Yuwna Cheese
www.nekocheesepoi.com
JUM’AT BERKAH
Chapter 3: Rencana Malam
Minggu
Cahaya hangat dari ufuk timur kian naik mengawali pagi. Langit perlahan
membuang kelamnya gelap malam. Mengundang suara kokok ayam dari
berbagai sudut desa Rambutan. Satu per satu lampu di setiap rumah mulai
padam seiring naiknya cahaya pagi. Embun yang melekat di rumput terlihat
berkilauan menyejukkan mata. Dedaunan hijau serta luasnya sawah menjadi
pemandangan tak asing lagi yang bisa terlihat di desa Rambutan.
Asep dan Yusuf memutuskan untuk pulang lebih dulu karena ada yang harus
mereka kerjakan pagi ini. Kenzie dan yang lain pun sama. Kenzie mengatakan
bahwa ia harus membantu ayahnya bersiap-siap untuk berangkat ke pasar.
Finza mengatakan bahwa ia harus segera pulang untuk membantu di rumah.
Charel bilang bahwa ia harus memetik beberapa buah kelapa untuk jualan es
kelapa sang ibu di warung, dan Ryan bilang dia harus tidur lagi
membereskan halaman belakang dan gudang di rumahnya.
Tinggal Alsera berdua dengan nenek. Wanita tua itu sedang di dapur
memasakkan makanan untuk sarapan pagi ini. Sedangkan si gadis kota
sedang duduk di depan perapian sekaligus kompor berbahan kayu bakar di
dapur nenek, dan nenek sesekali mengomeli Alsera karena menghalangi
keleluasaannya untuk memasak. Alsera hanya ber-hm pelan sambil
menggeser badannya. Ia masih ngantuk, sungguh kemarin malam adalah
malam yang luar biasa menegangkan sekaligus seru hingga membuatnya lupa
waktu jika tidak mengingat nenek kapan pulang.
1
“Hoahm... nenek pulang jam berapa?” tanya Alsera, ia mengusap
wajahnya pelan, menghilangkan kantuk yang masih terasa walau tidak
berpengaruh.
“Pas nenek ke sana tetangga nenek sakitnya parah, nenek nginep aja
kasian soalnya”
“Kau ini tidur jam berapa, hm? Jam segini masih ngantuk”
Nenek melirik Alsera yang kelihatan jelas masih mengantuk, lalu mengangkat
masakannya dan meletakan panci itu tidak jauh dari perapian.
“Aw!” Gadis itu memekik sakit, rasa kantuk yang sedari ditahan hilang
seketika.
Alsera menggeleng cepat. Baru satu kali saja kepalanya nyut-nyutan bukan
main, apalagi berkali-kali bisa habis dia.
2
“Udah. Ayo makan,” ajak nenek, ia menyerahkan sebuah piring kosong
pada Alsera, menyuruh gadis itu mengambil sendiri porsi makannya.
Suasana begitu tenang, suara dari sisa kayu yang dilalap api mendominasi
indera pendengar. Dentingan dari sendok dan piring yang beradu terdengar
jelas. Sesekali Alsera melirik nenek yang makan menggunakan tangan
langsung. Tidak memakai sendok atau garpu. Jujur saja, Alsera belum pernah
makan menggunakan tangan langsung. Di rumah, Alsera hanya
menggunakan sendok, garpu, dan juga pisau jika ia makan daging.
Setelah makan selesai, nenek mengatakan pada Alsera bahwa ia akan pergi ke
kebun sebentar untuk memetik beberapa sayuran dan jika Finza dkk
mengajaknya main keluar, jangan lupa untuk mengunci pintu. Alsera
mengangguk paham, kemudian menutup pintu begitu nenek pergi. Ia
menonton tv sendiri di dalam.
Gadis itu naik ke atas sofa, duduk, iris citrine-nya melihat ke luar. Sawah
membentang luas berwarna hijau. Langit biru di atas bersama cahaya mentari
3
menyinari sawah menambah keindahan yang Alsera lihat. Angin berhembus
pelan memasuki ventilasi rumah nenek membelai helaian hitam Alsera.
Sudah lewat kemarin sejak Alsera tidak membuka laptop dan berhubungan
dengan Eirine dan Lia. Ia juga tidak mengabari orang tuanya, ahh semoga
supir memberitahu mereka bahwa Alsera ada di sini dan baik-baik saja. Gadis
itu terpejam sejenak merasakan angin yang membelainya dari ventilasi rumah
nenek sebelum kembali menatap hamparan sawah.
Ah! Air mata menetes tanpa sadar. Alsera buru-buru mengusap matanya,
namun air mata tetap mengalir menuruni pipi. Bersama suara tv, isakan
terdengar. Isakan tangis dari gadis yang kini membelakangi jendela. Alsera
benar-benar tidak menyukai sisi dirinya yang begitu rapuh ini.
...........................................................................................................................................
Gadis itu berhenti menangis setelah lewat beberapa menit, matanya sembab
dan sedikit merah. Alsera berjalan ke kamarnya, berbaring.
4
“Huft,” menangis membuatnya sedikit lega, seperti beban pikiran yang ia
buat sendiri tadi menguap entah kemana. Ia melamun cukup lama sebelum
pandangannya menangkap laptop miliknya yang ia simpan di sudut kamar.
Benda itu terasa dingin dan agak berdebu begitu Alsera menyentuhnya.
Sudah sejak kemarin Alsera tidak membuka benda ini. Rasanya rindu juga.
“Ini udah siang,” ucap Alsera sambil mengunci pintu, “kalian mau
kemana? Aku ngikut aja”
“Yah, kita keliling aja kuy. Ke rumah Ryan, Kenzie, terus liat-liat sawah,
gimana?”
5
“Boleh,” jawab Alsera, ia tersenyum. Kemudian menatap Finza, gadis
itu diam saja daritadi dan hanya mengikuti ia dan Charel. Kenapa? Pikir
Alsera.
“Iya?”
“Makasih”
Alsera terkekeh geli melihat kelakuan dua sahabat itu. Sedangkan Finza
tertawa, mengatakan bahwa ada yang sedikit mengganggu pikirannya.
“Tapi gak usah dipikirin. Gak terlalu penting haha,” ucap Finza di sela
tawanya.
Ketiga gadis itu berjalan ditemani hembus angin pagi yang menerbangkan
helaian rambut mereka. Sembari berjalan ketiganya saling bertukar cerita
tentang pedesaan dan kota dimana Alsera tinggal. Alsera mengatakan bahwa
di kota tidak setenang di desa, banyak klakson mobil dan motor yang
berbunyi, banyak hiruk pikuk orang-orang di trotoar. Berbeda dengan
pedesaan yang tenang, di pagi hari bisa merasakan sejuknya pemandangan
sawah, merasakan angin yang meniup lembut di setiap hari, dan yang
terpenting perapian yang hangat di dapur nenek. Alsera sangat menyukai
tempat itu, hangat. Jika dinginnya pagi menyambut hari, Alsera selalu
menghangatkan diri di depan perapian.
“Ahh hangat sekali pokoknya, aku suka di sana walaupun nenek selalu
marah karena aku ngehalangin dia buat masak hehe.” Alsera tertawa
kecil.
Charel dan Finza secara tidak langsung melihat Alsera seperti kucing
pedesaan yang selalu mencari kehangatan di depan perapian.
“Em... Alsera gak gitu juga,” sebulir keringat muncul di pipi Finza.
“Nggak. Itu di depan,” Charel menunjuk sebuah rumah yang tak jauh
dari mereka.
7
“Hoo jadi ini rumah Ryan,” gumam Alsera begitu sampai di depan
rumah Ryan.
Pintu terbuka, Ryan keluar dengan baju yang kotor oleh debu juga sedikit
basah. Ia menatap ketiga temannya yang mendadak datang.
“Gak keren. Gak usah sok keren,” Finza menohok Ryan dengan
ucapannya.
“Hayu masuk,” ajak Charel. “Minggir, Yan. Bau keringat,” ucap Charel
sembari mendorong Ryan. Lalu masuk diikuti Alsera dan Finza.
Di dalam, ketiga gadis itu duduk tanpa dipersilahkan oleh tuan rumah yang
masuk paling akhir.
“Yang ben-“
8
Tak berapa lama, pemuda itu kembali ke ruang tamu dengan segelas teh
manis dingin. Ryan meletakkannya di meja. Tepat di depan Alsera.
Detik itu juga Ryan harus merasakan akibat dari ucapannya. Alsera hanya
diam menikmati teh manis dingin buatan Ryan, ia tampak kalem di tengah
keributan.
.-.
“Yaudah,” ucap Ryan bangkit dari posisi duduknya. “Aku lanjut beres-
beres dulu di belakang,” lanjut pemuda itu. Ia berjalan ke arah belakang
menuju gudang rumahnya.
“Ngapain ngikut-ngikut?!”
“Alsera, kuberitahu hal yang paling tidak berguna di dunia ini setelah
beban orang tua.” Ryan menatap serius.
“Apa tu?”
Alsera, Charel, dan Finza akhirnya terusir dari rumah Ryan. Saat ini mereka
berjalan bertiga sembari melihat-lihat sawah baru. Tanaman padi itu nampak
mungil karena belum tumbuh. Mereka juga melihat kemana kaki mereka
menginjak. Takutnya nginjak tai ayam.
“Wah wah, Alsera. Jangan-jangan kau sudah mulai betah di sini dan gak
mau pulang, ya?” goda Charel.
“Jahat. Ah, itu rumah Kenzie,” ucap Charel sembari menunjuk ke arah
rumah berwarna tosca.
“Walah, ini ya... hmm wangi masakan.” Hidung Alsera mencium bau
enak dari dalam rumah Kenzie, “Kenzie suka bantuin masak-masak, ya?”
“Iya, apalagi sekarang hari jum’at. Dia juga bantuin persiapan ayahnya
yang berangkat ke pasar,” jelas Finza.
“Yo, Neng, Charel, Fin aya naon euy? Lagi masak aing”
10
“Curut,” ucap Kenzie melihat kelakuan Charel
Alsera ikut masuk menyusul Charel. Kini hanya tersisa Finza di luar, gadis itu
tampak canggung. Entah kenapa. Pemuda dengan centong sayur itu menatap
heran sebelum memutuskan untuk memanggil gadis di depannya.
“Fin”
“Kau gak ikut masuk?” Kenzie mendekat satu langkah menyadari ada
yang aneh dari Finza, “kau lagi ada masalah? Gak kayak biasanya”
Finza mundur satu langkah sebelum menjawab, “Gapapa aing. Naon sih
deket-deket gel-“ ucapan Finza terpotong merasakan sesuatu menyentuh
pipinya.
Ujung sendok sayur Kenzie yang berbahan kayu, menempel di pipi manis
Finza. Iris sewarna emas pemuda itu menatap gadis di depannya yang gagal
bereaksi.
“Kalau ada apa-apa tuh bilang, jangan dipendem terus. Kau pikir aku
ini siapa sampai gak sadar ada yang beda darimu, ha?”
11
“SOK TAU!”
.
.
.
“Halo, Bi”
“Bikin kue buat nanti ayah Kenzie bawa,” jawab ibu Kenzie. “Oh, iya.
Kenzie mana? Dia bikin agar-agar tapi kok ditinggal, sih. Kemana anak itu?”
“Ampun, Ma”
12
Wanita setengah baya itu memberikan beberapa bahan pada Alsera yang
tampak kebingungan.
Jangankan bikin kue, menyentuh peralatan memasak saja Alsera tidak pernah.
Ia bahkan belum pernah menyalakan atau mematikan kompor. Semuanya
selalu dikerjakan pelayan di rumah. Alsera hanya tau jadinya saja.
“Ayo, Ra. Kau mau bikin kue apa?” tanya Charel, gadis itu tampak
antusias.
“Tenang Alsera, ada Finza. Dia sering bikin kue sama mamanya, di sini
juga sering bantuin sama Charel kadang.” Kenzie yang sedari tadi sibuk
dengan agar-agarnya ikut masuk dalam obrolan.
“Kukis cokelat”
“Cokelatnya di kulkas”
13
.,.
Gadis kota itu keluar rumah sembari membawa sebuah bungkusan setelah
berpamitan pada wanita setengah baya dan juga remaja laki-laki yang tampak
seumuran dengannya.
“Gak apa-apa, Neng. Lagian tadi juga kamu langsung beres beres,
padahal mah santai aja haha”
Ibu Kenzie tidak kuat menahan tawa. Hanya membuat kukis cokelat bisa
sampai seheboh itu. Mulai dari tepung yang berantakan, mixer yang bergerak
tak terkendali, dan cokelat yang diam-diam Charel habiskan.
14
“Mampir lagi ya, Neng” ibu Kenzie tersenyum ramah.
“Ah, tapi jangan banyak-banyak deh. Nanti nenek kena gula darah”
“Iya, dong hehe.” Alsera tertawa kecil sebelum melanjutkan, “tapi tadi
seru juga diajarin bikin kue gitu. Aku belum pernah masak padahal, tapi
hasilnya kok enak, ya?”
“Coba lain kali kau bikin sendiri, terus cobain. Enak apa malah jadi
racun”
Niat hati bercanda, Charel malah serius menanggapi. Gadis itu menjawab
pertanyaan asal Alsera. Menceritakan apa yang pernah ia alami.
.,.
“Dadah Alsera,” pamit Charel sembari melambaikan tangan.
Gadis bersurai biru gelap itu nyengir sebelum berkata, “Nanti kau
nyasar terus diculik. Bahaya, Ra”
Charel berjalan menjauh. Iris citrine Alsera menatap punggung gadis itu yang
kian mengecil karena jarak tak lagi dekat. Kemudian ia masuk ke dalam
sembari memikirkan ucapan Charel sewaktu cerita tadi.
“Mungkin karena aku lagi lapar, rasa sandal yang masuk ke mulutku itu jadi
kayak bakso”
.........................................................................................
Jarum jam menunjukkan pukul 11:30 am, di siang hari ini tampak Kenzie
berjalan bersama Ryan, Yusuf, dan Asep untuk pergi ke masjid bersama-sama.
Mereka mengobrol di sepanjang perjalanan.
16
“Tadi juga mereka mampir ke rumahku,” ujar Ryan. “Gangguin orang
beres-beres”
“Mereka tadi bikin kue, sampe berantakan ahaha. Lucu banget, apalagi
si Finza anjir muka na penuh tepung b*ngs*t BHAHAHAHA”
“Sadar, Ken. Masih muda kau itu.” Ryan mengusap punggung Kenzie,
“Jangan stress dulu”
“Hm?”
“Aing mau tau, kau itu suka sama Finza, ya?” tanya Yusuf mendadak,
membuat Kenzie hampir tersedak saliva-nya sendiri, “kulihat akhir-
akhir ini kau sering godain dia”
17
“Eh.” Yusuf menoleh menatap Kenzie.
“Finza, Charel, Amanda, Icih, Ecih, dan Alsera aku suka semuanya, dan
yang paling kusuka-“
Buak!
Pukulan tangan Yusuf menyapa pipi Kenzie, tidak sia-sia Yusuf menggaruk
pantatnya jika begini akhirnya.
...........................................................................................................................................
.........................................................................................
Angin siang hari ini terasa lebih sejuk dari biasanya. Mentari bersinar malu-
malu di antara awan putih berlatar langit biru yang membentang luas. Suara
gemerisik dedaunan beradu tertiup angin terdengar memasuki indera
pendengar keempat remaja yang sedang berjalan bersama menuju rumah
nenek.
Keheningan menguasai mereka, baik Kenzie, Ryan, Charel, dan Finza tidak
ada yang memulai percakapan. Empat sahabat itu sibuk dengan pikirannya
masing-masing. Finza termenung memikirkan apa yang akan terjadi
kedepannya. Charel yang memikirkan Finza, ‘Kunaon, sih, Finza?’ sembari
sesekali melirik gadis itu. Lalu Ryan dan Kenzie yang memikirkan hal tidak
jelas seperti, ‘Bagaimana jika durian tanpa duri? Apa namanya akan tetap durian?’
‘Bagaimana jika rambutan tanpa rambutnya? Apa tetap akan disebut rambutan?’
18
“Ngusir laler?” Ryan menatap bingung Finza.
“Ribut, yuk” ajak Finza, “hayang banget aing hajar orang.” Gadis itu
tersenyum menatap Ryan dan Kenzie.
Kedua pemuda itu mengalihkan pandangan pada hal lain selain Finza,
mereka berpura-pura sibuk sambil bersiul.
“Eh, kalian!”
Sebuah sapaan dari suara yang mereka kenal membuat mereka melihat ke
arah sumber suara. Tak jauh dari mereka Alsera sedang berjalan bersama
neneknya. Kenzie cs berhenti, menyapa balik Alsera.
Alsera berhenti berjalan tepat di depan Kenzie cs, sedangkan nenek tetap
melangkahkan kakinya melewati sekumpulan remaja itu.
19
“Btw Ken,” Alsera melihat Kenzie yang menjawab panggilannya, “kata
Finza kau setiap hari Jum’at bantuin ayahmu persiapan, ya? Gimana,
tuh? Beres?”
“Beneran?”
“Iya, Ra. Kenzie tu anak kebun sayur terluas di desa ini, dan bapaknya
itu ngejual sayurnya di pasar. Dia pekerja keras. Suruhannya banyak
pisan,” jelas Ryan.
“Waaa hebat!”
“Hm, gimana kalo kita juga ikut atuh?” saran Kenzie, “kita udah lama
juga gak ke kost di sana”
“Boleh boleh, mumpung libur plus besok malam minggu ‘kan, hehe”
Ryan setuju.
“Hayu>< udah lama gak ketemu Teh Sarwa juga.” Charel tersenyum
gemas mengingat rindunya dia pada Teh Sarwa.
“Fin?”
Panggilan dari Alsera menyadarkan Finza yang seperti pindah alam untuk
sesaat. Gadis dengan rambut sewarna coklat karamel itu memandang teman-
temannya dengan wajah kikuk. Senyum paksa diberikan sebelum ia berbicara.
“Teh Sarwa kan emang udah tunangan, masa dia kaget sama itu.
Bukannya dia juga dengar pas Teh Sarwa cerita?”
21
Iris sewarna cokelat hangat memandang Finza yang tak lagi nampak dalam
penglihatan.
.,.
Gadis itu terus berlari tanpa arah tujuan, mengabaikan rasa lelah yang sudah
menyapa kaki. Iris green tea mulai berkaca-kaca, mengingat pembicaraan yang
terjadi antara dirinya bersama orang tuanya.
Tadi pagi. . .
22
Finza tidak mau itu terjadi. Namun masalahnya hanya satu, lelaki itu belum
melupakan masa lalunya.
Kembali ke saat ini. . .
Finza berhenti berlari. Bersandar pada sebuah pohon. Napasnya
terengah-engah antara lelah dan emosi yang menyesakkan dada. Air
mata telah mengalir mulus menuruni pipi.
“Kenapa...”
Suara gadis itu terdengar lirih diantara hembusan angin.
“KENAPA JADI KAYAK SINETRON, BANGST”
Teriakan emosi terlontar lepas dari mulut Finza, namun belum
membuat gadis itu berhenti menangis.
Ditemani sang pohon tanpa seorangpun, Finza menangis sesenggukan
sembari memeluk lututnya sendiri. Ia membenamkan wajahnya,
melepas semua emosi yang ia tahan sedari tadi di depan teman-
temannya.
..........................................................................................................................................
....................................................................................
Alsera ragu-ragu mendekati nenek yang sedang menonotn tv. Iris citrine-nya
menatap lekat wanita yang ia sebut nenek itu. Nenek yang menyadari tingkah
laku Alsera, melirik heran gadis itu sesaat sebelum bertanya.
“Kenapa, Ra?” Tanya nenek, “kenapa raut wajahmu aneh gitu? Kayak
mau berak tapi gak jadi”
“Em.. anu” Alsera memulai, “aku.. mau minta izin tapi takut nenek gak
ngizinin” matanya melirik nenek ragu-ragu.
23
Tidak ada jawaban dari nenek, jantung Alsera dag dig dug lebih cepat dari
biasanya menunggu jawaban dari wanita itu.
“Nggak”
“Kalau kau bakalan nakal di sana, tentu nenek larang pergi, Alsera”
nenek tersenyum di akhir kalimat.
“Yah, lagian kau juga udah siap-siap gitu,” nenek melihat tas Alsera
yang diletakkan dekat pintu, “mana mungkin nenek melarangmu”
Kemudian Alsera mengobrol dengan nenek, hingga jam 8 pun tiba. Tepat
pada saat itu, terdengar suara yang memanggil Alsera dari luar. Keduanya
berdiri, membuka pintu, tampak Ryan berdiri di luar sana sambil memegang
senter.
24
“Ish, nenek ni apaan, sih. Aku bukan anak kecil” protes Alsera
mendengar kata titip di ucapan nenek.
“Di mata nenek kau masih anak kecil Alsera,” ucap nenek sebelum
masuk kembali ke rumah.
Di jalan. Alsera dan Ryan berjalan bersama. Ryan membawa senter untuk
menerangi jalan yang mereka pijak, karena malam ini bulan tidak muncul
membiarkan malam menunjukkan gelapnya.
“Ngomong, dong. Jangan diem terus, jadi kerasa horror, nih,” ucap
Ryan tiba-tiba.
“Aku kalah gunting batu kertas sama yang lain,” jawab Ryan seadanya.
25
“Oh, iya, di sana tuh ada kost. Kebanyakan yang nempatin juga masih
pada sekolah. Deket kok sama pasar, ada indoapril juga di depan kost-
nya, terus di sisi indoapril ada warung yang biasa dipake buat
nongkrong sama amang-amang yang habis kerja atau anak-anak yang
begadang pas malam minggu” jelas Ryan panjang lebar.
“Iya, tapi gak sekasur. Finza sama Charel di kasur, aku sama Kenzie di
bawah, kasur lantai.” Ryan melirik Alsera sejenak, “jangan pasang
wajah mesum Alsera, pintunya gak dikunci karena Teh Sarwa suka
ngebangunin pas subuh”
“Yah, kadang aku sama Kenzie gak tidur, sih” Ryan kembali
melanjutkan, “kadang begadang sampe pagi sama anak-anak yang lain”
“Haha,” Ryan tertawa garing, “ya.. kita naik mobil ss bareng sayur”
26
“Mang Ken lupa nyuruh anak buahnya buat berangkatin sayur duluan,
jadi ya gini, deh”
Krak. Bayangan keren yang terlintas di pikiran Alsera beberapa jam yang lalu
hancur. Mang Ken duduk di kursi supir memakai kemeja belang-belang
dengan dua kancing teratas dibuka, dipasangkan dengan celana sayur
berwarna hitam.
“Kalian lama amat,” ucap Charel ketika Ryan dan Alsera naik ke bak
mobil.
‘Ayah dan anak sama aja’ batin Alsera mendengar nada menggoda di ucapan
Mang Ken yang tidak ia mengerti tadi.
Alsera masih tetap diam, ia menyimak obrolan keempat sahabat yang tampak
menyenangkan. Mereka mengobrol tentang apa yang akan mereka lakukan
nanti dan apa yang sudah terjadi hari ini.
“Oh, iya... suruhan Mang Ken... mana?” Alsera bertanya, tampak kaku.
27
“Hoo mereka disuruh duluan tadi berangkat pake motor dan bawa
barang semampunya,” jelas Kenzie, mendapat anggukan dari Alsera.
“Oh, gitu”
“Yap, nyaman dan bikin enak,” timpal Finza dari sisi lain Charel.
Senyum hangat terukir di wajah manis Alsera, obrolan ringan kelima orang
ini pun berlanjut. Mang Ken yang menyupiri sesekali tertawa, senyum, dan
menimpali obrolan mereka. Alsera tertawa lepas, tidak ada rasa menyesal
yang hinggap di hati kala ia memutuskan untuk menghabiskan liburannya di
kampung halaman nenek tersayangnya. Desa Rambutan.
28
1
603
21
Yu
wn
a
Chapter 3
En
d
29