Anda di halaman 1dari 11

7.

Konversi Limbah Ke Energi


Sampah, permasalahannya tidak (atau belum) pernah terselesaikan di Indonesia. Masalah
ini menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Sempat viral dengan ditemukannya seekor penyu
laut yang terluka akibat sebatang sampah sedotan masuk di hidungnya, dan akhirnya membuka
mata banyak pihak bahwa kita sedang berada dalam posisi darurat sampah. Data bulan Agustus
2018 menyebutkan, Jakarta sendiri saja memproduksi sampah sebanyak 7.000 ton sampah, setiap
hari (Sumber). Sekitar 2000 ton diantaranya adalah sampah plastik. Tentu kondisi ini cukup
mengkhawatirkan! Lalu tahukah Anda, jika sebuah pembangkit listrik tenaga sampah mampu
memproduksi listrik sebanyak 400 MWh per hari hanya dari 660 ton sampah? Itu artinya satu
hari sampah dari Jakarta saja senilai dengan listrik sebanyak 4000 MWh. Dan jika dalam sehari
Jakarta membutuhkan pasokan listrik rata-rata sebanyak 120.000 MWh (Sumber), maka sampah
tadi akan mampu menghemat energi fosil sebanyak 3%.
Angka yang sedikit nampaknya, tapi jika dikonversikan dengan harga batubara bulan
Agustus 2018 (US$ 107/ton; Sumber), dan asumsi bahwa setiap produksi listrik 600 MWh
membutuhkan batubara sebanyak 290 ton, maka 3% tersebut senilai dengan US$ 205.000 per
hari. Angka yang cukup fantastis!Lalu bagaimana cara mengubah sampah menjadi listrik?Proses
mengubah sampah menjadi listrik dan energi yang bermanfaat lainnya biasa dikenal dengan
proses Waste-to-Energy (WtE). Dikenal ada beberapa teknologi yang bisa digunakan untuk
mengubah sampah menjadi energi. Dan berikut diantaranya:
1.Insinerasi (Incineration)
Insinerasi adalah sebuah proses pembakaran bahan-bahan organik yang terkandung di
dalam material sampah. Insinerasi dan proses-proses lain yang melibatkan temperatur tinggi
termasuk ke dalam proses Konversi WtE Termo-Kimia.Proses insinerasi sampah menghasilkan
tiga produk utama yaitu abu, gas buang, dan energi panas. Abu hasil pembakaran sampah pada
insinerator (alat insinerasi) biasanya berupa material anorganik yang sering berwujud jelaga
padat atau partikel-partikel kecil yang ikut terbawa gas buang. Partikel-partikel abu tersebut
harus ditangkap oleh sistem khusus agar tidak mencemari atmosfer.
Gas buang sendiri banyak mengandung karbon dioksida dan beberapa molekul lain yang
dengan kemajuan teknologi dapat diminimalisir jumlah pembuangannya ke atmosfer. Sedangkan
energi panas hasil pembakaran insinerator dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Pada
industri modern, energi panas ini langsung dipergunakan untuk sumber panas Pembangkit Listrik
Tenaga Sampah (PLTSa).
Insinerator mampu mengurangi berat sampah 80 hingga 85%, dan volume sampah 95-
96%, bergantung dari kandungan material logam di dalam sampah.Selain itu, limbah jelaga
insinerator terbukti bermanfaat untuk digunakan sebagai bahan baku jalan raya pengganti aspal.
Bahkan banyak pihak mengakui kualitas aspal dari jelaga insinerator memiliki kualitas lebih baik
dari aspal konvensional.Sempat saya singgung di atas bahwa energi panas dari sampah dapat
langsung digunakan untuk menghasilkan uap air superheat sebagai penggerak turbin uap pada
pembangkit listrik. Diketahui setiap ton sampah memiliki kandungan energi yang mampu
menghasilkan energi listrik sebanyak 2/3 MWh per hari, dan energi panas untuk kebutuhan
pemanas air di sebuah area pemukiman senilai 2 MWh juga per harinya. Maka jika sebuah
insinerator memiliki kapasitas 660 ton sampah, ia mampu menghasilkan listrik sebanyak 400
MWh per hari.

2.Pirolisis
Pirolisis adalah sebuah proses dekomposisi material dengan jalan menaikkan temperatur
secara bertahap pada kondisi atmosfer bebas oksigen (inert). Umumnya proses pirolisis diawali
pada temperatur 350°C–550°C dan terus naik hingga 700°C–800°C dalam kondisi bebas
udara/oksigen.
Setiap proses pirolisis sampah harus diawali dengan tahap persiapan yakni pemisahan
bahan-bahan logam, kaca, dan proses inerting untuk menghilangkan kandungan oksigen di
atmosfer sekitar sampah. Selanjutnya material sampah yang sudah bersih tadi dimasukkan ke
reaktor pirolisis untuk kemudian dipanaskan secara bertahap dalam kondisi bebas oksigen.Proses
pirolisis sampah menghasilkan tiga produk utama yaitu gas dengan nilai kalor tinggi (syngas),
biofuel, dan endapan padat (char).
Hasil proses pirolisis akan cenderung lebih banyak endapan padat ketika akhir proses
pirolisis hanya mencapai temperatur di bawah angka 450°C, dengan laju kenaikan temperatur
rendah. Sedangkan akan banyak menghasilkan syngas ketika temperatur akhir proses di atas
800°C dan laju kenaikan temperatur cepat. Namun rata-rata proses pirolisis dibuat di temperatur
intermediate dengan laju kenaikan temperatur tinggi agar dapat menghasilkan bahan jadi minyak
alami (biofuel).

3.Depolimerisasi Termal
Depolimerisasi termal pada sampah adalah proses pirolisis hidro untuk memecah polimer
kompleks organik sampah menjadi minyak mentah ringan. Proses ini mampu memecah sampah-
sampah biomas hingga plastik yang tersusun atas polimer rantai panjang karbon, hidrogen, dan
oksigen, menjadi minyak mentah hidrokarbon rantai-pendek dengan jumlah maksimum 18
rangkaian atom karbon.
Proses depolimerisasi termal diawali dengan pencacahan sampah menjadi potongan-
potongan kecil, dan mencampurnya dengan air jika sampah tersebut kering. Kemudian bahan
baku ini dimasukkan ke sebuah tungku bertekanan untuk kemudian dipanaskan pada suhu 250°C
dengan volume konstan. Proses yang mirip dengan panci presto ini akan mendidihkan campuran
sehingga uap di dalamnya bertekanan 4 MPa. Proses ini ditahan selama 15 menit hingga semua
uap air terbuang dan menghasilkan sebuah campuran hidrokarbon mentah dan mineral
padat.Setelah menyingkirkan mineral-mineral padat dari campuran tadi, proses selanjutnya
adalah memanaskan kembali hidrokarbon mentah di temperatur 500°C. Proses ini bertujuan
untuk memecah rantai-rantai hidrokarbon yang masih panjang. Hasil akhir dari proses ini mirip
dengan struktur minyak mentah, sehingga proses distilisasi yang sama dapat digunakan untuk
memecah kembali campuran ke komponen-komponen penyusunnya.Changin World
Technologies, sebuah perusahaan energi swasta, mengklaim mampu melakukan poses
depolimerisasi termal ini dengan tingkat efisiensi mencapai 80 hingga 85%. Itu artinya hanya
dibutuhkan sekitar 15 hingga 20% sejumlah minyak mentah hasil pemrosesan depolimerisasi
termal ini, untuk menjalankan keseluruhan proses.Keunggulan dari proses depolimerisasi termal
ini adalah kemampuan prosesnya untuk memecah bahan-bahan beracun pada sampah, untuk ikut
berubah menjadi minyak mentah. Selain itu, proses depolimerisasi termal yang justru
membutuhkan sampah dengan kondisi basah, maka sampah yang cenderung lembab tidak akan
mengurangi angka efisiensi proses.
Hal ini berbeda dengan proses insinerasi yang justru kelembaban sampah akan
menurunkan efisiensi proses insinerasi, karena kelembaban akan menyerap panas pembakaran
sampah dan mengurangi jumlah energi panas yang dihasilkan.Satu kelemahan dari proses
depolimerisasi termal adalah ketidakmampuannya untuk memroses molekul-molekul
hidrokarbon rantai pendek seperti metana yang banyak terkandung di sampah. Namun gas
metana ini akan ikut terbakar untuk ikut memanaskan air pada proses depolimerisasi termal.

4.Gasifikasi
Gasifikasi adalah proses pemanasan material-material organik berbasis karbon, menjadi
karbon monoksida, hidrogen, dan karbon dioksida. Proses ini menggunakan panas tinggi di atas
700°C, tanpa terjadi proses pembakaran, dan mereaksikan material-material organik dengan
sejumlah oksigen dan/atau uap air terkontrol. Produk dari proses gasifikasi biasa disebut dengan
syngas (synthetic gas) yang merupakan bahan bakar daur ulang ramah lingkungan.

Beberapa Teknik Gasifikasi

Kelebihan dari proses gasifikasi ini adalah produk syngas yang dihasilkan memiliki nilai
kalor yang lebih tinggi daripada jika sampah langsung digunakan sebagai bahan bakar. Hal ini
karena syngas yang tersusun atas gas hidrogen (H2) dan karbon monoksida (CO) terbakar di
temperatur yang lebih tinggi daripada sampah.Namun satu sisi negatif dari proses gasifikasi
adalah produk sampingan yang bersifat korosif yakni abu klorida dan potasium. Sehingga
dibutuhkan perlakuan khusus agar limbah tersebut tidak mencemari lingkungan.

5.Gasifikasi Plasma
Gasifikasi Plasma adalah sebuah perlakuan panas ekstrim gasifikasi yang menggunakan
plasma untuk mengonversikan material organik menjadi syngas berupa hidrogen dan karbon
monoksida.Proses ini menggunakan alat las plasma dengan sumber energi listrik, serta elektroda
yang dapat berupa tembaga, tungsten, hafnium, atau juga zirconium. Selain itu dibutuhkan pula
gas inert yang dapat berupa argon jika ukuran plasma kecil hingga gas nitrogen jika plasma
berukuran besar.
Gas inert bertekanan dilewatkan ke plasma las yang dapat mencapai temperatur 2.200
hingga 13.900°C, sehingga terionisasi. Gas panas terionisasi tersebut selanjutnya digunakan
untuk memanaskan material-material sampah, sehingga material-material tersebut meleleh dan
menguap. Uap inilah yang menjadi hasil proses gasifikasi plasma, dengan hasil sampingan
berupa bahan-bahan yang tidak menguap namun meleleh menjadi semacam jelaga yang dapat
berupa kaca, keramik, atau material logam.Proses WtE tipe ini memiliki kelebihan utama yakni
mampu mendegradasi berbagai material sampah berbahaya seperti sampah medis, racun, dan lain
sebagainya, dengan sangat ramah lingkungan. Namun demikian sistem ini tidak terlalu banyak
digunakan karena prosesnya yang kadang hanya menghasilkan energi nett sedikit, atau bahkan
negatif.

6.Penguraian Anaerobik (Anaerobik Digestion)


Penguraian anaerobik sampah adalah sebuah proses penguraian material sampah biomas
menggunakan mikroorganisme di lingkungan yang bebas oksigen. Proses yang juga kita kenal
dengan istilah biogas ini dan beberapa proses selanjutnya, masuk ke dalam kategori proses
Konversi WtE Bio-Kimia karena selain tidak membutuhkan energi panas dari luar seperti pada
proses-proses WtE sebelumnya, juga melibatkan proses biologis di dalamnya.
Pengolahan biogas diawali dengan proses hidrolisis bakteri pada material input. Proses
ini bertujuan untuk memecah material organik polimer yang tidak mudah larut, seperti
karbohidrat misalnya, menjadi unsur-unsur turunan yang mudah larut (seperti gula dan asam
amino) sehingga mudah diproses oleh bakteri lain.Selanjutnya bakteri asidogenik mengubah gula
dan asam amino tadi menjadi asam asetik dan unsur-unsur lain termauk karbon dioksida,
hidrogen, dan amonia. Terakhir, organisme-organisme metanogen akan mengubah unsur-unsur
tadi menjadi ga metana dan karbon dioksida. Gas metana inilah yang bisa dimanfaatkan lebih
lanjut menjadi bahan bakar bermanfaat.Sistem pengolahan WtE ini hanya cocok digunakan
untuk mengolah bahan-bahan sampah organik seperti kotoran ternak, manusia, dan lain
sebagainya.
Oleh karena itulah sudah sering kita temui sistem-sistem biogas di berbagai area
peternakan untuk memanfaatkan gas metana tersebut menjadi bahan bakar kompor dapur. Tak
hanya itu, hasil sampingan dari proses biogas ini yakni endapan-endapan proses dapat digunakan
sebagai pupuk kandang dengan kualitas yang sangat baik.

7.Fermentasi
Proses fermentasi tentu tidak lagi asing bagi kita. Proses ini dapat kita manfaatkan juga
untuk mengonversikan sampah menjadi sumber energi.Sebuah jurnal hasil penelitian
Muhammad Waqas dan rekan-rekannya (Research Gate, 2018), menyebutkan bahwa sampah
makanan dapat diolah agar menjadi asam laktat, etanol, biogas, biohidrogen, dan asam lemak
volatil. Sampah makanan sangat kaya akan kandungan protein, karbohidrat, minyak, mineral,
serta lemak yang sangat potensial untuk diolah menjadi sumber-sumber energi terbarukan di
atas.Namun demikian proses WtE ini masih belum banyak digunakan. Masih menurut penelitian
yang sama, hal ini dikarenakan masih banyak tantangan dan penelitian yang intens untuk
mengembangkan konsep WtE ini. Campur tangan pemerintah untuk mendukung teknologi ini
juga sangat diperlukan.

8.Penangkapan Landfill Gas


Sebuah fakta menarik menyebutkan bahwa gas metana, gas yang sudah Anda ketahui
mudah terbakar, ternyata menghasilkan efek rumah kaca (global warming) yang dua puluh lima
kali lebih kuat daripada gas karbon dioksida. Dan tahukah Anda bahwa satu juta ton sampah
rumah yang terkumpul di sebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA), mampu menghasilkan 1,7-
2,5 juta m3 gas metana (Sumber).

Gas metana yang secara alami terbentuk tersebut tentu sangat bermanfaat jika bisa
dikelola dengan baik. Maka dari itu dibuatlah sebuah teknologi untuk menangkap gas-gas alami
dari tumpukan sampah di TPA tersebut, sehingga gas metana dapat dimanfaatkan secara
maksimal.Kelebihan dari metode ini adalah nilai investasi yang tidak terlalu mahal jika
dibandingkan dengan metode WtE lainnya. Namun tentu saja karena metode ini tidak
menghilangkan wujud sampah itu sendiri, maka timbunan sampah yang ada masih akan ada
ditempatnya jika tidak diolah lebih lanjut seperti pada proses WtE lainnya.Selain itu, dibutuhkan
waktu tunggu satu hingga dua tahun sejak sampah baru ditumpuk, agar menghasilkan gas metana
yang bisa ditangkap.

9.Sel Bahan Bakar Mikroba (Microbial Fuel Cell/MFC)


Sel bahan bakar mikroba adalah sebuah sistem bio-kimia terkatalis yang mampu
mempoduksi arus listrik dengan jalan mengoksidasi material organik biodegradable
menggunakan bakteri atau enzim tertentu.
MFC tersusun atas dua ruangan yang masing-masing ditempatkan anoda dan katode,
dengan sebuah sekat membran pertukaran proton yang memisahkan dua ruangan tersebut. Ruang
anoda biasanya dijaga agar tidak terekspos oksigen, sedangkan ruang katoda dapat terekspos
dengan udara luar atau terendam di larutan aerobik.Ruang anoda yang bebas oksigen berisi
larutan organik (yang bisa berasal dari sampah organik). Ketika mikroba mengoksidasi larutan
tersebut, proses oksidasi yang terjadi akan menghasilkan gas karbon dioksida, elektron, serta
proton. Elektron akan mengalir melewati anoda, melintasi rangkaian listrik eksternal, dan
berakhir di katoda. Sedangkan proton akan melewati membran pertukaran proton menuju katoda
di ruangan lain, lalu berkombinasi dengan oksigen membentuk air.
Alat WtE ini hanya cocok diaplikasikan untuk skala kecil saja. Misalnya diterapkan di
lokasi yang jika harus menggunakan baterai konvensional memakan biaya yang mahal atau
justru menimbulkan bahaya. Salah satu contoh adalah ketika dibutuhkan sebuah sumber energi
listrik untuk menghidupi sebuah sensor korosi pada pipa pasokan gas alam lepas pantai, maka
alat ini sangat cocok digunakan.

10.Esterifikasi
Esterifikasi adalah proses reaksi kimia antara zat trigliserida (lemak/minyak yang banyak
terkandung pada sampah makanan) dengan alkohol serta bantuan katalisator alkalin, untuk
membentuk mono-alkil ester, atau biasa kita kenal dengan sebutan biodiesel. Proses ini biasanya
menggunakan alkohol jenis metanol, sehingga hasil akhir proses esterifikasi nantinya adalah
metil ester, atau yang kita kenal sebagai etanol, serta etil ester. Hasil akhir inilah yang dapat
digunakan sebagai bahan bakar alternatif ramah lingkungan.
11.Hydrothermal Carbonisation (HTC)
Karbonisasi Hidrotermal adalah sebuah proses akselerasi kimia dari geotermal alami
dengan menggunakan bantuan katalisator asam. Proses ini mereplikasi proses alami
pembentukan bahan bakar fosil terutama batubara, dengan mengombinasikan tekanan dan
temperatur kerja untuk mentransformasi sampah alam (biomas) menjadi material berkonsentrasi
karbon tinggi dengan nilai kalori yang sama atau bahkan lebih baik daripada bahan bakar fosil
Proses ini diawali dengan pemisahan material-material logam dan kaca dari sampah biomas.
Kemudian jika sampah dalam kondisi kering, maka ia harus dibasahi terlebih dahulu
karena bahan baku sampah metode WtE ini harus memiliki kandungan air di atas 70%. Sebelum
berlanjut ke tahapan selanjutnya, bahan baku biomas tersebut harus dicampur dengan katalis
asam seperti asam sitrus.Proses selanjutnya adalah memanaskan bahan biomas tadi di dalam
sebuah wadah yang cara kerjanya mirip dengan panci presto. Bahan biomas tadi dipanaskan
perlahan selama 4 hingga 24 jam pada temperatur rendah sekitar 200°C. Hasil akhir dari proses
ini adalah sebuah material yang biasa kita kenal dengan nama hydrochar. Dikarenakan hydrochar
ini memiliki karakteristik yang mirip dengan batubara, maka proses pengolahan Karbonisasi
Hidrotermal ini juga kita kenal dengan istilah Coalification.

Metode Karbonisasi Hidrotermal ini memiliki beberapa keunggulan di antaranya adalah:


1.Produk yang memiliki nilai efisiensi karbon tertinggi di antara proses WtE lainnya.
2.Proses yang cepat dan kontinyu.
3.Mudah diaplikasikan dalam skala besar.
4.Bebas bau tak sedap karena proses yang tertutup.
5.Tidak berisik.
6.Higienis.
7.Produk sampingan yang hanya berupa air bebas racun.
8.Serta produk akhir yakni hydrochar yang mudah untuk diperjualebelikan.

12.Dendro Liquid Energy (DLE)


DLE merupakan inovasi proses WtE terbaru dari Jerman. Proses biologis ini sangat
efisien dan disebut-sebut mampu mendekati teknologi ‘zero-waste’.Sebuah alat DLE mampu
memroses campuran sampah dari plastik hingga kayu. Proses WtE ini menghasilkan produk
berupa syngas, yang diklaim memiliki efisiensi empat kali lebih baik daripada sistem lainnya.
Teknologi ini memiliki beberapa kelebihan yakni:
1.Ukuran alat yang kecil serta murah.
2.Tidak melibatkan proses pembakaran sampah sehingga bebas emisi berbahaya.
3.Bekerja pada temperatur sedang antara 150-250°C.
4.Bisa memroses bahan baku sampah basah maupun kering.
5.Hasil akhir cyngas yang bebas material abu halus dan tar.

Anda mungkin juga menyukai