Anda di halaman 1dari 20

Sorak-sorai Hati

Oleh: Camelia Nur Rahma

Mungkin akhirnya tak jadi satu. Namun bersorai


pernah bertemu. Alunan musik Sorai yang dinyanyikan
oleh Nadih Amizah bernuansa syahdu dan abu-abu itu
terus mengiringi hati yang sepi bagi pemiliknya.

Aku berjalan di tengah sepinya suasana malam


dengan kaki yang terseok-seok lelah, hanya diterangi
oleh lampu-lampu jalan itu pun sudah hampir mati
seperti hati, tak terasa sudah tiga jam aku berkeliling
mencari angin dan sudah tiga jam pula aku
meninggalkan ayah yang sudah sakit-sakitan di rumah
sendirian, entah apa yang sedang aku pikirkan kala itu.

Aku mendongakkan kepala untuk menatap


luasnya langit yang terbentang di atas sana, Enak ya
kalau jadi bintang, batinku mengungkapkan isi pikiran.
Suara dering telepon genggam yang aku bawa di dalam
saku celana sontak membuat suasana sepi ini menjadi
sedikit berbunyi, “Halo?” ucapku menjawab panggilan
tersebut.
“Ini Dania, kan?” Suara dari seberang sana terdengar tak
asing di telingaku, aku mengernyitkan dahi keheranan.
“Dania, Ayahmu kau tinggal sendirian lagi?” lanjutnya
dan berhasil membuatku memeriksa siapa yang tadi
menelepon, karena jujur saja aku tak sempat melihat
nama sang penelepon saat itu, Arya ternyata, dia adalah
sahabat dekatku sejak kami balita

“Iya ini aku, Ayah kenapa?” tanyaku padanya, laki-laki


di seberang telepon itu berdecak kesal.

“Kau bertanya? Pulang, kasihan ayahmu beliau sendirian


di rumah kau masih sempat-sempatnya bertanya ada
apa!” cerocos Arya dengan nada kesalnya, aku tahu
bahwa dia marah karena sudah biasa aku dimarahi habis-
habisan olehnya hanya karena tak mengacuhkan ayah,
anak durhaka katanya.

Langkah kaki segera ku percepat agar lebih


mudah sampai ke rumah, ku lihat dari balik pagar rumah
yang sudah mulai reyot ternyata Arya tengah
menungguku di teras sembari melipat kedua tangannya
di depan dada, Sial aku bakalan kena marah lagi.
Batinku berucap lirih. Aku membuka pintu pagar dengan
senyum kikuk yang ku ukir di wajah, rasanya saat itu
kedua kakiku berat untuk melangkah mendekat.

“Dari mana saja kau?” tanyanya menaikkan salah satu


alis tebalnya.

“Maaf, aku hanya pergi keluar untuk mencari angin,”


jawabku sembari menundukkan pandangan karena tak
berani menatap wajahnya yang terlihat sangat seram itu.

“Mencari angin sampai tiga jam ya? Kau tak kasihan


kepada ayahmu? Memangnya tak bisa kau cari angin di
sini, di teras ini?” Bermacam-macam pertanyaan keluar
dari mulut setannya Arya, kali ini aku tak bisa menjawab
berbagai pertanyaan yang diajukannya, aku hanya
mengangguk sederhana seraya masih menatap tanah
yang kupijak sekarang.

Laki-laki itu berjalan masuk menuju kamar ayah,


dia meninggalkan aku sang tuan rumah. Dasar tak
sopan! pekik ku dalam batin, aku mengepal kuat kedua
telapak tangan dan berjalan menyusul langkah kakinya
menuju kamar ayah.
Pagi itu, aku terbangun dari tidur karena suara
ayah yang batuk semakin parah telah mengganggu
tidurku, aku bangkit dari tempat aku tadi terlelap,
berjalan menghampiri ayah dan menenangkannya karena
itu adalah tugasku sebagai seorang anak, kan?. Sesaat
kemudian ia sudah tertidur pulas, sementara aku malah
tak bisa kembali tidur karena takut beliau terbangun lagi.

Alih-alih bosan, aku meraih ponsel genggam


milikku yang tergeletak di atas ranjang reyot, ku buka
sebuah ruang pesan yang tujuannya adalah Arya, Dia
belum tidur jam segini? kataku .membatin, aku
mengetikkan beberapa kata untuk dikirimkan kepadanya,
tak sampai dua menit dia telah membalas pesanku itu,
katanya. “Kau kenapa belum tidur?” Aneh bukan,
padahal dirinya sendiri masih terkena penyakit insomnia
malam itu.

Getaran ponsel di tangan berhasil mengejutkan


aku tatkala nama Arya terpampang jelas di layar, aku
mengangkat panggilan tersebut dan mendapati suara
berat milik pemuda itu menyapaku dengan lembut.
“Ayahmu, bagaimana kabarnya?” ucap pemuda itu dari
seberang telepon, aku berdeham seolah setuju dengan
pertanyaannya.

Arya terdiam sejenak dan membuat suasana


malam itu serasa sepi untukku mungkin juga untuknya
tapi, ku dengar-dengar rumahnya sangat ramai, entah
karena apa mungkin karena saudaranya berkunjung.
“Kau kenapa tidak tidur? Tumben sekali.” Aku diam
seribu bahasa, menunggu Arya menjawab pertanyaanku
itu.

“Aku tidak bisa tidur, memangnya kau tak mendengar


suara gaduh itu?” ucapnya memberikan pertanyaan
kepadaku lagi, aku mengangguk setuju padahal tidaklah
cukup. Mungkin, pemuda itu melihatku melakukan itu.

“Dengar,” jawabku singkat.

“Mereka berantem lagi Dania.” Satu kalimat yang


terlontarkan dari mulutnya itu berhasil membuat aku
bungkam,

Sial! Pemikiranku salah ya? Batinku di tengah malam


yang sepi dan bernyanyikan jangkrik.
“Aku matikan teleponnya ya, barang kali kau mau tidur
tapi kebisingan mendengar apa yang aku dengar
sekarang.” Laki-laki itu mematikan panggilannya, aku
melihat layar ponsel yang perlahan meredup, jantungku
berdetak cepat mengkhawatirkan keadaan pemuda itu.
Namun, aku bisa apa, hanya seorang perempuan lemah
yang bahkan dirinya sendiri pun kadang suka tak terurus.

Aku meletakkan kembali ponselku di atas


ranjang tepat di mana aku merebahkan diri, ku coba
memejamkan mataku barangkali aku akan tertidur secara
tidak sengaja.

Suara ayam berkokok lantang berhasil


membuatku terlonjak dan langsung bangun dari tidur, ku
lirik jam dinding di atas meja belajar ternyata sudah
pukul sembilan pagi, aku bergegas mengikat rambut dan
berjalan menuju kamar ayah.

Decakan keluar dari mulutku yang semula


menutup, ku lihat saat ini tubuh ringkih ayah sudah
dipenuhi dengan genangan air yang sudah mulai
mengering. “Ish, ayah! Kau mengompol lagi ya?” seruku
bertanya seraya mengangkat tubuh ayah yang lepek
dengan kekuatan penuh.

Aku meletakkan tubuh ayah di atas kursi roda


miliknya, aku angkat berbagai benda di atas ranjang dan
lanjut melepaskan seprainya. Sebel, bikin kerjaan ku
tambah banyak saja, batinku mengungkapkan kekesalan.

Suara bel rumah berdering nyaring menyapa


telingaku, aku berlari menuju pintu untuk melihat siapa
yang datang setelah merapihkan kamar ayah, kulihat
sosok laki-laki tak asing tengah menungguku membuka
pintu.

“Eh, Arya matamu kenapa matamu lebam begitu? Sini


masuk aku obati.” Aku membuka lebih besar pintu,
mempersilahkan pemuda itu masuk menuju ruang tamu
dan berlari menuju kamar untuk mengambil sekotak p3k.

“Ayahmu, mana?” tanyanya meringis pelan sambil


mengelus lembut bagian matanya yang lebam.

“Ada di kamar, kenapa?” jawabku kembali bertanya, ia


berdeham singkat dan bangkit kembali berjalan menuju
kamar ayah. “Arya! Sini itu diobatin dulu,” ucapku
melanjuti.

Pemuda itu berjalan sempoyongan seraya tak


mengacuhkanku. “Hai om, ini Arya, gimana keadaan
om?” tanyanya menyapa pria tua yang saat ini tengah
duduk di sofa kamar.

Hening terjadi cukup lama, memang sudah pasti


ayahkan tidak bisa berbicara lagi. “Dania? Om Padri
mengompol lagi?” Aku mengangguk mendengar
pertanyaan yang Arya ajukan kala itu. “Dimana kau
taruh alas dan seprai tidur miliknya?” lanjut pemuda itu
bertanya dengan wajah datar.

Aku mengerutkan kening sebelum menunjuk ke


arah lemari. “Disana, untuk apa?” tanyaku kemudia
dengan salah satu jari yang mengacung ke arah lemari.

“Memasangnya lah,” jawabnya ketus seraya berjalan


menuju lemari tempat yang aku maksudkan tadi. “Kau
memang tidak tahu menahu bagaimana mengganti alas
tidur ya?” tanyanya lagi tanpa menoleh kearah ku.
“Enak saja, aku tahu. Namun, apakah ranjang itu sudah
kering?” jawabku menyela dan lagi-lagi tak dapat gubris
darinya.

Beberapa jam kemudian Arya keluar dari kamar


ayah, masih dengan mata lebamnya, ia duduk di
sebelahku, menghela napas berat dan menolehkan
kepalanya tepat berhadapan dengan aku. “Kenapa?”
tanyaku gugup karena kala itu wajahnya benar-benar
dekat.

Arya memejamkan matanya menikmati semilir


angin yang dihembuskan oleh kipas di pojok ruangan.
“Bukannya tadi mau mengobati lukaku?” Aku mendelik
paham, benar apa yang ia ucapkan, aku memang mau
memberikannya obat penghilang rasa sakit pada mata
ungu itu.

Perlahan aku mengobati lukanya, ia tampak


kesakitan serta meringis dari raut wajahnyalah aku tahu.
“Terima kasih Dania,” ucapnya sesaat, aku mengangguk
setuju kemudian beranjak dari tempat aku duduk dan
berjalan menuju kamarku untuk merapihkan lagi kotak
p3k yang sempat aku gunakan tadi.

“Duduk sini deh,” ucapnya setelah melihat aku baru saja


keluar dan tampak di depan pintu reyot itu. Aku berjalan
mendekat dengan jantung yang berdegup lumayan
kencang, pemuda itu menatapku dalam.

Sial! Manis sekali. Batinku ditengah keheningan.


“Kenapa?” tanyaku dengan penuh tanda penasaran
padanya.

Wajah Arya tampak bingung memulai. “Ada apa


si? Jangan buat aku penasaran,” ketus ku singkat, aku
melihatnya menarik napas panjang, mungkin tengah
menyiapkan mental.

“Aku akan pindah dari kota ini, Dania.” Satu kalimat


pendek itu berhasil meruntuhkan semua kepingan hatiku,
berita tiba-tiba yang sama sekali tak bisa aku terima
akhirnya datang menyapa telingaku.

Aku diam seribu bahasa dan tak sama sekali


membuka mulutku untuk mengatakan Jangan pergi!
“Dania? Jaga ayahmu ya, jangan biarkan dia sendiri
seperti hari-hari lalu. Kau kan anak satu-satunya maka
dari itu aku memohon padamu untuk menjaganya ya?”

Tak mendengar ada jawaban dari mulutku


pemuda itu seketika bangkit untuk kembali berpamitan.
“Kapan?” ucapku lirih menahan tangis yang akan terjun
dari mata.

Arya menoleh ke arahku, ia berjongkok menatap


mataku dengan lekat, mempertemukan matanya yang
berwarna coklat muda dengan mataku yang berwarna
hitam sendu seperti belum tidur lima hari. “Nanti sore,
tepatnya pukul empat sore,” jawabnya tersenyum manis.
“Aku akan ikut ayah pindah ke Makassar, tadi malam
akhirnya ceritaku bersama mereka sampai pada puncak,
ayah menceraikan ibu hanya karena lelah katanya.”
Lanjut pemuda itu masih dengan senyumannya yang
hangat menatap mataku.

Lagi-lagi aku harus menahan turunnya air mata,


Arya menepuk dua kali tanganku, benar memang ia
menggenggamnya. “Tidak apa-apa ya? Kau harus bisa
merawat ayahmu itu, jangan pernah membuatnya merasa
kesepian Dania, kau kan anak baik.” ucap Arya
mengangguk meyakinkan aku.

Air mataku saat ini tak berhasil aku tahan lama,


ia mengalir deras dengan sendirinya membasahi pipi,
aku menangisi Arya yang bahkan belum sama sekali
beranjak pergi meninggalkanku. “Kenapa kau tidak
memberitahukan kepada ku sejak awal agar aku tak
membiarkan kau masuk kerumah untuk berpamitan?!”
tanyaku dengan suara yang sedikit keras memenuhi isi
rumah.

“Maaf, tapi kan aku tak ingin membuatmu semakin


kaget mendengarnya, bisa saja saat aku memberitakan
bahwa aku akan pergi kau malah pingsan di depan pintu
kan?” ledeknya tertawa kecil berusaha membuatku ikut
tertawa.

Selepas dirinya memberhentikan tawa ayah


memanggil kami lewat loncengnya, seketika Arya
bangkit dan berlari kecil menghampiri ayah. “Kau
tunggu sini ya,” ucapnya memberlakukan aku bak anak
kecil lima tahun.

“Biar aku saja Arya, kau pulang saja, jika kau yang
terus-terusan yang mengurusi ayah bagaimana aku bisa
mengurusnya saat kau pergi nanti?”

Aku berjalan melewati tubuh Arya yang sempat


berada di depanku, “Pulang saja, aku bisa mengurus
ayah sendiri, terima kasih ya sudah banyak membantuku.
Semoga sukses di sana.” Ucapku dengan. kesan yang
agak malas dan suara yang tak enak didengar.

Pemuda itu terdiam sesaat kemudian beranjak


pergi tanpa mengucapkan sepatah kata lagi untuknya,
jujur saja aku tak ingin dirinya pergi begitu saja. Namun,
jika aku terus-terusan menahannya apakah dia tak jadi
pergi?

Aku menundukkan tubuhku untuk menatap


wajah ayah yang lemas. “Ayah sekarang sama aku ya,
Arya sudah tak ada bersama kita.” Laki-laki dihadapkan
ku itu meringis sedih, aku tahu rasanya karena ayah
merasa akan kehilangan putra angkat tersayangnya.
Aku merangkul ayah, menaruh lengannya tepat
di pundak ku dan mengangkat tubuh ringkihnya untuk
naik ke atas ranjang. “Selamat istirahat ayah, jika perlu
sesuatu tolong panggil saja Dania ya.” Aku berjalan
meninggalkan ayah sendiri, lagi.

Napas berat berhasil aku hembuskan ke atas dan


menyatu ke udara, ku raih benda pipih yang tergeletak
tepat di atas ranjang kamar dan mulai menyalakannya,
dengan sayup-sayup ngantuk aku menatapi layar terang
itu. Sebuah panggilan telepon masuk kedalam bilah
notifikasi ponselku, Arya rupanya. Aku berdecak sebal
dan mengabaikan panggilan itu, ku pejamkan mata
perlahan untuk mencoba melupakan pemuda yang baru
saja pergi meninggalkanku.

Tepat ketika suara adzan berkumandang aku


terbangun serentak, tubuhku merasa getaran yang
lumayan besar menghantam ranjang, Sial, lemari reyotku
ambruk lagi. Ucapku dalam hati protes karena kejadian
itu.
Sayup ku kedipkan mata beberapa kali, aku
melirik ke arah jendela dan hari itu sudah mulai gelap
karena awan hitam yang akan mengguyur desa datang,
ku lirik jam dinding dan mendelik kaget. “Jam berapa ini
Dania?!” seruku berlari menuju kamar ayah yang masih
tertidur pulas, hembusan napas lega seketika keluar, aku
membuka layar benda pipih di tangan, kulihat sebuah
notifikasi dari Arya memenuhi bilah notifikasi.

Arya: Dania, maafkan aku ya meninggalkanmu dan Om


Padri di desa. Maafkan ayahku juga ya karena
menyuruhku ikut bersamanya, aku tak enak hati jika
menolaknya, jaga ayahmu itu dia satu-satunya hartamu
sekarang.

Arya: Sampai jumpa lagi Dania! Aku pamit ya.

Membaca isi pesan itu mataku mendelik tak


percaya, dia benar-benar pergi ternyata. Kemudian kaki
ini melangkah keluar rumah, berlari tergopoh-gopoh
menuju rumah tetangga yang tak lain dan tak bukan
memang rumahnya Arya, sudah tak ada sendal maupun
sepatu pemuda itu, aku hanya melihat seorang wanita
yang tengah duduk termenung menatap jalanan desa
yang becek, ibunya Arya.

Aku mengetikkan beberapa kalimat untuk


dikirimkan pada pemuda itu, sembari mengetik ternyata
mataku mengeluarkan cairan khasnya, aku menangis tak
karuan, manusia yang selama ini menemaniku sudah
pergi meninggalkan aku di desa kuno ini.

Dania: Kau bodoh! Kau benar-benar meninggalkan


aku?

Dania: Aku benci dan marah padamu.

Dania: Sampai jumpa.

Aku menyeka air mata yang tak dapat berhenti


itu, ku berlari menuju rumah reyotku, mendatangi ayah
yang kala itu masih terus menutup matanya, ku
goyangan tubuh ringkih ayah dan berhasil membuatnya
terbangun. “Arya benar-benar pergi ayah!” seruku
menangis bak anak kecil dalam pelukan laki-laki yang
saat ini mungkin saja tak tau harus melakukan apa.
Ayah membunyikan lonceng miliknya, aku
menoleh ke arah wajah lemas laki-laki itu, terukir sebuah
senyuman hangat dari bibirnya ia menggerakkan bibir
tanpa suara Solat katanya, aku berdiri dan menyeka air
mata yang terus-menerus mengguyur pipi chubby ku.

Anggukan kepala sederhana seolah-olah


menyetujui perintahnya telah aku lakukan, aku berjalan
menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu dan
langsung melaksanakan salat ashar.

***

Beberapa tahun kemudian, tepatnya setelah lima tahun


setengah Arya pergi meninggalkan aku dan ayah pemuda
itu sudah tak pernah lagi mengirimkan aku pesan,
mungkin saja karena aku sempat membentaknya dalam
pesan lima tahun lalu, saat ini aku telah berumur 23
tahun mungkin dirinya juga. Ayah telah pergi
meninggalkan aku tepat beberapa bulan yang lalu,
sekarang aku sendirian di desa, tanpa siapapun.

Tepat pukul sepuluh malam sebuah panggilan telepon


muncul menyapa bilah notifikasi ponselku, aku lihat ada
sebuah nomor tak dikenal menelpon, dengan keberanian
yang cukup aku mengangkatnya. Terdengar suara berat
khas seorang laki-laki menyapa telingaku saat itu, aku
mengerutkan kening heran dan bertanya-tanya siapakan
sang penelpon ini, karena jujur aku tak tahu suara ini
dimiliki oleh siapapun yang aku kenal. “Dania ya?”
tanyanya semakin membuat aku penasaran.

“Iya aku, Dania, kau siapa?” tanyaku padanya dengan


nada bicara lugas agar memperingatkan bahwa jangan
macam-macam padaku.

“Kau sungguh melupakan aku ya? Sayang sekali,”


lanjutnya semakin membuat kepalaku memutar bingung.
“Aku Arya, bagaimana kabarmu dan ayahmu Dania?”
ucapan yang baru saja dilontarkan dari sang penelepon di
seberang sana berhasil mengejutkan aku.

Berulang kali aku mencubit keras pipiku


berharap ini sebuah mimpi karena aku tak
mempercayainya, bisa saja telepon ini hanya pura-pura
sebagai Arya?
“Halo? Pasti saat ini kau sedang mencoba mencerna ya?
Kau tidak mempercayai ku bukan? Aku benar-benar
Arya dasar Dania.” Ku dengar kekehan dari sang
penelpon di seberang, sial bisa-bisanya ia malah tertawa
ditengah ketiba-tibaannya menelpon. “Maaf ya,
bagaimana kabarmu? Bagaimana pula kabar ayahmu
sekarang Dania? Apakah dia baik-baik saja?” tanyanya
lagi padahal satupun belum aku jawab.

Hening menyita waktuku, aku memberanikan diri


membuka mulut dan menjawab pertanyaan yang ia
ajukan. “Kau benar-benar Arya yang aku kenal? Aku
baik-baik saja, tapi tidak dengan ayah, dirinya sudah
meninggal tepat setelah hari ulang tahunku datang.”
Pemuda di seberang telepon terdiam cukup lama, ia
mengembuskan napas berat.

“Kau pasti kesepian ya? Maafkan aku Dania, seharusnya


tak aku tinggalkan dirimu kala itu,” ucapnya berusaha
keras mencoba untuk menyemangati aku yang sudah
terlanjur tak merasakan apa-apa.
“Oh iya-“ ucapan Arya terhenti, terdengar suara anak
perempuan sekitar umur satu tahun menyapanya kala itu
dengan sebutan ayah.

“Siapa?” tanyaku padanya dengan gejolak hati penasaran


penuh tanya.

“Dania, anakku, namanya memang sama denganmu, agar


aku bisa terus mengingat kembali wajahmu. Maaf aku
tak mengundangmu datang ke pernikahanku, aku sudah
memiliki dua anak, bagaimana denganmu?” Pertanyaan
darinya sungguh membuat aku bungkam.

“Ku tutup teleponnya ya, ada hal yang harus aku


kerjakan, nanti mengobrol lagi.” Aku menekan tombol
merah untuk mematikan panggilan itu, batinku berucap
riuh mengungkapkan kekesalan hati, berjalan melewati
waktu dan berusaha melupakan kejadian tiba-tiba itu.

Sial untuk apa aku menunggumu kembali? Terima kasih


sudah menjadi temanku selama ini ya! Meskipun
ternyata kita tidak bersama senang bisa mengenalmu.

Anda mungkin juga menyukai