Anda di halaman 1dari 2

Di Bingkai Cinta Ibu

Oleh: Latifah Yusri Nasution


Hujan mengguyur kota Medan kala aku teringat pertengkaranku dengan ibu. Malam itu tepat
sehari sebelum keberangkatanku kembali ke Medan, memang hanya masalah sepele, tidak
terlalu besar. Namun, karena dasarnya aku yang tempramen tinggi dan tidak suka kalau ada
orang berkata berulang-ulang, tanpa sadar membentak ibu. Padahal ibu hanya menyuruhku
untuk makan.
“Nak, makanlah dulu” ucap ibu dari dapur kala itu.
Aku yang berada di kamar hanya menjawab seadanya dengan volume sedang, “Nanti saja,
Bu”. Ibu yang mungkin tidak mendengar jawabanku berkata lagi, “Nak, ayo makan. Ibu
sudah memasak makanan kesukaanmu”. Aku kembali menjawab, “Nanti saja Bu, kerjaanku
masih belum selesai”. Namun, ibu mulai bergegas menuju kamarku, dan sekali lagi
mengatakan hal yang sama. Aku yang kala itu memang lagi suntuk, ditambah ibu yang terus
saja mengulang-ulang perkataannya benar-benar membuatku kesal dan mulai menjawab
dengan suara yang keras, “Berapa kali harus kubilang nanti, Bu. Haruskah aku berteriak-
teriak seperti ini agar Ibu dengar? Aku masih punya banyak tugas, jika aku lapar pasti aku
makan”. Emosiku benar-benar berada di puncaknya kala itu.
Ibu berdiri mematung, menatapku tak percaya. Matanya mulai berkaca-kaca dan hanya
hitungan detik bulir airmata membasahi pipinya. Ia mengalah, diam dan meninggalkanku di
kamar dengan rasa bersalah yang besar. Kupandangi punggung ibu kala itu. Bahunya bergetar
menahan isak tangisnya. Sungguh betapa durhakanya aku.
Esoknya saat keberangkatanku, ibu tidak dapat mengantarku. Ada rapat mendadak yang
harus ia hadiri. Entah mengapa hatiku merasa bahwa hal itu hanya untuk menghindar dariku
saja. Itulah yang terus aku rasakan hingga hari ini. hari dimana aku berdiri seorang diri di
bingkai jendela asrama, menatap hujan dan mengenang kesalahanku pada ibu. Andai hujan
ini dapat membawa kata maaf yang telah tertunda beberapa hari ini. Aku pasti tidak
sebersalah ini.
#
Esok paginya tak tahu entah kenapa tiba-tiba badanku menggigil. Namun satu yang aku tahu
pasti, asam lambungku naik karena terlalu banyak pikiran. Ya, asam lambungku berbeda dari
kebanyakan orang. Jika asam lambung kebanyakan orang disebabkan telat makan, asam
lambungku tidak, ia hanya akan naik jika aku banyak pikiran saja.
Karena asam lambungku naik aku tidak dapat pergi kuliah. Hanya ada satu hal yang dapat
aku lakukan. Menelfon ibu. Hanya itu yang terlintas dalam pikiranku. Segera kuraih ponselku
dan kutekan nomor satu, dan telfon mulai terhubung.
“Halo? Ada apa Nak?’ tanya ibu dengan suara tuanya.
“Halo, Bu. Tidak ada apa-apa” jawabku dengan sedikit meringis. Ah, tetapi lihatlah, ibu tahu
aku berbohong dan dia akan selalu tahu jika aku berbohong.
“Apa kau baik-baik saja, Nak? Apa yang terjadi denganmu? Apa yang sakit?” ibu
menyerangku dengan pertanyaan-pertanyaannya. Jelas sekali rasa khawatir tersirat dari nada
suara wanita itu. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan ibu, walau kutahu ibu tak
bisa melihat itu. Sebab tidak mendengar jawabanku ibu berkata, “Sabar ya Nak, nanti Ibu
datang. Kita pergi berobat. Ibu akan segera ke sana”.
#
Tepat pukul delapan malam ibu tiba di asrama. Wajah lelahnya menampakkan betapa tuanya
ia. Namun lihatlah, bukan kelelahannya yang pertama ia perdulikan. Hal pertama yang ia
lakukan setelah sampai adalah menaruh tangannya di atas keningku, merasa tidak ada
masalah di sana tangannya menyentuh bahuku dan bertanya, “Apa yang sakit, Nak?” aku
tidak menjawab pertanyaan itu. Ibu mulai menatapku dengan cemas, dia hendak berkata
tetapi dibatalkannya. Mungkin ia takut bertanya lagi. Dia takut akan kemarahanku jika
nantinya ia bertanya lagi. Aku sadar itu dari sorot mata yang memancarkan keraguannya.
Kuraih tangan ibu. Ku salam dia. Hangat, hangat sekali. Tangan ini membesarkanku selama
20 tahun. Tangan ini selalu sedia saat aku membutuhkannya. Tangan ini yang memberikanku
kekuatan atas segala masalahku.
Kemudian tanganku pindah ke tubuh ibu. Ku peluk ia, tak ingin kulepas. Ah, dimana lagi
kudapati tempat sedamai ini. Ibuku, pemilik pelukan terhangat dan terdamai sedunia.
Awalnya ibu terkejut dengan perbuatanku, dan nampak ragu untuk memelukku. Hingga aku
meraih jemari tangannya dan melingkarkannya pada tubuhku.
“Ibu mengapa ibu tak melihatku saat keberangkatanku? Apa ibu masih marah padaku?”
Sebuah senyuman merekah di bibir ibu. “Mana ada ibu yang tidak ingin melihat anaknya.
Waktu itu ibu benar-benar menghadiri rapat. Maafkan ibu yang tidak sempat
mengantarkanmu”.
“Tidak ibu, bukan ibu yang harusnya meminta maaf. Akulah satu-satunya orang yang berdosa
pada ibu , harusnya saat itu aku langsung meminta maaf pada ibu” ucapku penuh rasa
bersalah.
Ibu menatap wajahku, ia mengangguk. “Seberapa sering pun kau menyakiti Ibu, Ibu akan
selalu memaafkanmu. Tidak ada kesalahan sebesar apapun yang membuat ibu menyimpan
dendam padamu” .
Ah aku lupa. Lihatlah, wanita mana pula yang punya mata sebening mata ibu. Mata yang
begitu tulus dan penuh dengan kasih sayang.
Medan, 25 Februari 2016
Biodata Penulis
Penulis bernama Latifah Yusri Nasution. Lahir di Pinangsori pada tanggal 22 Maret 1996.
Sekarang merupakan seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya, jurusan Sastra Indonesia di
USU, Medan. Menulislah! Sebab dengan menulis segala nasehat dan juga ilmu dapat sampai
kepada pembaca.

Anda mungkin juga menyukai