Anda di halaman 1dari 4

Nama : Kevin

NPM : 200325271

Kelas : Pendidikan Pancasila C

 Masalah Kesadaran Perpajakan

Di Indonesia kesadaran untuk setiap masyarakatnya membayar pajak masih terlihat sangat rendah, terlihat
dari ungkapan menteri keuangan Agus Martowardjojo dalam sebuah event pada agustus 2011 "Selain
banyaknya pengusaha nasional yang mangkir dari kewajiban membayar pajak, kesadaran masyarakat
Indonesia untuk membayar pajak juga masih minim. Dari 238 juta jumlah penduduk Indonesia, hanya 7
juta saja yang taat pajak.Kalau seandainya terdapat 22 juta badan usaha, hanya 500.000 yang membayar
pajak. Itu harus ditingkatkan kembali. Jumlah angkatan kerja masyarakat Indonesia sebanyak 118 juta dari
total penduduk 238 juta. Sebanyak 40 persen dari angkatan kerja tersebut berpenghasilan di atas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Jadi, jika dikalkulasikan, terdapat sebanyak 44 juta sampai 47 juta
penduduk Indonesia yang seharusnya membayar pajak.” Dan setelah diteliti permasalahan ini bisa terjadi
karena faktor-faktor seperti kesadaran masyarakat, pengetahuan juga pemahaman peraturan perpajakan, dan
juga persepsi yang baik atas keefektifitasan sistem perpajakan. Lalu dalam hal ini, hal yang bisa dilakukan
dengan membangun kesadaran masyarakat untuk membayar pajak pastinya. Menurut saya, bisa dilakukan
dengan sosialisasi untuk memberikan pemahaman dan menanamkan pengertian tentang pajak yang bisa di
awali dari lingkungan keluarga, tetangga, juga bisa melalui forum-forum.

 Masalah Korupsi

Korupsi seolah sudah menjadi warisan budaya yang sengaja dilestarikan oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab. Kasus mantan ketua DPR Setya Novanto yang melakukan korupsi proyek penggandaan
KTP Elektronik, yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Jika diselidiki penyebab permasalahan
korupsi ini masih ada di Indonesia karena kemiskinan, pengetahuan yang tidak cukup dalam bidangnya,
pengaturan yang bertele-tele. Menurut saya, korupsi ini dapat terjadi akibat keserakahan/sifat rakus dan
hasrat yang tinggi untuk memperkaya diri sendiri. Dalam kasus ini, hal yang bisa dilakukan dengan
memperkuat pengawasan serta juga memperbaiki sistem serta perilaku pegawai, agar tidak menimbulkan
celah untuk melakukan korupsi, dan apabila hal tersebut terjadi akan lebih baik untuk mempertegas
hukuman agar para oknum lebih jera.

 Masalah Lingkungan

Kondisi lingkungan Indonesia terus menjadi problem yang terus menghantui, hal ini bisa disebabkan
beberapa faktor yang bisa berasal dari alam juga mupun manusia. Selama 5 tahun belakangan ini,
setidaknya ada 64 dari 470 daerah aliran sungai terus mengalami kondisi yang kritis.setelah di lihat pun
permasalahan ini bisa terjadi dari limbah-limbah industri, domestik, maupun juga limbah pertanian. Dalam
hal ini, untuk mengatasi masalah tersebut menurut saya, sangat diperlukan kerjasama antara pihak
pemerintah, maupun masyarakat, juga serta pihak industri. Selain pihak pemerintah yang menetapkan
larangan pembuangan limbah, kesadaran masyarakat akan pentingnya air sungai untuk kehidupan sangat
diperlukan.

 Masalah Disintegrasi Bangsa

Disintegrasi bangsa saat ini adalah munculnya paradigma akan #gantipresiden2019 dan #tetapjokowi, pada
saat ini seolah olah ada 2 golongan besar yang memcahkan kesatuan Indonesia, selain itu juga
menyebabkan ketegangan Indonesia yang semakin memuncak, bukan hanya dalam arti media sosial akan
tetapi pada kenyataan nya timbul persepsi akan kerusakan persatuan yang bisa menjadi ancaman bagi
Indonesia ke depannya, solusi yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman tentang
patriotisme dan menghilangkan rasa egoisme.

 Masalah Dekadensi Moral

Dekadensi moral merupakan masalah besar yang menggerogoti tubuh bangsa Indonesia. Hal ini bisa terjadi
dari gaya hidup hedonisme yang ke arah barat-barat an dan teraktualisasikan lewat pergaulan sehari-hari
tanpa rasa malu dan rasa canggung, sehingga telah melahirkan generasi abnormal yang miskin moral, serta
akhlak. Hal ini menurut saya bisa merugikan bangsa dan negara untuk kedepanya sebagai generasi penerus
bangsa. Antisipasi yang dapat dilakukan dalam permasalahan seperti ini bisa dengan melakukan hal yang
simple terlebih dahulu seprti memberikan pemahaman serta pengetahuan akan pentingya menjaga sikap,
dan menghindari permasalahan pergaulan bebas.

 Masalah Narkoba

Sekitar tahun 2019 hingga 2020 penyebaran narkoba telah meningkat senbanyak 2 ton, hal ini bisa terjadi
karena di sebabkan selama pandemi covid-19 ini banyak pelaku-pelaku tidak bertangggung jawab yang
menyeludupkan narkoba ke dalam sembako-sembako untuk menyebarkan narkoba tersebut. Mereka
memanipulasikannya kedalam hasil pertanian agar tidak ketahuan para aparat. Hal ini tentu sangat
merugikan masyarakat banyak, dalam hal ini hal yang bisa dilakukan menurut saya ialah dengan
memperketat setiap transaksi perdagangan yang ada agar tidak kelolosan barang seludupan yang di lakukan
para oknum tidak bertanggung jawab.

 Masalah Penegakan Hukum yang Berkeadilan

“Tumpul keatas, runcing ke bawah” hal ini pasti sudah tidak asing lagi di Indonesia. Hukum yang ada di
Indonesia begitulah adanya, hukum sangat tajam ( berat ) untuk masyarakat, dan tumpul untuk pejabat
tinggi di Indonesia. Seperti dalam kasus belakangan yang sedang panas, kasus seorang nenek yaitu nenek
asyani yang pada desember 2014 mencuri kayu jati berukuran 15 cm dan dituntut selama 5 tahun penjara,
sedangkan seorang pejabat yang melakukan korupsi hingga merugikan bermiliran hanya divonis hukuman
penjara 2,5 tahun saja. Menurut saya, dalam kasus hukum yang tidak adil ini, bisa dilakukan pemerintah
untuk lebih memperkuat dan mempertegas setiap permasalahan yang ada agar setiap orang yang melanggar
ini dapat mendapatkan hukuman yang setimpal.

 Masalah Terorisme

Masalah terorisme adalah masalah yang harus diperangi bersama, seperti yang dikethui terorisme ini sangat
merugikan suatu negara bahkan bisa ke dunia. Seperti contoh kasus aksi teror dibeberapa gereja di
Surabaya yang terjadi beberapa waktu lalu, hal ini disebabkan kurangnnya kesadaran dan juga pengetahuan
tentang penggunaan sosial media, sehingga mereka dengan mudahnya terprovokasi dengan berita dan juga
ajaran sesat. Solusi yang dapat dilakukan adalah membentuk gerakan bersama untuk mendorong sikap
toleran, lalu juga memberikan edukasi positif dalam media sosial agar masyarakat tidak terpropagandakan
oleh kelompok esktrem.
Artidjo Alkostar

Nama yang satu ini mungkin akan selalu diingat oleh para terpidana kasus korupsi. Ya, siapa yang tak
mengenal Artidjo Alkostar, sosok hakim agung dengan putusan-putusan ‘sangarnya’ dalam mengadili para
koruptor? Selama 18 tahun bertugas sebagai hakim agung, fakta berbicara bahwa di tangan Artidjo Alkostar,
hukuman seorang terdakwa bisa melejit naik atau dari bebas bisa menjadi dihukum. ‘Sakitnya’ ketukan palu
Artidjo, dirasa wajar membuat terdakwa untuk berpikir ulang mengajukan Kasasi di Mahkamah Agung (MA).
 
Setidaknya, beberapa terdakwa yang pernah merasakan ‘sakitnya’ palu Artidjo adalah mantan Menteri ESDM
Jero Wacik. Berharap hukumannya mendapat keringanan, Artidjo justru memperberat masa hukuman Jero
sampai 2 kali lipat, dari sebelumnya 4 tahun penjara menjadi 8 tahun.

Sebagai ‘penjaga gawang terakhir’ pemberantasan tindak pidana korupsi, Artidjo dikenal tegas. Dia memegang
teguh prinsip suatu aturan yang tidak berasaskan keadilan akan memperpanjang barisan korban ketidakadilan,
begitupula halnya dengan suatu putusan. Hanya saja di mata Artidjo, sekalipun putusan pengadilan tidak akan
pernah menjawab makna keadilan yang begitu luas, setidaknya ia berharap suatu putusan dapat berkontribusi
agar roh dari suatu Undang-undang bisa tercapai.
 
Roh dari UU Anti Korupsi, sejatinya merupakan penegasan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa
yang merampas hak-hak dasar rakyat dan merugikan keuangan negara, sehingga melalui UU tersebut
diharapkan dapat sebanyak-banyaknya mengembalikan keuangan negara sekaligus memulihkan hak-hak dasar
rakyat yang tercederai. Adapun putusan Artidjo soal pencabutan hak politik terpidana korupsi yang pernah ia
jatuhkan, didasari lantaran agar masyarakat di kemudian hari tidak mudah terkecoh, ‘mana orang yang layak
dipilih dan mana yang tidak layak’. Sekalipun ada beberapa kritikan yang muncul ketika itu.

Artidjo tetap mantap dengan keyakinan yang dipegang teguhnya. Sekadar catatan dari Artidjo, seorang
tetangga dari Hakim Agung Ad Hoc Tipikor, MS. Lumme di Papua, melakukan Korupsi dengan vonis 4 tahun,
tapi tak ada perintah ditahan. Singkat cerita, tetangga MS Lumme itu pindah ke kampungnya, mencalonkan
diri dan akhirnya terpilih kembali.

Modus-modus yang kerap digunakan pejabat pun seringkali berhasil ditangkis Artidjo, di antaranya alasan
bahwa Pasal 2 UU Tipikor dianggap tidak bisa dikenakan terhadap pejabat, sehingga unsur setiap orang itu
diusahakan untuk dialihkan ke Pasal 3 yang mengakibatkan hukumannya dapat beralih menjadi 1 tahun.

Di Kamar Pidana MA, ada kesepakatan bahwa jika nilai korupsinya diatas Rp100 juta, maka otomatis
dikatakan memperkaya diri, sehingga sekalipun judex factie menerapkan Pasal 3 dengan hukuman 1 tahun
penjara, maka ketika masuk ke MA mesti diterapkan Pasal 2. (Baca Juga: Artidjo Alkostar: Seleksi Calon
Hakim Ad Hoc Tipikor Diperketat

Begitu ringannya ‘tangan Artidjo’ dalam memperberat vonis-vonis terdakwa korupsi bukan berarti semua itu
dilakukannya dengan mulus, bahkan bisa dikatakan Artidjo sudah ‘kenyang’ dengan teror, ancaman hingga
‘santet’ yang kerap kali dialamatkan kepadanya. Hebatnya, ia tetap teguh pada keyakinan yang ia genggam.
Selain karena mantan ‘orang LBH’, darah Madura yang mengalir deras ditubuhnya itulah yang diyakini
Artidjo berhasil membentuk karakternya yang tegas, jujur, berani dan tak kenal kompromi.

Di masa-masa awal Artidjo menjabat sebagai Hakim Agung-pun, tak terbendung banyaknya tamu berdatangan
menawarkan uang serta beragam tawaran menggoda lainnya. ‘Saking geramnya’ Artidjo dengan para tamu tak
diundang itu sempat membuat dirinya menempelkan sebuah tulisan tepat di pintu ruang kerjanya yang
berbunyi ‘Tidak menerima tamu yang ingin membicarakan perkara’.

Di mata Artidjo, orang tidak dihormati karena pakaiannya atau hartanya, sebaliknya kehormatanlah yang harus
menjadi pakaian. Karena dalam dirinya tidak ada beban, Artidjo bisa berdiri dengan mata tegak. "Keluar dari
MA meski jalan kaki, tetapi dengan tegak," ujarnya mantap. Alhasil, Artidjo bisa menikmati perannya sebagai
hakim agung dengan kesederhanaan dan kejujuran.

Puncaknya, berita pensiunnya Artidjo pada 1 Juni lalu, seperti membawa ‘angin segar’ bagi banyak terdakwa
korupsi. Sontak pasca pensiunnya mantan Hakim Agung sang punggawa keadilan ini pada 1 Juni 2018 lalu,
para terdakwa koruptor langsung beramai-ramai mengajukan upaya hukum PKI

Ketua MA M. Hatta Ali dalam buku biografi berjudul Artidjo Alkostar: Titisan Keikhlasan, Berkhidmat untuk
Keadilan misalnya, mengaku kenal Artidjo sejak tahun 2005 yang merupakan seniornya di MA. Hatta menilai
Artidjo sosok yang sederhana dan bersahaja. “Sebagai pemimpin Ketua Kamar MA, Artidjo sangat disiplin,
patuh dan selalu menuntaskan tugas-tugasnya dengan baik tanpa menunggu perintah atasan, sehingga
meringankan tugas saya sebagai Ketua MA,” ungkap Hatta.

Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif mengatakan susah mencari sosok teladan seperti Artidjo
Alkostar. Baginya, keberadaan sosok Artidjo membuat rasa kepercayaan publik kepada institusi MA semakin
meningkat. “Putusan-putusan hukuman berat Artidjo bagi para koruptor memberi ‘kesejukan’ bagi masyarakat.
Ia penegak hukum yang berkarakter,” sebutnya.

Anda mungkin juga menyukai