Anda di halaman 1dari 7

Hari ini aku pergi mengunjungi Ibuku, tidak, bukan ke rumah tapi ke pemakaman.

Ibuku
meninggal 3 tahun lalu karna seorang alpha. Saat itu aku masih kelas 1 sma. Aku tidak akan
menceritakannya, itu hanya akan membuatku semakin benci kepada alpha itu.

Kakiku berjalan memasuki komplek pemakaman dengan sebatang bunga mawar putih yang
kubeli dengan penjaga di depan. Aku berjongkok di samping makam Ibuku, membersihkan
dedaunan kering yang jatuh di atasnya, lalu menaruh mawar putih tersebut. “Ibu, maaf... aku
—aku tidak bisa memaafkan kelakuannya. Setelah dia membuatmu sengsara lalu kau
memintaku untuk memaafkan semua itu? Aku tidak bisa.”

Aku menutup wajah dengan kedua tanganku. “Kau mau mendengar ceritaku?” Nisan
bertuliskan nama Ibu itu aku tatap lamat-lamat, “Aku melihatnya. Di area kampusku dengan
seorang lelaki lain yang lebih muda, mungkin anaknya, mereka mirip.” Lalu aku tersenyum
getir. “Dia—lelaki itu melihatku. Tatapan mereka sangat mirip, aku tidak menyukainya. Ibu,
aku mohon terus lindungi aku dengan doamu.”

Tes... tes....

Rintik air hujan jatuh mengenai kulitku, aku berdiri. “Datanglah lagi ke mimpiku, aku rindu
dengan pelukan Ibu.” Ucapku pelan sebelum berbalik pergi meninggalkan tempat itu. Hujan
semakin deras dan saat aku sampai di lorong rumahku.

JDEER!

“Hh, sialan.” Aku menutup telinga kiriku dan lanjut berjalan, dari sini aku bisa melihat
seorang lelaki sedang duduk di atas motornya di depan rumah tetanggaku. Aku berhenti di
depan pagar rumahku dan membuka gembok lalu masuk dan menguncinya lagi. Setelahnya
membuka pintu rumah dan masuk, aku berjalan ke toilet yang ada di dekat dapur dan masuk,
memeras hoodie yang ku pakai dan menggantungnya.

Aku membuka kulkas dan mengambil sepotong cake tiramisu yang kubeli kemarin dan satu
susu kotak rasa coklat. Baru 2 suap, ponsel di saku celanaku bergetar. Siapa yang menelpon
hujan-hujan begini, sih. Aku melihat nama penelpon dan memikirkannya sebentar sebelum
menjawab. “Kena—“ , “EZRAA!” Reflek aku menjauhkan ponsel dari telinga. “Aduh, apa
sih kak Mel?” Pelaku yang berteriak tadi Melviano, tetanggaku yang sering ku sebut Mel.
“Ezra, tolong aku ya? Kunci gembokku hilang sementara temanku menunggu di luar, tolong
bukakan pintu pagarku, ya? Besok aku traktir makan siang!” Aku mendengus pelan dan
meminum susu coklatku, “Aku tidak ada jadwal kuliah besok, jadi tidak akan keluar.” Dari
ujung sana aku bisa dengar Melviano berteriak gusar. “Makan malam? Aku belikan apapun
yang kau mau.” Aku mengulum bibir menahan tawa, “Kau tunggu di teras, aku keluar
sekarang, telponnya jangan di matikan.”

Setelah memakan sesuap cake lagi, aku memakai hoodie yang masih basah itu dan keluar
rumah dengan ponsel di tangan kiri dan kunci di tangan kanan. “Eh?! Hei, kenapa tidak
pakai payung?” Aku membuka gembok rumahku dan mengabaikan Melviano sebentar,
“Tidak usah, aku memang pulang dalam keadaan basah tadi.” Seolah lelaki berpakaian hitam
itu tidak ada, aku membuka gembok rumah Melviano. “Sudah ya, aku pulang. Tidak perlu
mentraktirku, tidak apa.” Aku menatap si pemilik rumah yang berdiri di teras dan melambai.
“Ya, jangan sampai sakit, segera berendam air hangat.” Aku mengangguk dan mematikan
telponnya. Berbalik, aku menatap lelaki itu yang ternyata juga menatapku, uh, tunggu, apa-
apaan dengan tatapan tajam itu? Aku melewatinya dan kembali ke rumahku.

Sesuai perkataan Melviano, aku berendam air hangat selama setengah jam. Lalu aku makan
malam, nasi goreng telur dan teh hangat, di temani film kartun. Hujan masih turun bahkan
lebih deras dari sebelumnya, dengan suasana rumah yang suram di tambah aku hanya
sendirian. Aku sama sekali tidak bisa tenang. Sejak bertatapan dengan lelaki yang sepertinya
teman Melviano itu, aku merasa seolah dia mengawasiku. Dia mirip dengan lelaki yang ku
ceritakan kepada Ibu, mungkinkah...?

“Mm, tidak mungkin.” Aku terkekeh dan berlalu ke dapur untuk membersihkan piring kotor,
setelah itu masuk ke kamar. Malam itu aku hanya menghabiskan waktu dengan melamun,
kafe tempatku bekerja sedang di renovasi, untungnya tabunganku banyak, warisan
peninggalan orang tuaku juga masih ada, jadi aku tidak kesusahan.

Keesokan harinya, aku bangun ketika matahari sudah tinggi, sekitar jam 9 pagi. Seperti yang
aku katakan kepada Melviano, aku tidak ada jadwal apapun hari ini jadi aku hanya akan diam
di rumah. Melakukan hobi, mungkin. Aku sedang membaca buku di perpustakaan kecil
rumahku ketika mendengar bel berbunyi.

Aku menyibak gorden kamar orang tuaku sedikit dan melihat ke teras, lelaki berpakaian
kasual sedang berdiri disana, tapi aku tidak kenal. Kalau aku bertingkah seolah tidak ada
orang di rumah sepertinya tidak mungkin, aku menebak lelaki itu alpha dan dia tidak
mungkin datang kalau tau rumah ini tidak ada orang di dalamnya.

Memberanikan diri, aku turun dan membuka pintu. “Mencari siapa?” Tanyaku langsung
dengan lelaki itu. “Melviano, anda tau dia kemana?” Aku mengernyit, dia bisa saja menelpon
langsung tetangganya, kenapa malah bertanya denganku. “Hm, ini hari... jumat. Setau saya
jadwalnya di hari jumat cuma kuliah pagi dari jam delapan sampai sebelas. Biasanya dia
sudah pulang sekitar jam dua belas, kalau dia tidak ada di rumahnya sekarang mungkin
sedang ada urusan lain.” Jawabku datar. Lelaki itu mengangguk pelan dan memainkan
ponselnya, menghubungi Melviano sepertinya.

Hah, aku ingin masuk, tapi tidak sopan rasanya. Aku bersandar di pintu dan melihat keluar,
dan kebetulan aku melihat sebuah mobil berhenti di depan rumahku, oh, itu mobil Melviano.
“Ah, itu dia.” Ucapku, lelaki itu menoleh ke belakang, melihat Melviano turun dari mobilnya
dan masuk ke pekarangan rumahku. “Kau kenapa di rumah tetanggaku?” Tanyanya kepada
lelaki itu. “Mencarimu.” Jawabnya singkat. Melviano hanya melihat sekilas dan menatapku,
“Aku tadi ke rumah orang tuaku, dan Mama memberikan ini untukmu.” Melviano
menyodorkan sebuah totebag. “Oh, tolong sampaikan terima kasihku padanya.” Aku
menerimanya dan tersenyum kecil. “Yep, dan tolong kirim fotonya kalau sudah habis, dia
tidak akan percaya dengan kata-kata.” Aku mengangguk. “Aku pulang, ya!” Setelah menepuk
kepalaku, Melviano pergi dengan laki-laki itu.

Bum!

Pintu rumah aku banting sedikit, jantungku berdetak lebih cepat dan aku berkeringat dingin.
Sungguh, kenapa lelaki itu melihatku sangat tajam ketika aku berbicara dengan Melviano,
apa dia mengenalku? Sejak kapan? Aku tidak pernah bertemu dengannya. Kecuali, kalau dia
mungkin mengenal Ibu. Kalau dia ingin membunuhku, dia bisa saja mengirim pembunuh
bayaran atau assassin. Lagi pula, aku ini beta, mengerti kan?

Tidak ingin berpikiran buruk, aku berjalan ke dapur dan mengeluarkan isi totebag tersebut.
Ada 2 bento dengan isi berbeda, ada 2 kotak makanan penutup dan 3 kotak kecil lainnya
adalah camilan. Aku tersenyum dan meninggalkan 1 bento dan makanan penutup, sisanya
aku simpan di lemari makanan. Makanan yang ibu Melviano buat selalu enak, setiap kali
memakannya aku teringat dengan Ibuku karna masakan mereka mirip. Ah, tapi mereka
memang berteman, itulah kenapa aku juga dekat dengan Melviano, aku menganggapnya
seperti kakak.

Setelah selesai makan, aku berkutat dengan berbagai macam kuas dan cat di kamarku. Pintu
balkon yang kubiarkan terbuka membuat gorden berayun karena angin masuk. Aku melukis
dengan santai, ipad yang ku taruh di meja memutar playlist lagu yang di mainkan dengan
biola.

Ddrrrtt.. drrtt... drrrtt... drrt-

“Kenapa?” Tanyaku tanpa basa-basi kepada seseorang di telepon. “Aku di perjalanan ke


rumahmu, daah.” Setelah berkata seperti itu, telepon langsung di matikan. Aku menatap
layar ponselku datar dan melemparnya ke kasur. Mau di larang pun anak itu pasti akan
datang. Dia Aciel, temanku dari smp, dan matenya Melviano....

Aku melanjutkan kegiatanku melukis walaupun sebenarnya tanganku sedikit gemetar sedari
tadi, balkon kamarku berhadapan dengan balkon kamar di rumah Melviano yang setauku itu
adalah kamar tamu. Walaupun pintunya tidak terbuka tapi aku bisa melihat siluet seorang
laki-laki berdiri di dalamnya, dan mungkin sedang menatapku. Tidak mungkin itu Melviano,
lalu siapa? Temannya? Yang tadi...?

Saat aku sedang sibuk melamun, bel rumahku berbunyi nyaring. Itu pasti Aciel, aku bangun
dan mengajaknya masuk. “Kau sedang apa?” Tanyanya. “Melukis.” Aku menggeledah isi
kantong plastik yang di bawanya dan mengambil sebuah es krim. Aciel juga mengambil
beberapa snack dan mengikutiku ke kamar. “Mel ada di rumah?” Aku mengangguk. “Tadi
siang katanya habis berkunjung ke rumah orang tua.” Jawabku santai sambil duduk di depan
lukisan yang hampir selesai. “Kau sadar sedang diperhatikan?” Aciel berbaring di kasurku
dan memainkan ponselnya. “... sadar.” Aku menggigit es krim rasa kopi di tanganku dengan
pelan. “Aku seperti pernah melihatnya, tapi dimana?” Aku menatap Aciel sekilas. “Kau
melihatnya di kampus.” Aciel bangun dan menatapku bingung. “Kau kenal dengannya?”
Menggeleng, aku menjawab. “Tidak, aku hanya menebak kalau dia sepertinya anak dari
alpha itu, karna dia juga ada di kampus bersamanya waktu itu.” Aciel terdiam setelahnya, aku
hanya acuh dan lanjut melukis

“Mel tanya apa dia boleh kemari, bersama temannya...?” Aciel kembali berbaring dan diam,
“Boleh.” Ucapku pelan. Aciel menatapku dan kemudian hanya mengangguk. Tak berselang
lama, bel rumahku kembali berbunyi. “Biar aku yang buka.” Aciel pergi untuk membuka
pintu. Aku menaikkan pandangan, menatap balkon kamar di seberangku yang sekarang tidak
ada orang di dalamnya. “Dia... mengincarku?”

Aku menyusul turun tidak lama kemudian, di ruang tamu Melviano sudah mendekap Aciel ke
dalam pelukannya. Menghela napas pelan, aku duduk di sofa yang berbeda dan
menghidupkan tv, mengabaikan adegan mesra sepasang kekasih tersebut. “Ezra, ada
semangka tidak?” Aku menatap Melviano datar, “Kau tau tempatnya dimana.” Mendengar
jawabanku, Melviano bersorak kecil. “Dia tidak akan menyisakan bahkan satu potong pun
untukmu nanti.” Ucap Aciel, aku hanya mengedikkan bahu.

“Semangkanya tidak manis.” Melviano datang dari arah dapur dengan mangkok berisi
semangka yang sudah dipotong dadu. “Memang, agak hambar.” Sahutku pelan, kerah baju
belakangku ditarik dan aku beralih duduk di karpet, di samping kaki Aciel yang menjuntai
dari sofa. “Buka mulutmu, aaa.” Melviano menyuapi Aciel dan aku dengan semangka yang
sudah ditaruh susu kental manis. “Mm, enak.” Aciel menggumam.
“Oh, iya kalian belum kenalan sama dia.” Melviano menunjuk lelaki yang sedari tadi diam
memainkan ponselnya. “Namanya Zayyan, lebih muda satu tahun dari kalian.” Aku hanya
mengangguk acuh, sementara Aciel menatap lelaki itu datar dan memalingkan wajahnya ke
Melviano, meminta di suapkan lagi. “Ezra, kalau aku tidak di rumah dan Zayyan datang,
boleh Zayyan berada di rumahmu? Hanya sampai aku datang.” Melviano bertanya dengan
raut serius, aku menatapnya lalu menatap Zayyan. “Tidak boleh.” Jawabku singkat. “Oke.”
Sahut Melviano.

Beberapa menit berlalu, aku bosan. Posisi ku sudah berpindah duduk di antara kaki Aciel dan
rambutku di mainkan olehnya. “Aku bosan.” Ungkap Aciel. “Emm, how about we go play
outside? Like, game center? Or whatever.” Ucapan Melviano menarik atensiku. “Saran yang
bagus.” Ucap Aciel mulai bersemangat. “Zayyan, kau mau ikut?” Yang dipanggil
mendongakkan kepalanya. “Aku boleh ikut?” Melviano menatapku dan Aciel. “Terserah.”
Ucapku. “Boleh.” Melviano menatap Zayyan lagi. “Aku ikut.” Ucapnya pelan.

“Right! Kita pergi jam 5 sore saja, kalian mau ke bioskop?” Melihat Aciel mengangguk
semangat aku juga mengangguk. “Nonton bioskop saja dulu, selesai menonton makan lalu ke
game center.” Aku menatap Melviano. “Oke, kita lakukan seperti itu. Sekarang kita pesan
tiket bioskop. Dalam waktu 10 menit kami sudah menentukan film yang akan ditonton, yaitu
film dengan tema horor berjudul Ivanna.

2 jam kemudian aku sudah berada di mobil bersama Melviano, Aciel dan Zayyan. Karna ini
mobil Melviano jadi dia yang menyetir, Aciel duduk di samping kemudi dan aku duduk di
belakang bersama Zayyan. Aku memakai turtle neck panjang berwarna hitam dan dilapisi
kemeja panjang putih yang lengannya kugulung sampai siku, lalu aku memakai jeans hitam
dan sneakers putih. Karna ini hari jumat, mall tidak terlalu ramai jadi aku santai. Melviano
dan Aciel berjalan beberapa langkah di depan dan aku berjalan berdampingan dengan
Zayyan.

Mataku berkelana dan berhenti di salah satu stan kecil yang menjual es potong. “Zayyan, aku
mau ke sana, kau duluan saja dulu.” Setelah berkata seperti itu aku langsung pergi ke stan
tersebut. “Halo, silakan dilihat menunya.” Ucap perempuan dengan rambut pendek sebahu
yang berdiri di belakang stan. “Saya mau yang... ini, satu saja.” Jariku menunjuk salah satu
menu. “Baik, mohon tunggu sebentar.” Dalam waktu 5 menit es potong dengan 3 rasa itu
selesai. “Mau pakai cup?” Aku mengangguk. “Ini pesanannya.” Aku mengambil cup tersebut
dan membayarnya. “Terimakasih.” Perempuan itu tersenyum, aku balas tersenyum kecil dan
berlalu, mencari keberadaan ketiga orang yang pergi bersamaku.

Grep!
Aku tersentak kecil ketika seseorang memeluk pinggangku dan menarikku ke samping, lalu
beberapa anak remaja berlari kecil melewatiku. “Hati-hati.” Suara rendah dan berat itu
terdengar tepat di samping telinga kiriku, begitu aku mendongak wajah Zayyan langsung
memenuhi pandanganku. “Oh... ya, terima kasih.” Aku segera menjauhkan diri. “Ezra,
Zayyan!” Aku menoleh, mendapati eksistensi Melviano dan Aciel sedang menuju ke arahku.
“Kalian kemana, sih?” Melviano menukikkan alisnya, sepertinya kesal. “Aku di bumi.”
Jawabku acuh sambil menggigit es krim potong yang ku beli. “Hahh.” Aku menaikkan alis
menatap Melviano. “Sudahlah, ayo kita ke bioskop, 20 menit lagi filmnya di mulai. Kalian
yang beli popcorn!”

Aciel menarikku berjalan di sampingnya. “Aku mau rasa.” Tanganku menahan bahunya agar
berhenti berjalan dan mengarahkan es krim ke mulutnya untuk kemudian Aciel gigit. “Em,
enak, kau beli dimana?” Tanya Aciel. “Di salah satu stan dekat eskalator.” Tanganku kembali
bergerak mengarahkan es krim ke Aciel saat dia mencondongkan tubuhnya. “Temani aku beli
es krimnya nanti.” Aku mengangguk.

“Aku dan Aciel pergi ambil tiket, kalian pergi beli popcorn rasa karamel, jangan lupa
sodanya.” Ucap Melviano mengarahkan. “Ukuran?” Zayyan berdiri di samping kiriku.
“Medium dua, sodanya yang ukuran large satu, kalian terserah.” Jawab Aciel. “Oke, kita
bertemu lagi di sini.” Aku dan Zayyan pergi mengantri membeli popcorn.

“Selamat sore ingin beli apa?” Tanya pegawainya ramah. “Popcorn karamel ukuran medium
dua, soda ukuran large satu dan dua ukuran medium.” Jawabku. “Kami ada promo diskon
10% untuk couple loh, kak.” Aku tersenyum paksa, ingin menolak tapi Zayyan sudah lebih
dulu berbicara. “Kami ambil yang itu dua.” Tanpa izin dia merangkul bahuku dan menarikku
hingga tubuh kami menempel dan memberikan kartu untuk membayar, pegawai perempuan
tersebut mengambil kartunya dengan senyum lebar dan wajah yang merona. “Totalnya
seratus delapan belas ribu rupiah, ini struk dan kartunya, pesanan dapat di ambil di antrian
sebelah kiri, terima kasih.”

Tangannya berpindah merangkul pinggangku dan dia tetap mempertahankan posisi itu
sampai bertemu lagi dengan Aciel dan Melviano. “Oi, ada apa dengan tanganmu?” Aciel
langsung bertanya. “Pegawai tadi mengira kami berpacaran dan dia menawarkan paket untuk
couple, jadi aku membeli yang itu dua.” Jawab Zayyan. “Itu benar?” Aciel menatapku dan
aku mengangguk. “Huh, oke.” Aku menatap Melviano. “Tiketnya mana?” Tanyaku.
Melviano memberikan 2 tiket untukku dan Zayyan.

Selang beberapa menit setelahnya kami sudah berada di dalam bioskop, aku dan Aciel di
tengah, Zayyan di kiriku dan Melviano di kanan Aciel. Aku menonton dengan tenang, tentu
saja tenang, popcornnya berada di pangkuanku, Zayyan hanya akan mengambil sesekali.
Yang membuatku tidak tenang itu, Aciel yang akan tiba-tiba mencubit atau memukulku
ketika ada jump scare. Sungguh itu sakit tapi aku hanya bisa mengumpat dalam hati
mengingat ini adalah tempat umum.

“Ciel, pukulanmu itu sakit sialan, lebih baik kau pukul Mel saja.” Desisku membuat Aciel
tersenyum bodoh. “Sorry.” Aku hanya memutar mata dan kembali menonton filmnya. Jujur
aku tidak tertarik dengan film horor, hmm, filmnya selesai masih sekitar 1 jam lagi, lebih
baik aku tidur saja. “Bangunkan aku kalau filmnya sudah selesai.” Aciel mengacungkan
jempolnya tanpa melihatku.

Anda mungkin juga menyukai