Anda di halaman 1dari 126

0

ALANA HANYA MENCINTAI EDO


EDO HANYA BELUM MELIHATNYA
SAAT SEMUANYA TIDAK BISA DI TAHAN
ALANA PERGI DAN EDO MENUNGGU

1
THE LONGEST RIDE

Penulis : Alya Chiata


Editor : Alya Chiata
Penata Letak : Alya Chiata
Desainer Sampul : Alya Chiata

2020

Hak cipta dilindungi Undang Undang

All right reserved

____________

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan


sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin dari Penerbit

2
Kata pengantar
Pertama-tama saya sangat bersyukur pada Allah SWT
masih diberi kesempatan untuk menulis cerita ini. Untuk
teman-temanku atas bantuan dan dukungannya selama
proses pembuatan cerita ini. Serta terima kasih untuk
pembaca setia akun Wattpad yang selalu antusias menanti
cerita ini. Tanpa kalian, saya tidak akan bisa sampai di
sini.

Motterial Ziacky

3
ALANA

4 tahun yang lalu di tempat ini, di sebuah kamar


apartement elite hadiah ulang tahun dari Ayah, ada
kejadian yang merubah hidupku.

Aku mengamati seluruh sudut ruangan kamarku.


Tidak pernah berubah sedikitpun. Walaupun ditinggal
selama 4 tahun, untungnya kamar ini selalu dijaga
kebersihannya oleh jasa kebersihan yang aku sewa.

Aku tidak akan membiarkan tempat penuh sejuta


kenangan ini terabaikan begitu saja. Walaupun ingatan
terakhir tentang kamar ini begitu pahit, aku tidak bisa
menyangkal kalau kamar ini selalu menjadi bayanganku
selama melarikan diri ke London.

Dengan lembut aku mengusap ranjang yang aku


duduki. Lembutnya kain satin membuatku memejamkan
mata. Bayangan 4 tahun lalu kembali memasuki diriku.
Rasanya masih begitu nyata.

Helaan nafas tidak meredakan degup jantungku


yang terus berdetak saat menginjakan kaki di sini.

4
"Rasanya masih seperti kemarin." gumamku kini
sambil bangkit dari pinggir ranjang.

Benar. Rasanya masih seperti kemarin. Dan


sekarang aku harus menghadapi segala kemungkinan
didepan mataku. Mungkin aku harus bertemu lagi
dengan dia.

Dan kali ini, aku tidak bisa menghindar. Cukup 4


tahun aku menghindar dari seseorang. Aku memilih itu
bukan karena keegoisanku atau kejahatanku. Tapi, aku
menghindar agar dirinya bisa bahagia dengan pilihannya.
Aku benci untuk menjadi penghalang kebahagiaannya.

Sambil melangkah keluar dari kamar, suara ponsel


nyaring menguasai ruang tengah. Karena hanya aku
sendiri di dalam apart, jadi suara itu terasa memekakkan
telingaku.

Aku merogoh tas kulitku yang berwarna hitam


dengan logo brand terkenal. Sedikit perjuangan untuk
mencari benda pipih itu.

Saat melihat siapa yang menelfonku, aku


langsung mengernyit karena tidak ada nama pemanggil.

5
"Halo?"

"Buka pintunya. Aku didepan." Ujaran datar tapi


penuh penekanan itu sontak membuatku membeku.

Suaranya masih sama. Berat dan menggoda.


Penekanan katanya juga masih sama. Dan pemilik suara
dan kendali dalam kalimatnya itu adalah Putra Edo. Laki-
laki yang tidak aku harapkan bertemu secepat ini.

Demi Tuhan aku baru tinggal di Jakarta selama 3


hari dan dia sudah tahu keberadaanku. Tahu darimana
laki-laki ini?

Dengan sedikit gusar aku melangkah menuju


pintu apartement. Sebelum membuka pintu, aku
menghirup nafas sejenak untuk meredakan degup
jantung diriku yang semakin gugup.

Satu tarikan nafas mantap saat aku membuka


pintu dengan pelan.

Dia berdiri menjulang tinggi dengan pakaian


kantornya. Jas hitam melekat sempurna ditubuhnya.
Dasinya pun masih terikat erat di lehernya. Rambut
hitamnya dibiarkan berantakan. 4 tahun berlalu juga

6
membuat dia semakin tampan. Ah, belum lagi matanya
yang selalu menatap tajam lawan bicaranya itu. Secara
keseluruhan, Putra Edo masih sama.

"Hai." Sapaku dengan salah tingkah.

Dia menatapku dari atas ke bawah menilai


penampilanku. Dan sekarang aku bertanya-tanya apakah
penampilanku begitu buruk karena seharian ini aku
berada dibawah terik matahari ikut melihat proyek milik
Ayahku.

"Ehem. Kenapa ngelihatnya gitu banget, sih." Aku


membuka pintu sedikit lebar, "Ngapain berdiri di situ aja,
ayo masuk!"

Karena rasa gugup ini semakin gila, aku mencoba


menutupinya dengan berjalan kembali masuk ke ruang
tengah. Edo mengikutiku dalam diam dan menutup pintu.
Sampai di ruang tengah aku memilih duduk di sofa dan
menyalakan televisi.

"Di sini nggak ada makanan atau minuman jadi


jangan berharap banyak." Kataku dengan kekehan
mencoba mencairkan suasana yang kaku.

7
Edo melongos dan memilih pergi ke arah dapur.
Aku mengernyit saat mendengar suara pintu kulkas yang
dibuka. Jarak ruang tengah dengan meja makan dan
dapur memang tidak berjarak jauh. Tidak ada sekat juga
yang memisahkan jadi aku bisa melihat secara gamblang
apa yang dilakukan Edo.

Aku tersentak saat Edo membawa dua kaleng


soda dari lemari dingin dan berjalan duduk di sampingku.

"Kok? Kok ada minuman di kulkasku?" Tanyaku


heran menatap bergantian Edo dan kaleng yang dia
sodorkan kepadaku.

Edo menatapku datar sambil menaruh kasar


kaleng soda diatas pangkuanku.

"Perasaan aku nggak pernah suruh Mbak yang


bersihin buat isi kulkas deh." Heran karena selama ini aku
membayar tukang bersih-bersih hanya untuk
membersihkan apartement bukan yang lain-lain.

Edo dengan santai membuka jasnya dan melipat


lengan kemeja hitamnya sampai siku. Gerakannya hanya
dapat aku lihat dengan lirikan saja. Entah, rasa canggung
karena 4 tahun tidak bertemu ini begitu menyesakkan.

8
"4 tahun kamu pergi, Al." Dia membuka kaleng
soda itu sambil menatap lurus kearah tv.

Aku terkekeh sambil membolak-balikan kaleng


soda ditanganku. "4 tahun ya? times flies so fast."

"4 tahun aku nggak pernah dapat kabar dari


kamu."

"Busy all the time, Do. Aku juga kehilangan kontak


teman-teman yang lain. Ponselku sempat rusak karena
kecebur. Nggak sempat perbaikin buat ngalihin kontak.
Jadi, ya gitu." Aku meliriknya sekali lagi.

Dia mengusap wajahnya dengan gusar lalu


meletakan kaleng soda diatas meja. Kini dia memiringkan
tubuhnya dan menatapku.

"Kenapa? Kenapa pergi tiba-tiba? Kenapa datang


juga tiba-tiba? Kenapa?" Tanyanya dengan penuh
penekanan.

Aku tersenyum tipis ikut merubah dudukku agar


saling berhadapan dengannya.

9
"Kangen banget ya sampai kelihatan frustasi
begini?" Aku tertawa dan memberikan senyum miring
kepadanya.

Dia menutup matanya sebentar sambil


menggelengkan kepala dan tertawa kecil, "tetap Alana
yang sama. Selalu menutupi semuanya dengan
candaan."

Aku terdiam dan tanpa sadar meremas kaleng


soda begitu kuat. Benar katanya, aku masih Alana yang
sama. Alana yang memakai topeng kebanggaannya.

Kini Edo menatapku lembut, sebelah tangannya


menangkup pipiku, "Jangan lari lagi, Al, please."

"Aku nggak lari, Do. Sorry, kalo apa yang aku


lakukan malah buat kamu berpikir kayak gitu." lirihku.

Sungguh! Edo tidak boleh tahu yang sebenarnya!

"Maaf, deh, kalau aku melewatkan pernikahan


kamu, tapi kan aku udah kasih kado yang banyak buat
kalian." Aku memalingkan wajahku agar dia tidak bisa
melihat kesedihanku.

10
Dia menghela nafas, "jadi karena itu." ucapnya
pelan.

Aku langsung menatapnya bingung.

Dia bersedekap dada dan menatapku tajam,


"karena itu kamu kabur ke London?"

"Hah? Kok kamu pikirannya begitu, sih! Aku ke


London buru-buru karena Mami butuh aku." elakku.

Mami membutuhkanku hanyalah alasan yang bisa


aku pakai. Aku sampai menangis dikaki Mami agar mau
mengikuti sandiwaraku. Aku meminta Mami setiap ada
yang bertanya kenapa aku menyusulnya ke London
adalah karena waktu itu Mami jatuh sakit. Padahal, Mami
saat itu sehat-sehat saja. Kalau disuruh keliling eropa juga
Mami masih sanggup.

"Jangan bohong."

Aku berdecak, "Ngapain bohongin kamu? Lagian


kalau nggak percaya tanya langsung tuh Mami."

11
"Terus kenapa kamu tiba-tiba balik ke Jakarta?
Bukannya Mami butuh kamu di sana?" dia menyindirku
dengan begitu jelas.

"Sekarang Ayah yang butuh aku di sini. Ini kenapa,


sih, kok kamu jadi sewot banget. 4 tahun nggak ketemu
malah introgasi begini." Aku memilih menyandarkan
punggungku ke sofa.

"Aku tahu kamu menghindar, Al." ucapnya


tenang. "Kalau soal malam itu, apa aku harus—"

"Kenapa harus di bahas lagi? Kan kita sepakat


nggak akan pernah bahas. Lagian aku dan kamu sama-
sama sadar, kita sama-sama salah. Dan sama-sama
memaafkan, ingat? Jadi, please, jangan bikin aku merasa
bersalah udah tidur sama sahabat sendiri yang dalam
hitungan minggu akan menikah." Dadaku rasanya sesak
harus mengungkapkan ini lagi. Selama 4 tahun aku
menghindari ini tapi secepat ini juga Edo
mengingatkanku.

"Dan aku nggak pernah menyesal melakukannya,


Al." Suara berat itu begitu dingin sampai membuatku
tidak nyaman.

12
"Ya, sudah, oke kamu nggak menyesal, aku aja
yang sedikit menyesal, sekarang kita jalanin aja
semestinya."

"Semestinya? Apa maksudmu?"

"Ya, semestinya." Aku menatapnya lurus tepat di


bola mata hitamnya. "Kamu dengan kebahagiaanmu dan
aku dengan kebahagiaanku."

"Aku belum mengerti."

Aku menghela nafas panjang dan memeluk diriku


sendiri, "kita sahabat dan akan selamanya jadi sahabat.
Tapi, masa depan kita berbeda. Kebahagiaan kita juga
berbeda. Jadi kita jalanin aja garis hidup kita. Aku tetap
akan jadi sahabatmu. Soal kepergianku, tolong jangan
salah paham, Do. Semuanya juga terjadi begitu cepat."

"Kamu menegaskan kedudukan kita seperti


sedang menutupi sesuatu, Al."

Aku tercekat dengan perkataannya. Begitu


jelaskah aku menutupi kenyataan yang tidak boleh Edo
tahu sampai dia bisa membaca ketegangan diriku
sekarang? Dia sungguh laki-laki yang pintar.

13
"Perasaan kamu aja. Kita udah lama nggak
ketemu. 4 tahun bukan waktu yang sebentar kan?" Aku
meliriknya sekilas sambil menggaruk lengan atasku yang
tidak gatal.

"4 tahun itu nggak sebanding dengan jarak waktu


aku mengenal kamu, Al."

Benar. 4 tahun itu tidak akan berarti karena aku


dan Edo sudah mengenal saat umur kami 15 tahun. Dia
sudah paham gerak-gerikku.

"Do, kamu ane, deh!" Seruku.

"Kamu yang aneh." Balasnya tidak terima.

"Udah jangan di perpanjang lagi, sekarang aku


mau tanya. Kamu tau dari mana aku ada di sini?" Semoga
saja dia teralihkan.

Dan benar, dia teralihkan, "Om kasih tau kalau


kamu ada di sini." Katanya sambil merubah posisi
duduknya sepertiku. "kenapa nggak kabarin aku?"

14
"Kabarin? Sampai sini aja aku nggak di kasih nafas
sama Ayah. Proyek yang Ayah tanganin banyak kesalahan
dan aku harus cepat-cepat turun tangan."

Edo berdecak jengkel dan membuatku menoleh


kearahnya, "aku sudah menawarinya bantuan berkali-kali
dan Om terus menolak itu."

Aku tertawa mendengarnya, "kamu tau kan sifat


keras kepala Ayah gimana."

"Terus gimana ceritanya sampai Ayahmu bisa


buat kamu balik lagi ke sini?"

Aku menghela nafas dan menatap lurus kearah


layar tv yang masih menyala, "4 bulan yang lalu Ayah
telfon aku, dia bilang kalau dia mau jalanin proyek besar
bareng pemerintah. Ayah bilang dia mau aku yang jalanin
proyeknya dan aku tolak itu. Di London aku punya
pekerjaan dan nggak bisa seenaknya aku tinggalin kerjaan
aku. Ayah awalnya oke aja sama keputusan aku, terus 2
bulan lagi dia telfon aku. Dia bilang proyeknya diujung
tanduk karena pihak pemerintah banyak main uang alias
korupsi. Aku nggak kaget, yang buat aku kaget adalah
perusahaan Ayah harus ikut kena imbas dari masalah itu.
Saham turun dratis karena permainan media. Saat itu

15
juga aku pikir kalau Ayah pasti bisa bertahan. Pas aku cari
tau lewat internet ternyata dampak dari korupsi itu bikin
perusahaan Ayah terancam gulung tikar."

"3 triliyun bukan uang sedikit." Ujar Edo.

Aku mengangguk mengiyakan, "3 triliyun yang


disorot media. Aku telfon Ayah lagi, aku minta semua
berkas dari awal proyek lewat email. Aku baca dan aku
analisis sendiri. Ternyata 9 triliyun yang dikorupsi. Aku
ngerasa kok ada orang sejahat itu, ya? Dia yang datang ke
Ayah untuk kerja sama dan dia juga yang korupsiin uang
sebanyak itu."

"Terus kamu putusin balik ke sini buat bantu


Om?"

"Iya. Awalnya aku cuman ikut bantu jarak jauh aja.


Aku kasih Ayah saran dan bantuan apa yang harus
diperbaikin, apa yang harus Ayah bawa ke pengadilan,
apa yang harus Ayah pertahankan di perusahaan karena
itu semua."

"Karena itu semua Om jadi bebas dari tuduhan


dan proyek juga berlanjut."

16
Aku tersenyum lebar.

"Masalah itu udah selesai 3 minggu yang lalu dan


proyek juga udah berjalan semestinya. Terus kenapa
kamu di sini?"

"Kamu tuh nggak suka ya aku balik ke sini?"


sewotku.

Edo tertawa kecil sambil mendorong kepalaku


dengan telunjuknya, "bukan gitu. Dari ceritamu aku bisa
simpulkan kalau bantuanmu lewat jarak jauh aja udah
membantu banyak dan secara jelas kamu enggan balik
lagi ke sini."

Benar katanya. Aku tidak mau kembali ke sini,


maka dari itu aku hanya membantu Ayah dari jauh.

"Ayah mau aku ikut campur sama proyek ini. Aku


ngerti karena Ayah nggak mau kejadian kemarin terulang
lagi pastinya. Karena kontrak kerjaku juga udah habis jadi
aku balik lagi ke sini."

"Kamu kerja apa di sana?"

17
"Karyawan biasa aja kok. Nggak ada yang special
di sana." Aku sengaja menekan kata special.

Edo mengangguk, "4 tahun kamu melewatkan


banyak hal di sini, Al."

Aku menatapnya lekat. Pengucapannya datar tapi


matanya begitu lesu. Pancaran binar arogan dan
tajamnya seorang Edo tidak ada di sana. Dengan ragu aku
mengusap bahunya.

"Ada apa? Ini awal yang baik kita ketemu di sini


selama 4 tahun kan? Kamu bisa ceritain apa yang aku
lewatkan."

Edo tersenyum tipis sambil menunduk. Dengan


tiba-tiba dia menarik tubuhku dalam dekapannya sampai
aku tertarik duduk dipangkuannya. Tangannya melingkar
dibahu dan pinggangku. Dia memelukku begitu erat
dengan kepala yang menyelusup ke dalam leherku.

Gerakan tiba-tiba ini membuatku menahan nafas.


Ini tidak aku perkirakan sebelumnya kalau Edo akan
memelukku seintim dan senyaman ini. Ah! Astaga!
Jangan sampai aku terlena! Tidak bisa!

18
"Edo..." panggilku lirih.

"Sebentar, Al. Aku rindu..." gumamnya yang


terendam dileherku.

Aku merasa merinding karena saat dia berbicara


sapuan bibirnya begitu terasa diatas kulitku. Belum lagi
nafas hangatnya.

"Do? Nggak gini..." Nafasku tercekat saat Edo


memberikan kecupan hangat di leherku. Tanpa sadar aku
meremas bahunya karena rasa aneh yang datang. Rasa ini
sama seperti 4 tahun yang lalu. "Do..."

Edo malah memberikan kecupan-kecupan lainnya


di bahuku. Dan sialnya Edo dengan berani menjilat sekilas
leherku.

"Do!" aku menggeram kesal karena sensasi yang


dia berikan begitu besar walaupun hanya sapuan bibir
dan ujung lidahnya dileherku. "Do, jangan sampai
terulang lagi." aku mencoba mengingatkannya.

"Kenapa?" Dia masih terus memberikan kecupan


yang berubah menjadi kecupan basah.

19
Ah, ini sangat enak dan membuat tubuhku seperti
terbakar.

"Jangan ada penyesalan lagi yang datang." Aku


mencoba mengatur nafasku yang mulai berat. Aku harus
menjadi salah satu yang normal di sini.

"Aku nggak pernah menyesal, Al."

Tapi aku yang menyesal, Do.

"Jangan jadi bajingan, Do." kata-kata itu keluar


begitu pelan dengan sarat kesedihan dalam bibirku.

Edo menghentikan kegiatan gilanya. Dan saat itu


juga aku menghela nafas panjang. Antara lega atau
sedih? Aku menginginkan dia berhenti agar tidak ada
penyesalan nantinya tapi tubuh bodohku ini begitu
nyaman dalam kegiatan gila Edo.

Tiba-tiba saja Edo malah menggigit dan


menghisap leherku dengan kuat sampai aku menjerit
karena kaget dan sakit yang aneh.

"Edo!" Sentakku kesal dan memukul


punggungnya.

20
Edo mengangkat wajahnya bertatapan dengan
wajahku. Wajahnya memerah dengan mata setajam
pisau siap membelahku menjadi dua. Aku menelan ludah
dan aku yakinkan wajahku sudah merah sekarang karena
gugup dan terpesona secara bersamaan.

"Aku bukan bajingan, Al! Aku cuman bodoh dan


aku nggak mau jadi laki-laki bodoh lagi. Aku tau apa yang
aku inginkan dan apapun itu akan aku dapatkan. Jadi
diam sekarang aku sangat merindukanmu, Al!"

Edo meraup bibirku dengan ganas sampai aku


melotot tidak percaya dengan apa yang dia lakukan
sekarang. Tangannya sekarang mulai bergerak
dipinggang lalu turun dan meremas gemas pinggulku.
Aku menahan tubuhku agar tidak menempel dengan
tubuhnya dengan cara meletakkan kedua tanganku di
dadanya.

Karena Edo tahu apa yang aku lakukan dia


langsung menarik kedua tanganku untuk melingkar di
lehernya. Aku semakin tidak percaya dengan gerakannya
yang selalu tiba-tiba. Belum sempat aku menolak dia
langsung memelukku dengan erat. Lumatan serta
hisapannya di bibirku semakin panas.

21
Aku tidak ingin kalah dengan gairahku sendiri tapi
aku tidak bisa menyangkal apa yang dilakukan Edo
membuat sisi liarku bangkit. Edo adalah laki-laki panas
dan menggoda selama aku hidup. Ini salah tapi ini seperti
surga sesaat untukku.

Demi Tuhan, Alana! Dia sahabatmu yang sudah


menikah!

Aku memejamkan mataku berusaha berpikir


jernih tapi terbuyarkan saat lidah Edo memaksa masuk
lebih dalam ke mulutku. Nafasku bahkan semakin berat
karena elusan telapak tangan Edo dipunggungku.

Dan akhirnya aku kalah...

Aku kalah dengan rasa gairah yang Edo ciptakan


untukku. Kebodohanku untuk menyambut Edo
menguasai diriku sekarang. Dan aku membalas perlakuan
Edo sama panasnya. Sama besarnya kita saling
menginginkan.

Lenguhan Edo terdengar saat aku membalas


ciumannya. Sebutan orang-orang padaku sebagai good
kisser memang selalu aku dengar saat aku mulai berani

22
hidup bebas di Ibukota. Mantan kekasih dan mantan
gebetanku pasti akan memberi julukkan seperti itu saat
kami bersama.

Aku bisa memuaskan siapapun hanya dengan


ciuman. Termasuk laki-laki yang sedang mencoba
melepaskan kancing kemeja maroon yang aku pakai
sekarang. Tangan besarnya begitu ahli membuka
kancing-kancing itu. Bunyi bibir yang saling beradu
semakin membuatnya semangat menyibakkan kemejaku
hingga terlepas dari bahuku.

Dia melepaskan ciumannya dan menatap tubuh


atasku yang hanya memakai bra hitam. Dia tersenyum
puas melihat apa yang ada didepan matanya sekarang.

"Ini kedua kalinya aku selalu puas melihat ini." Dia


meremas payudaraku dengan lembut. "dan aku kedua
kalinya harus bergairah padahal kamu belum full naked
dihadapanku, Al."

Aku memutar bola mataku malas, "jangan


ngomong cheesy gitu, nanti aku udah nggak nafsu!"
ketusku karena seorang Edo yang aku tahu seperti 4
tahun yang lalu saat kami bercinta dia akan mengatakan
hal yang tidak perlu hanya untuk membuatku jengkel.

23
"Apa rasanya masih sama?" Edo menatapku
remeh dengan alis yang terangkat.

"Edo! Kamu pikir tubuh aku bisa dinikmatin


semua orang yang aku temuin?!"

"Aku nggak tau. Kan 4 tahun kamu hilang."

Aku menggeram kesal dan menarik kerah


lehernya untuk mencium bibirnya. Di sela-sela ciuman
yang aku berikan, si bodoh ini malah tersenyum miring.

"Shut up! Kamu tau aku nggak segampang itu!"


kataku tepat didepan bibirnya lalu turun mencium
rahangnya.

Edo mengumpulkan rambutku yang tergerai dan


menyampingkannya, "Aku tau. Karena aku yang pertama.
Dan aku yakin aku yang kedua sekarang, iya kan?" suara
beratnya menggoda telingaku.

Aku membuka kancing kemejanya sambil


meliriknya yang sedang sibuk meremas payudaraku yang
masih tertutup bra.

24
"Jangan percaya diri. Di London banyak laki-laki
yang membuatku bergairah." desisku karena tidak terima
tebakan yang dia berikan itu adalah kenyataan.

Pada kenyataannya laki-laki yang mendapatkan


kerhomatanku adalah Edo. Dan sekarang yang dapat
menikmati tubuh telanjangku juga dia. Ah, sial!

Edo menghentikan remasannya dan saat itu juga


aku melapaskan kemejanya.

Aku menatapnya bingung, "kenapa?"

"Jadi harusnya kamu memiliki pengalaman yang


banyak dari London iya, kan?"

"Maksudnya?"

"Sekarang tunjukkan pengalaman itu, Al. Aku mau


lihat betapa pengalamannya kamu setelah 4 tahun ini."
nada suaranya seperti marah tapi raut wajahnya begitu
datar tak terbaca.

Aku masih bingung mencerna perkataannya tapi


langsung melenguh nikmat saat Edo kembali
meluncurkan aksinya dengan meremas payudaraku lebih

25
kuat. Wajahnya kembali mendekat ke leherku dan
memberi jilatan basah di sana.

Tanganku menyambutnya dengan meremas


rambutnya juga mendekap erat kepalanya. Dan tanpa
sadar jari Edo sudah membuka braku hingga mulutnya
bebas mengulum payudaraku dengan rakus.

"Edo..." desahku.

"Panggil namaku, Al. Hanya namaku."


perintahnya tak terbantah.

Tangannya menarik resleting rok spanku. Gigitan


kecil di dadaku semakin membuat gairahku berada
diujung kepala.

"Edo... more..."

"Aku merindukanmu, Al. Selalu merindukanmu."


gumamnya dan meremas bokongku.

Aku hanya mampus mendesah dan meremas


rambut hitamnya. Rasa nikmat yang dia berikan menutup
segala kewarasanku.

26
Aku melupakan hal penting. Hal yang dari 4 tahun
selalu aku tanamkan dalam diriku sendiri untuk
menghadapi Edo.

Dia sahabatku dan dia sudah menikah.

Sial! Dosa ini akan semakin besar. Dan setelah ini


aku yakin penyesalanku semakin menggunung. Aku
bodoh tidak bisa berhenti. Di dalam pikiranku sekarang
adalah aku menginginkan Edo sama seperti 4 tahun yang
lalu.

4 tahun yang lalu aku bercinta dengannya. Di


apartement ini. Dan malam ini, aku mengulangnya.
Dengan status yang berbeda.

Dulu dia sahabatku dan tunangan orang lain.

Sekarang dia sahabatku dan suami orang lain.

Terkutuklah kau Alana!

Dan diantara gairah juga rasa bersalah, Edo


mengangkat tubuhku dalam gendongannya. Kesadaran
akal sehatku menipis saat mata kami bertatapan. Binar
matanya menghinoptisku begitu saja. Aku seperti

27
memohon dibawah kakinya untuk rasa nikmat yang dia
berikan.

Edo membaringkanku diatas ranjang. Tangan


besarnya menarik rokku serta dalamanku. Dan tubuh
polosku menjadi pemandangan yang indah baginya.

"Bentukmu semakin menggoda." suara seraknya


menggelitik pendengaranku.

Edo menindihku dan mengecup lembut bibirku,


"setelah ini, jangan pernah kabur lagi, Alana. Aku nggak
akan lepasin kamu. Ingat itu baik-baik."

Aku menelan ludahku, "aku akan menikmati dosa


yang kita buat malam ini. Tapi aku nggak bisa janji untuk
besok pagi."

Edo terdiam sebentar. Wajahnya mengeras


sesaat tapi seringaian dia tampilkan di wajah tampannya.

"Aku nggak akan bikin kamu tidur sampai pagi."


katanya yang langsung aku beri pelototan.

Edo langsung melancarkan aksinya. Memberikan


sejuta nikmat yang sudah lama tidak aku rasakan. Aku

28
hanya bisa mendesahkan namanya begitu keras saat
penyatuan tubuh kami dilakukan. Dia sempat kesusahan
dan sesekali mengumpat karena katanya begitu sempit di
dalam sana. Rasa tidak nyaman menerima dirinya
dibawah sana memang aku rasakan sebentar. Tapi
selanjutnya adalah rasa nikmat surga yang ada.

Gerakan Edo yang begitu sensual namun kasar


saat menghentak tidak menghentikan tanganku yang ikut
menggerayangi tubuh kekarnya. Dari bawah sini, dengan
minimnya penerangan, aku bisa melihat tubuh panas
seorang Putra Edo.

Kulitnya putih bersih dengan otot tubuh yang


tidak berlebihan. Tubuhnya tinggi dengan bahu lebar
yang tegak. Ditambah rahang yang ditumbuhi rambut
halus yang membuat siapapun bergetar mengusapnya
dan meraba rahang tajam itu.

Bulir keringat dari pelipisnya turun ke hidung


mancungnya lalu menetes mengenai pipiku.
Hentakannya semakin keras saat dia mengangkat satu
kakiku agar bertopang dibahunya. Aku menggeram
merasakan miliknya masuk semakin dalam.

29
Edo begitu gila akan gairah yang berkobar di
dirinya dan aku juga sama gilanya dengan dia. Gerakan
yang awalanya lembut berganti kasar begitu
memabukkan. Seorang Putra Edo memang gila.

"Alana!!!”

"Edoooo!”

Setelah hampir satu jam, akhrinya pelepasan yang


begitu sempurna datang juga. Aku merasa Edo sangat
menahan pelepasannya untuk bermain lama, sedangkan
aku dibuat terus menerus melepas namanya dari
mulutku karena pelepasan.

Edo berguling kesampingku, nafasnya sama


beratnya denganku. Keringat basah tidak mengganggu
diriku sama sekali, padahal aku sangat benci berada
diatas kasur dalam keadaan berkeringat seperti ini.

Saat nafasku mulai teratur, tubuhku langsung


ditarik Edo dalam dekapannya. Tangannya menyelinap
kebelakang leherku untuk menyanggah beban kepalaku.
Tangan lainnya memelukku dengan erat. Wajahku
langsung berhadapan dengan dada Edo.

30
"Jangan tidur, istirahat aja sebentar."

Aku mendongkak mendengar perintah datarnya


itu.

"Aku masih belum puas."

Dengan cepat aku melotot dan mendorong


dadanya. Tapi, rengkuhan Edo sangat erat sampai hanya
berhasil beberapa centi saja menjauh darinya.

"Kamu ke sini cuman mau having sex sama


aku?!"

Edo mengerutkan dahinya dan menunduk untuk


membalas tatapanku, "sex? kita bercinta bukan sex.”

***

Aku masuk ke gedung besar warisan turun


temurun dari Kakekku. Perusahaan keluarga ini dipimpin
oleh Ayahku sendiri karena beliau adalah anak sulung.
Sedangkan paman dan tanteku yang lainnya juga ikut
bergabung di dalam perusahaan untuk memperkuat
kejayaan keluarga Darmawan.

31
Kakiku melangkah ringan, beberapa hari yang lalu
Ayah sudah mengumumkan posisiku diperusahaan
sebagai kepala divisi keuangan dan dipimpin langsung
oleh adik sahabatku, Kiara Atmaja.

Kiara adalah perempuan paling tangguh yang


pernah aku kenal. Kepribadiannya yang supel dan
menyenangkan ternyata memiliki pahit cerita. Bercerai
dengan suami yang mati-matian dia perjuangkan karena
berselingkuh dengan sahabat yang dia banggakan. Dan
berita perceraiannya menjadi trending topik di tanah air.

Hanya Kiara yang tidak bekerja perusahaan


keluarganya, sedangkan Edo memilih mengembangkan
usaha keluarga Atmaja itu.

Sesampainya di ruangan, aku dibuat terkejut oleh


kehadiran wanita yang sempat aku pikirkan tadi.

"Kiara?" Panggilku menghampirinya yang sedang


membaca majalah bisnis disofa ruangan.

Kiara menoleh lalu tersenyum lebar. Badan


ramping seperti model itu bergerak tergesa memelukku
yang masih berdiri.

32
"Mbak Al! Kia kangen!" Rajuknya sambil
memelukku semakin erat.

Aku terkekeh melihat sifatnya yang tidak berubah


sama sekali. Persahabatanku dengan Edo membawa
hubunganku dan keluarganya juga begitu erat.

"Udah jadi Ibu kok masih manja?" Ledekku sambil


mencubit pipinya yang tembah semenjak melahirkan.

"Ih, Mbak! Ngeledek nih!" Ucapnya pura-pura


kesal lalu mengamit lenganku dan menyeretnya duduk
disofa panjang, "Cie, kepala divisi baru... Uhuy! enak ya
mentang-mentang Ayahnya yang punya perusahaan,
langsung dikasih jabatan."

Aku melotot mendengar serangan baliknya, "Enak


aja! Aku masuk lewat test sama pengalamanku oke tau!"

Dia tertawa lebar, "Becanda kali, ish! Galak deh


sama atasan."

"Kamu turun jabatan deh, biar aku yang jadi


atasan kamu."

33
Dia melotot, "Enak aja! Nggak tau apa aku bisa
sampai sini pakai darah, keringat dan air mata?!"
Ucapnya tidak terima.

Aku tertawa sambil menggelengkan kepala, "Iya,


siap Ibu Bos!"

Lalu kami tertawa bersama. Benar kata Edo, 4


tahun ini aku melewatkan banyak hal. Seperti sekarang,
aku tidak menyangka Kiara mampu berdiri semakin
kokoh. Memiliki anak perempuan yang begitu lucu dan
juga suami yang hebat. Siapa yang tidak tahu Givano
Sanggigih, pengacara terkenal yang selalu menang kasus
besar. Dan, Givano adalah teman dekatku juga Edo.
Sayangnya aku tidak menghadiri pernikahan mereka tiga
tahun lalu.

Kami saling bercerita bertukar banyak hal yang


sudah aku lewatkan. Kiara juga tidak lupa menjelek-
jelekkan ketiga abangnya yang masih betingkah seperti
remaja tidak tahu diri bahkan masih bermain-main tanpa
memikirkan pernikahan. Perempuan itu seakan lupa
sedang berbicara dengan siapa, aku beberapa bulan lagi
juga akan berumur sama dengan kakak pertamanya itu
belum memikirkan hubungan pernikahan.

34
"Mbak, gimana udah ada gandengan?" Tanya
Kiara disela-sela kunyahannya saat kami makan siang
bersama direstoran yang tidak jauh dari kantor.

Aku tersenyum masam. Aku masih terjebak di


ruang nostalgia, Dek.

"Belum ada yang pas." Jawabku asal.

Kiara mendengus, "Tunggu siapa, sih? Abang aku,


ya?" Godanya sambil memainkan dua alis indahnya.

Aku menatap wajah cantik Kiara, "Duh, tega


banget kamu mau aku sama Ragil si don juan KW super
itu? Atau sama Tyo si kulkas anti bocor?"

"Ish, jangan sama dua-duanya. Lagian udah mau


soldout mereka berdua walaupun masih diragukan."

"Loh, terus ngapain ditawarin?"

"Kan ma—"

"Kiara, Alana?" Suara merdu mengintrupsi ucapan


Kiara.

35
Sontak kami menoleh bersamaan. Mataku
langsung terpaku pada wanita bertubuh mungil yang
lebih gemuk daripada terakhir kali aku ingat. Rambut
sebahunya dengan poni membuat bentuk wajahnya
semakin bulat. Tapi, sinar ayu dari wajahnya tidak pernah
luntur sedari dulu.

Aku masih terdiam saat Kiara menyapa riang


Fiola. Wanita yang dulu sempat akrab dengannya karena
selalu ada disekililingnya saat bersama Edo. Tentu saja,
tidak lain tidak bukan dia adalah tunangan Edo—Ah
ralat—bukan tunangan melainkan Istrinya sekarang.

Mataku semakin terpaku melihat sesuatu yang


menyembul dibalik dress birunua yang menyembul
dibagian perut. Seketika hatiku teremas begitu kuat.

Aku tersadar betapa jahatnya aku sekarang.

"Alana?" Panggilan suara itu menyentakku, tiba-


tiba mataku berkaca-kaca.

"Eh? Maaf!" Ucapku cepat lalu beranjak dari


bangku, "Softlens ku berulah nih! Aku ke kamar mandi
bentar ya!" Tanpa mempedulikan dua wanita yang

36
menatapku heran, aku langsung buru-buru pergi kearah
toilet restoran.

Sungguh aku begitu malu. Malu karena bayangan


aku mendesah dikukungan suami orang. Malu karena
menyakiti wanita yang sedang hamil. Malu karena
tingkahku seperti jalang perebut.

Astaga, Alana! Memang seharunya kamu tidak


pernah kembali! Keputusan menetap di London adalah
hal yang tepat.

Aku mendesah keras menatap bayanganku


didepan cermin toilet. Dengan kasar aku membasuh lagi
wajahku. Benar-benar tidak bisa dipercaya!

Kenapa aku harus kalah dengan gairah dan


keegoisanku! Perasaan sialan! Seharusnya kamu tahu
diri, Alana!

Batinku terus mengata-ngataiku. Membiarkan


tubuhku semakin tegang dengan degupan jantung yang
ketakutan.

***

37
Alana menghempaskan tubuhnya diatas ranjang.
Tubuhnya begitu lelah akibat olahraga sorenya
mengelilingi apartement sebanyak sepuluh putaran.
Peluh keringat tercetak jelas di wajah dan rambutnya
yang lembab.

Tadi siang, saat menenangkan diri di dalam toilet


restoran, Alana harus dihantam kenyataan melihat
kehadiran Edo yang sedang mengusap sayang kepala
Fiola sambil bercakap hangat dengan Kiara.

Alana mematung melihat pemandangan itu.


Suasana ceria sangat jelas mengelilingi meja yang sempat
dia duduki. Tatapannya semakin nanar karena mengingat
dirinya sebagai perempuan hina dalam hubungan
sahabatnya.

Perasaan menyesal dan marah pada diri sendiri


membuat Alana pergi dari restoran tanpa sepengetahuan
Kiara. Dirinya hanya mengirim pesan jika ada sesuatu
yang tiba-tiba harus dia urus. Untungnya Kiara tidak
membombardir pertanyaan pada Alana.

Bukannya kembali ke kantor, Alana memilih


mengelilingi kota Jakarta sampai sore. Tidak peduli
bensin yang terbuang sia-sia atau macet yang padat di

38
ibukota. Sepuasnya dia mengelilingi Jakarta, akhirnya dia
kembali ke apartement. Mengganti pakaiannya dan
memilih berlari memutari apartement.

Salah satu cara Alana untuk mengurangi rasa


nyeri di hatinya adalah berlari. Seperti selama ini yang dia
lakukan. Berlari dari kenyataan.

Alana memutar kembali kenangan bersama Edo.


Dulu, dia bertemu Edo si judes biang rusuh yang selalu
mencari masalah dengan berantem dan tawuran
disekolah. Alana sebagai teman sekelas yang jengah
melihat tingkah preman Edo akhirnya menyadarkan
pemuda itu dengan cara menegurnya di depan banyak
murid.

Edo bukannya tersinggung namun memilih


mengganggu Alana balik. Edo remaja memilih mengintili
Alana kemanapun sampai akhirnya, pertemanan yang
berawal menyebalkan semakin kuat hingga mereka
beranjak dewasa.

Di mata Alana, Edo adalah lelaki yang tidak pernah


puas dalam sebuah hubungan. Lelaki itu selalu mencari
versi terbaiknya dengan pindah hati ke sana ke mari.
Sampai akhirnya, dia bertemu Fiola.

39
Alana dan Edo bertemu Fiola saat sedang liburan
ke Swedia. Awalnya Edo yang menyadari kehadiran Fiola
yang terlihat manis dalam balutan baju musim dingin.
Melihat kesempatan yang besar saat mengetahui gadis
itu adalah anak dari duta besar di negara itu. Sampai
akhirnya, mereka bertemu di Jakarta dan menjalani
pendekatan ala Edo si lelaki yang terkadang hangat,
terkadang dingin.

Saat itu, Alana menyadari sesuatu. Ternyata


bukan hanya Fiola yang jatuh pada pesona Edo, namun
dirinya juga ikut terjatuh. Bedanya, Alana sudah
mengalami debaran itu jauh sebelum Edo bertemu Fiola.
Dia selalu menyangkal debaran itu. Tapi, melihat betapa
seriusnya Edo pada Fiola membuat sakit dihatinya begitu
menyedihkan.

Dia cemburu. Tapi, dia telat. Edo selalu menyebut


Fiola adalah perempuan yang berbeda dari semua
perempuan yang dia kencani. Dari situ, Alana tahu diri.

Mengubur perasaan bukanlah hal mudah. Apa


lagi harus bertemu sang pujaan hampir tiap hari. Menjadi
saksi mata orang yang kita cintai bersama orang lain. Dan
Alana, menjalani harinya seperti itu.

40
Pada akhirnya, berita seperti palu godam
menimpa Alana. Lelaki yang dia cintai diam-diam akan
melamar kekasihnya.

"Aku mau melamar Fiola. Kayaknya emang ini


waktu yang tepat buat jalanin kehidupan baru."

Itu katanya saat makan bersama dengan Alana di


apartement ini.

Alana hanya bisa tersenyum kaku dan mendoakan


segalanya untuk kebahagiaan Edo.

Menjauh adalah persiapan yang Alana lakukan


untuk menguatkan hatinya. Dia mengisi amunisi agar saat
bertemu lagi dengan Edo diatas pelaminan, dia akan kuat.
Tapi, apa yang dia lakukan ternyata membuat Edo
berpikir lain.

Malam itu, hujan begitu deras mengguyur kota


Jakarta. Angin kencang membuat pengendara mobil
harus lebih jauh waspada agar tidak mengalami
kecelakaan.

41
Sialnya, Alana menabrak pembatas jalan saat
keluar tol menuju apartementnya. Dia dalam keadaan
setengah mabuk karena frustasi akan perasaannya yang
tidak kunjung surut.

Alana menggeram saat pening dipelipisnya yang


sudah diobati di UGD semakin mengganggunya. Dia tidak
berani menelpon Ayahnya karena beliau sedang ada di
luar negri. Akhirnya, dia menelpon salah satu sahabatnya
yaitu Ardyan. Sahabatnya sejak kuliah bersama Edo.

Bukannya mendapati Ardyan yang


menjemputnya, dia malah melihat wajah merah padam
Edo berdiri di depan pintu UGD.

Alana ingat betapa kerasnya Edo menyimpan


emosi untuk tidak membentak Alana. Sepanjang
perjalanan, Alana hanya bisa duduk tegang karena aura
dingin yang Edo keluarkan. Sedangkan lelaki itu masih
memasang wajah murkanya sambil mencengkram erat
stir mobil.

"Kamu udah gila?!" Desis Edo saat pintu


apartement Alana sudah tertutup.

42
Alana berjalan melewati tubuh Edo dan masuk ke
dalam kamarnya. Dia lelah dan badannya terasa sakit.
Pengaruh alkohol ditubuhnya juga sudah hampir
menghilang semua.

"Berkendara dalam keadaan mabuk, masuk UGD,


nggak ada kabar hampir sebulan, terus keadaan urgent
gini kamu lebih pilih Ardyan daripada aku?!"

Alana tersenyum getir dalam hatinya. Memang


ada rasa senang melihat kepedulian Edo, tapi rasanya
tetap menyakitkan mengingat status lelaki itu.

"Jangan berlebihan, Do." Alana membuka jaket


Edo yang tadi lelaki itu pakaikan, "Aku capek, kamu bisa
pulang."

Suara gemelatuk gigi membuat Alana terdiam


mematung. Dia tahu aura kemarahan Edo sudah
menguar mengisi kamarnya.

"Berlebihan kata kamu?" Desisnya pelan, "Kamu


pikir aku nggak kalang kabut pas Ardyan bilang kamu
kecelakaan?! Kamu pikir aku tenang nggak dapat kabar
dari kamu selama sebulan ini?! Kamu pikir sendiri, Al!"

43
Teriaknya murka setelah menarik paksa lengan Alana
agar berhadapan dengannya.

"Kenapa sih kamu, Al! Berubah menjauh kayak


gini?!”

Alana menahan nyeri dihatinya. Rasa cintanya


pada Edo sangat besar sampai-sampai dia ingin menangis
dan berteriak mengatakan sesungguhnya. Tapi, dia tidak
bisa... Apa lagi saat melihat cincin yang melingkar di jari
manis lelaki itu.

"Aku nggak apa-apa! Kamu apa, sih!" Elaknya


serak menepis genggaman tangan Edo.

Edo mengernyit tidak suka, "Kamu udah bikin aku


gila karena khawatir, Alana!"

Alana terdiam memilih duduk dipinggir ranjang.


Sekuat tenaga dia menampilkan raut tenang agar tidak
ada satupun air mata yang terjatuh. Di depannya sahabat
yang dia cintai masih menatapnya tajam. Sekarang, dia
bingung harus bagaimana.

Takut kalau perhatian antar sahabat malah


membuatnya semakin terjatuh.

44
"Kenapa kamu di sini? Bukannya kamu harus siap-
siap suprisein Fiola nanti tengah malam, hm?" Alana
sengaja membelokkan keadaan.

Tidak apa hatinya semakin terluka, setidaknya dia


terluka untuk terlepas.

Edo menghembuskan nafasnya kuat-kuat lalu


mengusap wajahnya gusar.

"Kamu paham kan aku khawatir?" Tanyanya


dengan nada lelah.

Alana tersenyum lirih, "Cuman luka kecil.


Tabrakannya juga nggak kencang. Mending kamu pulang,
besok pagi aku harus urus tabrakan yang tadi." Cepat-
cepat Alana berdiri lalu berjalan melewati Edo.

Tapi, Edo menahan tangannya lagi. Tatapan


matanya begitu tajam dengan wajah datarnya.

"Kamu kenapa, Al?" Tanyanya tegas, "Apa ada


kesalahan yang aku buat?"

45
Alana menelan ludahnya. Dalam hatinya berteriak
mengatakan kalau yang salah di sini adalah dirinya.

"Aku nggak apa. Akhir-akhir ini cuman capek


banyak kerjaan." Bohongnya.

Edo menarik Alana masuk ke dalam pelukannya.


Harusnya ini biasa saja karena mereka sering berpelukan
erat. Tapi, jantung Alana berdebar tidak karuan. Karena
selama semenjak Edo menjalani hubungan dengan Fiola,
baru kali ini mereka berpelukan lagi.

"Aku merasa ada yang salah diantara kita..."


Bisiknya diatas kepala Alana.

Alana menarik nafas dalam-dalam. Berharap jika


debaran dadanya tidak diketahui Edo.

"Kamu menjauh, kayak ada sesuatu. Aku kenal


kamu bukan setahun dua tahun. Kamu kenapa, Al?" Edo
merenggangkan pelukannya lalu menunduk menatap
wajah Alana.

Dibalik cahaya lampu yang belum menyala semua


di kamar itu, dia melihat wajah lelah Alana yang
dikeningnya terdapat plaster dari dokter.

46
Hatinya begitu lega karena melihat Alana yang
terlihat baik-baik saja akibat celakaan dibawah hujan
lebat. Sepanjang perjalanan segala skenario buruk ada di
dalam pikirannya. Dia sungguh takut harus mendapati
Alana kecelakaan. Belum lagi, dia harus tahu dari mulut
orang lain. Untungnya Ardyan ada dirumahnya tadi.

Sudah sebulan ini Alana menjauhi Edo, membuat


lelaki itu semakin gusar dengan sikap Alana yang tidak
dimengertinya. Namun, dia mencoba berpikir positif.
Selama ini dia mengira Alana hanya sibuk dengan
kerjaannya. Tapi, mengetahui Alana sering ke klub malam
yang kadang ditemani Ardyan membuatnya semakin
bertanya-tanya.

Edo, Alana, dan Ardyan memang bersahabat baik.


Tapi, orang-orang lebih tahu kalau Alana lebih sering
bersama Edo ketimbang Ardyan yang sibuk sebagai
pengacara playboy.

Dan kini, dia melihat mata sendu Alana. Mata


yang tidak pernah dia lihat selama mengenal Alana.
Pancarannya redup seakan menyimpan lautan kesakitan.
Hati Edo tidak menyukai apa yang dilihatnya.

47
"Do..." Suara lirih itu memanggilnya. Membuat
Edo mengutuk betapa tidak suka dirinya mendengar
suara Alana yang berubah lemah.

Karena yang dia tahu, Alana seperti dewi perang.


Dia kuat dan ceria. Tidak pernah sekalipun Edo
membiarkan kesedihan menghampiri Alana. Tapi,
sekarang, dia melihat dengan jelas kesedihan Alana yang
tertuju padanya.

Edo menggeram kuat lalu kepalanya maju


menghantam Alana dengan bibirnya sendiri.

Dia melumat bibir Alana seakan ada rindu pada


rasa bibir itu. Mengabaikan tubuh Alana yang tegang
dengan cara memeluk erat punggung kecil itu sambil
menahan tengkuk Alana.

Alana masih terdiam tidak percaya saat bibirnya


dilumat penuh nafsu oleh Edo. Dia bisa merasakan
sesuatu dari ciumana Edo. Ada keresahan yang
tersalurkan.

Edo melepas sejenak bibir Alana, memperhatikan


wajah sendu perempuan dipelukannya. Dan itu semakin
membuatnya frustasi. Dia mengecup dalam kening Alana

48
lalu beralih mencium mata, hidung, pipi, lalu melumat
kembali bibir Alana.

Alana masih diam menikmati sentuhan hangat


bibir Edo. Membiarkan degupan jantung membuatnya
melayang.

Hanya malam ini. Aku janji hanya malam ini. Batin


Alana berkali-kali.

Alana membalas pelukan Edo lalu memejamkan


matanya. Ikut menari dalam pangutan dalam.
Membiarkan Edo menggeram saat lidahnya berhasil
masuk merasakan manis dari Alana.

Edo menariknya ke dalam gendongan.


Memastikan Alana mengaitkan kedua kakinya pada
pinggul Edo. Lalu dia duduk dipinggir ranjang, meraba
paha Alana yang tidak tertutupi rok span hitamnya.

Lembut kulit Alana membuat gairahnya semakin


membuncah. Belum lagi saat jemari lentik itu mengusap
rahang lalu tengkuknya. Edo semakin memperdalam
ciumannya, menekan tubuh Alana semakin mendekat.

49
Tangan besar itu membuka kaitan rok span Alana
dibelakang, lalu menarik blouse hitam yang Alana pakai
hingga pangutan terlepas. Matanya semakin berkabut
saat melihat Anna yang terbalut bra hitam. Menampilkan
payudaranya yang menyembul sesak di cup bra.

"Cantik." Bisiknya serak lalu menghujam daging


payudara Alana dengan ciuman yang rakus.

Alana mendesah kuat saat dadanya digigit Edo.


Dia mencengkram kemeja Edo sambil menatap langit-
langit kamarnya.

Setelah puas memberi banyak tanda, Edo menarik


Alana agar telentang diatas ranjang. Tangannya dengan
kuat menarik kasar rok span Alana. Melihat tubuh
berlekuk yang masih terbalut pakaian dalam hitam yang
sexy dibawahnya.

Edo melepas kemeja dan celana kerjanya terburu-


buru. Matanya terus memindai tubuh Alana yang masih
tersengal-sengal.

Udara yang sepatutnya dingin akibat badai yang


masih menerjang berubah panas menggelegak.

50
Edo membiarkan bokser putih masih melekat
ditubuhnya, dia menarik tungkai kaki Alana. Harus dia
akui, Alana memiliki tungkai kaki yang indah. Dengan
lembut namun menggoda dia mengecup tungkai Alana.

Alana mendesah lirih sambil mencengkram kuat


bantal diatas kepalanya. Edo memberikan cumbuan
lembut dan basah bergerak dari dengkulnya lalu naik ke
betis, dan semakin basah saat mencium paha dalamnya.

"Edo—sshh—" Lirihnya saat Edo mencium milik


Alana yang masih dibalut celana dalam tipis.

Edo kembali mencium kaki satunya dimulai dari


paha dalam lalu turun sampai dengkul. Tatapan mata
tajam namun gelap akan kabut gairah itu membuat Alana
hilang akal.

Jari Edo mencoba menarik pelan celana dalam


Alana. Tanpa Alana sadari, caranya menggigit bibirnya
semakin membuat Edo ingin meledak.

Edo menggeram kesal saat melihat milik Alana


yang terlihat begitu indah di matanya. Tidak peduli Alana
yang merona malu karena diperhatikan begitu intens.

51
Alana mencoba menutupi miliknya tapi Edo
bergerak cepat mengamit tangannya.

"Kenapa kamu cantik banget!" Gerutunya setelah


mencium perut datar Alana lalu mencium bibir yang dari
tadi menggodanya.

Alana membiarkan tangan Edo meremas


payudaranya dibalik bra, ikut menyemangati lelaki itu
dengan mengusap pundak dan dadanya.

Cukup lama Edo menikmati permukaan tubuh


Alana. Bahkan, Alana sudah mendapati kepuasan
pertamanya akibat jari-jari nakal Edo yang bermain
dibawah sana.

Edo menatap wajah Alana yang merona dengan


nafas tersengal-sengal. Rambut panjang Alana yang
berantakan menambah kesan sexy pada perempuan itu.

Dia menatap Alana yang membalas tatapannya.


Ada tatapan sendu namun... penuh perasaan nyaman
dan kepercayaan besar yang dia baca.

52
Edo mencium sekilas bibir Alana lalu menurunkan
boksernya, membebaskan miliknya yang begitu nyeri
karena menahan untuk masuk ke menu utama.

Alana menelan ludahnya melihat Edo yang


bertubuh polos. Membiarkan dirinya semakin terjatuh
dari pesona Putra Edo.

Edo merenggangkan kaki Alana memposisikan


dirinya dengan benar. Dengan penasaran dia membelai
milik Alana yang terawat begitu bersih polos. Dibelainya
sampai tubuh Alana tersentak. Perempuannya sudah
basah dan siap. Edo menunduk mengulum lembut bibir
Alana. Menarik dua tangan itu agar melingkar di
lehernya.

"It's my first time making love." Bisik Edo diatas


bibir Alana.

"Me too." Suara Alana tercekat karena sudah


tenggelam pada mata tajam Edo.

"I'll be gentle." Kecupnya lembut dibibir bengkak


Alana.

53
Dan malam itu, sesuatu yang Alana jaga selama ini
diterobos masuk oleh Edo. Rasanya perih menyakitkan
seakan membelah dirinya. Tapi, tidak ada penyesalan
membiarkan Edo masuk semakin dalam.

Mendapatkan kecupan lembut dan sentuhan


yang membuat darahnya berdesir, Alana tidak akan
mengeluh.

Malam itu, Alana dan Edo berpacu pada gairah


yang menggelora. Membiarkan desahan serta rintihan
memenuhi rintik hujan diluar sana. Tatapan tajam Edo
namun begitu hangat melihat Alana yang mendapati
kepuasaan dari pelepasan, membuat malam itu
sempurna.

Wajah Alana yang mengernyit saat hentakan itu


masuk begitu dalam serta rintihan saat Edo
mempercepat gerakannya juga bibirnya yang terbuka
mengeluarkan lenguhan karena mendapati pelepasan,
semua Edo rekam begitu jelas diingatannya.

Edo bahkan tidak puas melakukannya sekali. Dia


terus menerus mengajak tubuh Alana untuk mendaki
kenikmatan. Alana sudah menjadi candu semenjak dia
merasakan manis bibir itu.

54
Tapi, mereka lupa. Esok pagi, tidak akan ada yang
sama dari mereka. Esok pagi, setelah Edo mengecup
kening Alana untuk pamit kembali kerumahnya, tidak
akan ada yang membuat mereka bersama.

Alana mendesah keras, mengenyahkan bayangan


masa lalu. Walaupun selalu teringat dan menyakitkan, dia
tidak bisa melupakan waktu-waktu terakhirnya bersama
Edo.

Tanpa sadar, jemarinya mengusap ranjangnya


lagi. Tanpa dia sadari juga, air mata kembali meluruh.
Semenjak 4 tahun lalu, air mata sudah akrab menjadi
temannya.

Alana berbaring miring. Tatapannya begitu sedih


melihat cahaya senja dari jendela balkon kamarnya.
Kembali ke Jakarta memang membutuhkan keberanian.

Menghilang dua hari setelah malam panas juga


membutuhkan keberanian.

Dengan bekal tekad, dia mencoba menjauh untuk


menyembuhkan hatinya. Dia sadar malam itu adalah
kesalahan walaupun berawal dari sesuatu yang sangat

55
tidak jelas. Karena itu, dia memilih mundur. Biarkan
malam itu menjadi kenangan untuknya. Karena Alana
tidak ingin menghancurkan kebahagiaan yang sudah
banyak diharapkan orang-orang disekitarnya.

Jika dia bertahan, hatinya akan hancur. Jika dia


bertahan, takutnya rahasia malam itu terbongkar dan
membuat banyak hati hancur.

Jadi, lebih baik pergi bukan?

Alana mendesah lagi sambil memejamkan


matanya. Tapi suara notif dari ponselnya membuat dia
membuka matanya tiba-tiba.

Dering notif yang sudah dia setting khusus itu


membuatnya beranjak mencari ponsel yang masih ada di
dalam tasnya.

Alana mengerut, hatinya tidak tenang saat


menggeser layar ponselnya. Dan tiba-tiba saja
jantungnya berdegup tidak karuan membaca pesan itu.

Dengan cepat Alana menghubungi asisten


kepercayaan keluarganya.

56
"Halo, Nona Alana?"

"Halo, Jeya? Tolong siapkan keberangkatan saya


ke Inggris. Urus semua suratnya secepatnya."

"Emm, anda yakin? Apa saya harus menghubungi


Tuan besar dulu?"

"Nggak! Biarin saya yang kasih tau Ayah saya.


Kamu urus keberangkatan secepatnya!" Perintah Alana
tidak ingin dibantah.

Jeya selaku wanita berumur hampir 50 tahun itu


akhirnya mengiyakan dan melaksanakan apa yang Alana
minta.

Dengan terburu-buru Alana masuk ke kamar


mandi membersihkan diri. Setelah itu dia menarik koper
kecil dan mengisi pakaiannya dengan asal. Perasaan
khawatir dan takut menyelimuti dirinya.

Tidak berhenti dia menggigit jari-jari tangannya


akibat terlalu khawatir. Saat semuanya sudah siap, dia
mengirim pesan pada Ayahnya. Dia tidak ingin menelfon
Ayahnya secara mendadak, mengingat dulu dia pergi
secara mendadak juga. Dia mengetik banyak kata

57
meminta pengertian juga penjelasannya untuk kembali
ke London.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam,


kemungkinan Ayahnya sudah bersiap beristirahat atau
memang sudah tertidur.

Alana duduk di sofa ruang tamu, memperhatikan


layar tv yang menyala. Pikirannya nyalang entah ke mana.
Tidak sadar saat lelaki bertubuh tinggi masuk ke dalam
apartementnya.

Saking tidak fokusnya, Alana tidak merasa sofa


disebelahnya sudah diduduki.

"Apa iklan sabun itu memang menyerap semua


atensimu, Al?" Suara itu menyentak Alana dari
lamunannya.

Bola mata itu membesar saat bertemu mata


hitam yang memperhatikannya aneh.

"Ngapain kamu di sini?!" Pekik Alana.

"Ngapain?" Ulang Edo dengan kernyitan.

58
Alana semakin gusar.

"Kamu kenapa, sih?" Tanya Edo semakin heran.

"Pulang! Ngapain kamu di sini?!"

"Emang kenapa kalo aku di sini?"

"Ini bukan tempat kamu, Do!"

"Masa sih?" Edo memasang wajah menyebalkan


yang datar.

Alana mendesah keras lalu bangkit dari sofa,


"Pulang, aku capek banget."

Edo memperhatikan pakaian Alana. Sudah jelas


kalau pakaian Alana begitu rapih walaupun terlihat kasual
dengan kaos putih dan celana pendek kotak-kotak hitam
melekat pas dibokongnya yang sintal.

"Kamu mau ke mana?" Edo menyipitkan matanya.

Alana tergagap memperhatikan ulang


pakaiannya. Walaupun terkesan biasa, tapi jelas terlihat
jika Alana akan keluar dari apartement.

59
"A-aku mau pergi! Jadi, lebih baik kamu pulang!"
Suruh Alana memalingkan wajahnya dari tatapan Edo.

"Ke mana?"

"Bukan urusan kamu, Edo!" Sentak Alana saat


tangan Edo menahannya.

"Ke mana?" Tekan Edo semakin tajam.

Alana bahkan merasa merinding dengan suasana


yang mencengkam dari Edo.

"Main." Jawabnya asal.

"Ke mana?"

"Apa sih, Do! Mending kamu pulang! Lagian


ngapain sih ke sini?" Alana mencoba tenang dari tatapan
penuh curiga Edo.

Edo mendengus, "Salah aku di sini?"

"Ya, salah." Sambar Alana cepat lalu beralu ke


dapur.

60
"Aku mau cola, Al." Teriak Edo saat Alana
membuka kulkas.

Alana mendesah mengambil deretan cola


dilemari esnya. Dia sudah tahu kalau selama ini Edo
sering menginap di apartementnya saat dia menghilang 4
tahun lalu. Edo seperti menganggap apartement itu
miliknya sendiri dengan mengisi kulkas juga bahan
masakan lainnya. Bahkan, ada beberapa pakaian Edo di
dalam lemari Alana.

"Habisin dan pulang." Alana menaruh cola dingin


diatas pangkuan Edo.

Edo mengangkat bahunya tidak peduli sambil


sibuk mengunyah kue kering di dalam toples yang Alana
siapkan di ruang tamu.

"Aku serius. Kamu abis ini pulang." Ulang Alana


dengan wajah serius.

"Segitunya kamu sama aku?" Edo menatap


jengkel Alana.

61
Alana mendesah. Sejujurnya ada rasa senang
yang terbalut sakit hati di dadanya sekarang. Mendapati
Edo tapi dalam status yang berbeda sama saja
membunuh dirinya pelan-pelan.

Apa lagi sejak kejadian siang tadi.

"Aku nggak mau kita ngelakuin kesalahan lagi


kayak semalam. Makanya, habis ini kamu pulang." Tegas
Alana.

Edo menyeringai, "Kamu takut nyerang aku


duluan diatas ranjang?"

"Apa sih!" Sungut Alana.

"Lagian, kayak takut banget."

"Bukan gitu...Pokoknya habis ini pulang!"

Edo mendesah menurunkan kakinya yang terlipat


diatas sofa.

"Iya aku pulang. Aku cuman mau mastiin kamu


ada di sini."

62
Alana menatap Edo dari samping. Wajah tampan
itu terlihat lelah.

"Kenapa?"

Edo menoleh menatap Alana. Di sana dia


mendapati mata sendu sama seperti 4 tahun lalu.

"Tadi siang—kamu makan sama Kiara kan? Pas


aku samperin, Kiara bilang kamu harus pergi."

Alana terdiam. Matanya semakin sendu dengan


raut wajah datar.

"Jadi aku mau pastiin kalo kamu masih ada di


sini." Ucapnya pelan.

Tanpa Alana sadari, Edo melihat jelas riak


perasaan Alana dari matanya. Semuanya tergambar jelas.

"Oh, ya udah. Udah lihat aku kan? Tadi, aku lagi


sibuk ada urusan. Nggak sempat ketemu berarti kita."

Edo mengangguk. Menahan sesuatu yang ingin


dia keluarkan. Tapi, dia memilih beranjak pamit dengan
alasan sudah memastikan keadaan Alana.

63
Sepeninggal Edo, air mata runtuh kembali di mata
Alana.

Berulang kali dia menepuk dadanya merasakan


sakit. Dia sadar tidak bisa memiliki Edo. Dia sadar jika
dirinya perempuan jahat.

Jodoh adalah cerminan diri bukan? Dan jelas


cerminan Alana bukanlah Edo.

Alana hanya penghancur kebahagiaan pernikahan


Edo dan Fiola.

Dan jika semuanya terungkap, entah apa yang


terjadi. Mungkin mati seperti pilihan terbaik untuk
menghilang.

Tapi, semuanya belum terkuak. Maka dari itu,


pergi untuk kesekian kalinya harus dia lakukan.

Alana harus pergi lagi... mungkin selamanya...

Karena kembali tidak merubah apapun.

64
Alana beranjak ke kamarnya. Kembali dia
mengetikkan pesan panjang ke Ayahnya. Meminta maaf
dan pengertian jika dia akan kembali ke London. Dan
membiarkan Alana di sana bersama Mami. Pasti berat
Ayah mengiyakan semuanya. Tapi, jika Ayah melarang,
Alana memilih tidak peduli.

Kali ini tekadknya harus di kuatkan.

Bertemu Fiola dalam keadaan mengandung


membuatnya harus sadar diri.

Besok paginya, Jeya sudah memberi segala surat-


surat yang Alana butuhkan untuk keberangkatannya.
Dengan cepat asisten keluarganya itu mengurus
semuanya.

Jam 7 pagi, Alana sudah duduk di business class


menuju London. Dia sudah bertukar pesan pada Marry—
orang kepercayaannya di sana untuk memantau sesuatu.
Dan hatinya kembali tenang saat mendapati balasan
Marry.

Hampir 19 jam dia terbang dan akhirnya sampai


ke London, tanah kelahiran Maminya. Jam 2 pagi dia
menyeret kopernya di bandara.

65
Dia mengecek ulang ponselnya yang baru dia
setting ulang. Pesan dari Ayahnya yang pertama dia baca.
Tanpa sadar dia menangis membaca permintaan
Ayahnya untuk menjaga Maminya. Kerenggangan
hubungan orang tuanya memang sudah terjadi lama.
Tapi, cinta mereka berdua masih ada. Bahkan, orang
tuanya juga saling merindu.

Ayahnya harus tetap di Jakarta dengan beban


keluarga yang sudah mendarah daging, tidak bisa
menyusul sang istri yang memilih kembali ke kampung
halaman akibat konflik yang terjadi.

Tidak ada perceraian, hanya ada jarak antara


Jakarta-London.

Dari kedua orang tuanya Alana memahami arti


cinta. Bertahan namun sama-sama sakit akan rindu.
Untungnya, setiap tahun, Ayahnya menyusul dan
meluangkan waktu bersama Maminya.

Alana menggulir kolom pesannya, ada banyak


pesan dari Kiara yang bertanya kenapa tidak melihatnya
di kantor sampai bertanya kenapa Alana tiba-tiba resign
melalui Ayahnya sendiri.

66
Lalu ada pesan Ardyan yang marah-marah karena
belum bertemu dirinya sama sekali lalu tahu-tahu Alana
sudah pergi kembali ke London.

Dan pesan terakhir, Alana menghentikan


langkahnya dengan tubuh tegang.

Edo:
Kali ini alasanmu apa?
Pergi selalu tanpa kata
Kamu emang suka lari-lari begini ya?
Apa nggak capek?
Yaudah, gantian aku yang lari.

Pesan terakhirnya membuat Alana mengernyit


tidak paham. Edo... andai saja... andai saja... Ucap batin
Alana berkali-kali.

Memang semuanya andai saja untuk Alana. Andai


saja dia menyadari segala debaran itu, pastinya dia sudah
mengakui semuanya di depan Edo lalu memperjuangkan
sahabatnya agar membalas perasaannya. Tapi, sayang...
dia terlambat. Kedatangan Fiola tidak pernah ada di
pikirannya.

67
Alana masuk ke dalam mansion keluarganya.
Mansion yang dibeli sejak Maminya memutuskan untuk
menetap di London.

Mansion begitu sepi karena memang sudah pagi


buta. Dan para pelayan pasti sudah beristirahat.

Alana menaiki tangga yang melingkar di tengah


ruangan. Langkahnya menuju sebuah pintu kamar yang
besar. Dia mendorongnya pelan, cahaya dari lampu tidur
dengan bayangan berbagai macam hewan
menyambutnya.

Alana tersenyum lebar masuk ke dalam kamar itu.


Langkahnya pelan takut membangunkan tubuh mungil
yang terlelap di balik selimut tebal.

Saat dirinya sudah menaiki pinggir ranjang,


langsung saja bibirnya mengecup pelan sisi kepala kecil
itu. Membiarkan sosok kecil itu menggeliat merasakan
kehadiran Alana.

"Mommy..." Rintihnya pelan dan serak.

Alana tersenyum sendu lalu masuk ke dalam


selimut. Tangannya langsung merengkuh tubuh mungil

68
itu. Seakan mengenal kehadiran Alana, langsung saja
lengan mungil itu melingkar diatas perut Alana.

"Mommy here, baby." Bisik Alana sambil


mengecup berulang kali kening putranya.

Putra dari malam panas 4 tahun lalu. Putra yang


memiliki wajah seratus persen mirip Ayah kandungnya.
Mereka bagai pinang dibelah dua.

Alana mengamati wajah putranya. Dikandung dari


kegamangan seorang Alana tapi langsung dicintai begitu
dalam saat lahir.

Putra Denis. Itu namanya. Alana sengaja


memberikan nama seperti itu untuk mengenang
keseluruhan Putra Edo pada anaknya.

Dan kali ini, Alana pulang bukan hanya lari dari


Edo, tapi dia harus kembali karena putranya yang sakit
akibat merindu tidak biasa ditinggal.

Alana tentu saja tidak tega meninggalkan Denis.


Tapi, dia menahannya dan memilih ke Jakarta tanpa
Denis. Tapi, Denis tidak bisa menerima semuanya. Dia
menolak makan sampai akhirnya jatuh sakit.

69
Anaknya yang menggemaskan dan manja ini
memang bisa membuatnya mengalah. Tapi, dengan sakit
seperti ini? Tentu saja Alana panik luar biasa. Alana
bahkan akan selalu bersumpah demi keinginan Denis.
Cukup dirinya yang tidak bahagia karena perasaan cinta.
Denis tidak boleh merasakan sakit kekurangan cinta
darinya.

Alana tertidur memeluk tubuh Denis. Dia sangat


lelah. Dan dia butuh tidur juga pelukan Denis yang selalu
menjadi alasan dia bertahan hidup.

Paginya, Alana dikejutkan oleh suara lengkingan


Maminya. Alana mendesah malas sambil meraba
ranjang. Sadar tidak ada Denis yang menemaninya, dia
membuka paksa matanya. Sinar matahari sudah
menyengat dibalik jendela.

Alana melirik jam yang tergantung, pukul 1 siang.


Dia tidak sadar bangun jam segitu. Kepalanya begitu
pening karena tertidur terlalu lama.

Dengan malas dia bangkit keluar dari kamar


anaknya dan berjalan menuju kamar miliknya. Suara

70
Maminya yang mengoceh sambil tertawa membuatnya
mendesah semakin malas.

Entah dengan siapa Maminya berbincang begitu


heboh seperti itu.

Selesai membersihkan diri, Alana kembali


berbaring di ranjangnya. Entah kenapa badannya tetap
letih walaupun berendam di air hangat sekalipun.

Ada perasaan kosong sama seperti 4 tahun lalu


dia kemari. Dan dia tidak menyukai perasaan itu
walaupun harusnya sudah terbiasa.

Dia sudah merindukan Edo...

Ah.. Edo. Apa dia mencariku? Sepertinya tidak.


Karena sudah ada Fiola yang menyempurnakan
bahaginya bukan? Alana terus bermonolog dalam
hatinya.

"Aku baru tau kamu itu pemalas."

Suara itu!

71
Alana langsung membuka matanya cepat dan
menoleh mendapati Edo yang bersandar di pilar
ranjangnya.

Buru-buru Alana duduk dari rebahannya dan


menatap horror Edo.

"Edo?! Ka-kamu ngapain di sini?" Tanyanya gugup


serta panik.

Edo mendengus sinis, "menurut kamu?"

Alana menengguk ludahnya, matanya berkeliaran


ke mana-mana. Jika Edo di sini... sudah dipastikan apa
yang dia sembunyikan pasti diketahui lelaki itu.

"Ka—"

"Mommy!"

Belum juga Alana melanjutkan ucapannya, suara


cempreng Denis sudah memotong.

Aku semakin panik apa lagi kaki kecil Denis berlari


dengan wajah riangnya. Di tangannya sudah tergenggam
sebuah robot.

72
"Up!Up!Up!" Ucapnya sambil menepuk-nepuk
pinggir ranjang meminta untuk diangkat.

Edo yang melihat itu lebih sigap mendekati Denis


lalu mengangkatnya ke atas ranjang.

Edo tersenyum lebar menatap Denis yang tiba-


tiba tertawa lucu menatap Edo. Menatap Ayahnya...

"Mommy! Look what i've got here!" Dia


menyodorkan robot ditangannya sambil
menggoyangkannya agar aku melihat.

Alana semakin terpaku menatap Edo yang juga


menatapnya.

"I got you." Ucap Edo tanpa suara.

Alana semakin resah dan beralih menatap Denis


yang dengan asyik berceloteh dengan robot ditangannya.

"Denis..." Panggil Alana mengalihkan pandangan


Denis, "where you got this?" Tanya Alana lembut.

73
"Uncle and Aunty." Jawabnya lalu beralih lagi ke
mainannya.

"Hm?" Ulangnya memastikan.

"Kiara dan Ragil. Mereka yang beli." Seruan Edo


membuat Alana semakin panas dingin.

"Ka-kalian—"

"Aku bawa keluargaku ke sini."

"Keluarga?" Beo Alana lirih.

Keluarga... Maka dari itu ada Fiola di sini?

Alana memandang Denis dan Edo bergantian.


Perasaan tidak enak menyeruak begitu saja.

"Kamu—mau bawa Denis dari aku?!" Pekiknya


lalu turun dari ranjang, "Nggak bisa!"

Edo mengernyit heran.

74
"Keluar! Keluar dari kamar ini dan jangan
berharap bisa bawa Denis pergi dari aku!" Alana
menghampiri Edo dan menariknya paksa.

Edo terdiam masih heran dengan maksud Alana.


Dia mencoba menahan pergerakan Alana tapi
perempuan itu mendadak brutal.

"Al, calm down!"

"Kamu udah punya satu, Do! Jangan ambil


punyaku!" Racaunya semakin ketakutan.

Denis yang melihat kedua orang tuanya saling


menarik tiba-tiba saja menangis.

Alana dan Edo langsung menatap Denis yang


ketakutan.

"Denis.." Edo mencoba melangkah mendekati


Denis tapi Alana langsung sigap menghalanginya.

"Nggak! Denis punya aku, Do! Please! Cuman dia


yang aku punya!"

75
"What are you talking about, Alana!" Bentak Edo
membuat Denis menangis histeris.

Alana ikut menangis lalu berbalik merengkuh


tubuh mungil Denis ke pelukannya.

"Please, Edo! Aku nggak pernah menuntut


apapun ke kamu! Biarin aku sama Denis bahagia... Jangan
pisahin kami... Aku nggak akan ganggu keluarga kamu..."
Lirih Alana dengan mata nanar yang sudah bersimbah air
mata.

Melihat itu Edo merasa tertohok. Sungguh dia


tidak mengerti dengan segalanya. Tapi, melihat Denis
pertama kalinya membuat perasaan bahagia yang tidak
terkira.

"Al—"

"Aku nggak akan ganggu kamu sama Fiola! Demi


Tuhan nggak akan pernah!" Racau Alana terus memeluk
Denis yang masih menangis.

Edo terdiam. Sekarang semua benang kusut


sudah dia urai.

76
Dia mengerti.

"Al, listen to me."

"No! Kamu yang dengerin aku!" Bentaknya.

Edo maju ingin merengkuh Alana dan putra


mereka, tapi Alana langsung menggeleng kencang
menolak Edo.

"Al, please... kamu salah paham."

"No, Edo... aku mohon..." Lirih Alana disela


tangisnya.

Suara langkah kaki memasuki kamar Alana


dengan tergesa-gesa. Di sana ada Mami, Kiara dan
suaminya, Ragil beserta kedua orang tua mereka.

"What's going on?" Tanya Mami terlihat bingung.

Edo menoleh dengan raut wajah yang tidak


terbaca. Semua orang di sana menunjukkan
kekhawatiran karena mendengar tangis Denis juga
teriakan Alana.

77
"Al, kasih Denis ke Mami." Pinta Edo lembut.

"No! No!" Bentaknya, "Jangan ambil Denis, Do!"

"Aku nggak akan pernah pisahin kamu sama


Denis, Al."

Mami yang mengerti maju dan membujuk Alana


serta Denis yang masih menangis memeluk Ibunya. Alana
masih ketakutan tapi dia lebih tenang jika Denis ada
dipelukan Maminya. Mengingat Denis begitu dekat
dengan Maminya dan bisa ditangani dengan mudah.

"Kita harus bicara. Berdua." Kata Edo lalu melirik


seluruh orang yang dibelakangnya.

Seakan mengerti, mereka semua meninggalkan


Alana dan Edo. Mereka tahu kalau ada kesalahpahaman
di sini.

"Al, apa yang kamu pikirin tentang aku?" Tanya


Edo dengan suara dalamnya.

Matanya mengamati wajah Alana yang basah


serta pucat. Dia begitu sakit melihat keadaan Alana
seperti ini.

78
"Al." Panggil Edo lagi.

"Kamu udah nikah. Kenapa harus di sini?!" Alana


menatap tajam Edo. Membalas tatapan teduh itu.

Edo bergerak semakin dekat, "aku nggak pernah


nikah."

"Apa?"

Edo tersenyum, "aku nggak jadi nikah sama Fiola."


Ucapnya tegas.

Entah apa yang harus Alana rasakan. Senang atau


sedih setelah mendengar itu.

"Ke-kenapa?"

"Karena aku baru sadar apa yang aku mau dan


yang aku butuh."

Alana mencari kejujuran dimata kelam Edo. Di


sana begitu hangat dan memuja. Membuat dada Alana
begitu sesak.

79
"Aku baru sadar selama ini mencintai seorang
perempuan yang selalu ada disisiku. Baru sadar yang aku
butuh cuman perempuan itu. Karena tanpa dia, aku
nggak bisa apa-apa."

"Maksud kamu?" Bisiknya serak.

Edo mengusap pipi Alana. Membiarkan wajah itu


merona karena sentuhannya. Dari 4 tahun lalu dia
mengutuk segala kebodohannya.

"Empat tahun lalu. Setelah aku keluar dari


apartement kamu. Aku sadar, aku cinta kamu. Dan aku
salah nggak pernah sadar sama perasaan aku."

Alana menatapnya dengan ragu.

"Aku ngerenungin semuanya. Aku mulai


bandingin kamu sama Fiola. Kamu mau tau apa? Kamu
unggul dalam semua hal yang aku inginkan."

Dengan penuh cinta Edo mengecup kening Alana.

"Selama ini aku selalu cari perempuan terbaik


yang pantas buat jadi pendamping aku. Sampai aku buta
nggak pernah sadar kalau selama ini yang aku cari sangat

80
dekat denganku. Kamu, Al. Cuman kamu yang bisa bikin
aku ngelanggar keputusan aku."

"Ka-kamu—"

"Iya. Aku batalin semuanya. Keputusan aku buat


nikah sama Fiola aku batalin karena aku nggak mau harus
hidup dengan penyesalan. Aku mau kamu dan aku bakal
kejar kamu. Tapi, penyesalan memang selalu datang
terlambat kan?"

Dia tersenyum begitu lebar.

"Kamu pergi. Nggak ada pesan atau kata-kata


perpisahan. Kamu pergi begitu aja. Aku marah, Al. Di saat
aku memutuskan berjuang buat kamu, tapi, kamu pergi.
Cuman... ini bukan salah kamu. Tapi, salah aku. Aku yang
telat sadar." Dia terkekeh pelan.

"Aku pikir, kamu marah makanya pergi tanpa


kabar sekalipun. Aku pikir kamu butuh waktu. Tapi, aku
nggak pernah berpikir kalau kamu butuh 4 tahun."

Alana menunduk sambil menggigit bibirnya. Tapi


Edo kembali mengangkat dagunya lalu mengusap bibir
bawah Alana agar tidak dia gigit.

81
"kamu tau? Aku nunggu tanpa usaha kayak
pengecut. Aku nggak mau tau di mana kamu karena aku
terlalu kecewa sama diri aku sendiri. Konyol kan? Tapi,
kamu tau pasti aku akan begitu. Aku selau yakin kamu
balik lagi. Kamu pasti pulang. Dan benar aja, kamu
pulang. Pas kamu pulang, kamu nggak tau betapa
bahagianya aku. Sampai, aku paksa Om buat kasih tau di
mana kamu. Akhirnya... kita ketemu. Malam kita bercinta
lagi adalah malam aku bersumpah akan kejar kamu
sampai kamu jadi milikku. Nggak peduli kamu kabur
tanpa alasan lagi."

"Terus, kamu lari lagi... Aku tau malam itu ada


yang salah. Aku terus nunggu kamu sampai aku tau kamu
bakalan pergi lagi. Aku bilang ke Ayah Bunda tentang niat
aku. Dan untungnya... mereka dukung aku. Dari awal
mereka ragu tentang aku dan Fiola, mereka pikir aku
bakalan berakhir sama kamu. Sekarang, pas tau aku mau
kejar kamu ke sini, mereka semangat mau ikut. Kiara,
Givano sama Ragil juga aku bawa. Aku mau lamar kamu.
Ternyata..." Edo tertawa pelan, "Bocah kecil cerewet
yang sama pengasuhnya bikin aku jantungan. Mukanya,
Al... Mirip banget sama aku. Untung Ayah Bunda nggak
ada riwayat penyakit jantung... Coba ada? Bisa ada drama
baru. Kiara sama Ragil juga heboh banget, mereka bertiga

82
langsung pergi cari toko mainan buat borong kasih
Denis."

"Fiola? Dia gimana?" Tanya Alana pelan.

Edo terperangah. Dari semua kata-kata yang dia


utarakan ternyata Alana lebih memilih bertanya tentang
mantan tunangannya itu.

Dengan canggung Edo menggaruk lehernya yang


tidak gatal.

"Eh? Ya... dia nikah. Sama orang lain tapi. Aku


nggak kenal siapa."

"Aku liat kamu di restoran waktu itu..."

"Hm?"

"Kamu... waktu itu yang ada Kiara."

"Oh." Edo mengangguk mengerti, "Iya, itu kaget


ada dia. Aku baru ketemu lagi sekian lama. Abis, gagal
nikah sama aku dia langsung balik ke Swedia. Kemarin dia
balik ke sini gara-gara orang tuanya udah balik lagi ke
Indo. Suaminya juga orang Indo ternyata."

83
Alana menatap Edo dengan dalam. Ditatap
seperti itu membuat Edo salah tingkah.

"Al..." Panggil Edo.

"Hm?"

"Aku cinta kamu."

Alana tersenyum tapi matanya kembali menangis.

"Kenapa nangis?" Bisik Edo mengusap lagi pipi


Alana.

"Aku juga cinta kamu... dari dulu." Balas Alana


lirih.

Edo tersenyum tipis menatap penuh sayang


perempuan dihadapannya. Entah apa yang harus dia
gambarkan sekarang. Karena dia bahagia. Sangat
bahagia.

"Maaf buat kamu nunggu lama."

"Setimpal."

84
Edo menggeleng tidak setuju. Baginya, Alana
sudah menanggung banyak beban selama ini tanpa
dirinya. Belum lagi kehadiran Denis, pasti perempuan ini
sempat merasa tidak sanggup.

"Belum. Ini semua nggak setimpal."

"Terus kamu mau apa?"

Edo maju mengecup kening, kedua mata bengkak


Alana, pipi, hidung, dan bibir merahnya.

"Nikah sama aku, ya? Biar aku balas dengan cara


bahagiain kalian."

Alana semakin tersenyum lebar mendapati


betapa tulus dan lembutnya suara Edo. Dengan cepat dia
memeluk leher Edo.

Selain merasa bodoh karena salah paham dan


terburu-buru, Alana juga merasa jika rasa sakitnya hanya
sebagian pelajaran hidup. Setidaknya, dia berakhir
bahagia.

85
Dari segala sedih dan tangis yang dia jalani, dia
kembali ke pelukan lelaki yang sudah disiapkan Tuhan.

Dan lelaki itu adalah pujaannya. Sahabat yang


sudah mengenal dirinya luar dan dalam.

"Aku mau...Buat aku dan Denis bahagia." Bisik


Alana.

Edo memeluk erat pujaan hatinya lalu tersenyum


lebar, "Makasih. Atas segalanya, Al. Atas berjuangnya
kamu untuk Denis dan aku. Makasih, Al."

***

“Kita balik ke Jakarta ya? Banyak yang harus kita


urus.” Edo mengelus lembut punggung Denis putra yang
baru saja dia ketahui hari ini.

Denis terlelap di pelukan Edo, bocah kecil itu tidak


mau lepas dari Edo sejak tahu dirinya memiliki seorang
ayah. Melihat betapa bahagianya Denis membuat rasa
bersalah pada diri Alana begitu besar. Memang Denis
tidak pernah rewel menanyakan di mana ayahnya

86
berada, tapi siapa pun tahu jika bocah kecil seperti Denis
membutuh sosok ayah.

“Kamu yakin?” Alana duduk dipinggir ranjangnya.

Edo mengangguk dengan menatap dalam.


“Kamu?”

Ditatap lekat oleh kekasih pujaannya, Alana


langsung tersipuh. “Aku ikut kamu aja.”

“Kali ini aku janji cuman kebahagiaan yang aku


kasih ke kamu. Tapi, aku butuh kamu disamping aku buat
tau apa yang aku sedang perjuangkan.”

Alana melongo tidak percaya mendengar ucapan


yang begitu romantis dari bibir Edo. Selama ini, dia tidak
pernah mendengar untaian kata romantis yang keluar
dari bibir tipis itu.

Ah, pernah! Saat Edo masih menjadi milik Fiola


lebih tepatnya…

Mengingat nama Fiola sama saja membuka


ingatan betapa serasinya Edo dan mantan tunangannya
itu. Alana bukan perempuan melankolis sebenarnya, tapi

87
jika mengingat kemesraan Edo dan Fiola terkadang sering
menyesakkan untuknya.

“Kamu mikirin apa?” Edo meremas tangan Alana


lembut. “Kamu ragu? Aku nggak paksa kamu buat buru-
buru terima aku. Aku harus berjuang dulu biar kamu
semakin yakin.”

Alana membalas tatapan hangat Edo. Dia


memang yakin jika Edo sudah menaruh hati padanya. Lagi
pula, Fiola sudah memiliki kehidupan baru seperti yang
Edo katakan. Tapi, jika boleh jujur, ada yang membuat
hatinya meragu. Tapi, dia tidak tahu apa itu.

“Kita pulang, kamu minta izin sama ayahku. Baru


kita obrolin lagi soal ini.” Hanya itu yang bisa terlintas
dipikiran Alana. Restu ayahnya.

Edo tersenyum lebar lalu mengangguk dan


menarik punggung tangan Alana untuk dikecupnya lama.

“I love you.” Bisiknya.

“I love you too.”

88
Malam itu, Edo tidur di kamar Denis putranya. Dia
hanya tidur sebentar menjelang pukul 4 pagi karena sibuk
menatap putranya. Denis sangat mewarisi fisik seorang
Edo Putra. Bentuk mata dan garis alisnya yang datar. Bibir
bawah yang sedikit lebih tebal dari pada bibir atas.
Uniknya, Denis memiliki tahi lalat kecil yang sama di
bawah mata kirinya. Sedangkan Edo memiliki tahi lalat
dibawah alis kirinya.

Benar kata orang-orang, Denis adalah duplikat


nyata dirinya.

Edo sangat mensyukuri jika malam panas dirinya


dan Alana menghasilkan Denis. Selain mendapatkan
calon istri, dia juga sudah mendapatkan seorang putra
tampan.

***

Setibanya di Jakarta, Edo langsung memboyong


Alana dan Denis ke rumah keluarganya. Awalnya Alana
menolak keras, dia meminta untuk tinggal berpisah
sampai pernikahan terjadi. Edo tentu saja tidak setuju
dengan permintaan Alana, dia tidak ingin jauh dari
wanitanya dan anaknya. Tapi, ayah dan ibunya
mendukung permintaan Alana. Sampai akhirnya, Alana

89
dan Denis hanya akan singgah sampai selesai makan
malam lalu kembali ke apartement milik Alana.

“Kamu istirahat di kamar aku aja. Denis nggak ada


capeknya main sama Vano.” Ucapnya dengan nada
merajuk saat menyebut nama adik iparnya.

Alana tertawa ikut menatap putranya yang


dengan nyaman berada dipangkuan Givano suami Kiara.

Denis adalah anak lelaki yang riang dan mudah


menyukai orang-orang disekitarnya. Di beri hadiah
mainan saja oleh orang asing pasti dalam hitungan jam
mereka sudah akrab. Kadang Alana takut kepolosan
putranya seperti itu akan memancing orang lain untuk
berbuat jahat. Penculikan contohnya.

Alana mengikuti saran Edo untuk istirahat di


kamar lelaki itu. Sejujurnya dia sangat lelah walaupun
perjalanan tidak selama menaiki pesawat komersil. Tetap
saja bolak balik Jakarta-London dengan jarak waktu dekat
membuat badannya remuk sekali.

Saat memasuki kamar Edo, senyumnya tertarik


lebar melihat pajangan foto penuh dalam satu dinding.
Banyak sekali foto dirinya dan Edo. Mulai dari mereka

90
yang berseragam SMA duduk bersebelahan sambil
makan siomay, foto dilapangan sekolah memakai hoodie
yang sama, lalu foto merayakan kelulusan dengan coret-
coretan. Astaga, itu semua membuka pintu kenangan
yang pernah terjadi antara mereka berdua.

Alana mengusap salah satu foto yang Edo


merangkulnya memakai toga. Dirinya terlihat manis
memakai kebaya berwarna biru gelap, warna kesukaan
Edo. Senyum mereka begitu lebar hampir seperti
tertawa. Alana ingat, saat itu dirinya baru mulai jatuh
cinta pada Edo.

Tiba-tiba sepasang lengan kekar memeluknya dari


belakang. Alana sudah tahu jika itu Edo karena mencium
aroma lelaki itu. Pelukannya sangat nyaman, berkali-kali
lipat nyaman sebelum mereka saling mengutarakan
cinta.

“Kamu di situ cantik banget.” Tangan Edo


menjulur mengusap foto yang sedari tadi Alana
perhatikan. “Aku kaget pas kamu pakai kebaya begitu,
benar-benar cantik.”

“Nggak cukup cantik buat kamu cinta sama aku.”


Cibir Alana.

91
Edo tertawa lebar mengeratkan pelukannya. Dia
akui, dia memang tidak mencintai Alana dulu. Dia hanya
merasa nyaman dan aman jika Alana berada di dekatnya.
Tapi, malam panas pertama mereka mengubah
pandangan Edo, tanpa sadar lelaki itu memang mencintai
Alana dan tidak mau melepasnya. Edo bersyukur malam
itu terjadi, jika tidak… dia tidak tahu berapa lama lagi
akan menyakiti Alana yang mencintai sendirian.

Sekali gerakan Edo memutar tubuh Alana. Dia


tatap mata indah Alana, setiap menyelami mata
wanitanya itu, hatinya berdesir lirih. Ada rasa syukur dan
bangga jika pancaran cinta Alana hanya untuknya.
Sekarang, Edo tahu jika di mata Alana dari dulu hanya ada
dirinya. Alana sudah tergila-gila padanya.

“Cuman aku yang boleh lihat ini.” Dia mengusap


lembut kelopak mata Alana. “Cuman aku.” Bisiknya lagi
lalu mengecup mata Alana yang tertutup dan turun ke
hidung lalu ke bibir merah wanita dipelukannya.

***

92
Acara lamaran pada ayah Alana sudah selesai.
Tadinya Edo gugup setengah mati harus dipukul oleh
calon mertuanya itu. Untungnya, ayah Alana adalah pria
yang pengertian walaupun awalnya dia sangat terkejut.
Jadi, selama ini ayah Alana tidak tahu jika dirinya seorang
kakek sampai melihat Denis dalam gendongannya.

Alana mencoba menjelaskan secara perlahan


kenapa dirinya menyembunyikan Denis pada ayahnya
dan bagaimana dirinya sangat ingin bersatu denganku.
Aku juga berlutut meminta maaf karena sudah menodai
anak semata wayangnya.

Akhirnya, di sinilah Edo bersama Alana. Di kamar


yang menjadi saksi bisu dua malam panas yang mereka
lewati. Alana tertidur diatas dada Edo. Wanita itu
kekurangan tidur karena harus menemani Denis yang jam
tidurnya belum tertata akibat perbedaan waktu di
London dan Jakarta. Edo sangat kasihan mendengar
wanitanya hanya tidur sedikit lalu seharian ini mereka
disibukkan acara lamaran antar dua keluarga.

“Aku cinta kamu.” Bisik Edo diatas kepala Alana.

“Maaf aku terlalu lama datang.”

93
Dengan lembut dan penuh cinta Edo mengusap
punggung Alana. Rasa cintanya semakin besar setiap Edo
menatap mata cemerlang wanitanya. Apa lagi ada Denis
yang menjadi penguat perasaan Edo.

Andai saja Edo sudah sadar atas perasaannya


sejak dia sebelum bertemu Fiola, mungkin dirinya tidak
terlalu lama menyakiti dua wanita itu. Edo masih ingat
bagaimana kacaunya Fiola saat dirinya memutuskan
pertunangan mereka. Padahal, tanggal nikah sudah
mereka tetapkan. Lalu, di tengah-tengah itu, dirinya
mulai resah saat Alana mulai menjauh perlahan.

Edo ingat bagaimana risaunya dia setiap tahu


Alana sering pergi bersama Ardyan berdua saja tanpa
mengajaknya. Edo juga susah sekali menghubungi Alana
akhir-akhir itu. Entah kenapa, dia tidak suka mengetahui
Alana lebih sering bersama Ardyan dan dirinya tidak
menjadi prioritas wanita berambut panjang itu. Ada
perasaan marah juga takut. Tapi, Edo tidak tahu dia harus
menamakan apa perasaannya.

Sampai akhirnya, malam saat Alana kecelakaan


dan dirinya diberitahu oleh Ardyan, dia panik luar biasa.
Edo yang sedang menyiapkan acara kejutan ulang tahun
untuk Fiola mendadak seperti orang yang nyawanya akan

94
dicabut. Edo ingat seberapa cepat langkahnya berlari
kearah UGD hanya untuk melihat wajah cantik yang
terlihat pucat dan kelelahan.

Edo terus merapalkan kata terima kasih pada


Tuhan saat mengetahui tidak ada luka parah di tubuh
Alana. Baru pertama kali seumur hidupnya dia merasakan
kelegaan yang luar biasa. Dan itu hanya pada Alana.

Kelegaan luar biasa kedua yang dia rasakan


adalah saat dirinya melepaskan gelora asmara dalam
bentuk benih-benihnya pada rahim Alana. Edo harus
akui, malam itu adalah malam terbaik yang pernah dia
lewati. Sekali lagi, hanya bersama Alana dia merasakan
itu.

Tapi, dua kelegaan tersebut harus tergantikan


rasa menyesal yang luar biasa. Saat dirinya sudah
kehilangan Alana, dia hanya bisa pasrah dan percaya jika
Alana akan kembali. Bodohnya, dia tidakberjuang sama
sekali untuk Alana. Jika dia berjuang, Denis putranya tidak
akan memiliki lubang kosong dalam hidupnya karena
sempat tidak ada peran seorang ayah.

95
Kini, di dalam dekapannya ada Alana yang
bersedia menjadi pasangan sehidup sematinya. Ada
Denis juga yang membutuhkan perlindungan dan kasih
sayangnya. Dia tidak akan melepaskan dua orang yang
sudah menguasai seluruh hatinya. Dia mencintai
keluarganya. Sangat amat mencintainya.

***

“Kita fitting jam 2 siang, kamu bisa?” Alana


membereskan bekas makan Denis di meja makan sambil
berbicara disambungan telpon bersama Edo.

Edo sedang ada di kantor. Dia ingin cuti nikah


dalam tenang jadi dirinya harus kerja lebih extra.
Untungnya, Alana sejak resmi menjadi tunangannya tidak
menuntut waktu Edo untuk selalu bersamanya. Cukup
saat pulang kerja Edo selalu menengoknya dan Denis saja
sudah membuat hatinya senang.

Edo juga turun tangan dalam mengurus


pernikahan mereka. Kadang dia ikut berpendapat jika ada
sesuatu yang menurutnya terlalu berlebihan dan tidak
perlu.

96
“Aku bisa tapi mungkin telat sekitar 10 sampai 15
menit karena aku berangkat dari pelabuhan habis periksa
kapal yang baru sampai.”

Alana mengerti. “Oke, aku berangkat setelah


antar Danis ke rumah Bunda. Kita ketemu di sana.”

“Biar supir rumah aja yang jemput kamu.”

“Nggak perlu, aku—“

“Kamu naik mobil ke rumah bunda sama Denis,


dari sana kamu diantar supir. Nggak ada bantahan.”
Potong Edo tegas.

Alana tersenyum geli mendapat perhatian seperti


itu dari calon suaminya. “Iya, Sayang. Kamu lebai banget
heran.” Kekehnya.

Tapi, disebrang sana tidak ada sahutan sama


sekali kecuali suara berisik suasana pelabuhan.

Alana mengerutkan keningnya sebelum


memeriksa kembali telpon masih tersambung atau tidak.

“Edo? Kamu di sana?”

97
“Tadi… kamu panggil aku apa?”

“Hah?”

“Tadi, Al… kamu tadi ngomong apa?” Gusarnya.

“Emang aku ngomong apa?”

Terdengar erangan jengkel Edo. “Tadi! Tadi kamu


panggil aku Sayang!”

Alana tertegun mendengar perkataan menggebu


Edo. Apa benar tadi dia memanggil Sayang pada lelaki
itu?

“Hmm? Emang iya?”

“Iya!”

“Ya, udah, maaf kalo panggil ka—“

“Eh, apaan, sih!”

“Apa, sih?”

98
“Kenapa minta maaf coba?!” Sungut Edo.

“Loh, tadi kamu marah…”

“Siapa yang marah coba? Aku tuh senang


dipanggil Sayang sama kamu!”

“Oh… terus?”

“Ck! Kamu itu! Ya, panggil aku Sayang lagi.”

Seketika wajah Alana merona malu. Astaga, dia


tidak pernah memanggil Edo sebutan Sayang
sebelumnya. Dan tadi dia terlalu gemas hinggal kelepasan
memanggil Sayang pada Edo.

“Al! Panggil Sayang lagi dong…”

“Apaan, sih, kamu!” Bentak Alana cepat. Dia


terlalu malu.

Edo tertawa kecil di sana. “Ya, udah, aku lanjut


kerja lagi, ya. Salam kecup hangat buat Denis dan kecup
basah untuk kamu. Dadah, Sayang.”

99
Wajah Alana semakin merona malu saat Edo
menyebut kata ‘Sayang’ dengan begitu riang. Astaga! Dia
sangat mencintai lelaki itu.

***

Semakin mendekati tanggal pernikahan ternyata


Edo semakin sedikit waktunya. Lelaki itu mendadak gila
kerja hanya untuk mendapatkan pikiran tenang saat cuti
nanti. Alana tidak mempermasalahkan awalnya, tapi
Denis mulai mengeluh karena kegiatan bermain bersama
ayahnya berkurang.

Alana jadi suka repot sendiri saat setiap malam


Denis merajuk karena Edo belum datang ke apartement
mereka. Kadang, Denis menangis kencang sampai
kelelahan lalu tertidur dengan wajah sembab. Alana suka
tidak tega melihat putranya menangis memanggil nama
Edo.

“Ya, ampun, nak!” Pekik Alana saat meraba


kening Denis yang panas.

Denis baru saja tertidur karena menangis hampir


2 jam karena ingin bertemu Edo malam ini. Dan saat

100
Alana kembali dari membersihkan dapur untuk
memeriksa keadaan Denis, anaknya itu demam tinggi.

Alana menelpon nomor Edo sambil memeluk


Denis yang mulai berkeringat dingin. Dengan kuat dia
mendekap putranya sambil berbisik lirih memanggil
nama Edo agar lelaki out mengangkat telponnya.

“Please, Edo, angkat!” Racaunya gelisah.

“Daddy… Daddy…” Gumam Denis begitu lirih


disela tidurnnya.

Ya, Tuhan anakku… Rasanya Alana ingin menangis


keras melihat Denis seperti ini. Dia jadi teringat saat Denis
terkena DBD setelah liburan bersama maminya. Saat di
rawat, Denis mengigau memanggil kata daddy. Saat itu,
Alana hanya menangis sesunggukan disamping ranjang
Denis meminta maaf karena tidak bisa membawa Edo ke
hadapan putranya.

“Edo!” Erang Alana mulai pasrah karena tidak bisa


menghubungi calon suaminya.

Alana langsung saja menggantikan pakaian Denis


dan melilitkannya di selimut tipis pada tubuh putranya.

101
Alana menggendong Denis setelah menemukan di mana
kunci mobilnya. Firasatnya semakin buruk dan dia harus
segera membawa putranya ke rumah sakit.

Tepat Alana masuk ke dalam mobil, hujan deras


dibawah langit Jakarta serta petir menemani jalan ibu
dan anak itu.

Alana mendesah keras karena hujan di tengah


malam menyulitkan pandangannya. Bodohnya, Alana
lupa memakai kacamata. Dia memiliki minus mata dan
keadaan Denis membuatnya lupa pada benda penting itu.

Alana ingin sekali menghubungi mertua atau


ayahnya tapi mengingat sudah pukul 11 malam, dia
mengurungkannya. Dia juga ingin menelpon Kiara, tapi
tidak mungkin karena Kiara pasti sudah terlelap juga
setelah pulang dari kantor dan mengurus keluarga
kecilnya.

Tanpa sadar, Alana menangis karena


mendengarkan Denis yang masih mengigau tidak jelas.
Jantungnya terasa di remas saat dia mengusap kening
putranya dan masih terasa panas.
“Sebentar, nak. Bertahan untuk, mommy.”

102
Saat keluar dari toll, Alana menabrak sebuah
mobil sedan yang berada jalur luar toll. Untungnya
tabrakan itu tidak kencang hingga tidak ada kejadian
fatal.

Alana memeriksa Danis di kursi belakang,


putranya masih terlelap tapi keringat dinginnya semakin
banyak. Alana bertambah panik tapi dia harus meminta
maaf pada sedan yang sudah memakirkan mobilnya di
bahu jalan.

Alana buru-buru menepikan mobilnya juga, dia


keluar tanpa peduli hujan deras yang membasahi
tubuhnya. Dia hanya ingin meminta maaf dan
memberikan kartu namanya agar korban yang dia tabrak
bisa menghubunginya untuk ganti rugi.

Alana mengetok kaca hitam itu saat pengemudi


menurunkan kaca mobilnya, Alana begitu terkejut
ternyata itu adalah sahabatnya Ardyan.

“Ar?”

“Al?! Hei! Kenapa kamu basah-basah begini?!”


Panik Ardyan yang langsung ikut turun dari mobilnya.
“Hei, are you okay?”

103
“I’m not!” Teriak Alana karena suara gemuruh
yang begitu keras. “Ar, I need to go! Denis demam tinggi,
aku harus ke rumah sakit sekarang! Aku tadi mau minta
maaf karena udah nabrak! Kita bicara nanti, ya? Nanti aku
pasti gan—“

“Hei, hei!” Potong Ardyan seraya memegang dua


bahu sahabatnya, “It’s okay! Sekarang kamu lagi panik
banget dan bahaya buat nyetir mobil. Mending aku yang
setirin kamu dan Denis.”

“No! nggak perlu, kamu—“

“Jangan debat aku dulu! Kita harus bawa Denis


cepat-cepat ke rumah sakit!” Ardyan langsung mengunci
mobilnya dan menarik Alana masuk ke kursi penumpang.

Ardyan menoleh ke kursi belakang, dia melihat


sendiri anak sahabatnya itu terlihat pucat dan lemah.

“Astaga, Denis!” Desahnya. “Kenapa dia bisa


begini, Al?”

Alana menoleh sambil memasang sabuk


pengaman. “Dia akhir-akhir ini sering nangis lama karena

104
kangen sama Edo. Tadi dia nangis hampir 2 jam terus
tidur karena capek. Pas aku cek dia, badannya udah panas
banget.” Ucapnya menahan tangis.

“Semoga cuman demam biasa. Kamu udah


hubungin Edo?”

“Udah… nggak diangkat.”

“Ya, ampun!” Geleng Ardyan.

Sesampainya di rumah sakit, Alana yang


menemani Denis sedangkan Ardyan yang mengurusi
administrasi. Malam itu Denis harus rawat inap karena
demamnya belum turun dan masih menunggu hasil lab.

Alana dan Ardyan masih basah kuyup sampai


Denis dibawa ruangan rawat inap VVIP yang Ardyan
pesan. Alana sangat bersyukur ada sahabatnya di sini, jika
tidak, dia tidak tahu akan sekacau apa dirinya.

“Kita tinggal tunggu hasil lab, dia anak kuat pasti


nggak ada yang terjadi, Al.” Ardyan mengusap punggung
rapuh Alana.

105
Alana menghela nafasnya berat. Penampilannya
begitu kacau dari ujung kaki dan kepala. Kepalanya juga
pening karena terkena hujan. Sekarang dia tidak tahu
harus melakukan apa lagi.

“Aku udah coba telpon Edo, tapi dia belum angkat


sama sekali. Aku telpon asistenku juga buat bawa baju
untuk kita.”

Alana menoleh. “thanks, Ar.” Tulusnya.

“Everything for you, Al.”

***

Matahari baru saja terbit saat Alana terbangun


karena ada orang yang mengecup keningnya lama.
Ruangan masih temaram karena Alana hanya
menyalakan lampu meja saja. Saat membuka mata, yang
Alana lihat adalah kemeja merah darah.

“Maafin, aku.” Suara parau itu membuat Alana


menggeliat kecil.

“Edo?”

106
Alana menatap wajah kuyu dan muram Edo.
Calon suaminya terlihat berantakan dengan mata
memerahnya.

“Maafin, aku, Al… aku nggak becus jadi ayah…


maaf.” Lirih Edo menarik tangan Alana untuk di kecupnya.

Alana memang kecewa tapi dia tidak tega melihat


Edo saat ini. Dia memilih diam saja saat Edo terus
menggumam kata maaf untuknya dan Denis.

Sampai beberapa menit berlalu, Alana bangkit


dari ranjang rumah sakit yang ada di dalam ruangan
rawat Denis. Alana langsung melihat masih ada Ardyan
yang tertidur diatas sofa panjang. Dia jadi kasihan melihat
sahabatnya yang ikut menunggu Denis.

“Semalam hujan deras, kawasan kantor aku


tergenang banjir dan mobil nggak bisa lewat. Aku di
kantor sampai nunggu surut, ponselku mati habis batrai
dan aku lupa bawa charger. Aku tadinya mau telpon
lewat telpon kantor tapi aku ketiduran di ruangan dan
lupa sama kalian. Pas udah subuh, air surut aku pulang ke
rumah. Aku mau kirim kamu pesan lagi buat minta maaf,
tapi pas lihat missed call kamu dan Ardyan aku panik luar
biasa. Apa lagi Ardyan bilang Denis di rumah sakit. Aku

107
langsung ke sini nggak bawa apa-apa.” Jelas Edo dengan
wajah yang frustasi dan mata yang semakin memerah
menahan air matanya.

“Harusnya—aku telpon kamu pakai telpon


kantor. Bodohnya aku malah ketiduran dan lupa. Aku
minta maaf, Al… aku belum becus jadi ayah untuk Denis.
Harusnya…” Edo tidak melanjutkan ucapannya karena dia
sudah menangis diatas pangkuan Alana.

Alana semakin tidak tega setelah mendengar


penjelasan dari mulut Edo. Dia paham jika ini bukan
kesalahan Edo seluruhnya. Dengan lembut Alana
mengelus rambut hitam calon suaminya.

“Denis udah ditanganin dokter. Dia nggak apa.


Dia kuat seperti kamu, daddynya.” Bisik Alana lembut.

Edo semakin terisak mendengar bisikan Alana.


Dari itu dia memeluk perut Alana semakin erat.

Dia menyesal hampir gagal menjadi ayah karena


larut dalam pekerjaan. Harusnya dia pulang saja saat
waktu selesai kerja tiba, bukan bertahan di kantor untuk
melanjutkan berkas-berkas yang masih bisa besok dia
selesaikan. Karena ambisinya dia hampir menelantarkan

108
anaknya. Bukan hanya itu, dia hampir saja kehilangan
Alana dan Denis akibat kecelakaan kecil. Rasa bersalah ini
sangat menyesakkan untuk Edo.

***

Hari pernikahan akhirnya tiba. Alana terlihat


cantik dengan kebaya putih yang menunjukkan bahu dan
punggung mulusnya. Rambutnya di sanggul sederhana
dengan rias wajah pengantin yang tidak berlebihan.

Semua orang menatap kagum pada kecantikan


yang anggun pada diri Alana. Dia terlihat seperti putri raja
dengan tubuh rampingnya yang berlekuk.

Alana dituntun oleh dua Kiara dan maminya


menuju meja ijab kabul. Dirinya ditempatkan di sebelah
Edo yang memakai beskap putih sama sepertinya. Lelaki
itu sangat luar biasa tampan dengan tubuh tegapnya
seperti seorang perwira.

Edo tersenyum lebar merasakan kebahagiaan


saat melihat Alana yang dituntun untuk duduk
disebelahnya. Acara akad nikah diadakan di masjid besar
Jakarta dan di datangin oleh keluarga serta kerabat
dekat.

109
Semua orang terpaku pada sepasang pengantin
yang memiliki fisik begitu sempurna. Walaupun umur
mereka terlalu matang untuk menikah apa lagi di pihak
wanitanya, orang-orang tetap saja melihat seperti dua
remaja yang jatuh cinta lalu menikah muda.

Pembacaan ijab kabul keluar dari mulut Edo


dengan tegas dan lancar. Alana menangis saat semua
orang mengatakan kata ‘sah’ untuk meresmikan ikatan
suami istri mereka. Rasa haru, bahagia, dan juga lega
tidak bisa Alana jelaskan seperti apa.

Dia menatap Edo yang juga menatapnya. Dia


melihat Edo menitikkan air mata untuknya saat mencium
kening dan menyematkan cincin emas putih di jari
manisnya.

“Aku mencintaimu, Alana. Hanya kamu istri dan


ibu dari anak-anakku.” Bisik Edo lembut dan penuh cinta.

Alana tidak bisa berhenti mengeluarkan air


matanya. Dia terlalu bahagia. Sama seperti Denis, putra
kecilnya itu selalu tersenyum melihat dirinya dan Edo
saat diberitahu kalau ayahnya akan tinggal bersamanya.

110
Kini, perjalanan panjang yang pernah Alana lewati
sedari dulu membuahkan hasil yang luar biasa
membahagiakan. Memiliki Denis awalnya menakutkan
untuk Alana, dia tidak siap menjadi ibu tunggal tanpa
pernah terikat pernikahan. Tapi, pertama kalinya dia
mendengar detak jantung Denis dari layar USG, Alana
merasa Tuhan memberikan nyawa untuk
menyempurnakan hidupnya.

Lalu, bertemu lagi dengan Putra Edo, cinta


sejatinya yang selalu Alana usahakan terkubur rapat di
masa lalu kini berada di dalam dekapannya. Terikat untuk
sehidup semati selamanya.

Alana tidak pernah memikirkan ini sebelumnya,


dia tidak menyangka jika akan berada di puncak
kebahagiaan seperti sekarang.

Melihat Edo yang menggendong Denis masuk ke


dalam rumah baru mereka, Alana merasa bersyukur pada
Tuhan. Diberi perjalanan hidup yang panjang dan
melelahkan hanya karena cinta, Alana tidak merasa
kecewa.

***

111
Edo baru saja selesai mandi setelah gilirannya.
Kini dirinya dan Alana berada di Raja Ampat. Mereka
sedang melakukan honeymoon setelah tiga hari
menempati rumah baru. Rumah yang Edo beli sepulang
dari London memboyong istri dan putranya.

Mereka tinggal disebuah villa pribadi miliki


Givano adik iparnya. Jadi, Kiara dan Givano yang
menyiapkan acara honeymoon pengantin baru itu. Dari
semua keluarganya, hanya Kiara yang terus
menggembor-gemborkan acara honeymood putra sulung
Atmaja itu.

Alana saja sampai menggelengkan kepala karena


sebelum mereka menikah, Kiara sudah menyodorkan
brosur honeymoon duluan. Tapi, akhirnya sepasang
suami istri itu memberikan perjalanan ke Raja Ampat
untuk Alana dan Edo.

Edo melangkah keluar menuju balkon kamar


bertelanjang dada. Di sana dia melihat Alana yang
menikmati semilir angin sore dari pantai. Alana hanya
memakai kimono satin yang sebatas setengah pahanya
dan rambut setengah basahnya tergerai panjang
mendekati pinggulnya.

112
Seperti itu saja, Edo merasa melihat bidadari. Edo
sangat beruntung menikahi sahabatnya itu. Dari dulu dia
sudah melihat sosok bidadari di dalam Alana, bodohnya
dia baru sadar saat hampir menikahi wanita lain.

Edo memeluk Alana dari belakang. Di kecupnya


pipi mulus Alana.

“Cantik.” Puji Edo menatap Alana yang menoleh


kearahnya.

“Aku atau pemandangannya?”

“Pemandangan mah lewat.”

Alana tertawa geli lalu menyandarkan kepalanya


di bahu Edo.

“Kamu bahagia?”

Edo tidak langsung menjawab. Dia semakin


memeluk erat Alana.

“Aku nggak bisa menjabarkan betapa bahagianya


aku, Al. Kamu dan Denis benar-benar hadiah paling indah
dari Tuhan.”

113
“Apa… kalau nggak ada Denis kita akan berakhir
seperti ini?”

“Tanpa Denis sekali pun, aku akan mencintaimu


dan menjadikanmu milikku, Al. Denis bukan hanya bonus
untukku, tapi dia pelengkap betapa sempurnanya aku
memiliki kalian.”

Alana merasa hangat mendengar itu. Dia tidak


akan meragukan cinta yang Edo punya. Sekarang dia
yakin cinta mereka sama-sama besar.

“Terima kasih. Untuk semuanya.” Tambah Edo.


“Untuk hadir dari dulu sampai nanti.” Edo membalik
tubuh Alana.

“Kamu…” Matanya menatap tajam mata Alana.


“Aku nggak akan pernah melepaskan kamu. Sampai kamu
menangis meminta lepas, jangan berharap aku
melepaskanmu, Al. Kamu istriku, cintaku, milikku, dan ibu
dari anak-anakku kelak.”

Alana membelai wajah Edo. “Ya. Aku milikmu.


Seutuhnya.”

114
Edo langsung menyambar bibir Alana. Bukan
kecupan atau ciuman kecil, tapi langsung lumatan
bergairah. Selama berdekatan dengan Alana, Edo selalu
melumat habis bibir merah Alana.

Tanpa Alana berusaha pun, Edo akan selalu


bergairah untuknya.

Edo menarik tubuh Alana masuk ke dalam


gendongannya. Dia menyandarkan Alana pada pagar
pembatas. Di hisapnya bibir manis Alana dari bawah
sampai atas bergantian.

Alana mengusap tengkuk Edo, mengirimkan


desiran gairah yang memanas pada tubuh suaminya.

Semenjak menikah, Edo tidak pernah melewatkan


malam-malam panas bersama Alana. Dia terus memuja
dan membelai tubuh sehalus sutra istrinya diatas ranjang.

Kadang, ada Denis yang harus menjadi


pengganggu waktu bermanjanya dengan Alana. Kini,
seminggu di Raja Ampat tanpa gangguan sama sekali, Edo
akan terus menggempur tubuh Alana.

115
Dirinya ingin Alana cepat hamil karena dia tidak
sabar menjadi calon ayah untuk anak keduanya.

Edo sudah membaringkan tubuh Alana diatas


ranjang. Dia menarik tali kimono Alana. Ternyata istrinya
itu tidak memakai apa-apa lagi sehingga mata Edo
menggelap sepenuhnya karena gairah.

Alana hanya mampus merintih penuh nikmat saat


lidah Edo berjalan dari tulang selangka menuju dadanya.
Hisapan dan gigitan memberikan sensasi luar biasa yang
selalu dia rasakan hampir tiap malam semenjak menjadi
istri Edo Putra.

Sesekali Alana menyerukan nama Edo karena


putingnya digigit gemas. Sesekali juga tubuhnya
terangkat karena nikmat jari-jari Edo yang melaju cepat
dilubang kewanitaannya.

Sungguh ini adalah siksaan ternikmat yang Alana


tunggu-tunggu setiap bersama suaminya.

“Edooohh~” Alana mendesah kuat saat pelepasan


pertamanya datang akibat jari dan lidah Edo dibawah
sana.

116
Edo menghisap habis sari-sari yang Alana
keluarkan. Dia langsung bangkit dan membuka
celananya. Dia terengah menahan gairah yang besar
melihat tubuh Alana mulai bercahaya karena pancaran
sinar langit senja.

“I love you.” Bisik Edo seraya mendorong miliknya


masuk ke dalam kenikmatan yang tiada tara milik istrinya.

Alana membuka mulutnya merasakan milik Edo


yang menyesakkan kewanitaannya. Sungguh nikmat.

Edo bergerak memainkan tempo sesukanya yang


membuat Alana terus dilanda gelombang gairah. Edo
memang pintar untuk membuat Alana kapan harus
mendesah, kapan harus merintih, dan kapan harus
mengerang.

Menikmati wajah Alana yang merona juga


berkeringat semakin memanaskan gairah Edo. Hingga
akhirnya saat gelap hampir menyapa, sesi percintaan
mereka selesai.

“Aku cinta kamu, Edo.” Desah Alana menerima


tubuh Edo yang menindihnya.

117
***

Biasanya, setiap pasangan yang melakukan


honeymoon pasti saja membawa kabar gembira. Seperti
halnya Alana dan Edo. Selesai dari acara bulan madu yang
hanya dihabiskan di ranjang, Alana langsung dinyatakan
hamil.

Edo menangis deras melihat testpack yang Alana


sodorkan saat dia bangun di minggu pagi. Dia langsung
menelpon seluruh keluarganya untuk kabar gembira itu
karena tidak bisa menampungnya sendirian.

Seluruh keluarga mengucapkan syukur dan ikut


bahagia menerima kabar yang Edo sampaikan. Hanya saja
ada kekhawatiran yang tidak bisa mereka sembunyikan.

Alana hamil di umur hampir 35 tahun, pasti cukup


bahaya untuk kehamilannya nanti. Tapi, untungnya
dokter mengatakan kalau kandungan Alana sehat.

Alana selalu di manja dan kebutuhannya selalu


diutamakan oleh Edo, tentu saja dia sehat karena
batinnya selalu terpuaskan.

118
Sampai kehamilan di usia 8 bulan, Alana mulai
stress karena ketakutan jika proses lahirnya bermasalah.
Padahal, dokter sudah bilang jika dia tidak kenapa-napa
dan membutuhkan pikirannya tenang.

Edo sempat panik takut jika Alana akan


mengalami darah tinggi akibat terlalu stress lalu
menghambat proses kehamilan. Akhirnya, Edo memilih
berhenti sejenak dari pekerjaan kantor. Ayahnya
memberikan izin itu pada Edo hingga beliau kembali ke
kantor menggantikan anaknya.

Selama itu Edo selalu disamping Alana


memberikan semangat serta cinta yang memang bagi
orang selalu berlebihan tapi Edo tidak peduli. Cinta yang
dia sampaikan pada Alana adalah tulus dan belum
seberapa.

Hari kelahiran mulai dekat. Alana masih tidak bisa


berpikir tenang karena ketakutan. Edo sampai frustasi
melihat kondisi Alana. Sampai akhirnya, proses bersalin
dibantu dengan operasi bukan normal. Alana hanya bisa
pasrah saat Edo membujuknya.

Para orang tua ikut menunggui kelahiran Alana


dengan cemas. Bahkan, maminya Alana sampai sebulan

119
sudah tinggal di rumah suaminya agar bisa melihat Alana
melahirkan. Kiara dan Givano terlihat berpelukan sambil
memanjatkan doa untuk dua kakak mereka.

Selama satu jam lebih Edo setiap mencium kening


Alana yang sedang dioperasi. Istrinya masih sadar karena
bius dilakukan tidak seluruhnya. Dia mengajak ngobrol
Alana, menceritakan ingatan-ingatan mereka sejak
remaja sampai besar. Dia mencoba membuat Alana
tenang dengan kenangan manis mereka.

Tiana Putri akhirnya terlahir ke dunia dengan


kondisi sehat dan sempurna. Bayi merah yang menangis
keras itu meruntuhkan pertahanan Edo dan Alana. Suami
istri itu menangis begitu keras karena begitu bahagia.

Saat Edo mengadzanin Tiana, Alana menangis


sambil tersenyum. Akhirnya dia bisa melihat Edo yang
menggendong buah hati mereka. Mungkin Denis
memang tidak akan pernah merasakan itu, tapi Alana
yakin itu tidak akan mempengaruhi kebahagiaan Denis
memiliki ayah seorang Edo Putra.

Kini, perjalanan panjang Alana dan Edo tidak


berhenti disitu saja. Memiliki sepasang anak yang

120
menggemaskan tidak membuat mereka puas hingga
kadar cinta berkurang seiringnya waktu.

Karena, Alana dan Edo merasakan jika hati


mereka terus berdetak cepat saat saling berdekatan.
Rasa syukur mereka semakin besar saat saling menatap.
Tidak ada yang berkurang sedikit pun.

Mereka yakin, sampai nafas terakhir pun, cinta itu


tetap ada sama besarnya.

ENDING

121
EXTRA CHAPTER

“Kamu apa?” Fiola menahan tangisnya setelah


Edo dengan menggebu-gebu menceritakan apa saja yang
terjadi dibelakang dirinya.

“Aku cinta Alana.” Yakin Edo menatap tajam Fiola.

“Do… kita dikit lagi mau nikah.”

“Aku nggak bisa!” Erang Edo, “Selama ini aku pikir


hanya kamu yang bisa jadi pendampingku, tapi… aku
nggak bisa. Dalam semalam Alana merubah hatiku.
Bukan…” Edo menggeleng, “dari dulu dia yang punya
hatiku.”

Fiola terduduk di sofa rumahnya. Dia tidak


menyangka tunangannya datang dalam keadaan kacau
hanya untuk membuat pengakuan dosa.

“Mau kamu apa?” Fiola menatap kosong meja


kayu di depannya.

“Maaf, Fio. Aku nggak bisa terusin ini semua. Ada


Alana.”

122
“Kamu yakin itu rasa cinta bukan rasa bersalah
karena tidur sama dia?” Sinis Fiola.

“Kalau pun itu rasa bersalah aku tetap nggak


masalah. Yang aku mau cuman dia. Aku nggak bisa
kehilagan dia.”

Fiola tertawa hambar. Dirinya hancur karena


seorang Putra Edo.

“Ini hadiah terburuk selama aku ulang tahun.” Dia


menyeka pipinya kasar. “I hate you!”

“i’m so sorry. Aku cuman nggak bisa bohongin diri


sendiri…”

Setelah dari rumah Fiola, lelaki yang sudah


menyiapkan buket merah yang sangat indah itu berjalan
dengan tegang menuju lorong apartement Alana.

Dia tegang karena akan melamar wanita itu.


Sahabat yang selama ini ada di sampingnya. Jujur, hatinya
mengembang penuh karena lega memutuskan hubungan
dengan Fiola. Dia tidak sabar akan memulai hidup baru
bersama Alana.

123
Kali ini, Alana pelabuhan terakhirnya.

Tapi, saat dia membuka pintu apartement itu.


Hanya kesunyian menyapa dirinya. Alana-nya sudah
pergi. Dan dia tidak tahu ke mana sang pujaan yang baru
ditemukan menghilang kembali.

“Alana…” Bisik Edo menatap kosong ranjang


kamar Alana. “Aku tetap menunggumu.”

124
Terima kasih

Find me on,
Wattpad : Motzkyy
Instagram : Alyachiata

125

Anda mungkin juga menyukai