100%(1)100% menganggap dokumen ini bermanfaat (1 suara)
38 tayangan2 halaman
Cerita ini menceritakan tentang pertengkaran antara narator dengan ibunya akibat narator yang sedang kesal karena ibunya terus mengingatkan untuk makan. Ibunya menangis dan merasa bersalah. Keesokan harinya, narator sakit perut karena terlalu banyak pikiran, dan hanya ibunya yang dapat menenangkannya. Narator akhirnya meminta maaf pada ibunya, dan ibunya dengan tulus memaafkann
Cerita ini menceritakan tentang pertengkaran antara narator dengan ibunya akibat narator yang sedang kesal karena ibunya terus mengingatkan untuk makan. Ibunya menangis dan merasa bersalah. Keesokan harinya, narator sakit perut karena terlalu banyak pikiran, dan hanya ibunya yang dapat menenangkannya. Narator akhirnya meminta maaf pada ibunya, dan ibunya dengan tulus memaafkann
Cerita ini menceritakan tentang pertengkaran antara narator dengan ibunya akibat narator yang sedang kesal karena ibunya terus mengingatkan untuk makan. Ibunya menangis dan merasa bersalah. Keesokan harinya, narator sakit perut karena terlalu banyak pikiran, dan hanya ibunya yang dapat menenangkannya. Narator akhirnya meminta maaf pada ibunya, dan ibunya dengan tulus memaafkann
Hujan mengguyur kota Medan kala aku teringat pertengkaranku dengan ibu. Malam itu tepat sehari sebelum keberangkatanku kembali ke Medan, memang hanya masalah sepele, tidak terlalu besar. Namun, karena dasarnya aku yang tempramen tinggi dan tidak suka kalau ada orang berkata berulang-ulang, tanpa sadar membentak ibu. Padahal ibu hanya menyuruhku untuk makan. “Nak, makanlah dulu” ucap ibu dari dapur kala itu. Aku yang berada di kamar hanya menjawab seadanya dengan volume sedang, “Nanti saja, Bu”. Ibu yang mungkin tidak mendengar jawabanku berkata lagi, “Nak, ayo makan. Ibu sudah memasak makanan kesukaanmu”. Aku kembali menjawab, “Nanti saja Bu, kerjaanku masih belum selesai”. Namun, ibu mulai bergegas menuju kamarku, dan sekali lagi mengatakan hal yang sama. Aku yang kala itu memang lagi suntuk, ditambah ibu yang terus saja mengulang-ulang perkataannya benar-benar membuatku kesal dan mulai menjawab dengan suara yang keras, “Berapa kali harus kubilang nanti, Bu. Haruskah aku berteriak- teriak seperti ini agar Ibu dengar? Aku masih punya banyak tugas, jika aku lapar pasti aku makan”. Emosiku benar-benar berada di puncaknya kala itu. Ibu berdiri mematung, menatapku tak percaya. Matanya mulai berkaca-kaca dan hanya hitungan detik bulir airmata membasahi pipinya. Ia mengalah, diam dan meninggalkanku di kamar dengan rasa bersalah yang besar. Kupandangi punggung ibu kala itu. Bahunya bergetar menahan isak tangisnya. Sungguh betapa durhakanya aku. Esoknya saat keberangkatanku, ibu tidak dapat mengantarku. Ada rapat mendadak yang harus ia hadiri. Entah mengapa hatiku merasa bahwa hal itu hanya untuk menghindar dariku saja. Itulah yang terus aku rasakan hingga hari ini. hari dimana aku berdiri seorang diri di bingkai jendela asrama, menatap hujan dan mengenang kesalahanku pada ibu. Andai hujan ini dapat membawa kata maaf yang telah tertunda beberapa hari ini. Aku pasti tidak sebersalah ini. # Esok paginya tak tahu entah kenapa tiba-tiba badanku menggigil. Namun satu yang aku tahu pasti, asam lambungku naik karena terlalu banyak pikiran. Ya, asam lambungku berbeda dari kebanyakan orang. Jika asam lambung kebanyakan orang disebabkan telat makan, asam lambungku tidak, ia hanya akan naik jika aku banyak pikiran saja. Karena asam lambungku naik aku tidak dapat pergi kuliah. Hanya ada satu hal yang dapat aku lakukan. Menelfon ibu. Hanya itu yang terlintas dalam pikiranku. Segera kuraih ponselku dan kutekan nomor satu, dan telfon mulai terhubung. “Halo? Ada apa Nak?’ tanya ibu dengan suara tuanya. “Halo, Bu. Tidak ada apa-apa” jawabku dengan sedikit meringis. Ah, tetapi lihatlah, ibu tahu aku berbohong dan dia akan selalu tahu jika aku berbohong. “Apa kau baik-baik saja, Nak? Apa yang terjadi denganmu? Apa yang sakit?” ibu menyerangku dengan pertanyaan-pertanyaannya. Jelas sekali rasa khawatir tersirat dari nada suara wanita itu. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan ibu, walau kutahu ibu tak bisa melihat itu. Sebab tidak mendengar jawabanku ibu berkata, “Sabar ya Nak, nanti Ibu datang. Kita pergi berobat. Ibu akan segera ke sana”. # Tepat pukul delapan malam ibu tiba di asrama. Wajah lelahnya menampakkan betapa tuanya ia. Namun lihatlah, bukan kelelahannya yang pertama ia perdulikan. Hal pertama yang ia lakukan setelah sampai adalah menaruh tangannya di atas keningku, merasa tidak ada masalah di sana tangannya menyentuh bahuku dan bertanya, “Apa yang sakit, Nak?” aku tidak menjawab pertanyaan itu. Ibu mulai menatapku dengan cemas, dia hendak berkata tetapi dibatalkannya. Mungkin ia takut bertanya lagi. Dia takut akan kemarahanku jika nantinya ia bertanya lagi. Aku sadar itu dari sorot mata yang memancarkan keraguannya. Kuraih tangan ibu. Ku salam dia. Hangat, hangat sekali. Tangan ini membesarkanku selama 20 tahun. Tangan ini selalu sedia saat aku membutuhkannya. Tangan ini yang memberikanku kekuatan atas segala masalahku. Kemudian tanganku pindah ke tubuh ibu. Ku peluk ia, tak ingin kulepas. Ah, dimana lagi kudapati tempat sedamai ini. Ibuku, pemilik pelukan terhangat dan terdamai sedunia. Awalnya ibu terkejut dengan perbuatanku, dan nampak ragu untuk memelukku. Hingga aku meraih jemari tangannya dan melingkarkannya pada tubuhku. “Ibu mengapa ibu tak melihatku saat keberangkatanku? Apa ibu masih marah padaku?” Sebuah senyuman merekah di bibir ibu. “Mana ada ibu yang tidak ingin melihat anaknya. Waktu itu ibu benar-benar menghadiri rapat. Maafkan ibu yang tidak sempat mengantarkanmu”. “Tidak ibu, bukan ibu yang harusnya meminta maaf. Akulah satu-satunya orang yang berdosa pada ibu , harusnya saat itu aku langsung meminta maaf pada ibu” ucapku penuh rasa bersalah. Ibu menatap wajahku, ia mengangguk. “Seberapa sering pun kau menyakiti Ibu, Ibu akan selalu memaafkanmu. Tidak ada kesalahan sebesar apapun yang membuat ibu menyimpan dendam padamu” . Ah aku lupa. Lihatlah, wanita mana pula yang punya mata sebening mata ibu. Mata yang begitu tulus dan penuh dengan kasih sayang. Medan, 25 Februari 2016 Biodata Penulis Penulis bernama Latifah Yusri Nasution. Lahir di Pinangsori pada tanggal 22 Maret 1996. Sekarang merupakan seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya, jurusan Sastra Indonesia di USU, Medan. Menulislah! Sebab dengan menulis segala nasehat dan juga ilmu dapat sampai kepada pembaca.