Anda di halaman 1dari 75

Eunoia.

By : Ayu Sasalsabila.

1
Undang - undang Republik Indonesia Nomor
19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklutif bagi pencipta atau
pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis
setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan
menurut perarturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan pidana:
pasal 27
1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak
melakukan perbuatan sebagaimana di maksud pasal 2 ayat (1)
atau pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) di pidana dengan pidana
masing-masing paling singkat satu bulan atau denda paling
sedikit Rp. 1.000.000,00 atau pidana penjara paling 7 tahun
atau denda sebanyak Rp. 5.000.000,00.
2. Barang siapa yang sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai di
maksud pada ayat (1) di pidana dengan pidana penjara paling
lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00.

2
Kata pengantar.
Bismillahirrohmanirrohim.
Segala puji bagi Allah yang telah menganugrahkan
rezeki yang luas dan limpah ruah, dan cukuplah Allah sebagai
pemberi petunjuk, penolong, tempat kembali dan tempat
berpulang.

Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan


kepada Baginda kita Nabi Agung Muhammad SAW dan
seluruh keluarga, sahabat, serta mereka yang mengikuti
petunjuk beliau hingga hari akhir nanti.

Dengan izin Allah, akhirnya saya dapat menyelesaikan


Tugas Membuat Novel sebagai syarat kelulusan kelas XII,
semoga novel ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.

Teruntuk Ayah dan Ibu, Terima kasih telah menjadi


sosok orang tua yang hebat untuk saya, dan Terima kasih
untuk semua kasih sayang yang saya dapatkan.

Teruntuk bu Ulfa Fauziyyah S.Sos.I sebagai


pengampu mapel Bahasa Indonesia, saya ucapkan banyak
Terima Kasih atas bimbingannya hingga Novel ini dapat
terselesaikan.

3
Untuk Melina Alzizah saya ucapkan Terima Kasih
untuk bantuannya, tanpa bantuanmu Novel ini tidak akan
terselesaikan.

Dan teruntuk sosok yang akhir-akhir ini selalu hadir


dalam keseharian saya, Terima kasih atas segala support dan
perhatiannya.

Serta semua teman-teman yang masih dan pernah


hadir dalam kehidupan saya, Terima kasih telah memberikan
pengalaman yang begitu berharga.

Salam.

Ayu
Sasalsabila

4
Daftar isi.
Bab 1. Kesalahan_06

Bab 2. Sebuah Usaha_14

Bab 3. Ada yang Baru_33

Bab 4. Dewasa_53

Bab 5. Keputusan_63

5
BAB 1

Kesalahan.

Setiap orang punya kesempatan kedua,


tapi tidak untuk kesalahan yang
sama.

6
Pukul 04:40 WIB, entah sudah keberapa kali Ibu
berteriak mengomeliku yang tak kunjung bangun. Samar-
samar terdengar langkah kaki mendekat ke arah kamarku,
instingku mengatakan untuk segera bangun, belum sampai
lima menit aku membuka mata, pintu kamar terbuka, aku
menoleh. Ibu telah berdiri diambang pintu, menenteng sapu,
memakai pakaian seadanya, rambutnya digulung keatas, sorot
matanya menatap tajam ke arahku.

“Cepat bangun! Sudah jam berapa ini? Mau sholat jam berapa
hah? Anak gadis kok malas-malasan.” Ibu mengomel.

Aku segera bangkit sebelum Ibu mengomel lebih panjang lagi.

Setelah sholat subuh aku melihat Ibu sedang menyapu


dihalaman depan rumah, sesekali menjawab sapaan para
tetangga yang kebetulan lewat, menurutku ini masih terlalu
pagi, untuk melakukan aktivitas pekerjaan rumah, ditambah
hawa dingin yang menusuk kulit. Aku duduk meringkuk
dibangku ruang tamu, mataku memberat, belum sampai
tertidur pulas, Ibu telah berdiri didepanku dengan wajahnya
yang garang.

“Heh Ta! Bangun! Anak perempuan, pamali pagi pagi tidur!”


ucap Ibu sambil menepuk kakiku dengan kasar.

7
Aku terlonjak, kaget, beranjak berdiri.

“Itu piring kotor dibelakang udah Ibu kumpulin! Dicuci dulu


sana!” kata Ibu.

Aku menurut meski sedikit jengkel dan kurang ikhlas,


aku segera pergi kedapur. Aku bukan berasal dari keluarga
kaya, dengan rumah megah dan barang-barang mewah,
Ayahku hanya seorang petani biasa dan Ibuku berprofesi
sebagai penjahit, setiap hari ibu selalu disibukan dengan jahit-
jahit dan jahit. Ibu punya dua karyawan, Mbak Laila dan Bude
Zul, begitu aku memanggilnya, dulu mereka ikut bekerja
membantu Ibu dirumahku, namun seiring berjalannya waktu,
dan entah dengan alasan apa Bude Zul sudah tidak datang lagi
kerumahku, dia tetap bekerja kepada Ibu, namun dengan cara
menjahit dirumahnya, jadi aku sering pergi kerumahnya, entah
untuk menghantar pakaian yang mau dijahit atau mengambil
pakaian yang telah dijahit.

Meskipun begitu, Ibu selalu disibukkan dengan


jahitannya, kadang hingga tega menelantarkan anak-anaknya
didalam rumah, karna mau bagaimana lagi? Hanya itu satu-
satunya penghasilan yang dapat dijadikan acuan pokok, karna
Ayahpun lebih banyak membantu Ibu bekerja dirumah, sawah
Ayah diurus oleh pakde, dari saudara Ayah.

8
Namaku Amerta. Urutan ke empat dari data kartu
keluarga. Anak pertama Bang Ardi, umurnya terpaut dua
tahun diatasku, tahun ini dia kelas tiga SMP dan aku satu
tahun dibawahnya.

Pagi itu, selepas sholat subuh, Ayah memanggilku,


keadaan rumah cukup sepi, Bang Ardi pergi kerumah Eyang,
Ibu membersihkan piring-piring kotor yang berserakan.

“duduk!” titah Ayah.

Ayah berdiri bersandar dipintu kulkas, Ibu diam saja masih


melanjutkan aktivitasnya, perasaanku mulai tidak enak.

“kemarin dari mana?” tanya Ayah tajam.

Aku menunduk, mulai menyadari arah pembicaraan.

“Ayah tanya sekali lagi, kemarin kamu dari mana?” ucap


Ayah penuh penekanan.

Aku tak berani menatap wajah Ayah.

“rumah temen.” Jawabku pelan.

Ayah mendekat, menyodorkan ponsel didepan wajahku.

“ini apa?” tanya Ayah.

Aku melihat sekilas. Kenapa harus foto ituu. Batinku.


9
“INI APA HAH?” Ayah membentakku.

Aku tetap diam.

PLAK. Ayah menampar pipi kiriku, mataku memanas, namun


sebisa mungkin aku menahannya agar tak meneteskan air mata
dihadapan Ayah.

“Ayah sekolahin kamu mahal-mahal, Cuma ini hasilnya?”


ucap Ayah.

“kamu lihat ibumu” kata Ayah pelan.

Ayah berjongkok didepanku, tangannya menunjuk-nunjuk Ibu


yang masih sibuk dengan aktivitasnya, mengabaikan aku dan
Ayah.

“ibumu selalu bangun petang, tidur tengah malam, cuma buat


cari uang buat kamu, buat bisa menuhin semua kebutuhan
kamu, tapi apa? ini balasanmu?”

“otak kamu itu berfungsi nggak? Hah? Harusnya kamu itu bisa
mikir mana yang baik mana yang buruk.” ucap Ayah sambil
menunjuk-nunjuk mukaku.

“makin kesini Ayah makin ga ngerti sama cara pikirmu,


bisanya bikin malu teros.”

10
Aku sangat jengkel dengan perkataan Ayah yang
sangat merendahkanku. Aku ingin marah, ingin berteriak
untuk membela diriku sendiri tapi aku tak bisa, bibirku kelu,
aku selalu lemah dihadapan Ayah.

“Ta.” ucap Ayah pelan.

Aku tak menyahut.

“lihat Ayah.” katanya pelan.

Aku tetap menunduk, tak menghiraukan ucapan Ayah.

“lihat Ayah Ta.” kata Ayah sekali lagi.

Aku mendongak, menatap wajah Ayah, sorot mata teduh itu


menatapku kecewa, hanya dua detik, aku kembali menunduk.

“masih mau nurut nggak sama Ayah?” tanya Ayah pelan.

Aku diam saja.

“masih mau nurut nggak? Hmmm?” tanya Ayah sekali lagi.

Aku mengangguk.

“kamu putus ya sama dia.” kata Ayah.

Aku tetap diam, Ibu menoleh.

“Ayah nggak suka kamu pacaran.” kata Ayah.

11
“Ayah nggak ngelarang kamu buat suka sama laki-laki, Ayah
paham, diusia-usia sepertimu mulai suka sama lawan jenis.
Tapi Ayah minta kamu jangan pacaran dulu bisa? Ayah nggak
suka.”

“semua dianggap temen, nggak perlu ada yang dispesialin.”

“sekarang Ayah melarang kamu pergi kemanapun, kecuali


sama Ayah atau Bang Ardi. Ayah nggak mau tau kamu mau
pergi kemana, mau main sama siapa, Ayah nggak perduli.
Pokoknya Ayah melarang kamu keluar rumah.”

Aku semakin jangkel dengan Ayah.

“kalau pengen main sama mereka, jangan keluar, mereka aja


yang dibawa kesini. Ayah nggak papa kalau kamu mau main
sama siapa aja, bahkan laki-lakipun. Asalkan didalam rumah,
didalam pantauan Ayah dan Ibu, Ayah nggak suka kamu jadi
anak liar.”

“kamu itu udah gede Ta. Ayah punya tanggung jawab besar
sama anak perempuan Ayah, Ayah nggak mau kamu kenapa-
napa, Ayah nggak mau gagal jadi Ayah buat anak-anak Ayah,
nurut ya sama Ayah.”

Aku mengangguk, Ayah memelukku, entah kenapa air mataku


luruh begitu aku masuk dalam pelukan Ayah, rasa kesal,
12
marah, dan lelah, aku luapkan dengan tangisan dalam satu
pelukan Ayah.

“maaf.” kataku pelan.

“shut Ayah juga minta maaf.” kata Ayah.

“maafin Merta Yahhh.” kataku dengan sisa sisa air mata.

“shtt udah nggak papa, jangan diulangin lagi yaa?”

Aku mengangguk.

“kamu tau nak? Allah itu sebenernya sayang sama kamu.”

Aku menatap Ayah, tak mengerti dengan ucapannya.

“buktinya Allah ngasih tau Ayah tentang itu semua, biar apa?
Biar kamu dijauhkan dari hal-hal yang buruk, coba kalo Ayah
nggak tahu? Bisa lebih parah dari ini mungkin.”

Ayah mengecup puncak kepalaku.

13
BAB 2

Sebuah Usaha.

Meminta maaf tanpa perubahan adalah


Manipulasi.

14
Beberapa minggu setelahnya, sekitar setengah tujuh
pagi. Ibu tengah sibuk dengan jahitannya, Ayah pergi
nongkrong diwarung kopi, aku duduk bersantai dikursi
sembari memainkan ponsel, Bang Ardi masih tidur. Masih
terlalu pagi menurutku, dan aku masih sangat malas jika harus
memulai aktivitas rumah. Nanti ajadeh nunggu Bang Ardi
bangun, males banget kalo harus ngerjain semuanya
sendirian. Batinku.

“ngapain malah duduk-duduk manis kayak tuan putri gitu.”


kata Ibu. Masih tetap melanjutkan jahitannya.

Aku mendongak, meringis.

“nanti ahh bu, masih dingin ini.” kataku.

“makanya badannya itu digerakin biar nggak dingin terus, kalo


kamu duduk-duduk manis aja kek gitu ya dinginnya nggak
ilang-ilang.” kata Ibu.

“alahhh males buu.” rengekku.

“males-males! Anak gadis kok malesann. Cepetan sana dicuci


piringnya yang kotor, trus baju-baju yang gelantungan
dikamar mandi diberesin, dicuci sekalian, nanti kalo tukang
sayurnya udah lewat biar Ibu yang belanja.” kata Ibu.

“lhooo kok aku semua? Trus Bang Ardi ngapain?” tanyaku


15
“ya semua, kan itu tugasnya anak perempuann.” kata Ibu.

“halahh pokoknya aku gamau kalo Bang Ardi nggak ngapa-


ngapain, enak aja aku capek-capek sendirian, Bang Ardi masih
enak-enak tidur.” kataku tidak terima.

“ya kamu itu anak perempuan, beda sama anak laki-laki. Nanti
kalo udah gede kamu juga bakalan ngurus rumah sendirian,
makanya Ibu nyuruh kamu itu biar kamu bisa belajar dari
sekarang, biar nanti nggak jadi menantu yang jorok.”

“udah nggak bisa masak, nggak bisa nyuci baju, nyuci piring
juga ngga bersih, haduhh Ibu kok kasian sama mertua kamu
nanti.” kata Ibu.

“ehh enak aja, aku bisa masak yaa!, bisa nyuci baju juga,
padahal aku kalo nyuci piring selalu bersih. Ibunya aja yang
kebetulan ngambil piringnya ga bersih.”

“halah kamu itu, alesan teros, sana cepet diberesin.” titah Ibu.

Dengan malas akupun beranjak pergi mengerjakan


pekerjaan rumah, sambil berjalan aku memutar sebuah album.

Tak perlu khawatir,

ku hanya terluka

Terbiasa 'tuk pura-pura tertawa


16
Namun bolehkah s'kali saja ku menangis?

Sebelum kembali membohongi diri.

Suara Bang Fiersa mengalun lembut mengiringi


aktivitasku, ponsel kuletakkan diatas meja dekat Magic Com,
dan aku melanjutkan membersihkan rumah.

Aku berjongkok, mulai mengosek piring-piring kotor,


masih dengan sedikit sisa rasa jengkel, aku membilas dari satu
ember air ke ember air bersih satunya.

Mereka bilang, "Syukurilah saja"

Padahal rela tak semudah kata.

Mulutku ikut bersenandung mengikuti alunan lagu Bang


Fiersa

Samar-samar aku mendengar percakapan diluar, aku


menajamkan telinga, suara gedoran pintu dan bentak-bentakan
terdengar jelas.

“AR! BANGUN!” suara Ayah terdengar keras.

DOK DOK DOK. Terdengar suara gedoran pintu, sepertinya


pahlawanku telah datang, aku tersenyum penuh kemenangan.

17
“sukurin diomelin sama Ayah, salah siapa aku capek-capek
kerjain sendirian malah dia enak-enakan tidur.” gumamku.

“itu adeknya dibantuin! Tidur mulu kerjaanmu!” ucap Ayah.

Aku menoleh, Ayah datang membawa sekantung belanjaan


didikuti Bang Ardi dibelakangnya.

Bang Ardi berjalan dengan muka masam, aku


menahan tawa melihatnya, dia segera berjongkok
disampingku, membantu membereskan piring-piring yang
telah bersih dan meletakkannya didalam rak piring.

“nah gitukan enak diliatnya, saling kerja sama, saling


membantu, biar keliatan akur, kalo ginikan Ayah seneng
liatnya.” ucap Ayah.

Ayah telah duduk dilantai, mengupas-ngupas bawang.

“Ayah udah dari pasar?” tanyaku.

“udah.” jawab Ayah.

“kok aku ditinggal?” kataku.

“yakan tadi Ayah dari warung sekalian belanja kepasar.” kata


Ayah.

“emang mau masak apa?” tanyaku.

18
“nggak tau nih tadi Ayah cuma beli kacang panjang,
kecambah, trus ada tahu sama tempe nih, terserah kalian mau
dimasak apa?” kata Ayah.

“dioseng ajalah lebih cepet, nggak kelamaan, udah laper


nihhh.” kata Bang Ardi.

“yeee giliran makan aja cepet.” kataku.

Ayah dan Bang Ardi melanjutkan aktivitas masak


mereka, aku segera mengumpulkan pakaian-pakaian kotor,
memasukkannya kedalam mesin cuci, karena kran air dalam
saluran mesin cuci telah rusak, jadi mau nggak mau aku harus
mengisi manual, mengambil air dari bak kamar mandi, setelah
kurasa cukup, segera ku nyalakan tombol wash.

“masih lama Ta?” tanya Ayah.

“baru aja mulai Yah.”

“cepet selesein nanti ikut Ayah.”

“mau kemana?”

“tadi disuruh belanja sama Ibu.”

“ohhh oke. Nanti baju-bajunya biar dijemur sama Bang Ardi.”


aku menyengir.

19
Merasa namanya disebut Bang Ardi menoleh, aku tersenyum
sambil mengedip-ngedipkan mata, Bang Ardi menghela nafas,
kemudian mengangguk dengan terpaksa.


Aku dan Ayah berada dipasar kota, ricuh berasal dari
suara para penjual dan pembeli yang saling adu harga, tawar
menawar. Aku dan Ayah tak menghiraukan berisik sekitar,
tetap berjalan menyusuri area pasar, mencari barang demi
barang yang dibutuhkan Ibu, mengunjungi dari satu toko ke
toko lainnya, menawar harga, jika cocok sepakat. Terus begitu
hingga mulai terdengar suara adzan dhuhur dari masjid sekitar.

“cari makan dulu yok Ta?” tawar Ayah.

Aku menoleh, mengangguk antusias.

“mau makan apa ya tapi?” kataku.

Aku dan Ayah telah berjalan keluar dari area pasar,


mulai memasuki area kuliner makanan, menghirup aroma-
aroma sedap yang menyeruak disepanjang jalan, Ayah
menggandeng tanganku, takut terpisah, karena ini jam
istirahat, maka kuliner ramai oleh pengunjung untuk makan
siang.
20
“kita makan bakso aja Ta?” tanya Ayah.

Aku menoleh, mengangguk.

Aku dan Ayah menuju kedai bakso diujung jalan, kata


Ayah, dari sekian banyaknya penjual bakso diwilayah kota,
cuma bakso ini yang menurut Ayah paling enak.

“mas baksonya dua porsi ya.” kata Ayah.

“ iya pak, silahkan duduk dulu.” kata mas-mas penjual bakso

Aku dan Ayah duduk berhadapan dibangku yang


paling dekat dengan kipas angin, karena Ayah paling nggak
bisa nahan gerah, dalam hal apapun kipas harus terus nyala
dan stand-by disamping Ayah. Pernah disuatu hari, tengah
malam berantem sama Bang Ardi karna entah kenapa kipas
angin Ayah tiba-tiba nggak bisa nyala, dan Ayah ambil kipas
yang dikamar Bang Ardi, jadi ramedeh rumah gara-gara nggak
ada yang mau ngalah, padahal cuma masalah kipas angin.

“ini pak pesanannya.”

Aku mendongak, mempersilahkan mas-mas penjual


bakso itu menghidangkan baksonya dihadapanku. Setelah
mengucapkan terima kasih mas-mas penjual bakso itu berlalu,
dan melayani pelanggan lainnya.

21
Aku dan Ayah mulai menikmati bakso tersebut, aku
menambahkan empat sendok sambal merah diats mangkukku,
Ayah menatapku ngeri, yang ditatap hanya nyengir tak
berdosa.

“jangan banyak makan pedes Ta.” tegur Ayah.

“ga enak Yahh kalo ga pedes mah.” Kataku dengan muka


masam.

“gasehat!, sayang sama lambungmu! Dibilangin ngeyel mulu.”

Aku tak mendengarkan perkataan Ayah, aku tetap menikmati


sensasi pedas yang memanjakan lidahku. Ayahpun tampaknya
lebih memilih menikmati makan baksonya ketimbang
mengomeliku yang susah dibilangin.

“kamu masih pacaran sama yang kemaren itu Ta?” tanya


Ayah.

Aku tertegun.

“hah?” kataku.

Bukannya tak mendengar perkataan Ayah, hanya saja aku tak


menyangka Ayah akan memulai percakapan itu lagi, dan
membahasnya ditempat seperti ini, juga untuk mengulur waktu

22
dan memikirnya jawaban apa yang tepat untuk menjawab
pertanyaan Ayah.

“kamu masih berhubungan sama cowok kemaren itu?” ulang


Ayah.

Aku diam. Selera makanku hilang tiba-tiba, Ayah telah


menyalakan putung rokok. Kaki kanannya dinaikkan keatas
kursi, dengan raut wajah serius, sepertinya aku tau arah
pembicaraan ini.

“kamu harus Ayah bilangin kayak apa biar kamu itu ngerti?”

Aku diam.

“kapan kamu mau putusin dia?” tanya Ayah.

Aku tetap diam.

“Ayahkan udah bilang sama kamu, Ayah nggak suka kamu


pacaran-pacaran kek begitu, nanti ada waktunya sendiri,
sekarang waktunya belajar ya belajar aja, nggak usah aneh-
aneh.”

“jatuh cinta itu nggak mudah Ta. Kamu harus bisa bedain
mana yang cinta dan mana yang sekedar kagum. Kagum itu
Cuma sementara, besok-besok paling udah bosen, tapi kalo

23
cinta? Cinta itu abadi. Mau sebanyak apapun kamu bertemu
dengannya, sebanyak itupula kamu akan selalu jatuh cinta.”

“setiap orang yang berani jatuh cinta berarti telah berani


menuai asa pada setiap rasa, berarti telah berani menemui fase
kecewa. Setiap yang jatuh pasti akan rusak. Bahkan jatuh
cintapun akan merusak pada waktunya, mau kamu tutupi
sekeras apapun, kalo yang diserang hati, kamu bisa apa? Cuma
Tuhan yang maha membolak-balikkan hati manusia.”

“Ayah nggak mau kamu ngerasain kecewa dulu. Ayah nggak


siap putri Ayah merasakan sakitnya dikecewakan. Maka dari
itu, Ayah ngelarang kamu buat pacarana dulu, karna apa?
Ayah nggak punya hak buat menghalangi rasa itu tumbuh
lebih jauh. Yang bisa Ayah lakukan cuma mencegah, supaya
kamu bisa lebih paham dan mengerti arti cinta yang
sesungguhnya.”

“sampai sini kamu paham?” tanya Ayah.

Aku diam saja, mengangguk dengan ragu.

Ayah kembali menghisap rokoknya yang mulai memendek.

“Ayah tegaskan sekali lagi, Ayah nggak ngelarang kamu


berteman sama siapa aja, Ayah nggak peduli latar belakang
mereka kek gimana, asal kamu bisa tau batas kamu berteman
24
sampai mana, dan tetep dalam pantauan Ayah sama Ibu. Tapi
ingat, Cuma TEMAN, bukan PACAR!”

“Ayah sama Ibu itu sayang sama kamu, Ayah tau yang terbaik
buat kamu, dari pada kamu Ayah kasarin kek kemaren? Ayah
nggak tega sebenernya, tapi anggap aja itu teguran buat kamu,
dan ini teguran yang terakhir, kamu sekarang udah gede, harus
tau mana yang baik dan mana yang buruk. Terserah kamu mau
nurut sama Ayah apa nggak, itu terserah kamu.”

Aku diam, mencoba mencerna semua perkataan Ayah,


mengaduk-ngaduk segelas es the didepanku tanpa niat untuk
meminumnya.

“yaudah yok pulang, udah selesaikan?” tanya Ayah kemudian


berdiri.

Aku mengangguk, segera membereskan barang-


barangku, kemudian ikut berjalan dibelakang Ayah. Setelah
membayar makan, aku dan Ayah keluar dari warung, menuju
tempat parkir, ditangah perjalanan tiba-tiba Ayah merangkul
pundakku, kembali menyapa beberapa orang yang dikenali
Ayah, percakapan barusan begitu berat bagiku, namun bagi
Ayah? Hal itu seolah-olah tidak terjadi.

25

Semburat merah mulai berpendar memancarkan
kilauannya, matahari perlahan-lahan menenggelamkan dirinya
pada batas langit, suara adzan magrib mulai dikumandangkan
dari masjid depan rumahku, beberapa tetangga melintas
didepan rumah tergesa-gesa menuju ke masjid, aku masih pada
posisi semulaku, duduk dibangku dalam rumah, memainkan
ponsel, menghiraukan lantunan adzan barusan.

“nggak denger adzan Ta?” sambar Ibu.

Aku menoleh.

“nunggu apa? Nunggu adzan isya sekalian?” tanya Ibu.

Aku memutar bola mata malas, segera beranjak mengambil air


wudhu, Ayah dan Bang Ardi telah berangkat kemasjid, Ibu
yang sedang berhalangan, melipat jemuran tadi siang, aku
segera menuju kekamar, aku paling malas jika harus sholat
berjama’ah dimasjid, meskipun jarak dari rumah kemasjid
hanya sekitar 100 meter, aku lebih memilih sholat sendiri
dirumah.

Setelah sholat, aku segera melepas mukena,


menggantungnya sembarangan, aku meraih ponsel,
26
merebahkan diri diatas kasur, menatap langit-langit kamar,
tiba-tiba aku teringat perkataan Ayah tadi siang.

Ting!

Segera kubuka notifikasi pesan tersebut.

Adipta Mahendra.

Yang? 18.38

Ngapain? 18.38

Aku menghela nafas, bagaimana caraku memulainya?

Amerta Rinjani.

Rebahan 18.40

Hmmm, aku mau ngomong penting. 18.40

Bisa? 18.40

Aku menunggu gusar.


27
Adipta Mahendra.

Mau ngomong apa? 18.42

Aku meremas jari, membulatkan tekad

Ameta Rinjani.

Aku pengen udahan. 18.43

Adipta Mahendra.

Udahan? 18.43

Kamu ngomong apasih ta? 18.44

Gausah becanda deh! 18.44

Ameta Rinjani.

Aku ngga becanda. 18.45

Aku serius. 18.45

28
Aku mau kita udahan. 18.45

Adipta Mahendra.

Tapi kenapa? 18.46

Aku ada salah? 18.46

Oke, aku minta maaf kalo aku ada salah sama


kamu. 18.46

Aku mulai menitikkan air mata, berharap semoga ini memang


yang terbaik.

Amerta Rinjani.

Ga ada yang salah. 18.48

Ini murni keinginanku. 18.48

Adipta Mahendra.
29
Tapi kenapa? 18.48
Aku butuh penjelasan ta? 18.48

Amerta Rinjani.

Gabisa. 18.49

Aku jelasinpun kamu nggak bakalan


paham. 18.49

Maaf. 18.49

Aku bener-bener ngga bisa. Makasih buat


semuanya. 18.49

Dia tak kunjung membalas pesan-pesanku, aku


meremas jari-jari tangan, keringat terasa mengalir dipelipis
dahiku, aku menatap langit-langit kamar, menghembuskan
nafas kasar.

Ting!

Segera kuraih ponsel.

30
Adipta Mahendra.

Oke kalo itu mau kamu. 18.55

Kamu nggak perlu minta maaf, kamu nggak


sepenuhnya salah. 18.55

Maaf aku belum bisa jadi yang terbaik


buat kamu. 18.56

Makasih juga udah nemenin aku sampai sekarang.


18.58

Cukup sampai disitu, aku tak kuasa membalas pesan-


pesannya, kurasa dia juga tak berniat mengirim pesan
kepadaku lagi.

Aku tak mau berlarut dalam kesedihan, segera


kumatikan ponsel, menghapus sisa-sisa air mata, segera
bangkit, dan keluar dari kamar, aku lebih memilih membantu
Ibu merapikan pakaian jemuran tadi siang, Ayah dan Bang

31
Ardi tiduran sambil menonton tv, aku bergabung bersama Ibu
diatas ranjang.

“kamu habis nangis Ta?” tanya Ibu.

“hah?”

Aku gelagapan, kok ibu bisa tau?

Ayah dan Bang Ardi menoleh menatapku.

“enggak.” kataku.

“halah ngelessss.” kata Bang Ardi.

Aku menatap Bang Ardi tajam, Yang ditatap malah


cengengesan tak berdosa.

“halahh diputusin pacarnya palingggg.” ejeknya.

Aku melemparnya dengan bantal yang ada disampingku.

“sok tau!” kataku sewot.

Bang Ardi tertawa puas setelah melihat wajahku memerah,


tiba-tiba Ayah mendekat kearahku mengusap pelan puncak
kepalaku, aku menoleh menatap Ayah yang telah berlalu dari
hadapanku.

32

BAB 3

Ada yang baru.


33
Hujan telah turun sejak sore tadi, kilatan petir terlihat
saling susul-menyusul, malam semakin gelap, angin
berhembus semakin kencang, di luar rumah, air menggenang
setinggi mata kaki, celanaku basah akibat tempias air hujan,
Bang Ardi basah kuyup, ia sibuk membersihkan saluran air
yang tersumbat, Ibu berdiri disebelahku, kata orang tua
dahulu, bila hujan turun disertai angin kencang, kita tidak
diperbolehkan berada didalam rumah, dikarenakan rumah-
rumah disini masih banyak yang berdinding kayu, khawatir
bila roboh terkena sapuan angin yang kencang.

34
Aku merapatkan diri kesebelah Ibu, kakiku kebas
karena lelah berdiri, Ibu menyentuh telapak tanganku, balas
kugenggam tangan Ibu, dingin.

“anginnya masih kenceng ngga bang?” tanyaku.

Bang Ardi menoleh kepadaku sekilas, kemudian beralih


menatap Ibu.

“dingin ya bu?” tanya Bang Ardi tetap pada posisinya.

Ibu mengangguk.

“yaudah Ta, ibu ajakin masuk aja, anginnya udah nggak terlalu
kenceng nih, palingan bentar lagi hujannya reda.” kata Bang
Ardi

Aku mengangguk, menuntun Ibu masuk kedalam rumah, entah


kenapa akhir-akhir ini kondisi ibu sering tidak stabil, aku tidak
tega melihat Ibu terlalu lama berdiri kedinginan diluar rumah.

Setelah menuntun Ibu sampai dikamar, aku masuk ke


kamarku, segera mengganti baju, karena sebagian bajuku telah
basah, aku meraih ponsel, merebahkan diri diatas kasur.

“Ayah kok nggak pulang-pulang yaa?” gumamku.

Sore tadi Ayah berpamitan mau ke Terminal kota,


menjemput Pakde Fatah yang baru pulang merantau, Ayah
35
anak ke tiga, dari empat bersaudara, semuanya leki-laki, dan
tinggal didaerah tak jauh dari sini

Ibu tiga bersaudara, anak pertama ya Pakde Fatah ini,


Pakde telah menikah selama 11 tahun, namun belum juga
dikaruniai seorang anak, sebenarnya aku punya adik
perempuan, Talenta namanya, selisih 6 tahun denganku, tapi
karena Pakde masih belum juga punya anak, maka Talenta
diasuh sama Pakde Fatah dan istrinya, para orang tua bilang
sebagai pancingan agar segera mendapat momongan.

Waktu itu aku berontak, kenapa adiku harus diasuh


oleh orang lain, meskipun rumahku dan rumah pakde tidak
terlalu jauh, tetap saja, aku yang telah lama menginginkan
seorang adik, kenapa Ayah dan Ibu dengan seenaknya
memberikan kepada Pakde, yang tanpa aku ketahui
sebenarnya Ibupun sangat berat dengan segala keputusan itu,
namun apa boleh buat? Ini permintaa dari Eyang, Ibunya Ibu.
Dan ibu tak bisa menolaknya, dengan sangat berat hati Ibu
memboyong adiku yang saat itu baru berumur 40 hari.

Amerta Rinjani.

Ayah belom pulang? Kok tumben


lama? 21.44

36
Tak ada jawaban dari Ayah, aku bosan, menggeser-geser
beranda WhatsApp, nama Adipta tertera diurutan paling atas
barisan intastory, petanda ia baru saja memposting sesuatu
pada ceritanya.

Adipta Mahendra.

37
Anak manja <3
Aku mematikan ponsel dengan kesal.

Tanpa kusadaril Air mataku turun dengan sendirinya,


entah kenapa, semua bayang-bayang kita yang dulu berkelebat
didepan mata, melihat dia semudah itu melupakan segala
tentang kita, dan secepat itu mendapatkan pengganti diriku?
Hal itu membuatku yakin bahwa tak ada yang perlu disesali,
perpisahan ini memang jalan yang terbaik, dia bukan yang
tepat untukku, dan nggak ada alasan bagi aku untuk
menyalahkan Ayah.

Aku melangkahkan kaki keluar kamar, kulihat Bang


Ardi tengah duduk dibangku sendirian, memagang ponsel
dengan keadaan miring menandakan ia tengah bermain game
online, aku mengedarkan pandangan, sepi. Ibu telah masuk ke
kemar sejak tadi, Ayah belum juga pulang, padahal telah pukul
22.10 WIB.

Aku duduk disebelah Bang Ardi, menyesap kopinya


yang tinggal seperempat gelas.

“kenapa belom tidur?” tanya Bang Ardi.

Aku menoleh sekilas kemudian menyalakan ponsel.


38
“ga bisa tidur.” kataku sekenanya.

Samar-samar terdengar suara deru motor didepan


rumah, kurasa itu Ayah, karna meskipun rumah kami berada
dipinggir jalan, namun jam segini jalanan telah sepi, hanya
sekali dua kali terdengar suara kendaraan yang lewat.
Pintu terbuka, Ayah masuk, mantel jas hujan dan helm
baru dibuka ketika motor telah dimasukkan kedalam rumah,
aku menghembuskan nafas lega.
“Assalamu’alaikum.” kata Ayah
“Wa’alaikumsalam.” kataku dan Bang Ardi hampir
bersamaan.
“la pakdenya mana Yah?” tanyaku begitu Ayah duduk
dibangku seberang.
“langsung Ayah antar kerumahnya, kasian capek, biar istirahat
dulu.”
Aku mengangguk-anggukkan kepala.
“kenapa pada belom tidur?” tanya Ayah.
Aku menggelangkan kepala.
“belum bisa tidur, masih sore ini Yah.” ucap Bang Ardi.
“Ibu udah tidur?” tanya Ayah.
“udah dari tadi” kataku.
“Ayah buatin teh anget dong Ta.” kata Ayah.
“hmm” gumamku.

39
Aku berdiri, hendak beranjak ke dapur.
“Abang sekalian ya adik manisss.” sahut Bang Ardi.
Aku memutar bola mata malas.


“Ayah mau ngomong sebentar sama kalian, HPnya bisa
dimatikan dulu?”
Aku dan Bang Ardi saling tatap, kemudian meletakkan ponsel.
Ayah menghembuskan nafas kasar, terlihat berat
mengatakannya, aku dan Bang Ardi sekali lagi saling
mandang.
“Abang sekarang umur berapa Bang?” tanya Ayah.
“16 yah.”
“Amerta?” Ayah menatapku lembut.
“14 tahun ini yah.”
“sebelumnya Ayah minta maaf, Ayah harap Abang sama
Amerta bisa berfikir secara dewasa.”
Aku menerka-nerka arah pembicaraan Ayah.
“mengenai kondisi Ibu yang akhir-akhir ini kurang enak
badan, suka mual tiba-tiba, sering drop kalo kecapean, Ayah
khawatir terjadi yang engga-engga, kemarin Ayah sama Ibu ke
Klinik dan ternyata Ibu sudah mengandung tiga minggu, Ayah
juga kaget, Ayah nggak nyangka Ibu bakal hamil lagi.”

40
“dan kata dokternya Ibu nggak boleh kecapean, nggak boleh
banyak fikiran karna Ibu hamil tua jadi banyak resikonya, tapi
yang dikhawatirkan sam Ibu buka itu.”
“Ibu khawatir sama kalian, Ibu takut kalian diejek temen-
temen karna udah gede punya adik lagi, Ibu takut kalian malu
sampai Ibu minta persetujuan Ayah untuk menggugurkan
kandungannya, tapi Ayah menolak keras usulan Ibu, karna
mau bagaimanapun itu adalah anugrah dari Allah, titipan dari
Allah, dan darah daging Ayah juga, jadi Ayah nggak bisa kalo
Ibu minta persetujuan itu.”
“jadi Ayah harap kalian bisa berfikir secara dewasa tentang
ini, Ayah harap kalian bisa ikhlas menerima itu semua, kasian
Ibu kondisinya sering ngga stabil gara-gara banyak fikiran.”
Aku mengangguk.
“Merta nggak papa kok Yah, Merta nggak malu.” kataku
sambil tersenyum diikuti anggukan kepala Bang Ardi.


Hari-hari berlalu dengan begitu cepat, kandungan Ibu
telah memasuki minggu ke 34, perut Ibu telah besar, Ibu jadi
lebih susah beraktivitas, kakinya membengkak, namun Ibu
masih tetap bekerja, meskipun sudah jarang menjahit, hanya
memotong bagian-bagian yang kemudian diserahkan kepada
Bude Zul dan Mbak Laila, urusan menyetrika dan memasang

41
kancing atau hiasan-hiasan yang menempel pada baju
diserahkan kepadaku.

Hari-hariku jadi semakin sibuk, hampir semua


pekerjaan rumah diserahkan kepadaku, meski terkadang
dibantu oleh Ayah dan Bang Ardi tetap saja aku yang paling
banyak.

Pukul 23.20, aku baru memasuki kamar, setelah


selesai menyetrika tumpukan baju pesanan. Malam ini tugas
Bang Ardi memasang kancing beberapa kemeja yang akan ku
setrika, Ibu masih sibuk duduk dikursi dengan potongan-
potongannya, semenjak kandungan Ibu mulai membesar Ibu
tidak lagi memotong kain dilantai, karna akan lebih susah
bergerak, alhasil Ayah membuatkan meja kayu dengan ukuran
1 x 2 meter persegi, agar Ibu tetap bisa melakukan
aktivitasnya.

Aku segera merebahkan diri diatas ranjang,


pinggangku terasa kebas karena terlalu lama duduk dilantai,
baru saja aku merasakan nikmatnya rebahan, Ibu telah
memanggilku lagi.

“Ta”

“iya bu?” kataku tetap pada posisi semula.

42
“sholat dulu, kamu tadi belum sholatkan?”

“oiya.”

Aku menepuk dahi, dengan segala kemalasan yang ada akupun


segera bangkit menuju kamar mandi.

Aku melihat Ayah yang tengah sibuk didapur, akupun


menghampiri Ayah.

“wahh bikin apa nih.” kataku.

“bikin yang enak-enak, mau nggak?” tanya Ayah.

“mau dongggg.”

“tapi bantuin Ayah dulu irisin telor dimeja.”

“ehh Merta mau sholat Yahhh.” kataku segera pergi dari


hadapan Ayah.

“berarti nggak mau yaaa?”

“mauuu.” teriakku dari dalam kamar mandi.

Ayah tersenyum menggelengkan kepala.

43
Aku mendengar suara dentingan sendok dan piring,
aku segera membereskan mukena dan keluar dari kamar,
kulihat Ayah dan Bang Ardi telah duduk diatas karpet yang
digelar didepan TV, uap mengepul dari atas nasi goreng
buatan Ayah, masih didalam wajan, tanpa perlu memindahkan
dalam wadah yang lain, aku mendekat, bergabung, ikut duduk
disebelah Bang Ardi, keluarga kami memang selalu
menyempatkan makan saat lembur begini, kata Ibu kalo perut
kosong dibuat bekerja itu nggak baik, apalagi kalo terkena
angin malam, bisa masuk angin nanti.

Aku meraih piring, segera menuangkan nasi goreng


diatas piringku, Bang Ardi makan dengan sangat lahap, sudah
sangat lapar katanya.

“ayok Buk makan dulu.” kata Ayah.

“iya, kalian makan sajalah dulu, masih nanggung ini, nanti Ibu
nyusul.”

Ayah menuangkan nasi dengan porsi yang sangat banyak, aku


bisa menduga apa yang akan dilakukan Ayah setelah ini. Ayah
beranjak berdiri menghampiri Ibu, menyeret kursi kesebelah
Ibu, duduk disamping Ibu.

44
“makan dulu.” kata Ayah sambil mengaduk-ngaduk nasi
ditangannya.

Ibu menoleh, tersenyum ke arah Ayah, Ayah mulai


menyodorkan suapan pertama, Ibu mengunyah sambil
melanjutkan bekerja.

Aku menyenggol lengan Bang Ardi, mengode agar ia


melihat kearah Ayah, Bang Ardi yang pahampun ikut
tersenyum, ahh Ayah selalu berhasil membuatku iri dengan
segala cinta yang diberikannya untuk Ibu, aku teringat cerita-
cerita Ayah.


Ayah dan Ibu telah saling mengenal sejak SMP, tapi
mereka berpacaran saat SMA, melewati segala lika-liku
perjalanan yang sangat mendramatis, 7 tahun berpacaran dan
akhirnya memutuskan menikah.

Awalnya hubungan mereka sangat ditentang oleh


keluarga Ibu, hanya karna mereka menganggap Ayah bukan
dari keluarga terpandang seperti keluarga Ibu, ditambah sifat
Ayah yang sedikit seperti berandalan, yang suka tawuran,
kumpul sama para pemain judi dan mabuk-mabukan, membuat

45
kesan buruk dimata keluarga Ibu, namun Ibu percaya, bahwa
Ayah tidak seperti yang dikatakan oleh mereka, dan kalopun
itu benar Ibu yakin jika Ayah bisa berubah.

Saking lelahnya Ibu mendengar keluarganya yang


selalu menjelek-jelekkan Ayah, menghina Ayah dan bahkan
terang-terangan kakak sepupu Ibu meminta Ibu untuk
meninggalkan Ayah. Ibu sudah tak tahan lagi, dengan segala
kenekatan, setelah lulus SMA Ibu berangkat merantau dinegeri
orang, menjadi TKW selama 4 tahun, berharap saat ia pulang
nanti semua telah membaik.

Kata Koko- Ayah dari Ayah, dulu hampir setiap


bulan, saat bangun tidur, pagi-pagi sekali, sudah ada tukang
pos datang, membawakan surat dari Arab Saudi. “Teruntuk
Husain dari Kumala Sari.” kata Koko. Zaman itu orang-orang
masih jarang menggunakan telepon, mengirim kabar masih
melalui surat menyurat, jika ingin bertelpon maka harus
mencari Wartel dulu, itupun sangat jauh dari lokasi rumah
Ayah, dan biaya Wartel yang cukup mahal.

46
Entah minggu yang keberapa, pagi itu, udara masih
terasa begitu dingin, uapan embun masih bergelayut manja
pada pucuk dedaunan, matahari belum memperlihatkan
sinarnya, jalanan masih begitu sepi, sesekali para ibu-ibu
bersepeda, mengayuh tergesa-gesa, membonceng beronjong
yang dipenuhi hasil bumi, segera membawanya ke lokasi
perdagangan.

Pagi itu, aku berjalan pulang ke rumah, semalam aku


tidak tidur di rumah, melainkan di rumah Buk Na- Ibuk Lina.
Adik perempuan Ibu, dia warga baru didesa kami, dan
suaminya kerja merantau, mereka baru memiliki satu anak
perempuan, Denada namanya. Letak rumah Buk Na tepat
berseberangan dengan Makam desa, dengan status Buk Na
yang masih warga baru, khawatir bila terjadi apa-apa, maka
Ayah dan Ibu memintaku dan Bang Ardi untuk menemani tiap
malam bergantian, Akhir bulan biasanya, Om Bagus, suami
Buk Na akan pulang, dan yang paling menggiurkan adalah
siapa yang paling sering menemani Buk Na akan mendapat
uang paling banyak, diantara aku dan Bang Ardi.

Pintu rumah masih tertutup, tak biasanya. Aku


mendorong pintu.

Tak dikunci.

47
“Assalamu’alaikum.”

Rumah masih gelap, tak ada sahutan.

“Ibuk?”

Pintu kamar depan terbuka, Bang Ardi keluar.

“Ibu kemana Bang?”

“Puskesmas.”

“serius Bang?” tanyaku bingung.

Bang Ardi menganggukan kepala.

“ngapain bohongin kamu?”

“ihh seriusan Banggg, kapan?” tanyaku

“tadi jam 2 pagi.”

“berangkat cuma Ayah sama Ibu doang?”

“nggak, tadi Ayah sempet telfon Pakde Fatah buat jemput


Eyang.”

Aku mengangguk-anggukan kepala.

“trus kita? ditinggal?”

48
“ya mau gimana lagi? Kan belum lahiran, kata Ibu baru
kontraksi.”

“trus gimana?” aku mendadak jadi oon.

Bang Ardi menatapku lelah.

“kita sekolah dulu aja Amertaaa, nanti kalo ada kabar dari
Ayah suruh nyusulin kesana baru kita kesana.”

Aku ber Oh ria.


Disekolah aku tak bisa fokus dengan mata pelajaran,
pikiranku tak bisa berhenti membayangkan seperti apa kondisi
ibu dan calon adikku, saat jam istirahatpun, aku tak pergi dari
bangkuku, sibuk menatap ponsel, menunggu dengan segala
harapan-harapan segera mendapat kabar.

Ayah.

Gimana kondisi Ibu Yah? 10.00

Tak ada jawaban apapun dari Ayah. Aku beralih mencari


kontak Bang Ardi.
49
Ardian Kalingga.

Banggg, ayok bolos ajalah bang kita


kepuskesmas sekarangg. 10.02

Tetap tak ada jawaban dari kedua-duanya.

Sabitha, teman sebangkuku ikut prihatin menatapku yang


sejak pagi tadi tak ada gairah untuk hidup didalam kelas lebih
lama lagi.

“udah deh Ta, dari pada uring-uringan gitu mending kamu


berdoa aja deh, biar semuanya diperlancar.” kata Sabitha

Aku menghela nafas.

“aku dari tadi juga berdoa Bithaaa.”

Aku menengkulapkan wajah diatas meja.

Drtt… drtt…

“Bang Ardi Ta.”

Sabitha menyodorkan ponsel, mendengar nama Bang Ardi aku


segera menyerobot ponselku dari tangan Sabitha.

“ya santai dong Ta”

50
Sabitha mengomel akibat tanpa sengaja kuku jari-jariku
mengggores tangannya, aku tak menghiraukan ocehan Sabitha,
telepon dari Bang Ardi jelas lebih penting.

“halo bang?”

“kamu siap-siap, 5 menit lagi Abang ke kelas kamu, kita


kePuskesmas sekarang.”

Aku mengepalkan tangan.

“oke.”

Tut. Sambungan terputus.

Aku segera mengemasi barang-barang, memasukkanya


kedalam tas ranselku.

“gimana? Udah lahiran Tante Mala Ta?” tanya Sabitha

Aku mengendiakkan bahu.

“nggak tau, Bang Ardi cuma bilang kita kepuskesmas


sekarang.”

Sabitha menganggukan kepala.

“Ikut dong taa.” ucap Sabitha memasang tampang baby


facenya.

51
“dihh apa-apann, ngga ada.”

Sabitha memanyunkan bibirnya.

“nanti aja kalo udah dibawa pulang ke rumah, kamu mau main
seharian juga boleh.”

Sabitha menghembuskan nafas panjang.

“oh ya, nanti kalo ada guru maple yang nanyain tolong izinin
yaa Bit.” Lanjutku.

Sabitha memutar bola matanya malas.

“lah? Izin sekalian kek.”

“nggak sempet Sabithaaa, tolong yaaaa.”

Aku menangkupkan kedua tangan didepan dada dan


memasang tampang memelas, hingga akhirnya dia, Sabitha
mengangguk pelan. Kulihat Bang Ardi telah berdiri diambang
pintu kelas, akupun segera menghampirinya.

“bye Sabithaa.”

Dia hanya melambaikan tangan malas.

Aku dan Bang Ardi segera pergi menuju Puskesmas.

52

BAB 4

Dewasa.

Dewasa itu tentang sikap bukan usia,


Semua orang bisa tua tapi nggak semua
53 dewasa.
Orang bisa
Andini Prameswari, dua puluh bulan setelah
kelahirannya, Ibu melahirkan lagi anak laki-laki, Afnan
Anggara. Ayah dan Ibu sangat mempercayai prinsip Banyak
anak banyak rezeki. Dan katanya, memang sudah dari awal
menikah, Ayah dan Ibu ingin mempunyai anak empat,
seharusnya sebelum Angga lahir memang sudah empat, tapi
karena Talenta diasuh Pakde Fatah, maka keinginan
mempunyai anak lagi tak mau ditanda.
“Ibu pengennya nanti ada yang jadi Pegawai Negeri, ada yang
jadi Dokter, ada yang nerusin usaha Ibu, dan ada yang jadi
Hafidz Qur’an.” kata Ibu disuatu waktu, saat aku
mengomentari rencana Ayah dan Ibu mau punya anak lagi.
Kalo kata Ayah. “biar nanti kalo Ayah udah tua, udah sering
sakit-sakitan, kamu nggak kerepotan ngurus Ayah sendirian
karna punya saudara banyak, bisa dimintai tolong, dan nggak
perlu bingung nyari bantuan kalo ada apa-apa.”


Sabtu. Aku, Sabitha, Vanya, Yudith dan Emili duduk
dipojok kantin, jam istirahat tinggal lima belas menit lagi dan
kita masih enggan beranjak dari bangku masing-masing.

54
“ehh nanti malem keluar yuk, didepan alun-alun kota ada
warung seblak baru, kita Cobain aja, mumpung malem minggu
juga.” kata Yudith antusias.

“boleh sih, kata Tante aku tempatnya Aesthetic gitu, jadi enak
buat nongkrong anak muda hahah.” ucap Emili menimpali.

“gass aja sih aku mahhh.” ucap Sabitha yang disusul anggukan
kepala Vanya.

“ehh sorry gays, tapi kayaknya aku ga bisa deh.” kataku lesu.

“kenapa Ta?” tanya Sabitha.

“iyanih Merta ga asik ahh sekarang jarang ikut kumpul sama


kita-kita.” timpal Emili.

Aku terdiam bingung, disisi lain aku sangat ingin mengiyakan


ajakan mereka tapi gimana kondisi dirumah? Siapa yang bakal
jagain Andin dan Angga? Trus kalo mau keluar dapet uang
dari mana? Kemaren aja mau beli pempes buat adek-adek
harus nunggu orang ngambil jahitan dulu.

“kita nggak maksa kok Ta, kalo kamu nggak mau juga nggak
papa.” ucapan Sabitha membuyarkan lamunanku.

“yaudah sih kita ke kelas yok, bentar lagi bel.” kata Yudith.

55
Kami segera beranjak menuju kelas masing-masing.
Ya, kita memang bukan satu kelas tapi kita satu circle. Karna
saat SMP kita selalu satu kelas, baru berpisah saat duduk
dibangku SMA. Yudith dan Vanya satu kelas di Mipa 1, aku
dan Sabitha di Mipa 2, Cuma Emili yang mencar di IPS 1.
Namun hal itu tak memisahkan pertemanan kita.

Saat dalam perjalanan menuju kelas, aku dan Sabitha


berpapasan dengan Ardan. Sosok lelaki yang dalam waktu
tujuh bulan ini selalu mengisi hari-hariku. Anak kelas XI IPS
1, Bagiku dia tampan dengan caranya sendiri. Kalo dulu aku
selalu berhubungan dengan lelaki yang suka cari masalah,
suka tebar pesona dan suka pamer harta. Kali ini berbeda, Dia
yang dengan diamnya saja mampu meluluhkan hatiku, dengan
senyumnya yang selalu membuatku candu, serta sorot mata
teduhnya yang selalu memandangku seolah-olah sesuatu yang
sangat berharga, dia yang jauh dari kriteria lelaki idamanku
sebelumnya, namun dengan segala kelembutannya dia mampu
membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya. Dia Ardani Erlangga.

“Sabitha, Amertanya aku pinjem sebentar yaaa.” ucap Ardan


kepada Sabitha.

Sabitha mengerucutkan bibirnya.

“pacaran mulu ihhh.”


56
“makanya punya pacar Sabithaaa.” ejekku.

“yaudah sana bawa aja nih. Tapi jangan lama-lama bentar lagi
bel.” ucap Sabitha sambil mendorongku kearah Ardan,
kemudian segera berlalu pergi dari hadapan kami.

“nanti pulang sama siapa?” tanya Ardan.

“sama Bang Ardi.”

Dia menganggukan kepala, sambil berjalan beriringan menuju


kelasku.

“tadi anak-anak ngajakin kumpul.” kataku.

Dia diam saja namun memandangku sangat dalam.

“biasa aja ihh litanya.” kataku malu, sambil membuang muka.

Dia hanya tersenyum.

“ya terus gimana ceritanya?” katanya

“ya aku ga bisa ikut, gabakal dibolehin juga sama Ayah.”

“kenapa nggak boleh?”

“soalnya kelur malem, mana boleh sama Ayah?” kataku


dengan kesal.

57
“lagian ga enak juga kalo mau minta uang jajan lagi.”
lanjutku.

“yaudah nggak papa ga harus tiap nongkrong kamu ikutkan?”

“ya tapikan aku pengen ikutt, sekarang aja aku udah jarang
ikut ngumpul sama mereka.”

“kamu nggak boleh egois dong, harus mikir keadaan dirumah


juga.” katanya.

“iya-iya bawel.” kataku.

“yaudah gih masuk kelas.” katanya begitu sampai depan ruang


kelasku.

Aku menganggukan kepala.

“byee.”

Gantian dia yang menganggukkan kepala, kemudian pergi


menuju kelasnya, hanya sesederhana itu, nggak pernah ketemu
selain dijam sekolah, karna Ayah sangat protektif dengan
pergaulanku.

58
Pukul 21.00 WIB, keadaan rumah masih ramai, kedua
adikku masih asik bermain-main, aku asik memainkan
ponselku, Ayah dan Bang Ardi belum pulang dari Warung
Kopi.

“Ibuk ayok bobok dikamar Mbak Eta.” kata Andin tiba-tiba.

Seketika aku menoleh.

“nggak mau dongg, nanti Mbak Eta bobok dimana?”

“bobok dikamar Ibuk ajaaa.” katanya sambil menunjuk kamar


Ibu.

“ihh nggak mau, kamu aja yang bobok disana, kamukan yang
boboknnya sama Ibuk.”

“HUAA.” menangislah dia yang seketika membuat ramai seisi


rumah.

Aku tertawa melihat air mata palsunya.

“iya-iya bobok dikamar Mbak.” kataku lalu kecium pipi


kanannya.

Andin telah berumur tiga tahun, dan Angga satu tahun


lebih empat bulan, sangat menggemaskan melihat kedua
adikku yang tengah bermain dirumah.

59
Ibu tengah membuatkan susu untuk Andin, sejak Ibu
tau kalau Ibu mengandung lagi, Andin langsung diberhentikan
meminum ASI, kalau kata orang tua disini disapeh namanya.,
karena umur Andin dan Angga hanya terpaut dua puluh bulan,
membuat Andin kekurangan kasih sayang dari Ibu, dimataku
dia telah tumbuh jauh lebih dewasa dari usianya.

Pernah disuatu hari, Andin minta dibelikan mainan


yang baru saja dia lihat dipinggir jalan pulang dari rumah
Eyang, tak hanya merengek, Andin sampai menangis minta
dibelikan mainan itu, padahal wajar-wajar saja kalo anak
seusia dia meminta mainan, toh barang itu tak lebih dari lima
puluh ribu, namun sayang, saat itu uang Ibu hanya cukup
untuk membeli susu dan pempesnya, Ibu tak punya uang lebih
untuk sekedar membeli mainan.

“iya besok Ayah belikan, sabar dulu ya nak yaa.” kata Ayah
berusaha menenangkan, tak tega melihat anaknya menangis,
namun Andin yang belum mengerti situasinya, bukannya
diam malah menangis semakin kencang, sambil
menggelengkan kepala.

“mau mainan ituu ayo beli Yahhh.” katanya dengan derai air
mata.

Ibu hanya menatap Andin dengan wajah tak tega


60
“iya-iya kamu sabar dulu, nanti kalo Ayah dan Ibu udah punya
uang pasti Ayah belikan, sabar dulu ya nak ya.” Ayah tetap
berusaha menenangkan Andin.

Air mataku luruh, aku menangis terisak didalam kamar, apa


gunanya aku sebagai kakaknya? Dalam hati aku sangat ingin
membantu namun aku bisa apa? Akupun sama sekali tak
memegang uang, aku selalu bersyukur jika membandingkan
masa kecilku dengan masa kecil andin, rasanya sangat tak
pantas jika aku mengeluhkan keadaanku yang sekarang.

“ayok masuk kamar.” kata Ibu, tangannya sibuk mengocok


susu dalam botol Dot, Andin berjalan mendahului Ibu
memasuki kamar, Ibu segera menggendong Angga dan
menyusul Andin.

Aku berdiri, mencharger ponselku didekat ranjang


depan TV, kemudian ke Kamar Mandi untuk mencuci muka,
menggosok gigi dan wudhu, aku sholat dikamarku, disebelah
ranjang tempat Ibu dan kedua adiku.

Ibu tidur menghadap Angga, tangannya mengusap-


usap punggung Angga agar segera tidur, Andin menonton
video-video di Youtube, tidur dibelakang punggung Ibu. Aku
ikut naik ke atas ranjang seusai sholat, mengganggu kedua
adikku.
61
“ihh awasss!” kata Andin, kaki kecilnya menendang-nendang
kearahku.

“dihh inikan kamar Mbak! Kamu aja yang awas! Mbak mau
bobok disini.” aku merebahkan diri disampingnya.

“HUAAA” dia mulai mengeluarkan jurus andalan.

Angga menggeliat.

“Mbak! Mbokyo dibiarin aja adeknya! Nanti nek nggak tidur-


tidur Ibuk nggak bisa lembur.” tegur Ibu.

Aku tertawa.

“nggak-nggak.” kataku sambil menepuk-nepuk pipi


gembulnya dan kuciumi dengan gemass.

“Ta.” panggil Ayah tiba-tiba.

“iya Yah.” kataku segera turun dari ranjang,

Begitu aku keluar kamar, aku kaget melihat Ayah telah


memegang ponselku, aku takut-takut mendekat.

“inilo pacarmu telpon.”

Ayah menyerahkan ponsel, aku menatap wajah Ayah, takut


Ayah marah, selang beberapa saat Ayah tetap diam saja,
akupun segera pergi ke kamar Ibu dan mengangkat telfon.
62
“halo, Assalamu’alaikum.” sapanya Ardan.

“Wa’alaikumsalam.”

“ngapain yang?”

“habis sholat.”

“ohh.”

“kamu kalo mau telfon bilang-bilang dulu donggg.” ketusku.

“emang kenapa?”

“tadi HP nya lagi dipegang sama Ayah.”

“trus diapain?”

“nggak diapa-apain sihh.”

“beneran? Ayah nggak marah?”

“enggak, aku kira Ayah juga bakal marah ternyata enggak.”

63
BAB 5

Keputusan.

64
Pagi itu semua anak-anak kelas XII berkumpul untuk
acara Sosialisasi Perkuliahan. Aula sekolah penuh, riuh para
siswa siswi yang berbincang-bincang, aku dan Emili berjalan
mencari tempat duduk, kami terpisah dengan Sabitha, Yudith
dan Vanya, mereka sudah berada dibaris paling depan begitu
antusias dengan dunia perkuliahan.

Aku melihat Ardan, tangannya melambai kearahku,


aku dan Emili segera menghampirinya.

“duduk sini aja.” kata Ardan sambil menepuk bangku


sebelahnya.

Aku hanya mengangguk, di ikuti Emili duduk disebelahku.

Sepuluh menit setelahnya, suara Mikrofon mulai


terdengar, sapaan-sapaan dari para kakak-kakak pembimbing
didepan mulai mengawali pembukaan, acara telah dimulai,
diisi oleh Guru Konseling yang kemudian dilanjutkan oleh
65
para kakak-kakak Mahasiswa dari berbagai macam kampus,
yang menjelaskan berbagai kinerja program dari kampus
masing-masing, aku mulai tertarik untuk mendengarkan.

“kamu mau lanjut kuliah?” tanya Ardan tiba-tiba.

Aku menoleh, tersenyum mengangguk.

“insyaallah.” kataku.

“kamu nggak lanjut emangnya?” tanyaku.

Dia menggelengkan kepala tertunduk.

“mau kerja aja, bantu cari uang, kasian Ibu kalo harus
ngebiayain sekolahku lagi.” katanya.

Aku menangkap raut murung diwajahnya, aku mengusap


tangannya pelan.

“kenapa hei?” tanyaku lembut.

“maaf yaa.”

“lho? Maaf kenapa?”

“aku nggak berpendidikan kayak kamu.”

Aku menatap sorot mata teduhnya. Tersenyum meyakinkan.

66
“aku ga mandang kamu dari segi apapun. Kamu udah ada
sampai detik ini aja aku udah bersyukur banget.” kataku.

Dia menatapku seolah-olah tak yakin dengan jawabanku


barusan. Aku mengangguk.

“nggak papa, nggak harus kuliah, kata Ayah syarat utamanya


harus sholeh.” kataku diiringi tawa.

Dia tersenyum menatapku.

“makasih ya udah mau nerima aku apa adanya.” katanya.

Aku mengangguk dan tersenyum menatapnya.


Pukul 12.45 WIB. Seusai sholat Dzuhur, aku, Sabitha,
Emili, Vanya dan Yudith duduk dipojok kantin, setelah
Sosialisasi tadi kelas XII dibebaskan dari pelajaran hingga jam
pulang tiba, maka kami memutuskan untuk ngumpul dikantin.

“kalian pada mau kuliah?” tanyaku.

Semuanya mengangguk antusias kecuali Emili. Dia memang


tidak berniat untuk lanjut kuliah, dia lebih tertarik mengikut
sertakan diri dalam usaha keluarganya.

67
“rencananya aku mau ke Yogyakarta ikut sepupu aku.” kata
Vanya.

“ehh aku juga ke Yogyakarta lo Nyaa.” sahut Sabitha.


Vanya berbinar menatap Sabitha.

“serius Bith? Nanti kita ngkostnya bareng aja.” ucap Vanya.

“boleh sih.” kata Sabitha.

Aku menatap Yudith.

“kata Ayah suruh disemarang aja biar bisa dipantau sama


Ayah.” kata Yudith lesu.

“ya nggak papa sih Dith, malah enak kalo ada apa-apa bisa
langsung japri Ayah kamu.” sahut Emili.

Aku mengangguk setuju dengan pendapat Emili.

“kamu mau kemana Tha?” tanya Sabitha.

Aku menggeleng.

“belum tau, belum bicara sama Ayah.” kataku.

“ehh, ngomong-ngomong sekarang Bang Ardi kemana Tha?”


tanya Vanya.

“dia kerja di Bandung.” kataku.

68
“Bang Ardi nggak kuliah?”

Aku menggeleng.

“katanya aku yang disuruh kuliah dulu, Bang Ardi mau


biayain kuliahku nanti.” kataku.

Mereka mengangguk-anggukan kepala.


Seusai sholat Magrib dirumah. Aku, Ayah dan Ibu
makan malam bersama, Andin dan Angga sibuk bermain
bedua, sesekali kami tertawa menatap tingkah lucu kedua
adiku itu.

“Ayah aku mau lanjut kuliah ya?” kataku.

Ayah terdiam sejenak, kemudian mengangguk.

“memang harus kuliah.” kata Ayah.

Aku berbinar.

“rencananya kamu mau Ayah kirim ke Jawa Timur, nanti


disana kamu ikut Buk Ning, biar kamu ada yang nghendle.”

“tapi aku pengen ngkost Yahh.” kataku.

69
“iya nanti pasti juga ngkost, kamu ikut Buk Ning ya cuma pas
awal-awal aja itu to, nanti kalo udah dapet kampus yang cocok
baru nyari kost yang deket sama kampus.” sahut Ibu.

Aku mengangguk-anggukan kepala.

“nanti aku mau ambil Sastra ya Yah?” tanyaku.

“kenapa ambil Sastra?” tanya Ayah.

Aku menggeleng.

“yaa biar nggak terlalu berat aja.”

“yo nggak gitu.” sahut Ibu.

“ibu pengennya kamu kuliah yang sekalian bisa buat kerja,


kaya ngambil Administrasi perkantoran nanti bisa ikut kerja
sama Mas Feri, biar nggak sia-sia sekolahnya.” lanjut Ibu.

Aku mengangguk-anggukan kepala.

“kalo Ayah sih terserah kamu aja, yang penting kamu


kuliahnya yang bener, serius, nggak main-main, Ayah sama
Ibu itu bukan orang berpendidikan tapi Ayah dan Ibu pengen
anak-anak Ayah jadi orang berpendidikan.” kata Ayah.

Aku tersenyum mengangguk menanggapi ucapan Ayah.

70
“kalo gitu aku mau ke Teknologi, Informasi dan Komusikasi
aja deh, kalo masuk di TIK kan bakalan kepake juga dibidang
apapun.” kataku.

“itu malah bagus.” kata Ayah.

“pokonya yang terpenting kamu serius belajarnya, Ayah


dukung apapun keputusan kamu.” kata Ayah.


Seperti biasa, Drama Andin dan Angga ketika mau
tidur yaitu, rewel dulu. Harus beginilah, nggak boleh
begitulah, minta ganti bajulah, minta dielus-eluslah, pokoknya
sangat menyebalkan. Malam ini aku tidur ikut mereka, entah
kesambet apa tumben-tumbenan Andin minta tidurnya
dikelonin sama aku. Akhirnya aku tidur ditengah-tengah
antara Andin dan Angga Ibu sebelah Angga mengelus-elus
puncak kepala Angga agar segera tertidur, Andin telah terlelap
dari tadi, mungkin terlalu kelelahan bermain seharian. Ayah
memang tak pernah mau tidur didalam kamar, tak betah
dengan gerah, meskipun dengan kipas yang menyala Ayah
tetap kurang puas, setiap hari Ayah tidur diranjang depan TV,
sendirian, tak mau diganggu siapapun.

71
Aku sedang bermain ponsel, mencari Informasi
tentang kampus-kampus di Jawa Timur, aku tengah
membayangkan betapa serunya menjadi Mahasiswa, dengan
suasana baru, teman baru, tempat tinggal baru, Ahh rasanya
Aku tak sabar menantikannya. Pergi jalan-jalan dengan teman-
teman, menjelajah wilayah-wilayah baru, mengunjungi wisata-
wisata baru, membayangkan saja sudah sangat menyenangkan.

“ngapain Mbak senyum-senyum sendiri?” tegur Ibu.

Aku tertawa.

“ngebayangin jadi Mahasiswa seru ya buk?” tanyaku.

Ibu terdiam seperti memikirkan sesuatu.

“Mbak, kalo Mbak kuliahnya sambil kerja gimana? Keberatan


nggak?” tanya Ibu.

Aku terdiam.

“nanti Mbak kuliahnya ambil kelas Karyawan, biar bisa sambil


Kerja, kan nanti Mbak bisa dapet uang sendiri, jadi Ayah sama
Ibu bisa bantu sedikit-sedikit, ngasih uang semester sama uang
kost gitu, untuk keperluan lain-lain Mbak kan udah punya
uang sendiri.”

72
“kalo harus nanggung semua Ayah sama Ibu terlalu berat
Mbak, bukannya Ibu ngehalangin kamu buat kuliah, tapi Mbak
tau sendirikan gimana kondisi kita? kebutuhan banyak, belum
lagi ketambahan beli susu, beli pempes dan uang jajannya
adek-adek.”

Air mataku menetes.

“Ibu minta maaf, sebenernya Ibu juga pengen banget bisa liat
anak-anak Ibu kuliah, sekolah yang tinggi, tapi ya mau gimana
lagi? Keadaannya lagi susah, Ibu minta maaf ya Mbak.”

Aku terisak, mengangguk pelan.

Hari itu, Malam itu, sirna semua harapan-harapan


yang baru saja ku bangun, aku telah memutuskan untuk
mengubur semuanya dalam-dalam, mengunci dengan rapat
semua keinginanku, keluarga lebih penting, keluarga harus
nomer satu, aku nggak bisa egois. Ayah, Ibu dan Bang Ardi
telah memikirkan masa depanku, kini aku yang harus
mengalah, dan memikirkan masa depan adik-adiku.

73
Profil
Penulis.

74
Ayu Sasalsabila Litsania Rikartanto, anak kedua dari
lima bersaudara, lahir pada tanggal 07 Desember 2005, nggak
suka apapun kecuali Uang. Keinginanya cuma satu, jadi
sumber kabahagiaan untuk keluarganya.

Kunjungi akun Instagram saya. @yesaaaslr_

75

Anda mungkin juga menyukai