Bacalah prolog dan epilog novel Nyani Sunyi dari Indragiri berikut.
A. Prolog
lelaki tak memiliki apa-apa
jiwanya pergi, mengikuti arah angin yang tak berketentuan, atau
air sungai yang mengalir membawanya pergi jauh ke arah entah
kadang dia bertanya: “seberapa beranikah aku
mempertaruhkan diriku bertarung membela kehormatan?”
juga, dia masih meragukan dirinya sendiri: “seberapa takutkah
aku dicintai?”
lelaki tak memiliki apa-apa, bekalnya hanya rasa, untuk
dijadikan tongkat penunjuk dalam perjalanan...
(NSdI, 2004:ix)
B. Epilog
Senja hampir habis, burung-burung terbang mencari tempat
untuk pulang dan angin semilir berembus tipis. Seorang laki-laki
dengan rambut gondrong, cambang, kumis, dan segala rambut
yang menutupi kepala dan wajahnya. Di punggungnya tergantung
tas ransel lusuh, baju, dan celana, serta sepatu yang dipakainya
juga lusuh. Angin mengibar-ngibarkan rambut gondrongnya, dan
matahari senja yang hampir habis bersinar menerpanya, membuat
lelaki itu seperti siluet hitam, yang terlihat hanya bayangan.
Di sebuah lapau tempat banyak laki-laki yang sedang
bermain domino, dia berhenti sejenak. Mereka yang ada di situ
serentak memandangnya, tetapi kemudian kembali asyik dengan
batu dominonya.
“Masih berapa jauhkah Bukit Tengkorak dari sini, Ibu?” tanya
lelaki itu kepada pemilik lapau.
Kontan, semua orang menghentikan permainannya. “Untuk
apa Anak mencari bukit itu? Semua yang datang ke bukit itu tak
pernah kembali. Kata orang, di bukit itu benar-benar ada hantu,
juga binatang buas seperti beruang, harimau, dan sebagainya,”
jawab salah seorang dari mereka.
“Saya tahu, Pak, saya sudah mendengar semua cerita tentang
Bukit Tengkorak itu. Saya memang tak ingin kembali lagi setelah
sampai di sana...”
Semuanya heran, mulutnya melongo. Ibu pemilik lapau itu
kemudian mengatakan bahwa untuk mencapai Bukit Tengkorak,
harus melakukan perjalanan kaki paling cepat dua hari dua
malam, menuruni tiga lembah dan empat bukit. “Letaknya di
sebalik Gunung Kerinci itu, Anak. Tapi tidak ada angkutan mobil
yang bisa mengantar ke sana. Bahkan pemilik sewaan kuda di
daerah ini juga tidak mau menyewakan kudanya kalau tujuannya
ke Bukit Tengkorak.”
“Terima kasih, Bu. Mungkin saya memang harus berjalan
kaki...”
Kemudian, seperti dalam cerita-cerita komik atau film silat,
lelaki berambut gondrong menggendong tas ransel itu berjalan
menjauhi lapau itu, yang membuat semua orang yang ada di situ
melongo. Angin senja yang hampir habis membuat rambutnya
berkibar-kibar, dan sinar matahari yang hampir tenggelam
membuat tubuhnya tampak hanya bayangan, seperti siluet. Dia
berjalan ke arah barat, ke arah matahari tenggelam, ke arah Bukit
Tengkorak, bukit kematian yang diyakini oleh seluruh penduduk
di kaki Gunung Kerinci itu.
Aku memang ingin mati, katanya dalam hati. Tetapi mengapa
aku tak bisa mati?
Beberapa saat kemudian, senja benar-benar telah habis.
Bayangan lelaki itu sudah tidak tampak lagi dari lapau, yang
tertinggal hanya hawa dingin yang menggigilkan tulang.
“Orang aneh...” desis orang-orang di lapau itu. “Semua orang
ingin mencari hidup, ini malah mencari mati... Mengapa tidak
bunuh diri saja?”
Kembali, angin hanya menyisakan dingin yang menggigilkan
tulang-tulang, dan para lelaki itu terus bermain domino hingga
menjelang tengah malam, ketika dingin benar-benar tak bisa
dikurangi dengan kopi atau selimut tebal.
Dingin yang membuat beku, dan laki-laki berambut gondrong
menggendong tas ransel itu tetap berjalan dalam gelap, tanpa
cahaya apapun. Dia terus berjalan, terus berjalan, tanpa cahaya,
tanpa apa-apa. Hanya berjalan, ke arah entah.
(NSdI, 2004:99—101)