Anda di halaman 1dari 2

Judul

Aku menatap kosong ke arah mobil yang melaju dengan kecepatan sedang, menjauhi
tempat aku berdiri. Tanganku melambai-lambai ke arah mobil itu. Kedua orang tuaku berada
di dalam mobil itu. Mereka bilang kepadaku, bahwa mereka akan pergi ke suatu tempat -
entah kemana. Perlahan ku turunkan tanganku, mobil itu sudah menghilang dari
pandanganku. Kakiku membawaku masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, aku menunggu
mereka kembali dengan merenung.

Detik demi detik ku lalui dengan menatap langit dini hari. Gumpalan-gumpalan awan
di atas sana terlihat indah. Burung-burung berterbangan kesana-kemari. Angin menyapu
lembut ujung-ujung rambutku. Aku merasa tenang di saat-saat seperti ini. Namun, aku juga
merasa bosan.

Satu jam. Dua jam. Dan seterusnya ku lalui dengan hanya menatap awan-awan di atas
langit. Tapi, semakin lama ku tatap awan-awan itu, maka semakin cemas perasaanku. Aku
khawatir, suatu hal yang buruk menimpa kedua orang tuaku.

Siang telah berganti sore. Aneh. Mengapa orang tuaku tak juga datang. Aku
memutuskan untuk bersabar. Ku ambil mainan-mainanku di dalam sebuah kotak yang
ukurannya tak terlalu besar. Aku asik memainkannya, meskipun hatiku penuh dengan
keresahan.

“William, apa kau ada di dalam?” Ucap seseorang dari balik daun pintu rumahku.

Ku lempar mainanku ke sembarang arah. Aku berlari kecil ke arah sumber suara,
membuka pintu dan membiarkan sang tamu memasuki rumahku. Belum sempat ku suruh ia
duduk di sofa ruang tamu. Yang bertamu langsung memeluk tubuhku sekencang mungkin.
Air matanya mengalir deras, membuat bahuku menjadi basah. Aku menatap orang itu dengan
tatapan heran.

“Bibi, kenapa bibi menangis?”

Tak ada respon apapun darinya. Aku tetap diam menunggu jawaban.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai dapat memahami maksud dari tamuku ini. Raut
wajah bingungku berubah menjadi wajah cemas dalam hitungan detik.

“Apa bibi ingin memberi tahu kabar tentang ayah dan ibu?”

Orang itu mulai melepas pelukannya. Menenangkan emosinya. Kemudia mengelus


kepalaku.

“William, malam ini kamu langsung tidur ya. Tadi ibu kamu bilang ke bibi, katanya
mereka ga akan pulang malam ini. Jadi William ga usah nungguin mereka nanti malam, oke?”
“Apa besok mereka akan pulang?”

Lengang. Tak ada jawaban. Tubuhku pelan-pelan mulai bergetar. Mataku berair,
menghalangi pandanganku.

“Apa… Apa besok mereka akan pulang?” Ku ulangi pertanyaanku.

Tamu itu menggeleng. Pecah. Pecah sudah bendungan yang ku buat untuk menahan
tangisanku. Tamu itu kembali memelukku erat. Mengelus-elus rambutku. Mencoba
menenangkanku.

“Jangan menangis, Bibi yakin kamu akan bertemu dengan ayah dan ibumu. Tapi
bukan sekarang, bukan besok juga. William harus bersabar menunggu waktu itu oke? William
tak perlu takut tak akan bertemu mereka lagi, kamu pasti akan bersama mereka lagi. Tapi
bukan sekarang”

Tamu itu mencoba menenangkanku. Aku berusaha mengendalikan emosiku. Mencoba


untuk percaya dengan kata-kata tamu itu, meski aku tahu apa yang sebenarnya terjadi.

***

9 tahun berlalu begitu cepat. Kini umurku menginjak angka tujuh belas. Aku sudah
mulai mengikhlaskan kepergian mereka, dengan menyibukkan diriku sendiri. Aku
memutuskan menjadi tukang pengantar surat sejak kejadian itu. Aku tak bisa hanya diam saja
di rumah. Aku membutuhkan uang. Dan aku memang harus menyibukkan diri agar tak larut
dalam kesedihan.

Hari ini, jumlah surat yang ku kirim jauh lebih banyak daripada biasanya. Hampir
semua rumah yang ku lewati menerima surat-surat yang ku antar. Aku tak memedulikan hal
itu. Aku terus membagikan surat-surat itu ke sang penerima. Pekerjaan ini harus ku
selesaikan sebelum sang mentari berada di kaki cakrawala.

Anda mungkin juga menyukai