Anda di halaman 1dari 4

RUMAH

BAGIAN KEDUA : SEDARI KECIL,

Berada di tengah keramaian, memang membuat dara sedikit takut. Tapi hebatnya ia bisa
mengontrol ketakutannya itu. Ia sedang berada di kawasan pantai, singgah untuk menunggu senja
setelah tadi sibuk mencari buku untuk belajar di toko buku. Ramai orang berlalu-lalang, ada yang
datang dan ada yang pergi.

Setelah menunggu beberapa menit, di keluarkannya buku sketsa berukuran sedang, ia memulai
rutinitasnya menggambar pemandangan yang ada di depan mata anak itu.

Senja.

Ia suka sekali dengan senja, senja membawa ketenangan dalam jiwanya. Sangat berterimakasih ia
kepada tuhan, telah menciptakan pemandangan yang sangat indah untuk dinikmati oleh matanya.

“tuhan, terimakasih sudah menghadirkan senja untuk menemani Dara.” Ucapnya pelan.

Sangat menyenangkan dan menenangkan baginya, hingga apa yang ia rasakan hanya bisa di
tumpahkan lewat sebuah gambar.

Setelah selesai, ia melihat ke arah seorang paman tua yang nampak terdiam menunggu orang
datang untuk membeli dagangannya. Ia menghampiri paman itu.

“permisi.” Sapa Dara halus.

“eh iya, silahkan neng.” Jawab paman tua itu sangat samah.

“aku mau beli, tapi apa boleh kalau nanti anak-anaknya aku panggil kesini pak?” tanyanya meminta
izin pada pemilik dagangan.

“boleh banget neng, neng mau beli berapa?” tanya pedagang tersebut dengan ramah.

“nanti aku panggil dulu anak-anaknya, mereka ambil trus nanti bapak hitung dan aku bayar, boleh
pak?” tanya dara meminta izin lagi.

“boleh banget neng, yaudah sok atuh panggil.” Jawab pedagang tersebut sangat gembira.

Lantas dara memanggil anak-anak kecil yang sedang bermain pasir. Mereka menghampiri dara, lalu
dara memberi tahu bahwa mereka bisa mengambil seberapa banyak mainan yang mereka mau
untuk di ambil. Anak-anak lucu itu sempat ragu dan bertanya kepda Dara “ini serius kak?” dan di
balas anggukan oleh dara. Anak-anak itu sangat gembira sampai berdansa kecil sambil mengambil
mainan yang mereka mau. Setelah di hitung, dara kemudian membayar dagangan yang sudah
diambil anak-anak tadi. Mereka berterimakasih kepada dara. Dara berterimakasih kepada pedagang
itu.

Dara suka melihat anak-anak kecil yang bahagia. Jika mereka bahagia, kadang ada perasaan lega
yang datang menghampiri jiwa dara.

Ia tak mau, anak-anak itu nantinya akan jadi seperti dirinya di mas lalu.
Waktu menunjukkan pukul 17:00, tanda ia harus pulang ke rumah. Ia memasukkan buku sketsa
dan pulpennya kedalam tas, lalu berjalan menuju ke jalan raya. Belum jauh dari pantai, ia
mendengar sebuah suara.

Tangisan, dan makian yang sangat jelas.

Dara mencari-cari sumber suara tersebut, melirik sekeliling, ia dapati seorang perempuan berambut
panjang sepinggang tengah berjongkok sambil sesenggukan. Ia menghampiri perempuan tersebut
dengan ragu, takut dirinya tak di terima jika menghampiri perempuan itu.

Tapi ia memberanikan diri, mendekat.

“permisi..” sapanya pelan, tapi tak di balas oleh sang pemilik tangis.

“kamu, kenapa?” tanyanya pelan.

Lantas perempuan itu menoleh ke arah Dara, dengan tatapan sangat menyedihkan, bertanya “gue..
boleh peluk ga?” sambil sesenggukan.

Dara langsung mendekatkan diri pada perempuan itu, menarik perempuan itu pelan dan bilang
“boleh, sini.”

Dara bisa merasakan seberapa sedih dan lelahnya perempuan ini.

“gak papa, nangis lagi aja. Ngga ada yang marah kok. Keluarin aja.” Ucapnya pelan pada perempuan
itu.

Bahu perempuan itu bergetar, di iringi isakan yang mengencang. Tak kuasa menahan tangisnya, air
mata itu tak mampu berhenti menglair.

Ia biarkan airmata perempuan itu mengalir deras membasahi bajunya. Tak apa, kau boleh istirahat
sebentar setelah perang.

“apa salah gue...” tanya perempuan itu lrih.

“kamu nggak salah kok.” Jawabnya halus menenangkan perempuan itu.

“kenapa lu bisa bilang gitu...” tanyanya lagi sambil sesenggukan dan sesekali mengusap hidungnya
yang penuh denga ingus.

“karena...” dara terdiam sebentar.

“karna aku yakin kamu kuat, heheh.” Jawabnya tertawa canggung berniat menenangkan perempuan
itu. Tangisan perempuan itu semakin menjadi-jadi. Dara bisa merasakan beban berat yang ia pikul di
bahunya.

“hey, jangan nyerah dulu. Kamu kan masih punya Tuhan. Gimana kalau habis ini kamu cerita yang
banyak sambil ngadu ke Tuhan?” ucapnya memberikan saran dan dibalas anggukan kecil oleh
perempuan itu.

“makasih udah mau meluk gue...” ucap perempuan itu dan dibalas anggukan kecil oleh dara.
Saat sampai di depan bangunan yang agak besar itu, dara lantas mengatakan “jangan lupa ngadu
ke Tuhan, ya?” kepada perembuan itu dan dibalas anggukan oleh perempuan itu.

“sekali lagi makasih, udah mau meluk dan nenangin gue.” Ucapnya kepada Dara.

“sama-sama. Aku pamit ya, udah malem.” ucapnya dan di balas anggukan dan kata “hati-hati, ya!”
oleh perempuan itu.

Saat sampai di depan rumah, bisa ia dengarkan sura teriakan yang sangat kencang, hingga
terdengar suara benda pecah. Ia bergegas masuk kedalam rumah, dan mendapati mereka saling
cekcok.

Saat papa melihat dara yang baru saja masuk dan menatapi mereka, ia langsung berhenti dan naik
ke lantai atas. Mama menoleh ke arahku.

“darimana aja kamu jam segini baru pulang?”

“habis dari toko buku, ma.”

“masuk kamar sana!”

Saat dara berjalan menuju kamar, mama beranjak menuju lantai atas dan berteriak “ARDAN, AKU
BELUM SELESAI BICARA SAMA KAMU!” pada papa.

Dara menghela nafas panjang, merebahkan dirinya keatas kasur. Satu yang ingin ia katakan.

Berisik.

Kira-kira, kapan sepasang suami istri itu akan berhenti berdebat?

Ia bangun beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya. Baju yang tadi di basahi
oleh air mata ia letakkan di dalam keranjang pakaian kotor. Setelah selesai, ia berjalan ke arah meja
belajar, membuka buku yang tadi ia dapatkan di toko buku. Ia memerhatikan buku itu dengan sangat
teliti, memprediksi berapa soal latihan yang mampu ia jawab. Ia memulai kegiatan belajarnya
dengan mengambil pulpen, membuka buku tulisa, lalu menjawab soal-soal yang tertera pada buku
itu.

Sudah 4 jam sejak ia terlalu fokus belajar, tak lama terdengar suara alarm dari telepon genggamnya,
menandakan bahwa waktu belajarnya sudah selesai. Di lihatnya buku tulis, menghitung berapa soal
yang dapat ia jawab. Ia meregangkan badannya, lalu keluar mengambil minum dan membuat
makanan.

Mbok darmi mengageti dara yang sedang bersiap-siap membalikkan telor dadar. Ia melompat kaget,
menoleh dan melirik mboknya itu dengan tatapan sinis.

“mbok, nanti kalau telurnya kena mbok darmi gimana...” ocehnya dengan nada yang sedikit kesal
tapi tetap halus.
“heheheh maaf ya non, padahal tadi saya Cuma bercanda.” Ucap mbok darma meminta maaf dan
hanya dibalas anggukan dan senyum dari dara.

“mbok udah makan?” tanyanya penasaran.

“sudah kok, non. Saya mah selalu makan, ngga kayak non suka lupa makan.” Jawab mbok dengan
nada sedikit usil membuat dara tertawa kesal dengan kelakuan mpoknya yang dari dulu tidak pernah
berubah.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan mama dari atas. Mbok menoleh kearah dara yang masih sibuk
menjaga telurnya agar tidak gosong, seolah tidak terjadi apa-apa dirumah itu.

“nggak papa, mbok. Aku kan udah biasa.” Kata dara.

Mpok darmi merasa kasian dengan perlakuan orangtua dara terhadap dara. Pasalnya sejak pertama
mpok darmi bekerja dirumah itu, tak pernah ia temukan kedmaian untuk perempuan kecil itu.

“aku kan udah diajarin sama oma. Kata oma, apapun yang terjadi, orangtua adalah orang yang harus
kamu hormati. Balas budinya maka kamu akan disayang oleh Tuhan.” Jelasnya kepada mbok darmi.

“non...”

“aku diajarin oma, dari kecil.”

Anda mungkin juga menyukai