Anda di halaman 1dari 6

NARA

Pukul 16.00 sore hari, dan Nara masih terjebak kemacetan di jalanan. Sejak 30 menit yang lalu,
mobilnya masih saja belum bisa maju. Bandung apalagi wilayah dago memang tidak pernah lepas dari
kemacetan.
Karena bosan akhirnya wanita itu memutar lagu, berharap dengan mendengarkan musik akan bisa
mengurangi kejenuhan yang dia rasakan.

Drrrrttt.. Drrrrttt..

Nara langsung merogoh saku celananya jeansnya, mengambil ponsel yang bergetar. Terdapat di layar
ponselnya sang adik menelponnya.
“ halo kak, anuu…” ucap zea sembari meragukan perkatannya.
“ ada apa ze.. kaka masih di jalan nih” balas Nara.
“ begini kak, zea minta tolong kaka belikan novel yang kemarin malam zea tunjukan pada kaka “
Nara pun menggelengkan kepala dia kira terjadi sesuatu. “ baiklah ze.. kaka kira ada apa, oh ya
sepertinya kaka pulang malam karena kaka terjebak macet.. yasudah kaka tutup telponnya ya “

Nara mahasiswa semester akhir tak hanya sibuk dengan skripsinya tetapi ia harus banting tulang untuk
biaya kehidupannya dan demi membiayai pengobatan adiknya.

Kemacetan pun mulai terurai, dan Nara pun segera melajukan mobilnya. Sekitar setengah jam
kemudian, Nara sampai di toko buku. Saat ia sibuk mencari buku yang diinginkan sang adik, ia tak
menyadari bahwa di sebelahnya ada pria yang memperhatikannya sedari tadi.
Nara pun tersadar lalu ia melihat pria tersebut dan ya ternyata itu Nathan. Nathan sang kekasih Nara
yang baru menjalani hubungan menginjak setengah tahun itu.

“ Hai ara “ sapa Nathan yang telah mengetahui nara menyadari kehadirannya.
“ astaga nath kenapa bisa di sini? ” tanya nara. “ kata zea lo ada di sini jadinya gue nyusul deh, lagian
kenapa lo ga bilang gue dulu?” tanya Nathan. “ gue cuma mampir sebentar aja nath” jawab nara. “iyaa
sayang.” ucap nathan sembari mengelus kepala Nara. Setelah mendapatkan buku dan juga berbincang
keduanya memutuskan untuk makan.

Nara menatap tidak suka saat Nathan menutup styrofoam nasi gorengnya.
“ Nath, itu belum habis. “
“Kenyang.” jawab Nathan seadanya. Cowok itu meminum jus mangga dalam kemasan botol yang tadi
dibelinya dekat toko buku.
“Mubadzir, Nath, tadi belinya pakai uang, kan?”
“Kenyang, Ra”
“tapi kata mama, kalau makan ngga dihabisin, nanti makanannya nangis. Nasi goreng gue aja habis,
lojuga harus abis.”
Nathan benar benar harus menahan tawa mendengar kalimat polos Nara. Ah Nara sealalu saja
menggemaskan.”Yaudah gue habisin, nih.”

**

Setelah sampai di rumah Pkl. 00.32

Zea.

Buru buru aku berjalan masuk saat ingat dengan adikku. Aku membuka pintu kamar Zea dengan pelan
dan menengok ke dalam. Seorang gadis tampak terlelap dengan selimut yang hanya menutup kaki.

Perlahan aku masuk dan mendekatinya. Aku menarik selimut Zea hingga sebatas dada. Setelah itu aku
duduk di pinggir ranjang dan menatapnya yang terlelap.

Aku mengusap keningnya lembut. Saat ini, hanya Zea satu satunya harta berharga yang aku punya dan
aku sangat menyayanginya. Tatapaku lantas tertuju ke kursi roda yang berada di dekat jendela.
Kepalaku langsung terunduk. Satu tahun ini, Zea hidup dengan bantuan kursi roda. Setelah itu aku
simpan novel yang diinginkan Zea pada meja belajarnya.

Tes.

Tanpa sadar air mataku menetes membasahi pipi. Melihat adik yang aku sayangi hidupnya tidak bebas
lagi membuatku sakit. Aku mengangkat wajah dan saat itu lah tatapan ku tertuju ke bingkai foto yang
menempel di dinding.

**

Puk…Puk…

Aku menyapukan bedak di wajah Zea. Dia tersenyum setelah aku menepukkan tanganku ke pipinya.
Zea sangatlah cantik. Kulit putih warisan ibu ditambah dengan mata cokelatnya yang berbinar. Berbeda
dengan ku yang mewarisi gen ayah. Kuliku tidak seputih Zea dan warna mataku lebih gelap.

“Semalam Kakak pulang jam berapa?”

“Jam 12. Kakak kemarin bertemu Nathan. Kamu tahu kan dia mengajak kakak mampir ke suatu tempat
lalu mengajak ke tempat lain. Ck.” Jawab Nara kesal saat mengingat kejadian malam kemarin ia di
paksa Nathan untuk menemaninya mengerjakan tugas kuliahnya.

“Hahahaha Kak Nathan ada ada aja, hari ini kakak di rumah aja kan gak kemana mana?” tanya Zea.
“iyaa Ze hari ini kaka free dan gak ada rencana kemana pun”
“baiklah kak”

Lalu aku duduk di depan TV sambil membaca buku. Sementara Zea asyik menonton acara musik dan
sesekali ia menyanyi.

Tok. Tok.

Kualihkan tatapanku ke Zea. Aku mendengar suara ketukan pintu.


“Kak, kayaknya ada yang dateng,” ujar Zea yang juga mendengar suara itu. Kuletakkan buku di atas
sofa, lalu berjalan ke ruang tamu. Saat ku buka pintunya aku ternyata Nathan.

“Nath, ngapain?” tanyaku heran


“Hai. ikut gue, yuk.”

Nathan menarik tanganku ke dalam kamar. Sesampainya di kamar, ku lihat Nathan berdiri di depan
lemari, lalu membukanya dan mengambil sesuatu di sana. “Ngapain sih?”
Nathan berbalik dan berjalan ke ranjangku dengan membawa beberapa pakaian. Kulihat Nathan
menatap keseluhan kamar ku, lalu ia mengambil tasku dan mengeluarkan buku buku dengan
memasukkan pakaian ku ke dalam ranselku.
“Nath! ngapain sih?”
Kudekati lelaki itu yang sibuk memasukkan pakaian pakaian ku ke dalam ransel. Setelah
memasukkannya, Nathan membawanya di punggung. Lelaki itu tersenyum manis dan menarikku
keluar kamar.
“Zea, Kak Nara ada camping. Besok sore baru pulang, boleh kan?”
Mataku membulat mendengar ucapan Nathan pada Zea. Kutatap Zea sambil menggeleng. Tak ada
acara camping apapun. Apa sih maksud lelaki ini?
“Boleh, Kak. Jagain Kak Nara, ya.”
Kutatap lelaki yang sedang tersenyum hangat itu sambil berbisik di telinganya. “Maksud lo apa, sih?”
Bukannya menjawab Nathan malah menyampaikan pesan ke Zea. “Ze, nanti Kak Irene kesini. Kamu
sama Kak Irene ya gapapa?”
“Yay siapp! udah lama gak ketemu Kak Irene.. have fun ya Kak!”

Setelah mereka masuk ke dalam mobil, Nara pun bertanya dengan kesal “Maksudnya apa sih Nath.
Kita mau kemana?”
Nathan menoleh sekilas, kemudian melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumah Nara.
“Kita liburan.”
Kutegakkan tubuhku. “Liburan? Tapi skripsi gue belum selesai Nath.”
“Skripsi lo belum selesai?
“Ya”
“Gak apa apa. Biar pikiran lo lebih jernih.”

**

“Nath!Turun!”
Aku mendongak menatap Nathan yang berdiri di atas tebing, Lututku rasanya lemas melihatnya
berdiridi ujung tebing itu. Tak terlalu tinggi sih, Namun sekitar enam meter. Namun tetap saja
menurutku itu tinggi

“Ara! Lihat gue ya!”

BYURR!..

Jantungku berdetak cepat karena aksi ekstrem yang Nathan barusan. Sontak saja pandanganku tertuju
ke tempat Nathan jatuh. Lelaki itu tak kunjung muncul ke permukaan. Aku mendekat ke tepi
pantaiuntuk mencari keberadaannya.

“Nath! Nathan!”
Sosok nathan belum muncul juga. Pikiran buruk pun seketika menyelimuti. Air mataku keluar, takut
terjadi sesuatu dengannya. “Nathan,” panggilku sambil terisak.

Tak lama, kulihat Nathan muncul kepermukaan. Ia berenang dengan santai, seolah tak terjadi apa pun.
Aku bernafas lega melihatnya baik baik saja. Lelaki ini membuatku jantungan saja!

“Lo berani kayak gue tadi?”


Aku berbalik badan, berjalan kembali ke tempatku tadi. Aku duduk di pasir dan menatap laut lepas.
Apa Nathan tak melihat raut wajah ku yang pucat? Dan bisa bisanya ia mengajukan pertanyaan seperti
itu.
“Ra, kok malah diem? Lo berani gak?”
Kurasakan kehadiran Nathan di sebelahku dan menatapku. Aku menoleh ke arah ia dengan air mata
turun membasahi pipi.
“Gak! Gue gak berani!” jawabku sambil teriak.
“Loh kok jadi nangis si ra? Kenapa?”
“lo tahu gak sih gue takut ngeliat aksi lo tadi!lo malah santai seolah gak terjadi apa apa”
Tangan Nathan mengusap punggungku. Perlahan aku menatap Nathan yang menatapku dengan
senyum lembutnya. “Maaf, ya”

Aku lebih memilih menunduk menatap pasir dari pada menatapnya. Kami duduk dalam diam, tak ada
percakapan lagi yang terjadi. Tatapanku tertuju pada matahari yang mulai tenggelam. Sangat Indah. Ini
pertama kalinya aku melihat matahari tenggelam dengan sangat jelas.

“Gak terasa ya, udah enam bulan kita jalanin hubungan ini.” Ucap Nathan sendu.
“I love you, Ra.”

Aku berbalik badan dengan pipi memanas, bingung apa yang harus aku lakukan . Biarlah kami seperti
ini seiring berjalannya waktu. Satu yang kuminta, Tuhan, jangan membuatku merasakan patah hati lagi.

**

Pov Nathan

“Nath, kamu ingat dengan pacar Damar? Tanya mamah Nathan yang bernama Relin. FYI Damar
adalah adik dari Nathan. Damar telah meninggal saat insiden kecelakaan tahun lalu.
Kutatap mama lantas aku menggeleng.”Memang kenapa ma?”
“Mama udah nyari tahu. Dia lumpuh, Nath. Kita harus menemuimnya”
“unuk apa, ma? semua udah jadi masa lalu”
“ minta maaf nath. Kita belum pernah menjenguk mereka.”
“Mama tahu rumahnya. Mama juga ngirim sesuatu untuk mereka. Tapi, mama belum siap ketemu..
Kamu temenin mama ya nath.”

Aku mengangguk menyanggupi. Tak ada salahnya bertemu dengan orang di masa lalu meski kenangan
menyakitkan itu sudah pasti akan terasa.

“Pacarnya Damar makin cantik, loh, Nath. Kakaknya juga cantik.” Mama tampak antusias
menceritakan tentang mereka. “Nama kakaknya itu Nara, Nath.
Ucapan mama membuatku terdiam. Seingatku, nama pacar Damar itu Zea. Tadi mama bilang kalau
pacar Damar sekarang lumpuh dan punya kaka bernama Nara. Nara juga punya adik lumpuh yang
bernama Zea. Mataku membulat sempurna. Ini cuma kebetulan kan? Banyak kan adik kakak bernama
Nara dan Zea? Bukan hanya mereka saja, kan?

**

Aku berjalan santai menuju rumahku. Saat melihat mobil Nathan terparkir di halaman rumah,
senyumku pun mengembang. Aku berlari ke pintu, masih dengan senyum senyum mengembang.
Tatapanku tertuju ke ruang tamu. Kulihat ada Nathan duduk dengan wanita paruh baya. Tatapanku lalu
tertuju ke Zea yang berlinang air mata.
“Zea, ada apa, sayang?”
Zea memelukku erat. Tangisnya semakin kencang. Kemudian, aku melihat mama Nathan yang juga
berlinang air mata.
“ Nath, Ada apa?” mataku menatap Nathan intens. Aku menunggu penjelasan.
“Maafin tante Nara. Anak tante udah bikin kalian menderita.”
Satu alisku terangkat, tak mengerti dengan ucapan mama Nathan. Kemudian, mataku kembali melihan
Nathan yang kini tengah menatapku dalam diam.

“Maksudnya apa, Tante?”


Kudengar mama Nathan semakin terisak, Zea pun juga demikian. Ada apasih sebenernya? Apa yang
mereka tangisi?

“Saya mamanya Damar.”

Deg!

Jantungku seolah berhenti bedetak sesaat begitu mendengar ucapan itu. Tubuhku menegang saat nama
lelaki yang selama ini kubenci kembali terdengar.Terlebih lagi, sebuah fakta baru ku ketahui. Kutatap
mama Nathan dan nathan secara bergantian. Tak menyangka jika lelaki yang kucintai adalah kakak dari
Damar.

“Sayang,” Lirih Nathan


“Saya ingin meminta maaf, Nara. Maaf karena kecelakaan itu membuat adikmu lumpuh. Maaf karena
kami baru menjenguk kalian. Tante tahu, ini sudah terlambat.”

Kupijit pelipisku yang berdenyut seraya mencoba meredamkan emosiku agar tidak meledak. “Kenapa
baru sekarang, Tante?”
“Kami takut, Ra.” Kali ini Nathan yang bersuara.
“Takut apa, Nath? Apa menjenguk dan menanyakan kabar itu sangat berat? Bahkan aku
menyempatkan diri ke ruang perawatan untuk menemui Damar meskipun aku benci sama dia. Tapi
kalian gak menginzinkan orang lain menjenguk Damar saat itu?”
“Maafkan kami, Nara. Kami cuma gak ingin orang lain melihat duka kami.”

Aku tersenyum sinis. Tak ingin melihat duka? Bukankah kedatangan orang lain sebagai wujud
dari perhatian dan kasih sayang kepada mereka? Sombong sekali keluarga Damar ini.
“Lalu kalian ke sini untuk apa? Untuk minta maaf? Sudah saya maafkan. Mohon maaf, saya dan Zea
mau istirahat” Usirku secara halus.
“Sekali lagi aku minta maaf, Ra.” Ucapan maaf Nathan dengan sangat tulus dan mencoba untuk
meluluhkanku. Tetapi fakta itu membuat ku sangat kecewa.
“Tante minta maaf ,Nara.” Isak mama Nathan. Setelah mereka berdua keluar. Lalu kututup pintu
rumah.

Sangat mengecewakan.
**

"jangan benci Kak Nathan, Kak. Dia gak salah."


"Kenapa kmu belain dia?" Tanyaku cepat.
Zea mendorong kursi rodanya hingga mendekat ke arahku. Ia menarik tanganku dan
menggenggamnya. "Sebelum Kakak dateng, Kak Nathan cerita. Dia cinta banget sama Kakak."

Kualihkan tatapanku ke arah lain. Cinta? Ia menutupi kesalahannya dengan kata cinta? “Kakak
gak tahu, Ze. Saat ini Kakak lagi kecewa." Zea kembali terisak. Seketika aku berbalik badan,
bersimpuh di depannya dan memeluknya erat. "Kenapa nangis lagi, Ze?" "Kak, bisa kita lupain itu?
Semua udah berlalu, Kak. Aku ikhlas nerima keadaan ini." Dadaku sesak mendengarnya. Adikku
memiliki hati sebesar ini, tapi tak sebesar hatiku. Kulepas pelukanku dan menghapus air matanya
dengan lembut. "Lama kelamaan pasti lupa kok, Ze. Tapi, untuk sekarang belum bisa."

"Kak, jangan sampai Kakak nyesel. Cintai Kak Nathan sebelum kalian dipisahkan oleh takdir
sepertiku dan Damar."
Aku berjalan keluar kamar. Air mataku menetes mendengar ucapan Zea. Ia memang lebih mengerti
tentang cinta. Kutarik napas panjang. Kini, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Namun, untuk
sekarang biarkan aku dan Nathan berjauhan seiring kekecewaan itu hilang.

**

"Ra, Nara." Samar-samar kudengar ada yang memanggilku. Aku ingin membuka mata, tapi
kepalaku terasa berat. Alhasil, aku hanya bisa mendengarkan suara itu dalam diam. Tak lama
kemudian, kurasakan benda hangat menempel di keningku. Sepertinya aku dikompres. "Ra."

Panggilan lembut itu kembali terdengar. Kali ini, diiringi dengan kecupan di keningku.
Kupaksakan mata ku terbuka. Terlihat raut kekhawatiran lelaki di atasku. Mataku kembali terpejam
saat pusing itu kembali mendera. "Kita ke dokter ya, Sayang," bisik Nathan. Aku tak merespons.
Dalam hati, sebenarnya aku menolak usul Nathan. Dari kecil aku tak suka ke dokter, apalagi meminum
obat. Tenggorokanku sulit menelan obat begitu saja. Aku harus menghaluskan obat itu terlebih dulu
dan mencampurnya dengan air gula.

Di rumah sakit

"Lo dari tadi gak pulang?" tanyaku yang tak nyaman dengan keheningan ini. "Gak. Gue gak
tenang ninggalin lo sendirian." Tatapanku mengikuti gerakan Nathan yang kini berdiri untuk
mengambil segelas air minum. Kemudian, ia mengarahkan gelas air minum itu kepadaku. Kubenarkan
posisiku dengan dibantu Nathan hingga duduk dan meminum air itu. "Sekarang lo tidur lagi, ya. Jangan
banyak pikiran." Kedua tangan Nathan menarik selimut ke atas setelah aku kembali berbaring. Mataku
tak henti menatapnya yang menunduk di atasku.

"I love you," bisik Nathan. Nathan mencium keningku lembut Sebelum meninggalkan kamar, ia
sempat memberiku senyum hangat. Jantungku berdegup kencang mendapat perlakuan seperti ini.
Sebagian hatiku menyesali keputusanku beberapa hari yang lalu. Tak seharusnya aku menghindar
karena lelaki itu membuatku kecewa. Aku sadar, aku salah telah berbuat jahat ke lelaki yang kucintai.
Satu Tahun kemudian.

Pov Nathan

Terbayang saat aku melamarnya malam setelah wisuda. Aku tak kuat lagi melihat Nara hidup dan
berjuang sendirian. Aku ingin menjadi tempatnya bersandar dan tak menunggu lama untuk
menjadikannya milikku.

They don't know about the things we do...


They don't know about the I love you's....
But I bet you if they only knew...
They would just be jealous of us...
They don't know about the up all night's....
They don't know I've waited all my life...
Just to find a love that feels this right...
Baby, they don't know about,
they don't know about us.

Lirik ini sangat pas untuk menggambarkan kisah cintaku dengan Nara. Semua orang tak tahu tentang
hidupku dan Nara, apalagi kisah cinta. Mereka hanya iri dan mementingkan kesempurnaan

Mereka tak tahu tentang kita, Ra. Tatapanku tertuju ke Nara. Istriku itu tersenyum lebar dengan
pandangan penuh kekaguman. Aku tahu, ia pasti menyadari setiap lirik lagu yang kunyanyikan.
Kutatap Nara dalam dan kembali melanjutkan nyanyianku dengan terus menatapnya.

They don't know how special you are...


They don't know what you've done to my heart...
They can say anything they want...
Cause they don't know us.

Mereka tak tahu bagaimana istimewanya Nara bagiku. Bagaimana Nara mampu membuat seorang
Nathan berubah dengan tingkah lakunya. Mereka tak tahu itu.

Musik They Don't Know About Us milik One Direction ini mulai memelan, tanda lagu telah selesai. Aku
masih berdiri di tempat dengan tatapan tertuju ke Nara. "I love you," gumamku tanpa suara. Nara
tersenyum manis, membuatku gemas ingin memeluknya. Ia juga membalas ucapanku tanpa suara. "I
love you, too." Begitulah yang kutangkap dari gerak bibirnya

Anda mungkin juga menyukai