DISUSUN OLEH
KELAS A
UNIVERSITAS PASUNDAN
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Kebijakan Pemerintah
Terhadap Pedagang Kaki Lima (Pkl) dalam Studi Kebijakan Publik ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Dr.
Achdiat.,M.SI pada mata kuliah Kebijakan Publik. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Pendekatan dan Model dalam studi Kebijakan Publik bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
1. 1 . Latar Belakang
…………………………………………………………..3
1. 2 . Rumusan Masalah
……………………………………………………….4
1. 3 . Tujuan Penulisan …….
……………………………………………….4
1. 4 . Manfaat Penulisan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu alternatif pencarian sektor informal
yang termasuk ke dalam golongan usaha kecil. Usaha kecil dalam penjelasan UU No 9 Tahun
1995 adalah kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan
ekonomi yang luas pada masyarakat. Sektor informal merupakan pekerjaan alternatif yang
dipilih oleh masyarakat di perkotaan demi untuk mempertahankan keberlangsungan hidup.
Dalam artian bahwa tidak perlu diperlukan pendidikan yang tinggi, tidak diperlukan ketrampilan
khusus dan modal yang besar karena tidak adanya kepastian hasil dan kepastian keberlangsungan
yang diperoleh, serta Pendapatan yang diterima relatif kecil kepastian keberlangsungan yang
diperoleh, serta Pendapatan yang diterima relatif kecil.
Fenomena Pedagang Kaki Lima (PKL) telah banyak menyita perhatian pemerintah,
Karena Pedagang Kaki Lima seringkali dianggap menggangu ketertiban lalu lintas dan
keindahan kota. sebagai pembuat kebijakan Pemerintah harus bersikap arif dalam menentukan
kebijakan. PKL sendiri memiliki banyak makna, yang mengatakan PKL berasal dari orang yang
berjualan dengan menggelar dagangannya dengan bangku/meja yang berkaki empat kemudian
jika ditambah dengan sepasang kaki pedagangnya menjadi berkaki lima sehingga timbullah
julukan sebagai Pedagang Kaki Lima.
Tidak hanya itu saja adapula yang memaknai PKL sebagai orang yang berjualan ditepi
jalan yang lebarnya lima kaki dari trotoar atau tepi jalan. Ada pula yang memaknai PKL dengan
orang yang melakukan kegiatan usaha berdagang dengan maksud memperoleh penghasilan yang
sah, dan dilakukan secara tidak tetap dengan kemampuan yang terbatas, yang berlokasikan
ditempat atau pusat-pusat keramaian.
Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan sempitnya lapangan
pekerjaan formal mengakibatkan bertambah besarnya angka pengangguran. Hal ini
menyebabkan banyak masyarakat yang kemudian bekerja atau berusaha pada sektor informal
seperti menjadi pedagang kaki lima di kota-kota besar di Indonesia. Keadaan ini diperburuk
dengan adanya krisis ekonomi berkepanjangan yang telah menyebabkan terpuruknya
perekonomian di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia sebagai bagian dari
komunitas dunia yang ikut merasakan imbasnya.
Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjajah
dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki
pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki"
gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga
digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya. Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari
masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan Belanda pada waktu itu menetapkan
bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar
luas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter (Budiman.2011:1)
Beberapa masalah yang ditimbulkan PKL terkadang cenderung untuk berdagang
ditempat yang tidak diizinkan untuk berdagang. Padahal kegiatan jual beli sudah difasilitasi
dengan adanya kios atau pasar yang permanen dan telah memenuhi semua segala persyaratan
untuk mendapatkan hak sewa dan hak dilindungi oleh Undang - Undang dan aman dari
penggusuran.
Sektor informal kini menjadi kebijakan yang tidak dapat dipisahkan dalam pembangunan
nasional semenjak terjadinya krisis di Indonesia. Munculnya dilema ekonomi informal adalah
sebagai dampak dari makin kuatnya proses modernisasi yang bergerak menuju sifat-sifat yang
dualistis. Pembangunan secara makro akan menghasilkan sistem ekonomi lain yaitu sektor
informal, yang sebagian besar terjadi di negara-negara sedang berkembang. Fenomena dualisme
ekonomi yang melahirkan sektor informal, menunjukkan bukti adanya keterpisahan secara
sistematis-empiris sektor informal dari sebuah sistem ekonomi nasional. Hal ini sekaligus
memberikan legitimasi ekonomi dan politik bahwa perekonomian suatu negara mengalami
stagnasi dengan tingkat pengangguran yang sangat tinggi dan ketimpangan sosialekonomi yang
cukup besar (Budiman.2010:1)
Hal ini merupakan masalah yang sangat kompleks karena akan menghadapi dua sisi
dilematis. pertentangan antara kepentingan hidup dan kepentingan pemerintahan akan
berbenturan kuat. Para pedagang kaki lima (PKL) yang umumnya tidak memiliki keahlian
khusus mengharuskan mereka bertahan dalam suatu kondisi yang memprihatinkan, dengan
begitu banyak kendala yang harus di hadapi diantaranya kurangnya modal, tempat berjualan
yang tidak menentu, kemudian ditambah dengan berbagai aturan seperti adanya pmerintah
daerah yang melarang keberadaan mereka. Melihat kondisi seperti ini, maka seharusnya semua
tindakan pemerintah didasarkan atas kepentingan masyarakat atau ditujukan untuk kesejahteraan
rakyat atau dalam hal ini harus didasarkan pada asas oportunitas.
1.2 Rumusan Masalah
1. Untuk mendeskripsikan pengertian dari Pedagang Kaki Lima.
2. Untuk mendeskripsikan alasan dipermasalahkannya Pedagang Kaki Lima oleh
pemerintah.
3. Untuk mendeskripsikan kebijakan – kebijakan yang dibuat pemerintah untuk menangani
masalah Pedagang Kaki Lima.
4. Persepsi masyarakat terhadap PKL
5. Perlindungan Hukum terhadap PKL
1.4 Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat dapat memberikan masukan bagi instansi terkait
dengan kebijakan pemerintah dalam penataan pedagang kaki lima. Disamping itu juga dapat
sebagai nilai tambah bagi peneliti untuk mengembangkan tulisan ilmiah guna meningkatkan
wawasan secara teori maupun alokasinya dilingkungan masyarakat.
3. Manfaat Akademis
PEMBAHASAN
Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan
yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada
lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga “kaki” gerobak (yang
sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan
untuk pedagang di jalanan pada umumnya.
Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan
pemerintah daerahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya
menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar luas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar
satu setengah meter.
Dari hasil penelitian oleh soedjana (1981) secara spesifik yang di maksud pedagang kaki
lima adalah sekelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk di jual diatas trotoar atau
tepi/ di pinggir jalan, di sekitar pusat perbelanjaan /pertokoan,pusat rekreasi atau hiburan, pusat
perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap ataupun tidak menetap, berstatus tidak
resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik pagi, siang, sore maupun malam hari.
Dari segi ekonomi tentunya jelas dapat dilihat bahwa dengan adanya PKL dapat diserap
tenaga kerja yang dapat membantu pekerja tersebut dalam mendapatkan penghasilan. Dari segi
sosial dapat dilihat jika kita rasakan bahwa keberadaan PKL dapat menghidupkan maupun
meramaikan suasana. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri, selain itu dalam segi budaya, PKL
membantu suatu kota dalam menciptakan budayanya sendiri.
PKL keberadaannya memang selalu dipermasalahkan oleh pemerintah daerah karena ada
beberapa alasan, yaitu diantaranya:
1. Penggunaan ruang publik oleh PKL bukan untuk fungsi semestinya karena dapat
membahayakan orang lain maupun PKL itu sendiri.
2. PKL membuat tata ruang kota menjadi kacau.
3. Keberadaan PKL tidak sesuai dengan visi kota yaitu yang sebagian besar menekankan
aspek kebersihan, keindahan dan kerapihan kota.
4. Pencemaran lingkungan yang sering dilakukan oleh PKL.
5. PKL menyebabkan kerawanan sosial.
Kemungkinan terjadinya persaingan tidak sehat antara pengusaha yang membayar pajak
resmi dengan pelaku ekonomi informal yang tidak membayar pajak resmi (walaupun mereka
sering membayar ”pajak tidak resmi”), contohnya ada dugaan bahwa pemodal besar dengan
berbagai pertimbangan memilih melakukan kegiatan ekonominya secara informal dengan
menyebarkan. Berkembangnya PKL dipicu oleh gagalnya pemerintah daerah membangun
ekonomi yang terlihat dari rendah dan lambatnya pertumbuhan ekonomi, tidak berkembangnya
usaha –usaha di sektor riil yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya jumlah
pengangguran yang sampai saat ini diprediksi kurang lebih 40 juta penduduk sedang
menganggur yang menjadi perhatian kita, Seandainya pemerintah daerah punya komitmen yang
kuat dalam mensejahterakan masyarakatnya harus menyiapkan dana khusus sebagai jaminan
PKL yang digusur untuk memulai usaha baru ditempat lain. Mengingat PKL yang digusur
biasanya tanpa ada ganti rugi karena dianggap illegal.
Bagaimanapun juga PKL adalah juga warga negara yang harus dilindungi hak-haknya,
hak untuk hidup, bebas berkarya, berserikat dan berkumpul. Seperti tercantum dalam UUD 45
Pasal 27 ayat (2): Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan, dan Pasal 13 UU nomor 09/1995 tentang usaha kecil : Pemerintah daerah
menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan, dengan menetapkan peraturan perundang-
undangan dan kebijaksanaan untuk: Menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi
pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat,
lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima, serta lokasi lainnya.
Memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.
2.3 Kebijakan Pemerintah daerah Dalam Menangani Masalah PKL
Fenomena PKL dan masalah – masalah yang ditimbulkan PKL seperti yang telah
diuraikan di atas, dianggap menyulitkan dan menghambat pemerintah daerah untuk mewujudkan
sebuah kota yang bersih dan tertib salah satunya, walaupun pemerintah daerah telah membuat
kebijakan Perda untuk melarang keberadaan PKL, faktanya jumlah PKL malah semakin banyak.
Dan tentu kebijakan Perda tersebut memenuhi banyak kontra dari para PKL karena kebijakan
pemerintah daerah itu dianggap tidak tepat, tidak adil dan merugikan para PKL Kemudian yang
menambah daftar panjang permasalahan PKL ini adalah pendekatan yang dilakukan pemerintah
daerah dalam praktiknya banyak menggunakan kekerasan. Pendekatan kekerasan yang akan
dilakukan pemerintah daerah justru akan menjadi boomerang bagi pemerintah daerah itu sendiri,
sehingga akan timbul ketidakstabilan, anarkisme dan ketidaktentraman yang dampaknya justru
akan menurunkan citra pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan , yang paling menarik
menurut kami dari adanya permasalahan PKL ini adalah karena PKL menjadi sebuah dilema
tersendiri bagi pemerintah daerah.
Di satu sisi PKL sering mengganggu tata ruang kota, disisi lain PKL menjalankan peran
sebagai Shadow Economiy. Kita juga harus melihat bahwa PKL memiliki beberapa segi positif,
salah satunya adalah memberikan kemudahan mendapatkan barang dengan harga terjangkau.
Apabila Indonesia ingin bebas dari PKL maka pemerintah daerah harus memberikan lapangan
pekerjaan yang layak dan lebih baik kepada para PKL tersebut, dan juga memberikan alternatif
tempat membeli barang dengan harga yang murah khususnya pada warga golongan menengah
bawah. Apabila masyarakat dipaksakan untuk membeli barang yang harganya lebih tinggi
daripada membeli di PKL maka daya beli masyarakat akan berkurang dan akan merembet pada
bidang lain terutama kesehatan dan pendidikan.
Apabila kita berbicara mengenai kebijakan – kebijakan yang dibuat pemerintah daerah
pasti mempunyai alas hak (aturan hukum) atau didasarkan pada asas legalitas, yaitu bahwa
pemerintah daerah tunduk pada undang-undang.
Kebijakan publik mempunyai arti serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan
atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada
tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
Berbicara mengenai kebijakan pemerintah daerah berarti di sini adalah segala hal yang
diputuskan pemerintah daerah. Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah daerah memiliki
otoritas untuk membuat kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan kebijakan
terdapat dua model pembuatan, yang bersifat top-down dan bottom-up. Idealnya proses
pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara masyarakat dengan pemerintah daerah. Sehingga
kebijakan tidak bersifat satu arah.
Kembali pada persolan pertama, bahwa pemerintah daerah dalam hal ini memiliki suatu
kebijakan untuk menangani masalah PKL, yaitu suatu kebijakan yang melarang keberadaan PKL
dengan dikeluarkannya Perda (Peraturan Daerah). Pemerintah daerah Kota/daerah mengeluarkan
kebijakan yang isinya antara lain .
1. Pedagang Kaki Lima dipindah lokasikan ke tempat yang telah disediakan berupa kios-
kios.
2. Kios kios tersebut disediakan secara gratis.
3. Setiap kios setiap bulan ditarik retribusi
4. Bagi Pedagang yang tidak pindah dalam jangka waktu 90 hari setelah keputusan ini
dikeluarkan akan dikenakan sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dengan demikian, Pemerintah daerah kota menganggap kebijakan relokasi tersebut
merupakan tindakan yang terbaik bagi PKL dan memudahkan PKL. Karena dengan adanya kios
– kios yang disediakan pemerintah daerah, pedagang tidak perlu membongkar muat
dagangannya. Selain itu, pemerintah daerah juga berjanji akan memperhatikan aspek promosi,
pemasaran, bimbingan pelatihan, dan kemudahan modal usaha. Pemerintah daerah merasa telah
melakukan hal yang terbaik dan bijaksana dalam menangani keberadaan PKL.
Pemerintah daerah Kota merasa telah melakukan yang terbaik bagi para PKL. Namun,
Pasca relokasi tersebut, beberapa pedagang kaki lima yang diwadahi dalam suatu paguyuban
melakukan berbagai aksi penolakan terhadap rencana relokasi ini. Kebijakan Relokasi ini tidak
dipilih karena adanya asumsi bahwa ada kepentingan dalam kebijakan ini yaitu;
Pertama dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah daerah cenderung bertindak
sepihak sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat dari
tidak diikut sertakan atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim yang
‘menggodok’ konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini dibentuk oleh Pemerintah daerah
hanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten Pembangunan, Kepala Dinas Perindustrian,
Perdagangan, dan Koperasi, serta Dinas Pengelolaan Pasar.
Kedua adanya perbedaan persepsi dan logika dalam memandang suatu masalah antara
pemerintah daerah dengan pedagang kaki lima tanpa disertai adanya proses komunikasi timbal
balik diantara keduanya. Dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah daerah seringkali
menggunakan perspektif yang teknokratis, sehingga tidak memberikan ruang terhadap proses
negosiasi atau sharing informasi untuk menemukan titik temu antara dua kepentingan yang
berbeda. Selama ini, pedagang kaki lima menganggap Pemerintah daerah Kota tidak pernah
memberikan rasionalisasi dan sosialisasi atas kebijakan relokasi yang dikeluarkan, sehingga
pedagang kaki lima curiga bahwa relokasi tersebut semata-mata hanya untuk keuntungan dan
kepentingan Pemerintah daerah Kota atas proyek tamanisasi. Selain itu, tidak adanya sosialisasi
tersebut mengakibatkan ketidak jelasan konsep relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah
daerah, sehingga pedagang kaki lima melakukan penolakan terhadap kebijakan relokasi.
Pada umumnya barang-barang yang diusahakan PKL memiliki harga yang tidak tinggi,
tersedia di banyak tempat, serta barang yang beragam, Sehingga PKL banyak menjamur di
sudut-sudut kota, karena memang sesungguhnya pembeli utama adalah kalangan menengah
kebawah yang memiliki daya beli rendah, Dampak positif terlihat pula dari segi sosial dan
ekonomi karena keberadaan PKL menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi kota karena sektor
informal memiliki karakteristik efisien dan ekonomis.Hal ini dikarenakan usaha-usaha sektor
informal bersifat subsisten dan modal yang digunakan kebanyakan berasal dari usaha sendiri.
Modal ini sama sekali tidak menghabiskan sumber daya ekonomi yang besar.
PKL mengambil ruang dimana-mana, tidak hanya ruang kosong atau terabaikan tetapi
juga pada ruang yang jelas peruntukkannya secara formal. PKL secara illegal berjualan
hampir di seluruh jalur pedestrian,ruang terbuka, jalur hijau dan ruang kota lainnya.
Alasannya karena aksesibilitasnya yang tinggi sehingga berpotensi besar untuk
mendatangkan konsumen.
Pasal 27 ayat (2) UUD 45: Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 13 UU nomor 09/1995 tentang usaha kecil.
Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindunga, dengan menetapkan peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk, menentukan peruntukan tempat usaha yang
meliputi pemberian lokasi dipasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian
rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima, sertalokasi
lainnya. memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan. Dengan adanya beberapa
ketentuan diatas, pemerintah dalam menyikapi fenomena adanya pedagang kaki lima, harus lebih
mengutamakan penegakan keadilan bagi rakyat kecil. Walaupun didalam Perda K3 (Kebersihan,
Keindahan, dan Ketertiban) terdapat pelarangan Pedagang Kaki Lima untuk berjualan di trotoar,
jalur hijau, jalan, dan badan jalan, serta tempat-tempat yang bukan peruntukkannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemerintah menghadapai suatu tantangan besar untuk mampu membuat kebijakan yang
tepat untuk menangani masalah Pedagang Kaki Lima atau yang lebih kita kenal dengan nama
PKL. Pemerintah dalam hal ini belum mampu menemukan solusi untuk menghasilkan kebijakan
pengelolaan PKL yang bersifat manusiawi dan sekaligus efektif.
PKL yang dianggap illegal, mengganggu ketertiban kota dan alasan –alasan lain yang
mengharuskan pemerintah membuat suatu kebijakan melarang keberadaan PKL. Tetapi
sebaiknya pemerintah tidak melihat PKL dari satu sisi saja, PKL juga telah memaikan peran
sebagai pelaku shadow economy. PKL perlu diberdayakan guna memberikan kesejahteraan yang
merata bagi masyarakat. PKL merupakan sebuah wujud kreatifitas masyarakat yang kurang
mendapatkan arahan dari pemerintah. Oleh karena itu pemerintah perlu memberikan arahan pada
mereka, sehingga PKL dapat melangsungkan usahanya tanpa menimbulkan kerugian pada
eleman masyarakat yang lainnya.
Melalui Peraturan Daerah yang jelas dan akuntabel maka permasalahan sosial seperti
PKL dapat dihindarkan. Dengan adanya kebijakan – kebijakan alternatif yang baik untuk
masyarakat (PKL) serta ruang partisipasi yang dibuka seluas – luasnya, maka akan menimbulkan
sinergi yang baik antara pemerintah dengan PKL dalam menghasilkan ataupun melaksanakan
sebuah kebijakan. Jadi sebetulnya apapun kebijakan yang dibuat pemerintah, yang paling penting
dan mendasar adalah mengenai kesejahtraan rakyat sebagaimana amanat Undang – Undang
Dasar 1945 bahwa negara berkepentingan untuk mensejahtrakan rakyat yang dalam hal ini
diwakilkan kepada pemerintah.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA