilaluinya, ibu dua anak itu menghela nafas. Dia
mengatur memegang dadanya sambil melihat punggung anak sulungnya yang
berlalu masuk ke kamar. Berharap api yang telah tersulut lekas mereda.
--
Berhari-hari setelah pertengkaran antara ibu dan anak tersebut keduanya masih
terlibat dalam perang dingin. Sang ibu tetap menyiapkan semua kebutuhan anaknya
sebagaimana biasa. Begitu pula si anak masih beraktivitas bagaimana biasanya.
Namun komunikasi antara keduanya tidak berjalan lancar. Hanya berbicara
sekenanya saat ada yang harus dikatakan.
Hingga suatu hari di sekolah, Ara dipanggil oleh gurunya ke kantor. Gurunya
menunjukkan sebuah artikel di koran lokal yang memuat cerita tentang ibunya.
Guru yang juga merupakan wali Ara tersebut sama bersemangat menunjukkan foto
ibunya. Dia juga tampak bersemangat membaca deretan kisah yang tertulis di sana.
Guru itu bertanya kepada Ara tentang bagaimana keseharian keluarganya.
Khususnya tentang ibu yang kisahnya dimuat di koran yang kini sedang dibaca oleh
guru tersebut.
Tak sebagaimana gurunya yang bersemangat, Ara justru tidak tertarik untuk
membahas tentang ibunya. Baginya apa yang dilakukan dengan ibunya serta kisah
keluarganya yang dituturkan ibunya di koran bukanlah sesuatu yang harus
dibanggakan. Dia bahkan merasa sebaliknya. Ara malu ketika aktivitas ibunya dan
kisah keluarganya diungkapkan pada orang banyak, terlebih muncul di koran.
Karena itulah setelah menjawab semua pertanyaan gurunya dengan sekenanya, Ara
kemudian pamit untuk kembali ke dalam kelas. Pikirannya berkecamuk. Saat
pelajaranpun dia tak bisa berkonsentrasi. Pikirannya jauh menerawang pada apa
yang baru saja dikatakan gurunya tentang ibunya.
Saat tiba di rumah, Ara langsung mencari ibunya. Dia mempertanyakan bagaimana
bisa ibunya bercerita dan masuk koran. Namun dia tak mendapatkan jawaban yang
memuaskan. Umi justru menanggapi pertanyaannya dengan tenang, seolah apa
yang dipertanyakan Ara bukan masalah.
Ara masuk kamar dengan raut wajah tak puas. “Seandainya Ibu tidak menikah muda
dan mau bekerja dengan menggunakan ijazah yang dimiliki pasti kehidupan kami
saat ini berbeda. Dengan kepandaiannya ibu bisa mendapat pekerjaan lebih baik
dengan gaji yang lebih tinggi. Bukan malah pasrah bekerja ngukir dan ngukir,”
kalimat itu menari-nari di pikiran Ara.
--
Beberapa hari setelahnya, saat pulang sekolah Ara melihat rumahnya sudah ramai.
Di depan rumahnya terparkir kendaraan roda empat dengan plat merah.
Dari kejauhan dia juga melihat di ruang tamu rumahnya sudah berkumpul beberapa
orang. Ibunya tampak berbincang dengan orang-orang yang tak dikenalnya itu.
Melihat itu Ara tak mau masuk lewat pintu depan. Dia memutuskan untuk masuk
melalui pintu samping dan langsung masuk ke kamarnya. Dari dalam kamarnya Ara
mencuri dengar apa yang diperbincangkan ibunya dengan orang-orang itu.
Ara sedikit terkejut dengan apa yang didengarnya. Karenanya dia menempelkan
telinganya di daun pintu untuk mendengarkan lebih jelas dan memastikan apa yang
di dengarnya tidak salah.
Mereka yang datang ternyata rombongan dari salah satu instansi pemerintahan di
kota tempat tinggalnya. Dia mendengar ibunya akan diajak untuk mengikuti pameran
di luar kota. Di sana ibunya akan mendapat kesempatan untuk menunjukkan
kepiawaiannya mengukir di atas kayu. Tak main-main, dalam pameran itu akan
dihadiri orang-orang besar. Perwakilan dari berbagai daerah pun akan turut
menyaksikan apa yang dilakukan ibunya.
Hari keberangkatannya sudah ditentukan. Satu pekan dari sekarang. Mereka
meminta Ibu Ara untuk bersiap.
Sampai akhirnya rombongan tamu itu pulang, Ara masih tak mau ke luar kamar. Dia
masih mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Dia masih tak percaya
dengan apa yang didengarnya. Dia memikirkan itu hingga malam. Hingga terlelap
pun, pikiran tentang ibunya dan apa yang akan dilakukannya tetap mengusik. Masuk
lewat mimpinya.
--
Hari keberangkatan Umi untuk mengikuti pameran di luar kota sebagaimana yang
dijadwalkan akhirnya tiba. Sore itu Umi dijemput rombongan yang sama, seperti
yang datang sebelumnya.
Setelah berpamitan dengan Ara dan adiknya, menitipkan keduanya dengan tetangga
sebelah rumah akhirnya ibunya berangkat.
Ara melihat ibunya pergi. Ibunya tampak bahagia. Ini merupakan kali pertamanya
ikut pameran. Dan lagi, di sana dia akan tampil. Tentu membuatnya sangat bahagia.
Namun Ara sendiri terlihat biasa saja. Ara bingung apakah harus merasa senang
atau tidak. Dia masih meraba apa yang akan berubah ketika ibunya melakukan ini
semua.
--
Ara dan adiknya duduk di ruang tamu rumahnya. Di sana ada beberapa tetangganya
yang ikut berkumpul.
Hari ini adalah hari kedua setelah Umi pergi ke acara pameran. Hari ini ibunya
dijadwalkan untuk unjuk kebolehan sebagai salah satu pengukir perempuan
kebaanggan Kota Ukir. Berdasarkam informasi yang diterima dari rombongan
sebelum pergi, acara itu akan disiarkan secara langsung lewat kanal YouTube
gelaran acara tersebut.
Karena itulah, saat ini Ara sudah bersiap dengan handphone di tangan. Bersiap
menyaksikan penampilan Umi di salah satu sesi acara.
Setelah beberapa sesi terlewat, akhirnya ibunya tampil. Ibunya tampak berbeda.
Tidak lagi mengenakan pakaian lusuh sebagaimana saat bekerja di rumah, ibunya
hari ini berpakaian kebaya warna putih. Bawahannya kain batik dengan motif ukir-
ukiran berwarna coklat. Untuk mempercantik penampilannya, rambut Umi disanggul
dan dihiasi dengan bunga dibagian belakang. Make up tipis di wajahnya semakin
membuat penampilan Umi berbeda.
Ara hampir tak mengenali ibunya sendiri. Dengan penampilan istimewa itu, ibunya
mulai menari-narikan jarinya dengan memegang alat pahat. Sesaat kemudian, alat-
alat beradu dengan kayu membentuk pola ukiran yang indah. Di akhir sesi ibunya
mendapat kesempatan untuk berbicara.
“Saya mengukir sejak kecil. Belajar dari orang tua, juga tetangga-tetangga. Dulu
mengukir menjadi aktivitas yang menyenangkan. Karena selain untuk mendapatkan
tambahan uang saku, kami juga bisa bercengkerama dengan para tetangga.
Guyonan ini itu,” tutur Umi mengawali apa yang disaampaikannya.
“Namun zaman terus berubah. Teman-teman seperjuangan yang dulu bersama-
sama belajar mengukir satu per satu mulai pergi. Ada yang berhenti karena sudah
berkecukupan, ada pula yang beralih ke pekerjaan lain. Namun saya tetap ingin
bertahan,” lanjutnya.
“Kadangkala iri juga dengan orang lain, yang punya gaji bulanan. Bekerja ini itu.
Pergi dengan dandanan rapi. Beda dengan saya yang bekerja di rumah tak sempat
memikirkan penampilan. Tapi sekali lagi, saya mencintai pekerjaan ini. Pekerjaan
yang sudah turun temurun menghidupi keluarga kami. Memang tidak bisa membuat
saya kaya, tapi bisa membuat keluarga saya makan setiap harinya. Saya bisa
bekerja dengan bahagia sambil memasak di rumah, menyiapkan makanan dan
memastikan mereka makan dengan baik itu sudah lebih dari cukup,” tuturnya.
Kalimat ibunya membuat Ara berlinang air mata. Seketika dia terisak. Dia ingat jelas
bagaimana memperlakukan ibunya. Membenci ibunya hanya karena ibunya tak
berpakaian rapi dan bekerja di luar rumah dengan penghasilan tinggi sebagaimana
ibu teman-temannya.
Ara semakin menyesal saat mengetahui, apa yang dikerjakan ibunya bukanlah hal
yang remeh sebagaimana yang dipikirkannya selama ini. Keterampilan ibunya begitu
dihargai. Dan ibunya terlihat sangat bahagia.
Seketika muncul rasa bangga pada sosok yang telah melahirkannya itu. Rasa yang
hampir tak pernah terlintas di pikirannya. Dia tak lagi ingin membandingkan ibunya
dengan orang lain. Baik penampilan maupun pekerjaannya.
Ara melihat ibunya tersenyum berkali-kali. Hal yang tak pernah dilihatnya beberapa
tahun terakhir setelah ayahnya tak lagi rutin pulang ke rumah.
Ara mengusap layar hand phonenya. Berusaha mengelus wajah ibunya yang terlihat
sangat cantik.
Ara kembali menangis. Ingin rasanya segera bertemu ibunya, meluapkan
penyesalannya dengan memeluk ibunya dalam-dalam. Hal yang tak pernah
dilakukannya beberapa tahun terakhir pula.*

*Femi Noviyanti
Lahir di Jepara 20 November. Pernah menjadi jurnalis di koran lokal (2013-2020)
dan saat ini mengajar di salah satu Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Kudus. Selain
mengajar juga aktif menulis di blog pribadi. Beberapa kali tulisan diterbitkan dalam
antologi fiksi. Yang terbaru tulisan berjudul ‘Rona’ dalam Buku Romansa Kehidupan
(Vamedia 2021), ‘Musim Tulip’ dalam Buku Si Bunga (Salisma Project 2021), dan
‘Butuh Umpan untuk Memancing Ikan’ dalam Buku Merenda Kisah Sang Pencerah
(Dandelion Publisher 2022). Bisa dihubungi melalui instagram @femmynovia.

Anda mungkin juga menyukai