Di Amerika Serikat, sekitar 2.500 MW listrik dihasilkan setiap tahunnya dari 35 juta ton
sampah (17% dari total sampah yang dihasilkan). Lebih dari 80% volume sampah di
Denmark dan 60% di Jepang juga diproses di fasilitas WTE. Akibat pola pikir ini
pemerintah maupun masyarakat mau menangani sampah secara maksimal.
Cara kerja ini mirip dengan sistem thermal biasa (PLTU) hanya saja sumber panas diganti
dari pembakaran bahan bakar fosil menjadi dari pembakaransampah. Dengan kapasitas
penerimaan 740 ton sampah per hari atau sepertiga dari sampah yang dihasilkan di
Kabupaten Bandung, sebuah PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) dapat menghasilkan
listrik sebesar 168.977 MWh/tahun dengan kapasitas daya 21 MW. Jumlah ini sama
dengan kebutuhan rata-rata 57 ribu rumah tangga per tahun.
Teknologi ini pun mampu mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 165.404 ton
ekuivalen CO2 yang sama dengan emisi dari penggunaan 30.294 mobil bila dibandingkan
energi dari PLTU batu bara.
Pembangunan diestimasi membutuhkan lahan seluas 14 hektar, dengan biaya awal sekitar
Rp 332 miliar dan biaya operasional tahunan Rp 74 miliar.
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
(PLTSa)