Anda di halaman 1dari 4

De Javu

Derap langkah kaki yang terdengar semakin lama kian mendekat. Seketika, tubuhku
gemetar dan dadaku sesak. Seseorang kini telah membuka pintu kamarku. Tubuhnya menutupi
arah cahaya yang berasal dari celah pintu, hanya siluet hitam sesosok pria dengan sebilah kayu
ditangannya yang dapat kulihat. Aku berusaha untuk berteriak sekencang mungkin, tapi sayang
itu tak berhasil. Aku merasa seakan membisu sedangkan orang itu semakin mendekat ke arahku
dengan mengangkat kayu yang ada ditangannya seolah-olah ia ingin membunuhku. Tanganku
dingin, tubuhku lemas, dan tak ku sadari air mataku mulai mengalir. Aku memaksakan diriku
untuk berteriak ketika ia hendak memukulku dan ketika suara itu keluar, aku terbangun.
Ternyata aku hanya mimpi, tetapi jantungku berdegup kencang seakan-akan yang ku alami itu
nyata.

Pikirku pun mulai berlarian, penasaran mengapa suatu mimpi bisa tampak begitu nyata.
Namun, aku berusaha untuk mengabaikan pikiran-pikiran buruk itu. Aku pun mulai menjalani
hariku seperti biasa. Perlahan aku mulai berdiri dari tempat tidur dan berjalan ke arah dapur
untuk bertemu ibu. Saat aku mulai mendekati pintu kamarku, sosok pria di mimpi ku
bermunculan di pikiran ku. Butuh beberapa detik agar aku dapat kembali ke realita dan menarik
gagang pintu itu. Namun, aku tidak akan membiarkan mimpi buruk itu menghalangi hariku.
Akhirnya ku bertemu ibu di dapur dan menyantap sarapan yang sudah disiapkan ibu.

Hatiku masih tidak bisa menerima ini. Ku lirik sebuah jam dinding menuju jam 7, yang
artinya 10 menit lagi sekolah akan dimulai. Dengan cepat, aku menghabiskan seluruh sereal dan
memakai baju sekolah yang belum disetrika dengan rapih tanpa mandi terlebih dahulu.
Berpamitan lewat suara, mengambil tas sekolah dan aku segera lari ke arah jalan sekolah.
Kukerahkan semua tenagaku, tapi, “Gerbang sekolah.. ge.. gerbang sekolahnya.. di tutup…”,
lirih suaraku dengan nafas yang lelah. Perlahan ku menangis dan awanpun tampaknya kelabu.
Rintihan hujan ini, membuat diriku merasa rendah. Aku tak tahu apa lagi yang harus kulakukan.

Dengan hati yang mulai mengikuti menjadi kelabu, aku pun perlahan mulai beranjak
dari depan gerbang sekolah yang sudah tutup. Dalam rintihan derasnya hujan, aku termenung,
memikirkan betapa sialnya diriku di pagi hari ini. Mimpi buruk yang sudah menghampiriku di
pagi hari tadi dan juga terlambat pergi sekolah yang membuatku harus pulang kembali ke
rumah. Setelah berlari di bawah hujan cukup lama, akhirnya aku pun sampai kembali di
rumahku. Dengan baju yang sudah basah kuyup, aku menggapai gagang pintu dan membuka
pintu perlahan. Kupanggil ibuku dengan suaraku yang sedikit melirih. Ibuku pun bergegas
menuju pintu utama rumah kami dan menghampiriku yang basah kuyup dengan muka yang
mendung. “Nak, kamu kenapa?” Tanya ibuku terheran- heran. “Tidak apa-apa bu..” jawabku
dengan suara pelan. “Baiklah, ibu mengerti masuklah dulu” jawab ibuku dengan senyum yang
hangat sembari mempersilahkan ku masuk. Akupun berjalan masuk ke rumah dengan langkah
kaki yang terasa sangat berat.

Aku segera membersihkan diri dan mengganti seragam sekolah yang sudah sangat
basah karena diguyur oleh air hujan dengan baju yang hangat. Aku pun menatap pantulan
diriku di depan cermin, memandangi setiap jengkal tubuhku sendiri. Dan lagi, pikiranku pun
kembali mengingat pada mimpi yang tidak seharusnya datang kembali. Tanpa disadari, tubuhku
mulai berkeringat dingin, air mata pun jatuh dan tanganku mengepal kuat – kuat. Hingga
akhirnya pikiranku pun kembali tersadar ketika terdengar suara ketukan pintu dan suara
teriakan ibu yang menanyakan apakah aku baik – baik saja. Aku pun segera menghapus air
mataku dan berusaha menenangkan diriku sendiri. Setelahnya aku membuka pintu kamar dan
melihat ibuku yang sedang membawa kue dan segelas susu yang masih hangat.

Ibu pun masuk ke dalam kamar dan menemaniku untuk beberapa saat. Melihat wajahku
yang pucat dan tampak wajah – wajah ketakutan, ibuku pun bertanya, ”Ceritalah sama ibu, nak.
Ibu melihat ada sesuatu yang kamu pikirkan dari tadi pagi dan sepertinya kamu ketakutan
tentang hal itu”. Tanpa memikir panjang lagi pun, aku mulai bercerita kepada ibu tentang
mimpi buruk itu. Mendengar ceritaku, ibu langsung memeluk aku sambil berkata, “Sudah,
jangan dipikirkan lagi”. Tak lama, ibu pun pergi meninggalkanku agar aku bisa beristirahat.
Tetapi, aku bertanya – tanya pada diriku karena mimpi tersebut terasa mengganjal sesuatu
padaku, “Kenapa mimpi itu nampak seperti nyata... Lingkungan sekitarnya juga nampaknya
pernah aku lihat dulu... Tapi, dimana...”. Karena cuaca yang dingin, juga tubuh yang lelah, aku
pun tertidur sebelum aku bisa mengeluarkan kalimat terakhirkku dengan utuh.

Dering telepon membangun kan tidurku, tak kusangka senja sudah mulai tenggelam.
Aku pun segera mengambil handphone ku di atas meja dan ku angkat, "ha...lo, siapa ya?" tanya
ku. Ternyata dia adalah sahabatku, Nadin. "woy, luh dimana? Jadi kan kita ketemuan?" jawab
nya. Aku pun kaget, aku bergegas pergi menghampirinya. Aku sampai lupa menemui sahabatku
sore ini. Kepala ku masih memikirkan mimpi tersebut, karena nya pikiran ku jadi kacau.
Sesampainya di sana, Nadin sudah ada di dalam cafe dengan wajah cemberut. Dia kesal
kepadaku karena aku terlambat datang. Aku pun duduk dan memesan secangkir kopi hangat.
Nadin bingung melihat wajah ku yang nampak lesu, "kenapa wajahmu, kamu sedang ada
masalah?" dengan suara penasaran. Aku pun bercerita tentang kejadian malam hari itu sambil
meneguk secangkir kopi.

Pikirku melayang membayangkan mimpi itu lagi. Akupun mulai menceritakan Nadin
mimpi itu. Secangkir kopi hangat menemani malamku bersama Nadin. Menceritakan mimpi
buruk itu yang tidak pernah hilang dari kepalaku. Walau Nadin berkata itu hanya mimpi namun
diriku ini masih ketakutan dan berpikir itu nyata. Aku takut sekaligus bingung mengapa mimpi
itu tidak pergi dari pikiranku. Aku melirik ke Hpku, jam sudah menandakan jam 11 malam.
Menandakan aku dan Nadin sudah harus pulang. “Din, makasih ya hari ini. Sepertinya aku
sudah harus pulang. Aku khawatir ibuku sendirian dirumah.” Dengan wajah yang lesu aku
berpelukan dengan Nadin. Sambil berbisik Nadin berkata “Sudah itu hanya mimpi. Dua tiga hari
nanti juga sudah lupa. Inget ya kalo ada apa-apa telpon aja. Gw siap jadi tempat curhat. Hehe.”
Dengan semilir angin malam, aku pun berpisah dengan Nadin.

Hari-hari terus berlalu, tanpa ku sadari pikiranku pun teralihkan dengan kesibukanku di
sekolah. Segalanya berjalan seperti semula ketika aku hidup dengan tenang dan tanpa
kecemasan mengenai sesuatu yang bahkan ku tidak mengerti. Sampai akhirnya, bunga tidur itu
menghampiriku lagi tetapi dengan cerita yang berbeda. Di dalam mimpiku aku melihat sesosok
perempuan remaja yang sedang di todong oleh dua orang preman. “Aneh”, pikirku. Mimpi itu
sempat beberapa kali menghampiri tidurku, tapi aku abaikan karena yang kali ini sama sekali
tidak ada sangkut pautnya dengan diriku. Aku merebahkan diriku di kasur, kulihat jam
menunjukkan pukul 10:00 malam. Ketika aku hampir memejamkan mataku, tiba-tiba ada dering
telepon yang masuk. Aku bergegas mengambil handphone yang terletak di meja belajarku.
Tadinya, aku sempat ragu untuk mengangkatnya tapi entah kenapa akhirnya aku mengangkat
telepon itu. “Halo? Ini siapa ya?”, tanyaku. Tapi ia tak menjawab pertanyaanku yang ku dengar
hanyalah sebuah tangisan yang berasal dari seorang perempuan. “Halo? Ini siapa?”, tanyaku
lagi dengan nada yang sedikit kesal. “Ha-halo, gue nadin. Lia, tolongin gue. Gue abis di
rampok.”, jawabnya dengan sesegukan. “Hah? Serius lo? Yaudah kasih tau gue lo dimana
sekarang?”, jawabku cemas.

Kemudian aku bertemu dengan Nadin di kantor polisi. Nadin tampak gelisah, seperti
baru saja menyangkal maut. Aku pun berusaha menenangkannya, berusaha meyakinkan
kepadanya bahwa ia sudah tidak perlu cemas. Setelah Nadin mulai tenang, ia menjelaskan
kepada polisi bahwa ia dirampok oleh dua orang pria. Mendengar itu, hati ku terasa jatuh.
Terasa keringat mulai muncul di dahiku dan hawa panas menyelimuti pundakku. Aku tidak bisa
percaya, apakah yang terjadi pada Nadin sesuai mimpi ku? Namun, aku berusaha memikirkan
berbagai alasan untuk merasionalkan kondisi tersebut. Setelah menemani Nadin beberapa jam
di kantor polisi hingga ia tenang, aku pun menjemput Nadin ke rumahnya dan pulang dengan
seribu pertanyaan yang timbul dipikiran ku.

“Kling!”, notifikasi hapeku berbunyi. Badanku serasa bingung, gemetar, dan ketakutan.
‘Baru kali ini kumelihat kamu ke kantor polisi… Ada apa Lia? Apakah ada orang yang
mengganggumu?? Kurasa tidak… Apa temanmu melakukan suatu kejahatan??? Aku sangat
khawatir dan ingin memelukmu segera, tetapi tidak bisa. Tunggu saat waktunya datang. Aku
akan selalu memperhatikanmu…’. Pesan macam apa ini? Aku langsung melihat ke segala arah
dan tidak ada sama sekali orang! Siapa dia?! Aku langsung berlari menuju pintu rumah dan
langsung masuk ke kamar. Untung saja kantor polisi tidak terlalu jauh dari rumahku. Lelah
rasanya. Akhir – akhir ini banyak sekali masalah yang datang padaku. Belom lagi besok sekolah.
Hari ini sangat melelahkan, aku takut sekali dengan orang yang mengirimkan pesan ini. Siapa
dia? Apakah dia seseorang yang kukenal? Tidak mungkin ada orang yang seperti ini. Lebih baik
besok kutanyakan kepada temanku.

Anda mungkin juga menyukai