Suci Nurfauziah
Mungkin sebagian orang mengira, aku memiliki kebiasaan yang aneh. Termasuk
dua insan berpasangan yang menjadi penyebab diriku lahir di dunia ini. Iya, ayah dan
bundaku sendiri. Lantas, bagaimana dengan kalian?. Setelah membaca kisahku, aku
harap kalian memiliki pola pikir yang berbeda.
***
Ceklek
“Ci, itu makan malamnya sudah saya siapkan di meja makan, yah.” Ucap seorang
wanita paruh baya yang sebelumnya membuka pintu kamar Arun.
Arun hanya membalasnya dengan senyuman tipis, nyaris tak terlihat. Pasti Mama
gak di rumah lagi. Gumamnya setelah asisten rumah tangganya kembali menutup
pintu kamar.
Orang tuanya adalah orang yang sangat sibuk dengan pekerjaannya. Tak jarang
mereka pulang larut malam disaat ia telah terlelap dan kembali bekerja sebelum ia
bangun. Jaman sekarang, orang orang biasa menyebutnya Broken Home.
Ia segera beranjak dari tempat tidurnya menuju meja makan di lantai bawah.
Selang beberapa detik kemudian, ponselnya berbunyi, tanda notifikasi masuk yang
membuatnya mengurungkan niat untuk makan. Ia pun mengutak atik ponselnya dan
segera membuka salah satu room chat dari aplikasi Whats App.
Reyanzha Elfath
Lagi apa?
Kenapa?
Nungguin aku cerita tentang hari ini yaaa? Hahaha
Reyanzha Elfath, salah satu fambest Arun di dunia Role Player yang selama ini
telah menjadi rumah yang siap mendengar segala keluh kesahnya tentang dunia yang
menurutnya sangat kejam. Beginilah caranya ia menjeda segala kepenatannnya di real
life. Memilih dunia virtual. Karena baginya, dunia virtual itu lebih mudah menerima
keberadaannya ketimbang dengan dunia nyatanya sendiri. Ia merasa lebih nyaman
ketika harus berkutat dengan ponselnya, menjalani kehidupan virtualnya yang biasa
disebut dengan Role Player. Dimana seseorang harus menyembunyikan segala
identitasnya agar seseorang yang lain dapat menerimanya tanpa harus memandang
fisik maupun materi.
Rumah demi rumah ia lewati hingga pada akhirnya sampai ke tempat tujuan. Ya,
Supermarket. Saat tengah memarkirkan sepedanya, terlihat 4 orang gadis yang
seumuran dengannya tengah bercanda ria di kursi depan Supermarket. Sepertinya itu
sekelasnya.
Benar saja. Saat ia mulai mendorong pintu Supermarket, tiba tiba seorang dari
keempat dari gadis tersebut memanggilnya.
“Mau masuk ke dalam ya? Titip dong.” Lanjut gadis berambut pendek yang
digerai.
“The kotak satu sama sari roti yang sandwich rasa pandan, eh gak deh coklat aja.”
“Uangnya?.” –Arun
“Ntar aja deh kalau udah beli, pake duit kamu aja dulu. Masa ortu sibuk anaknya
gak dikasih duit, haha. Jangan ngelawak ya, Run.” Ledek kembali si gadis berkuncir,
Sabiru.
“Punya kartu member gak kak?.” Tanya kasir yang tengah melayaninya.
Pada akhirnya, ia pun berjalan menuju pintu keluar dan menghampiri temannya
yang tadi menitip belanjaan.
“Oh, makasih yah.” Jawab Sabiru setelah mengambil titipannya dan mengajak
teman temannya menuju mobil tanpa mengembalikan uang Arun.
Ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Mau bagaimana lagi, ia akan terancam jika
tak menuruti kemauan geng Sabiru itu. Hal ini sudah sering terjadi semenjak kelas 5
Sekolah Dasar hingga saat ini ia telah menginjak SMA di kelas XI. Hal ini sudah
menjadi kebiasaan baginya. Ia takut memberi tahu orang tuanya yang notabenenya
selalu sibuk dan bahkan tak sempat jika harus mendengar hal hal seperti ini.
Terkadang, ia juga merasa canggung jika berbicara kepada orang tuanya saking
jarangnya mereka berkomunikasi layaknya orang tua dan anak.
***
Reyanzha Elfath
Yah…
IYAAAA
***
Ia termenung seusai membaca chat dari Olive (Olive adalah nama samara dari
Arun di dunia role player). Ia tiba tiba merasa tak asing dengan beberapa kosa kata di
bubble chat Olive yang membuatnya berpikir tentang…Supermarket? Les piano?
Barusan?. Semua kosa kata itu berputar dikepalanya yang sedang mencoba
menafsirkan sesuatu.
Ting!
Namun, tiba tiba terdengar suara bel di lantai satu yang membuatnya mau tak mau
harus menghentikan apa yang berkecamuk diotaknya saat ini.
***
“Hmm?...” Jawab sang empu sembari memasukkan beberapa map ke dalam tasnya
dikala pagi itu. Sepertinya sedang bersiap siap ke kantor
“Ck, bukannya bunda sudah bilang, kalau kamu ikut les begituan nanti yang
nerusin perusahaan keluarga kita siapa?. Kamu tau sendirikan kalau anak Bunda sama
Ayah Cuma kamu?. Kurang jelas apa lagi coba? Hah?.” Ucap Bundanya panjang
lebar yang mungkin juga sudah lelah selalu menjawab pertanyaan yang sama dari
anak semata wayangnya itu.
“Tapi…aku rasa keahlianku ada disitu, Bun…Bunda tau sendirikan aku kurang
pintar kalo soal ginian.”
“Ya itu karena kamu yang gak serius belajarnya. Bunda juga udah daftarin kamu
kan ke tempat les tentang berwirausaha. Ya tinggal kamunya aja yang harus jalanin.
Jangan minta yang aneh aneh deh. Mau jadi apa kamu ntar kalo masuk les begituan?
Hah?.” Setelah berkata panjang lebar seperti itu, Bundanya langsung melenggang
pergi meninggalkan Arun yang masih mematung dibarengi dengan muka super
masam. Benar benar pagi yang sial!. Duganya kala itu.
Detik berganti menit hingga tak terasa mobil yang dinaikinya sudah berhenti tepat
di depan gerbang sekolahnya. Ia pun turun dan tak lupa berpamitan kepada supirnya.
Ia kemudian berjalan menuju kelasnya di lantai 3. Namun, saat tiba di koridor lantai
tiga, ia kembali menaikkan kakinya di tangga menuju lantai 4 hingga mencapai
rooftop sekolah. Saat sedang stress, ia memang sering ke sini untuk melihat betapa
indahnya langit yang dihiasi gumpalan gumpalan awan yang membuat pikirannya
sedikit tenang. Seperti biasa, ia merogoh tasnya untuk mencari secarik kertas origami
kemudian menuliskan sesuatu disana.
Tuhan, aku mau cerita lagi nih. Aku tau kok, tuhan pasti udah tau aku bakalan
cerita apa. Tapi aku mau tetep ceritain dulu, hehe. Tadi pagi aku dimarahin lagi
sama Bunda. Jujur saja, aku sakit hati banget. Tapi mau gimana lagi. Aku mau kayak
temen temenku yang bebas mau jadi apa. Eh, emang aku punya temen ya?. Haha
anggap aja sekarang seperti itu. Karena kalau gak kayak gitu, nanti aku tambah sakit
hati lagi dong☹.
Sampai sekarang, aku masih berharap kalau tuhan mau dengar doaku. Tolong,
kasih keajaiban dong biar Bundaku bisa sadar kalau aku sebenernya mau banget les
piano, kalau aku juga sebenernya gak ahli kalau soal perusahaan.
Oh, iya. Salah satu alasan Arun memakai role player telegram karena ikon
telegram berbentuk pesawat kertas. Sama seperti origami yang sering dikirimkannya
pada tuhan. Ia rasa, ikon yang seperti pesawat kertas itu dapat menjadi tempat keluh
kesahnya. Entah pesawat itu akan terbang membawa masalahnya atau hanya
menceritakannya pada tuhan. Pada intinya, kedua pilihan itu akan selalu membawa
kebaikan untuknya, semoga.
Bel listrik sekolah yang terdengar dari bawah harus membuatnya turun dari
rooftop menuju kelasnya. Hal seperti inilah yang tidak disukainya. Ketika melakukan
sesuatu yang disenanginya tiba tiba terdengar bunyi bel. Entah itu di sekolah atau pun
di rumahnya. Semuanya sama sama saja mengganggu.
***
Jarum jam menunjukkan angka 2, tandanya bel pulang telah berbunyi. Seluruh
siswa siswi kelas XI IPA 3 mengemas barang barangnya, kemudian dimasukkan ke
dalam tas. Tak terkecuali gadis yang duduk di sudut bagian belakang, Arunika
Fauziah.
“Arun, semangat yaa. Semoga Bunda kamu ngebolehin kamu masuk les piano.”
Ucap seorang lelaki yang tiba tiba berdiri di samping mejanya dan mengatakan hal
seperti itu.
Ia sempat terlonjak kaget, mengapa tiba tiba Arsya mengatakan hal seperti itu.
Arun bahkan tak pernah menceritakan pada siapa pun soal ini. Terkecuali Reyanzha.
Tak sekali dua kali Arsya membuatnya kaget seperti ini. Heran saja, lelaki itu selalu
saja tau apa yang dipikirkannya. Padahal, ia tak pernah menceritakannya pada teman
sekelasnya karena ia tahu tak akan ada yang memedulikannya. Ia sempat berpikir,
jangan jangan… Reyanzha itu Arsya?. Ahh… tidak mungkin. Saat temannya di kelas
cerita soal role player, Arsya tidak pernah nimbrung. Terlebih lagi, lelaki jarang ada
yang main role player. Tampang tampangnya juga tidak mendukung, hahaha.
Reyanzha Elfath
Boleh
Gak deh
Gak jadi
Ia sebenarnya mau menanyakan soal Arsya kepada Reyanzha. Namun, ia takut hal
ini akan membuat mereka canggung. “Jangan sampai deh, Reyanzha gak mau
ngomong sama aku lagi kalau aku curigain dia mulu.” Batinnya kala itu. Ia
kemudian melangkahkan kakinya menuju pintu kelas. Tadinya, ia tak sadar kalau
hanya tinggal dirinya yang di kelas.
Sesampainya di gerbang sekolah, ia melihat pajero hitam yang nampak tak asing
terparkir tak jauh dari tempatnya saat ini berdiri. Ia kemudian memicingkan matanya,
melihat plat mobil tersebut. “Hah? Itukan mobil Ayah? Ngapain kesini coba?”.
Batinnya. Tanpa berpikir panjang lagi, ia pun menghampiri mobil tersebut.
“Yaa.. mau jemput anak Ayah dong. Terus mau apa lagi dong?.”
“Tumben?.”
Ia pun masuk ke dalam mobil tersebut. Wangi kopi yang khas memenuhi setiap
sisi mobil tersebut. Kalau dipikir pikir, sudah lama juga ia tidak menaiki mobil
Ayahnnya.
Tanpa berlama lama lagi, mobil segera melaju dengan kecepatan sedang
meninggalkan pelataran sekolah. Anehnya, saat tiba di perempatan, Ayahnya lurus
lurus saja. Padahal jalur rumahnya belok ke kanan.
“Yah, kita mau kemana? Kok tadi pas di perempatan Ayah gak belok?.” Tanyanya
kebingungan.
“Emang rumah kita kenapa? Terus kenapa Ayah bilang ‘mulai sekarang Uci harus
tinggal sama Ayah? Bunda gimana?.” Pertanyaan pertanyaan beruntun tersebut tiba
tiba saja terucap. Siapa yang tidak heran kalau seorang Ayah mengatakan hal seperti
ini?.
“Nanti Ayah cerita, ya?. Soalnya sekarang Ayah lagi nyetir.” Akhir Ayahnya.
Ia hanya bisa tertunduk lesu sembari memikirkan hal apa yang sedang terjadi.
“Masalah apa lagi ini? Baru aja cerita sama tuhan. Ada lagi yang bikin aneh aneh.
Huft,…” Gumamnya.
Hingga sekitar 10 menit berlalu, mobil pun berhenti di depan sebuah rumah bercat
putih. Tak terlalu besar seperti rumahnya, namun bentuk rumah ini lebih menarik.
Minimalis. Ayahnya pun mengajaknya turun dan masuk ke dalam rumah tersebut.
“Duduk dulu, sini.” Ucap Ayahnya sambil menepuk nepuk sofa. Tandanya ia
harus segera duduk di sofa tersebut.
“Hm?.” Ia berdehem tak sabar menunggu cerita dari Ayahnya yang telah
membuatnya penasaran setengah mati selama di perjalanan.
“HAH?!!.”
“Gini deh, coba liat sepatu kamu pas SD. Masih cocok gak sampai sekarang?.”
Tanya Ayahnya yang menurutnya sangat tidak jelas arahnya. Namun begitu, ia tetap
menjawabnya.
“Ih Ayah, aku tuh gak nanya soal sepatuuu. Aku nanyanya kenapa Ayah sama
Bunda tiba tiba pisah gini?.” Kesalnya
“Jawab dulu.”
“Sama seperti Ayah sama Bunda. Kita ngerasa kalau kita udah gak pas lagi. Setiap
pasangan itu pasti bakal ada masanya dimana mereka udah gak pas lagi. Namun,
setiap pasangan cara pisahnya juga beda beda. Entah itu pisah secara hokum atau
dipanggil tuhan.” Ucap Ayahnya yang masih nampak tenang seperti tak terjadi apa
apa. Bahkan di akhir katanya ia sempat tersenyum.
“Yah, aku nanya alasannyaaa. Aku juga udah dewasa kalau harus tau hal hal
semacam ini. Please deh Ayah kasih alasan yang jelas biar aku gak bingung.” Ujarnya
dengan mata yang berkaca kaca.
“Udah kamu masuk kamar aja dulu, yah? Tenangin diri kamu. Jujur aja sekarang
muka anak Ayah jelek banget kalau lagi nangis.” Bahkan disituasi seperti ini,
Ayahnya masih sempat bercanda. Hingga pada akhirnya, Ayahnya menggiringnya ke
lantai 2 menuju kamar barunya.
“Yaudah, sekarang kamu masuk, ganti baju terus mandi. Ayah udah nyiapin baju
di lemari. Kalau ada apa apa Ayah ada di kamar sebelah.” Tutur ayahnya kemudian
menutup pintu kamar.
Reyanzha Elfath
REYYY
Sore itu, ia pun menceritakan semuanya pada Reyanzha. Dari Ayahnya tiba tiba
menjemputnya sepulang sekolah, hingga Ayahnya yang terlihat cukup tenang ketika
membicarakan perpisahan Ayahnya dan Bundanya.
***
Setahun kemudian…
Malam itu, Arun tampak menunggu jemputan di depan tempat les piano. Ya,
semenjak tinggal dengan Ayahnya, ia diizinkan mengejar impiannya. Senang rasanya,
namun… ia merasa masih ingin bertemu dengan Bundanya. Kini, ia menjadi lebih
dekat dengan Ayahnya. Tak seperti dulu. Jika sehari ia hanya bisa bicara satu atau
dua kalimat pada Ayahnya, sekarang ia bahkan bercerita banyak pada Ayahnya. Soal
perpisahan orang tuanya, ia masih belum mengetahuinya. Ia hanya mencoba untuk
berdamai dengan kenyataan. Pasal ia merindukan Bundanya juga tak sedramatis anak
lain. Toh, dulu dia juga jarang berinteraksi dengan Bundanya sehingga membuatnya
seperti ini. Bahkan rumah lamanya sudah kosong. Bundanya juga sudah pindah entah
kemana.
“Arun, pulang bareng gak?.” Ajak seorang anak laki laki yang akhir akhir ini
selalu saja membuatnya kesal, Arsya.
“Nih orang kenapa tau semua soal aku si. Dari dulu sampai sekarang gak pernah
ketinggalan info.” Rutuknya dalam hati. Ia hanya melemparkan tatapan tajam dan
berlalu begitu saja. Hingga langkah ketiga, seorang tubuh jangkung tiba tiba
menghalangi jalannya. Deg!. Pasti kalian tahu itu siapa, Reyzha.
“Ini, kemarin aku habis beli sepatu di penjual lorong ke dua dari rumahmu. Tau
kan?. Kemarin masnya gak punya uang kembalian, jadi aku disuruh bayar besoknya
aja. Aku nitip uangnya ke kamu aja boleh, ya? Soalnya aku ada les tambahan.”
Tuturnya sembari menyerahkan beberapa lembar uang berwarna biru.
“Makasih, ya?. Aku duluan.” Pamit Reyzha yang membuatnya merasa kupu kupu
tengah bertebaran menggelitik perutnya. Ia bahkan tak sempat memikirkan mengapa
Reyzha tiba tiba meminta tolong kepadanya yang notabenenya mereka berdua gak
cukup akrab.
“Ci, udah siap belum?.” Tanya Ayahnya yang dari setengah jam yang lalu
menunggunya. Ia akan berangkat bersama Ayahnya pagi ini. Katanya, penampilan
pertamanya harus diantar sama Ayahnya. Karena Ayahnya jugalah yang bisa
membuat mimpinya tercapai.
“Iya,Yah. Ini udah siap kok.” Sahutnya dari balik pintu kamar. Kemudian ia keluar
menuju lantai bawah dan bersiap siap berangkat. Senyumnya tak pernah pudar kala
itu. Ia sangat senang. Meskipun ada yang membuatnya kosong. Reyanzha Elfath,
sejak ia wisuda tahun lalu, ia menemukan akun telegram lelaki tersebut bertuliskan
Akun Terhapus berlogokan hantu animasi. Semenjak hari itu, ia merasa sselalu
kosong. Tak ada lagi bubble chat beruntun yang menceritakan masalahnya.
Tak mau kembali membuka luka lamanya yang masih membiru, ia segera masuk
ke dalam mobil. Pikirannya saat ini harus selalu positif agar ia mampu tampil
maksimal di depan orang banyak.
Dan saat tuts terakhir dimainkan, detik itu pula semua orang bertepuk tangan. Tak
terkecuali Ayahnya yang sempat menitikkan matanya. Bangga melihat putri semata
wayangnya seperti itu. Sekali lagi, pagi itu adalah hari yang bersejarah bagi seorang
Arunika Fauziah yang pernah merasa bahwa dirinya tak akan pernah seperti sekarang
ini.
Langit kini sudah sepenuhnya gelap, dihiasi taburan bintang bintang yang berkelap
kelip. Seakan mewakili perasaannya hari ini. Ditambah lagi alunan musik Perfect,
milik One Direction di mobil Ayahnya menambah moodnya yang sangat baik.
Shouldn’t do
“Uci? Nak bangun nak. Tolong selamatkan anak saya!!!.” Serunya pada warga.
***
Pagi yang cerah, namun tidak dengan suasana rumah Arun saat ini. Ayahnya yang
dari semalam terus saja membanjiri pipinya dengan air mata seakan belum siap
menerima kepergian putri semata wayangnya. Hingga pemakaman selesai, ia
meninggalkan tempat yang penuh kesedihan tersebut dengan suasana hati yang juga
sedih. Tak disangka putrinya akan pergi secepat ini meninggalkan dirinya.
Sama seperti wanita paruh baya yang kini berdiri dari kejauhan, menatap
pemakaman yang sedang berlangsung dengan perasaan sama sedihnya. Hingga
terucap satu kalimat. Entah akan didengar oleh Arun atau tidak. “Bunda sebenarnya
cukup sedih kamu ninggalin Bunda waktu itu. Namun kini, Bunda merasa lega bahwa
kamu telah memilih ikut kepada Ayahmu sehingga impianmu bisa terwujud sebelum
kamu dipanggil tuhan.”
Sedangkan di belahan bumi lain, terlihat seoranng pemuda yang selama ini sering
menyapa dan membuat Arun terkejut dengan perkataannya. Arsya. Ia terlihat
membuka suatu kotak berisikan origami yang seperti sudah terlipat lipat
memperlihatkan rangkaian kalimat di dalamnya. Kalian pasti sudah tahu, itu adalah
pesawat origami yang telah Arun kirimkan pada tuhan. Sejak kelas 10, Arsya telah
mengumpulkan origami itu. Awalnya, ia hanya iseng. Namun setelah mengetahui apa
yang dialami Arun, ia menjadi lebih sering mengajak Arun untuk sekedar berbicara
walaupun hanya ditanggapi seadanya.
***
Sudah tiga hari semenjak kepergian Arun, dan sudah tiga hari pula Arsya
meletakkan satu setiap harinya origami yang telah dibentuk kembali menjadi pesawat.
Hingga sore itu, terlihat seorang lelaki berjongkok di samping makam Arun dan
berkata “Maaf ya, Olive. Waktu itu aku deak karena hari itu kita udah wisuda. Jadi
aku pikir, kamu akan menemukan kebahagiaan lagi dan telah berhenti mencariku.
Namun, selama ini dugaanku salah. Dan yang paling membuatku menyesal, aku
belum mengatakan siapa diriku sebenarnya. Tapi, aku senang impianmu yang selama
ini kamu ceritakan padaku bertahun tahun tercapai sebelum kamu pergi. Baik baik
disana, yah?.” Ucap lelaki tersebut yang nampak dibajunya bertengger name tag
bertuliskan Reyzha Adinata.
TAMAT