Anda di halaman 1dari 5

“Serenade Luka”

By : Ayu Damayanti

Mendung begitu manja menggelayut di langit pagi ini. Kulihat cermin yang tergantung di
sebelah pintu kamar, sembab di mataku begitu jelas setelah semalaman aku menikmati setiap
tetes air mata yang tak bisa kuhentikan. Entah kenapa semua rasa sakit itu kembali terasa.
Menampakkan diri dengan jelas dan begitu perih kembali menggores hati. Lembar demi lembar
perjuanganku untuk sembuh kembali terpampang tanpa sekat.

Kupeluk tubuh yang masih berbalut selimut di atas ranjang besi tua yang dicat ulang untuk
menutup karat yang sudah melumurinya. Kudekap raga yang menjadi satu-satunya alasanku
untuk bertahan, yang membuatku mampu berdiri dan tersenyum hingga sekarang, yang
menyadarkanku akan begitu banyak hal yang seharusnya masih bisa menghadirkan bahagia
dalam hidupku. Tanpa bisa kucegah, bulir bening kembali mengalir dari sudut mataku dan
tetesannya membuat dia terbangun. Dengan muka yang masih mengantuk dan penuh tanda tanya
dia bertanya, “Mama kenapa?”

Aku hanya menggeleng sambil tersenyum, “Gak papa nduk, mama hanya ingat masa kecilmu.
Kangen nggendong kowe nak. Tapi mana mama kuat gendong kamu sekarang,” jawabku sambal
berusaha menyembunyikan perih yang masih terasa menyayat di hati.

Aku tarik selimutnya, “Bangun nok, subuhan dulu. Sana, ditunggu Allah. Mau minta apa hari ini
sama Allah?” Aku tarik tangannya dan kuangkat kepalanya agar dia terbangun. Gadisku, sudah
menjelang 11 tahun usiamu tapi kadang aku masih suka memperlakukannya seperti anak kecil,
seperti ada perasaan tak rela ketika melihatnya beranjak dewasa. Aku menatap punggungnya
yang berjalan keluar kamar dengan muka kusut dan mulut manyun. Tingkah yang selalu
membuat aku tersenyum. Seandainya kau tahu sakit ini nak, tapi sudahlah, aku tak ingin kau tahu
dan ikut merasakannya.

***

Aku sudah sibuk di dapur, mengolah apa yang tersisa dalam kulkas. Ada perasaan enggan untuk
keluar di tengah guyuran air hujan yang meronta dan meminta jatuh ke bumi sejak dini hari tadi.
Ribuan tetesnya adalah berkah bagi jutaan bahkan milyaran ciptaanNya yang tersebar diseluruh
hamparan bumi yang fana ini. Kehidupan yang selalu menjadi harapan setiap jiwa yang masih
bernyawa. Begitupun juga dengan kami, saya khususnya. Deretan hari-hari yang terlewati
bagaikan ribuan kerikil tajam yang menusuk setiap jengkal tapak kaki, meskipun terkadang ada
jalan mulus yang sedikit menjadi obat perih.
Gadisku muncul di dapur dengan memakai gamis ungu tua yang sudah sedikit mengggantung
pada bagian bawah karena dia semakin tinggi mengikuti postur tubuh ayahnya. Sambil menyisir
rambut yang sudah mulai panjang, “Masak apa, ma?”

“Tempe tepung, sayur bayam sama sambal ya nak.”

“Yeayyy… Aku suka ma, “ ujarnya sambil tersenyum riang.

Aku tersenyum melihat tingkahnya dan memandangnya berlalu menuju depan, entah ke kamar,
entah ke ruang tengah.

Sambil terus tanganku mengolah makanan untuk sarapan, ingatanku mengajak mundur ke 11
tahun yang lalu.

***

Saat itu aku yang begitu bahagia, mengetahui bahwa aku hamil, setelah menuunggu selama
hampir 1,5 tahun, akhirnya Allah memberiku kepercayaan untuk merasakan menjadi wanita
seutuhnya. Kejadian istimewa yang begitu besar untukku ternyata hanya ditanggapi dingin oleh
suamiku, laki-laki yang akan menjadi ayah dari janin yang ada dalam rahimku.

Pagi itu dengan semangat aku membangunkannya dan menyampaikan kehamilanku. Namun
dengan malas dia membuka sedikit mata sambil tersenyum sekedaarnya. Kecewa rasanya saat
melihat reaksinya, namun semua rasa itu terabaikan dengan rasa bahagiaku.

Semua berjalan biasa saja hari itu, tidak ada yang istimewa. Kami berangkat ke warung kopi
milik suami. Namun ada hal yang sangat membuatku sakit, sangat sakit. Hari itu suami pergi ke
rumah ibunya. Menyampaikan kehamilanku, namun ternyata tidak ada reaksi ataupun sedikit
kata yang keluar dari mulutnya sebagai tanda bahagian akan mempunyai cucu pertama. Malah
kata suami, ada bulek disana yang bilang, “Loh yo’opo iki, Yanti meteng … “ (loh bagaimana
ini, Yanti hamil) sangat tersirat ketidak sukaannya akan kehamilanku.

Dengan separuh hati aku tetap berusaha bertahan di tempat suami. Saat itu kami tinggal bersama
kakek dari suami. Hari demi hari hanya berisikan kesedihan dan kesusahan hati, aku tetap
berusaha untuk bertahan. Hingga akhirnya ketika usia kehamilanku sudah masuk bulan kedua,
aku memaksa pulang ke rumah orang tuaku. Selain karena kondisiku yang semakin tak sehat.
Juga karena kondisi hatiku yang tak pernah tenang dan selalu dalam tekanan.

***

Semua berjalan baik-baik saja, hingga gadis kecilku berusia enam bulan. Kala itu ayahnya
memilih kembali ke kota kelahirannya. Mencoba bekerja di sana dengan janji akan kembali jika
memang tidak diterima. Namun janji tinggallah janji. Sepertinya dia sudah terlalu nyaman di
sana. Bersama orang tuanya yang memang orang berada. Ya, kasta kami memang jauh berbeda.
Meskipun banyak orang bilang tak ada yang membedakan status social kita. Ah, tak sepenuhnya
kalimat itu benar. Aku merasakannya. Aku yang sempat dianggap seorang pembantu oleh salah
seorang saudara jauhnya. Aku yang dibeda-bedakan dalam banyak hal. Aku yang selalu tersisih
dan sendiri kala ada acara keluarga. Aku yang memang tidak akan bisa menjadi secantik bidadari
seperti keluarga mereka, karena nyatanya aku memang berasal dari keluarga tak punya. Ibuku
seorang pembantu dan ayahku seorang buruh. Lantas apa pantas aku berharap banyak untuk bisa
sejajar dengan mereka. Hanya dengan mengandalkan kemurnian hati dan cinta tulus. Hah!!
Mimpi!!

Posisiku diperparah dengan suami yang tidak bekerja kala itu. Hanya mengandalkan orang
tuanya. Bahkan untuk zakat fitrah saja aku diminta untuk dibayarkan zakat oleh ayahku sendiri
dengan alasan aku tak ada hubungan darah dengan mereka. Alasan apa ini?? Bukankah zakatku
adalah tanggung jawab suamiku yang adalah anak mereka.

***

“Ma, sudah matang?” Suara gadisku menyeretku kembali pada ruang waktu saat ini.

“Sebentar lagi, nak. Sini bantu mama bawa sebagian lauk ke depan ya.”

“Siap, ma.” Jawabmu riang.

Ah sayang, senyum dan tawamu adalah obat bagi semua lara dan luka yang pernah mendera hati.
Meskipun perih itu masih sering menyapa. Namun sekejap lenyap saat kerjap matamu hadir di
depanku.

Betapa dulu mama harus menjalani hidup bagai orang tua tunggal meskipun mama masih
menyandang status seorang istri. Namun kedewasaan dan tanggung jawab laki-laki yang
ditakdirkan menjadi ayahmu terasa mandul. Semakin lama semakin hilang tanggung jawab dan
pedulinya padamu. hingga di suatu hari sepupunya memberi kabar, “Mbak nggak kesini? Aku
lihat mas boncengan sama cewek rambut panjang?”

Kau tahu nak, bagaimana remuknya hati mama saat itu. Apakah mama kesana? Ya, mama ke
kota ayahmu, untuk mencari bukti dari semua rumor yang mama dengar.

Tapi apa yang mama dapat nduk? Mama disebut tukang adu domba. Adu domba ayahmu dengan
temannya. Ayahmu dengan orang tuanya dan ayahmu dengan saudaranya. Padahal orang yang
pertama kali memberi kabar adalah saudara ayahmu. Dan teman-temannya semua bercerita
tentang kelakuan ayahmu. Hingga akhirnya semua harus berakhir di meja persidangan dan
akhirnya mama benar-benar menyandang status seorang single parent sepenuhnya.

***

Pernah suatu ketika engkau terkena ISK (Infeksi Saluran Kencing). Mendengar teriakan dan
tangisanmu menahan sakit ketika buang air kecil cukup membuatku merasa tak berdaya. Dengan
sisa uang tabungan kala itu, mama membawamu ke Rumah Sakit. Namun, ternyata uang yang
kita punya hanya cukup untuk membeli separuh resep obatmu. Perih nak, perih yang terasa saat
itu. Di mana laki-laki yang harusnya ada di sampingmu. Melindungi, menghibur, berjuang untuk
kesembuhanmu. Ya, dia sibuk dengan meja DJ seharga tujuh belas juta pembelian orang tuanya.
Sedangkan kita di sini berjuang mengumpulkan koin demi koin recehan, menahanmu keluar
rumah supaya tidak merengek minta jajan, demi bisa membeli susumu. Di mana dia, saat buah
hati yang seharusnya menjadi hal yang terpenting dalam hidupya sedang merintih kesakitan. Ya,
mama dengar ayahmu ingin menjadi DJ. Dengan segala cara dia minta belikan meja DJ kepada
ibunya dan bagi mama itu adalah perbuatan yang sangat-sangat tak penting.

Dengan berat hati mama hubungi ayahmu kala itu. Meminta bantuannya untuk beli sisa obatmu.
Dia berjanji akan mintakan uang ke IBUNYA!!! Kenapa harus minta ke ibunya, sedangkan
engkau seharusnya adalah tanggung jawab sepenuhnya ayahmu, nak. Ya, karena ternyata mama
menikahi seorang pecundang. Belum nak, puncaknya, tiga hari setelah mama meminta bantuan
uang pada ayahmu, ternyata tak ada kabar sama sekali. Handphone ayahmu tak aktif. Mama
telpon adiknya katanya ayahmu sudah dua hari tidak pulang, dan ternyata ibunya sudah
memberinya uang untuk dikirim padamu, nduk. Mama telpon khadimat yang ada di rumahnya
dan tanpa mama duga dia bilang bahwa ayahmu tak pulang dan terakhir kali keluar meminjam
mobil adiknya bersama seorang perempuan.

Kala itu mama hanya bisa diam, tak ada lagi sedih dan air mata, semua berubah menjadi sebuah
kemarahan yang tak bisa lagi mama tahan. Tetapi semua itu hanya terpendam dalam diam. Yang
menjadi pikiran mama hanya bagaimana bisa membeli sisa obatmu dan membayar biaya cek lab
yang sudah selesai. Allahu Rabbi … .

***

“Makan, Ma. Daritadi ngelamun terus, aku bilang apa Mama gak dengar?!” Gadisku merajuk
manja.

“Eh iya sayang. Mbak -panggilan akrabku selain Yaya dan Aya- juga makannya yang banyak ya.
Bayam itu banyak mengandung zat besi nak.”

“Hah, aku berarti makan besi donk Ma!” celetuknya pura-pura terkejut. Kamipun tertawa
bersama.

***

Masih terpampang dengan jelas pada ingatanku, bagaimana ibunya kala itu menolak ibu saya
masuk ke dalam mobilnya apalagi alasanyya jika bukan kami orang miskin. Baru satu kaki ibuku
menginjak mobilnya kala itu untuk menemani cucunya yang akan dibawa ke pantai, dengan
tergesa ibu mertuaku kala itu “mengusir” ibuku tanpa basa-basi, mengatakan bahwa mobil sudah
penuh. Tak mungkin!!! Karena aku baru saja turun dari mobil itu karena merasa tak enak badan
dan aku minta ibuku untuk menggantikanku menemani gadis kecilku. Kejadian itu membuat aku
dengan sangan jelas menyadari, ya perbedaan strata itu nyata!!!

Masih banyak nampaknya aku harus menelan perlakuan pahit mereka. Ketika aku dalam proses
bercerai, dari awal masalah, hingga aku resmi menjadi janda tak sekalipun kulihat batang hidung
suamiku muncul di depan pintu rumahku. Sekedar pamit dan minta maaf pada bapakku yang
kala itu masih hidup, atau sekedar mengucapkan salam perpisahan pada anaknya, TIDAK!!! Dan
saat itu aku tahu bahwa aku bukan hanya menikahi seorang pecundang tapi juga pengecut!!
Bahkan hingga detik ini, jangankan kiriman nafkah untuk anaknya, bertanya kabarpun tak
pernah!! Salahkah jika diusia sebelas tahun, saat anakku sudah mulai bisa memikirkan
bagaimana posisinya di keluarga ayahnya, lantas tak lagi ada respect pada laki-laki yang
ditakdirkan menjadi ayah baginya?!

***

Kubelai kepala anakku yang sekarang sedang tiduran di pangkuanku. Seperti biasa kita saling
bertukar tutur, mambagi beban hati, mengurai tanya yang sering mendadak muncul di kepalanya.

“Nak, banyaklah minta sama Allah agar kakak diberikan jodoh yang baik akhlaknya, baik
imannya, mengerti bagaimana memperlakukan istri, paham bagaimana memperlakukan mertua,
baik kepada kedua orang tuanya, tahu dengan pasti apa yang menjadi tanggung jawabnya.
Banyaklah meminta pada Allah, Nduk,” nasihatku lembut.

“Tapi aku kan masih lama nikahnya Ma, aku masih kecil.”

“Seandainya kakak pengen punya mobil yang besar, bagus, mewah, gimana caranya? Nabung
sedikit-sedikit, kerja keras dulu hingga dapat beli mobil impian atau bagaimana? Kita pasti butuh
pengobanan dan perjuangan kakak. Sama juga dengan jodoh. Berjuanglah dalam doa-doamu.
Mintalah pada Allah dengan sungguh-sungguh. Minta supaya diberikan jodoh yang mampu
menggandeng tangan kakak ke surga kelak. Kakak tahu kan bagaimana kisah mama? Allah akan
memberikan sesuai apa yang kita lakukan, nak. Jadi kakak pengen jodoh seperti apa lakukan juga
seperti apa. Oke nak!” Kataku sambal mencubit hidungnya.

***

Terkadang apa yang kita anggap baik belum tentu baik untuk kita bahkan terkadang
menyesatkan. Maka serahkan dan pasrahkan semua pada Allah semata. Hidup ini tak selamanya
manis nak. Namun kita tetap bisa menjalaninya dengan kesyukuran kala semua itu kita lakukan
karena Allah semata.

Serenade itu kadang masih sering sumbang terdengar. Merayu laku dan meminta sukma kembali
menikmatinya dalam indah tangisan. Namun aku memilih bangkit dan melangkah, karena aku
tahu aku tercipta di dunia untuk mengemban suatu amanah, menjaga dan mengantarmu hingga
ke gerbang syurga kelak, anakku.

Anda mungkin juga menyukai