Anda di halaman 1dari 37

DAFTAR ISI

JUDUL
DAFTAR ISI
BAB I PEMBAHASAN
1.1 Pengertian pedagang kaki lima ..............................................1
1.2 Karakteristik pedagang kaki lima ..............................................1
1.3 Pasal-pasal terkait Pedagang Kaki Lima (PKL) ..................................3
1.4 Hal-hal yang harus diperhatikan Pemerintah Kota dalam menangani
pedagang kaki lima (PKL) ..............................................22
1.5 Contoh kasus penertiban PKL di Bandar Lampung.....................24
1.6 Kegiatan-kegiatan yang dilakukan berdasarkan rencana yang
ditetapkan sebelumnya oleh tim Operasional PKL........................25
BAB II PENUTUP............
2.1 Penutup….…….
2.2 Saran………….
DAFTAR PUSTAKA………………
LAMPIRAN………………….
PENANGANAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
OLEH PEMERINTAH
(Makalah Pendidikan Kewarganegaraan)

Disusun oleh :
Kelompok 3

Maulana Ikhsan Hasibuan (1615041002)


Apriliana (1615041020)
Yesi Nurbaiti (1615041026)
Heru Ismanto (1615041037)
Fransiska Salsalina Bangun (1615041049)

JURUSAN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
BAB I
PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Pedagang Kaki Lima (PKL)


Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah usaha sektor informal berupa usaha
dagang yang kadang-kadang juga sekaligus produsen. Ada yang menetap pada
lokasi tertentu, ada yang bergerak dari tempat satu ke tempat yang lain
(menggunakan pikulan, kereta dorong) menjajakan bahan makanan, minuman
dan barang-barang konsumsi lainnya secara eceran. PKL Umumnya bermodal
kecil terkadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan
mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atau jerih payahnya.

Pedagang kaki lima dipandang sebagai patologi sosial karena memiliki ciri-
ciri seperti ketidakpastian, mobilitas, ketidakmampuan, serta kemiskinan dan
tingkat pendidikan rendah. Pedagang kaki lima biasannya digambarkan
sebagai perwujudan pengangguran terselubung atau sebagai pengangguran
yang luas, dan pertumbuhan yang luar biasa dari jenis pekerjaan sektor
informal yang keberadaanya sangat sederhana di kota-kota dunia ketiga.

Para PKL sendiri, sebetulnya telah menyadari bahwa usaha mereka berjualan
di sepanjang jalan protokol, trotoar dan sekitar kondisi lapangan pekerjaan
yang tidak sebanding dengan perkembangan arus migrant dan cenderung padat
modal, maka satu-satunya pilihan yang realistis bagi kaum migrant dan
masyarakat miskin kota adalah bekerja di sektor informal, khususnya menjadi
PKL.

2.1 Karakteristik Pedagang Kaki Lima (PKL)


Menurut Wirisardjono bahwa PKL adalah kegiatan sektor marginal (kecil-
kecilan) yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Pola kegiatan tidak teratur baik dalam hal waktu, permodalan maupun
penerimanya.
2. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan oleh pemerintah (sehingga kegiatannya sering dikatakan”liar”).
3. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan
diusahakan dasar hitung harian.
4. Pendapatan mereka rendah dan tak menentu.
5. Tidak mempunyai tempat yang tetap dan keterkaitan dengan usaha-usaha
yang lain.
6. Umumnya dilakukan untuk dan melayani golongan masyarakat yang
berpenghasilan rendah

Selain itu menurut Suherman bahwa ciri-ciri PKL sebagai berikut :


1. Kegiatan usaha tidak terorganisir
2. Tidak memiliki Surat Izin Usaha
3. Tidak teratur dalam kegiatan usaha

PKL keberadaannya memang selalu dipermasalahkan oleh pemerintah karena


ada beberapa alasan, diantaranya :
1. Penggunaan ruang publik oleh PKL bukan untuk fungsi semestinya karena
dapat membahayakan orang lain maupun PKL itu sendiri.
2. PKL membuat tata ruang kota menjadi kacau.
3. Keberadaan PKL tidak sesuai dengan visi kota yaitu yang sebagian besar
menekankan aspek kebersihan, keindahan, dan kerapihan kota.
4. Pencemaran lingkungan yang sering dilakukan oleh PKL.
5. PKL menyebabkan kerawanan sosial.

Kemungkinan terjadinya persaingan tidak sehat antara pengusaha yang


membayar pajak resmi dengan pelaku ekonomi informal yang tidak membayar
pajak resmi (walaupun mereka sering membayar”pajak tidak resmi”),
contohnya ada dugaan bahwa pemodal besar dengan berbagai pertimbangan
memilih melakukan kegiatan ekonominya secara informal dengan
menyebarkan. Berkembangnya PKL dipicu oleh gagalnya pemerintah
membangun ekonomi yang terlihat dari rendah dan lambatnya pertumbuhan
ekonomi, tidak berkembangnya usaha –usaha di sektor riil yang pada akhirnya
menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran yang sampai saat ini
diprediksi kurang lebih 40 juta penduduk sedang menganggur yang menjadi
perhatian kita. Seandainya pemerintah punya komitmen yang kuat dalam
mensejahterakan masyarakatnya harus menyiapkan dana khusus sebagai
jaminan PKL yang digusur untuk memulai usaha baru ditempat
lain.Mengingat PKL yang digusur biasanya tanpa ada ganti rugi karena
dianggap ilegal.

Bagaimanapun juga PKL adalah juga warga negara yang harus dilindungi hak-
haknya, hak untuk hidup, bebas berkarya, berserikat, dan berkumpul. Seperti
tercantum dalam UUD 45  Pasal 27 ayat (2): Tiap-tiap warga Negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan  Pasal 13
UU nomor 09/1995 tentang usaha kecil : Pemerintah menumbuhkan iklim
usaha dalam aspek perlindungan, dengan menetapkan peraturan perundang-
undangan dan kebijaksanaan untuk: Menentukan  peruntukan tempat usaha
yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra
industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang
wajar bagi pedagang kaki lima, serta lokasi lainnya. Memberikan bantuan
konsultasi hukum dan pembelaan.

3.1 Pasal - Pasal Terkait Masalah Pedagang Kaki Lima


Hal ini dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang dari
pedagang kaki lima dan sudut pandang dari pemerintah :

A. Dari Sudut Pandang Pedagang Kaki Lima


 Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 :
“ Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.”
 Pasal 31 UUD 1945 :
(1) Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
20 % dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

 Pasal 33 UUD 1945 :


(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
 Pasal 34 UUD 45 :
(1) Fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh Negara
(2) Negara mengembangkan system jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Dengan adanya pengaturan mengenai tanggung jawab pemerintah dalam


UUD 45, hal ini menunjukkan bahwa Negara kita adalah Negara hukum.
Segala hal yang berkaitan dengan kewenangan, tanggung jawab,
kewajiban, dan hak serta sanksi semuanya diatur oleh hukum.

Akan tetapi ternyata ketentuan-ketentuan diatas hanya berkutat pada kertas


saja. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai tanggung jawab
pemerintah dalam bidang pendidikan, perekonomian dan penyediaan
lapangan pekerjaan belum pernah terealisasi secara sempurna. Hal ini
dapat dibuktikan dengan besarnya jumlah rakyat miskin di Indonesia .
Kemiskinan ini diakibatkan oleh tidak adanya pemerataan kemajuan
perekonomian, peningkatan kwalitas pendidikan dan penyediaan lapangan
pekerjaan oleh pemerintah. Data terakhir dari jumlah rakyat miskin di
Indonesia adalah 18 juta keluarga, jika setiap keluarga terdiri dari 3 orang,
itu berarti terdapat sekitar 54 juta jiwa penduduk Indonesia termasuk
kategori miskin (sumber Badan Pusat Statistik).[2]Jumlah ini masih yang
terdata, bagaimana dengan orang-orang miskin yang tidak terdata,
mungkin jumlahnya akan semakin besar.

Mengapa rakyat miskin ini sangat besar jumlahnya ? Padahal pemerintah


telah diberi tangung jawab oleh UUD 45. Permasalahan ini timbul
diakibatkan oleh adanya watak atau mental para birokrat kita yang korup.
Sudah banyak sekali dana baik itu dari RAPBN (Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara), RAPBD (Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daearah) atau bantuan dari Negara-negara maju
didalam menuntaskan masalah kemiskinan. Dana-dana tersebut banyak
yang tidak jelas penggunaannya, banyak terjadi penyimpangan-
penyimpangan yang penggunaannya hanya untuk memperkaya para pihak
birokrat saja.

Jadi sangat wajar sekali fenomena Pedagang Kaki Lima ini merupakan
imbas dari semakin banyaknya jumlah rakyat miskin di Indonesia .
Mereka berdagang hanya karena tidak ada pilihan lain, mereka tidak
memiliki kemampuan pendidikan yang memadai, dan tidak memiliki
tingkat pendapatan ekonomi yang baik dan tidak adanyanya lapangan
pekerjaan yang tersedia buat mereka. Sehingga untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk membiayai keluarganya ia harus
berdagang di kaki lima . Mengapa pilihannya adalah pedagang kaki lima ?
Karena pekerjaan ini sesuai dengan kemampuan mereka, yaitu modalnya
tidak besar, tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi, dan mudah untuk
di kerjakan.

Di NKRI ini belum ada undang-undang yang khusus mengatur Pedagang


Kaki lima. Padahal fenomena pedagang kaki lima sudah merupakan
permasalahan yang pelik dan juga sudah merupakan permasalahan
nasional, karena disetiap kota pasti ada pedagang kaki limanya.
Pengaturan mengenai Pedagang Kaki Lima ini hanya terdapat dalam
peraturan daerah (perda). Perda ini hanya mengatur tentang pelarangan
untuk berdagang bagi PKL di daerah-daerah yang sudak ditentukan.
Namun mengenai hak-hak PKL ini tidak diatur didalam perda tersebut.
Untuk kota Bandung , ketentuan mengenai PKL ini diatur didalam Perda
no 03 2005 jo. Perda no.11 tahun 2005.
Perlindungan Hukum Bagi Pedagang Kaki Lima
Walaupun tidak ada pengaturan khusus tentang hak-hak Pedagang Kaki
Lima, namun kita dapat menggunakan beberapa produk hukum yang dapat
dijadikan landasan perlindungan bagi Pedagang Kaki Lima. Ketentuan
perlindungan hukum bagi para Pedagang Kaki Lima ini adalah :

 Pasal 27 ayat (2) UUD 45 :


“Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.”
 Pasal 11 UU nomor 39/199 mengenai Hak Asasi Manusia :
“setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk
tumbuh dan berkembang secara layak.”
 Pasal 38 UU nomor 39/1999 mengenai Hak Asasi Manusia :
(1) Setiap warga Negara, sesuai dengan bakat, kecakapan dan
kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
(2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang di
sukainya dan …
 Pasal 13 UU nomor 09/1995 tentang usaha kecil :
“Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan,
dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan
untuk :
a) Menentukan peruntukan tempat usaha
Yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi
sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan
rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima , serta
lokasi lainnya.
b) Memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.

Dengan adanya beberapa ketentuan diatas, pemerintah dalam menyikapi


fenomena adanya pedagang kaki lima , harus lebih mengutamakan
penegakan keadilan bagi rakyat kecil.
Walaupun didalam Perda K3 (Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban)
terdapat pelarangan Pedagang Kaki Lima untuk berjualan di trotoar, jalur
hijau, jalan, dan badan jalan, serta tempat-tempat yang bukan
peruntukkannya, namun pemerintah harus mampu menjamin perlindungan
dan memenuhi hak-hak ekonomi pedagang kaki lima.

Hak-hak PKL ketika dilakukan pembongkaran


Fenomena dalam pembongkaran para PKL ini sangat tidak manusiawi.
Pemerintah selalu menggunakan kata penertiban dalam melakukan
pembongkaran. Sangat disayangkan ternyata didalam melakukan
penertiban sering kali terjadi hal-hal yang ternyata tidak mencerminkan
kata-kata tertib itu sendiri. Kalau kita menafsirkan kata penertiban itu
adalah suatu proses membuat sesuatu menjadi rapih dan tertib, tanpa
menimbulkan kekacauan atau masalah baru.

Pemerintah dalam melakukan penertiban sering kali tidak memperhatikan,


serta selalu saja merusak hak milik para pedagang kaki lima atas barang-
barang dagangannya. Padahal hak milik ini telah dijamin oleh UUD 45
dan Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia.
Diantaranya berbunyi sebagai berikut :

 Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945


“ Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi; keluarga;
kehormatan; martabat; dan harta benda yang dibawah kekuasaannya ,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
 Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945
“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang.”Pasal 28 I
ayat (4) UUD 45, berbunyi “ perlindungan; pemajuan; penegakan; dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama
pemerintah.”
Sedangkan didalam Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 mengenai
HAM, berbunyi sebagai berikut :
 Pasal 36 ayat (2) berbunyi
“ Tidak seorang pun boleh dirampas hak miliknya dengan sewenang-
wenang.”
 Pasal 37 ayat (1) berbunyi
“ Pencabutan hak milik atas sesuatu benda demi kepentingan umum;
hanya dapat diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan
segera diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan serta
pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
ada.
 Pasal 37 ayat (2) berbunyi
“Apabila ada sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi
kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik
itu untuk selama-lamanya maupun untuk sementara waktu, maka hal
itu dilakuakan dengan mengganti kerugian.
 Pasal 40 berbunyi
“Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang
layak.”

Pemerintah didalam melakukan penertiban harusnya memperhatikan dan


menjunjung tinggi hak milik para PKL atas barang dagangannya. Ketika
pemerintah melakukan pengrusakan terhadap hak milik para PKL ini,
maka ia sudah melakukan perbuatan melanggar hukum, yakni ketentuan
yang terdapat dalam hukum pidana dan juga ketentuan yang terdapat
didalam hukum perdata.
Adapun ketentuan yang diatur didalam hukum pidana adalah :

 Pasal 406 ayat (1) kuhpidana berbunyi :


“ Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hak
membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai
lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau
sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya
dua tahun delapan bulan.”

Sedangkan ketentuan yang diatur didalam Hukum Perdatanya adalah :


 Pasal 1365 berbunyi :
“ Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Bagaimana kita mau menegakkan suatu hukum dan keadilan, ketika cara
(metode) yang dipergunakan justru melawan hukum. Apapun alasannya
PKL ini tidak dapat disalahkan secara mutlak. Harus diakui juga memang
benar bahwa PKL melakukan suatu perbuatan pelanggaran terhadap
ketentuan yang ada didalam perda. Akan tetapi pemerintah juga telah
melakukan suatu perbuatan kejahatan ketika ia melakukan pengrusakan
atas hak milik barang dagangan PKL, dan pemerintah juga harus
mengganti kerugian atas barang dagangan PKL yang dirusak.

Pemerintah belum pernah memberikan suatu jaminan yang pasti bahwa


ketika para PKL ini di gusur, mereka harus berjualan di tempat seperti apa.
Jangan-jangan tempat yang dijadikan relokasi para PKL tersebut, ternyata
bukanlah suatu pusat perekonomian. Sekarang ini penguasaan pusat
kegiatan perekonomian justru berikan pada pasar-pasar hipermart atau
pasar modern dengan gedung yang tinggi serta ruangan yang ber AC. Para
pedagang kecil hanya mendapatkan tempat pada pinggiran-pinggiran dari
kegiatan perekonomian tersebut.
B. Dari Sudut Pandang Pemerintah :
1. Berdasarkan Undang-Undang
 Pasal 28 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 22 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan :
(1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan.
(2) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).

 Sementara Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun


2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan huruf g dan h
mengatur bahwa :
(1) Fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat;
dan
(2) fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan

 Pasal 275 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang


Lalu Lintas dan Angkutan Jalan :
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan
gangguan pada fungsi Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat
Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat
pengamanan Pengguna Jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28
(2) Pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau
denda paling banyak Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh
juta rupiah)

 Pasal 63 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan


(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang
mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang
manfaat jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas)
bulan atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang
mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik
jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan. yang
mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang
pengawasan jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan
atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).

2. Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 125


Tahun 2012 Tentang Koordinasi Penataan Dan Pemberdayaan
Pedagang Kaki Lima

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
A. Bahwa pedagang kaki lima sebagai salah satu pelaku usaha
ekonomi kerakyatan yang bergerak dalamusaha perdagangan
sektor informal perlu dilakukan pemberdayaan untuk
meningkatkan danmengembang-kan usahanya;
B. Bahwa peningkatan jumlah pedagang kaki lima di daerah telah
berdampak pada estetika, kebersihan danfungsi sarana dan
prasarana kawasan perkotaan serta terganggunya kelancaran lalu
lintas, maka perludilakukan penataan pedagang kaki lima;
C. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b perlu menetapkanPeraturan Presiden tentang
Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.

Mengingat:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
(Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1984 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3274);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437)sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 4844);
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4866).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENATAAN DAN
PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
1. Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan : Pedagang
Kaki Lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha
yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan
sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan
prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan
bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat
sementara/tidak menetap.
2. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 ;
3. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah.

Pasal 2
Pemerintah bersama Pemerintah Daerah berkoordinasi
melakukan penataan dan pemberdayaan PKL.

BAB II
PENATAAN PKL

Pasal 3
1. Koordinasi penataan PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, dilaksanakan melalui :
a. pendataan dan pendaftaran PKL;
b. penetapan lokasi PKL;
c. pemindahan dan penghapusan lokasi PKL;
d. peremajaan lokasi PKL; dan
e. perencanaan penyediaan ruang bagi kegiatan PKL.
2. Pendataan dan pendaftaran PKL sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a meliputi:
a. lokasi;
b. jenis tempat usaha;
c. bidang usaha;
d. modal usaha; dan
e. volume penjualan.
3. Penetapan lokasi PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, merupakan lokasi binaan yang terdiri atas lokasi
permanen dan lokasi sementara yang ditetapkan sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah.
4. Pemindahan dan penghapusan Lokasi PKL sebagai-mana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilaksanakan pada lokasi PKL
yang bukan peruntukkannya.
5. Peremajaan lokasi PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d, merupakan upaya perbaikan 2 / 8 kualitas lingkungan
pada lokasi yang sesuai dengan peruntukkannya.
6. Perencanaan penyediaan ruang bagi kegiatan PKL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e, merupakan penyediaan ruang
untuk kegiatan PKL sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan bidang penataan ruang.

Pasal 4
1. Menteri Dalam Negeri menetapkan Pedoman Penataan PKL.
2. Dalam penetapan Pedoman Penataan PKL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri Dalam Negeriberkoordinasi
dengan menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian
terkait.
Pasal 5
1. Gubernur melakukan penataan PKL Provinsi di wilayahnya
dengan berpedoman pada Kebijakan Penataan PKL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
2. Penataan PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. fasilitasi penataan PKL lintas kabupaten/kota;
b. fasilitasi kerja sama antar kabupaten/kota
c. penyusunan program dan kegiatan penataan PKL ke dalam
dokumen rencana pembangunan daerah; dan
d. penetapan kriteria lokasi kegiatan PKL dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi sebagai acuan penetapan lokasi
PKL dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

Pasal 6
1. Bupati/Walikota melaksanakan penataan PKL Kabupaten/Kota
di wilayahnya dengan berpedoman pada Kebijakan Penataan
PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan penataan PKL
Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
2. Penataan PKL sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. penetapan kebijakan penataan PKL;
b. penetapan lokasi dan/atau kawasan tempat berusaha PKL di
dalam Rencana Detail Tata Ruang;
c. penataan PKL melalui kerja sama antar Pemerintah Daerah;
d. pengembangan kemitraan dengan dunia usaha; dan
e. penyusunan program dan kegiatan penataan PKL ke dalam
dokumen perencanaan pembangunan daerah.
BAB III
PEMBERDAYAAN PKL

Pasal 7
Koordinasi pemberdayaan PKL sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dilaksanakan melalui :
a. penyuluhan, pelatihan dan/atau bimbingan sosial;
b. peningkatan kemampuan berusaha;
c. pembinaan dan bimbingan teknis;
d. fasilitasi akses permodalan;
e. pemberian bantuan sarana dan prasarana;
f. penguatan kelembagaan melalui koperasi dan kelompok
usaha bersama;
g. fasilitasi peningkatan produksi;
h. pengolahan, pengembangan jaringan dan promosi;
i. fasilitasi kerja sama antar daerah;
j. mengembangkan kemitraan dengan dunia usaha.

Pasal 8
1. Menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian
melaksanakan pemberdayaan PKL sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 sesuai dengan kewenangan, tugas dan fungsi
masing-masing.
2. Dalam rangka pemberdayaan PKL sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian
menyusun kebijakan, menetapkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria.
Pasal 9
1. Gubernur melaksanakan pemberdayaan PKL Provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan berpedoman pada
norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8.
2. Pemberdayaan PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melalui ;
a. fasilitasi pemberdayaan PKL lintas kabupaten/kota;
b. kerjasama antar kabupaten/kota di wilayahnya; dan
c. pembinaan dan supervisi pemberdayaan PKL yang
dilaksanakan oleh kabupaten/kota.

Pasal 10
1. Bupati/Walikota melaksanakan pemberdayaan PKL
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan
berpedoman pada norma, standar, prosedur, dan kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan pemberdayaan PKL
Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
2. Pemberdayaan PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui :
a. penetapan kebijakan pelaksanaan pemberdayaan PKL; dan
b. penetapan ke dalam dokumen rencana pembangunan daerah.

BAB IV
TIM KOORDINASI PENATAAN
DAN PEMBERDAYAAN PKL

Pasal 11
1. Pelaksanaan koordinasi penataan dan pemberdayaan PKL,
didukung oleh Tim Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan
PKL.
2. Tim koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri
atas;
a. Tim Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan PKL Pusat;
b. Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Provinsi; dan
c. Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Kabupaten/ Kota.

Pasal 12
1. Tim Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan PKL Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dibentuk dengan
Peraturan Presiden ini.
2. Tim Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan PKL Pusat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada
Presiden.

Pasal 13
Tim Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan PKL Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 bertugas :
a. melakukan sinergi melalui sinkronisasi, harmonisasi, dan
integrasi program-program Penataan dan Pemberdayaan PKL di
kementerian/lembaga;
b. melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program dan
kegiatan Penataan dan Pemberdayaan PKL; dan
c. melaporkan pelaksanaan program dan kegiatan Penataan dan
Pemberdayaan PKL kepada Presiden.

Pasal 14
1. Susunan keanggotaan Tim Koordinasi Penataan dan
Pemberdayaan PKL Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12, terdiri atas :
a. Ketua merangkap Anggota
b. Sekretaris merangkap Anggota
c. Anggota :
1. Menteri Dalam Negeri;
2. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
3. Menteri Perdagangan;
4. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif;
5. Menteri Perindustrian;
6. Menteri Pekerjaan Umum;
7. Menteri Kesehatan;
8. Menteri Sosial;
9. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
10. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
2. Tim Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan PKL Pusat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pelaksanaan
tugasnya dibantu sebuah sekretariat yang secara fungsional
dilakukan oleh salah satu unit kerja di lingkungan Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.

Pasal 15
1. Untuk membantu pelaksanaan tugas Tim Koordinasi Penataan
dan Pemberdayaan PKL Pusat, dapat dibentuk kelompok kerja.
2. Susunan keanggotaan, tugas, dan tata kerja kelompok kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri
Dalam Negeri selaku Ketua Tim Koordinasi Penataan dan
Pemberdayaan PKL Pusat.

Pasal 16
1. Tim Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan PKL Pusat
melakukan rapat sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam setahun
atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
2. Tim Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan PKL Pusat dapat
mengikutsertakan pihak lain dalam rapat koordinasi.
Pasal 17
Tim Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan PKL Pusat
melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden sekurang-
kurangnya 1 (satu) kali dalam setahun atau sewaktu-waktu apabila
diperlukan.

Pasal 18
Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Provinsi dibentuk di
Provinsi, yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab
kepada Gubernur.

Pasal 19
Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Provinsi bertugas :
a. menyusun kebijakan dan program Penataan dan Pemberdayaan
PKL yang dituangkan dalam dokumen rencana pembangunan
daerah;
b. melakukan sinergi melalui sinkronisasi, harmonisasi, dan
integrasi program-program Penataan dan Pemberdayaan PKL di
wilayah Provinsi;
c. memfasilitasi kerja sama antar Kabupaten/Kota di wilayahnya
untuk menata dan memberdayakan PKL di lintas
Kabupaten/Kota; dan
d. melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan program
dan kegiatan Penataan danPemberdayaan PKL.

Pasal 20
1. Susunan keanggotaan Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL
Provinsi, terdiri atas ketua, sekretaris dan anggota.
2. Keanggotaan Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh gubernur
yang berunsurkan kepala satuan kerja perangkat daerah, pelaku
usaha, dan 6 / 8 asosiasi terkait.
3. Tim Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan PKL Provinsi
dibantu sebuah sekretariat yang secara fungsional dilakukan
oleh salah satu unit kerja di lingkungan Sekretariat Daerah
Provinsi.

Pasal 21
Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Kabupaten/Kota dibentuk di
Kabupaten/Kota, yang berkedudukan di bawah dan bertanggung
jawab kepada Bupati/Walikota.

Pasal 22
Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Kabupaten/Kota bertugas :
a. menyusun kebijakan dan program pembinaan PKL yang
dituangkan dalam dokumen rencana pembangunan daerah;
b. merekomendasikan lokasi dan atau kawasan tempat berusaha
PKL;
c. mengembangkan kerja sama dengan kabupaten/kota lainnya;
d. mengembangkan kemitraan dengan dunia usaha; dan
e. melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan program
dan kegiatan pembinaan PKL.

Pasal 23
1. Susunan keanggotaan Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL
Tingkat Kabupaten/Kota, terdiri atas ketua, sekretaris, dan
anggota.
2. Keanggotaan Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh bupati/walikota yang berunsurkan kepala satuan
kerja perangkat daerah, pelaku usaha, dan asosiasi terkait.
3. Tim Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan PKL
Kabupaten/Kota dibantu sebuah sekretariat yang secara
fungsional dilakukan oleh salah satu unit kerja di lingkungan
Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 24
1. Pelaksanaan tugas Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Pusat,
Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Provinsi dan Tim
Penataan dan Pemberdayaan PKL Kabupaten/ Kota dilakukan
secara terkoordinasi dalam satu kesatuan kebijakan penataan
dan pemberdayaan PKL.
2. Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Kabupaten/Kota
melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Bupati/Walikota
dan Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Provinsi.
3. Tim Penataan dan Pemberdayaan PKL Provinsi melaporkan
hasil pelaksanaan tugasnya kepada Gubernur dan Tim Penataan
dan Pemberdayaan PKL Pusat.

Pasal 25
Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan penataan dan
pemberdayaan PKL dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan
lain-lain pendapatan yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. 7 / 8

BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 26
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 27 Desember 2012

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 28 Desember 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR2918

4.1 Hal-hal yang harus diperhatikan Pemerintah Kota Dalam Menangani


Pedagang Kaki Lima (PKL)
Beberapa hal yang mungkin bisa menjadi pertimbangan Pemerintah kota
dalam menangani PKL ini adalah ;
1. Mengawali dengan paradigma bahwa PKL bukanlah semata-mata beban
atau gangguan bagi keindahan dan ketertiban kota. Tetapi, PKL juga
punya hak hidup dan mendapatkan penghasilan secara layak, namun
tentunya alasan seperti ini jangan sampai digunakan pedagang untuk
berdagang tanpa mematuhi aturan karena tidak semua lokasi bisa dipakai
sebagai tempat usaha. Pemkot tetap harus tegas namun tentunya ini
membutuhkan komunikasi dengan penuh keterbukaan.
2. PKL sesungguhnya juga merupakan aset dan potensi ekonomi jika benar-
benar bisa dikelola dengan baik. Paradigma ini akan berimplikasi pada
cara pendekatan Pemkot ke PKL yang selama ini dianggap sangat represif-
punitif yang justru melahirkan perlawanan dan mekanisme “kucing-
kucingan” yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah.

3. Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak


disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di
perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan (RTRW) yang tidak
didasari oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang
menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan
ruang untuk sektor informal termasuk PKL. Kawasan yang dikhususkan
untuk PKL telah terbukti menjadi solusi dibeberapa tempat di Indonesia.
Bahkan bisa menjadi alternative tempat wisata jika dimodifikasi dengan
hiburan yang menarik perhatian masyarakat.

4. Pemerintah Kota harus memiliki riset khusus secara bertahap untuk


mengamati dan memetakan persoalan PKL, pasang-surut perkembangan
PKL serta bangunan liar di berbagai wilayah kota, sehingga bisa
meletakkan argumen logis untuk aktivitas berikutnya. Sehingga model
pembinaan ke PKL bisa beragam bentuknya dan tidak mesti dalam bentuk
bantuan modal. Model pembinaan PKL dari Pemkot yang memang sudah
berjalan dan dirasakan efektif mungkin bisa dilanjutkan tinggal bagaimana
memperkuat pengawasan implementasi di lapangan karena masih banyak
keluhan indikasi lemahnya pengawasan penyimpangan.

5. Pemerintah Kota harus membuka diri untuk bekerja sama dengan elemen
masyarakat dalam penanganan masalah PKL ini. Semisal LBH dan
beberapa LSM atau pihak akdemis mungkin bisa dilibatkan untuk
melakukan riset pemetaan persoalan PKL dan advokasi ke mereka.
Beberapa Ormas bahkan Parpol pun bisa berperan dalam hal pembinaan ke
mereka sehingga PKL ini benar-benar menjadi tanggung jawab bersama
masyarakat.
6. Pemerintah Kota harus memastikan payung hukum (Perda) yang tidak
menjadikan PKL sebagai pihak yang dirugikan. Pelibatan semua elemen
yang terkait baik itu masyarakat, pengusaha, dewan, dinas terkait dan
elemen yang lain dengan semangat keterbukaan justru akan menjadikan
kebijakan pemkot didukung dan dikawal implementasinya oleh banyak
kalangan.

7. Pemerintah Kota juga harus berani mengawal regulasi terkait penyediaan


10 % area bagi tiap-tiap tempat pembelanjaan seperti Mall atau
supermarket yang dikhususkan untuk PKL. Tentunya Pemerintah kota
harus memfasilitasi sehingga antara pihak PKL dan Pengusaha bisa sama-
sama tidak dirugikan.

8. Penertiban terhadap PKL liar mestinya harus dilakukan dengan


pendekatan dialog yang bernuansa pembinaan dan bukan pendekatan
represif yang justru memicu perlawanan dan tidak boleh terkesan tebang
pilih karena bisa memicu kecurigaan masyarakat tentang adanya tekanan
politis dari kekuatan tertentu yang mengarahkan penertiban hanya pada
komunitas tertentu.

9. Selain penerapan Kebijakan penertiban terhadap PKL, Pemerintah kota


juga harus berani melakukan penertiban kepada komunitas lain yang
memang juga melanggar aturan tata tertib kota semisal sejumlah stasiun
pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang menempati jalur hijau kota,
dan bangunan-bangunan komersial yang melanggar garis sempadan.

10. Pemerintah Kota juga harus punya langkah preventif berupa pencegahan
arus urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya
tampung kota. korban pembangunan kota metropolitan.
5.1 Contoh Kasus Penertiban PKL Di Bandar Lampung

“ 400 Pedagang di PKOR Way Halim Terancam Kehilangan Pekerjaan “


Posted on September 5, 2016 by Rosmayanti Ilham in Bandar Lampung

Duajurai.com, Bandar Lampung – Sekitar 400 pedagang di Pusat Kegiatan


Olahraga (PKOR) Way Halim terancam kehilangan mata pencahariaanya.
Mereka terdiri dari berbagai macam pedagang kaki lima (PKL) maupun
penyewa mainan. Pasalnya, Pemerintah Provinsi Lampung melalui surat
edaran resmi memerintah mereka untuk mengosongkan kawasan PKOR.

“Jumlah pedagang di sini ada 400 lebih, meski yang terdaftar dalam forum
sekitar 300,” kata Ketua Forum Komunikasi Pedagang Usaha Kecil Lampung
Arifin Ahmad kepada dua jurai.com, Senin, 5/9/2016.

Menurut Arifin, pihaknya telah difasilitasi Dewan Pimpinan Daerah (DPD) RI


untuk melakukan mediasi dengan Pemprov. Bahkan, DPD telah mengirimkan
surat mediasi ke Pemprov, untuk mempertemukan pedagang dengan Pemprov
pada 9 September mendatang.

“Pagi tadi, surat permintaan mediasi telah dikirim ke Pemprov, bahkan


ditembuskan ke Presiden oleh DPD RI. Siang tadi, sekitar 50 PKL PKOR
telah bertemu pak Andi Surya,” kata Arifin.

Jika memang harus pindah, mereka ingin ada tempat relokasi yang jelas.
“Kalaupun memang harus bayar, bicarakan pada kami. Kalau mau ada
pendapatan asli daerah (PAD) ya dibicarakan, tapi yang riil angkanya,” jelas
dia.

Namun demikian, dia mengakui bahwa tidak semua pedagang di PKOR telah
menerima surat edaran tersebut. “Surat itu diedarkan, tapi ada yang tidak
dapat. Jadi memang tidak semua tahu masalah ini,” kata dia.
Pemerintah Provinsi Lampung berencana mengembalikan PKOR sebagai
kawasan olahraga untuk masyarakat. Pada Juni 2016, Pemprov telah
mengeluarkan surat edaran terkait pengosongan lahan aset Pemprov di
kawasan PKOR Way Halim. Sejumlah PKL dan warung remang-remang
diberi tenggat waktu hingga 6 September untuk meninggalkan lokasi tersebut.

Laporan Imelda Astari, wartawan duajurai.com

6.1 Kegiatan-Kegiatan Yang Dilakukan Berdasarkan Rencana Yang Telah


Ditetapkan Sebelumnya Oleh Tim Operasional Penataan PKL

1. Pemberitahuan (Sosialisasi) mengenai rencana relokasi


Sebelum melaksanakan relokasi PKL ke lokasi baru, pemerintah terlebih
dahulu melakukan sosialisasi mengenai rencana relokasi kepada para PKL.
Sosialisasi mengenai rencana penataan PKL ini dilakukan oleh UPTD dan
juga dilakukan oleh pol PP selaku pihak yang akan menertibkan PKL.
Sebelum melakukan relokasi, pemerintah terlebih dahulu melakukan
upaya persuasive dengan cara mengadakan dialog-dialog dan pertemuan
dengan para PKL serta melakukan sosialisasi baik secara lisan dan tertulis,
secara lisan dan secara tertulis melalui surat edaran sebanyak 3x pertama
dari kasat Satpol PP, dari Sekda dan ketiga dari Walikota. Bila pertemuan
tidak memberikan suatu kesepakatan, maka kami baru mengeluarkan surat
edaran dari walikota Bandar Lampung, yang isinya meminta para PKL
untuk segera pindah. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan sosialisasi dilakukan secara tertulis melaui surat edaran dan
secara lisan melalui pertemuan antara pemerintah dan PKL.

2. Pembangunan Tempat Usaha PKL


Pelaksanaan pembangunan tempat usaha dilakukan oleh pemerintah untuk
memberikan lokasi pengganti bagi PKL yang akan ditata. Adanya suatu
kesadaran bahwa PKL tidak dapat diatasi dengan penggusuran merupakan
alasan yang melatarbelakangi pemkot Bandar Lampung untuk menata
PKL dan membangun tempat usaha di lokasi lain yang sesuai.
Pembangunan tempat usaha merupakan bukti bahwa pemerintah tidak
akan begitu saja menelantarkan PKL. Pembangunan tempat usaha
dimaksudkan oleh Pemerintah untuk tetap memberikan kesempatan
kepada para PKL dalam menjalankan usahanya. Pemerintah juga berusaha
menghilangkan tanggapan para PKL yang selama ini menganggap diri
mereka sebagai pihak yang selalu ditelantarkan selama proses penataan
PKL. Dengan adanya pembangunan tempat usaha yang baru bagi mereka,
maka Pemerintah menginginkan para PKL menempati lokasi yang telah
mereka tentukan dan tidak lagi mempergunakan lokasi-lokasi yang
melanggar peraturan.

3. Penertiban PKL
Selama proses penataan PKL pemerintah masih menghadapi hambatan
berupa penolakan dari para PKL. Adanya kondisi ini tentunya dapat
menyulitkan upaya Pemerintah dalam melakukan penataan. Untuk
mengatasi sikap PKL yang bersikeras untuk tidak ditata tersebut, disikapi
oleh tim operasional khususnya tim penertiban umum yakni Satpol PP dan
aparat pengamanan (poltabes, kodim, Pom TNI) dengan cara menertibkan
PKL yang masih melanggar dan kemudian juga melakukan tindakan tegas
melalui penyitaan atau pembongkaran lapak milik PKL yang ditertibkan.
Hal ini merupakan tindakan penegakan Perda atau dapat disebut sebagai
bentuk dari tindakan peradilan cepat terhadap PKL. Pelaksanaan
penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP merupakan suatu bagian dari
tindakan penegakan perda. Karena PKL selalu melakukan pelanggaran,
maka tindakan ini terpaksa dilakukan dan tindakan ini dilakukan atas dasar
adanya larangan penggunaan sejumlah lokasi-lokasi sebagaimana
disebutkan dalam perda No. 8 tahun 2000, seperti trotoar, bahu jalan, dan
lahan parkir yang memang dilarang untuk dipergunakan bagi segala jenis
aktivitas usaha termasuk juga aktivitas berjualan yang dilakukan oleh
PKL.
BAB II
PENUTUP

2.1 Kesimpulan
1. ……………
2. ……………
3. ……………
4. ……………
5. ……………

2.2 Saran
1. Perlunya strategi yang tepat untuk melaksanakan penataan PKL, agar
pemerintah dalam melaksanakan penataan PKL tidak hanya
mengandalkan otoritas semata.
2. Perlunya keterbukaan pemerintah kepada pihak PKL selama pelaksanaan
penataan PKL berlangsung.
3. Perlunya pengawasan yang intens terhadap PKL yang telah ditata, dengan
memaksimalkan peran unit pelaksana teknis (UPTD II) Dinas Pasar
selaku pengelola pasar Bambu Kuning untuk melakukan pengawasan
terhadap PKL.
4. Perlunya penertiban PKL secara berkala, bila ada satu PKL yang
melakukan pelanggaran, maka harus segera diambil tindakan untuk
mencegah bertambahnya PKL baru di lokasi yang telah ditata.
DAFTAR PUSTAKA

Mustafa, Ali Achsan. 2008. Transformasi Sosial Masyarakat Marginal. Malang :


INSPIRE, hal : 5.

S, Bagong dkk. Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial, hal : 115.

P, Henny dkk. 2012. Usaha Penertiban dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima di
Kabupaten Lumajang. Lumajang : Jurnal Sekolah Tinggi Ilmu Hukum
(STIH) Jenderal Sudirman Lumajang, hal : 1.

Bromly, Ray. Organisasi, Peraturan dan Pengusahaan Sektor Informal Di Kota


dalam Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota, edisi Chris
Manning, Tajudin Noer Efendi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, hal : 229.

Dewi, Shanti. 2016. 400 Pedagang di PKOR Way Halim Terancam Kehilangan
Pekerjaan.
http://www.kompasiana.com/shantidewi/penggusuran
pedagang-kaki-lima-penerapan-peraturan-perundang-undangan-atau-
pelanggaran-hak-asasi-manusia.html, diakses 24 April 2017 Pukul 23.43
WIB
LAMPIRAN
Pertanyaan dan Jawaban Terkait Pedagang Kaki Lima

1. M. Praditia Ansor (1615041030)


Pertanyaan :
“Ada seorang warga yang memiliki hak tanah yang berlokasi di pinggir jalan
(bukan trotoar) dan dia berdagang dilokasi tersebut, bagaimana pendapat
kalian agar ketika ditertibkan tidak menimbulkan sakit hati warga tersebut ? ”
Jawaban :
Tidak masalah, karena itu bukan termasuk badan jalan.

2. Rizki Widi Utomo (1615041044)


Pertanyaan :
“ Apa yang dimaksud dengan kerawanan sosial yang ditimbulkan PKL ? “
Jawaban :
Yang dimaksud dengan kerawanan sosial adalah hal negatif yang biasanya
terjadi disekitar lokasi PKL seperti ; Berjudi, Penjualan Narkoba, dll.

3. Ramadiansyah (1615041001)
Pertanyaan :
“ Bagaimana pendapat kalian tentang banyaknya PKL yang muncul di
lingkungan UNILA ?”
Jawaban :
Menurut kami, banyaknya PKL yang bermunculan di lingkungan Unila
memiliki dampak negatif dan juga dampak positif, diantaranya :
 Dampak Negatif : Menimbulkan kemacetan dan banyaknya sampah
yang berserakan
 Dampak Positif : Memudahkan mahasiswa untuk mencari makanan dan
sebagai tempat istirahat mahasiswa ketika jam istirahat kuliah
4. Ir. Azhar, M.T.
Pertanyaan 1 :
“ Menurut kalian, lebih banyak dampak negatif atau positif dari banyak PKL
yang bermunculan di lingkungan UNILA ? ”
Jawaban :
Menurut kami, lebih banyak dampak negatif

Pertanyaan 2 :
“ Bagaimana sejarah PKL ? ”
Jawaban :
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pedagang_kaki_lima

Revisi / Yang perlu ditambahkan :


1. Contoh kasus lain kemudian bandingkan dengan PKL di PKOR Way
Halim
- “Satpol PP Tertibkan PKL di kawasan Kota Tua Jakarta”
https://m.detik.com/news/berita/d-3387742/satpol-pp-tertibkan-pkl-di-
kawasan-kota-tua-jakarta
- “Satpol PP Bandung Bongkar Sejumlah Kios PKL”
https://m.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/02/07/okznc2384-
satpol-pp-bandung-bongkar-sejumlah-kios-pkl
2. Paham Masyarakat
3. teori ekonomi
4. kritisi konsumen
5. penanganan pkl
6. Pada “Hal-hal yang harus diperhatikan Pemerintah Kota Dalam
Menangani Pedagang Kaki Lima (PKL)” itu bukan dari pendapat orang
lain, melainkan point-point yang real seperti :
 Penyebab Kemacetan
 Merusak tata ruang kota , dll.

Anda mungkin juga menyukai