Anda di halaman 1dari 10

Cakrawala Bisu

Kali ini cakrawala biru bak lautan tak menampakkan dirinya. Hanya ada hamparan
mega kelabu disertai hembusan halus pawana yang menggerakkan patera rimbun di balik
jendela. Pertanda jelas bahwasanya cepat atau lambat angkasa akan menurunkan rintik
miliknya. Nala, seorang gadis berusia 18 tahun tengah mengasihani sebuah buku, buku yang
menjadi awal dari segala cerita.
Nala merupakan gadis tuna wicara yang berkata lain bisu. Sudah 4 tahun orang tuanya
meninggalkan Nala sendiri. Sebuah tragedi akibat kelalaian crew engine mengharuskan orang
tuanya ikut tenggelam bersama kapal yang mereka tumpangi. Walaupun tak bisa berbicara,
Nala mempunyai ambisius yang cukup tinggi. Ia ingin dirinya menjadi seorang penulis,
berharap kata-kata yang ia tulis dapat membawa makna bagi para pembacanya.
Bahagia. Satu kata penuh makna yang sayang tak semua orang dapat merasakannya
termasuk gadis itu, Nala tepatnya. Segala kekurangan dan kutukan terus menyapa
kehidupannya. Sampai pada saatnya lenyaplah sudah suara indahnya. Diam, sunyi, tak ada
suara. Dan tangis, ia cukupkan untuk jadi sandaran.
Tapi bukankah setiap orang berhak bahagia? Ya begitupun Nala, si bisu.
Jarum jam menunjukkan pukul 21.00, tetesan air hujan jatuh satu persatu dari atap
rumah kecil dipinggir jalan. Menimbulkan riak di genangan-genangan kecil. Membentuk
percikan-percikan lainnya dengan lingkaran beruas-ruas. Namun, semakin lama hujan
semakin deras. Percikan air yang semula kecil, kini melebar ke mana-mana. Tampak Nala
dengan lihainya berimajinasi dengan pena yang menari-nari di atas buku
yang selalu menjadi tempat berceritanya, buku yang menjadi tempat berekspresinya, dan
buku yang selalu menemaninya di saat ia sedih atau bahagia. Biasanya Nala selalu
menuliskan syair, puisi, sajak, atau kata-kata motivasi di buku itu.
___________________________
Dear Diary, 31/04/2015
Hanya ada dalam kata tanpa suara.
Hening namun mengaung bak singa. Sepi namun bergejolak.
Terlintas secara acak tak menentu adalah tentang rasa. Namun rasa yang bungkam,
tertahan, atau ditahan, sama saja.
Mencuat namun lenyap seketika adalah tentang rasa.
Rasa yang bisu.

***
Langit pagi seperti berkata cepatlah membuka jendela. Awan belum datang, jadi
cepatlah bercerita atau berdoa untuk harapan-harapan nyata. Kicauan burung sudah terdengar
sejak membuka mata. Nyanyian merdunya bagai melodi mengingatkan cita-cita.
Mengingatkan kehidupan masih ada impian. Mengingatkan masih bisa bahagia disela air
mata.
Nala melirik arloji dengan model lama yang terpasang di lengan kanannya, ini sudah
jam 07.30. Nala langsung bergegas turun ke bawah dan langsung menyambar tas gendongnya
lalu berlari menuju halte bus yang ada di persimpangan jalan perumahannya.
Bus berhenti di depannya tak lama setelah ia berlari. Nala tersenyum lega, untung saja
ia tidak tertinggal bus. Tanpa ingin membuang waktu lebih banyak, ia langsung masuk dan
duduk di kursi belakang bus sembari menatap jalanan.
Di tatapnya semua isi bus ini, ada yang bersiap ingin ke kantor, ke pasar, ke sekolah
dan wajah mereka juga cerah seperti tanpa beban. Ah, membayangkannya saja sudah sangat
menyenangkan. Ia akan sangat senang dan bersyukur jika ia bisa merasakannya nanti.
Nala menggendong tasnya ketika bus sebentar lagi sampai di halte. Berjalan ke depan
agar mudah untuk turun nantinya, ia segera menempelkan kartu di tempat pembayaran dan
bergegas turun.
Nala masuk dengan tergesa-gesa, sudah ia pastikan pelajaran sudah di mulai sedari
satu jam yang lalu, karena sekarang sudah jam 08.30 dan pas sekali sekarang adalah mata
pelajaran pak Jaka, guru killer dengan tatapan matanya bagaikan elang padahal selalu
memasang wajah datar.

Ah… Komplit sekali nasibnya pagi ini, tapi tak apa! Nala sudah sering megalami ini,
walaupun tidak sesering itu. Ya kalau tidak terlambat di mata pelajaran pak Jaka paling
terlambat di mata pelajaran bu Esha, untung bu Esha guru yang sangat ramah dan baik jadi
terkadang ia memakluminya jika Nala telat karena memang jarak antar rumahnya dan sekolah
cukup jauh. Mungkin jarak antar rumahnya dan sekolah yang paling jauh dari murid lainnya.

Nala menarik nafas berkali-kali, berusaha menghilangkan rasa takut dan gugupnya di
depan pintu yang masih tertutup rapat. Sedikit merapikan pakaiannya yang berantakan.

Tok…Tok…

Ceklek…

Pintu kelas di bukanya dengan hati-hati, bisa di lihat semua murid menatapnya remeh.
Bagaimana tidak? Ia terlihat sangat acak-acakan, baju nya yang sedikit basah karena keringat
dari berlari, sepatunya kotor dan kaos kaki putihnya juga sedikit kotor karena terciprat
genangan air saat ia berlari.

“Masuk, taruh tas kamu dan bersihkan toilet,” titah pak Jaka tidak ingin di bantah.
Nala yang mendengarnya langsung segera menuju ke tempat duduknya yang berada
paling belakang dan paling pojok. Setelah menyimpan tas, ia langsung pergi ke toilet tak lupa
membungkuk kepada pak Jaka.

Nala menghela nafas melihat toilet yang sangat berantakan, serakan tisu bekas di
mana-mana, genangan air, dan jejak sepatu yang terkena lumpur. Untung hanya toilet wanita
saja, jadi setidaknya ia tidak terlalu banyak menghabiskan tenaga di pagi hari ini.

Nala memunguti tisu-tisu yang berserakan di mana-mana lalu memasukkannya ke


dalam tempat sampah. Setelahnya ia mengepel seluruh toilet dan membersihkan per bilik
kamar mandi, namun aktivitasnya terhenti saat mendengar suara toilet terbuka. Nala segera
menengok ke belakang dan mendapati kelompok Mita berada di situ sembari bersedekap
dada menatapnya dengan pandangan rendah.

“Wah, kenapa pas sekali ya? Ada si bisu di sini,” ujar Mita yang maju mendekati Nala
dengan gerombolan nya, sedangkan Nala terus berjalan mundur.

“Loh? Kita maju kok kamu malah mundur sih, takut ya?” ejek Aruna.

“Ya takutlah, memangnya apa lagi? Padahal belum di apa-apa kan,” timpal Rania.

“Tenang saja, aku sedang tidak untuk mood membully mu secara fisik, jadi ya
mungkin…” ujar Mita

Brak…

“Mungkin seperti ini! Hahahaha,” sambungnya.

Pecah sudah tawa Mita dan yang lainnya setelah berhasil menutup pintu toilet, Nala
yang ada di dalam hanya bisa menatap panik pintu toilet yang tidak bisa di buka. Itu berarti
mereka mengunci nya dari luar bukan?

Nala terus memukul pintu kamar mandi berharap ada yang bisa mendengarnya dan
menolong, yang ia dengar adalah gelak tawa beberapa murid. Nala duduk meringkuk di
pojokan kamar mandi sembari menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan, entah
bagaimana caranya nanti ia bisa keluar dari sini.

Tok…Tok…Tok….

“Di dalam ada orang?”


Nala yang mendengarnya langsung berlari ke arah pintu dan membalasnya dengan
suara ketukan. Ia kenal betul suara itu, itu suara Biru! Ia harap ia bisa membantunya untuk
segera keluar dari sini.

“Oh? Ada orang ya? Ini pintunya terkunci, kamu menjauh dari pintu ya aku akan
mendobraknya,” ujar Biru. Nala mengangguk walaupun Biru tidak bisa melihat nya, lalu
berjalan mundur untuk menjauhi pintu.

Brakk….

Brakk….

Brakk….

Dobrakan ketiga akhirnya pintu toilet berhasil di buka. Jangan meremehkan kekuatan
Biru, karena ia sangat pandai dalam urusan bela diri. Nala menghela nafas lega dan segera
menghampiri Biru, mengeluarkan buku serta pulpen nya.

‘Kamu tak apa kan? Apa lenganmu sakit? Jika sakit, ayo kita obati dulu ke UKS. Biar
ku antar atau ku obati,’ tulis Nala dalam bukunya.

Nala melihat Biru tersenyum sembari menatap nya.

“Tidak-tidak, aku tidak apa-apa. Lenganku baik-baik aja, justru seharusnya aku yang
bertanya pada mu. Kamu tidak apa-apa?” ujar Biru khawatir.

Nala menggelengkan kepala sedangkan Biru tertawa kecil, ia jadi bingung… Ada
yang salah dengannya?

‘Kenapa?’ tanya Nala setelah di lembar buku selanjutnya.

“Gunakan bahasa isyarat saja, aku mengerti kok. Jadi kamu tidak perlu capek-capek
menulis di bukumu itu,” ujar Biru sembari tersenyum. Bola mata Nala membola terkejut, ah?
Biru bisa bahasa isyarat? Ia tidak percaya.

‘Nih, aku menggunakan bahasa isyarat. Tidak usah kaget dan tidak percaya seperti
itu, aku beneran bisa kok,’ ujar Biru dalam bahasa isyarat.

Nala terperangah, Biru benar-benar bisa bahasa isyarat? Selama ini hanya orang
tuanya yang bisa berbahasa isyarat. Nala segera membalasnya dengan bahasa isyarat juga.
‘Aku sangat terkejut,’ ujarnya. Biru hanya terkekeh membuat rambut halusnya sedikit
bergoyang.

“Ya sudah aku ke kantin dulu ya,” pamit Biru sembari melambaikan tangan ke arah
Nala, ia hanya tersenyum melihatnya.

Ah, rasanya ia butuh seseorang seperti Biru yang bisa memberikannya semangat. Nala
langsung bergegas masuk ke dalam kelas tanpa memperhatikan apa pun, tanpa rasa curiga ia
buka pintu kelas yang tertutup. Ia tahu ini sudah jam istirahat jadi pasti pak Jaka sudah keluar
kelas.

“Hahahaha lihat, ia jadi lebih jelek sekarang,” kata Rania tertawa puas.

“Hahahaha, mari kita buat lagi nanti,” sahut Aruna menambahkan.

“Tepung, telur, dan air sudah. Tinggal kita masukkan ia ke dalam oven!” tambah Mita
yang menatap Nala sinis.

Riuh tawa terdengar di mana-mana, Nala hanya bisa menunduk. Saat ia buka pintu
ternyata ada yang menaruh ember di atas pintu yang berisi campuran tepung, telur, dan air.
Sudah pasti langsung terjatuh saat ia buka, entah bagaimana caranya membuat jebakan
seperti itu Nala juga tidak tahu. Jangan tanyakan bagaimana kondisinya sekarang.

***

Gumpalan kapas ke abu-abuan kembali menghalangi langit ibu kota sore ini,
sepertinya hujan akan turun sebentar lagi. Jarum jam menunjukkan pukul 5 sore, menandakan
bahwa sudah waktunya seluruh siswa untuk pulang ke rumah masing-masing. Berbeda
dengan Nala, dengan gesit ia mengayuh sepedanya menuju dermaga. Walau kali ini angkasa
benar-benar menurunkan rintiknya, Nala tidak mengurungkan niatnya untuk tidak pergi.
Sudah menjadi tradisi baginya untuk pergi ke dermaga di hari kematian orang tuanya. Tak
ada alasan yang pasti mengapa ia melakukan hal itu. Yang jelas hanya berdo’a dan menatap
sendu senja bersama laut yang telah melenyapkan orang tuanya.
1 jam telah berlalu, namun Nala masih berdiri tegak memandang setia ke arah senja
yang tertutup angin kelabu. Entah apa yang di pikirkannya.
‘Bunda, Ayah, maaf kali ini Nala datang dengan keadaan yang tidak baik. Karena
semenjak bunda dan ayah pergi, semuanya membenci Nala. Mereka menganggap kecelakaan
ini terjadi akibat Nala. Hidup Nala tidak pernah baik-baik saja setelah bunda dan ayah
meninggalkanku sendiri. Nala kangen bun...’ batin Nala sembari memandangi indahnya senja
bersama laut.
“Nala? Ada apa kamu disini?” ucap Biru menepuk bahu Nala.
‘Ah, Biru aku hanya memandangi senja saja. Apa kamu ada perlu di sekitar sini?’
tanya Nala.
Sebenarnya Biru tau apa yang terjadi dengan Nala. Sejak kenal dengan Nala, Biru
suka mengikutinya secara diam-diam. Bukan tanpa alasan ia melakukan ini semua. Biru
hanya merasa iba dengan perlakuan teman-teman di sekolah terlebih Nala sering terlihat
murung.
‘Aku tahu semuanya, Nala. Aku tahu mengapa kamu ada disini. Semua ini bukan
salahmu, berhenti menyalahkan diri sendiri terus. Berhenti mendengarkan omongan di luar
sana. Tidak ada salahnya untuk memaafkan diri sendiri dan mencoba hal baru kan?’ ujar Biru
menatap mimik wajah Nala.
‘Biru...kamu tidak tahu apa yang aku rasakan. Sebenarnya aku tidak bermaksud
melakukan hal ini. Aku hanya sedih karena rasanya dunia tak adil kepada aku. Senja dan laut
telah mengambil orang tua aku. Coba saja kamu bayangkan ketika melihat mereka pergi
dengan senyuman teramat bahagia yang merupakan senyuman terakhir yang bisa aku lihat.
Menjadi anak yatim piatu adalah ujian berat bagiku. Aku masih belum bisa ikhlas atas
kepergian mereka, Ru. Mereka bagaikan cahaya matahari yang bersinar di pagi hari,’
tuturnya dengan isak tangis.
Biru hanya mengelus lembut punggung Nala, mengerti maksud perkataan gadis itu. Ia
juga menjelaskan bahwa sebenarnya mereka semua belum mati. Mereka hanya pergi berlayar
menuju samudera yang pada akhirnya akan mencapai cakrawala, garis pembatas yang
memisahkan kehidupan ini dengan yang di luar sana. Setelah mereka melewati garis itu, kita
tidak bisa melihat mereka lagi, apalagi bicara atau menyentuhnya, namun kita tahu bahwa
mereka belum musnah sama sekali. Kasih mereka akan tak terhingga sepanjang masa.
Mereka akan selalu mengikuti mu ke mana pun kamu pergi. Inilah yang dinamakan
cakrawala kematian.
‘Aku tidak menyuruhmu untuk melupakan mereka, aku hanya ingin kamu berhenti
menyalahkan diri sendiri. Dan cobalah untuk menerima musibah ini dengan lapang dada.
Ingat Nal, kamu masih punya mimpi menjadi seorang penulis. Aku siap menjadi pembaca
pertama dalam setiap karyamu. Mari kita bertemu kembali di tempat ini pada esok hari. Aku
punya sesuatu untukmu,’ ucap Biru sambil tersenyum meninggalkan Nala.
Nala hanya membalas dengan senyuman. Tidak, sebenarnya ia masih mencerna
kalimat itu. Selama ini ia memang masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Ia
menganggap kecelakaan ini terjadi akibat dirinya. Jika saja saat itu dirinya bisa menahan
orang tuanya untuk tidak pergi, pasti ini semua tidak akan terjadi.
Kemudian Nala bergegas pulang dan menunggu hari esok untuk melihat hal apa yang
akan diberikan oleh Biru.
***
Semilir angin di sore hari memang sangat menenangkan. Di tambah dengan
pemandangan senja yang begitu memanjakan mata. Ciptaan Tuhan tidak pernah
mengecewakan makhluk nya. Apapun yang Tuhan ciptaan patut untuk dikagumi.
Seorang gadis dengan setelan baju berwarna cokelat terlihat lihai menulis serangkai
kalimat di buku kesayangannya. Benar, gadis itu adalah Nala yang sedang menikmati
indahnya senja sembari menuliskan diary nya.

_________________________

Dear Diary, 03/05/2010

Hanya bisa diam tanpa mampu membantah.

Hanya bisa mendengar tanpa mampu berbicara.

Hanya bisa menerima tanpa mampu melawan.

Aku memang bisu, tidak bisa bicara. Tapi aku juga manusia yang berhak di
perlakukan sebagaimana mestinya.

Biru yang melihat Nala sudah duduk dari kejauhan langsung menghampirinya.

“Hai, Nala sudah lama tunggunya? Maaf ya baru datang tadi macet sekali,” ucap Biru
dengan antusias yang tinggi.

‘Tidak kok aku juga baru datang’ ujar Nala.

Biru melihat buku dan tulisan-tulisan di buku yang di pegang Nala.

“Jadi orang bisu itu tidak enak ya. Mungkin bully dan ejekan itu sudah menjadi
makanan sehari-hari kamu. Tapi dengan itu kamu bangkit, kamu berjuang. Kamu hebat Nal,
aku yakin suatu saat nanti kamu akan jadi motivator terhebat dan penulis terkenal untuk
orang-orang. Semua orang akan membaca cerita-cerita, puisi, sajak, dan syair mu. Jika kamu
menganggap bahwa orang lain tak berpihak padamu, Tuhan masih menyisakan harapan dan
kebahagiaan di masa depan. Langit masih menyambutmu dengan keceriaan. Dan semesta
masih memberikanmu kesempatan untuk raih sebuah impian,” puji Biru yang sedang
menatap manik mata Nala.

‘Hebat itu bukan dengan cara, tapi dengan usaha. Terima kasih karena pernah hadir
dalam hidupku Ru, terima kasih kamu selalu mendukungku. Berkat kamu, aku jadi sadar
kalau ternyata selama ini aku terlalu larut dalam kesedihan. Bunda dan ayah pasti juga sedih
jika melihat anak semata wayangya sedih karena mereka. Sekali lagi, terima kasih atas
segalanya…’ sambung Nala dengan senyuman hangat.
Langit sore mulai menghitam, menandakan sebentar lagi akan berubah menjadi
malam. Sang senja mulai hilang karena ditelan oleh kegelapan.

Semua orang bergegas pergi. Namun berbeda, Nala dan Biru masih di sini. Menikmati
tiap detik yang berarti. Bersama terbenamnya sang surya sebagai pelengkap hari.

Aku bahagia karena memilikimu. Aku bersyukur pada Tuhan karena telah memberiku
sang malaikat pujaan.

Semenjak sore itu, Nala mencoba untuk berdamai dengan diri sendiri dan masa
lalunya. Ia juga belajar bahwa orang yang mampu berdamai dengan masa lalu dan dirinya
sendiri akan cenderung lebih bahagia dan tentram. Sebab kunci dari hidup bahagia adalah
saling memaafkan.

***

1 tahun telah berlalu, kini mereka sudah dewasa dan menjalin hubungan kasih. Nala
berhasil membuktikan pada dunia bahwa ia bukan lah manusia yang selalu mempunyai
kekurangan. Terkadang di balik satu kekurangan terdapat sejuta keberhasilan. Sekarang, Nala
melanjutkan sekolahnya ke jenjang akhir. Ia masuk Universitas Indonesia dengan SNMPTN
prodi Sastra Indonesia. Sedangkan Biru kini telah masuk di Universitas Airlangga prodi
Kedokteran.

__________________________________________________

Di balik sebuah pencapaian pasti selalu ada luka yang tertanam. Di balik sebuah kesuksesan
pasti ada derai air mata yang membekas. Semua tak di raih tanpa usaha. Semua memang
berawal dari mimpi dan harapan, hingga hanya duka dan air mata yang bertahan ketika
sedang berjuang. Bukan tanpa alasan semua berjalan menikmati luka, tapi masa depan
tengah menanti dan memberi kebahagiaan. Jangan menyerah, semua akan indah tapi pada
saatnya. Kamu pasti bisa melewati segalanya!

_______________________________________
Kata Penghubung / Konjungsi pada cerpen berjudul “Cakrawala Bisu” :

1. Kata Hubung Aditif (dan, serta)

2. Kata Hubung Waktu (sejak, setelah,selanjutnya)

3. Kata Hubung Pertentangan (sedangkan)

4. Kata Hubung Pilihan (atau)

5. Kata Hubung Tujuan (untuk, agar)

6. Kata Hubung Sebab (karena, sebab)

7. Kata Hubung Akibat (sampai)

8. Kata Hubung Urutan (lalu, kemudian)

9. Kata Hubung Syarat (jika, kalau)

10. Kata Hubung Tak Bersyarat (walaupun)

11. Kata Hubung Perbandingan (seperti, sebagai)

12. Kata Hubung Pembenaran (biar)

Macam-Macam Majas pada cerpen berjudul “Cakrawala Bisu” :

1. Majas Metafora

 guru killer dengan tatapan matanya bagaikan elang padahal selalu memasang wajah
datar. (paragraf 12)

 Menjadi anak yatim piatu adalah ujian berat bagiku. (paragraf 60)

 Dan cobalah untuk menerima musibah ini dengan lapang dada (paragraf 62)
2. Majas Personifikasi

 dengan lihainya berimajinasi dengan pena yang menari-nari di atas buku. (paragraf 5)

 Nyanyian merdunya bagai melodi mengingatkan cita-cita. (paragraf 7)

3. Majas Hiperbola

 Kasih bunda dan ayah akan tak terhingga sepanjang masa. (paragraf 61)

4. Majas Simile

 Mereka bagaikan cahaya matahari yang bersinar di pagi hari (paragraf 60)

 Hening namun mengaung bak singa (paragraf 6)

Anda mungkin juga menyukai