Anda di halaman 1dari 12

Cover

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah yang berjudul
“Kebijakan pemerintah daerah dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis
dipontianak” ini dapat diselesaikan dengan baik. Adapun tujuan dari penyusunan
makalah ini adalah untuk memenuhi uas Hukum Pemerintah Daerah.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendukung dalam penyusunan makalah ini. Dan saya juga menyadari akan
pentingnya sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam
memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah.
Saya sadar makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan. Akhir kata,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.

Pontianak, 07 Juni 2023

Debora Priscila
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. LATAR BELAKANG 1
1.2. PERUMUSAN MASALAH 2
1.3. TUJUAN PENULISAN 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB III PEMBAHASAN
BAB IV PENUTUP
- KESIMPULAN
- SARAN
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Kota Pontianak menghadapi tantangan yang signifikan terkait gelandangan dan pengemis.
Fenomena ini dapat merusak citra kota, menciptakan ketidaknyamanan bagi warga, dan
memperburuk kondisi sosial. Keadaan seperti ini tentu membuat masyarakat berfikir untuk
melakukan perkerjaan agar bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka, seperti mengemis,
mengamen, bahkan mencuri. Adapun Teori Anomie yang mengatakan bahwa penyimpangan
merupakan akibat dari adanya ketegangan dalam struktur sosial yang membuat individu
mengalami tekanan sehingga hal ini akan menyebabkan terjadinya penyimpangan sosial.
Pandangan ini dikemukakan oleh Robert K. Merton.
Sama halnya dengan kota pontianak, keberadaan gelandangan dan pengemis itu ada dasarnya
pelaku penyimpangan ini bertujuan untuk mencapai kesuksesan dengan melakukan cara yang
tidak sah. Masalah sosial seperti ini merupakan suatu pesan secara non formal terkhususnya
pemerintah dikota pontianak mengenai jaminan sosial bagi masyarkat yang sebagaimana telah
diatur dalam Undang-undang 1945 tentang perlindungan hukum yang sudah diberikan oleh
negara kepada fakir miskin dan tertulis dalam peraturan daerah Pasal 12 Tahun 2012 tentang
penanggulangan kemiskinan yang ada dikota pontianak sendiri. Dan juga terdapat di Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang ketertiban umum ada dibahas tentang gelandangan dan
pengemis dinomor 39 dan 40. Dimana hal ini, pemandangan pengemis dikota pontianak, bisa
terlihat disudut-sudut tempat yang menjanjikan untuk pengemis, seperti dilampu merah tanjung
pura, sungai jawi, dll. Pekerjaan ini terbilang sangat menjanjikan, karena penghasilannya yang
besar. Pengemis dan gelandangan termasuk contoh masalah sosial yang muncul dimasyarakat.
Yang disebabkan oleh pemenuhan terhadap kebutuhan hidup. Bisa dilihat dari segi fisik
pengemis terbilang masih mampu untuk melakukan perkerjaan yang layak, tetapi sangat
disayangkan profesi pengemis sulit untuk dihilangkan. Buktinya meskipun mereka dilarang keras
oleh pihak pemerintah yang dilakukan dengan berbagai cara, seperti razia,dll. Mereka tidak
berhenti untuk mengemis dan hanya saja berpindah tempat. Tentu ini sangat sulit untuk diatasi.
Berbeda dengan pengemis yang kondisinya dalam keadaan tidak normal, seperti lansia, tentu ini
nantinya akan ada penanggulangan yang berbeda dari pengemis yang normal.
Dari data yang saya dapatkan melalui web resmi dinas sosial dikota pontianak sepertinya belum
ada penangganan PMKS(Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) untuk kota pontianak
sendiri. Malah justru terjadi peningkatan kasus ini disetiap tahunnya, cukup memprihatinkan,
dikarenakan banyak pengemis yang masih dibawah umur. Meningkatnya pengemis tidak bisa
dihindari keberadaannya dalam kehidupan masyarakat. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi
seperti keterbatasannya lapangan pekerjaan. Bisa disimpulkan bahwa belum ada penangganan
secara khusus untuk pengemis dan gelandangan yang dilakukan oleh pemerintah daerah
dipontianak.
PERUMUSAN MASALAH :
Berdasarkan latar belakang diatas, penyusunan perumusan masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini sebagai berikut:
1. Kebijakan apa yang dapat dilakukan pemda pontianak dalam mengatasi gepeng?
2. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap Gelandangan dan Pengemis di Kota
Pontianak?

TUJUAN PENULISAN
a. Untuk mengetahui kebijakan apa yang dapat dilakukan pemerintah dalam menanggulangi
gelandangan dan pengemis dikota pontianak?
b. Untuk mengetahui hambatan dalam penegakan hukum terhadap Gelandangan dan
Pengemis di Kota Pontianak?
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum bukanlah sosiologi ditambah hukum. Itulah sebabnya sehinga pakar
sosiologi hukum adalah seorang yuris dan bukan seorang sosiolog. Tidak lain karena
seorang sosiolog hukum harus mampu membaca, mengenal, dan memahami berbagai
fenomena hukum sebagai objek kajiannya. Menurut Soerjono Soekanto sosiologi hukum
adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisa atau
mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala lainnya.19
Sosiologi Hukum adalah satu cabang dari Sosiologi yang merupakan penerapan
pendekatan Sosiologis terhadap realitas maupun masalah- masalah hukum. Oleh karena
itu harus dipahami bahwa Sosiologi Hukum bukanlah suatu cabang dari studi ilmu
hukum, melainkan cabang dari studi Sosiologi. Sosiologi Hukum berkembang atas dasar
suatu anggapan bahwa proses hukum berlangsungnya di dalam suatu jaringan atau sistem
sosial yang dinamakan masyarakat.

B. Tinjauan Umum Tentang Gelandangan dan Pengemis


Kata gelandangan dan pengemis disingkat dengan “gepeng”, masyrakat Indonesia secar
umum sudah sangat akrab dengan singkatan “gepeng” tersebut yang mana percakapan
sehari-hari dan topik pemberitaan media massa, tetapi juga sudah menjadi istilah dalam
dalam kebijakan Pemerintah merujuk peda sekelompok orang tertentu yang lazim ditemui
dikota-kota besar khususnya di Kota Pontianak.
Kosa kata lain yang juga sering digunakan untuk menyebutkan keberadaan gelandangan
dan pengemis tersebut dimasyarakat Indonesia adalah Tunawisma. Kemudian kita lihat
dan bandingkan dengan fenomena gelandangan dan pengemis yang terjadi di luar Negeri
seperti Amerika Serikat, maka istilah populer yang sering digunakan di Amerika Serikat
untuk menyebut gelandangandan pengemis adalah Homeless.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1980 Tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, Gelandangan adalah orang-orang yang
hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat
setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah
tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan, pengemis adalah orang-
orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta- minta di muka umum dengan
berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

BAB III PEMBAHASAN


Fenomena gelandangan dan pengemis dapat memberikan dampak negatif terhadap kehidupan
sosial masyarakat dan lingkungan di Kota Pontianak. Keberadaan gelandangan dan pengemis
yang sekarang ada dimana-mana dan adanya peningkatan yang terjadi disetiap tahunnya, maka
dari itu, dibutuhkannya kebijakan dan penangganan khusus dinas sosial untuk menanggani
masalah ini. Larangan untuk mengemis atau menggelandang sudah diatur dalam Pasal 504dan
Pasal 505 Kitab Undang-Undang HukumPidana (KUHP), buku ke-3 tentang Tindak Pidana
Pelanggaran. Dalam upaya menanggulangi gelandangan dan pengemisPemerintah juga telah
menerbitkan PeraturanPemerintah No. 31 Tahun 1980 tentangPenanggulangan Gelandangan
danPengemis (PP 31/1980), serta pengaturan lain terhadap gelandangan dan pengemis
jugaterdapat dalam Peraturan Kepala PolisiRepublik Indonesia No. 14 Tahun 2007tentang
Penanganan Gelandangan danPengemis (Perkapolri 14/2007) Tidak ingin ketinggalan, sebagai
upaya mewujudkan Kota Pontianak yang bersih dari pengemis, Pemerintah Kota Pontianak
jugatelah menetapkan Peraturan Daerah KotaPontianak Nomor 1 Tahun 2010 tentangPerubahan
Kedua Atas Peraturan DaerahNomor 3 Tahun 2004 tentang KetertibanUmum, yang mengatur
pula mengenaipermasalahan pengemis ini, yaitu pada Bab IX Tertib Sosial Pasal 41 (1b) yang
berbunyi:setiap orang atau badan dilarang meminta-minta belas kasihan orang lain atau
mengemisdi rumah ibadah, perkantoran, jalan umum, dipersimpangan jalan yang termasuk
daerahmilik jalan yang terdapat traffic light , atautempat-tempat umum lainnya di dalam wilayah
daerah. Dalam Peraturan Daerahtersebut pula tercantum secara tegas sanksibagi para pelanggar
peraturan tersebut yaitupada Bab X, Ketentuan Pidana, Pasal 45 ayat(1).
Gepeng yang terjadi dikota pontianak. Harapannya adanya informasi tambahan tentang masalah
economic welfare and social baik pemerintah dan stakeholders.
Masalah gepeng dan pengemis juga dapat dijadikan landasan kebijakan agar dapat dituntaskan
secara terus-menerus. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yaitu :
1. Faktor Internal
2. Faktor Emosional
3. Faktor Ekternal
Faktor internal ini dipengaruhi oleh kestabilan karakter manusia yang sulit untuk dikendalikan.
Sedangkan faktor emosional dipicu oleh hawa nafsu seseorang yang dimana faktor ini sulit untuk
dikendalikan. Sehingga memicu permasalahan yang akan berdampak pada internal keluarga
sehingga nanti akan memicu ke lingkungan masyarakat. Pada sisi faktor emosional juga akan
berdampak ke ekonomi yang menyebabkan manusia dapat melakukan hal yang diluar dugaan.
Sehingga hal-hal yang dilakukan nanti justru akan mengarah ke intabilitas sosial. Yang ketiga,
faktor ekternal ini kemampuan seperti bencana alam.
Gepeng jika dilihat dari manapun, kondisi ini akan terus meningkat bila tidak ditemukannya akar
permasalahannya. Gepeng jika dilihat dari segi ekonomi justru akan adanya keuntungan bagi
pelaku, karena dengan melakukan hal ini justru akan mendapatkan banyak uang dengan cara
meminta-minta, jika ii dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka akan menjadi
penyakit sosial. Tidak sedikit dari pekerja ini dimanfaatkan untuk hal yang negatif sehingga
nantinya akan menimbulkan permasalahan baru, baik dalam hal mikro maupun makro.
Namun kita harus bijak mengatakan bahwa permasalahan gepeng yang ada dikota pontianak ini
akibat dari proses pembangunan. Kebijakan-kebijakan pembangunan nasional bertujuan untuk
mensejahterakan masyarakat.yang tidak terlaksanakan dengan baik dengan upaya pengurangan
kemiskinan sehingga menimbulkan Gepeng. Kebijakan pembangunan nasional ini sebagian
hanya dinikmati oleh masyarakat yang memang kondisinya sudah mapan. Sementara mayoritas
masyarakat yang masih dalam kategori kekurangan justru kurang mendapat perhatian dari
pemerintah setempat. Melihat realita yang ada dikota pontianak , mereka terpengaruh untuk
melakukan pekerjaan dengan cara mengemis, padahal konsidi fisik mereka masih sehat. Justru
mereka tidak menghiraukan peraturan yang dibuat pemerintah setempat lagi, yang penting
menurut mereka mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhannya.
Di Jl KH Wahid Hasyim-Jl Johar , pengemis yang masih dibawah umur, mereka rela meminta-
minta hanya untuk mencukui kebutuhan hidup mereka. Para tunawisma dan pengemis seringkali
hidup dalam kondisi yang memprihatinkan dan berjuang untuk mendapatkan makanan,
perumahan yang aman, serta layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai. Hal ini
menunjukkan bahwa diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kondisi
kehidupan mereka.
Masalah gelandangan dan pengemis dapat mengalami perubahan dinamika seiring waktu,
dengan munculnya kelompok-kelompok baru atau pergeseran geografis. Perluasan masalah ini
menunjukkan perlunya kebijakan terhadap perubahan tersebut. Masalah mengenai penertiban
pengemis yang terjadi di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Pontianak dan Satuan Polisi
Pamong Praja antara lain adalah koordinasi dan pembagian tugas dalam proses
penertibanpengemis yang kurang optimal. Pada dasarnya,konsep koordinasi dan pembagian
tugas diantara Dinas terkait ini sudah cukup baik,namun karena dalam pelaksanaannya
terjadiketidaksesuaian maka mengakibatkan munculnya tumpang tindih dalam
prosesimplementasi penertiban pengemis.
Pihak Dinas Sosial Kota Pontianak danSatuan Polisi Pamong Praja Kota Pontianakseharusnya
berkoordinasi secara intensif dan tentunya dengan menggunakan prosedur administrasi yang
resmi, namun fakta yang terjadi adalah seringkali pihak Dinas SosialKota Pontianak
berkoordinasi hanya melalui handphone.
Tidak ada salahnya memanfaatkan teknologi yang ada, namun tentu tetap harus tertib
administrasi. Dalam hal pembagiantugaspun secara konsep sudah cukup baik,yakni Dinas Sosial
Kota Pontianak bertugasmelakukan pembinaan dan pemulangan kedaerah asal terhadap
pengemis yang telahberhasil dijaring dan Satuan Polisi PamongPraja Kota Pontianak bertugas
melakukanpenertiban dalam bentuk razia (penjaringan)pengemis. Namun juga muncul
ketidaksesuaian karena yang terjadi adalah seringkali pengemis yang telah berhasil dijaring
kemudian hanya dipulangkan begitusaja tanpa melewati tahap pembinaan.
Khusus untuk di Kota Pontianak mengenai larangan kegiatan pergelandangan dan pengemisan
termasuk ketentuan pidananya tersebut diatur dalam Pasal 42 Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun
2008 Tentang Ketertiban Sosial menegaskan bahwa:
Setiap orang/badan dilarang:
a. mendatangkan, menampung, memfasilitasi dan/atau memperkerjakan orang sebagai pengemis
dan/atau peminta-minta belas kasihan;
b. mengamen di persimpangan jalan (traffic light);
c. meminta-minta belas kasihan orang atau mengemis di rumah ibadah, tempat pemukiman,
perkantoran, jalan umum, taman kota, rumah makan, warung kopi/cafe dipersimpangan
jalan/traffic light yang termasuk daerah milik jalan atau tempat umum lainnya; d. meminta
bantuan atau sumbangan dengan cara atau alasan apapun, baik dilakukan sendiri-sendiri atau
bersama-sama di jalan, persimpangan jalan/traffic light, angkutan umum, rumah tinggal, taman
kota, perkantoran dan tempat umum lainnya;
e. memberi uang dan/atau barang kepada pengemis dan/atau peminta-minta belas kasihan orang
dipersimpangan jalan (traffic light) yang termasuk daerah milik jalan atau tempat umum lainnya;
dan
f. melakukan aktivitas penjualan barang dan jasa dipersimpangan jalan (traffic light), yang
termasuk daerah milik jalan, taman kota, perkantoran pemerintahan atau tempat umum lainnya.
Mengacu pada ketentuan tersebut keberadaan gelandang dan pengemis dilarang dan merupakan
suatu tindak pidana yang patut di hukum. Dikaitkan dengan fakta di lapangan menunjukkan
bahwa gelandangan dan pengemis yang mengganggu ketertiban umum di Kota Pontianak hanya
diberi sanksi berupa pembinaaan dan setelah dibina gelandangan dan pengemis tersebut
dipulangkan kembali ke daerah asalnya masing-masing. Dengan jumlah gelandangan yang tinggi
tidak dipungkiri bahwa akan timbul kejahatan-kejahatan atau tindak pidana lain seperti
pencurian, perampokan maupun pembunuhan.
Hambatan dalam penegakan hukum terhadap gelandangan dan pengemis di Kota Pontianak
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Ketertiban
Sosial yang berisi tentang penanganan gelandangan dan pengemis dengan maksud agar tidak ada
lagi pengemis. Pemerintah akan melakukan langkah-langkah preventif, koersif dan rehabilitatif
demi mensejahterakan kehidupan pengemis dengan memberikan pelatihan khusus agar
mempunyai motivasi untuk berjuang hidup, tidak mengandalkan belas kasih orang lain, namun
dengan melakukan sesuatu seperti bekerja. Pemerintah juga memberikan sanksi bagi siapa saja
yang masih berbelas kasih memberikan uang kepada pengemis. Hal ini dilakukan Pemerintah
untuk memberikan efek putus asa bagi pengemis agar berhenti mengemis dan mengikuti program
pelatihan khusus yang di sediakan oleh Pemerintah guna bertahan hidup. Beberapa faktor yang
menghambat belum terwujudnya penegakan hukum terhadap gelandangan dan pengemis di Kota
Pontianak,yaitu :
1. Kurangnya kesadaran masyarakat selaku gelandangan dan pengemis (gelandangan dan
pengemis ini tidak sadar akan perbuatannya yang melanggar hukum, yang terpenting baginya
hanyalah mendapatkan uang dan bisa memenuhi kebutuhannya)
2. Faktor Sarana/Fasilitas (keterbatasan sarana dan prasarana yang menyebabkan
gelandangan dan pengemis tersebut dikembalikan ke daerah asalnya, karena jika dibina oleh
pemerintah Kota Pontianak maka fasilitas yang tersedia tidak mencukupi ataupun tidak memadai
untuk menampung gelandangan dan pengemis tersebut.)
3. Lemahnya Pengawasan dari Pemerintah (pengawasan dari pemerintah Kota Pontianak
khususnya Satuan Polisi Pontianak dan Dinas Sosial dan Pemakaman Kota Pontianak dapat
mempengaruhi belum terpenuhinya penegakan hukum terhadap gelandangan dan pengemis.)
4. Tidak dikenakan sanksi bagi gelandangan dan pengemis (faktor ini mengakibatkan tidak
ada efek jera yang dirasakan bagi para pelanggar dan mendorong munculnya pelanggaran-
pelanggaran baru, seperti gelandangan dan pengemis di Kota Pontianak).
C. Pilihan-pilihan kebijakan
Pada Undang-undang terdapat penanggulangan anak jalanan dan pengemis yang
bertujuan :
1. Mencegah dan mengantisipasi bertambah suburnya komunitas anak jalanan, gelandangan
dan pengemis
2. Mencegah penyalagunaan komunitas anak jalanan, gelandangan dan pengemis dari
eksploitasi pihak-pihak tertentu
3. Mendidik komunitas anak jalanan, gelandangan dan pengemis agar dapat hidup secara
layak dan normal sebagaimana kehidupan masyarakat umumnya
4. Memberdayakan para Anak Jalanan, gelandangan dan pengemis untuk dapat hidup
mandiri secara ekonomi dan sosial.
5. Meningkatkan peran serta dan kesadaran Pemerintah Kota, dunia usaha dan elemen
masyarakat lainnya untuk berpartisipasi dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan
pengemis.
Adapun kebijakan alternatif yang dapat dilakukan pemerintah daerah yaitu :
1. Menerapkan kebijakan (membangun kerja sama dengan dunia usaha)
Gelandangan dan mengemis adalah kegiatan yang dianggap malas karena yang mereka lakukan
setiap hari hanyalah mengemis. Dengan Program Kemitraan Masyarakat Usaha, investasi khusus
untuk gelandangan dan pengemis, semoga mereka dapat menambah pengetahuan tentang dunia
kerja yang sebenarnya, dan seiring berjalannya waktu program ini akan mengurangi keberadaan
gelandangan dan pengemis di jalanan.
2. Menerapkan kebijakan (Fasilitasi fisik)
Kebijakan ini bertujuan pengemis yang memiliki fisik sehingga dapat mengurangi beban fisik
seperti memberikan kursi roda, tongkat untuk mempermudah aktivitas.
3. Menerapkan kebijakan (membuat pondok sosial)
Kebijakan ini dikhusukan untuk pengemis yang sudah lansia. Tujuannya untuk menetralkan
kejiwaan agar bisa beraktivitas secara normal dan dapat ditangani secara efektif mengenai
kondisi, dan kesehatan lainnya.
4. Menerapkan kebijakan (membuat perumahan)
Melalui program ini gepeng berkemungkinan besar akan mendapatkan bantuan yang
diperlukannya. Seperti mendukung dalam mengatasi kecanduan, mengasah keterampilan baru,
pelatihan, pendidikan, bahkan pekerjaan.
5. Menerapkan kebijakan (lintas sektoral)
Mengajak pemerintah daerah, LSM, mendukung implementasi kebijakan secara komprehensif
dan terintegrasi. Dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada dan menggunakan keterampilan
yang berbeda, hasil yang lebih efektif dapat dicapai dalam menangani gelandangan dan
pengemis. Pemilihan Kebijakan alternatif ini diharapkan dapat memberikan pendekatan yang
komprehensif dan berkelanjutan dalam menangani masalah gelandangan dan pengemis, dengan
fokus pada pemberdayaan ekonomi, rehabilitasi, reintegrasi sosial, dan peningkatan kesehatan
serta kesadaran masyarakat. Dalam rehabilitas yang ada kiranya dapat dilakukan oleh pihak
dinas sosial, karena dinas sosial berfungsi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang ada
dikota pontianak.
BAB 4
F. KESIMPULAN
Dalam menangani masalah gelandangan dan pengemis di Kota Pontianak, diperlukan kebijakan
yang komprehensif dan terkoordinasi. Implementasi kebijakan ini harus didukung oleh alokasi
anggaran yang memadai dan Evaluasi dan pemantauan secara teratur juga penting untuk
memastikan keberhasilan kebijakan ini dalam mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis
serta meningkatkan kesejahteraan sosial di Kota Pontianak.
Jumlah gelandangan dan kemiskinan juga memiliki angka kenaikan yang tidak seimbang, namun
adanya masalah ini perlu ditangani secara berkelanjutan karena gepeng sudah menganggu
ketertiban umum,dll. Adanya kesenjangan dalam distribusi pendapatan, yang dimana masih
berkepentingan secara individu dan mulai turunnya solidaritas sosial manusia.
G. REKOMENDASI
Adapun rekomendasi yang mengenai gepeng, yaitu :
1. Diperlukannya kebijakan strategis yang harus dilakukan pemerintah secara khusus kota
kota pontianak seperti pemberdayaan masyarakat, pembinaan, yang dapat menanggulangi PMKS
sehingga kedepannya menjadi lebih baik dan berkurangnya gepeng dikota pontianak.
2. Gepeng tidak bisa di tuntaskan secara teoris dan himbauan saja, tetapi diperlukannya
pendekatan intensif yang berkaitan pada masalah-masalah yang bersumber dari intel masyarakat
terdekat, terutama keluarga. Sehingga akan berpengaruh pada lingkungan sosial masyarakat.
3. Untuk kedepannya diharapkan agar Dinas Sosial dan Pemakaman Kota Pontianak Satuan
Polisi memaksimalkan perannya dengan terus memberi perhatian dan peningkatan kualitas
kinerja untuk menyelesaikan persoalan- persoalan penyandang kesejahteraan sosial yangterjadi
di masyarakat khususnya gelandangan dan pengemis di Kota Pontianak.

DAFTAR PUSTAKA
Nano Prawoto. Memahami kemiskinan dan cara penanggulangannya. Jurnal Ekonomi dan Studi
Pembangunan Vol.9, No.1 april 2009. Fakultas ekonomi UMY. Yogyakarta
1 Durkheim, Emile. The Division of Labor in Society. New York: Free Press, 1997
Anesh Viduka, (2016) "Pengemis Beroperasi pada Momen Hari Raya", Di Akses dari :
https://pontianak.tribunnews.com/2016/07/08/foto-foto-pengemis-beroperasi-pada-momen-hari-
raya
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Penanggulangan Anak Jalanan dan Pengemis,
Nomor 15 Tahun 2017,
Peraturan Daerah. PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KOTA PONTIANAK. Nomor 12
Tahun 2012, Pasal 12.
Peraturan Daerah. Ketertiban Umum. Nomor 11 Tahun 2019, Pasal 39-40.
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta.
Umanailo, Chairul Basrun, 2016, Sosiologi Hukum, Fam Publishing, Namle
Magfud Ahmad, Strategi Kelangsungan Hidup Gelandangan dan Pengemis (Gepeng), Jurnal
Penelitia STAIN Pekalongan: Vol. 7. No. 2, Pekalongan, 2010, hlm 2.
Engkus Kuswarno, Metode Penelitian Komuniaksi Contoh- Contoh Penelitian Kualitatif Dengan
Pendekatan Praktis: “Manajemen Komunikasi Pengemis”, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
2008, hlm. 88.
Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 1Tahun 2010 Tentang PerubahanKedua Atas Peraturan
DaerahNomor 3 Tahun 2004 TentangKetertiban Umum

Anda mungkin juga menyukai