pernah bertemu. Alunan musik Sorai yang dinyanyikan oleh Nadih Amizah bernuansa syahdu dan abu-abu itu terus mengiringi hati yang sepi bagi pemiliknya.
Aku berjalan di tengah sepinya suasana malam
dengan kaki yang terseok-seok lelah, hanya diterangi oleh lampu-lampu jalan itu pun sudah hampir mati seperti hati, tak terasa sudah tiga jam aku berkeliling mencari angin dan sudah tiga jam pula aku meninggalkan ayah yang sudah sakit-sakitan di rumah sendirian, entah apa yang sedang aku pikirkan kala itu.
Aku mendongakkan kepala untuk menatap
luasnya langit yang terbentang di atas sana, Enak ya kalau jadi bintang, batinku mengungkapkan isi pikiran. Suara dering telepon genggam yang aku bawa di dalam saku celana sontak membuat suasana sepi ini menjadi sedikit berbunyi, “Halo?” ucapku menjawab panggilan tersebut. “Ini Dania, kan?” Suara dari seberang sana terdengar tak asing di telingaku, aku mengernyitkan dahi keheranan. “Dania, Ayahmu kau tinggal sendirian lagi?” lanjutnya dan berhasil membuatku memeriksa siapa yang tadi menelepon, karena jujur saja aku tak sempat melihat nama sang penelepon saat itu, Arya ternyata, dia adalah sahabat dekatku sejak kami balita
“Iya ini aku, Ayah kenapa?” tanyaku padanya, laki-laki
di seberang telepon itu berdecak kesal.
“Kau bertanya? Pulang, kasihan ayahmu beliau sendirian
di rumah kau masih sempat-sempatnya bertanya ada apa!” cerocos Arya dengan nada kesalnya, aku tahu bahwa dia marah karena sudah biasa aku dimarahi habis- habisan olehnya hanya karena tak mengacuhkan ayah, anak durhaka katanya.
Langkah kaki segera ku percepat agar lebih
mudah sampai ke rumah, ku lihat dari balik pagar rumah yang sudah mulai reyot ternyata Arya tengah menungguku di teras sembari melipat kedua tangannya di depan dada, Sial aku bakalan kena marah lagi. Batinku berucap lirih. Aku membuka pintu pagar dengan senyum kikuk yang ku ukir di wajah, rasanya saat itu kedua kakiku berat untuk melangkah mendekat.
“Dari mana saja kau?” tanyanya menaikkan salah satu
alis tebalnya.
“Maaf, aku hanya pergi keluar untuk mencari angin,”
jawabku sembari menundukkan pandangan karena tak berani menatap wajahnya yang terlihat sangat seram itu.
“Mencari angin sampai tiga jam ya? Kau tak kasihan
kepada ayahmu? Memangnya tak bisa kau cari angin di sini, di teras ini?” Bermacam-macam pertanyaan keluar dari mulut setannya Arya, kali ini aku tak bisa menjawab berbagai pertanyaan yang diajukannya, aku hanya mengangguk sederhana seraya masih menatap tanah yang kupijak sekarang.
Laki-laki itu berjalan masuk menuju kamar ayah,
dia meninggalkan aku sang tuan rumah. Dasar tak sopan! pekik ku dalam batin, aku mengepal kuat kedua telapak tangan dan berjalan menyusul langkah kakinya menuju kamar ayah. Pagi itu, aku terbangun dari tidur karena suara ayah yang batuk semakin parah telah mengganggu tidurku, aku bangkit dari tempat aku tadi terlelap, berjalan menghampiri ayah dan menenangkannya karena itu adalah tugasku sebagai seorang anak, kan?. Sesaat kemudian ia sudah tertidur pulas, sementara aku malah tak bisa kembali tidur karena takut beliau terbangun lagi.
Alih-alih bosan, aku meraih ponsel genggam
milikku yang tergeletak di atas ranjang reyot, ku buka sebuah ruang pesan yang tujuannya adalah Arya, Dia belum tidur jam segini? kataku .membatin, aku mengetikkan beberapa kata untuk dikirimkan kepadanya, tak sampai dua menit dia telah membalas pesanku itu, katanya. “Kau kenapa belum tidur?” Aneh bukan, padahal dirinya sendiri masih terkena penyakit insomnia malam itu.
Getaran ponsel di tangan berhasil mengejutkan
aku tatkala nama Arya terpampang jelas di layar, aku mengangkat panggilan tersebut dan mendapati suara berat milik pemuda itu menyapaku dengan lembut. “Ayahmu, bagaimana kabarnya?” ucap pemuda itu dari seberang telepon, aku berdeham seolah setuju dengan pertanyaannya.
Arya terdiam sejenak dan membuat suasana
malam itu serasa sepi untukku mungkin juga untuknya tapi, ku dengar-dengar rumahnya sangat ramai, entah karena apa mungkin karena saudaranya berkunjung. “Kau kenapa tidak tidur? Tumben sekali.” Aku diam seribu bahasa, menunggu Arya menjawab pertanyaanku itu.
“Aku tidak bisa tidur, memangnya kau tak mendengar
suara gaduh itu?” ucapnya memberikan pertanyaan kepadaku lagi, aku mengangguk setuju padahal tidaklah cukup. Mungkin, pemuda itu melihatku melakukan itu.
“Dengar,” jawabku singkat.
“Mereka berantem lagi Dania.” Satu kalimat yang
terlontarkan dari mulutnya itu berhasil membuat aku bungkam,
Sial! Pemikiranku salah ya? Batinku di tengah malam
yang sepi dan bernyanyikan jangkrik. “Aku matikan teleponnya ya, barang kali kau mau tidur tapi kebisingan mendengar apa yang aku dengar sekarang.” Laki-laki itu mematikan panggilannya, aku melihat layar ponsel yang perlahan meredup, jantungku berdetak cepat mengkhawatirkan keadaan pemuda itu. Namun, aku bisa apa, hanya seorang perempuan lemah yang bahkan dirinya sendiri pun kadang suka tak terurus.
Aku meletakkan kembali ponselku di atas
ranjang tepat di mana aku merebahkan diri, ku coba memejamkan mataku barangkali aku akan tertidur secara tidak sengaja.
Suara ayam berkokok lantang berhasil
membuatku terlonjak dan langsung bangun dari tidur, ku lirik jam dinding di atas meja belajar ternyata sudah pukul sembilan pagi, aku bergegas mengikat rambut dan berjalan menuju kamar ayah.
Decakan keluar dari mulutku yang semula
menutup, ku lihat saat ini tubuh ringkih ayah sudah dipenuhi dengan genangan air yang sudah mulai mengering. “Ish, ayah! Kau mengompol lagi ya?” seruku bertanya seraya mengangkat tubuh ayah yang lepek dengan kekuatan penuh.
Aku meletakkan tubuh ayah di atas kursi roda
miliknya, aku angkat berbagai benda di atas ranjang dan lanjut melepaskan seprainya. Sebel, bikin kerjaan ku tambah banyak saja, batinku mengungkapkan kekesalan.
Suara bel rumah berdering nyaring menyapa
telingaku, aku berlari menuju pintu untuk melihat siapa yang datang setelah merapihkan kamar ayah, kulihat sosok laki-laki tak asing tengah menungguku membuka pintu.
“Eh, Arya matamu kenapa matamu lebam begitu? Sini
masuk aku obati.” Aku membuka lebih besar pintu, mempersilahkan pemuda itu masuk menuju ruang tamu dan berlari menuju kamar untuk mengambil sekotak p3k.
“Ayahmu, mana?” tanyanya meringis pelan sambil
mengelus lembut bagian matanya yang lebam.
“Ada di kamar, kenapa?” jawabku kembali bertanya, ia
berdeham singkat dan bangkit kembali berjalan menuju kamar ayah. “Arya! Sini itu diobatin dulu,” ucapku melanjuti.
Pemuda itu berjalan sempoyongan seraya tak
mengacuhkanku. “Hai om, ini Arya, gimana keadaan om?” tanyanya menyapa pria tua yang saat ini tengah duduk di sofa kamar.
Hening terjadi cukup lama, memang sudah pasti
ayahkan tidak bisa berbicara lagi. “Dania? Om Padri mengompol lagi?” Aku mengangguk mendengar pertanyaan yang Arya ajukan kala itu. “Dimana kau taruh alas dan seprai tidur miliknya?” lanjut pemuda itu bertanya dengan wajah datar.
Aku mengerutkan kening sebelum menunjuk ke
arah lemari. “Disana, untuk apa?” tanyaku kemudia dengan salah satu jari yang mengacung ke arah lemari.
“Memasangnya lah,” jawabnya ketus seraya berjalan
menuju lemari tempat yang aku maksudkan tadi. “Kau memang tidak tahu menahu bagaimana mengganti alas tidur ya?” tanyanya lagi tanpa menoleh kearah ku. “Enak saja, aku tahu. Namun, apakah ranjang itu sudah kering?” jawabku menyela dan lagi-lagi tak dapat gubris darinya.
Beberapa jam kemudian Arya keluar dari kamar
ayah, masih dengan mata lebamnya, ia duduk di sebelahku, menghela napas berat dan menolehkan kepalanya tepat berhadapan dengan aku. “Kenapa?” tanyaku gugup karena kala itu wajahnya benar-benar dekat.
Arya memejamkan matanya menikmati semilir
angin yang dihembuskan oleh kipas di pojok ruangan. “Bukannya tadi mau mengobati lukaku?” Aku mendelik paham, benar apa yang ia ucapkan, aku memang mau memberikannya obat penghilang rasa sakit pada mata ungu itu.
Perlahan aku mengobati lukanya, ia tampak
kesakitan serta meringis dari raut wajahnyalah aku tahu. “Terima kasih Dania,” ucapnya sesaat, aku mengangguk setuju kemudian beranjak dari tempat aku duduk dan berjalan menuju kamarku untuk merapihkan lagi kotak p3k yang sempat aku gunakan tadi.
“Duduk sini deh,” ucapnya setelah melihat aku baru saja
keluar dan tampak di depan pintu reyot itu. Aku berjalan mendekat dengan jantung yang berdegup lumayan kencang, pemuda itu menatapku dalam.
Sial! Manis sekali. Batinku ditengah keheningan.
“Kenapa?” tanyaku dengan penuh tanda penasaran padanya.
Wajah Arya tampak bingung memulai. “Ada apa
si? Jangan buat aku penasaran,” ketus ku singkat, aku melihatnya menarik napas panjang, mungkin tengah menyiapkan mental.
“Aku akan pindah dari kota ini, Dania.” Satu kalimat
pendek itu berhasil meruntuhkan semua kepingan hatiku, berita tiba-tiba yang sama sekali tak bisa aku terima akhirnya datang menyapa telingaku.
Aku diam seribu bahasa dan tak sama sekali
membuka mulutku untuk mengatakan Jangan pergi! “Dania? Jaga ayahmu ya, jangan biarkan dia sendiri seperti hari-hari lalu. Kau kan anak satu-satunya maka dari itu aku memohon padamu untuk menjaganya ya?”
Tak mendengar ada jawaban dari mulutku
pemuda itu seketika bangkit untuk kembali berpamitan. “Kapan?” ucapku lirih menahan tangis yang akan terjun dari mata.
Arya menoleh ke arahku, ia berjongkok menatap
mataku dengan lekat, mempertemukan matanya yang berwarna coklat muda dengan mataku yang berwarna hitam sendu seperti belum tidur lima hari. “Nanti sore, tepatnya pukul empat sore,” jawabnya tersenyum manis. “Aku akan ikut ayah pindah ke Makassar, tadi malam akhirnya ceritaku bersama mereka sampai pada puncak, ayah menceraikan ibu hanya karena lelah katanya.” Lanjut pemuda itu masih dengan senyumannya yang hangat menatap mataku.
Lagi-lagi aku harus menahan turunnya air mata,
Arya menepuk dua kali tanganku, benar memang ia menggenggamnya. “Tidak apa-apa ya? Kau harus bisa merawat ayahmu itu, jangan pernah membuatnya merasa kesepian Dania, kau kan anak baik.” ucap Arya mengangguk meyakinkan aku.
Air mataku saat ini tak berhasil aku tahan lama,
ia mengalir deras dengan sendirinya membasahi pipi, aku menangisi Arya yang bahkan belum sama sekali beranjak pergi meninggalkanku. “Kenapa kau tidak memberitahukan kepada ku sejak awal agar aku tak membiarkan kau masuk kerumah untuk berpamitan?!” tanyaku dengan suara yang sedikit keras memenuhi isi rumah.
“Maaf, tapi kan aku tak ingin membuatmu semakin
kaget mendengarnya, bisa saja saat aku memberitakan bahwa aku akan pergi kau malah pingsan di depan pintu kan?” ledeknya tertawa kecil berusaha membuatku ikut tertawa.
Selepas dirinya memberhentikan tawa ayah
memanggil kami lewat loncengnya, seketika Arya bangkit dan berlari kecil menghampiri ayah. “Kau tunggu sini ya,” ucapnya memberlakukan aku bak anak kecil lima tahun.
“Biar aku saja Arya, kau pulang saja, jika kau yang terus-terusan yang mengurusi ayah bagaimana aku bisa mengurusnya saat kau pergi nanti?”
Aku berjalan melewati tubuh Arya yang sempat
berada di depanku, “Pulang saja, aku bisa mengurus ayah sendiri, terima kasih ya sudah banyak membantuku. Semoga sukses di sana.” Ucapku dengan. kesan yang agak malas dan suara yang tak enak didengar.
Pemuda itu terdiam sesaat kemudian beranjak
pergi tanpa mengucapkan sepatah kata lagi untuknya, jujur saja aku tak ingin dirinya pergi begitu saja. Namun, jika aku terus-terusan menahannya apakah dia tak jadi pergi?
Aku menundukkan tubuhku untuk menatap
wajah ayah yang lemas. “Ayah sekarang sama aku ya, Arya sudah tak ada bersama kita.” Laki-laki dihadapkan ku itu meringis sedih, aku tahu rasanya karena ayah merasa akan kehilangan putra angkat tersayangnya. Aku merangkul ayah, menaruh lengannya tepat di pundak ku dan mengangkat tubuh ringkihnya untuk naik ke atas ranjang. “Selamat istirahat ayah, jika perlu sesuatu tolong panggil saja Dania ya.” Aku berjalan meninggalkan ayah sendiri, lagi.
Napas berat berhasil aku hembuskan ke atas dan
menyatu ke udara, ku raih benda pipih yang tergeletak tepat di atas ranjang kamar dan mulai menyalakannya, dengan sayup-sayup ngantuk aku menatapi layar terang itu. Sebuah panggilan telepon masuk kedalam bilah notifikasi ponselku, Arya rupanya. Aku berdecak sebal dan mengabaikan panggilan itu, ku pejamkan mata perlahan untuk mencoba melupakan pemuda yang baru saja pergi meninggalkanku.
Tepat ketika suara adzan berkumandang aku
terbangun serentak, tubuhku merasa getaran yang lumayan besar menghantam ranjang, Sial, lemari reyotku ambruk lagi. Ucapku dalam hati protes karena kejadian itu. Sayup ku kedipkan mata beberapa kali, aku melirik ke arah jendela dan hari itu sudah mulai gelap karena awan hitam yang akan mengguyur desa datang, ku lirik jam dinding dan mendelik kaget. “Jam berapa ini Dania?!” seruku berlari menuju kamar ayah yang masih tertidur pulas, hembusan napas lega seketika keluar, aku membuka layar benda pipih di tangan, kulihat sebuah notifikasi dari Arya memenuhi bilah notifikasi.
Arya: Dania, maafkan aku ya meninggalkanmu dan Om
Padri di desa. Maafkan ayahku juga ya karena menyuruhku ikut bersamanya, aku tak enak hati jika menolaknya, jaga ayahmu itu dia satu-satunya hartamu sekarang.
Arya: Sampai jumpa lagi Dania! Aku pamit ya.
Membaca isi pesan itu mataku mendelik tak
percaya, dia benar-benar pergi ternyata. Kemudian kaki ini melangkah keluar rumah, berlari tergopoh-gopoh menuju rumah tetangga yang tak lain dan tak bukan memang rumahnya Arya, sudah tak ada sendal maupun sepatu pemuda itu, aku hanya melihat seorang wanita yang tengah duduk termenung menatap jalanan desa yang becek, ibunya Arya.
Aku mengetikkan beberapa kalimat untuk
dikirimkan pada pemuda itu, sembari mengetik ternyata mataku mengeluarkan cairan khasnya, aku menangis tak karuan, manusia yang selama ini menemaniku sudah pergi meninggalkan aku di desa kuno ini.
Dania: Kau bodoh! Kau benar-benar meninggalkan
aku?
Dania: Aku benci dan marah padamu.
Dania: Sampai jumpa.
Aku menyeka air mata yang tak dapat berhenti
itu, ku berlari menuju rumah reyotku, mendatangi ayah yang kala itu masih terus menutup matanya, ku goyangan tubuh ringkih ayah dan berhasil membuatnya terbangun. “Arya benar-benar pergi ayah!” seruku menangis bak anak kecil dalam pelukan laki-laki yang saat ini mungkin saja tak tau harus melakukan apa. Ayah membunyikan lonceng miliknya, aku menoleh ke arah wajah lemas laki-laki itu, terukir sebuah senyuman hangat dari bibirnya ia menggerakkan bibir tanpa suara Solat katanya, aku berdiri dan menyeka air mata yang terus-menerus mengguyur pipi chubby ku.
Anggukan kepala sederhana seolah-olah
menyetujui perintahnya telah aku lakukan, aku berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu dan langsung melaksanakan salat ashar.
***
Beberapa tahun kemudian, tepatnya setelah lima tahun
setengah Arya pergi meninggalkan aku dan ayah pemuda itu sudah tak pernah lagi mengirimkan aku pesan, mungkin saja karena aku sempat membentaknya dalam pesan lima tahun lalu, saat ini aku telah berumur 23 tahun mungkin dirinya juga. Ayah telah pergi meninggalkan aku tepat beberapa bulan yang lalu, sekarang aku sendirian di desa, tanpa siapapun.
Tepat pukul sepuluh malam sebuah panggilan telepon
muncul menyapa bilah notifikasi ponselku, aku lihat ada sebuah nomor tak dikenal menelpon, dengan keberanian yang cukup aku mengangkatnya. Terdengar suara berat khas seorang laki-laki menyapa telingaku saat itu, aku mengerutkan kening heran dan bertanya-tanya siapakan sang penelpon ini, karena jujur aku tak tahu suara ini dimiliki oleh siapapun yang aku kenal. “Dania ya?” tanyanya semakin membuat aku penasaran.
“Iya aku, Dania, kau siapa?” tanyaku padanya dengan
nada bicara lugas agar memperingatkan bahwa jangan macam-macam padaku.
“Kau sungguh melupakan aku ya? Sayang sekali,”
lanjutnya semakin membuat kepalaku memutar bingung. “Aku Arya, bagaimana kabarmu dan ayahmu Dania?” ucapan yang baru saja dilontarkan dari sang penelepon di seberang sana berhasil mengejutkan aku.
Berulang kali aku mencubit keras pipiku
berharap ini sebuah mimpi karena aku tak mempercayainya, bisa saja telepon ini hanya pura-pura sebagai Arya? “Halo? Pasti saat ini kau sedang mencoba mencerna ya? Kau tidak mempercayai ku bukan? Aku benar-benar Arya dasar Dania.” Ku dengar kekehan dari sang penelpon di seberang, sial bisa-bisanya ia malah tertawa ditengah ketiba-tibaannya menelpon. “Maaf ya, bagaimana kabarmu? Bagaimana pula kabar ayahmu sekarang Dania? Apakah dia baik-baik saja?” tanyanya lagi padahal satupun belum aku jawab.
Hening menyita waktuku, aku memberanikan diri
membuka mulut dan menjawab pertanyaan yang ia ajukan. “Kau benar-benar Arya yang aku kenal? Aku baik-baik saja, tapi tidak dengan ayah, dirinya sudah meninggal tepat setelah hari ulang tahunku datang.” Pemuda di seberang telepon terdiam cukup lama, ia mengembuskan napas berat.
“Kau pasti kesepian ya? Maafkan aku Dania, seharusnya
tak aku tinggalkan dirimu kala itu,” ucapnya berusaha keras mencoba untuk menyemangati aku yang sudah terlanjur tak merasakan apa-apa. “Oh iya-“ ucapan Arya terhenti, terdengar suara anak perempuan sekitar umur satu tahun menyapanya kala itu dengan sebutan ayah.
“Siapa?” tanyaku padanya dengan gejolak hati penasaran
penuh tanya.
“Dania, anakku, namanya memang sama denganmu, agar
aku bisa terus mengingat kembali wajahmu. Maaf aku tak mengundangmu datang ke pernikahanku, aku sudah memiliki dua anak, bagaimana denganmu?” Pertanyaan darinya sungguh membuat aku bungkam.
“Ku tutup teleponnya ya, ada hal yang harus aku
kerjakan, nanti mengobrol lagi.” Aku menekan tombol merah untuk mematikan panggilan itu, batinku berucap riuh mengungkapkan kekesalan hati, berjalan melewati waktu dan berusaha melupakan kejadian tiba-tiba itu.
Sial untuk apa aku menunggumu kembali? Terima kasih
sudah menjadi temanku selama ini ya! Meskipun ternyata kita tidak bersama senang bisa mengenalmu.