Anda di halaman 1dari 30

16/12/2020

Yuwna Cheese
www.nekocheesepoi.com

JUM’AT BERKAH
Chapter 3: Rencana Malam
Minggu
Cahaya hangat dari ufuk timur kian naik mengawali pagi. Langit perlahan
membuang kelamnya gelap malam. Mengundang suara kokok ayam dari
berbagai sudut desa Rambutan. Satu per satu lampu di setiap rumah mulai
padam seiring naiknya cahaya pagi. Embun yang melekat di rumput terlihat
berkilauan menyejukkan mata. Dedaunan hijau serta luasnya sawah menjadi
pemandangan tak asing lagi yang bisa terlihat di desa Rambutan.

Alsera Azrine mengawali paginya dengan terkantuk-kantuk, nenek


membangunkan dirinya dan yang lainnya jam 4 subuh tadi. Mengajak mereka
semua beribadah dan tidak memperbolehkan mereka tidur lagi.

Asep dan Yusuf memutuskan untuk pulang lebih dulu karena ada yang harus
mereka kerjakan pagi ini. Kenzie dan yang lain pun sama. Kenzie mengatakan
bahwa ia harus membantu ayahnya bersiap-siap untuk berangkat ke pasar.
Finza mengatakan bahwa ia harus segera pulang untuk membantu di rumah.
Charel bilang bahwa ia harus memetik beberapa buah kelapa untuk jualan es
kelapa sang ibu di warung, dan Ryan bilang dia harus tidur lagi
membereskan halaman belakang dan gudang di rumahnya.

Tinggal Alsera berdua dengan nenek. Wanita tua itu sedang di dapur
memasakkan makanan untuk sarapan pagi ini. Sedangkan si gadis kota
sedang duduk di depan perapian sekaligus kompor berbahan kayu bakar di
dapur nenek, dan nenek sesekali mengomeli Alsera karena menghalangi
keleluasaannya untuk memasak. Alsera hanya ber-hm pelan sambil
menggeser badannya. Ia masih ngantuk, sungguh kemarin malam adalah
malam yang luar biasa menegangkan sekaligus seru hingga membuatnya lupa
waktu jika tidak mengingat nenek kapan pulang.

1
“Hoahm... nenek pulang jam berapa?” tanya Alsera, ia mengusap
wajahnya pelan, menghilangkan kantuk yang masih terasa walau tidak
berpengaruh.

“Jam setengah 4,” jawab nenek singkat sembari mengaduk-ngaduk


masakannya, kemudian mencicipinya sedikit.

“Emang ngapain aja, Nek? Sampai nginap segala”

“Pas nenek ke sana tetangga nenek sakitnya parah, nenek nginep aja
kasian soalnya”

“Hmmm gitu,” Alsera menopang dagu dengan lututnya, ia menatap


nenek yang duduk di depan perapian sambil masih mengaduk-ngaduk
masakan di atas kompor.

“Kau ini tidur jam berapa, hm? Jam segini masih ngantuk”

Nenek melirik Alsera yang kelihatan jelas masih mengantuk, lalu mengangkat
masakannya dan meletakan panci itu tidak jauh dari perapian.

“Hmmm,” Alsera menggumam, “jam berapa, ya” gadis itu mengingat-


ngingat, “lewat jam 1 kayaknya”

Sebuah sendok sayur mendarat mulus di antara surai hitam Alsera.

“Aw!” Gadis itu memekik sakit, rasa kantuk yang sedari ditahan hilang
seketika.

“Mau ngulangi lagi?” tanya nenek, matanya menatap Alsera dengan


tatapan kasih sayang menuntut.

Alsera menggeleng cepat. Baru satu kali saja kepalanya nyut-nyutan bukan
main, apalagi berkali-kali bisa habis dia.

2
“Udah. Ayo makan,” ajak nenek, ia menyerahkan sebuah piring kosong
pada Alsera, menyuruh gadis itu mengambil sendiri porsi makannya.

Alsera mengangguk, sebelah tangannya masih mengusap-ngusap kepala yang


masih terasa sakit.

Mereka makan dalam hening, nenek juga biasanya tidak memperbolehkan


mereka makan sambil bicara atau kalo tidak, sebuah sendok sayur akan
menyapa kepala lagi.

Suasana begitu tenang, suara dari sisa kayu yang dilalap api mendominasi
indera pendengar. Dentingan dari sendok dan piring yang beradu terdengar
jelas. Sesekali Alsera melirik nenek yang makan menggunakan tangan
langsung. Tidak memakai sendok atau garpu. Jujur saja, Alsera belum pernah
makan menggunakan tangan langsung. Di rumah, Alsera hanya
menggunakan sendok, garpu, dan juga pisau jika ia makan daging.

‘Hmm gimana rasanya, ya?’ batin Alsera.

Setelah makan selesai, nenek mengatakan pada Alsera bahwa ia akan pergi ke
kebun sebentar untuk memetik beberapa sayuran dan jika Finza dkk
mengajaknya main keluar, jangan lupa untuk mengunci pintu. Alsera
mengangguk paham, kemudian menutup pintu begitu nenek pergi. Ia
menonton tv sendiri di dalam.

‘Ahhh~ suasananya enak sekaliiii’ batin Alsera, ia berguling tanpa sadar


hingga mengaduh pelan karena menabrak sofa.

“Aduh~” Alsera memegang keningnya yang lebih dulu kejedot sofa,


“suasananya tenang sekali”

Gadis itu naik ke atas sofa, duduk, iris citrine-nya melihat ke luar. Sawah
membentang luas berwarna hijau. Langit biru di atas bersama cahaya mentari

3
menyinari sawah menambah keindahan yang Alsera lihat. Angin berhembus
pelan memasuki ventilasi rumah nenek membelai helaian hitam Alsera.

“Kalau udah menguning pasti tambah bagus,” ucap Alsera berbicara


sendiri, “jadi pengen lihat”

Alsera diam, ia melamun sembari tetap menatap hamparan sawah di depan


rumah nenek. Tv ia biarkan menyala, suaranya mengisi keheningan dalam
rumah.

Sudah lewat kemarin sejak Alsera tidak membuka laptop dan berhubungan
dengan Eirine dan Lia. Ia juga tidak mengabari orang tuanya, ahh semoga
supir memberitahu mereka bahwa Alsera ada di sini dan baik-baik saja. Gadis
itu terpejam sejenak merasakan angin yang membelainya dari ventilasi rumah
nenek sebelum kembali menatap hamparan sawah.

Alsera jadi berpikir.

Bagaimana jika ia tidak lahir di kota melainkan di desa?


Apa ia akan bertemu dan berteman akrab dengan Kenzie dkk?
Apa ia akan bertingkah polos saat melihat sebuah hp android seperti Charel dkk?
Apa ia akan... mendapat perhatian dari orang tuanya?
Apa kedua orang itu tidak akan sibuk bekerja seperti sekarang?

Ah! Air mata menetes tanpa sadar. Alsera buru-buru mengusap matanya,
namun air mata tetap mengalir menuruni pipi. Bersama suara tv, isakan
terdengar. Isakan tangis dari gadis yang kini membelakangi jendela. Alsera
benar-benar tidak menyukai sisi dirinya yang begitu rapuh ini.

...........................................................................................................................................

Gadis itu berhenti menangis setelah lewat beberapa menit, matanya sembab
dan sedikit merah. Alsera berjalan ke kamarnya, berbaring.

4
“Huft,” menangis membuatnya sedikit lega, seperti beban pikiran yang ia
buat sendiri tadi menguap entah kemana. Ia melamun cukup lama sebelum
pandangannya menangkap laptop miliknya yang ia simpan di sudut kamar.
Benda itu terasa dingin dan agak berdebu begitu Alsera menyentuhnya.
Sudah sejak kemarin Alsera tidak membuka benda ini. Rasanya rindu juga.

Senyum mengembang, Alsera membuka laptopnya. Ia ingin melepas rindu


pada internet sebelum mendengar suara yang memanggil dirinya dari luar,
menghentikan kegiatannya.

“Iyaaa,” sahut Alsera dari dalam sembari berjalan ke depan, membuka


pintu.

Finza dan Charel tersenyum mendapati Alsera keluar.

“Mau ikut keluar gak, Ra?” tawar Charel.

“Oh, mau kemana? Tumben cuma berdua?”

“Hmm Ryan sibuk beresin belakang rumahnya, Kenzie paling lagi


bantu-bantu masak kalo nggak bantuin ayahnya buat siap-siap ke
pasar,” Charel lagi yang menjawab, Finza tampak hanya diam.
Melamun sepertinya.

“Ini udah siang,” ucap Alsera sambil mengunci pintu, “kalian mau
kemana? Aku ngikut aja”

“Ini jam 8, siang darimana” Charel memukul pelan lengan Alsera.

“Ehehe, sadar juga ternyata”

“Yah, kita keliling aja kuy. Ke rumah Ryan, Kenzie, terus liat-liat sawah,
gimana?”

5
“Boleh,” jawab Alsera, ia tersenyum. Kemudian menatap Finza, gadis
itu diam saja daritadi dan hanya mengikuti ia dan Charel. Kenapa? Pikir
Alsera.

“Finza,” panggil Alsera.

Yang dipanggil menoleh.

“Iya?”

“Kenapa diam aja?” tanya Alsera.

“Tumben, Fin? Aya naon?”

Finza hanya tertawa canggung sebelum menjawab, “Gapapa, kok”

“Udah, sut” Charel merangkul Finza. “Jangan mikirin urang. Urang


tetep di sini, di sisi maneh,” ucap Charel dramatis, mendapat hadiah
getokan tangan dari Finza.

“Makasih”

“Makasih makasih bari mukul sia mah,” omel Charel.

Alsera terkekeh geli melihat kelakuan dua sahabat itu. Sedangkan Finza
tertawa, mengatakan bahwa ada yang sedikit mengganggu pikirannya.

“Tapi gak usah dipikirin. Gak terlalu penting haha,” ucap Finza di sela
tawanya.

Di samping Finza, Charel meng-iyakan ucapan sahabatnya itu walaupun ia


tahu pasti bukan hal sepele.

“Jadi kita mau kemana dulu?” tanya Alsera.

“Kemana ya enaknyaaa?” Charel tampak berpikir.

“Kau mau kita kemana dulu, Ra?” tanya Finza.


6
“Umm,” Alsera tampak berpikir. “Ke rumah Ryan aja, gimana? Aku
penasaran, abis itu ke rumah Kenzie”

“Oke, berangkaaat” Charel memimpin jalan di depan untuk sesaat.

Ketiga gadis itu berjalan ditemani hembus angin pagi yang menerbangkan
helaian rambut mereka. Sembari berjalan ketiganya saling bertukar cerita
tentang pedesaan dan kota dimana Alsera tinggal. Alsera mengatakan bahwa
di kota tidak setenang di desa, banyak klakson mobil dan motor yang
berbunyi, banyak hiruk pikuk orang-orang di trotoar. Berbeda dengan
pedesaan yang tenang, di pagi hari bisa merasakan sejuknya pemandangan
sawah, merasakan angin yang meniup lembut di setiap hari, dan yang
terpenting perapian yang hangat di dapur nenek. Alsera sangat menyukai
tempat itu, hangat. Jika dinginnya pagi menyambut hari, Alsera selalu
menghangatkan diri di depan perapian.

“Ahh hangat sekali pokoknya, aku suka di sana walaupun nenek selalu
marah karena aku ngehalangin dia buat masak hehe.” Alsera tertawa
kecil.

Charel dan Finza secara tidak langsung melihat Alsera seperti kucing
pedesaan yang selalu mencari kehangatan di depan perapian.

“Woww haha,” Finza dan Charel tertawa garing.

“Rasanya aku gak butuh selimut lagi UwU”

“Em... Alsera gak gitu juga,” sebulir keringat muncul di pipi Finza.

“Ahaha, hangat banget soalnya,” Alsera menggaruk belakang


kepalanya. “Ngomong-ngomong, rumah Ryan masih jauh?”

“Nggak. Itu di depan,” Charel menunjuk sebuah rumah yang tak jauh
dari mereka.
7
“Hoo jadi ini rumah Ryan,” gumam Alsera begitu sampai di depan
rumah Ryan.

“Ryaaan,” panggil Charel

Pintu terbuka, Ryan keluar dengan baju yang kotor oleh debu juga sedikit
basah. Ia menatap ketiga temannya yang mendadak datang.

“Naon euy? Aing lagi beberes di belakang.” Ryan menyeka keringat


yang menetes di wajahnya.

“Gak keren. Gak usah sok keren,” Finza menohok Ryan dengan
ucapannya.

“Hayu masuk,” ajak Charel. “Minggir, Yan. Bau keringat,” ucap Charel
sembari mendorong Ryan. Lalu masuk diikuti Alsera dan Finza.

Tangan Ryan mengepal kesal, “Ini rumah siapa bgst”

Di dalam, ketiga gadis itu duduk tanpa dipersilahkan oleh tuan rumah yang
masuk paling akhir.

“Mau minum apa?” tanya Ryan, ia berjalan ke dapur.

“Gak usah repot-repot, Ryan” Alsera menjawab.

“Yang ben-“

“Air putih aja”

“Air putih aja?”

“Campur gula sama teh, yang dingin”

Mendadak terdengar suara benda jatuh-entah dibanting atau dilempar atau


memang jatuh-dari dapur. Finza dan Charel tertawa membayangkan betapa
kesalnya Ryan di dapur.

8
Tak berapa lama, pemuda itu kembali ke ruang tamu dengan segelas teh
manis dingin. Ryan meletakkannya di meja. Tepat di depan Alsera.

“Lah? Cuma satu?” tanya Finza.

“Kan orangnya cuma satu”

“Maksudmu?” Charel menatap heran Ryan.

“Yang dua setan”

Detik itu juga Ryan harus merasakan akibat dari ucapannya. Alsera hanya
diam menikmati teh manis dingin buatan Ryan, ia tampak kalem di tengah
keributan.

‘Manis’ batin Alsera.

.-.

“Yaudah,” ucap Ryan bangkit dari posisi duduknya. “Aku lanjut beres-
beres dulu di belakang,” lanjut pemuda itu. Ia berjalan ke arah belakang
menuju gudang rumahnya.

Mendadak perempatan imajiner muncul tepat di kening. Ryan berhenti


melangkah, ia berbalik.

“Ngapain ngikut-ngikut?!”

“Eh, emang ga boleh?” tanya Finza.

“Aku cuma mau lihat, kok,” celetuk Alsera.

“Alsera, kuberitahu hal yang paling tidak berguna di dunia ini setelah
beban orang tua.” Ryan menatap serius.

“Apa tu?”

“Lihat orang beres-beres tapi gak bantuin”


9
Pukul 09:30 . . .

Alsera, Charel, dan Finza akhirnya terusir dari rumah Ryan. Saat ini mereka
berjalan bertiga sembari melihat-lihat sawah baru. Tanaman padi itu nampak
mungil karena belum tumbuh. Mereka juga melihat kemana kaki mereka
menginjak. Takutnya nginjak tai ayam.

“Sawah di sini bagus ya”

Si gadis kota memulai pembicaraan, tidak mau perjalanan mereka ke rumah


Kenzie playboy karatan hanya ditemani semilir angin.

“Iya emang,” tanggap Finza seadanya.

“Anginnya juga enak, bikin seger”

“Wah wah, Alsera. Jangan-jangan kau sudah mulai betah di sini dan gak
mau pulang, ya?” goda Charel.

“Setelah kupikir-pikir lagi, sawahnya biasa saja. Anginnya juga ga enak”

“Jahat. Ah, itu rumah Kenzie,” ucap Charel sembari menunjuk ke arah
rumah berwarna tosca.

“Walah, ini ya... hmm wangi masakan.” Hidung Alsera mencium bau
enak dari dalam rumah Kenzie, “Kenzie suka bantuin masak-masak, ya?”

“Iya, apalagi sekarang hari jum’at. Dia juga bantuin persiapan ayahnya
yang berangkat ke pasar,” jelas Finza.

“Kenzie!” panggil Charel dari luar.

Pintu terbuka menampilkan Kenzie sedang membawa sebuah sendok sayur.

“Yo, Neng, Charel, Fin aya naon euy? Lagi masak aing”

“Masak naon euy?” Charel masuk nyelonong tanpa dipersilahkan.

10
“Curut,” ucap Kenzie melihat kelakuan Charel

“Permisi, Ken. Nyusul Charel.”

Alsera ikut masuk menyusul Charel. Kini hanya tersisa Finza di luar, gadis itu
tampak canggung. Entah kenapa. Pemuda dengan centong sayur itu menatap
heran sebelum memutuskan untuk memanggil gadis di depannya.

“Fin”

“Euy,” jawab Finza tanpa menatap Kenzie

“Kau gak ikut masuk?” Kenzie mendekat satu langkah menyadari ada
yang aneh dari Finza, “kau lagi ada masalah? Gak kayak biasanya”

Finza mundur satu langkah sebelum menjawab, “Gapapa aing. Naon sih
deket-deket gel-“ ucapan Finza terpotong merasakan sesuatu menyentuh
pipinya.

Ujung sendok sayur Kenzie yang berbahan kayu, menempel di pipi manis
Finza. Iris sewarna emas pemuda itu menatap gadis di depannya yang gagal
bereaksi.

“Kalau ada apa-apa tuh bilang, jangan dipendem terus. Kau pikir aku
ini siapa sampai gak sadar ada yang beda darimu, ha?”

Finza bergeming. Menatap dalam diam pemuda di depannya. Ujung sendok


sayur masih setia menempel di pipi, seolah tidak akan lepas sebelum Finza
menjelaskan ada apa dengannya.

Samar-samar rona pipi muncul mewarnai permukaan kulit. Debaran-entah


apa maksudnya-terasa bertalu dalam diri. Finza memulai sebuah gerakan,
tidak ingin suasana-yang menurutnya-aneh terus berlangsung lama. Dan satu
pukulan mendarat manis di kepala Kenzie.

11
“SOK TAU!”

Tanpa rasa berdosa Finza meninggalkan Kenzie kesakitan di depan pintu.

.
.
.
“Halo, Bi”

Finza menyapa kemudian bersalaman terlebih dahulu dengan ibu Kenzie


sebelum duduk di samping Alsera.

“Yo, Fin.” Ibu Kenzie membalas ramah sapaan Finza. Senyum


mengembang di wajah cantiknya.

“Lagi bikin naon?”

“Bikin kue buat nanti ayah Kenzie bawa,” jawab ibu Kenzie. “Oh, iya.
Kenzie mana? Dia bikin agar-agar tapi kok ditinggal, sih. Kemana anak itu?”

“Tadi yang terakhir di depan Finza, tuh,” celetuk Charel

“Dia masih di depan, gak tau lagi apa”

“Ngapain ngomongin orang ganteng?” tanya asal playboy karatan yang


datang tiba-tiba.

“Itu kata mamamu bikin ager kok ditinggal, bukannya diaduk”

Kenzie melirik Charel sinis, “Kok jadi kau yang ngomel-ngomel?”

“Mau ditambahin sama Mama?”

“Ampun, Ma”

‘Hangatnya suasana di sini’ batin Alsera. Senyum lembut terpatri di wajahnya.

“Neng,” panggil ibu Kenzie. “Mau nyoba bikin kue gak?”

12
Wanita setengah baya itu memberikan beberapa bahan pada Alsera yang
tampak kebingungan.

“E-eh, tapi... tapi aku belum pernah bikin”

Jangankan bikin kue, menyentuh peralatan memasak saja Alsera tidak pernah.
Ia bahkan belum pernah menyalakan atau mematikan kompor. Semuanya
selalu dikerjakan pelayan di rumah. Alsera hanya tau jadinya saja.

“Ayo, Ra. Kau mau bikin kue apa?” tanya Charel, gadis itu tampak
antusias.

“Wey, gak denger aku ngomong apa?” Perempatan imajiner muncul di


kening Alsera, “Aku belum pernah bikin kue. Masak aja gak pernah”

“Tenang Alsera, ada Finza. Dia sering bikin kue sama mamanya, di sini
juga sering bantuin sama Charel kadang.” Kenzie yang sedari tadi sibuk
dengan agar-agarnya ikut masuk dalam obrolan.

“Emm.” Alsera menggaruk belakang kepalanya yang mendadak terasa


gatal. Padahal ia tidak punya kutu.

“Jangan sungkan, Neng. Santuy aja,” ucap ibu Kenzie.

“Ayo, Ra. Mau bikin apa?” Charel kembali bertanya.

Alsera berpikir sejenak.

“Kukis cokelat”

“Gaskeun,” ajak Finza

Ibu Kenzie tersenyum melihat ketiga gadis di depannya sebelum


memberitahu letak bahan yang akan mereka butuhkan.

“Cokelatnya di kulkas”

13
.,.
Gadis kota itu keluar rumah sembari membawa sebuah bungkusan setelah
berpamitan pada wanita setengah baya dan juga remaja laki-laki yang tampak
seumuran dengannya.

“Maaf, Tante. Tadi dapurnya jadi berantakan,” ucap Alsera sebelum


beranjak.

Alsera memasang wajah menyesal. Ia benar-benar tidak menyangka


tangannya sangat tidak berbakat membuka sebungkus tepung untuk
kukisnya tadi. Sehingga menyebabkan dirinya, Finza, dan Charel
bermandikan tepung.

“Gak apa-apa, Neng. Lagian tadi juga kamu langsung beres beres,
padahal mah santai aja haha”

Si playboy karatan tertawa ringan mengingat betapa hebohnya Alsera.

“Wajar saja, kamu baru pertama kali ahaha”

Ibu Kenzie tidak kuat menahan tawa. Hanya membuat kukis cokelat bisa
sampai seheboh itu. Mulai dari tepung yang berantakan, mixer yang bergerak
tak terkendali, dan cokelat yang diam-diam Charel habiskan.

“Ehehe.” Penyebab kehebohan di dapur Kenzie hari ini terkekeh


sembari menggaruk belakang kepalanya. Walaupun sudah beres-beres,
butiran-butiran tepung masih menempel di wajah dan pakaian mereka.

“Yah, yang penting kukisnya jadi,” ucap Finza

“Yoi, enak juga,” Charel menambahkan

“Makasih ya, Tante, Kenzie. Alsera pulang dulu”

14
“Mampir lagi ya, Neng” ibu Kenzie tersenyum ramah.

Alsera tersenyum, kemudian beranjak pergi bersama Charel dan Finza.

“Yo, aku duluan, ya”

“Eh.” Alsera menoleh menyadari Finza berjalan ke arah lain, “Rumah


Finza sama Kenzie bersisian, ya?”

“Iya,” jawab Charel, “mereka tetanggaan”

Finza melambaikan tangan sebelum masuk ke rumahnya. Si gadis kota


membalas dengan senyum manis. Lalu ia dan Charel berjalan bersama.

“Aku mau kasih ini ke nenek, semoga dia suka”

Gadis bersurai hitam itu tersenyum senang, ia menggenggam bungkusan


yang dibawanya dengan hati-hati supaya isinya tidak hancur.

“Ah, tapi jangan banyak-banyak deh. Nanti nenek kena gula darah”

Ucapan Alsera membuat Charel tertawa.

“Ahaha Alsera, kau cucu yang perhatian ya”

“Iya, dong hehe.” Alsera tertawa kecil sebelum melanjutkan, “tapi tadi
seru juga diajarin bikin kue gitu. Aku belum pernah masak padahal, tapi
hasilnya kok enak, ya?”

“Coba lain kali kau bikin sendiri, terus cobain. Enak apa malah jadi
racun”

“Rel, mulutmu belum pernah kemasukkan sandal?”

Niat hati bercanda, Charel malah serius menanggapi. Gadis itu menjawab
pertanyaan asal Alsera. Menceritakan apa yang pernah ia alami.

“Pernah, dulu pas aku sama Finza. Waktu itu...”


15
Melihat raut wajah Charel yang berubah menjadi serius, mau tak mau Alsera
terbawa suasana. Gadis kota itu mendengarkan dengan seksama.

.,.
“Dadah Alsera,” pamit Charel sembari melambaikan tangan.

Alsera membalas, “Makasih, Charel. Padahal gak diantar juga gapapa”

Gadis bersurai biru gelap itu nyengir sebelum berkata, “Nanti kau
nyasar terus diculik. Bahaya, Ra”

Sebulir keringat muncul di pipi Alsera, “Ada-ada aja”

“Yo, balik dulu aku. Mau mandi”

Charel berjalan menjauh. Iris citrine Alsera menatap punggung gadis itu yang
kian mengecil karena jarak tak lagi dekat. Kemudian ia masuk ke dalam
sembari memikirkan ucapan Charel sewaktu cerita tadi.

“Mungkin karena aku lagi lapar, rasa sandal yang masuk ke mulutku itu jadi
kayak bakso”

‘Gak habis thinking’ batin Alsera.

.........................................................................................

Jarum jam menunjukkan pukul 11:30 am, di siang hari ini tampak Kenzie
berjalan bersama Ryan, Yusuf, dan Asep untuk pergi ke masjid bersama-sama.
Mereka mengobrol di sepanjang perjalanan.

“Tadi Finza, Charel sama Alsera ke rumahku,” ucap Kenzie.

“Terus siapa yang kau nikahin?” tanya Asep

“Gundulmu nikah,” sungut Kenzie

16
“Tadi juga mereka mampir ke rumahku,” ujar Ryan. “Gangguin orang
beres-beres”

“Mereka tadi bikin kue, sampe berantakan ahaha. Lucu banget, apalagi
si Finza anjir muka na penuh tepung b*ngs*t BHAHAHAHA”

Kenzie makin menjadi. Menuai tolehan dari teman-temannya.

“Sadar, Ken. Masih muda kau itu.” Ryan mengusap punggung Kenzie,
“Jangan stress dulu”

“Saha ieu? SAHA?!” Asep bersiap-siap membacakan doa untuk oranng


kerasukan.

“Masih eling aing, *nj*ng”

Yusuf menggelengkan kepala melihat kelakuan teman-temannya yang


sudah melewati batas waras.

“Hadeh, kalakuan. Oh iya, Ken,” panggil Yusuf.

“Hm?”

“Aing mau tau, kau itu suka sama Finza, ya?” tanya Yusuf mendadak,
membuat Kenzie hampir tersedak saliva-nya sendiri, “kulihat akhir-
akhir ini kau sering godain dia”

“Haaaa?” Nada dibuat-buat sangat jelas terdengar menyebalkan dari


Kenzie, “apa maksudmu? Dia temanku”

“Justru karena dia temanmu” timpal Asep

Tanda tanya muncul di kepala Kenzie, “Jadi aku harus menyukainya?”

“Yaaa terserah, sih” jawab Yusuf sambil menggaruk pantat. Ehm.

“Aku suka, kok”

17
“Eh.” Yusuf menoleh menatap Kenzie.

“Finza, Charel, Amanda, Icih, Ecih, dan Alsera aku suka semuanya, dan
yang paling kusuka-“

Buak!

Pukulan tangan Yusuf menyapa pipi Kenzie, tidak sia-sia Yusuf menggaruk
pantatnya jika begini akhirnya.

...........................................................................................................................................
.........................................................................................

Angin siang hari ini terasa lebih sejuk dari biasanya. Mentari bersinar malu-
malu di antara awan putih berlatar langit biru yang membentang luas. Suara
gemerisik dedaunan beradu tertiup angin terdengar memasuki indera
pendengar keempat remaja yang sedang berjalan bersama menuju rumah
nenek.

Keheningan menguasai mereka, baik Kenzie, Ryan, Charel, dan Finza tidak
ada yang memulai percakapan. Empat sahabat itu sibuk dengan pikirannya
masing-masing. Finza termenung memikirkan apa yang akan terjadi
kedepannya. Charel yang memikirkan Finza, ‘Kunaon, sih, Finza?’ sembari
sesekali melirik gadis itu. Lalu Ryan dan Kenzie yang memikirkan hal tidak
jelas seperti, ‘Bagaimana jika durian tanpa duri? Apa namanya akan tetap durian?’
‘Bagaimana jika rambutan tanpa rambutnya? Apa tetap akan disebut rambutan?’

“Haaah~” Finza menghela napas tanpa sadar, menuai tolehan dari


ketiga sahabatnya.

“Kunaon, Fin?” tanya Charel.

“Cape, kah? Mau digendong sama aing?” tawar Kenzie.

18
“Ngusir laler?” Ryan menatap bingung Finza.

“Ribut, yuk” ajak Finza, “hayang banget aing hajar orang.” Gadis itu
tersenyum menatap Ryan dan Kenzie.

Kedua pemuda itu mengalihkan pandangan pada hal lain selain Finza,
mereka berpura-pura sibuk sambil bersiul.

“Eh, kalian!”

Sebuah sapaan dari suara yang mereka kenal membuat mereka melihat ke
arah sumber suara. Tak jauh dari mereka Alsera sedang berjalan bersama
neneknya. Kenzie cs berhenti, menyapa balik Alsera.

“Yo,” Ryan melambaikan tangan.

Alsera berhenti berjalan tepat di depan Kenzie cs, sedangkan nenek tetap
melangkahkan kakinya melewati sekumpulan remaja itu.

“Nenek duluan barudak,” ucap nenek.

“Iya, Nek,” sahut Charel mewakilkan teman-temannya.

“Sambil jalan, yuk,” ajak Alsera.

Keempat sahabat itu mengangguk, kemudian mereka mengobrol sembari


berjalan di belakang nenek yang tampak sudah jauh.

“Mau kemana, Ra?” tanya Finza.

“Nenek ngajak aku ke warung.” Alsera tersenyum sebelum


melanjutkan, “aku ngikut aja, hehe. Sekalian mau jajan juga”

Finza mengangguk mengerti sembari menggumamkan ohhh pelan.

19
“Btw Ken,” Alsera melihat Kenzie yang menjawab panggilannya, “kata
Finza kau setiap hari Jum’at bantuin ayahmu persiapan, ya? Gimana,
tuh? Beres?”

Kenzie mengangguk mantap, “Beres, dong. Siap berangkat nanti malem,


mau ikut gak, Neng?” lanjut Kenzie dengan sebuah tawaran meluncur
begitu saja.

“Boleh?” Senyum tak lepas dari wajah Alsera.

“Anak pemilik kebun sayur terluas ini yang mengajakmu langsung,


Alsera. Mana mungkin gak boleh,” ucap Charel diakhiri cengiran di
wajahnya.

“Beneran?”

“Iya, Ra. Kenzie tu anak kebun sayur terluas di desa ini, dan bapaknya
itu ngejual sayurnya di pasar. Dia pekerja keras. Suruhannya banyak
pisan,” jelas Ryan.

“Waaa hebat!”

Bayangan betapa kerennya ayah Kenzie terlintas di pikiran Alsera.

“Hm, gimana kalo kita juga ikut atuh?” saran Kenzie, “kita udah lama
juga gak ke kost di sana”

“Boleh boleh, mumpung libur plus besok malam minggu ‘kan, hehe”
Ryan setuju.

“Hayu>< udah lama gak ketemu Teh Sarwa juga.” Charel tersenyum
gemas mengingat rindunya dia pada Teh Sarwa.

“Teh Sarwa siapa?” Tanya Alsera.

“Itu anak teman dekat nenek” jawab Finza.


20
“Ohoho, anak ibu kost yang can-“

Sebelum Kenzie selesai berbicara, sebuah jitakan mengenai kepalanya terlebih


dahulu.

“Jaga matamu! Dia udah tunangan!” sentak Charel, tersangka yang


menjitak Kenzie.

“Yeh biasa we atuh,” sungut Kenzie.

“Finza?” panggil Ryan, “kau kenapa? Kok...”

Finza berhenti berjalan tiba-tiba. Raut wajahnya terlihat jelas memasang


ekspresi kaget, membuat teman-temannya ikut menghentikan langkah
mereka juga. Memandang gadis yang diam tanpa kata.

“Fin?”

Panggilan dari Alsera menyadarkan Finza yang seperti pindah alam untuk
sesaat. Gadis dengan rambut sewarna coklat karamel itu memandang teman-
temannya dengan wajah kikuk. Senyum paksa diberikan sebelum ia berbicara.

“A-ah, aku... gak... hente! Eh! Duluan, ya! Daaah”

Finza berlari meninggalkan teman-temannya. Tatapan heran dan rasa


penasaran mengiringi kepergian Finza yang kian menjauh.

“Teh Sarwa kan emang udah tunangan, masa dia kaget sama itu.
Bukannya dia juga dengar pas Teh Sarwa cerita?”

Kenzie memulai pembicaraan, memecah keheningan yang Finza tinggalkan.

“Bukan, bukan karena itu”

“Terus apa?” Alsera menatap Charel yang membantah ucapan Kenzie.

“Hmm,” gumam Charel

21
Iris sewarna cokelat hangat memandang Finza yang tak lagi nampak dalam
penglihatan.

.,.
Gadis itu terus berlari tanpa arah tujuan, mengabaikan rasa lelah yang sudah
menyapa kaki. Iris green tea mulai berkaca-kaca, mengingat pembicaraan yang
terjadi antara dirinya bersama orang tuanya.

Tadi pagi. . .

“Finza,” panggil mama lembut.


Finza menoleh, “Iya?”
“Seperti yang kamu tau, keluarga kita sudah sangat dekat dengan keluarga Pak
Kendra”
Perasaan Finza tidak enak, namun ia memutuskan untuk tetap mendengarkan.
“Iya, terus?”
“Kami akan menjodohkanmu dengan anaknya,” kali ini ayah yang bicara.
Sontak Finza tertegun. Tubuhnya kaku seketika, ia membisu di tempat.
“Keluarga Pak Kendra menunggu persetujuan darimu, dia sangat senang
ketika mendengar ayahmu bicara akan menjodohkanmu dengan anaknya,”
mama kembali bicara.
“Iya, Finza. Begitu kau setuju, anak Pak Kendra akan langsung diberitahu,”
timpal ayah.
“T-tapi.. aku kan masih sekolah, kalian ini mikir apa?”
“Kami sudah mengatur semuanya, sayang,” jawab mama, “kalian akan
bertunangan setelah kelulusan nanti, lalu akan menikah setelah lulus kuliah”
“Mah, Pa, bukannya aku menolak, tapi.. apa ini gak terlalu cepet,
maksudku...”Finza bicara dengan nada pasrah, jika sudah diatur sedemikian
rupa mana bisa ia menolak, yang ada orang tuanya akan kecewa padanya dan

22
Finza tidak mau itu terjadi. Namun masalahnya hanya satu, lelaki itu belum
melupakan masa lalunya.
Kembali ke saat ini. . .
Finza berhenti berlari. Bersandar pada sebuah pohon. Napasnya
terengah-engah antara lelah dan emosi yang menyesakkan dada. Air
mata telah mengalir mulus menuruni pipi.
“Kenapa...”
Suara gadis itu terdengar lirih diantara hembusan angin.
“KENAPA JADI KAYAK SINETRON, BANGST”
Teriakan emosi terlontar lepas dari mulut Finza, namun belum
membuat gadis itu berhenti menangis.
Ditemani sang pohon tanpa seorangpun, Finza menangis sesenggukan
sembari memeluk lututnya sendiri. Ia membenamkan wajahnya,
melepas semua emosi yang ia tahan sedari tadi di depan teman-
temannya.
..........................................................................................................................................
....................................................................................

Rumah nenek, pukul 19:40.

Alsera ragu-ragu mendekati nenek yang sedang menonotn tv. Iris citrine-nya
menatap lekat wanita yang ia sebut nenek itu. Nenek yang menyadari tingkah
laku Alsera, melirik heran gadis itu sesaat sebelum bertanya.

“Kenapa, Ra?” Tanya nenek, “kenapa raut wajahmu aneh gitu? Kayak
mau berak tapi gak jadi”

“Em.. anu” Alsera memulai, “aku.. mau minta izin tapi takut nenek gak
ngizinin” matanya melirik nenek ragu-ragu.

“Emang mau kemana?”

“Ke pasar, hehe. Sama Finza dan yang lain”

23
Tidak ada jawaban dari nenek, jantung Alsera dag dig dug lebih cepat dari
biasanya menunggu jawaban dari wanita itu.

“Nggak”

“Eh,” hati Alsera mencelos mendengar jawaban nenek.

“Kau gak boleh pergi”

“T-tapi.. kenapa? Aku sama Finza dan yang lain di sana”

“Kalau kau bakalan nakal di sana, tentu nenek larang pergi, Alsera”
nenek tersenyum di akhir kalimat.

Senyum lega mengembang di wajah Alsera, “Mana mungkin aku nakal,


Nek”

“Yah, lagian kau juga udah siap-siap gitu,” nenek melihat tas Alsera
yang diletakkan dekat pintu, “mana mungkin nenek melarangmu”

“Ehehe,” Alsera tertawa kikuk.

Kemudian Alsera mengobrol dengan nenek, hingga jam 8 pun tiba. Tepat
pada saat itu, terdengar suara yang memanggil Alsera dari luar. Keduanya
berdiri, membuka pintu, tampak Ryan berdiri di luar sana sambil memegang
senter.

“Udah siap, Ra?” Tanya Ryan, “yuk berangkat”

“Loh, Yan? Nu lain mana?” Tanya nenek.

“Geus nungguan di gapura”

“Oh, heueuh. Ieuh,” nenek mendorong Alsera, “nitip nya”

“Siaplah,” ucap Ryan, “yuk, Ra”

24
“Ish, nenek ni apaan, sih. Aku bukan anak kecil” protes Alsera
mendengar kata titip di ucapan nenek.

Nenek tersenyum melihat Alsera beranjak pergi bersama Ryan.

“Di mata nenek kau masih anak kecil Alsera,” ucap nenek sebelum
masuk kembali ke rumah.

Di jalan. Alsera dan Ryan berjalan bersama. Ryan membawa senter untuk
menerangi jalan yang mereka pijak, karena malam ini bulan tidak muncul
membiarkan malam menunjukkan gelapnya.

Perasaan canggung meliputi Alsera yang berjalan di samping Ryan, sesekali


gadis itu melirik pemuda di sampingnya. Dilihat darimana pun mereka belum
pernah bicara berdua.

“Ngomong, dong. Jangan diem terus, jadi kerasa horror, nih,” ucap
Ryan tiba-tiba.

“I-iya juga,” balas Alsera canggung, “tapi mau ngomongin apa?”

“Yaa ngomong aja jangan sampe keputus”

“Ehm,” Alsera berdehem sebelum melanjutkan, “kau kenapa cuma


sendiri?”

“Aku kalah gunting batu kertas sama yang lain,” jawab Ryan seadanya.

“Ohh,” Alsera mengangguk, “tapi berani juga, ya kau jemput aku


sendirian”

“Haha, iyalah.” Nada sombong terdengar dari Ryan.

Padahal aslinya bareng Asep dan Yusuf yang mau ke warung.

“Tadi aku dengar kalian ada kost, ya di sana?” Tanya Alsera.

25
“Oh, iya, di sana tuh ada kost. Kebanyakan yang nempatin juga masih
pada sekolah. Deket kok sama pasar, ada indoapril juga di depan kost-
nya, terus di sisi indoapril ada warung yang biasa dipake buat
nongkrong sama amang-amang yang habis kerja atau anak-anak yang
begadang pas malam minggu” jelas Ryan panjang lebar.

“Wahh, kayaknya rame, ya” ucap Alsera, “seru pasti”

“Iya, dong pasti,” timpal Ryan.

“Ngomong-ngomong kalian tidur sekamar?”

“Iya, tapi gak sekasur. Finza sama Charel di kasur, aku sama Kenzie di
bawah, kasur lantai.” Ryan melirik Alsera sejenak, “jangan pasang
wajah mesum Alsera, pintunya gak dikunci karena Teh Sarwa suka
ngebangunin pas subuh”

“Hehe,” Alsera terkekeh.

“Yah, kadang aku sama Kenzie gak tidur, sih” Ryan kembali
melanjutkan, “kadang begadang sampe pagi sama anak-anak yang lain”

“Itu kost-nya campur cewek cowok?” Alsera menatap penasaran.

“Nggak, cowok doang.” Tampak Ryan sedang mengingat-ngingat


sesuatu sejenak sebelum melanjutkan, “ada, sih kost cewek, tapi
kayaknya jauh dari kost yang cowok kalo gak salah”

Alsera ber-ohh pelan.

“Ah, itu mereka! Eh... kok”

“Haha,” Ryan tertawa garing, “ya.. kita naik mobil ss bareng sayur”

Alsera mematung, “K-kenapa?”

26
“Mang Ken lupa nyuruh anak buahnya buat berangkatin sayur duluan,
jadi ya gini, deh”

“Naon yeuh datang-datang ngomongkeun urang bari mawa awewe


geulis, saha nami na Neng?”

Krak. Bayangan keren yang terlintas di pikiran Alsera beberapa jam yang lalu
hancur. Mang Ken duduk di kursi supir memakai kemeja belang-belang
dengan dua kancing teratas dibuka, dipasangkan dengan celana sayur
berwarna hitam.

“Moal ngartieun, Mang. Sini Ra tasnya, mau kusimpen di depan”

Alsera membiarkan Ryan mengambil dan menyimpan tasnya di kursi depan,


di samping supir bersama tas-tas lainnya.

“Kalian lama amat,” ucap Charel ketika Ryan dan Alsera naik ke bak
mobil.

“Hmm atuh da lempang lain hiber,” balas Ryan sembari duduk di


samping Kenzie, sedangkan Alsera duduk di samping Charel. Gadis itu
masih terdiam.

‘Ayah dan anak sama aja’ batin Alsera mendengar nada menggoda di ucapan
Mang Ken yang tidak ia mengerti tadi.

Alsera masih tetap diam, ia menyimak obrolan keempat sahabat yang tampak
menyenangkan. Mereka mengobrol tentang apa yang akan mereka lakukan
nanti dan apa yang sudah terjadi hari ini.

Bosan diam dan mendengarkan, Alsera memutuskan ikut masuk ke dalam


obrolan.

“Oh, iya... suruhan Mang Ken... mana?” Alsera bertanya, tampak kaku.

27
“Hoo mereka disuruh duluan tadi berangkat pake motor dan bawa
barang semampunya,” jelas Kenzie, mendapat anggukan dari Alsera.

“Oh, gitu”

Tiba-tiba Charel menyenggol pelan Alsera.

“Kujamin, Ra! Kau bakal betah di sana!”

“Yap, nyaman dan bikin enak,” timpal Finza dari sisi lain Charel.

Senyum hangat terukir di wajah manis Alsera, obrolan ringan kelima orang
ini pun berlanjut. Mang Ken yang menyupiri sesekali tertawa, senyum, dan
menimpali obrolan mereka. Alsera tertawa lepas, tidak ada rasa menyesal
yang hinggap di hati kala ia memutuskan untuk menghabiskan liburannya di
kampung halaman nenek tersayangnya. Desa Rambutan.

28
1
603
21

Yu
wn
a
Chapter 3
En
d

29

Anda mungkin juga menyukai