Disusun oleh
1. Wintolo (1715041019)
2. Indah Pratiwi Gultom (1715041026)
3. Esterlita Sihombing (1755041005)
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.Mengetahui proses pengendalian mikroorganisme dalam sumber air dan air minum
2.Mengetahui cara konversi limbah ke energy
3.Mengetahui teknologi pengolahan polusi udara dan polutan indoor
BAB II
ISI
d. Elektrodialisis
Elektrodialisis merupakan proses pemisahan ion-ion yang larut di dalam air limbah
dengan memberikan 2 kutub listrik yang berlawanan dari arus searah (direct current,
DC). Ion positif akan bergerak ke kutub negatif (katoda) sedangkan ion negatif akan
bergerak ke kutub positif (anoda). Pada kutub positif (anoda), ion negatif akan
melepaskan elektronnya sehingga menjadi molekul yang berbentuk gas ataupun padat
dan tidak larut di dalam air. Hal ini memungkinkan terjadinya pengendapan.
2.1.6.Beberapa ciri penting mikroorganisme indikator menurut Alaerts (1987) antara lain:
Terdapat dalam air tercemar dan tidak terdapat dalam air yang tidak tercemar;
Jumlah mikroorganisme indikator berkorelasi dengan kehadiran bakteri patogen;
Mempunyai kemampuan hidup yang lebih lama daripada patogen;
Mempunyai sifat yang mantap dan seragam;
Tidak berbahaya bagi manusia dan hewan;
Terdapat dalam jumlah yang lebih besar daripada patogen, sehingga mudah terdeteksi;
Mudah terdeteksi dengan teknik-teknik laboratorium yang sederhana.
Tes dengan mikroorganisme indikator adalah yang paling umum dan dapat dilaksanakan
secara rutin. Tes mikroorganisme untuk air minum yang biasa dilakukan adalah tes bakteri total
Coliform, tes coli total dan tes E. coli. Tes bakteri total memberikan hasil mengenai jumlah
semua bakteri yang ada dalam sampel, sehingga hasil kurang spesifik. Karena bakteri yang
teranalisa bukan hanya berasal dari bakteri tinja melainkan juga dari bakteri-bakteri tanah,
tanaman dan sebagainya.
Bakteri Eschericia coli adalah penghuni normal saluran pencernaan manusia dan hewan
berdarah panas. Bakteri Coliform adalah bakteri berbentuk batang, Gram negatif, tidak
membentuk spora, aerobik dan fakultatif yang merugikan laktosa dengan menghasilkan asam dan
gas dalam waktu 48 jam suhu 35oC.Pengukuran air bersih secara bakteriologis dilakukan dengan
melihat keberasan organisme golongan coli (coliform) sebagai indikator yang paling umum.
Walaupun hasil pemeriksaan bakteri dalam sampel air menunjukkan adanya bakteri patogen,
tetapi memberi kesimpulan bahwa kehadiran bakteri coli dengan jumlah tertentu dalam air, dapat
digunakan sebagai indikator adanya jasad patogen.
Menurut Darpito (1993), kualitas bakteri air yang diolah atau air alam bervariasi, idealnya air
minum tidak boleh mengandung mikroorganisme patogen apapun, selain itu harus bebas dari
bakteri yang memberi indikasi pencemaran tinja. Indikator utama untuk tujuan ini disarankan
mempergunakan golongan coli sebagai organisme secara keseluruhan, walaupun sebagai suatu
grup mereka biasanya hadir dalam jumlah yang besar dalam tinja menusia dan juga pada
binatang berdarah panas yang lainnya. Pendeteksian organisme golongan coli tinja khususnya E.
coli menunjukkan secara nyata telah terjadi pencemaran oleh tinja.Sesuai Permenkes Nomor 492
Th 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, ditetapkan bahwa air yang akan dipergunakan
sebagai air minum dalam 100 ml air, total coliform tinja harus nol, dan apabila untuk air bersih
ditetapkan total Coliform 50/100 ml untuk bukan air perpipaan dan 10/100 ml untuk air
perpipaan.
Sesuai Manual Teknis Upaya Penyehatan Air, Ditjen P2PL (1995), sistem penyediaan air
bersih yang tidak diolah seperti air permukaan, air sumur dangkal atau sumur dalam, jika
dikonsumsi untuk keperluan sehari-hari, idealnya bebas dari golongan coli tinja, dan penilaian
menggunakan indikator golongan coli tinja, umumnya sudah cukup untuk memberi petunjuk
tingkat pencemaran oleh bakteri patogen dari air.Sementara menurut Notoatmojo (2003), air
minum yang berasal dari mata air dan sumur dalam dapat diterima sebagai air yang sehat,
asalkan tidak tercemar oleh kotoran-kotoran terutama kotoran manusia maupun binatang. Oleh
karena itu mata air atau sumur yang ada di pedesaan harus mendapat pengawasan dan
perlindungan agar tidak tercemar bahan berbahaya oleh penduduk yang menggunakan air
tersebut.
Insinerator mampu mengurangi berat sampah 80 hingga 85%, dan volume sampah 95-
96%, bergantung dari kandungan material logam di dalam sampah.Selain itu, limbah jelaga
insinerator terbukti bermanfaat untuk digunakan sebagai bahan baku jalan raya pengganti aspal.
Bahkan banyak pihak mengakui kualitas aspal dari jelaga insinerator memiliki kualitas lebih baik
dari aspal konvensional.Sempat saya singgung di atas bahwa energi panas dari sampah dapat
langsung digunakan untuk menghasilkan uap air superheat sebagai penggerak turbin uap pada
pembangkit listrik. Diketahui setiap ton sampah memiliki kandungan energi yang mampu
menghasilkan energi listrik sebanyak 2/3 MWh per hari, dan energi panas untuk kebutuhan
pemanas air di sebuah area pemukiman senilai 2 MWh juga per harinya. Maka jika sebuah
insinerator memiliki kapasitas 660 ton sampah, ia mampu menghasilkan listrik sebanyak 400
MWh per hari.
2.Pirolisis
Pirolisis adalah sebuah proses dekomposisi material dengan jalan menaikkan temperatur
secara bertahap pada kondisi atmosfer bebas oksigen (inert). Umumnya proses pirolisis diawali
pada temperatur 350°C–550°C dan terus naik hingga 700°C–800°C dalam kondisi bebas
udara/oksigen.
Setiap proses pirolisis sampah harus diawali dengan tahap persiapan yakni pemisahan
bahan-bahan logam, kaca, dan proses inerting untuk menghilangkan kandungan oksigen di
atmosfer sekitar sampah. Selanjutnya material sampah yang sudah bersih tadi dimasukkan ke
reaktor pirolisis untuk kemudian dipanaskan secara bertahap dalam kondisi bebas oksigen.Proses
pirolisis sampah menghasilkan tiga produk utama yaitu gas dengan nilai kalor tinggi (syngas),
biofuel, dan endapan padat (char).
Hasil proses pirolisis akan cenderung lebih banyak endapan padat ketika akhir proses
pirolisis hanya mencapai temperatur di bawah angka 450°C, dengan laju kenaikan temperatur
rendah. Sedangkan akan banyak menghasilkan syngas ketika temperatur akhir proses di atas
800°C dan laju kenaikan temperatur cepat. Namun rata-rata proses pirolisis dibuat di temperatur
intermediate dengan laju kenaikan temperatur tinggi agar dapat menghasilkan bahan jadi minyak
alami (biofuel).
3.Depolimerisasi Termal
Depolimerisasi termal pada sampah adalah proses pirolisis hidro untuk memecah polimer
kompleks organik sampah menjadi minyak mentah ringan. Proses ini mampu memecah sampah-
sampah biomas hingga plastik yang tersusun atas polimer rantai panjang karbon, hidrogen, dan
oksigen, menjadi minyak mentah hidrokarbon rantai-pendek dengan jumlah maksimum 18
rangkaian atom karbon.
Proses depolimerisasi termal diawali dengan pencacahan sampah menjadi potongan-
potongan kecil, dan mencampurnya dengan air jika sampah tersebut kering. Kemudian bahan
baku ini dimasukkan ke sebuah tungku bertekanan untuk kemudian dipanaskan pada suhu 250°C
dengan volume konstan. Proses yang mirip dengan panci presto ini akan mendidihkan campuran
sehingga uap di dalamnya bertekanan 4 MPa. Proses ini ditahan selama 15 menit hingga semua
uap air terbuang dan menghasilkan sebuah campuran hidrokarbon mentah dan mineral
padat.Setelah menyingkirkan mineral-mineral padat dari campuran tadi, proses selanjutnya
adalah memanaskan kembali hidrokarbon mentah di temperatur 500°C. Proses ini bertujuan
untuk memecah rantai-rantai hidrokarbon yang masih panjang. Hasil akhir dari proses ini mirip
dengan struktur minyak mentah, sehingga proses distilisasi yang sama dapat digunakan untuk
memecah kembali campuran ke komponen-komponen penyusunnya.Changin World
Technologies, sebuah perusahaan energi swasta, mengklaim mampu melakukan poses
depolimerisasi termal ini dengan tingkat efisiensi mencapai 80 hingga 85%. Itu artinya hanya
dibutuhkan sekitar 15 hingga 20% sejumlah minyak mentah hasil pemrosesan depolimerisasi
termal ini, untuk menjalankan keseluruhan proses.Keunggulan dari proses depolimerisasi termal
ini adalah kemampuan prosesnya untuk memecah bahan-bahan beracun pada sampah, untuk ikut
berubah menjadi minyak mentah. Selain itu, proses depolimerisasi termal yang justru
membutuhkan sampah dengan kondisi basah, maka sampah yang cenderung lembab tidak akan
mengurangi angka efisiensi proses.
Hal ini berbeda dengan proses insinerasi yang justru kelembaban sampah akan
menurunkan efisiensi proses insinerasi, karena kelembaban akan menyerap panas pembakaran
sampah dan mengurangi jumlah energi panas yang dihasilkan.Satu kelemahan dari proses
depolimerisasi termal adalah ketidakmampuannya untuk memroses molekul-molekul
hidrokarbon rantai pendek seperti metana yang banyak terkandung di sampah. Namun gas
metana ini akan ikut terbakar untuk ikut memanaskan air pada proses depolimerisasi termal.
4.Gasifikasi
Gasifikasi adalah proses pemanasan material-material organik berbasis karbon, menjadi
karbon monoksida, hidrogen, dan karbon dioksida. Proses ini menggunakan panas tinggi di atas
700°C, tanpa terjadi proses pembakaran, dan mereaksikan material-material organik dengan
sejumlah oksigen dan/atau uap air terkontrol. Produk dari proses gasifikasi biasa disebut dengan
syngas (synthetic gas) yang merupakan bahan bakar daur ulang ramah lingkungan.
Kelebihan dari proses gasifikasi ini adalah produk syngas yang dihasilkan memiliki nilai
kalor yang lebih tinggi daripada jika sampah langsung digunakan sebagai bahan bakar. Hal ini
karena syngas yang tersusun atas gas hidrogen (H2) dan karbon monoksida (CO) terbakar di
temperatur yang lebih tinggi daripada sampah.Namun satu sisi negatif dari proses gasifikasi
adalah produk sampingan yang bersifat korosif yakni abu klorida dan potasium. Sehingga
dibutuhkan perlakuan khusus agar limbah tersebut tidak mencemari lingkungan.
5.Gasifikasi Plasma
Gasifikasi Plasma adalah sebuah perlakuan panas ekstrim gasifikasi yang menggunakan
plasma untuk mengonversikan material organik menjadi syngas berupa hidrogen dan karbon
monoksida.Proses ini menggunakan alat las plasma dengan sumber energi listrik, serta elektroda
yang dapat berupa tembaga, tungsten, hafnium, atau juga zirconium. Selain itu dibutuhkan pula
gas inert yang dapat berupa argon jika ukuran plasma kecil hingga gas nitrogen jika plasma
berukuran besar.
Gas inert bertekanan dilewatkan ke plasma las yang dapat mencapai temperatur 2.200
hingga 13.900°C, sehingga terionisasi. Gas panas terionisasi tersebut selanjutnya digunakan
untuk memanaskan material-material sampah, sehingga material-material tersebut meleleh dan
menguap. Uap inilah yang menjadi hasil proses gasifikasi plasma, dengan hasil sampingan
berupa bahan-bahan yang tidak menguap namun meleleh menjadi semacam jelaga yang dapat
berupa kaca, keramik, atau material logam.Proses WtE tipe ini memiliki kelebihan utama yakni
mampu mendegradasi berbagai material sampah berbahaya seperti sampah medis, racun, dan lain
sebagainya, dengan sangat ramah lingkungan. Namun demikian sistem ini tidak terlalu banyak
digunakan karena prosesnya yang kadang hanya menghasilkan energi nett sedikit, atau bahkan
negatif.
6.Penguraian Anaerobik (Anaerobik Digestion)
Penguraian anaerobik sampah adalah sebuah proses penguraian material sampah biomas
menggunakan mikroorganisme di lingkungan yang bebas oksigen. Proses yang juga kita kenal
dengan istilah biogas ini dan beberapa proses selanjutnya, masuk ke dalam kategori proses
Konversi WtE Bio-Kimia karena selain tidak membutuhkan energi panas dari luar seperti pada
proses-proses WtE sebelumnya, juga melibatkan proses biologis di dalamnya.
Pengolahan biogas diawali dengan proses hidrolisis bakteri pada material input. Proses
ini bertujuan untuk memecah material organik polimer yang tidak mudah larut, seperti
karbohidrat misalnya, menjadi unsur-unsur turunan yang mudah larut (seperti gula dan asam
amino) sehingga mudah diproses oleh bakteri lain.Selanjutnya bakteri asidogenik mengubah gula
dan asam amino tadi menjadi asam asetik dan unsur-unsur lain termauk karbon dioksida,
hidrogen, dan amonia. Terakhir, organisme-organisme metanogen akan mengubah unsur-unsur
tadi menjadi ga metana dan karbon dioksida. Gas metana inilah yang bisa dimanfaatkan lebih
lanjut menjadi bahan bakar bermanfaat.Sistem pengolahan WtE ini hanya cocok digunakan
untuk mengolah bahan-bahan sampah organik seperti kotoran ternak, manusia, dan lain
sebagainya.
Oleh karena itulah sudah sering kita temui sistem-sistem biogas di berbagai area
peternakan untuk memanfaatkan gas metana tersebut menjadi bahan bakar kompor dapur. Tak
hanya itu, hasil sampingan dari proses biogas ini yakni endapan-endapan proses dapat digunakan
sebagai pupuk kandang dengan kualitas yang sangat baik.
7.Fermentasi
Proses fermentasi tentu tidak lagi asing bagi kita. Proses ini dapat kita manfaatkan juga
untuk mengonversikan sampah menjadi sumber energi.Sebuah jurnal hasil penelitian
Muhammad Waqas dan rekan-rekannya (Research Gate, 2018), menyebutkan bahwa sampah
makanan dapat diolah agar menjadi asam laktat, etanol, biogas, biohidrogen, dan asam lemak
volatil. Sampah makanan sangat kaya akan kandungan protein, karbohidrat, minyak, mineral,
serta lemak yang sangat potensial untuk diolah menjadi sumber-sumber energi terbarukan di
atas.Namun demikian proses WtE ini masih belum banyak digunakan. Masih menurut penelitian
yang sama, hal ini dikarenakan masih banyak tantangan dan penelitian yang intens untuk
mengembangkan konsep WtE ini. Campur tangan pemerintah untuk mendukung teknologi ini
juga sangat diperlukan.
8.Penangkapan Landfill Gas
Sebuah fakta menarik menyebutkan bahwa gas metana, gas yang sudah Anda ketahui
mudah terbakar, ternyata menghasilkan efek rumah kaca (global warming) yang dua puluh lima
kali lebih kuat daripada gas karbon dioksida. Dan tahukah Anda bahwa satu juta ton sampah
rumah yang terkumpul di sebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA), mampu menghasilkan 1,7-
2,5 juta m3 gas metana (Sumber).
Gas metana yang secara alami terbentuk tersebut tentu sangat bermanfaat jika bisa
dikelola dengan baik. Maka dari itu dibuatlah sebuah teknologi untuk menangkap gas-gas alami
dari tumpukan sampah di TPA tersebut, sehingga gas metana dapat dimanfaatkan secara
maksimal.Kelebihan dari metode ini adalah nilai investasi yang tidak terlalu mahal jika
dibandingkan dengan metode WtE lainnya. Namun tentu saja karena metode ini tidak
menghilangkan wujud sampah itu sendiri, maka timbunan sampah yang ada masih akan ada
ditempatnya jika tidak diolah lebih lanjut seperti pada proses WtE lainnya.Selain itu, dibutuhkan
waktu tunggu satu hingga dua tahun sejak sampah baru ditumpuk, agar menghasilkan gas metana
yang bisa ditangkap.
9.Sel Bahan Bakar Mikroba (Microbial Fuel Cell/MFC)
Sel bahan bakar mikroba adalah sebuah sistem bio-kimia terkatalis yang mampu
mempoduksi arus listrik dengan jalan mengoksidasi material organik biodegradable
menggunakan bakteri atau enzim tertentu.
MFC tersusun atas dua ruangan yang masing-masing ditempatkan anoda dan katode,
dengan sebuah sekat membran pertukaran proton yang memisahkan dua ruangan tersebut. Ruang
anoda biasanya dijaga agar tidak terekspos oksigen, sedangkan ruang katoda dapat terekspos
dengan udara luar atau terendam di larutan aerobik.Ruang anoda yang bebas oksigen berisi
larutan organik (yang bisa berasal dari sampah organik). Ketika mikroba mengoksidasi larutan
tersebut, proses oksidasi yang terjadi akan menghasilkan gas karbon dioksida, elektron, serta
proton. Elektron akan mengalir melewati anoda, melintasi rangkaian listrik eksternal, dan
berakhir di katoda. Sedangkan proton akan melewati membran pertukaran proton menuju katoda
di ruangan lain, lalu berkombinasi dengan oksigen membentuk air.
Alat WtE ini hanya cocok diaplikasikan untuk skala kecil saja. Misalnya diterapkan di
lokasi yang jika harus menggunakan baterai konvensional memakan biaya yang mahal atau
justru menimbulkan bahaya. Salah satu contoh adalah ketika dibutuhkan sebuah sumber energi
listrik untuk menghidupi sebuah sensor korosi pada pipa pasokan gas alam lepas pantai, maka
alat ini sangat cocok digunakan.
10.Esterifikasi
Esterifikasi adalah proses reaksi kimia antara zat trigliserida (lemak/minyak yang banyak
terkandung pada sampah makanan) dengan alkohol serta bantuan katalisator alkalin, untuk
membentuk mono-alkil ester, atau biasa kita kenal dengan sebutan biodiesel. Proses ini biasanya
menggunakan alkohol jenis metanol, sehingga hasil akhir proses esterifikasi nantinya adalah
metil ester, atau yang kita kenal sebagai etanol, serta etil ester. Hasil akhir inilah yang dapat
digunakan sebagai bahan bakar alternatif ramah lingkungan.
Tingginya tingkat polusi udara di daerah perkotaan perlu mendapat perhatian khusus dari
berbagai pihak (tidak hanya pemerintah saja). Adapun, 70% polutan udara di Jakarta ternyata
berasal dari sektor transportasi. Terlebih lagi, proses pembakaran bahan bakar minyak yang
tidak sempurna pada kendaraan bermotor menghasilkan unsur kimiawi yang berbahaya
seperti CO, oksida-oksida sulfur (SOx), oksida-oksida nitrogen (NOx), partikulat dan timbal
(Pb). Penggunaan Three Way Catalytic (TWC) Converter pada knalpot kendaraan bermotor
ternyata sulit untuk mengontrol polutan udara yang sudah terpapar, sehingga dibutuhkan
inovasi baru yang dapat menangani masalah polusi udara yang sudah ada.Nyatanya, emisi
kendaraan bermotor pertama kali akan berkontak dengan permukaan jalanan yang terbuat dari
beton. Oleh karena itu, rekayasa teknologi fotokatalisis pada material beton yang sudah ada
sangat menjanjikan. Di samping itu, TiO2 yang dibutuhkan untuk melapisi juga lebih sedikit
dibandingkan bila TiO2 dilebur dengan material beton itu sendiri.
Material pendegradasi polutan yang sangat berpotensi untuk dikembangkan adalah katalis
komposit yang merupakan kombinasi antara fotokatalis dengan adsorben. Hal ini dipicu oleh
daya adsorpsi material fotokatalis yang umumnya lebih rendah dibandingkan dengan material
adsorben, sehingga laju degradasi fotokatalitik cukup rendah. Keberadaan adsorben dalam
katalis komposit ini dapat meningkatkan kontak antara fotokatalis dengan polutan; sedangkan
keberadaan fotokatalis dalam katalis komposit membuat polutan terdegradasi sehingga
adsorben tidak cepat jenuh oleh polutan. Jadi, keberadaan fotokatalis dan adsorben dalam
katalis komposit memiliki fungsi yang saling mendukung. Untuk mendapatkan kinerja katalis
komposit yang maksimal perlu didapatkan komposisi yang optimal dalam mendegradasi
polutan.
Dalam pembuatan katalis komposit, perlu pemilihan adsorben dan fotokatalis yang sesuasi
dengan senyawa yang ingin didegradasi. CO dan NOx merupakan polutan inorganik yang
bersifat polar, sehingga cocok diadsorpsi oleh adsorben yang juga bersifat polar. Dalam hal
ini abu terbang dinilai memiliki potensi sebagai adsorben tersebut, ditinjau dari
kemampuannya dalam mengadsorpsi CO2 (Arifpin dan Aditya, 2009), adsorben logam berat
seperti Cr dan Ni (Pratama, 2007), dan mengadsorpsi NOx (Rubel, 2004). Pemanfaatan abu
terbang di Indonesia relatif masih rendah (hanya sekitar 10% saja), sehingga belum dapat
memecahkan masalh lingkungan yang ditimbulkan. Dalam penelitian ini abu terbang akan
dimanfaatkan sebagai binder antara katalis komposit dengan permukaan beton yang akan
dilapisi. Hal ini dapat dipicu dengan kehadiran air dan ukuran partikel abu terbang yang halus,
sehingga oksida silika yang dikandungnya dapat bereaksi dengan kalsium hidroksida
menghasilkan zat yang memiliki kemampuan mengikat seperti semen.
Senyawa hidrokarbon yang merupan polutan organik dan bersifat non-polar, dapat dengan
efektif diserap dengan menggunakan karbon aktif (activated carbon / AC) yang juga bersifat
non-polar. Selain itu, karbon aktif dipilih karena memiliki luas permukaan dan volume pori
yang bersar. Sedangkan, TiO2 dipilih sebagai fotokatalis dalam katalis komposit ini karena
dapat mendegradasi CO, NOx, dan HC dengan baik (Gustafsson, 2006; Lin, 1996; Maggos,
2005), serta bersifat non-toksik dan harganya terjangkau.
Gagasan yang diusulkan dalam penelitian ini adalah membuat eksperimen degradasi
polutan udara (CO, NOx, dan HC) secara fotokatalitik pada skala laboratorium (untuk S1) dan
skala real (untuk S2) yang dapat diaplikasikan untuk memodifikasi permukaan beton
menggunakan slurry berbahan dasar katalis komposit TiO2-AC-Abu Terbang yang
permeabel. Adanya rongga-rongga udara pada permukaan beton dapat dimanfaatkan sebagai
tempat menempelnya katalis komposi dengan binder abu terbang dari PLTU Paiton yang
memiliki kadar CaO tinggi (memiliki sifat self-cementing) dengan menggunakan metode
penguasan (smearing). Diharapkan dari penelitian ini, material beton yang dilapisi dengan
katalis komposit TiO2-AC-Abu Terbang dapat mendegradasi kadar polutan udara yang tinggi
di kota padat penduduk seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya; hingga di bawah nilai baku
mutu udara ambien. Pengaplikasian teknologi ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas
udara di perkotaan, sehingga tingkat kesehatan masyarakat dapat lebih terjamin.
Bila tidak ada hambatan, maka penelitian ini akan dimulai pada awal semester 7 (sekitar
bulan September 2010). Kiranya penelitian ini dapat terealisasikan sesegera mungkin dan
dapat membantu memperbaiki kualitas udara perkotaan. Kritik dan saran sangat diharapkan
demi kemajuan penelitian ini. Terima Kasih
2.3.2 Pembangunan Green Belt Sebagai Antisipasi Pencemaran Udara Industri Pupuk Di
Kalimantan Timur
Sabuk hijau (green belt), adalah ruang terbuka hijau (RTH) yang dibangun untuk
membatasi tumbuh kembangnya suatu pemanfaatan lahan atau membatasi aktivitas satu
dengan aktivitas lainnya, sehingga tidak saling mengganggu (1,2). Sementara yang dimaksud
dengan RTH, adalah merupakan area yang memanjang dan atau mengelompok yang bersifat
terbuka, digunakan utuk tumbuh kembang tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah
maupun yang sengaja ditanam (1,2,3). Kaltim Industrial Estate atau KIE adalah sebuah
kawasan industri yang terletak di sebelah utara Kelurahan Lhoktuan, Kecamatan Bontang
Utara, Kota Bontang, Kalimantan Timur. Industri ini menjadi satu kawasan dengan area
industri pupuk milik PT Pupuk Kaltim dan berbatasan dengan kawasan permukiman
penduduk. Kawasan KIE ini merupakan pengembangan pabrik NPK Kluster, Asam Fosfat,
Asam Sulfat, Aluminium Fluoride dan Gypsum, yang dikawatirkan berdampak negatif
terhadap lingkungan, terutama akibat pencemaran udara yang ditimbulkan oleh beroperasinya
industri tersebut (4,5).
Oleh karena itu, adanya Green Belt pemisah antara areal industri dengan permukiman
akan sangat berperan dalam mengantisipasi pencemaran udara yang berasal dari kawasan
industri menuju kawasan permukiman(6). Adanya Green Belt tersebut antara lain dapat
berperan sebagai :
Penahan dan Penyaring Partikulat .
Lahan Green Belt yang ditanami pepohonan dengan tajuk pohon yang tinggi dan rapat
dapat membersihkan partikel padat yang tersuspensi yang melayang akan terjerap
(menempel) pada permukaan daun, terutama daun yang berbulu dan permukaan yang
kasar (1,8).
Penyerap dan Penapis Bau
Lahan Green Belt disiapkan utuk mengurangi tingkat kebauan dapat dilakukan dengan
menyiapkan tanaman dengan kemampuan menyerap bau secara langsung atau dengan
mengembangkan penanaman tanaman yang menghasilkan bau harum sehingga dapat
menetralisir bau busuk dan menggantinya dengan bau harum, seperti cempaka, dan
tanjung(1,9).
Peredam Kebisingan
Lahan Green Belt disiapkan untuk mengantisipasi kebisingan dari sumber kawasan
industri, memerlukan karakteristik tegakan pohon peredam kebisingan dengan tajuk tebal
dan daun yang rindang. Daun-daun tegakan pohon tersebut menurut hasil kajian mampu
menyerap kebisingan higga 95% (1,9).
Berdasarkan faktor faktor penentu pemilihan tanaman penghijauan green Belt, maka
tumbuhan yang akan diintroduksikan ke zona Green Belt adalah sebagai berikut, sebagaimana
disajikan pada Tabel sebelumnya. Ada beberapa hal yang perlu menjadi pedoman
menentukan alternatif tanaman Green Belt, mengingat bahwa tanaman tersebut harus
memenuhi beberapa kriteria yang dibutuhkan dibangunya Green Belt ini. Kriteria tersebut
adalah sebagai berikut, bahwa Green Belt selain berfungsi sebagai zona hijau pembatas antara
kawasan industri dengan kawasan Permukiman juga berfungsi :
Tanaman yang diintroduksi memiliki kapasitas menyerap debu yang terpapar ke zona
Green Belt.
Tanaman yang diintroduksi memiliki kapasitas menyerap gas pencemar yang dihasilkan
pabrik pupuk.
Tanaman yang diintroduksi memiliki kapasitas mengurangi bau dari emisi pabrik yang
timbul.
Untuk menempatkan dan menumbuh kembangkan jenis-jenis tanaman, dapat dipilih dari 2
(dua) alternatif konsep pembangunan Green Belt tersebut, sebagai berikut :
Konsep (a), setiap jenis tanaman menempati lahan Green Belt sesuai dengan strata
tanaman (tajuk tinggi dan tajuk sedang)
Konsep (b), setiap jenis tanaman menempati lahan sesuai dengan strata tanaman
(tajuk Tinggi dan Tajuk sedang), tetapi ada tanaman tajuk sedang yang intersep
dibawah tanaman tajuk tinggi
Dengan pertimbangan lebar Green Belt hanya mencapai 50 meter, untuk mendapatkan
landscape yang optimal, Konsep (b) merupakan konsep yang mendapat pertimbangan untuk
ditindak lanjuti. Pada Konsep (b), sisi kearah permukiman ditempatkan tanaman bertajuk
tinggi sekaligus memilki fungsi menangkap partikulat dan polutan gas dengan tajuknya yang
menjulang, selanjutnya dibagian bawah tajuk tinggi tumbuh tanaman tajuk rendah dengan
fungsi yang sama akan menyerap partikulat dan polutangas. Demikian juga untuk sisi Green
Belt kearah pabrik ditumbuhi tanaman tajuk sedang dan semak, yang juga berfungsi untuk
menyerap partikulat dan menyerap polutan gas. Sedangka kebauan yang berasal dari operasi
pabrik diharapkan dapat tereliminasi oleh tebalnya lapisan Green Belt sekaligus dikurangi
oleh tanaman yag menghasilkan wewangian seperti Kenangan dan Tanjung.
Pembangunan sabuk hijau atau Green Belt dimaksudkan sebagai pilihan dalam rangka
pembangunan yang tidak merusak lingkungan. Selain melakukan penerapan teknologi untuk
menekan praoduksi limbah yang dihasilkan dalam industri proses, beberapa literatur
menunjukkan bahwa penanaman tumbuhandalam konsep greenbelt mampu menurunkan
kualitas udara ambien pada suatu wilayah tertentu.
Dengan pilihan pilihan tanaman yang tepat dan luasan areal tertentu akan mampu
menurunkan polusi suatu industri. Beberapa kajian dengan lebar green belt mencapai 500
meter, Green belt mampu menurunkan polusi udara suatu kawasan, sebaliknya dengan lebar
green belt yang terbatas, seperti ditepian jalan raya, upaya tersebut tidak maksimal
menurunkan kandungan pencemaran udara ambien. Dengan alasan tersebut, ada suatu
kehawatiran, rencana pembangunan Green Belt dengan lebar 50 dan panjang 600 meter di
rencana kawasan industri KIE(5), tidak menghasilkan penurunan polusi udara yang
signifikan. Hanya saja, untuk rencana kawasan industri pupuk KIE, selain kualitas udara
ambien eksisiting yang masih baik, hasil simulasi model konsentrasi gas buang dari
cerobong rencana industri pupuk KIE telah memenuhi ketentuan baku mutu.
Dengan membangunan kawasan Green Belt, secara estetika kawasan industri menjadi
nyaman, dan sekaligus mengurangi pencemaran udara daerah sekitarnya, terutama kawasan
permukiman yang berdampingan dengan kawasan industri. Dalam mempersiapkan tanaman
untuk ditanam di lahan Green Belt, telah dipilih alternatif jenis tanaman yang berfungsi
menyerap gas pencemar, menyerap partikulat, dan aroma bau dari bahan kimia yang terlepas
dari aktifitas industri. Komposisi tanaman yang diusulkan untuk menyusun tanaman green
belt telah dipilih sesuai kebutuhan.
Agar terhindar dari pemicu asma dan alergi serta penyakit-penyakit saluran napas yang
lain, pembersih udara atau air purifier dapat dijadikan alternatif untuk menyaring udara
kotor di dalam ruangan. Pilihlah pembersih udara yang menggunakan filter HEPA.HEPA
atau high-efficiency particulate air adalah penyaring udara mekanik yang bekerja dengan
cara memaksa udara melewati lapisan penyaring yang dapat menangkap pertikel-partikel
berbahaya. Partikel-partikel yang dimaksud antara lain: kutu, tungau, debu, serbuk bunga,
bahkan asap rokok juga akan tersaring menggunakan alat ini.
Saringan HEPA ini sendiri berukuran kecil dan bersifat portabel atau mudah dibawa.
Tiap penyaring udara memiliki ukuran yang berbeda dengan kapasitas yang berbeda pula.
Oleh karena itu, perhatikan jumlah udara yang dapat disaring dan besar ruangan dimana alat
dengan HEPA ini akan diletakkan. Ruangan yang paling cocok diberi alat pembersih udara
adalah ruangan di mana Anda menghabiskan banyak waktu di dalamnya seperti ruang tidur.
Jika Anda masih bingung dalam memilih penyaring udara yang baik, berikut beberapa
tips yang dapat diikuti.
Pilih penyaring udara yang menggunakan HEPA
Teknologi penyaring yang menggunakan HEPA (high-efficiency particulate air) ini
paling efektif dalam menyerap berbagai kotoran dari udara, seperti bulu hewan, debu,
serbuk sari, dan jamur. Pastikan produk yang Anda beli benar-benar menggunakan HEPA
dan bukan sekadar pembersih udara. Penyaring udara dengan HEPA merupakan model
penyaring udara yang paling dianjurkan oleh dokter.
Perhatikan ukuran
Ada produk pembersih atau penyaring udara yang ukurannya besar, namun ada pula yang
portabel sehingga berukuran kecil. Saat memilih pembersih atau penyaring udara,
perhatikan ukurannya. Pastikan perangkat tersebut ditempatkan di ruangan yang cukup,
tidak penuh sesak dan masih ada jeda di sekitarnya agar dapat menyerap udara kotor
dengan baik. Pilih penyaring udara yang kapasitasnya sedikit melebihi ruangan di mana
penyaring udara akan ditempatkan. Hal ini untuk memastikan agar mesin mampu
membersihkan udara dalam ruangan
Hindari penyaring udara yang menghasilkan ozon
Selama ini masih ada produsen yang membuat penyaring udara yang didesain
memancarkan ozon. Padahal ozon harus dihindari karena berbahaya bagi tubuh. Produk
tersebut memang menyaring debu dan partikel-partikel kotoran dengan baik. Namun,
ozon yang dipancarkan justru berpotensi merusak kesehatan. Beberapa negara sudah
resmi melarang alat penghasil ozon pada alat pembersih udara portabel untuk di dalam
ruangan. Utamakan yang memiliki indikator dan sertifikasi antiasma dan antialergi
Pilih penyaring udara yang dilengkapi dengan indikator, agar Anda tahu kapan harus
membersihkan penyaringnya atau menggantinya. Indikator tersebut dapat berupa lampu
yang akan menyala jika sudah tiba waktunya untuk membersihkan penyaring.
Saat membeli produk penyaring udara, pastikan produk tersebut sudah memiliki
sertifikasi antiasma dan antialergi. Sertifikasi semacam itu menunjukkan bahwa
penyaring udara ini benar-benar sudah mampu mengurangi dan menghapus partikel atau
zat penyebab polusi yang mengakibatkan alergi dan asma, dan bukan hanya
memindahkan sementara.
BAB III
KESIMPULAN
1. Pengolahan air minum merupakan upaya untuk mendapatkan air yang bersih dan sehat
sesuai standar mutu air untuk kesehatan.
2. Pengolahan air dapat dilakukan secara fisika maupun secara kimia
3. Ciri penting mikroorganisme indikator menurut Alaerts (1987) antara lain:
Terdapat dalam air tercemar dan tidak terdapat dalam air yang tidak tercemar;
Jumlah mikroorganisme indikator berkorelasi dengan kehadiran bakteri patogen;
Mempunyai kemampuan hidup yang lebih lama daripada patogen;
Mempunyai sifat yang mantap dan seragam;
Tidak berbahaya bagi manusia dan hewan;
Terdapat dalam jumlah yang lebih besar daripada patogen, sehingga mudah
terdeteksi;
Mudah terdeteksi dengan teknik-teknik laboratorium yang sederhana
4.Beberapa cara yang sering digunakan untuk mengubah limbah jadi energy
Insinerasi (Incineration)
Pirolisis
.Gasifikasi
Penguraian Anaerobik (Anaerobik Digestion)
Penangkapan Landfill Gas
Sel Bahan Bakar Mikroba (Microbial Fuel Cell/MFC)
Esterifikasi
DAFTAR PUSTAKA
Alaert, G., Santika.S.S, 1987, Metode Penelitian Air, Usaha Nasional, Surabaya
Anonim. Cara Tepat Menanggulangi Polusi Udara di Dalam Ruangan.”
https://www.alodokter.com/cara-tepat-menanggulangi-polusi-udara-di-dalam-ruangan”,
diakses pada tanggal 22 Mei 2019 pukul 20:39 WIB
Effendi, H, 2007, Telaah Kualitas Air Bagi Pengelola Sum ber Daya danSudarmadji, 2007,
Hidrologi dan Klimatologi Kesehatan, Bahan Ajar Jurusan Kesehatan Lingkungan, UGM.
Mahida, N.U, 1986, Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri, CV. Rajawali, Jakarta.
Manual Teknis Upaya Penyehatan Air. 1995. Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Depkes RI.