Anda di halaman 1dari 20

Samsara

Karya : Deslina Putri Wahyudin

“Akan kuceritakan sebuah kisah yang tanpa sengaja


membuatku dilema dan terjebak dalam rasa yang fana.
Inilah aku dan masa lalu.”

Alana Auristella. Siapa yang tak mengenal gadis


ini? Seorang gadis cerdik yang hidup berbalut
kesederhanaan. Ayah dan Ibu Alana bercerai ketika Ia
berumur 10 tahun. Sejak saat itu pula Alana hanya bisa
merasakan kasih sayang seorang Ibu. Semenjak berada
di bangku SMP, Alana sering membantu Ibunya
berjualan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Ia tak
segan untuk menitipkan makanan yang dibuat oleh
Ibunya di kantin sekolah. Berkat kecerdikannya, Alana
mampu mendapatkan beasiswa di salah satu sekolah
ternama di Kota Bandung. Siapa pun tidak akan
menyangka bahwa Alana selalu dibully di sekolahnya.
Namun, karena sifatnya yang cuek, Alana tidak pernah
menghiraukan semua kata dan perlakuan yang
dilontarkan untuknya.
Suatu pagi yang cerah, terdengar ayam berkokok
dengan nyaring, membuat Alana terganggu dalam
tidurnya. Ia mulai mengerjapkan matanya, duduk, dan
diam sebentar sambil mengumpulkan nyawanya.
Beberapa menit kemudian, Alana terlihat sudah siap
untuk berangkat ke sekolah, meskipun waktu masih
menunjukkan pukul 06.00 pagi. Sebelum berangkat,
Alana menyiapkan makanan yang akan ia titipkan di
kantin nanti, lalu Alana menghampiri ibunya untuk
berpamitan.
“Bu, Alana berangkat sekolah dulu ya!” ucap
Alana sopan.
“Iya, sayang, anaknya ibu yang paling cantik.
Semoga makanannya terjual habis. Hati-hati ya, Nak,”
ucap sang Ibu. Alana hanya membalas perkataan ibunya
dengan senyuman manis. Setibanya di sekolah, Alana
langsung bergegas menuju kantin.
“Bi, hari ini Alana titip 30 bungkus ya!” Ucap
Alana ramah.
“Iya neng, bibi yakin pasti makanannya akan
terjual habis!”
“Iya Bi, Alana harap juga seperti itu. Kalau
begitu, Alana ke kelas dulu ya, Bi!” ucap Alana ramah
sambil bergegas berjalan menuju ke kelasnya.
“Iya neng, hati-hati!” ucap Bi Ratih sedikit
berteriak. Ketika akan menaiki tangga untuk menuju ke
kelasnya, Alana tiba-tiba dicegat oleh kakak kelasnya,
yang tak lain adalah Nara Aurellia Rengganis dan
teman-temannya.
“Eh ada si cupu nih!” ucap Karin salah satu
teman Nara.
“Heh cupu, laper nih, lo beliin kita lontong kari
dong,” ucap Nara.
“Iya nih, beliin sana. Tapi gue maunya lontong
kari yang ada di ujung jalan,” tambah Asha.
“T-tapi, sebentar lagi bel masuk, Kak!” ucap
Alana gemetar.
“Oohh, lo udah berani ngelawan kita?” ucap Nara
dengan nada yang mulai meninggi.
“B-bukan gitu, Kak. T-tap...” ucap Alana terbata-
bata karena menahan tangis.
“Alah, gausah banyak alesan deh lo,” ucap Nara
marah.
“B-baik, Kak, akan saya belikan.”
“Nah, gitu dong dari tadi. Pake ada acara nolak
segala,” ucap Nara sinis.
Alana keluar melalui pintu belakang sekolah.
Alana berjalan perlahan sambil menundukkan kepalanya.
Ia berpikir mengapa Nara sebenci itu kepadanya?
Mengapa Ia tidak beruntung dalam menjalin
pertemanan? Tanpa disadari, air mata Alana perlahan
mengalir. Ia berjalan tanpa memperhatikan sekitar,
hingga ketika akan menyeberang, Alana tidak
mengetahui bahwa dari arah berlawanan ada mobil
melaju dengan kencang.
BRAKK!
Alana terpental, darah mulai bercucuran dimana-
mana, pandangannya mulai kabur, tubuhnya perlahan
kaku, dan orang-orang di sekitar tempat kejadian
terdorong untuk melihat keadaan Alana. Sayup-sayup
Alana masih bisa mendengar ricuhnya keadaan sekitar.
Dari kejauhan, Alana melihat seorang wanita cantik
sedang berjalan menghampirinya. Wanita itu
menggunakan pakaian bangsawan jaman dahulu. Alana
sedikit terheran saat melihat tampilan wanita itu, namun
ia berpikir bahwa mungkin itu adalah nenek moyang
yang menjemputnya untuk pergi ke akhirat. Perlahan,
Alana mulai tak sadarkan diri. Tak lama kemudian,
pertolongan medis datang dan segera membawa Alana
ke rumah sakit terdekat.
“Eugh..” lengguh seorang gadis yang tak lain
adalah Alana.
Alana perlahan mulai sadar, ia mengerjapkan
matanya beberapa kali, kepalanya terasa pening. Alana
bangun secara perlahan dan mengedarkan pandangannya
ke setiap sudutruangan. Ia tertegun. Alana terkejut
sekaligus bingung mengapa ia terbangun di sebuah
kamar cukup mewah yang tertata sangat rapi. Melihat
cermin besar disudutruangan, dirinya bergegas
menghampiri cermin itu. Betapa terkejutnya Alana
ketika melihat pantulannya sendiri. Wajah dan tubuh
yang sangat asing baginya.
“Sebenarnya situasi apa ini? Di mana aku
sekarang? Mengapa seluruh tubuhku baik-baik saja
setelah kecelakaan itu?”
Banyak pertanyaan terlintas di benaknya. Alana
terduduk di pinggiran ranjang, mencoba menelisik kamar
cukup mewah yang sedang ditempatinya itu. Matanya
seketika tertarik pada sebuah buku antik di atas nakas.
Alana berpikir mungkin saja di dalam buku tersebut ada
penjelasan mengenai situasi saat ini. Di halaman
pertama, Alana menemukan sebuah tulisan yang ternyata
biodata seseorang. Baru saja akan membacanya, Alana
dikagetkan oleh suara ketukan pada pintu kamarnya.
Tok Tok Tok
Ceklek
Pintu kamarnya terbuka. Sosok wanita dibalik
pintu segera menghampirinya. Alana yang terkejut hanya
bisa terduduk diam.
“Ndoro, Anda sudah ditunggu oleh Gusti Raden
Mas di ruang makan,” ucap wanita itu sopan.
“I-iya. Sebentar lagi aku menyusul,” balas Alana
masih bingung dan sedikit menyinggungkan senyum
manisnya. Wanita yang tampaknya adalah seorang
pelayan tadi pun tampak bingung. Ia terkejut karena baru
kali ini Sang Nona tersenyum padanya.
“ Kalau begitu, tolong antarkan saya menuju
ruang makan.”
“ Baiklah. Kalau begitu mari ikuti saya,” ucap
sang pelayan.
Alana lantas bergegas mengikuti sang pelayan
menuju ke ruang makan. Alana sering berpapasan
dengan penjaga dan pelayan Kadipaten. Mereka
tertunduk diam tak berani menatap Alana barang sedetik
pun, padahal sejak tadi Alana terus-menerus tersenyum
bahkan menyapa mereka. Para penjaga dan pelayan pun
terheran-heran. Mengapa Raden Rara yang angkuh dan
kejam tiba-tiba menjadi terlihat ceria dan sering
menampakkan senyumnya? Pikiran buruk segera mereka
hempaskan, mereka tidak mau mendapatkan masalah.
Sesampainya di ruang makan, Alana melihat
hanya ada seorang lelaki tua yang ia yakini adalah ayah
perempuan ini. Alana lantas menunduk tanda hormat
kepadanya. Melihat kedatangan putri semata wayangnya,
beliau lantas menyunggingkan senyumnya. Mereka
berdua lantas segera menyantap makanannya dengan
tenang. Suasana di ruang makan terasa begitu dingin dan
canggung, Alana berpikir mungkin hubungan mereka
sedang tidak baik.
Selesai makan, Alana kembali ke kamar dan
melanjutkan niatnya untuk membaca buku diary kuno
itu. Ia membaca satu persatu halaman buku tersebut
dengan serius dan teliti. Isi dari buku itu kebanyakan
menceritakan keseharian sang Raden Rara. Namun, ia
berhasil mendapatkan beberapa informasi mengenai
tubuh tempat jiwa Alana berlabuh saat ini.
Raden Rara Alana Liora Dahayu, seorang
bangsawan dari tanah Jawa yang terkenal akan parasnya
yang cantik namun memiliki sifat yang begitu angkuh
dan kejam. Sifat kejam yang dimilikinya entah datang
dari mana. Dahulu ia adalah anak yang periang dan
selalu ceria. Namun, semenjak Ibunya meninggal dunia,
ia menjadi anak yang angkuh. Meskipun ia adalah
bangsawan dari tanah Jawa, ia tidak mahir berbahasa
Jawa. Sejak kecil ia hanya diajarkan menggunakan
bahasa Indonesia. Alana Liora adalah anak tunggal
sekaligus cucu satu-satunya. Ia memiliki seorang pelayan
pribadi yang sudah menjaganya selama belasan tahun
bernama Mbok Darmi.
“APAKAH ADA ORANG DI LUAR?” Teriak
Alana.
“Nggih, Ndoro. Ada yang bisa saya bantu?”
Tanya Mbok Darmi, pelayan pribadi Alana Liora.
“Mbok Darmi, sini duduk,” titah Alana.
“Suwun pangapunten, Ndoro. Mana berani saya
duduk di samping Ndoro.”
“Tidak apa-apa Mbok. Duduklah, ini perintah!”
“Mbok, Saya itu orangnya seperti apa? Mengapa
Si Mbok, pelayan, dan para penjaga tidak berani menatap
Saya sedetik pun? Saya mohon Si Mbok jawab yang
jujur,”
“Nggih. Ndoro adalah orang yang terkenal sangat
kejam, bahkan jika ada yang menatap mata Ndoro
barang 1 detik saja, orang itu akan disiksa. Maka dari itu
tidak ada yang berani pada Ndoro.”
“Lalu, apakah mereka nanti akan percaya jika
sifat saya tiba-tiba berubah?”
“Menurut Si Mbok, mungkin akan sedikit sulit
untuk mereka mempercayainya. Namun, Si Mbok yakin
lama-lama pasti mereka akan percaya.”
“Begitu ya, Mbok. Kalau begitu, Mbok tatap mata
saya. Saya ingin mulai sekarang Mbok dan yang lainnya
tidak usah takut ketika melihat dan berhadapan dengan
saya, Nggih?” pinta Alana sambil menyinggungkan
senyum manisnya.
“Nggih, Ndoro. Si Mbok akan berusaha dan
menyampaikan ini kepada yang lainnya. Kalau begitu, Si
Mbok permisi, Ndoro.”
Beberapa hari telah berlalu, Alana mulai terbiasa
dengan keadaan. Kabar mengenai sifat Alana yang sudah
berubah sangat cepat menyebar hingga keluar Kadipaten.
Tak sedikit orang-orang terkejut akan perubahan sifat
Alana. Suatu hari yang cerah, Alana yang tengah bosan
memutuskan untuk membaca kembali diary kuno milik
Alana Liora. Saat membaca halaman terakhir, Alana
bingung dibuatnya.
Yogyakarta, 4 April 1852
Hari ini, dia datang.
Dia datang ke tempat dimana dahulu kami bertemu
untuk pertama kali. Namun, sepertinya dia tidak
mengingatku. Meskipun begitu, aku yakin bahwa dia
akan bisa mengingatku suatu saat nanti. Aku akan
berusaha meluluhkan hatinya.
Selamat datang kembali, Raden Mas Jayantaka.
-Alana Liora Dahayu-

“Apa maksud dari tulisan ini?” Alana bergumam.


Tak terasa, hari sudah petang. Piringan matahari
lenyap di tepi langit. Layung nan indah yang dapat
membuat siapa saja kagum dibuatnya, tak terkecuali
Alana. Ia sedang duduk di depan jendela kamarnya,
menatap langit senja sambil memikirkan banyak hal.
“ Suwun pangapunten, Ndoro!”
“ Iya mbok, ada apa, Ya?”
“Si mbok mendapat titah untuk menyiapkan dan
membawa Ndoro ke hadapan Gusti Raden Mas,”
“Mengapa saya tiba-tiba dipanggil ya, Mbok?”
“Suwun pangapunten, Ndoro. Tapi si mbok juga
tidak tahu apa-apa. Si mbok hanya mendapat titah untuk
membawa Ndoro saja.”
“Baiklah, kalau begitu tolong saya bersiap
terlebih dahulu!”
“Nggih, Ndoro. Gusti Raden Mas ingin Ndoro
bersolek secantik mungkin.”
“Oke Mbok.”
Beberapa saat kemudian, Alana keluar dari
kamarnya. Ia menggunakan kebaya berwarna hitam
legam, dipadukan dengan kain jarik berwarna coklat.
Siapa pun yang melihatnya akan terkagum-kagum.
“Cantik sekali, Ndoro,” puji Mbok Darmi.
“Si Mbok bisa saja. Ngomong-ngomong,
ayahanda berada di mana Mbok?”
“Gusti Raden Mas berada di ruang tamu. Mari
ikuti saya, Ndoro!”
Mereka lantas berjalan menuju ruang tamu.
Sesampainya di sana Alana melihat ada ayahnya,
sepasang suami istri, dan juga seorang lelaki tampan.
Dengan menyunggingkan senyum manisnya, Alana
menunduk anggun tanda penghormatan. Lalu, ia duduk
berhadapan dengan lelaki itu. Mereka tak sengaja beradu
tatap. Alana melihat bahwa tatapan lelaki itu sangat
dingin dan menunjukkan ia tidak suka berada di dalam
ruangan ini.
“Nduk, perkenalkan dia adalah Raden Mas
Jayantaka, putra sulung dari keluarga Aditama. Selain
itu, kami setuju akan menjodohkan kalian. Kami akan
memberikan kalian waktu untuk saling mengenal,” ucap
ayahnya.
Alana sedikit terkejut. Alana ingin sekali
membantah perjodohan itu, lantaran ia belum siap untuk
menikah, terlebih lagi di dunianya Alana Auristella
merupakan seorang anak kelas 2 SMA. Walaupun
begitu, entah mengapa Alana merasakan bahwa detak
jantungnya berpacu sangat cepat. Apa mungkin ini
adalah perasaan bawaan dari Alana Liora? Atau apakah
yang ia rasakan ini merupakan perasaan jatuh cinta pada
pandangan pertama? Ia tahu bahwa Alana Liora sangat
menyukai Raden Mas Jayantaka, sehingga Alana tidak
bisa menolak perjodohan ini.
“Nduk, bagaimana?”
“Emm, baiklah saya akan menerima perjodohan
ini,”
“Baiklah. Kalau begitu, Nduk, temanilah Raden
Mas berkeliling,” ucap sang ayah. Alana hanya
membalasnya dengan anggukan kecil dan senyum manis.
“Raden Mas, mari ikuti saya,” Ajak Alana sopan.
Suasana begitu canggung. Mereka berjalan
ditemani keheningan. Tidak ada yang membuka suara
mereka. Dengan ragu, Alana memberanikan diri
membuka perbincangan.
“Emm, sepertinya kita seumuran, Ya? Lalu,
apakah kita saling mengenal sejak dahulu?” Tanya
Alana. Tidak ada balasan apa pun dari lelaki itu.
Beberapa saat kemudian, Alana dikejutkan oleh
pertanyaan yang dilontarkan oleh lelaki itu.
“Sepertinya kamu agak terpaksa menerima
perjodohan ini. Terlihat dari raut wajahmu di ruang tamu
tadi. Tenang saja, aku pun tidak menyukai perjodohan
ini. Jadi, aku tidak mungkin akan menyukaimu dan
bahkan aku tidak akan menyentuhmu ketika sudah
menikah nanti,” ucap Jayantaka dingin.
“Oh ya. Satu lagi, aku ini lebih tua dari padamu.
Jadi, sopanlah kepadaku,” tambahnya. Jayantaka berlalu
pergi meninggalkan Alana yang tengah terdiam
mematung.
“Sepertinya dia lupa kepadaku,” gumam
Jayantaka.
Keesokan harinya, Alana hanya diam di
kamarnya. Karena bosan, Alana memutuskan untuk
menulis sesuatu di buku diary.

Yogyakarta, 17 April 1852


Kemarin, Raden Mas Jayantaka datang
bersama keluarganya. Kami dijodohkan. Apakah
perasaan yang kurasakan kemarin adalah milik Alana
Auristella yang jatuh cinta pada pandangan pertama?
Ataukah ini adalah perasaan yang ditinggalkan oleh
Raden Rara Alana Liora Dahayu? Jika aku benar-
benar jatuh cinta padanya, akankah kami bisa terus
bersama? Atau waktu dan takdir akan memisahkan
kita suatu saat nanti?
-Alana Auristella-
Sudah beberapa hari berlalu sejak kedatangan
Raden Mas Jayantaka dan keluarga. Beberapa waktu lalu
Alana dan Jayantaka tak sengaja berpapasan di luar
Kadipaten. Namun, mereka tidak saling menyapa,
mengingat sifat dingin Jayantaka dan kenyataan bahwa
mereka belum terlalu dekat. Oleh karena itu, kedua
orang tua mereka selalu berusaha untuk bisa
mendekatkan mereka. Suatu ketika, Gusti Raden Mas
mendapatkan suatu tugas di luar Kota, sehingga dengan
berat hati ia harus meninggalkan putri semata
wayangnya. Meskipun begitu, ia sedikit tenang karena
Jayantaka akan tinggal beberapa hari di kediamannya
untuk menemani dan menjaga Alana. Kadipaten terasa
begitu sepi semenjak kepergian Gusti Raden Mas
beberapa hari lalu. Beberapa hari itu pula Alana sering
bertemu dengan Jayantaka. Mereka mencoba untuk
saling mengenal satu sama lain. Oleh karena itu, sejak
dua hari lalu mereka terlihat sudah lebih akrab. Suatu
ketika Alana sedang bersantai di tepi kolam ditemani
oleh Mbok Darmi. Lalu, Jayantaka datang menghampiri
mereka berdua.
“Mbok, apa mbok percaya bahwa jiwa manusia
bisa tertukar?”
“Maaf, Ndoro. Si mbok ora ngerti pertanyaane.”
“Begini loh mbok, jadi jiwa orang di masa depan
bisa tertukar dengan jiwa seseorang di masa lalu.”
“Oalah, yo Si Mbok ora percaya...” balas Mbok
Darmi terpotong.
“Kalau saya sih tidak begitu percaya. Namun,
tidak ada yang mustahil terjadi di dunia ini ketika Tuhan
sudah menghendaki,” ucap Jayantaka.
“Mbok, bisa tinggalkan kami berdua saja?”
“Nggih, Raden Mas.”
“Tapi apa mungkin hal itu bisa terjadi secara
tiba-tiba hanya karena hal sepele?”
“Ya, mungkin saja.”
“Lalu Raden Mas akan percaya jika aku itu
bukan Alana Liora?”
“Jika kau bukan Alana Liora, lantas siapa?
Apakah kau orang yang datang dari masa depan?”
“Jika iya, Raden Mas akan percaya?”
“Sulit untuk seseorang bisa mencerna dan
mempercayai suatu hal yang terdengar mustahil.”
Alana terdiam mendengar perkataan Jayantaka.
Ia ada benarnya juga. Akan sulit orang mempercayai
sebuah ucapan yang terdengar mustahil. Mereka hanya
akan menganggap itu sebagai sebuah omong kosong.
Setelah itu, mereka berdua lantas duduk terdiam sambil
menikmati langit senja. Sejak saat itu, hubungan mereka
menjadi semakin dekat. Gusti Raden Mas pun sudah
kembali dari tugasnya. Ia senang melihat kedekatan
anaknya dengan Jayanaka dan segera mengabari
keluarga Aditama.
Kedua insan yang tengah dilanda kasmaran itu
semakin mesra. Terkadang mereka bermain-main di
taman, membaca buku di perpustakaan, berjalan-jalan di
sekitar Kadipaten, menikmati senja di tepi danau, hingga
hanya bermalas-malasan di kamar sambil bercerita.
Jayantaka sudah mengetahui bahwa wanita yang
dijodohkan dengannya adalah Alana Auristella dan ia
sudah sering diceritakan bagaimana kehidupan di masa
depan, meskipun terkadang ia kebingungan dengan
istilah-istilah di masa depan. Terlebih hanya ia seorang
yang mengetahui hal itu. Namun, ia kini menyadari
bahwa ia telah jatuh cinta kepada Alana Auristella. Ia
terkadang berpikir, jika jiwa Alana Auristella dan Alana
Liora sudah kembali seperti semula, apakah ia akan bisa
melanjutkan perjodohan ini? Apakah ia akhirnya akan
bisa mencintai seorang Alana Liora? Ia pun
membayangkan rasa sakit yang akan dideritanya ketika
hal itu terjadi. Ia berharap bisa memiliki waktu untuk
berpisah secara layak dengan Alana Auristella.
Yogyakarta, 10 Mei 1852
Kami semakin dekat. Ada sebuah perasaan yang sulit
dijelaskan ketika kami sedang bersama. Apakah ini
yang disebut dengan jatuh cinta? Apakah mungkin
jika aku berharap dia pun merasakan hal yang sama?
-Alana Auristella-
Hari demi hari telah dijalani, minggu demi
minggu telah terlewati, rasa rindu seorang Alana
Auristella kepada ibunya semakin dalam. Ia selalu
memikirkan keadaan sang ibu tercinta di dunia sana.
Terkadang ia menangis di tengah malam jika teringat
pada sang ibu. Meskipun di dunia ini ia mendapatkan
kebahagiaan akan harta dan cinta, namun ia masih terasa
sangat kekurangan kasih sayang orang tua. Seperti
malam ini, ia menangis tanpa suara di kamarnya,
memikirkan apakah ia akan selamanya terjebak di dunia
ini? Ia pun terlelap, mungkin karena lelah menangis. Ia
bermimpi di dalam tidurnya. Di dalam mimpinya ia
berada di suatu taman bunga, kemudian ada seorang
kakek tua yang menghampirinya dan berkata, “Jangan
sampai kamu terikat dengan apa pun di dunia ini. Ini
bukanlah duniamu. Jangan pula kamu biarkan rasa
cinta padanya membuatmu terluka nantinya. Kalian
tidak akan pernah bisa bersatu, karena suatu saat kau
harus kembali ke duniamu. Takdir dan waktu akan
memisahkan kalian.” Lalu, kakek itu tiba-tiba
menghilang bak embusan angin. Tak lama kemudian,
seorang wanita yang ia lihat ketika kecelakaan
menghampirinya dan berkata, “Kakek itu adalah
leluhurmu, ia mengatakan itu agar kau tidak terlena
dengan dunia ini dan bisa kembali ke duniamu
nantinya. Ibumu selalu menunggumu. Karena itu,
turutilah perkataan kakek itu.”
Alana terbangun dari tidurnya, ia langsung
terduduk diam beberapa saat sambil memikirkan
mimpinya tadi. Mimpi itu terasa begitu nyata bagi Alana.
Beberapa saat kemudian, Mbok Darmi masuk
menyampaikan berita bahwa keluarga Aditama datang
untuk melamarnya secara resmi. Alana yang terkejut
lantas berlalu menuju ke kamar mandi untuk bersiap. Ia
bersolek secantik mungkin. Tak lupa, ia selalu mengukir
senyumnya kepada siapa saja yang ia temui di hari itu.
Alana terlihat sangat cantik hari itu. Hari di mana
ia tidak mengetahui bahwa itu adalah hari terakhirnya
berada di dunia fana ini. Hari di mana ia harus merelakan
kisah cintanya. Hari yang akan selalu dikenang oleh
Alana.

Yogyakarta, 02 Juni 1852


Hari itu, 31 Mei 1852.
Hari di mana Raden Mas Jayantaka melamarku. Hari
di mana kami bisa benar-benar merasakan
kebahagiaan yang tiada tara. Hari di mana harapanku
terwujud. Hari dimana ia baru benar-benar
menyatakan perasaannya padaku.
Sekarang aku menyadari bahwa mungkin kita tidak
dapat disatukan oleh ikatan pernikahan. Namun, kita
adalah dua insan yang hanya bisa menyampaikan
secercah harapan kepada Tuhan dan semesta. Jika
Tuhan dan semesta menghendaki, maka aku yakin
bahwa kita akan bertemu kembali di masa yang akan
datang atau pun bertemu di dunia selanjutnya.
-Alana Auristella-

Matahari sudah tak menampakkan wajahnya,


tergantikan oleh penampakan bulan yang bersinar sangat
indah. Alana duduk di tepi jendela memandangi
indahnya bulan yang sangat dikaguminya. Ia berpikir
bahwa bulan tidak akan berubah dari masa ke masa.
Seketika ia merenung, lalu tak lama kemudian Ia
mengambil buku diary dan menuliskan sesuatu.

Yogyakarta, 02 Juni 1852


Apakah aku merindukan masa depan?
Sepertinya aku tidak begitu merindukannya. Aku
hanya merindukan Ibu dan kue-kue buatannya. Di
masa depan, hanya Ibu dan diri sendiri yang bisa aku
jadikan sandaran. Terkadang, aku tidak sanggup
menghadapi kehidupan di masa depan. Banyak hal
buruk yang terjadi di sana.
Di sini, aku mendapat banyak pelajaran bahwa
ternyata masih ada orang yang peduli padaku. Jika
aku tidak disukai, mungkin memang ada yang salah
dengan diriku sendiri. Aku hanya perlu lebih cepat
menyadari hal itu dan kemudian mengubahnya.
Jika aku kembali ke masa depan, mungkin aku akan
jauh lebih merindukan masa ini. Masa di mana aku
bisa merasakan kebahagiaan yang tidak pernah
kurasakan di masa depan. Jika boleh, aku ingin
membawa ibuku dan tinggal selamanya di masa ini.
Namun, aku menyadari bahwa aku tidak bisa melawan
kehendak Tuhan dan semesta.
-Alana Auristella-

Alana kembali menatap bulan, dan tanpa disadari


ia terlelap. Ia tertidur sangat nyenyak. Ia bermimpi
berada di ruangan putih hampa. Seorang perempuan
cantik menghampirinya. Yap! Perempuan yang ia lihat
pada saat kecelakaan, perempuan yang ia lihat di dalam
mimpinya beberapa waktu lalu, dan perempuan yang
saat ini ada di hadapannya adalah Raden Rara Alana
Liora Dahayu. Ia kemudian berpikir, apakah sudah
waktunya? Waktu di mana ia harus kembali ke masa
depan dan kembali merasakan sakit setiap harinya. Masa
di mana tidak akan ada rasa mencintai dan dicintai. Ia
saat ini hanya bisa berharap bahwa keadaan di masa
depan sedikit berubah, setidaknya ia bisa memiliki teman
yang akan selalu bersamanya.
Alana terbangun dari tidurnya. Ia mengedarkan
pandangan dan menyadari bahwa ia ada di rumah sakit.
Ia melihat ibunya sedang tertidur lelap di sampingnya.
Merasakan adanya pergerakan, ibunya bangun kemudian
menangis bahagia karena anaknya sadar setelah koma
selama 2 minggu lamanya. Beberapa hari kemudian,
Alana diizinkan untuk pulang. Dokter mengatakan
bahwa sangat ajaib Alana bisa sadar dari koma dan pulih
dengan cepat.
Sudah beberapa hari Alana berdiam diri di
rumah. Selama itu juga Alana memiliki hobi baru, yaitu
menulis diary. Seketika, Alana teringat kembali pada
masa itu. Masa yang mengajarkan banyak hal bagi Alana
saat ini.

Bandung, 18 November 2022


Teruntuk Jayantaka.
Selalu ada kesempatan ketika semesta mempersatukan
dua insan. Namun ada kala semesta mempunyai waktu
untuk mengakhirinya sebagai sebuah kehilangan.
Sampai saat ini, perasaan dan ingatan tentangmu
masih aku rasakan. Kau bagaikan bulan, yang tak bisa
kumiliki namun hadirmu selalu dinanti.
Bolehkah aku egois dan berharap kisah kita bisa
terulang kembali?
-Alana Auristella-

Biografi Penulis
Hai semuanya!
Perkenalkan namaku Deslina Putri Wahyudin, penulis
cerita pendek berjudul “Samsara”. Aku lahir di
Bandung, pada tanggal 02 Desember 2005. Oh ya!
Samsara itu Bahasa Sansekerta yang artinya terlahir
kembali. Penulisan cerpen ini terinspirasi dari cerita-
cerita Wattpad dan Alternate Universe (AU) yang aku
baca dengan genre dan alur cerita yang hampir sama.
Walaupun aku tau dalam penulisan cerpennya masih
banyak sekali kekurangan, tapi aku harap kalian
menyukai ceritanya. Aku pun akan menerima semua
kritik dan saran yang kalian berikan.

Anda mungkin juga menyukai