Anda di halaman 1dari 7

Salah satu teknologi yang berperan penting sebagai penopang

terbesar pemanfaatan energi dalam rumah tangga adalah kompor.


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kompor didefinisikan sebagai
perapian untuk memasak yang menggunakan minyak tanah, gas, atau
listrik sebagai bahan bakar. Adapun di Indonesia, pada umumnya
masyarakatnya menggunakan kompor berbahan bakar minyak tanah dan
LPG untuk memasak. Kompor minyak tanah dan kompor LPG memiliki
keunggulan dalam hal efisiensi yang tinggi, emisi yang bersih, aplikasi
yang praktis, dan desain kompor yang modern sehingga banyak
digunakan oleh masyarakat di negara-negara berkembang. Akan tetapi,
bahan bakar kompor- kompor tersebut merupakan produk pengolahan
minyak bumi dan gas alam yang notabenenya merupakan bahan bakar
fosil. Bahan bakar fosil termasuk sumber energi tak terbarukan sehingga
penggunaan bahan bakar kompor tidak dapat selamanya bergantung
pada bahan bakar tersebut. Apalagi, bahan bakar fosil tidak hanya
digunakan untuk kebutuhan bahan bakar kompor saja.
Adapun persediaan bahan bakar fosil yang dimiliki oleh Indonesia, khususnya untuk
minyak bumi, sudah tidak mampu mencukupi kebutuhan penduduknya yang amat
bergantung terhadap BBM sebagai sumber energi. Menurut www.kamase.com,
berdasarkan laporan Department of Energy (DOE) Amerika Serikat pada Oktober 2005,
Indonesia sebenarnya sudah menjadi net- importer bahan bakar minyak bumi sejak tahun
2004.
Selain itu, pemenuhan kebutuhan LPG nasional tersebut pun
sebenarnya belum dapat disediakan oleh pemerintah sepenuhnya dari
kilang gas dan minyak yang dimiliki oleh Indonesia. Hal ini disebabkan
oleh jumlah permintaan LPG yang lebih besar daripada jumlah
penawarannya. Dengan demikian, pemerintah

masih harus melakukan impor LPG untuk memenuhi kebutuhan LPG


nasional tersebut, dimana pada tahun 2007 saja impor LPG telah
mencapai angka 50.193 metrik ton (IISD, n.d.).
Berdasarkan kondisi yang telah diuraikan tersebut, Indonesia
memerlukan suatu energi alternatif terbarukan yang ketersediaannya
besar di Indonesia untuk menggantikan bahan bakar fosil tersebut,
misalnya biomassa. Energi biomassa adalah energi hijau dan merupakan
sumber energi yang potensial di Indonesia (Kong, 2010). Berdasarkan
informasi dari www.energiterbarukan.net, Indonesia diestimasi
memproduksi 146,7 juta ton biomassa/tahun yang dapat disetarakan
dengan sekitar 470 GJ/tahun.
Sebagai Negara Agraris, Indonesia memiliki potensi bahan baku biomassa yang tinggi
dan mudah diperoleh, terutama yang berasal dari limbah pertanian. Bagas sebagai salah
satu biomassa yang berasal dari limbah pertanian, memiliki potensi yang cukup besar di
Indonesia. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia tahun 2002
pada www.menlh.go.id, potensi bagas nasional yang dapat tersedia dari jumlah seluruh
luas tanaman tebu mencapai 39.539.944 ton per tahun. Potensi bagas yang cukup besar
tersebut menunjukkan bagas amat potensial dan tersedia secara ekonomis untuk
dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif di Indonesia.
Meskipun persediaan biomassa yang dimiliki oleh Indonesia
sangat melimpah, tetapi kompor biomassa yang ada saat ini masih
memiliki efisiensi termal yang rendah dan emisi CO yang tinggi sebagai
indikasi terjadinya pembakaran yang tidak sempurna (Smith, 2000a,
Bhattacharya, 2000). Seperti telah diketahui, kandungan karbon yang
tinggi memang merupakan karakteristik dari bahan bakar padat
dibandingkan bahan bakar non padat (Handayani, 2009). Berdasarkan
data WHO (World Health Organization) 2007, jumlah populasi
penduduk Indonesia yang menggunakan bahan bakar padat sebesar
72% dari

217.131 jumlah penduduk Indonesia dan kematian per tahun akibat dari
polusi udara di dalam ruangan tertutup mencapai 15.300 jiwa (Colbeck,
2010). Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar gas CO yang
melebihi ambang batas di atmosfer mampu menyebabkan hemoglobin
dalam darah cenderung mengikat CO dibandingkan O2 sehingga
beracun bagi tubuh dan mampu menyebabkan kematian. Oleh
karena itu, perlu ditemukan suatu solusi untuk mengembangkan kompor
biomassa beremisi gas CO rendah sehingga permasalahan energi
nasional tentang ketersediaan bahan bakar fosil yang semakin menipis
dan bahaya polusi udara dalam ruangan terhadap kesehatan penduduk
Indonesia dapat diatasi.
Salah satu kompor gas-biomassa yang telah dirancang adalah
Wood-Gas Turbo Stove atau yang dikenal dengan Reed’s Wood-Gas
Campstove. Kompor tersebut memiliki efisiensi termal lebih besar dari
30% dan mampu menekan emisi gas CO yang tinggi hingga konsentrasi
gas CO pada ketinggian 80 cm di atas kompor mencapai 22 ppm. Pada
Wood-Gas Turbo Stove, aliran udara primer dan sekunder bergerak
secara konveksi alami pada rancangan awal, sedangkan pada rancangan
terbarunya, aliran udara primer dan sekunder bergerak secara konveksi
paksa namun daya berasal dari penggunaan satu fan yang sama (Reed,
et al., 2000).
Kemudian, SPRERI Gasifier Stove, kompor gas-biomassa yang
telah dievaluasi performanya dengan menggunakan biomassa dari jarak
pagar. Kompor tersebut mencapai efisiensi termal sebesar 31,10%, dan
emisi gas CO sekitar 3-6 ppm yang diukur dengan jarak 1 m dari
ketinggian kompor (Panwar, 2010).
Lalu, Anderson merancang Champion T-LUD ND (Natural Draft) Stove
yang memanfaatkan konveksi alami, baik untuk aliran udara primer
maupun udara sekunder. Kompor tersebut menghasilkan emisi gas CO
sebesar 3,5 g/L (Roth, 2011).
Adapun kompor-kompor gas-biomassa tersebut menggunakan
prinsip Inverted Down Draft (IDD) atau Top-Lit Up Draft (T-LUD)
Gasifier. Prinsip ini pada dasarnya adalah memproduksi gas-gas yang
dapat terbakar, terutama gas CO dan asap hidrokarbon, melalui proses
pirolisis pada suhu tinggi (udara primer yang diperlukan dalam jumlah
terbatas) untuk selanjutnya seluruh gas tersebut dibakar sempurna di
bagian atas dengan udara sekunder berlebih sehingga dihasilkan emisi
yang bersih. Jadi, bahan bakar dinyalakan mulai dari bagian atas
kompor sehingga timbul api di bagian atas (top lit). Api pada penyalaan
awal tersebut akan memicu pelet pada lapisan paling atas untuk
mengeluarkan volatile matter karena menerima panas dari api secara
radiasi dan konveksi. Volatile matter yang keluar terus-menerus dari
biomassa tersebut menghalangi oksigen (oksigen disuplai dari aliran
udara primer yang bergerak ke atas) untuk berpenetrasi ke partikel
biomassa sehingga terjadilah pirolisis yang memproduksi gas-gas
pirolisis dan panas. Panas tersebut akhirnya membentuk api pirolisis di
sekitar partikel pelet biomassa ketika oksigen berpeluang berpenetrasi
ke partikel pelet biomassa. Zona dimana api pirolisis berada itulah yang
disebut dengan zona flaming pyrolisis. Posisi zona ini bergerak turun,
sementara bahan bakar tetap (fixed bed). Dengan demikian, api pirolisis
tersebut akan bergerak ke bawah dan terus-menerus menyebabkan
biomassa mengeluarkan volatile matter-nya hingga habis dan hanya
tersisa char-nya saja. Sedangkan volatile matter yang keluar dari
biomassa tersebut selanjutnya akan bergerak ke atas, sama seperti aliran
udara primer (up draft), untuk dibakar dengan udara sekunder (Roth,
2011).

Meskipun kompor-kompor dengan prinsip Top-Lit Up Draft (T-


LUD) Gasifier tersebut sudah cukup berhasil dalam menurunkan emisi
gas CO, dimana masih termasuk batas emisi gas CO yang
diperbolehkan dalam atmosfer oleh Kementerian Tenaga Kerja
Republik Indonesia sebesar 25 ppm (Supramono, 2009), namun masih
memiliki beberapa kekurangan. Kekurangannya ialah terutama pada
masalah pergerakan aliran udara, optimasi teknik pembakaran, dan
karakteristik dari bahan bakar biomassa yang dipergunakan. Pada
beberapa kompor gas-biomassa seperti Wood-Gas Turbo Stove,
pencampuran gas-udara (turbulensi) masih kurang baik sehingga
menimbulkan warna kuning pada api. Hal ini mungkin disebabkan oleh
aliran udara yang bergerak secara konveksi alami sehingga amat
bergantung pada aliran udara di lingkungan sekitarnya, dan pengaturan
udara primer dan sekunder belum dilakukan secara independen dari dua
sumber daya yang berbeda. Selain itu, masih ada char yang ikut
terbakar yang menandakan bahwa flaming pyrolisis dan glowing
pyrolisis terjadi pada waktu yang beririsan. Sedangkan masalah
karakteristik biomassa, yaitu mengenai optimasi dengan biomassa yang
tepat (kandungan volatile matter tinggi) yang belum dilakukan terhadap
kompor (Reed, et al., 2000) dan penggunaan biomassa dari jarak pagar
yang memiliki kadar keabuan tinggi pada SPRERI Gasifier Sove
sehingga menimbulkan masalah tingginya emisi partikulat (Panwar,
2010).

Berdasarkan peluang yang tersedia tersebut, maka penelitian ini


dilakukan terutama untuk mengembangkan rancangan kompor gas-
biomassa guna memperbaiki kelemahan kompor gas-biomassa yang
sudah ada dan mengoptimasi performa kompor dengan memilih
biomassa yang memiliki kandungan volatile matter tinggi (sesuai
dengan prinsip perancangan kompor), seperti bagas. Tujuannya ialah
untuk memperoleh kompor dengan nyala api biru seperti kompor LPG
dengan parameter yang digunakan adalah emisi gas CO yang serendah
mungkin. Oleh karena itu, dapat dirancang kompor gas-biomassa baru
dengan menggunakan prinsip serupa, yakni prinsip Top-Lit Up Draft (T-
LUD) Gasifier, dimana desain kompor yang menjadi acuan utama
adalah desain Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier yang merupakan
kompor gas-biomassa pertama yang dinilai mampu menghasilkan nyala
api biru secara konsisten dan memiliki emisi yang rendah. Selain itu,
kompor gas-biomassa tersebut harus dirancang dengan udara
devolatilisasi (udara primer) dan udara pembakaran (udara sekunder)
mengalir secara konveksi paksa menggunakan blower yang independen
agar gasifikasi yang dicapai dapat lebih sempurna lagi sehingga dapat
menghasilkan nyala api biru. Adapun timbulnya warna biru pada nyala
api disebabkan oleh adanya radikal CH dan C2 yang tereksitasi. Radikal-
radikal yang tereksitasi tersebut mengemisikan gelombang
elektromagnetik, dimana CH dan C2 mengemisikan gelombang hijau
dan biru (Ballester, & Armingol, 2010).
Dengan prinsip Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier, maka emisi gas CO kompor dapat
dikurangi hingga konsentrasi sangat rendah dan mampu menghasilkan nyala api berwarna
biru yang dapat disetarakan dengan kompor LPG yang sekarang banyak digunakan.
Dengan demikian, kompor gas-biomassa dapat dikatakan sebagai interface antara kompor
biomassa dan kompor LPG.
Rumusan Masalah
Masalah yang dirumuskan untuk diselesaikan dalam penelitian
yang akan dilakukan, antara lain:
 desain kompor gas-biomassa dengan prinsip Inverted Down Draft
(IDD) atau Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier yang mampu
meminimasi emisi gas CO sehingga mampu menghasilkan nyala
api biru, dan
mencapai performa kompor yang optimum dari kompor gas-biomassa melalui
penggunaan bahan bakar pelet biomassa dari limbah bagas yang memiliki
kandungan volatile matter tinggi.

BAB
2 TINJAUAN
PUSTAKA

Biomassa
Definisi Biomassa dan Pelet Biomassa
Biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang berasal
dari derivat ternak maupun tumbuhan (dapat ditanam ulang) dan dikenal
sebagai energi hijau (Kong, 2010). Biomassa merupakan istilah yang
digunakan untuk berbagai jenis bahan organik dalam bentuk padat yang
dapat digunakan sebagai bahan bakar, seperti kayu, arang, kotoran
hewan, limbah pertanian, dan limbah padat lainnya yang dapat
terbiodegradasi (Fisafarani, 2010).
Pelet telah diproduksi sejak seabad yang lalu dengan
menggunakan panas dan tekanan sehingga pelet berbentuk silindris,
dapat diproduksi dari berbagai macam materi untuk tujuan yang
berbeda-beda. Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan pelet adalah
densitasnya yang maksimal sekitar 40 lbs/ft3, mengalir seperti cairan
dan ideal dipergunakan untuk sistem yang otomatis, dapat digunakan
pada kompor dan boiler, dapat digunakan dalam aplikasi berskala kecil
maupun besar, mudah untuk ditangani, disimpan, dan ditransportasikan,
serta meningkatkan karakteristik pembakaran dari bahan baku yang
dipergunakan (www.pelheat.com). Penampilan fisik pelet biomassa
dapat dilihat pada Gambar
di bawah ini.

Peletisasi biomassa merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan


penanganan, transportasi, pengubahan yang lebih mudah, dan penyimpanan
sewaktu-waktu (Erlich, 2005). Untuk menghasilkan pelet biomassa yang
memiliki kualitas yang baik, tahapan prosesnya dideskripsikan dalam skema
pada Gambar
sebagai berikut:

Dalam penelitian ini, biomassa yang digunakan adalah 100%


biomassa yang berasal dari limbah bagas dan karakterisasi utama yang
dilihat ialah kandungan volatile matter yang tinggi (karena volatile
matter dari biomassa tersebutlah yang menjadi bahan bakar dari kompor
gas-biomassa yang dirancang). Untuk digunakan sebagai bahan bakar,
limbah bagas dikompakkan dalam bentuk pelet. Menurut hasil
penelitian yang dilakukan oleh Erlich (2005) dengan membandingkan
antara pelet bagas berdiameter 6 mm dan 12 mm, semakin besar ukuran
diameter pelet bagas maka semakin tinggi tingkat kerapuhan dan
semakin tinggi char yang dihasilkan. Char yang tinggi akan membentuk
lapisan tebal pada char zone sehingga mencegah udara atau gas untuk
melewatinya.

Anda mungkin juga menyukai