Anda di halaman 1dari 12

Waktu Yang Berharga

Cerpen Karangan: Tasya Aulya R.


Kategori: Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 27 September 2018

Kosong.
Kutatap nanar apa yang ada di hadapanku saat ini. Tak kuhiraukan rasa dingin yang mulai menelusup
sampai ke tulangku. Duniaku seakan terpusat pada satu titik saat ini, yaitu apa yang ada di
hadapanku. Seiring dengan tubuhku yang dipeluk oleh setengah duniaku, tubuhku luruh di dalamnya,
di dalam kesedihan yang kurasa akan abadi saat melihat setengah duniaku yang lain terbaring tak
berdaya tak jauh di hadapanku.

“Nak, pulanglah, Nak, apa kamu tidak rindu pada Ibumu ini? Tidakkah kau rindu… pada Ayahmu?”
Aku berhenti mengetik di laptopku lalu memandang keluar jendela kantorku begitu percakapan
singkatku dengan Ibu melintas sekilas di otakku. Sedetik kemudian kata-kata yang belum bisa aku
jawab itu kembali berputar-putar seakan menuntut jawabku.
Tidakkah kau rindu pada Ayahmu?
Rindu… Ya, aku rindu pada dirinya, tapi egoku ini terlalu tinggi untuk terang-terangan mengakuinya.
Egoku ini masih tinggi untuk mengakui bahwa sesukses apapun aku sekarang, aku sempat melakukan
kesalahan pada Ayah, kesalahan yang tak pernah aku sesali sampai sekarang.

Pulang…
Satu-satunya kata yang jarang sekali terbersit di pikiranku semenjak hari itu. Aneh sekali rasanya
ketika memikirkan bahkan mengatakan kata itu. Kata yang selalu aku sangkal dengan berbagai alasan
untuk mencegah Ibu merengek dan memaksaku untuk mengiyakan keinginannya. Keinginannya agar
aku cepat pulang.
Tapi sepertinya, sudah waktunya raga ini untuk kembali ke tubuhnya. Kembali ke asalnya, kembali
utuh dengan keluarganya, dengan dunianya. Karena meskipun berjuta kali aku menyangkal, aku tetap
rindu untuk pulang. Untuk kembali ke dekapan hangat Ibu, untuk kembali merasakan enaknya cita
rasa masakan Ibu, untuk kembali bercengkerama sembari berbagi kehangatan kala hujan, untuk
kembali… merasakan genggaman erat tangan Ayah ketika aku menjabat tangannya.

Ya, Aku rindu, Bu, Yah…


Tunggu, Bu, Yah, sebentar lagi kalian akan melihat anakmu ini.
Sebentar lagi aku akan kembali bisa memeluku erat, melihat kembali senyum ramahmu secara
langsung, mendengar merdunya suaramu, Bu…
Sebentar lagi aku akan kembali bisa melihat tegasnya raut wajahmu, gagahnya tubuhmu, beratnya
suaramu, serta kepulan asap rokok yang tak pernah lepas dari bibirmu, Yah…
Sebentar lagi aku akan bisa meminta maaf langsung pada kalian, terutama padamu, Yah, atas
kesalahanku lima tahun lalu… kesalahan yang tak pernah kusesalkan namun aku tahu di dalam
hatimu, Yah, masih tersimpan sedikit kekecewaan atas keputusanku selama ini. Iya, Yah, aku tahu…
dan aku akan meminta maaf atas hal itu.

Jika aku bisa mengambil waktuku kembali yang telah kuhabiskan untuk mencapai apa yang aku
inginkan di dunia, saat ini, aku akan langsung mengambilnya tanpa berpikir dua kali.
Menghabiskannya kembali untuk berbagai hal yang lain. Menghabiskannya kembali untuk melalukan
apa yang Ayahku inginkan. Karena sungguh, melihatnya terbaring saat ini dengan berbagai alat di
tubuhnya, membuatku merasa untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir, menyesal atas
keputusan yang telah aku ambil.
Siang ini ketika aku tiba di rumah aku dikejutkan dengan keadaan rumah yang kosong. Aku sengaja
tidak memberikan kabar pada Ibu serta Ayahku bahwa aku akan pulang hari ini karena aku ingin
memberikan kejutan pada mereka, terutama pada Ayah karena hari ini adalah hari ulang tahunnya.
Akhirnya aku memutuskan menelepon Ibu. Dering kedua beliau mengangkatnya. Senyum langsung
mengembang di wajahku dan kusapa beliau dengan nada yang begitu riang, mengatakan padanya
bahwa saat ini anaknya yang begitu mereka sayangi sudah berdiri di depan rumah dan siap menanti
kepulangan mereka.

Namun, yang kudengar bukan tawa bahagia dari Ibu melainkan tangis yang makin lama semakin
kencang. Aku yang kebingungan hanya bisa bertanya apa yang telah terjadi. Duniaku seakan berhenti
bergerak menanti Ibu mengatakan sesuatu. Dan detik berikutnya, duniaku bukan hanya sekedar
berhenti bergerak, namun kiamat kecil sepertinya baru saja terjadi di duniaku setelah Ibu menjawab
pertanyaanku.

“Nak, kamu segera ke rumah sakit Cahya Hati, ya, Ayahmu baru saja masuk rumah sakit,
jantungnya… jantungnya kambuh, Nak…”
Jika Tuhan dapat menghukum hamba-Nya dengan berbagai cara, mungkin dengan cara seperti inilah
Tuhan menghukumku, membuatku menyesali segala keputusan yang sudah aku ambil selama lima
tahun ini…

Dingin.
Hanya itu yang aku rasakan begitu memasuki ruangan Ayah dirawat. Kakiku semakin bergetar seiring
dengan langkahku yang semakin dekat dengan ranjangnya. Air mataku sudah mengalir tanpa bisa aku
kendalikan. Aku berhenti beberapa langkah, tak kuat kakiku melangkah lagi untuk membunuh jarak
antara diriku dengan Ayah.

Wajah Ayah tak terlihat karena terlalu banyak alat yang dipasang di dada serta wajahnya. Menutupi
wajahnya yang tampan, menyembunyikan tubuhnya yang gagah. Dokter bilang bahwa jantung Ayah
sudah tidak berfungsi secara maksimal lagi dan alat-alat di tubuhnyalah yang membantunya hidup
sampai detik ini. Aku hanya bisa memejamkan mataku, membiarkan air mataku tumpah tanpa
berusaha lagi ku cegah untuk keluar.

Sewaktu aku tiba di rumah sakit, Ibu langsung menyambutku dengan pelukan, namun bukan senyum
yang menyertai pelukan hangatnya, tapi derai air mata yang tak henti keluar sampai saat ini serta
isakan yang semakin menghancurkan hatiku.
“Maafkan Bagus, Bu, maafkan Bagus, karena Bagus Ayah jadi seperti ini…” ucapku pelan sambil
memandang Ibuku dengan tatapan penuh penyesalan.

Ibuku tersenyum, matanya sudah bengkak karena telalu banyak menangis. Aku semakin sedih ketika
menyadari keriput-keriput kecil yang mulai menghiasi wajahnya, kulitnya yang tak semulus dulu,
rambutnya yang mulai memutih, dan badannya yang seakan-akan bisa jatuh kapan saja.

“Ibu sudah memaafkanmu, Nak, sejak dulu, tanpa harus kamu berkata-kata dulu pada Ibu, sama
seperti Ayah…”
Genggaman tangan Ibu semakin erat ketika menyebutkan kata Ayah. “Ayahmu… Ibu yakin Ayah
sudah memaafkanmu, sama seperti Ibu. Begitulah orangtua, Nak, memaafkan anak-anak mereka
bahkan sebelum anak-anak mereka memintanya,”
“Ayah tidak mengizinkanmu untuk bekerja di luar negeri karena beliau tidak ingin terlalu jauh darimu,
Nak, karena dia tahu penyakit jantungnya bisa kambuh kapan saja dan dapat membawanya pergi
kapan saja, tapi Ayah tidak ingin membebani pikiranmu, maka dari itu Ayah menutupinya dan terus
menerus memintamu mencari pekerjaan lain di dalam negeri, agar Ayah bisa menghabiskan sisa
waktunya bersamamu, anak lelaki kesayangannya, kebanggaannya,”
“Maafkan Ibu yang telah menutupi semuanya sama kamu, ya, Nak, maafkan Ibu…”
Kupeluk Ibu sangat erat. Semakin erat pelukanku semakin kencang pula tangisku. Aku tidak peduli
pada tatap setiap orang yang melewatiku dan Ibuku, yang kupedulikan saat ini adalah terus
memanjatkan doa agar Ayah cepat membuka matanya, cepat kembali sehat seperti sedia kala, agar
aku bisa mengganti setiap detik waktu yang aku habiskan untuk mencapai keinginanku di dunia untuk
aku habiskan bersama Ayah yang jelas lebih pantas untuk mendapatkannya.

“Ibu…”
Suara seorang perempuan membuatku melonggarkan pelukan pada Ibuku. Ternyata seorang suster
sudah berdiri di depanku dan Ibuku, dia tersenyum manis sambil mengatakan sesuatu yang
membuatku memintanya untuk mengulang apa yang baru saja dia katakan.
“Bapak Farhan sudah sadar, kondisi beliau sekarang sudah mulai stabil.”

Detik selanjutnya yang aku tahu aku sudah berlari menuju kamar Ayah, sangat ingin menjadi orang
pertama yang dilihatnya ketika dirinya membuka mata, menjadi orang pertama yang menyapanya
penuh rindu, dan menjadi orang pertama yang mendekapnya begitu erat. Mendekapnya dengan
hangatnya janjiku untuk selalu berada di sampingnya.
Takkan jauh lagi raga ini dari setengah dunianya, karena raga ini tahu, kesempatan kedua untuk
bersama setengah dunianya yang lain, takkan dia dapatkan di lain waktu.

Cerpen Karangan: Imuk Yingjun


Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Mengharukan, Cerpen Pengorbanan
Lolos moderasi pada: 29 April 2013

Aku hanya memanggilmu ayah


Di saat ku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu ayah
Jika aku t’lah jauh darimu

“Bagaimana, keadaanya Dokter?”


“Alhamdulillah, mulai ada perkembangan. Tapi, usahakan beliau tidak di ganggu dengan pikiran-
pikiran dan juga kenangan masa lalu. Khususnya, hal-hal yang berbau traumatik dengan kecelakaan
itu…”
“Baik, Dokter.”
“Oh ya, saya tunggu Anda di ruangan saya. Ada hal serius yang perlu kita bicarakan. Berkaitan
dengan ayah Anda…”
“Insya Allah, secepatnya saya akan kesana, Dokter.”
“Kalau begitu, saya permisi. Nanti suster Maria dan Suster Santi yang akan menjaga ayah Anda
secara bergantian bila perlu…”
“Oh, begitu. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, Dokter.”
“Sama-sama.”

Perempuan muda ahli kesehatan itu pun lenyap di balik pintu. Ku tatap wajah pendar seorang lelaki
yang lagi terbaring di atas tilam. Ayahku. Matanya terpejam. Raut mukanya pucat, tirus, tampak
mengiba. Wajahnya tetap bersih, menunjukkan kewibawaan dan kharismatika seorang lelaki
pengampu pendidikan sekolah dasar. Usianya bisa di lihat dari puluhan uban yang tercuntai disela-
sela rambut hitamnya. Senyumnya tertahan dalam ketidak sadarannya saat ini. Hela nafasku
mengisyaratkan betapa aku harus bersabar demi membuktikan, bahwa aku sangat menyayangi dan
begitu dalam peduli padanya. Tak lagi kuingat apa yang pernah ia abaikan dariku. Tak lagi aku
mempertimbangkan segala ketidak adilannya terhadap kami yang tak terhitung waktu itu. Tak
mungkin juga aku meminta waktu untuk mengulang kembali, agar ia –waktu yang sia-sia itu–
membuktikan kalau dia –ayahku– menyesal telah pernah menganggapku tak ada. Semua hanya
kenangan yang tak perlu di ingat-ingat kembali meski tak mudah di lenyapkan dari ingatan. Bagiku,
apapun yang telah terjadi. Dia tetap ayahku.
“Lihat, Ayah. Di kelas, Andri dapat juara dua…” ayah tersenyum padaku sekedarnya. Lalu secepat ia
mau melirik raport kedua saudaraku. Dika dan Dikta.

“Wah, Dika juara satu. Dan Dikta, juara tiga. Kalian berdua memang hebat!” ayah tersenyum bahagia
merangkul kedua saudaraku. Mataku berbinar bahagia berharap ayah juga sudi merangkulku. Cukup
lama aku mematung dengan sebuah senyuman yang lama kelamaan aku rasa memudar dengan
sendirinya. Ku telan ludahku tercekat. Seolah bola tenis tersangkut di tenggorokanku.

Aku duduk menatap kedua saudaraku, tersenyum berharap ayah akan memujiku. Tapi aku tertegun.
Waktu itu tak ubahnya hanyalah sebuah mimpi indahku yang belum menjadi kenyataan. Aku
bersabar. Mungkin ayah akan memelukku nanti, setelah selesai dengan kedua kakak-kakakku yang
memang lebih banyak punya kelebihan dari pada aku dalam segala hal.

“Ayah, Dikta mau di belikan sepatu baru…” rengek kakakku yang mirip orang bule itu. Matanya binar
menatap wajah ayah. Aku tersenyum.

“Hmmm, boleh!”

“Kalau aku, Ayah. Aku mau di belikan tas baru…”

“Oke. Besok kita kepasar. Kalian bisa memilih apa yang kalian inginkan. Sebagai kado atas prestasi
kalian…”

“Horeeeee….” kedua saudaraku sungguh girang. Meski aku tak menyebut apa yang aku inginkan.
Entah kenapa aku turut girang ketika kedua kakakku itu melompat-lompat di atas sofa tempat ayah
duduk memegangi koran kesayangannya. Kedua kakakku berlarian kekamar. Ku beranikan diri
mendekat dan berharap ayah mau mengabulkan permintaanku seperti keinginan Dikta dan Dika.
Meski aku tahu kecewa selalu menjadi jawaban di akhir setiap harapanku. Tapi, saat itu entah kenapa,
aku percaya ayah mau melihatku walau sesaat. Meski hanya sekali itu saja. Hati kecilku berbisik
bahwa aku juga akan mendapat hak sama dengan si kembar itu.

“Ayah. Andri dapat juara dua…” ku sodorkan raportku meski dengan suara lirih demi berharap ayah
mau peduli barang sesaat. Setidaknya dia mau melihat tak ada satupun angka merah di urutan nilai
akademikku. Ayah diam. Dia membalikkan koran dan memperbaiki kacamatanya ketempat semula.
Hatiku bertasbih.

“Ayah. Aku juga ingin ikut kepasar…” ayahku masih diam. Seolah ia tidak mendengar. Hatiku kembali
bertasbih. Tapi duri beracun sudah mencekik leherku.

“Ayah, mau aku buatkan kopi?” rayuanku tak berhasil memalingkan wajahnya dari selembar kertas
penuh tulisan dan kabar. Aku bertasbih berkali-kali. Kini, lumpur hitam menarik tubuhku. Aku terseret
kedalam masa pahit dan getir. Lebih pahit dan getir kala lidahku menelan sari brantawali.

“Oh, ayah lagi capai yah. Maaf ya Ayah, Andri mengganggu…”

Dari kejauhan aku mendengar seseorang memanggil namaku. Mataku menangkap Mak Marni
melambaikan tangan. Dia tersenyum memintaku segera mendekatinya. Ku tatap wajah ayah
seksama. Pertanyaan menggunung pecah dan tumpah ruah di hadapannya. Tak ada jawaban kenapa
betah ia mendiamkanku. Kembali Mak Marni memanggil. Ku tatap ayah lekat. Alisnya mengatup.
Keningnya berkenyit. Konsentrasi?

Tuhan, Kau di langit tidak buta. Kau di Arsy tidak tuli. Katakan dan bisikan pada ayah. Aku
menyanginya. Mak marni memanggilku lagi. Dia berharap aku mendekatinya segera.

“Ayah, Andri permisi ke dapur, ya. Besok, Andri ingin ikut ayah kepasar…”

“Hmmm…!” hanya itu balasan yang ia berikan untukku. Subhanallah. Dadaku yang terbakar seolah
disirami embun pagi. Jiwaku yang kering dan retak seakan mekar bersemi ketika air mata langit
menyiramiku demi mendengar deheman seorang ayah yang sekian lama dingin padaku. Aku
tersenyum girang. Lalu berjalan tercepuk menuju dapur dengan senyum terindah. Senyum legawa
penuh keleluasaan. Sesakku dibawa angin malam. Sesalku di timpa hujan petang.

***

“Ada penyakit aneh yang mendera ayah Anda. Seperti gangguan fungsi kerja otak dan bagian
sarafnya. Itu bisa mengacu dan menyebabkan penyakit parkinson…” ketus dokter Erwina sontak
membelalakkan mataku. Telingaku berdenging kacau. Tidak mungkin hatiku tak ketar ketir saat itu.
Orang yang kucintai akan cacat saraf.

“Ada hal yang kiranya menambat hati keluarga kami, Dokter…?” perempuan berkemeja putih itu
mengangguk. Aku lega.

“Jalan satu-satunya, buatlah ayah Anda bahagia. Jangan biarkan ia terus menerus larut dalam
kesedihan dan masa lalunya yang saya rasa bagian dari faktor penyebab traumatik yang semakin
menganggu jiwanya. Apalagi kecelakaan itu, sungguh semakin membuatnya trauma. Sorot matanya
seolah berkata seperti itu. Ayah Anda, butuh ketenangan hati dan kebahagiaan jiwa. Dia butuh
kenangan masa lalunya yang bahagia hadir kembali melingkari hati dan hari-harinya. Saya rasa, Anda
tahu apa-apa saja yang mampu membuat ayah Anda bahagia ‘kan…?”

Aku tercenung.

“Saya usahakan, Dokter…”

“Sebaiknya begitu!”
***

Ku ambil layang-layang Dikta yang tersangkut di atas dahan kecapi. Dari pada telingaku pecah
mendengar perintah otoriternya sejak terik mulai menjerit diatas kepala. Dika duduk sambil
mengibaskan karton yang entah dari mana bisa bersarang ditangannya.

“Sudah, belum?! Lama nian…” pekik Dikta dari bawah. Dika turut mencibir. Aku menjinjit demi meraih
benang gelas yang tercuntai-cintai di hempas angin. Sesaat hendak kuraih tali itu melayang jauh.
Begitu sejam lamanya. Uratku mau putus.

“Aih, kenapa lama nian, Andri. Bilang saja tak bisa…!” Dikta semakin memekik. Peluhku deras terjun
ke bumi. Persendianku gemetar menahan ranting yang nyaris retak. Angin kejam tak peduli dengan
tubuh kurusku.

Aku melompat kebawah sesaat setelah layang-layang sialan itu ku jatuhkan pelan kearah Dikta.
Kedua saudara siamku itu berlari menuju ke teras rumah. Sesekali aku berjingkrak garang kala
angkrang-angkrang nakal mencium kulitku. Aih, sakitnya.

Bagai tak tahu dibalas budi. Bagai air susu dibalas air tuba. Bagai nila setitik merusak susu sebelanga.
Bagai selipar tak berwarna. Aku tergagu menatap siraman rohani ayah tercinta. Kenapa aku juga yang
salah? Bukankah aku yang telah berjasa? Kenapa pula aku yang kena getahnya? Padahal tak seiris
nangka manis tercicip dimulutku. Tuhan, apa itu keadilan?

“Kalau nggak boleh pinjam layang-layang Dikta. Jangan di koyak. Pantang itu…” kelakar Ayah dengan
wajah padam. Raut itu membuat hatiku menjerit. Bukalah matamu ayah.

“Aku tidak mengoyaknya, Ayah. Sumpah!” Dikta dan Dika tersenyum menjulurkan lidah. Sehebat
penipu, Dikta memasang wajah iba membuat siapa yang melihat tersenyuh. Muka pendusta. Maka
kerak nerakalah yang cocok buatnya.

“Lihatlah, kau membuat Dikta menangis. Minta maaf padanya…”

Aku terdiam. Darahku mendidih melihat Dikta yang tersenyum menjengkelkan.

“Minta maaf! Cepat!” aku tersentak. Oh ayahanda. Lihat perangai anakmu itu. Dia pendusta.

“Tapi aku tak salah, Ayah!” sebutir air mataku jatuh. Aku tertunduk.

“Besok tidak usah kau ikut Ayah ke pasar. Di rumah saja?! Mau?!” wajah Ayah berpaling ke halaman
rumah. Sebuah ekspresi tak nyaman di pandang dan membuat tekanan batin sekaligus ancaman
manjur yang tidak mungkin terelak lagi. Orang Arab bilang. Hijran Majhura. Hatiku dongkol. Dua
saudaraku itu selalu begitu. Kenapa banyak setan berwujud manusia!

“Andri! Ayah juga tak suka kamu mengambil karton milik orang lain. Tadi, Pak Cik Rafli, menegur
Ayah. Sekarang, kau belikan karton baru. Lalu taruh dimeja anak Pak Cik Rafli segera, karton itu buat
tugas sekolahnya. Sekarang kau pergi ambil uang Ayah. Lekas belikan di toko Maimunah…”
Simalakama. Kedua kalinya bibirku menjerit di dalam hati memecahkan pembuluh darah. Tulangku
gemeletuk. Tuhan, berdosakah aku jika menyesali telah terlahir dan hidup didunia ini? Dika berlari
masuk kedalam rumah.

***

“Maaf, Pak Andri. Untuk biaya operasi kurang lebih sembilan belas juta rupiah. Biaya obat-obatan
empat juta rupiah. Ruang ICU dan lainnya empat juta rupiah. Di tambah biaya…”
Administrator di Rumah Sakit ini menjelaskan detail semua jumlah biaya perawatan ayah selama
menginap di sini. Sebulan di ruang VIP ibarat memelihara lintah penghisap keringatku. Aku harap
tabungan dan simpananku di rumah cukup melunasi semuanya.

“Semuanya empat puluh dua juta rupiah.”

Gleeek! Dahiku berkenyit. Pikiran dan hatiku kompak dalam urusan kali ini. Uangku tak cukup.

“Inysa Allah, nanti saya lunasi.” Meski hatiku ketar ketir.

“Terima kasih, Pak Andri.”

Aku terpaksa meminta bantuan. Tak ada jalan lain.

“Kak…” aku menghubungi Dikta. Dengan agak malas ia menjawab.

“Sudah agak baikan…!

Kalau di gabung sama tabungan Andri, perlu dua belas juta lebih, itupun Andri sudah keluarkan
semua deposito, asuransi, sama pinjam uang koperasi kantor.

Ya, saya berharap Kak Dikta atau Kak Dika berkenan membantu.

Lagi kosong?

Ya sudah, nanti Andri coba pinjam ke teman.

Ya, kak. Walaikum salam.”

Aku lemas duduk di kursi tunggu. Mataku berkunang-kunang saat hatiku panas dingin bercampur
limbung. Aku masuk mendekati ayah. Beliau masih terbaring dengan mata menatap jendela kaca.
Sinar mentari senja meneduhkan hati dan pikiranku. Ku paksakan senyum ikhlas membelai bibirku
menyambut pandangan ayah untukku. Agaknya ia terkejut.

“Ma-mana. Di-dikta? Di-dika?” segera aku berlari mencegah agar ayah tak banyak bergerak.

“Kata dokter, Ayah mesti banyak istirahat. Jangan bergerak dulu. Operasi ginjal kemarin masih belum
kering.” aku pun menyodorkan setetes demi setetes air mineral dan ku suapi ayah dengan hati-hati.
Hatiku bungah saat ayah bersedia menjamu suapanku. Oh, dunia. Lihatlah ayahku. Dia peduli padaku.

“Ma-mana. Dikta. Mana, Di-dika?” lirihnya di paksakan. Aku tercenung. Harus menjawab apa.

“Ke-kenapa di-diam…?” sambungnya kesal. Hatiku melebur.

“Kak Dikta lagi ada tugas di Bandung. Kalau Kak Andri, masih ada magang privat di Makassar.”

“Pa-panggil mereka. A-aku ri-rindu me-mereka…” ia menangis.

“Barusan Andri telfon Kak Dikta. Dia titip salam buat Ayah. Insya Allah, lusa mereka datang…”

***

“Nah, Dikta mau tas yang mana?” tanya ayah ramah.


“Hmmm…!” sepertinya aku akan seperti Dikta kalau di suruh memilih pilihan yang tak mudah di pilih.
Dikta memilih tas warna hitam. Ayah memilihkan model yang bagus dan keren. Lalu, Dikta juga di
belikan sepatu. Begitu juga Dika. Di belikan tas dan juga sepatu.

“Ayah…” aku menarik pergelangan tangan kanan ayah. Dia menolehku sesaat.

“Andri, kamu pilih yang mana saja yang kamu suka yah, nanti biar Mak Marni yang bantuin nyari…”
kelakar ayah seraya memberi isyarat Mak Marni. Meski masih SD. Aku tahu. Ayah tak punya waktu
untukku, tidak dengan kedua kakakku. Mereka berjalan ke outlet pakaian. Aku berdiri di sebelah
estalase menatap mereka yang berlalu tak peduli padaku.

“Andri…” tegur Mak Marni membuatku sadar, kalau sebenarnya ada orang yang sayang dan peduli
padaku.

“Ini, Mak pilihkan sepatu bagus untukmu…” perempuan itu lagi-lagi menitikkan air mata. Aku
tersenyum meski hatiku kecewa. Aku tahu posisiku kala itu. Tak ada kastaku diantara mereka. Ayah
dan kedua kakakku lepas dalam canda di outlet tak jauh dari kios sepatu tempatku termangu.
Sesekali aku berharap ayah memanggil dan memintaku bergabung dengan mereka. Mak Marni belum
berhenti menangis. Bahkan aku melihat tangisnya semakin sesengukkan saat melihatku yang
tersenyum tapi hatiku membisu. Mak Marni yang tahu isi hatiku. Mak Marni yang lebih peduli dan
sayang padaku. Andai ibu tak meninggal waktu itu. Pasti aku akan bergabung bersamanya, bersama
mereka.

“Mak, kenapa menangis?” tanyaku agak heran dengan kebiasaan Mak Marni itu. Dia semakin pecah
dalam raungnya.

“Mak, sa-sayang, Andri…” kembali dia menangis. Penjaga toko masih bingung dan heran melihat
kami. Mak Marni memelukku.

“Andri juga sayang, Mak Marni…”

***

Dua hari ini kondisi ayah drop. Aku berinisiatif membawa ayah kembali kerumah sakit. Tidak peduli
biaya. Tidak peduli tenaga. Aku ingin ayah kembali sehat. Tersenyum. Bersama keluarga.

“Kamu pikir biaya rumah sakit itu murah, Ndri? Apalagi untuk pengobatan macam penyakit Ayah.
Tidak mungkin sehari dua hari ayah langsung sehat. Kalau sampai berbulan-bulan kayak kemarin?!”
tukas Dikta agak kesal. Sementara Dika. Cuek. Hatiku terenyuh melihat kondisi ayah yang sedang
terpekur dalam harapannya. Naluriku tak ingin dicegah. Ayah harus di bawa kerumah sakit.

“Kita ‘kan bisa sama-sama bergotong royong membiayai pengobatan ayah. Lagian, uang pensiunan
bulanan ayah cukup membantu kita…” jelasku berharap kedua sadaraku setuju.

“Kamu enak Ndri, masih single. Aku harus membiayai anak dan istriku. Begitu juga Dika. Kalau aku
lajang seperti kamu. Aku pasti bantulah…” Dikta duduk di sofa tak jauh dariku.

“Terus, kita akan biarkan ayah seperti ini?”

Hening. Kami mencari solusi terbaik demi kesehatan ayah. Tak ada jawaban selama dua jam lebih.
Senja memisahkan kami. Dikta pulang ke rumahnya. Dika juga. Tanpa sengaja aku melihat ayah
meneteskan air mata dalam lelapanya.

***
Aku duduk di tepi ranjang ayah. Beliau sudah siuman sehari yang lalu. Alhamdulillah kondisinya
membaik. Sudah lancar bicara. Sudah pandai menggerakan tangan. Lihai tersenyum kala gurauan
dokter mengelus bibirnya.

“Mereka, mana?” ayah menatapku dalam. Aku diam. Tak perlu ku jelaskan hal tak penting itu
padanya.

“Andri. Kakak-kakakmu, mana?”

Aku diam.

“Mereka sedang bekerja ayah…” kataku akhirnya.

“Bisa, kau telfon barang sebentar? Ayah rindu Dikta dan Dika. Rindu cucu-cucuku…”

Cukup lama ayah berbincang ria dengan kedua kakakku bergantian. Entah kenapa wajah ayah
tertegun dan air matanya pecah. Ayah menangis. Apa yang membuatnya menangis?

“Kenapa, Ayah menangis?”

Dia diam. Air matanya terus meleleh. Ia meletakkan selulerku di atas ranjang. Memejamkan mata dan
seolah tak menghiraukanku. Aku tau dia tak mau di ganggu. Biarlah ia lepas dalam tangisnya. Kelak
aku akan tahu apa penyebabnya.

***

Di depan seluler aku duduk menghadap kamera. Bernyanyi sebuah lagu dan memainkan gitar
sebisaku. Jenuh menyambar hati dan pikiranku. Ku rebahkan tubuh di atas ranjang seiring mengingat
kata-kata ayah yang entah kenapa terasa begitu menyesakkan dadaku.

“Memang kau yang harus betanggung jawab! Gara-gara kamu aku masuk rumah sakit. Gara-gara
kamu ibumu juga meninggal. Kau tahu kalau kau itu anak sial! Pembawa petaka. Seharusnya kau
sadar. Kenapa aku bersikap dingin padamu. Mikir!!!”

Air mataku meleleh.

“Apa yang harus aku banggakan dari seorang pembunuh sepertimu. Jika kau tidak kekeh waktu itu
mengajak aku, dan ibumu juga kakak-kakakmu ke pantai. Ibumu tak akan mati. Ngerti kamu?!”

Hatiku tersayat sembilu.

“Jangan kau pikir, semua kebaikanmu akan membuatku luluh. Tidak. Aku tidak akan lupa dengan
semua kejadian itu. Dari kecil, kau sudah merepotkan. Sampai sekarang. Kau juga masih
merepotkan…”

Tangisku pecah.

“Maafkan, Andri. Ayah!”

“Keluar kau dari sini!” bentaknya membuatku kaget. Aku mengiba agar ayah tak memantapkan
niatnya.
“Cepat keluar!” bentak ayah keras sehingga Mak Marni meminta pengertianku. Dia memanggil
perawat dan memberi ayah obat penenang.

“Andri, sayang ayah…” kelakarku lalu pamit dan langsung pulang kerumah.

***

Engkaulah nafasku

Yang menjaga di dalam hidupku

Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik

Kau tak pernah lelah

S’bagai penopang dalam hidupku

Kau berikan aku semua yang terindah

Aku hanya memanggilmu ayah

Di saat ku kehilangan arah

Aku hanya mengingatmu ayah

Jika aku t’lah jauh darimu

Tak ada hal yang paling menyedihkan dalam hidup ketika orang yang kita cintai menolak untuk
ditemui. Tak ada penyembuh luka ratusan tahun lamanya seandainya seorang yang kita harapkan
sekecap saja ucapan penyejuk hati darinya terlontar barang sekecap. Bahkan, ayah melarang Mak
Marni untuk membukakan pintu kamarnya buatku. Ayah akan sedih jika melihatku ada di dekatnya.
Ayah akan trauma jika aku duduk disebelahnya. Ayah akan berontak jika aku menunjukkan wajah
dihadapannya. Masa lalu yang kelam, seolah mengejar dan terus menerornya. Oh Tuhan, kenapa
dengan ayahku ini?

Aku menangis karena tak ada satupun orang, terutama kedua saudaraku yang menjadi kebanggaan
ayah selama ini untuk mencarikan pendonor ginjalnya yang kedua. Dika tak bersedia. Dikta tak kuasa.
Aku, tak di terima. Ayah kritis. Mak Marni menangis. Kedua kakakku berlinang air mata buaya. Hati
tedalam mereka berdoa, agar si tua bangka nan bau lemah kuburan itu segera tiada, agar tak
menganggu mereka, tak mengacau keluarga mereka. Oh Tuhan, betapa kejam mereka membalas
pekerti ayah yang sangat menyanyangi mereka. Diatas sajadah biru lusuh aku bersimbah air mata.
Agar jalan itu segera terbuka. Biarlah aku mati dalam derita, asal ayah tertap bahagia. Dunia tak
penting buatku. Dunia hanya persinggahan buatku. Akhirat. Disana ibu menunggu. Ku titipkan surat
buat Mak Marni. Aku memeluknya dan mengcuap maaf atas salah dan khilafku yang selama ini tak
senonoh dalam senda sehari-hariku padanya. Mak Marni tak rela aku menjauh. Mak Marni mengaduh
ketika aku bersikukuh. Mak Marni bersumpah demi Tuhan yang meninggikan langit dan
membentangkan bumi. Bahwa ia sangat mencintaiku dan tak ingin aku enyah dari keluarga. Tapi apa
daya. Aku tak berkenan dihati orang yang kuharap cintanya. Aku tak tampak dipandangan orang yang
kusanjung wibawanya. Aku sampah. Tak bertuan. Tidak bernilai. Layaknya aku terkubur hangus
dalam kesengsaraan. Meredam luka yang telah lama membusuk dan melebur bersama amuba di
lubang penderitaan. Selamanya. Kutitip salamku buat ayah. Semoga bingkisanku, tak membuatnya
murka.

***
Kepada ayahanda tercinta…

Selayang salam kasih ku tabur di hadapanmu

Sembah baktiku tak terperi dalam sujudku

Setiap malam aku berdoa

Agar Dia mau mengabulkan sebuah doa

Doa seorang anak yang terluka batinnya

Dan mungkin akan mati, dalam merana

Ayah, tak mengerti aku apa yang telah menjadi tabiat keduamu selama ibu tiada. Agaknya kau
sungguh marah dan murka. Tapi aku manusia. Tak punya maksud berdosa. Bahkan macan pun tak
akan memakan anaknya saat lapar menjerat perutnya yang kering setahun berpuasa. Tapi kenapa
takdir Tuhan kau anggap petaka. Aku tak tahu apa yang ada di benakmu, Ayahanda.

Kalau engkau marah padaku atas musibah ibunda dan dirimu, aku terima. Tapi apa Ayahanda lupa,
Tuhan telah lihai menulis ketetapan ketika dunia belum ada? Apa Ayah lupa sebagai pengampu
berwibawa? Bahwa rukun iman keenam cukuplah menjadi jawaban atas sikapku pada Ayahanda
sekian lama ini. Maka pada itu, menjerit aku di tengah sahara mencoba mengejarmu Ayahanda.
Berharap kau bersedia aku peluk walau hanya sedetik saja. Cukup sedetik Ayahanda. Kiranya itu
melepas puluhan tahun kesepianku akan rindu kasihmu.

Tak akan lama ku berucap diatas goresan kertas dan air mata ini. Takut belum selesai kau baca sudah
menjadi sampah isi hatiku ini. Maka aku hanya berucap. Tak ada satupun yang mampu
memberikanmu bahagia atas apa yang telah kusemaikan sebaik mungkin dihadapanmu. Tapi, jika hati
dan cintaku tak kau terima juga. Biarlah aku pergi entah kemana. Mungkin, setelah aku enyah dan itu
membuatmu bahagia. Aku akan melakukannya. Baru kusadari kau menangis kala itu, ketika anak-
anak yang kau banggakan tak berkenan menjengukmu sebab alasan sibuk. Padahal aku rela
kehilangan mata rezeki asal kau lekas sembuh. Apa yang kurang dariku Ayah?

Ayahnda…

Aku sangat mencintaimu. Tak pernah aku mengumpat barang setitik pun pada Tuhan atas sikapmu
padaku. Kau tetap ayahku.

Ayahanda…

Demi Allah yang Maha Mulia. Aku iklhas kau anggap tak ada selama ini. Demi Allah yang Maha
Pengampun atas dosa makhluk-Nya. Aku akan terus mendoakanmu sampai aku mati, dan mungkin
aku sudah mati saat Ayahanda membaca surat ini. Demi Allah yang menyayangi hamba-hamba-Nya di
muka bumi, aku ingin kau meridhoi jalanku. Karena sehebat apapun aku melangkah dimuka bumi.
Tuhan akan memurkaiku jika kau murka. Aku mohon Ayah. Maafkan salahku. Maafkan khilafku. Aku
sayang padamu. Sepanjang waktu. Kau, tetap ayahku.

Salam kasih dari anak yang rindu senyummu.

Andrianto

***

Anda mungkin juga menyukai