Anda di halaman 1dari 71

Tahun baru hati itu, membuatku sangat senang.

Aku mendapatkan banyak hadiah karena hari ulang


tahunku bertepatan dengan tahun baru. Umurku sudah dua belas tahun saat itu.

“Selamat ulang tahun,”ujar mereka berdua.

“Terima kasih nek, kek.”sahutku senang.

Kakekku memberikanku banyak kembang api. Sayangnya, papa dan mama tidak bisa menghadiri ulang
tahunku karena keduanya sibuk dengan pekerjaan. Aku ingin bermain kembang api dan aku selalu ingat
pesan kakek untuk tidak menyalakan api sendiri dan juga tidak bermain di halaman rumah.

Yang selalu ku ingat dari malam mebahagiakan itu adalah mereka berdua pergi saat pukul satu pagi,
begitu tahun yang baru, baru saja berlangsung selama satu jam. Tapi aku tidak tahu karena urusan apa.

Kulihat bintang-bintang yang tampak berkumpul di atas langit, juga bulan sabit yang menerangi malam
yang gelap hari itu. Langit malam itu begitu cerah seakan menghadiahi ulang tahunku dengan
pemandangan alam yang indah.

Yang ku ingat halaman rumah kakek dikelilingi pagar yang begitu tinggi, dilengkapi sebuah gembok yang
mengunci pagar. Lilin dan korek api sudah ku persiapakan, tinggal meminta orang dewasa untuk bantu
menyalakannya. Sambil terus terusan bertanya dalam hati, kapan mereka akan kembali.

Suara deru kereka, peluit melengking, besi yang saling bergesekan terdengar olehku, membuatku
terbangun. Setelah mendorong kursi ke jendela karena jendela yang cukup tinggi, ku lihat arah bawa dan
masih mendapati halaman dalam keadaan sama.

Pagar itu masih dalam keadaan terkunci, dan tidak ada mobil yang parker di halaman itu, menandakan
kakek dan nenek belum juga pulang.

Setelah melapisi diriku dengan selembar pakaian tambahan yang menjadi hadiah ulang tahunku, aku
membuka pintu dan meratapi bungkusan kembang api dan lilin yang juga tidak berubah. Hal yang
berubah hanyalah langit yang berubah menjadi mendung dan juga tiupan angin yang kian tajamnya
menusuk kulit.

Lagi-lagi aku mendengar suara itu, suara khas kereta api. Aku masih dapat mengingatnya karena kakek
dan nenek sering mengajakku keluar kota dengan kereta api. Tapi, yang ku ingat dari lingkungan yang
sudah tidak asing bagiku, di daerah ini sangat terpencil. Dan rel kereta api terdekat, ada sekitar enam
kilometer dari sini.

……………………………………………………………

Orang-orang berpakaian hitam, menangisi kakek dan nenek yang tertidur disebuah kotak yang mereka
namakan peti. Papan bunga tampak mendominasi rumah kakek nenekku.

Rupanya, kecelakaan maut menimpa kakek nenekku malam sebelumnya. Papa dan mama merangkul
bahuku. Ku lihat mata mama bengkak dan memerah, sedangkan kantung mata papa tampak
mendominasi di bawah matanya. Aku tahu papa sudah lama tidak tidur cukup karena pekerjaannya dan
mungkin kantung matanya semakin bertambah saat beliau mengetahui kematian nenek dan kakek.
Aku tidak benani bertanya lebih lanjut, karena mengerti bahwa kelurgaku tengah berduka karena
kehilangan. Disaat aku mendengar kembali suara itu, ku perhatikan mereka semua yang tampak masih
larut dalam duka yang memanjang. Tidak ada yang heran dengan suara janggal itu.

“Ma, pa,”panggilku, membuat mama dan papa menoleh. “Apa kalian mendengar suara itu?”

“Suara apa?”Tanya mama mengerutkan keningnya. Ayahpun ikut mengerutkan kening bingung.

“Iitu,”aku memejamkan mataku. “Suara kereta api.”

Mama menggeleng, lalu tersenyum begitu pahitnya. “Itu hanya imajinasimu, nak. Kamu pasti
kelelahan.”Ayah mengangguk setuju. Padahal aku yakin mendengarnya dengan jelas.

Malam berikutnya kami meninggalkan rumah kakek nenek setelah mereka dikuburkan malam itu. Papa
mengemudi, mama duduk di samping kursi mengemudi dan aku duduk di belakang. Suara itu kembali
terdengar olehku, ku dongakkan kepalaku menatap spion papa untuk melihat pantulan di belakang.

Dan respon papa tetap sama, diam. Kuperhatikan mama yang tertidur nyenyak, seolah suara itu tidak
mengganggu sama sekali. Padahal aku sampai terbangun mendengar suaranya dua hari sebelumnya.
Akupun memutuskan mengganti posisi dudukku menjadi tidur, karena aku mulai terkantuk saat itu. Apa
itu benar-benar nyata? Bukan imajinasi belaka seperti yang mama katakan.

Di langit yang gelap yang dipenuhi bintang itu, lekukan tidak rapi tampak melaju di udara. Asap hitam
muncul dari benda itu, kereta api. Karena itu malayang, tampa ada aturan jalan seperti rel pada
umumnya.

Disaat aku ingin menerawang lebih lanjut, rasa kantuk memenangkan diriku. Perlahan, kesadaranku
tertekan oleh kantukku. Seluruh kesadaranku tentang apa yang menimpa kami, terlupakan sejenak
dalam tidur. Suara itu menguasai keheningan, dan hari itu aku bermimpi bermain kembang api bersama
kakek dan nenek.

…………………………………………………………………

Suasana di kelas tampak begitu ramai dan padat seperti sebuah kelas pada umumnya. Aku merasa gerah
di siang yang panas dan heboh seperti ini. Apalagi aku dipaksa datang kemari oleh pihak sekolah untuk
memeriksa nilai yang mungkin memerlukan perbaikan. Aku cukup yakin aku tidak mungkin terkena
perbaikan nilai, bukan karena aku pintar atau cerdas. Aku hanya merasa nilaiku akan berada diatas
ketuntasan setelah usahaku belajar beberapa minggu sebelum ujian.

Semua orang yang berada di dalam kelas tampak heboh memperbincangkan rencana yang akan
dilakukan nantinya. Beberapa diantara mereka sudah memberi masukan dan saling menerima sebelum
akhirnya mereka bertepuk tangan dengan keras.

Ku perhatikan jam yang tergantung diatas papan tulis. Masih ada lima belas menit sebelum wali kelas
datang dan mengumumkan nama-nama siswa yang memerlukan perbaikan.
Kulihat ketua kelas maju di depan papan tulis, mengambil kapur dari tempat kapur dan segera
menggoreskan kapur di atas papan tulis. Dia bahkan sempat menghias satu persatu huruf yang
ditulisnya, membuat beberapa murid berdecak kesal dan melemparkan kapur kepadanya, entah
memintanya untuk segera menyelesaikan kegiatannya atau menghentikannya.

Tulisan itu langsung membuatku tidak berminat memperhatikannya.

‘New Year Eve’.

“Oke kita bakal kumpul di rumahnya Gilang, jam tujuh sampai jam sembilan buat makan-makannya, dan
sebelum kembang api dinyalakan jam setengah dua belas, kita bisa ngadain uji nyali di hutan dekat
rumahnya,”Dean mengatakan persepakatannya. “Entar ibu sekretaris kita bakal nagih uang iuran buat
makanannya.”Dean melirik Puput dengan cengiran khasnya.

Puput berdengus sebelum menyampaikan kata-kata di depan kelas.

“Jadi sebelum kita milih menu buat acara nanti segera voting, siapa yang mau ngasih ide?”

Ku lihat pemuda dipojokan menunjuk tangannya, dan otomatis semua orang melirik pemuda yang berisi
itu.

“Aih, jangan si rakus,”rintih Cika sambil menutup kedua matanya dengan telapak tangan kirinya, seolah
dia perihatin dengan apa yang akan terjadi nanti.

Si rakus yang sebenarnya bernama Fendi itu hanya bisa memberi cengiran.

“Aku mau ngasih saran. Dikit doing kok.”

Satu kelas menatapnya curiga.

“Ayam panggang, jagung bakar, sosis bakar, udang bakar,ikan bakar, popcorn-“

“Oke ada yang lain?”Puput memotong dan mencatatnya cepat-cepat sebelum menu itu bertambah
banyak dan membuat target uang iuran membengkak nantinya.

Tidak ada yang merespon, tanda semua saran yang diberikan Fendi sudah hampir semua dari isi pikiran
mereka.

“Nah menu segini cukup ya? Sekarang, siapa yang nggak bisaikutan?”

Aku menunjuk tanganku, membuat semua orang berbalik hanya untuk sekedar melihat ekspresiku.

“Kenapa ra?”Putri bertanya sambil menautkan alisnya bingung. “Acaranya gak bakal lama kok. Kamu
juga boleh pulang cepet kalau memang kamu mau.”lanjutnya.

Aku menggelengkan kepalaku, tetap pada keputusanku sendiri.

“Kamu ngerayain ulang tahunmu bareng kelurgamu lagi?”

Sebenarnya kata-kata itu sangat menohok diriku. Sebab, alasan sebenarnya tidaklah sesederhana itu.
Meskipun aku mengatakan hal yang sebenarnya kepada mereka, aku masih kurang yakin mereka akan
mengerti.
“Iya.”jawabku tersenyum tipis.

Gupi, teman sebangkuku, sekaligus teman dekatku, tampaknya kecewa dengan keputusanku. “Yah, ra.
Sesekali ngerayainnya bareng kita-kita dong. Ini udah kedua kalinya loh kamu nolak.”

Aku masih memamerkan senyum tipis andalanku, untuk menutupi kecurigaan mereka. “Tahun ini aku
udah janji. Tahun depan aja yah?”

Setelah merengut akhirnya Gupi menganggukkan kepalanya pelan.

“Bagaimana kalau acara natal ra? Kita sekelas bakalan tukeran kado secara random.”

Lagi-Lagi aku menggeleng menolak. “Tanggal dua puluh enam pagi, aku bakalan langsung berangkat
buat menghindari macet. Kayaknya aku bakalan capek banget deh.”

Bohongmu keterlaluan, ra.

Belum sempat mereka menyelesaikan diskusi mereka, guru wali kelas datang membawa setumpuk
kertas dengan tatapan yang menurutku sedikit aneh.

“Kalian…, bener-bener buat ibu sakit kepala.”

Diperhatikannya data matematika kelas kami, yang nyaris setengahnya dicoret dengan tinta merah.
Simbol itulah yang dianggap sebagai tanda kematian untuk para pelajar.

Usai membaca data-data itu, semua murid menunduk lesu. Sedangkan aku sudah bersiap-siap pulang
karena sudah bebas dari perbaikan.

“Ra,”ucap Gupi memanggilku sebelum aku sampai di pintu. Aku berbalik dan menatapnya heran. “Kalau
kamu ada masalah, jangan sungkan buat cerita ke aku. Kamu seperti…, memendam masalahmu
sendirian hampir setahun ini.”

Aku tersenyum miring menanggapi perkataannya. “Aku nggak papa kok. Kamu nggak perlu khawatir.”

……………………………………………………………………

Hari yang tunggu-tunggu telah tiba. Tanggal tiga puluh satu malam, masih satu jam sebelum tahun baru.
Satu jam sebelum hari ulang tahunku yang ke limabelas. Satu jam sebelum tahun pertama kepergian
nenek dan kakek.

Ngomong-ngomong aku masih berada di rumahku, mengatakan ke Gupi tanggal dua puluh enam
hanyalah alibi belaka. Sebab aku tidak punya alasan khusus untuk pergi ke rumah itu lagi. Rumah kakek
dan nenek dibiarkan kosong dan dikunci dengan gembok besar dipagarnya, hanya menyisahkan
kenangan.

Aku sudah membeli kembang api untuk dinyalakan di atas rumahku nanti. Bi nop, asisten rumah tangga
yang sudah mengabdi di kelurga kami hampir dua belas tahun itu, menyiapkan makan malam spesial
yang kupesan untuk menyambut kepulangan papa dan mama nantinya.
Seminggu yang lalu, aku sempat mendengar pembicaraan mereka mengenai cuti tahun baru. Semoga
saja mereka menyanggupinya dan pulang malam ini. ngomong-ngomong, aku sudah berkunjung
kemakan kakek dan nenek saat natal beberapa hari yang lalu. Seperti biasanya, orang-orang akan
menyapa dan menanyakan kabar.

Tapi, aku hanya memberi seikat bunga tulip putih kesukaan nenek dan sebuah pot bunga yang
mempunyai tanaman kecil dandelion yang masih kuncup. Kakek pernah berkata ia menyukainya, karena
tanaman itu menginspirasi hidupnya. Belajar melepaskan hal-hal berhargamu dengan tangan terbuka,
seperti dandelion yang melepaskan benih bunganya dengan ikhlas.

Setelah meletakkan bunga itu dan melafalkan doa kepada mereka, aku meninggalkan makan mereka.
Sekarang, tinggal menunggu kepulangan mama dan papa. Merayakan tahun baru dan ulang tahunku.
Aku membawa mereka kemakan kakek dan nenek besok pagi.

Ku ganti terus acara di televisi karena tidak ada yang menarik selain berita seputar penyambutan tahun
baru. Tiba-tiba kulihat bi Nop dengan gelisah melangkah ke arahku sambil memegang telepon rumah
ditangan kanannya.

“Non, ini ada telepon dari nyonya.”

Wajahku langsung berubah cerah. Kukira mama melupakan janjinya, ternyata dia masih mengingatnya.
Kuterima telepon itu dengan antusias dan berdebar-debar.

“Halo?” Tidak terdengar suara apa-apa selain mesin-mesin ketik dan suara dering telepon dari seberang
sana , sampai akhirnya suara mama terdengar beberpa saat kemudian.

“Halo nak?”

Aku yang baru saja hendak menanyakan kepulangannya, langsung terbungkam saat kedengar suara
oranglain seberang sana.

“Bu, ini semua data yang masih harus diselesaikan. Saya akan meminta bantuan dari yang lainnya.”
Terdengar suara helaan nafas dari sebelah sana.

“Kamu sudah makan, nak?”

Kulirik meja makan yang penuh dengan hidangan enak di sana, lalu tersenyum kecut.

“Sudah, ma.” Aku tidak berbohong, sebab aku memang sudah makan pukul tujuh tadi. Makanan yang
ada dimeja sebenarnya baru akan dimakan saat menjelang tahun baru. Keluarga kami punya kebiasaan
seperti ini dan kami menyebutnya ‘Makan malam terakhir di tahun ini.’

“Baiklah.”Mama menjeda dua detik. “Jangan lupa cuci kaki, jangan lupa gosok gigi dan jangan tidur
kemalaman, yah.”

Jantungku serasa berhenti berdetak selama beberapa detik, setelah itu deretan pertama terasa begitu
tajam dan menyakitkan.

“Iya.”

Aku menyerahkan telepon rumah itu kembali ke bi nop yang kini menatapku prihatin.
“Non,’

“Tidak, tidak papa bi,”aku tersenyum tipis. “Makanannya simpan di kulkas aja buat dimakan besok.”

Aki bangkit dari sofa setelah mematikan televisi, kuambil bungkusan plastik yang berisi kembang api itu
dan kubuang ditong sampan terdekat. Lalu, aku berjalan ke kamar dengan biasa, seolah kejadian tadi
tidak pernah terjadi. Seharusnya aku tahu.

Tahun baru hari itu, tidak akan datang kembali.

Aku menggigit bibirku, menegaskan kepada diriku bahwa aku tidak akan menangis. Aku harus mulai
bersiap-siap menerima setiap tahun yang sama seperti ini terulang kembali. Aku harus siap. Tidak aka
nada lagi kue ulang tahun, hadiah kembang api atau orang-orang terkasihku yang akan mengingatnya.
Tidak aka nada lagi.

“Tenang ra. Kamu nggak boleh nangis. Kamu nggak boleh cengeng,”ucapku menenangkan diriku sendiri
saat merasakan mataku memanas dan muli mengelurkan cairan bening. “Jangan malu-maluin. Bentar
lagi umurmu tiga belas.”

Tapi apa daya. Aku tetap menangis dan melanggar pendirianku sendiri. Hariku terlalu sakit untuk
menerima kenyataan yang kuhadi, kenyataan pahit yang membuatku terpuruk setahun ini. aku
menangis terisak tanpa suara, memeluk lututku erat, berharap seseorang akan datang memelukku
memberi semangat dan mengatakan ‘semua akan baik-baik saja’.

Suara notifikasi ponselku pun terus berdesakan berbunyi seiring dengan suara kembang api meledak-
ledak menyahut. Apa yang kutunggu telah datang, namun tidak mampu membuatku tersenyum lagi.
Setelah beberapa menit kemudian, aku kembali mendalami memori hangat yang diberikan oleh kakek
nenek kepadaku. Aku ingat kembali ke masa-masa itu.

Diam, kesunyian yang sangat panjang dan disaat aku bahkan tidak bisa mendengarkan suara tangisku
sendiri, aku kembali didatangkan oleh suara yang membuatku lupa dimana aku berada.

Suara khas kereta api.

Suara itu terdengar dari kejauhan, semakin lama semakin mendekaat dan semakin bising. Tapi, aku
tetap menangis, mengabaikan suara yang semakin lama terdengar semakin menganggu telingaku.
Karena aku tahu, suara apapun yang terdengar olehku telingaku sekarang, tidak akan bisa membawaku
kembali ke masa-masa itu.

Aku… rindu kakek dan nenek.

………………………………………………………………..

Jika seseorang menanyakan apa hal yang paling ku benci, aku akan menjawab malam. Tidak, aku tidak
membenci gelap ataupun bonding dan bulan. Jika orang-orang menganggap alasanku konyol, mungkin
aku harus menjawab ‘tanpa alasan’saja lain kali.
Baiklah, kembali ke dunia nyata, dimana aku tengah terjebak hujan di teras sekolah. Aku sama sekali
tidak menyangka bahwa hari ini akan hujan, sebab aku ingat persis tadi pagi masih cerah dan matahari
terlihat begitu bersemangat. Aku masih gelisah, apalagi mengingat jam keberangkatan bus akan
berangkat lima menit mendatang. Akan memakan waktu lima menit jika berjalan dari sini.

Akupun dengan nekatnya menerobos hujan. Saat tetes air hujan pertama menyentuh kulitku, akupun
merutuki diriku dengan bodoh sebab menolak tawaran Gupi untuk menumpang pulang dengannya
beberapa menit yang lalu.

Aku berlari diantara hujan yang jatuh bebas ke tanah, tak peduli pendaratannya menciptakan kehidupan
atau menjadi bagian dari genangan yang tak diakui. Beberpa kali, langkah ku akan menyebabkan
cipratan kecil, yang membuat kaos kaki ku yang awalnya basah, semakin basah.

Kutolehkan kepalaku kekiri-kanan, sebelum hendak menyeberang untuk mencapai halte bus. Halte bus
itu tampak berada tidak jauh dari keberadaanku. Tanpa pikir dua kali, akupun berlari ke tempat itu,
menjadikan tempat itu sebagai tempat penungguanku.

Ada empat orang lainnya yang juga mengunggu kedatangan bus, atau mungkin hanya sekedar
menumpang teduh di sana. Seragamku basah total, begitu juga dengan rambutku. Beberapa kali,
kuperas rambutku agar air didalamnya keluar dan setidaknya membuat tidak terlalu basah.

Tiba-tiba terdengar suara nada dering dari salah satu orang yang tengah mengunggu. Gadis di
sampingku langsung buru-buru mengangkat teleponnya.

“Halo? Bentar lagi juga pulang kok, yah,”seorang perempuan di sampingku tersenyum lebar sampil
memperhatikan gantungan dream catcher mini yang tergantung ditasnya. “Tinggal nunggu hujan reda.”

Ke perhatikan lagi gadis disebelahnya yang terus saja berkomat kamit mengucapkan sesuatu. Tapi
dipastikan dia sedang tidak berbicara dengan salah satu diantara kami berempat. Ada pula seorang
perempuan yang terus memperhatikan kami satu persatu. Dia bahkan menatapku lirih, dan
kulemparkan senyuman tipis sebelum dia membalas senyuman itu dengan sedikit ragu.

Gadis terakhir yang duduk paling ujung sana, tampak sedang memperhatikan sesuatu dengan gelisah di
ujung jalan, setelah kuperhatikan dengan teliti, ternyata itu hanya kodok yang tersesat di jalanan saat
hujan dan di kelilingi genangan air.

“Uhm…,”gadis yang bertelepon tadi berbicara dengan gadis yang berkomat kamit tadi. “Boleh minta
tisu?”

Gadis yang berkomat kamit tadi memang mengelap tubuhnya dengan tisu tebal dari tasnya. “Oh,
boleh.”dia mengeluarkan tisunya dari dalam tas dan menawarkan pada kami satu persatu.

Baik sekali dia.

Suara telepon pun memecah kembali. Kulirik ke arah salah satu orang di sampingku dan ternyata pemilik
ponsel yang berbunyi itu adalah milik perempuan yang tadi bertelepon. “Halo? Aduh, yah….”

Gadis itu melirik gelisah ke arah kami berempat yang masing-masing memakai seragam sekolah. Tiga
diantanya memakai putih biru tetapi dengan logo berbeda di lengan kanan mereka. Sedangkan aku dan
gadis yang sedang menelepon itu memakai pakaian yang agak lain.
Seragam sekolahku bermodel sailor, hampir mirip dengan seragam anak sekolahan jepang, dengan
warna biru muda yang menurutku pucat. Sedangkan gadis yang tengah menelepon itu memakai
seragam bermodel merah dengan rok kotak-kotak merah hitam.

“Erm, bentar dong. Ini busnya belum datang,”ujar gadis tadi dengan cemas, dia menggigit bibir
bawahnya tanpa sadar sambil menoleh kiri kanan menunggu kedatangan bus. “Tidak pelu, yah. Dinda
bisa pulang sendiri.”

Tak lama kemudian, gadis yang mungkin bernama Dinda itu menatap ke arah kami berempat yang kini
memperhatikannya sambil mengeringkan tubuh kami dengan tisu yang terus ditawarkan gadis tadi.

“Bisalah, ayah over protective.”ujarnya sambil mengulum senyum, membuat kami berempat juga
membalas senyumnya.

“Orang tua ku juga gitu”samar-samar aku bisa merasakan ada sesuatu menusuk diriku dengan perlahan.
Kualihkan pandanganku keorang yang mengelurkan suara. Gadis yang tadinya melihat kodok itu
tersenyum dan mengulurkan tangan ke Dinda. “Namaku Megan.”

“Adinda. Salam kenal, Megan.”

“Ah! Aku ingat sekarang.”gadis yang membagikan tisu itupun menangguk paham. “Kalian ingat aku?
Dulu sepetinya kita satu sekolah saat SD.”

“Dinda.”

“Tina.”

Tanpa diduga gadis yang bernama tina itu berjalan mendekatiku dan tersenyum lebar. “ Hehe, sekalian
aja yah,”dia mengulurkan tangannya. “Tina.”

“Ayra.”ucapku. selanjutnya, dinda dan Megan menyalamiku sambil tersenyum.

“Dari tadi kulihat, kamu yang melihatku keheranan.”Tina mengelus tengkuknya bingung, lalu
mengulurkan tangannya. “Maaf yah, aku orangnya emang sableng dikit. Jangan bingung kalau kamu
sering ngeliat aku ketawa sendiri.”gadis itu mengejapkan matanya dan menatap kami semua dengan
ragu.

“Namanu siapa?”Megan tersenyum hangat.

Gadis itu pun akhirnya menjawab dengan suara pelan. “I-iwin.” Lalu acara jabat-menjabat tangan terjadi
pada kami.

Baru saja selesai, tiba-tiba kulihat dari kejauhan benda merah yang bergerak mendekat. Ternyata,
seorang pemuda berpayung merah mendekati halte. Kami menatap pemuda itu bingung sampai
akhirnya Iwin berjalan memasuki payung itu dan berjalan di samping pemuda itu.

“A-aku pulang dulu.”ujarnya dengan suara kecil namun dapat kami dengar. Kami berempat
menganggukkan kepala, menerima salam tinggalnya. “S-sampai bertemu lagi.”bisiknya.

Samar-samar, aku mendengar suara pemuda itu berbisik. “Temanmu?”


Tak lama setelah mereka berdua tak lagi tampak, kami berempat menghela napas bersamaan. Tinalah
yang pertama kali mengelurkan suara.

“Enak banget Iwin udah punya pacar. aku jones atuh.” Baik aku, Dinda dan Megan saling tersenyum
canggung. Wajah Tina tampak kesal karena suatu hal. Lalu dia menatap kami semua dengan tatapan
curiga.

“Kalian ada yang lagi pacaran?”kami bertiga menggeleng cepat. “Oh, baguslah! Kukira aku jones sendiri
di sini.”Tina mengelap matanya yang kering, mendramatis.

Kurasa, dialah yang paling heboh sedari tadi dan jujur, Tinalah yang sedari tadi membuat keadaan
menjadi longgar dan tidak canggung. Beberapa saat kemudian, bus yang kami tunggu datang. Aku
mempersilahkan Dinda terlebih dahulu menaiki bus, sebab Dinda berada dipaling pojok. Saat Dinda
memasuki bus dengan langkah lebar menghindari hujan, aku mempersilahkan Tina memasuki bus.

“Err, ayahku minta aku nunggu disini saja.” Dinda mundur hingga punggungnya menyentuh tembok
halte di belakang, dipersilahkannya Megan untuk lewat. Megan pun melakukan hal yang sama, berlari
memasuki bus dengan cepat.

“Baiklah, hati-hati,”ujarku sebelum aku memutuskan untuk berlari masuk ke pintu bus. Tapi langkahku
berhenti saat kurasakan sesuatu yang janggal. Aku sama sekali tidak terkena air hujan diantara
banyaknya tetes hujan yang jatuh.

Ku dongakkan kepala ke atas dan mendapati pemandangan yang cukup mengagetkan. Roda besi, mesin
yang dilumuri oli, asam hitam dan air yang menetes dari ujung rodanya. Sebuah kereta iar yang tengah
berhenti dapat melihat bagian bawah dari kereta api itu. Aku bener-benar tidak mendengar suaranya
sedikitpun, mungkin suara itu dikalahkan oleh suara hujan atau mungkin…, kereta itu tiba-tiba saja
muncul di atasku.

Kulirik Dinda yang menatapku bingung, mengikuti arah pandangku sebelum akhirnya dia menatapku
heran. Begitupun dengan Megan dan Tina yang juga melihat bingung dari dalam jendela bus. Mereka
tidak melihatnya? Ah, tentu saja.

Aku merasakan ngeri yang teramat sangat sampai akhirnya aku memasuki bus tanpa berpikir dua kali.
Dari tempat duduk, Megan melambaikan tangannya sambil tersenyum ke arah jendela, sedangkan Tina
melambaikan kedua tangannya dengan heboh ke arah Dinda yang sendirian di sana.

Sementara aku?

Tenggelam dalam pemikiranku sendiri mengenai kereta api itu.

Apa sebenarnya kereta api itu? Dan mengapa hanya aku yang bisa melihatnya?

…………………………………………………………………
Gupi masih berpegang teguh untuk mendalami bukunya dan memegang bolpen berhiaskan unicorn itu.
Keningnya mengerut, tatapannya sesekali berubah cepat dan tanpa disadarinya, yang membuat tanduk
unicorn itu menjadi korbannya.

Bukan, Gupi bukan sedang belajar atau sedang menyusun rencana untuk laporan yang akan
dikumpulkan minggu depan. Dia sedang membuat kerangka untuk cerita, kerangkanya yang dibuat
sendiri dan dipubliskan disosial medianya.

“Ra,”dia mencolek bahuku dengan bolpennya itu, membuatku reflek meringis jijik dan menjauhkan
tubuhku dari bolpen itu. “Menurutmu, kararakter seorang pemeran utamanya lebih bagus bagaimana?”

“Yah, tergantung genre cerita yang kamu buat,”jawabku sambil melirik buku karya yang dituliskannya
hampir sama sejam. Tak kusangka dia hanya menulis dua kata disana. “Katanya mau buat kerangka
karangan?”

Gupi lagi-lagi dengan kurang ajarnya memukul punggung tanganku dengan bolpennya, membuatku
hampir merebut polen itu dan melemparkannya jauh-jauh dariku.

“Setiap orangkan beda-beda, ra,”Gupi meringis. “Memang, kebanyakan orang itu bikin kerangka
karangannya dulu, baru nentuin karakter utamanya. Tapi aku ngerasa kayak…, aku bakalan fail kalau aku
nggak mendalami tokohnya sejak awal. Jadi mending aku susun aja dulu nama tokohnya sama sifatnya.”

Aku kurang mengerti apa yang disampaikan Gupi, sebenarnya, tapi dari tadi dia terus memaksaku
mendengar ceritanya nanti?

“Oke, terserahmu,”aku berpikir sejenak. ”Kamu penulis cerita romankan? Maaf. Kamu salah orang kalau
nanya tentang itu.” Baru saja hendak ke kantin dan meninggalkan Gupi, dia buru-buru menarik ujung
seragamku dan mentapku penuh harap.

“Kali ini aku nulis fantasy. Please, help.” Aku berdengus, lalu memutuskan duduk kembali dibangku
panjang itu. Kurasa keputusanku bagitu bodoh sampai aku menyesalinya.

“Kamu taukan, pi? Aku ini paling nggak bisa berimajinasi di fantasi. Ngebaca cerita fantasi, halaman dua
saja aku nyaris mati bosan.”

Gupi menjawabku dengan datar. “Itu karena kamu kurang mendalami cerita. Coba saja kamu mendalami
cerita itu dan beranggapan kalau pemeneran utamanya adalah kamu, atau munculin bayangan tulisan
yang kamu baca. Ugh, kamu bakal ketagihan.”

Aku memutar bola mataku jengkel. “Apa semua penulis dan pembaca bertipe sama sepertimu?”

“Kutang lebih,”Gupi memamerkan giginya. “Ugh, come on, ra. Kasih aku satu topik dan aku bakal nyoba
buat kembangin topik itu sampai mekar. Just help me, please. Otak ku nggak sanggup mikir jauh.”

“Kalau nggak nyampe, yah nggak usah bikin.”balasku kesal.

Gupi mengerucutkan bibirnya. “Kamu ini. Sesekali kamu harus mikir kalau kejadian fantasi hebat itu
benar-benar ada.”

Aku memikirkan ucapannya sampai aku teringat pada keberadaan kereta api itu. Namun segera kutepis
dengan cepat. “Realistis, pi.”
Gupi berdiri dari bangku, menatapku kesal dan menghentakkan kakinya sebelum meninggalkanku
sendiri dikursi panjang itu.

“Makan tuh elastis.” Dia pergi meninggalkanku dengan mulut menganga dan pikiran kosong yang
kebingungan.

“Kok bisa yah, tuh anak jaddi penulis? Elastis sama realistis aja dia gagal paham.”

Ngomong-ngomong, aku memang tipe orang yang realistis. Aku sudah menerima kepergian kakek nenek
ataupun sudah siap haus akan kasih saying orang tuaku. Yah. Tidak mungkin aku hanya diam dan berdoa
kepada Tuhan menghidupkan orang yang sudah meninggal, kan? Atau tidak mungkin aku berdoa
memohon kasih sayang dari orang tuaku yang selalu sibuk.

Aku hanya berharap suatu hari mereka akan menyadari kehadiranku, menyayanyi diriku seperti anak-
anak normal lainnya dan mengasihiku dengan bertubi-tubi cinta yang selama ini membuatku merasa
kekurangan.

Tiba-tiba kulihat Gupi kembali lagi, menatapku datar dan masih memeluk dua benda keramatnya itu di
tangannya. “Ayo, ra. Kita balik ke kelas.”

Labilnya nggak ketolong.

Saat ini dalam satu pelajaran yang agak tidak kusukai, pelajaran musik. Bukan salahku tidak bisa
membaca not ataupun menyuarakan do-re-mi dengan baik. Yah, aku buta nada.

Gupi kebetulan adalah seorang pemain piano yang paling lincah diangkatan kami. Dia sudah beberpa kali
mengikuti perlombaan dan kontes. Karena dianggap murid terbuang yang sama sekali tidak bisa
memainkna alat musik, terpaksa aku harus menjadi anggota paduan suara meskipun aku tidak ingin. Ada
sekitar sepuluh dari banyaknya teman sekelasku. Tapi itu biasanya, sebab sekarang semua anak music
dipadu menjadi anak paduan suara.

“Ayolah Cuma nyanyi lagu Indonesia Raya, halo-halo Bandung dan lagu hymne sekolah kita aja kok.”

“Loh, kita perwakilan buat upacara senin nanti, ya?”Rina bertanya dengan kerutan dikening.

Bu Lia mengangguk mengiyakan, membuat mereka semua sontak menjerit riang.

“YES!”

Yah, kedengarannya aneh. Menurutku ini adalah beban. Tapi semua orang di kelasku menganggapnya
anugerah karena dua pelajaran terakhir akan dipotong demi kelangsungan latihan. Baik untuk latihan
pengibaran bendera, pemimpin upacara, para pembaca-pembaca dan juga padus.

“Semuanya wajib nyanyi yah.”Bu Lia menatap kami dengan tatapan tajam.

Biasanya aku hanya akan menggerakan mulutku mengikuti lagu atau lebih gaulnya, kita menyebutnya-

“Nggak boleh ada yang lipsync, yah!” Beberapa wajah murid memucat, termasuk aku.

“Baiklah. Pemimpin, para protokol dan para pengibar bendera keluar dari padus. Kalian latihan saja di
luar ruangan.”Mereka mengacir dengan senang hati.
Ketika bu Lia sedang menyusun barisan sesuai ketinggian badan, wajahku kembali pucat pasi saat tuba-
tiba saja aku mendengar suara itu.

Argh, suara itu lagi.

Aku ingin minta izin keluar dari jam pelajaran musik dan segera pulang, atau setidaknya tiduran di UKS
dan menutup telingaku dengan bantal hanya untuk sekedar meredam kerasnya suara itu. Tiba-tiba
kurasakan seseorang mencolek bahuku.

“Ra, kamu kenapa?”

Tidak, aku bahkan tidak dapat mendengarkan suara Gupi saking kerasnya suara itu. Aku hanya bisa
melihat gestur mulutnya yang bergerak dan aku hanya menerjemahkannya dalam hati.

Aku menggelengkan kepalaku dan menjawab dengan bisikan, “Nggak papa, pi.”

Sangat tersiksa untukku, hanya mendengarkan suara kereta api itu di dalam telingaku. Aku juga harus
menelitikan mataku agar bisa membaca bibir dari sang dirigen, Tata. Kereta api itu benar-benar
menyiksaku.

Kulirik jendela yang ada di dekatku, dan berapa terkejutnya aku saat melihat sebuah gerbonh besar
berbahan besi hitam yang sedikit mengkarat ada disana. Dengan suara mesin yang terdengar makin
menggebu-gebu. Sontak aku terjatuh dari tempatku berdiri, sampai-sampai aku nyaris terjungkal balik.
Aku meringis meratapi pukulan keras dikakiku dan suasana kacau saat semua anggota padus melirikku
bingung.

“Kamu kenapa, ra?”

Dari sekian banyak bibir yang bergerak, aku hanya menemukan gesture bibir yang umum dan terus saja
diucapkan mereka. Aku hanya bisa tersenyum konyol dan menjawab ‘aku baik-baik saja’, walaupun
sebenarnya aku tidak yakin suaraku keluar dari tenggorokan.

Setelah jam pelajaran musik berakhir, barulah suara kereta api itu menghilang bersamaan dengan
menjauhnya gerbong-gerbong itu ke arah langit. Aku meratapi kepergian kereta api itu sambil terus
menanyakan hal-hal yang sama berulang kali.

Apa sebenarnya kereta api itu dan mengapa hanya aku yang bisa melihatnya?

…………………………………………………………………….

Beberapa hari ini, aku kerap mendengar suara kereta api itu ditengah malam. Aku tidak tahu apa
sebenarnya yang kupikirkan sampai suara kereta api itu terus saja meneror pikiranku akhir-akhir ini.
Yang jelas, aku tahu pasti di saat aku tidak membayangkan kehadirn kereta api itu, kereta itu datang
memamerkan suaranya.
Dan yang terpenting, aku sampai tidak bisa memercayai omongan mama kalau itu hanyalah imajinasi
belaka. Jadilah, aku menerima tawaran Gupi untuk menginap hanya untuk menghindari suara kereta api
itu, takut aku bisa gila karena kelamaan mendengar suara itu.

“Aku pengen ajak cewek-cewek sekelas. Tapi kayaknya banyak yang nggak bisa, deh.”

Aku menekuk alisku bingung. “Kenapa?”

“Karena mala mini malam minggu.”

Gupi nampak geram sedikit dengan ucapan yang dikatakannya. Entahlah, hanya perasaanku atau orang
jaman sekarang begitu sensi dengan hubungan pacaran yang membuat mereka nampak ingin menggigit
bantal atau menghilangkan para pasangan dimuka bumi ini.

“Coba aja dulu.”aku menyarankan.

“Nggak usah ah. Udah ada kamu cukup kok.”Gupi mengedipkan matanya genit, membuatku bergidik
jijik.

“Jangan buat aku jijik atau nggak jadi nih ya.”

Gupi cepat-cepat mengangguk serius. “Iya, iya.”

…………………………………………………………………

Kutekan nomor yang sudah kuhafal di luar kepala dengan gugup yang menyerangku dengan begitu
heboh. Aku bahakan tanpa sadar menghitung barapa kali suara ‘tuut’tanda telepon sedang disambung.
Totalnya ada lima sampai orang yang di telepon mengangkat.

“Halo?”

“Ha-halo, ma.”

“Ra? Sudah makan?”

Aku melirik jam yang baru saja menunjukkan pukul enam. Aku tidak tahu mama sekarang sampai sudah
menanyakan jam makanku.

“Belum,”jawabku. Terdengar suara helaan napas di seberang sana. “Jangan kemalaman makannya,
yah.”

Aku mengangguk. “Iya, ma,” selanjutnya aku memikirkan alasanku menelepon tadi. “Ma, boleh nggak
Ayra nginap di rumahnya Gupi?”

Aku menggigit bibir bawahku menunggu jawaban. Hening, masih itulah yang terdengar meskipun sudah
lima detik aku menunggu jawabannya. Hingga akhirnya jawaban itu terdengar dari seberang sana.

“Tidak boleh.”

Aku langsung menghela napas kecewa saat mendengarkan tuturannya yang terdengar tegas.
“Oke, Ayra nggak bakal nginap.”

“Bagus.” Beberapa detik kemudian dia menutup teleponnya.

Saat itu juga, aku mematung dalam keadaan berdiri sambil tetap mendengarkan telepon itu tanpa
menubah jarak telingaku dengannya sedikitpun. Beberapa saat kemudian, kutatap telepon itu dengan
penuh pertanyaan. Napasku sesak, tenggorokanku menyempit, suaraku enggan keluar.

Ini menyakitkan.

Mataku memanas, terasa penuh, terasa sesuatu yang basah mulai muncul disudut mataku. Aku segera
menekan nomor Gupi yang kulihat lewat buku telepon. Menunggu telepon tersambung dengan naskah
yang sudah yang kusiapkan di kepala, kata-kata yang akan kukatakan dan alasan yang akan kuberi nanti.

Aku menegaskan diriku untuk tidak berbicara menyinggung Gupi atau membuatnya khawatir.

“Halo?” Suara Gupi dari seberang sana membuatku otomatis berniat mengendalikan suaraku. Aku
menarik napas terlebih dahulu sebelum menjawabnya.

“Halo, pi”

“Ra, Kamu udah mau datang? Aku udah nunggu, nih.”

Tahan. tahan.

“Sorry, pi. Hari ini aku ada urusan keluarga,”aku menarik napasku. “Maaf”

Terdengar helaan napas kecewa diseberang sana. “Yaudah deh, nggak papa.”

“Maaf ya,”

“Iya, nggak papa.”

Detik berikutnya dia sudah menutup telepon. Aku tidak dapat mengontrol kesedihanku, airmata itu
terus saja menintik ke lantai. Terus saja jatuh meskipun sudah beberapa kali aku menghapus paksa
dengan punggung tangan dan lenganku.

Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara kereta api dari kejauhan. Semakin jelas dan semakin
melengking. Tapi tak kupedulikan keberadaan kereta api itu seperti biasanya.

“Hanya imajinasi, hanya imajinasi,”aku terus bergumam terisak. “Jangan dengarkan, jangan pikirkan.”
Kulafalkan mantra itu terus menerus hingga akhirnya terhenti begitu saja bersamaan dengan
berhentinya tangisanku.

BRUK!

Terdengar suara bantingan keras, yang membuatku langsung menoleh cepat ke arah pintu balkon. Pintu
balkon kamarku terbuka lebar, kain putih tipis yang kugunakan sebagai tirai berkibar heboh. Napasku
serasa terhenti.

Hitam, berasap. Membuatku pertama kalinya melihat kereta api uap dari dekat. Biasanya, aku
melihatnya dari kejauhan atau dari bawah saja. Tapi kali ini kereta api itu ada disana, dalam keadaan
berhenti di udara dan salah satu gerbongnya berhenti tepat di depan pagar balkon kamarku.
Dari celah yang ada, aku dapat melihat keadaan di dalam gerbong kereta api itu. Akupun mengerjapkan
mataku, mengecek mataku yang lembab tidak percaya.

Aku tidak mungkin salah lihat.

Ya, aku yakin dengan apa yang kulihat saat ini. karena mata ku masih jernih dan aku tidak mempunyai
gangguan pada indra penglihatan sejak dulu.

Ada seseorang yang duduk di dalam sana!

Pemuda itu bermata biru langit, hidung mancung, berwajah asia, kulitnya putih pucat dan parahnya
matanya itu juga menatap balik mataku. Kami saling bertatapan dalam dan itu terjadi selama beberapa
detik. Saat itu juga, waktu terasa berhenti.

Dengan langkah ragu, aku mendekat ke arah pintu, memperjelas wajah lelaki itu semakin jelas saja. Aku
sampai tak percaya saat mengedipkan mata dan menemukan sosok itu masih berada di sana.

“Siapa kamu?”aku memberanikan diri bertanya.

Belum lagi dia menjawab, suara peringatan kereta api terdengar melengking memekakkan telinga. Aku
segera menutup telingaku untuk meredam suara itu. Saat aku menatap kea rah gerbong tadi, kereta api
itu sudah bergerak kembali melayang di atas angina. Melaju kea rah bulan yang jauh seolah hendak
menggapainya.

Dan kereta api itu meninggalkanku dalam lautan penasaran.

Aku tidak pernah menceritakan kejadian yang kulihat tentang kereta api itu sejak beberapa bulan yang
lalu. Aku tidak pernah melupakan bagaimana bentakan yang diberikan oleh mama kepadaku saat aku
menceritakannya. Aku bahkan tidak pernah melupakan kalimat yang ia lontarkan untuk meyakinkanku
bahwa kereta api itu tidak nyata.

“Sadarlah! Kamu terus menceloteh tentang kereta api itu sejak kematian kakek dan nenekmu. Mama
ingatkan sekali lagi yah, kereta api itu tidak nyata. Itu cuma imajinasi saja karena kamu mempunyai
kenangan yang banyak bersama kakek dan nenek tentang kereta api!”

Sejak itu, aku selalu menganggap hal itu adalah tabu yang tidak boleh dibicarakan dipublik. Mau
bagaimana lagi? Menceritakannya di depan orang tuaku saja, mereka seperti tidak mempercayaiku.
Apalagi menceritakannya kepada publik yang bukan siapa-siapaku.

“Ra?”Gupi menegurku ditengah pelajaran matematika. “Kamu ngelamun terus kerjaannya akhir-akhir
ini. ada apaan sih?”

Aku tersenyum menanggapinya. “Aku tidak papa.”

Gupi berdengus. “Seratus kali aku menanyakan keadaanmu, seratus kali juga kamu menjawab nggak
papa.”

“Seriusan, aku gak papa.”

“Kamu nggak percaya sama aku? Kita hampir kenal lima tahun loh.”

Aku menghela napasku dengan berat. Bagaimana cara meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja?
“Bukannya nggak percaya,”aku menghela napas pendek. “Tapi seriusan deh, aku ceritakan pun, sama
sekali nggak bisa ngebantu.”

Gupi menatapku cemberut. Hanya dialah satu-satunya teman yang peduli denganku sekarang. Aku
adalah tipe introvert yang menutup diri sejak dulu, pokoknya berbeda dengan Gupi yang terbuka pada
siapa saja.

Aku tidak pernah berkenalan langsung dengan orang. Gupi lah saat itu yang memaksaku berkenalan
dengannya. Lihat saja saat perkenalan di halte, aku diam kayak orang bego sampai Tina lah yang
mengajakku berkenalan. Oh, ya. Ngomong-ngomong saat dibus hari itu, Megan da Tina meminta
contakku. Aku ingat jelas saat Tina berdecak karena tidak mendapatkan contak Dinda dan Iwin.

“Kalau begitu ceritain. Biar aku yang nyimpulin sendiri.”

Aku menghela napas panjang. “Kamu nggak bakalan percaya ini, pi,” Aku meratapi langit bitu dengan
tatapan kosong. “Sebaiknya kamu nggak tahu.”

Gupi lagi-lagi berdengus kesal. “Oke-oke. Aku nggak bakalan maksa. Tapi kapanpun kamu mau cerita,
aku bakalan siap dengerin.”

Aku melempar senyum tipis. Inilah alasan mengapa pertemanan kami langgeng hingga lima tahun. Gupi
yang manja sebenarnya punya sifat yang pengertin.

…………………………………………………………………….

Begitu aku membuka pintu rumah, aku dihadiahkan oleh kemunculan dua pasang sepatu yang masing-
masingnya adalah sepatu hak tinggi dan sepatu pemuda. Senyum lebar terbesit dibibirku dan tanpa
keraguan aku berlari sambil mengucapkan salam dengan semangat.

“Aku pulang!”

Tapi langkahku terhenti saat aku mendengar suara dari ruang keluarga. Aku melangkah pelan tanpa
suara, mengusahakan aku bisa mendengar percakapan mereka tanpa mengganggu sama sekali.

“-sudah kubilang sejak awal!”

Ah, suara mama.

“Apa-apaan maksud perkataanmu itu?! Kau ingin bilang kalau kau tidak menganggapnya?!”Suara papa,
membentak mama.

“Sudah ku bilang sejak awal! Kalau terus-terusan begini, Ayra yang akan dapat imbasnya!”Mama berseru
dengan suara keras, mengatasnamakan namaku.

Ada apa ini?

“Kalau begitu, segera berhenti dan perhatikan dia!”balas papa tak kalah kerasnya.

“Aku masih ingin bekerja. Mengapa tidak kau saja? Ini benar-benar merepotkan!”
“Tugas suami menafkahi keluarganya. Jangan pernah bilang kalau kamu menyesal telah melahirkan-“

“Aku tidak pernah mengatakannya. Tapi kalau kamu meminta pengakuan, aku memang sedikit
menyesal!”Mama memotong.

DEG.

Napasku serasa berhenti. Menyesal soal apa? Me-melahirkanku?

“Tapi sisanya tidak terlalu. Aku masih ingat dengan ayah dan ibu yang dulu mendesak ingin mempunyai
cucu.”

Ayah memotong dengan nada yang terdengar sinis. “Sebagai pemegang ahli waris, maksudmu?”

Sekarang, aku tahu arah pembicaraan mereka. Meskipun aku memang tidak terlalu mengerti soal ahli
waris, aku mengerti apa yang sebenarnya sedang mereka bahas dan apa yang mereka perdebatkan tadi.

Aku, anak yang tidak diinginkan.

Aku merasa dimanfaatkan oleh orang tuaku sendiri meskipun aku paham bahwa merekalah yang
membawa ke dunia ini. Bahkan mama, menyesal telah melahirkanku.

Lalu, apa sebenarnya tujuanku hidup disini? Apa sebenarnya rencana mereka mengurungku di dunia
mereka? Apa aku boleh pergi? Apa aku boleh menghilang saja? Apa aku boleh?

Mengapa sikap mereka egois itu bisa mucul dan menyakiti orang?

“Sudahlah. Jangan membahas itu lagi.”suara mama tedengar kembali, dengan penekanan yang jelas
disetiap kata-katanya.

Tak lama kemudian terdengar suara televise dibuka. Aku memutuskan untuk naik kelantai atas tempat
dimana kamarku berada. Merenungkan ucapan mereka di dalam hati.

“Hanya imajinasi, hanya imajinasi. Jangan dengarkan, jangan pikirkan.”ku ucapkan mantra pendek yang
sering ku ucapkkan saat kereta api itu muncul.

Tapi, alasan aku munggumamkan kata itu kali ini berbeda. Bahkan untuk memanipulasi pemikiran
tentang tidak adanya keberadaan kereta api itu. Tapi untuk memaksa pikiranku untuk melupakan semua
kata-kata yang mereka katakana tadi.

Jangan dengarkan, jangan pikirkan.

“Ayra?”terdengar suara mama dari luar pintu dan kemudian dia mengetuk pintunya. “Kapan kamu
pulang? Ayo makan siang di bawah.”

Aku menghirup napasku kuat-kuat, menahannya sejenak lalu membuangnya pelan-pelan. Aku berjalan
ke arah pintu, memutar kenop dan memberikan senyuman hangat.

“Mama pulang?”

Mama mengangguk. “Kantor lagi nggak sibuk. Lagipula sudah tutup buku dan mama udah nggak ada
kerjaan lagi di kantor.”
Aku masih setia dengan topeng senyum yang kini tengah kugunakan. “Papa?”

“Papa juga di bawah. Yuk, turun.”

Saat turun itulah aku melihat papa sudah duduk di meja makan yang besar dan nyaris tak pernah terisi
oleh orang-orang itu.

“Anak papa sudah pulang sekolah rupanya.”

Aku terkekeh kecil lalu duduk di seberangnya. Mama duduk di tengah dan kami mulai makan makanan
yang dimasak bi Nop. Biasanya, aku akan antusias jika makan bersama. Namun, kali ini berbeda.

Makanan yang dimasak bi Nop yang keahlian masakannya menyamai chef di restoran bintang limapun,
terasa hambar di lidahku. Namun, kucoba menelannya dengan paksa. Setelah kupikir-pikir, aku
memutuskan untuk bersikap biasa saja. Aku hanya perlu berpura-pura tidak mendengarkan percakapan
tadi dan semuanya akan baik-baik saja.

…………………………………………………………………

Tahun ajaran baru, dimana aku memasuki SMP tiga tahun ini. Aku mendesah saat mengingat acara
school meeting yang merupakan tradisi setiap tahun ajaran baru. Ada banyak stand yang dibuka dan ada
banyak perlombaan yang diadakan. Selain itu, ada pula pertunjukan drama dan kontes bernyanyi.

Aku membenci school meeting disetiap tahunnya. Salah satu alasannya karena keramaian. Kelas kami
dibagi dua kelompok. Satu kelompok menjaga stand dan kelompok lainnya mengikuti pertunjukkan
drama.

“Ra, kita ikutan drama yuk tahun ini.”Gupi mengajak dengan antusis.

Aku menggeleng dengan jawaban yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. “Aku jaga stand aja.
Kamu aja yang ikut.”

Gupi menggerutu seperti biasanya, dia bahkan mengerucutkan bibirnya, seperti tengah merajuk
memaksaku mengikuti kemauannya.

“Kenapa sih, kamu nggak pernah mau mengikuti hal-hal yang dilihat banyak orang semacam ini?”

Aku menghela napas. “Karena aku tidak suka dilihat.”

Gupi mengacak rambutnya frustasi, dia mengambil kertas sketsa yang dibuat dengan mengumpulkan
kertas-kertas, menyusunnya rapi dan menguncinya dengan staples.

“Ini sketsanya.”

Aku melotot menatapnya galak. “Siapa yang bilang mau ikutan draman?”

“Siapa juga yang suruh kamu ikatan. PD banget sih!”Gupi menatapku cemberut. Padahal, tadi jelas-jelas
dia memintaku mengikuti drama.
“Dasar labil!”

Kami sekelas sempat menonton terlebih dahulu latihan drama mereka sebelum ditampilkan di depan
panggung. Kamilah yang menilai pantas atau tidaknya itu disebut drama. Rupanya, Gupi dapat tokoh
utamanya-Ariel.

Disebuah rumah sederhana dengan kebun yang subur dan indah, seorang gadis kecil bernama Ariel yang
tinggal bersama ibunya dan ayahnya. Ibunya adalah pembuat cerita bergambar, sedangkan ayahnya
adalah seorang pemilik lahan terluas di desa itu yang memberikan sepetak lahan pada setiap orang yang
membutuhkannya.

Ariel dan kelurganya hidup berkecukupan karena selalu mendapatkan sedikit bagian dari hasil panen
yang diberikan oleh orang-orang yang ingin membalas budi. Sekilas, desa ini tampak aman, damai, dan
tentram.

“Mendengar kata itu, firasatku mengatakan bahwa masalah mulai muncul di sini.”Puput berkomentar,
dia melirik Rina si pembuat naskah.

Aku ingat bagaimana Rina dan Gupi berdebat tentang perihal siapa yang akan menulis naskah. Keduanya
punya bakat menulis yang handal, menurutku. Sayangnya, Gupi harus mengalah saat voting
menunjukkan bahwa dia kalah dua suara.

“Memang benar, masalahnya ada di Ariel. Cerita ini sedikit disesuaikan dengan kisah nyata,”jawab Rina
dengan agak serius. “Setelah kupikir, cerita ini sedikit mengganggu. Tapi mengingat ada anak-anak yang
akan menyaksikannya juga, aku jadi ragu.”

“Memangnya Ariel kenapa?”

“Uhm, sedikit menyangkut ke psikologis.”Rina menjawab.

“Kau benar. Itu benar-benar disturbing!”Aurel menyambung. “Masih ada seminggu sebelum kontes
drama dimulai. Batas maksimum memainkan drama hanya lima belas menit. Kalau memang terdesak,
kita tukar nomor saja sama yang dapat nomor terakhir.”

“Tunggu,”Gupi mengerutkan keningnya. “Tapi aku penasaran, mengapa Ariel bisa seperti itu? Bukannya
dia hidup dalam keluarga yang damai?”

Rina menggeleng. “Tidak seindah yang kita pikirkan. Orangtua Ariel sering bertengkar. Di sanalah
masalahnya. Terkadang sebuah kelurga yang tampak baik-baik saja dari luar, belum tentu baik-baik saja
di dalamnyakan?

DEG!

Jantungku terasa nyeri untuk beberapa alasan. Aku seperti merasa sedang dibicarakan? Tunggu, aku
tidak mengerti.

“Maksudmu dia kurang kasih saying?”

Rina mengangguk menyetujui. “Lebih parah dari itu. Ariel sering menjadi pelampiasan amarah kedua
orang tuanya. Bisa kita menyebutnya kekerasan fisik.”
“Drimana kamu mendaptkan ide cerita ini, Na? kok, aku ngeri?””

“Based on true story. Aku ngebaca dari artikel, yah, walau versi aslinya beda, sih.”jawab Rina.

Aku berdiri dan bergerak menuju pintu dengan langkah lebar. Aku tidak sanggup mendengarkannya.
Mengapa aku marah? Mengapa aku merasa sedang dibiscarakan?

“Ra?”Gupi menghentikan langkahku. “Kamu mau kemana?”

Aku mengelurkan ponselku dan memperlihatkan layar hitam disana. “Daritadi getar mulu, aku mau
ngecheck dulu.”

“Oh, buruan ya.”

Aku mengangguk, tersenyum, berjalan menuju pintu, menutupnya, melangkah dengan depat dan segera
mencari tempat kosong untuk bernapas. Aku merasa kekurangan oksigen. Sampai akhirnya aku sampai
di atap sekolah yang didatangi oleh sepasang manusia yang tengah saling bergandengan yang entah
mengapa memilih atap yang sepi sebagai tempat berkencan mereka. Tapi, aku tidak menghiraukan
mereka dan memutuskan untuk menarik napas panjang-panjang.

“Tenanglah, tenang,”gumamku kecil mencoba menghibur diriku sendiri. “Itu hanya sebuah cerita yang
sedikit dikembangkan dari cerita nyata, dan lagipula papa dan mama tidak pernah menyiksaku.”aku
mengelus dadaku dan merasakan jantungku berdebar cepat.

Entahlah efek gelisah atau karena aku berlari di sepanjang perjalananku kemari tadi. Aku memutuskan
untuk duduk di atap dekat jaring besi yang berguna sebagai pembatas. Aku duduk dan memperhatikan
lapangan di bawah sana. Mereka sudah mulai membangun stand.

Melihat ada banyak stand yang dibangun di sana dan juga kabar tentang anak SMA yang juga boleh
membangun stand, aku langsung berpikir bahwa acara school meeting kali ini akan bersifat terbuka,
dimana semua orang boleh mengunjunginya.

Baru saja hanyut dalam pemikiranku beberapa detik, suara itu kembali mengagetkanku, menggangguku,
membuatku sontak berdiri dan mencari asal suara itu. Dari ujung sana, aku melihat kedatangan kereta
api itu. Kukira kereta api itu akan berhenti di atap, ternyata aku salah. Kereta itu mendarat di lapangan
basket. Aku langsung turun untuk mendatangi kereta api itu saking penasarannya.

Aku masih penasaran dengan pemuda yang ada di dalamnya. Sudah beberapa minggu aku menunggu
kedatangan kereta api itu yang tiba-tiba saja absen beberapa kali mendatangiku. Saat hendak turun, aku
menabrak seseorang.

“Maaf!”sahutku tanpa melihat siapa yang kutabrak dan langsung turun dengan buru-buru.

Aku tidak menghiraukan umpatan yang dikelurkan orang itu dan masih berusaha sampai di lantai dasar.
Padahal, tadi aku berada di lantai tertinggi di sekolah. Sesampainya di bawah, aku mendapati kereta api
itu sudah mengelurkan suara melengking tanda peringatan bahwa kereta api akan segera berangkat.
Bahkan belum sempat aku berjalan ke lapangan basket, kereta api itu sudah melaju meninggalkanku.

Aku ingin mengumpat, namun batal saat kuperhatikan sebuah kertas berwarna biru jatuh dari atas
langit, seperti ada yang membuangnya. Aku pun menangkap kertas biru itu dan memutuskan untuk
menyimpannya. Semuanya terasa aneh, saat kurasakan semua mata kini menatap ke arahku. Sudah
kukatakan kalau aku tidak suka dilihat, tapi mengapa mereka sangat suka melihatku?

Mereka pasti mengira aku aneh, terus memperhatikan langit dan menangkap kertas tadi. Aku berjalan
cepat memasuki gerbang sekolah, menghindari malu. Sampai di tempat yang sepi, ku beranikan diri
membuka kertas itu. Ada sedikit rasa gugup, gelisah, gundah, galau dan gembira yang bercampur aduk.
Tulisan yang ditulis dengan tinta hitam cair di atas kertas biru itu, dan kubaca tulisan itu dalam hati.

Rian.

………………………………………………………………………

Hari yang telah ditunggu-tunggu oleh kelompok stand di kelas kami. Stand kelas kami membuka toko es
krim dan permen kapas. Kebetulan, salah satu orangtua teman kelas kami mempunyai peralatan
membuatnya dan beliau bersedia meminjamkannya kepada kami.

Dikarenakan sketsa drama yang dibuat Rina gagal, maka mereka memutuskan unutk memainkan drama
yang mainstream. Apalagi mereka memilih drama yang simple dan tidak menggunkan banyak peralatan.
Dan terpilih cerita snow white yang membuat Gupi merenggut minggu lalu karena mendapat peran yang
menurutnya menyusahkan. Meskipun, semua orang beranggapan bahwa drama itulah yang
menonjolkan pemeran wajib yang berjumlah sepuluh.

Semua orang tua temanku datang untuk menyaksikan drama yang ditampilkan anak mereka. Dan
orangtuaku tidak pernah datang sakalipun.

“Beliin susu vanilla dong di minimarket. Udah mau habis nih,”aku mengangguk pelan dan saat hendak
pergi, Nora buru-buru menambahkan. “Sama gula juga.”

Minimarket di dekat sekolah ku ini memang menjual barang kebih mahal dari biasanya. Ini karena pasar
dan toko lainnya berada jauh dari sini. Tapi lebih baik begini daripada disuruh jalan sampai berkilo-kilo
hanya untuk tiga barang itu. Begitu masuk di minimarket, aku melihat suasana tidak terlalu ramai,
namun ada beberapa pengunjung yang tampak.

Samar-samar aku melihat sesosok perempuan berambut panjang coklat gelap yang membuatku terus
bertanya-tanya tentang orang itu. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya. Saat dia berbalik ke
belakang dan menatapku balik, aku pun akhirnya tersenyum lebar.

“Iwin?” Iwin yang mendengarkan namanya terpanggilpun segera menoleh kearahku.

“Ayra?”oh, kukira dia sudah lupa namaku.

“Hai, apa kabar?” Aku mendekatinya dan mulai melihat-lihat barang disana. Rupanya kami sedang ada
dilorong pewarna makanan.

“Baik.”jawabnya sambil tersenyum simpul.


Kami sempat mengobrol sejenak dan bahkan sempat bertukar kontak. Aku meminta kontaknya karena
teringat dengan Tina yang terus saja mengoceh di grup line yang dibuatnya: Five Rin Women, tetapi baru
mempunyai tiga anggota saja. Kurang Iwin dan Dinda.

“Oh iya, sekolahku lagi mengadakan school meeting dibuka untuk umum, kamu mau ikutan tidak?”

Kulihat Iwin mengerjapkan matanya menatapku gelisah, membuatku ikutan gelisah karena mengira dia
akan menolak tawaranku. Lalu dia bertanya dengan gugup.

“A-apa tidak papa?”

“Hah?”

“Aku boleh ikut?”

Aju tersenyum saat menemukan susu vanilla, hal terakhir yang diminta oleh Nora. Aku mengambilnya
dan memasukkannya ke keranjang yang kutenteng.

“Tentu saja.”

Kami berdua pun berjalan bersama sampai di sekolah, keramaian kembali menyambut, orang-orang lalu
lalang membawa kantung plastik, tas atau mengandeng anak kecil ditangannya.

“Ramai sekali,”gumam Iwin saat melihat keadaannya.

Aku mengangguk dan berjalan mendahuluinya ke stand. Iwin mengikutiku dari belakang dan sebenarnya
sedikit membuatku takut jika dia tersesat disini. Tapi, seberapa jauhpun aku bejalan mendahului di
tengah keramaian, dia tetap bisa menemukanku.

Aku menyerahkan barang-barang yang diminta Nora dan akhirnya yang lain segera memasukkan bahan-
bahan kedalam mesin. Mereka menaruh es batu dibagian bawah mesin itu, lalu tersenyum lega.

“Huft, kukira nggak bakal sempat.”Dean mendesah lega.

Nora tersenyum kepadaku. “Thanks ya. Kamu boleh istirahat deh.”

Akupun mengangguk dan mengajak Iwin ke ruangan auditorium, dimana drama tengah dipertontonkan.
Kulirik jam besar di tembok tinggi di dekat hall.

“Ah, sudah waktunya.”

Kami berdua masuk dan duduk dikursi kosong yang kami temukan. Lokasinya strategis untuk bisa
menonton drama itu. Dugaan mereka memang benar. Banyak anak kecil yang menonton drama mereka.
Tapi anak-anak itu duduk di lantai dekat panggung, sedangkan aku dan Iwin duduk di kursi yang
disediakan panitia. Belum juga drama dimulai, membuatku dan Iwin menunggu hampir lima belas
menitan.

“Kamu…, punya banyak teman, yah.” Aku menoleh tak percaya padanya.

“Tidah. Temanku hanya satu di sekolah.”jawabku langsung.

“Lebih baik daripada tidak adakan?”Iwin tersenyum simpul.


Entahlah hanya perasaanku saja atau apa, aku benar-benar tertutup pada oranglain, bahkan teman
sekelasku sendiri. Entah mengapa aku bisa dengan mudahnya berbicara dengan santai kepada Iwin,
Dinda, Tina dan Megan. Mereka seperti, punya sesuatu yang membuatku nyaman.

“Sekarang, kita teman, kan?”tiba-tiba Iwin angkat suara, membuatku kaget. “Kalau kamu punya
masalah, jangan sungkan bercerita kepadaku, yah.”

Benar, iwin memang punya sesuatu yang membuatku merasa nyaman.

“Baiklah. Kamu juga.”jawabku semangat.

Tak lama setelah itu, drama dimulai. tampaklah Gupi yang sedang berjalan menelusuri hutan dan
memperlihatkan kebingungan yang menonjol, seperti tengah tersesat.

“Dimana aku?”Gupi nampak panic, nyaris menangis. Dia benar-benar mendalami perannya menjadi
snow white.

Sebenarnya drama snow white punya beberapa cara untuk menyampaikannya bahwa snow white
hendak dibunuh oleh pemburu, dan cara mereka pilih adalah dengan menceritakannya kepada
penonton lewat pertanyaan kercaci.

“Aku tidak tahu. Tiba-tiba pengawal menyeretku keluar. Aku dikejar oleh seorang pemburu sampai di
hutan. Lalu, si pemburu menyuruhku pergi dan jangan kembali ke istana.”ungkapnya kepada para
kurcaci dengan linangnya air mata.

Gupi benar-benar multi talenta. Berteman denganku benar-benar tidak cocok untuknya.

“Aku bingung. Mengapa ibu membuangku? Apa dia tidak menginginkanku?”

DEG!

Sejenak, terasa getaran yang amat pedih di dalam sana. Tapi segera kutepis rasa itu dengan melihat aksi
anak-anak di bawah panggung yang berteriak menyemangati Gupi bahwa dia baik-baik saja.

“Tidah apa-apa, kakak putri salju!”

“Semangat, kak!”

“Kakak bebas dari nenek sihir. Semangat kak!”

Gupi tersenyum tipis mendengar reaksi anak-anak itu. Padahal seharusnya dia dilarang tersenyum
sedikitpun untuk mendalami perannya.

“Terima kasih yah adik-adik.”

“Putri saljunya ramah,”komentar Iwin sambil menatap kagum Gupi. Aku hanya mengangguk
menyetujuinya.

Saat adegan putri salju memakan apel beracun, keadaanpun canggung saat seorang anak kecil dengan
nekadnya berlari ke panggung dan menghentikan Gupi yang hendak menggigit apel. Sampai-sampai
Gupi kewalahan dan harus menambah dialog tambahan.

“Duh, dik. Ini apelnya segar sekali loh. Dikasih gratis sama nenek itu, lagi. Kamu mau?”
Anak itu menggeleng kuat, dan menatap Gupi yang mendekatkan apel dan hendak memakannya, namun
anak itu lagi-lagi menahannya.

“Jangan, kak! Apel itu-“

Gupi tidak tampak gugup, dia malah berjongkok dan mengelus kepala anak itu.

“Tidak baik menolak rezeki. Apalagi ini pemberian orang.”

Aku merasa sekelilingku hening, semuanya menonton drama yang dibawa Gupi dengan serius, bahkan
ada di antara mereka yang tersenyum lekat. Akhirnya, aku ikut tersenyum saat anak itu menurut, dia
turun dan menyaksikan drama yang berhasil dibawa dengan baik itu.

………………………………………………………………….

Pukul 17.00 langit jingga memamerkan warnanya, menghadiahkan segares warna indah yang
menyejukkan mata. Senja tiba saat keadaan sekolah sudah sepi, dan gerbang sekolah akan ditutup
setengah jam lagi. Para murid-murid sudah menutup stand mereka dan pulang ke rumah, bersiap
menuggu esok dimana hari terakhir school meeting akan dilaksanakan. Iwin masih berada di sini,
menungguku menutup stand kelas kami sampai selesai.

“Maaf ya, membuatmu menunggu.”

Iwin mengangguk. “Tidak masalah. Aku senang berada disini.”

Aku mulai berjalan di sampingnya, dia mengikutiku dan kami berjalan ke gerbang.

“Menunggu bus?”tanyaku padanya saat melihatnya masih berjalan ke arah yang sama denganku, Iwin
mengangguk sampai akhirnya keputusanku untuk menganggunya sedikit. “Atau menunggu pacarmu
itu?”

Dugaanku benar. Iwin tersipu dan wajahnya memerah. Kulihat dia menyelipkan anak rambutnya buru-
buru. “Tidak, kami hanya tetangga.” Ujarnya

Akupun hanya mangut-mangut dan memutuskan untuk mendiamkannya. Kami berdua kembali dalam
keheningan yang sama saat pertama kalinya bertemu disini. Bedanya, hening kali ini terjadi meskipun
kami sudah saling mengenal.

“Ka-kamu kelas berapa?”Iwin bertanya dengan suara kecil namun aku masih dapat mendengarkannya.

“Sembilan, kalau kamu?”

“Sama.”Iwin menjawab sambil memperhatikan beberapa orang yang masih lewat.

Mata kami tertuju pada bus merah yang menghampiri kami dab berhenti di halte. Kami berdua pun
masuk ke dalam sana. Bus sepi meskipun sekarang sudah sore. Mungkin karena jam pulang kerja sudah
lewat dan kami terbebas dari pengap yang mungkin menjebak kami disepanjang perjalanan. Aku dan
Iwin mengobrol tentang insiden akhir snow white yang berakhir lucu tadi. Si anak yang tadinya berdiri
untuk mencegah Gupi memakan apel, menjadi pangerannya.

Tentu saja semua penonton disana juga tertawa. Apalagi saat anak kecil itu mengandeng dan mereka
berdiri dengan jarak tinggi badan yang jauh. Tapi akhirnya obrolan kami terputus saat halte
pemberhentianku telah tiba dan akupun pamit pulang.

Begitu kakiku menginjak tangga pintu bus untuk keluar, tubuhku menegang. Aku mendengar suara itu
kembali, suara kereta api yang beberapa hari ini menganggu tidurku, menganggu diriku, membuatku
gelisah, membuatku terus saja memikirkan alas an logis tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Aku mendongakkan kepalau ke atas, dan tampaklah kereta api itu melaju dengan cepat diatasku. Kereta
itu menembus bagian depan kepala bus sampai aku terus melihat cat merah yang seharusnya lecet itu.
Kulirik Iwin di jendela yang tampak diam memperhatikanku. Detik berikutnya, dia tersenyum lemah dan
melambaikan tangannya.

Ku harap dia tidak berpikir aku aneh.

Ku perhatikan terus bus merah itu sampai badan bus sama sekali tidak terlihat lagi. Bus maupun kereta
api itu sudah pergi. Tapi bedanya, suara bus itu telah lenyap beberapa detik lalu dan suara khas kereta
api itu masih berputar-putar dikepalaku.

Sudah hampir tiga puluh menit aku menatap selembar kertas berwarna bitu yang berada
digemnggamanku. Hanya sebuah kertas dengan tulisan disana, bahkan aku sudah menyimpan secarik
kertas itu nyaris tiga minggu. Aku hanya bingung dengan apa yang ada ditulisan itu.

Rian.

Kuakui, aku memang kurang suka dengan suara kereta api yang terus saja bermunculan ditengah
lelapnya tidurku. Tapi aku juga tidak bisa memungkiri bahwa kini memang aku sedang penasaran berat
dengan keberadaan kereta api itu.

Mengapa hanya aku yang bisa melihatnya? Mengapa hanya aku yang bisa mendengarnya?

Aku mendekatkan kertas biru itu keindra penciumanku. Ada sebuah bau khas yang dapat ku cium
disana.

Oli.

Lelah berpikir, akupun memutuskan untuk beristirahat. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas
malam. Sebenarnya bukan masalah untukku tidur selarut ini. besok adalah hari sabtu dimana proses
belajar mengajar diliburkan. Lagipula, aku memang terlalu sering tidur larut karena suara kereta api yang
selalu membangunkanku tengah malam.

Sesaat, tubuhku terasa begitu relaks saat kepalaku menyentuh bantal empuk diatas tempat tidurku.
Namun, tiba-tiba hatiku krmbali merasakan gundah, membuat keadaan yang seharusnya nyaman ini
menjadi gelisah.

Aku bangkit dari tidurku dan berjalan ke arah balkon kamarku, membukanya dan menghirup napas
dalam-dalam begitu angina malam yang menggit mengapa kulit lenganku, membuatku tanpa sadar
menggigil.
Jalan disekitar komplek rumah ku tampak sepi seperti hari-hari biasanya. Apa lagi sekarang sudah malam
begini. Akupun memutuskan masuk setelah tubuhku merinding dan aku mulai tidak tahan dengan
dinginnya angina malam. Begitu tubuhku menyentuh kasurku, alam bawah sadarku langsung membawa
ke dunia mimpi.

“Apa hadiah yang paling kamu inginkan?”

Kudongakkan kepalaku menatap suara yang selama ini kubanggakan. Aku tersenyum dan dibalasnya
senyumanku dengan senyuman hangat.

“Kakek?”Aku memeluknya, dan beliau melontarkan kalimat yang membuatku begitu nyaman.

“Katakana pa hadiah yang paling kamu inginkan, Ayra?” aku manatap keatas langit dan memikirkan
jawabanku. Setelah menemukan apa yang kuinginkan, aku tersenyum riang dan bertanya.

“Apa aku boleh minta keajaiban kek?”

“Kamu tidak boleh memintanya. Kakek tidak bisa membuat keajaiban untukmu.”

Mendengar jawaban itu aku menunduk kecewa.

“Ayra.”

Aku mengangkat kepalaku menatap kakek. Beliau tersenyum hangat, lalu menepuk bahuku dan
menunduk sembari membisikkan sebuah kalimat yang tidak akan pernah kulupakan.

“Tapi kalau kamu menginginkan keajaiban, kamu bisa membuatnya sendiri.”aku mengerjapkan mataku
bingung.

“Kamu akan mengerti nantinya.”Nenek menyambung dari belakang sambil tersenyum ramah seperti
biasanya.

“Kapan?”

“Entahlaj, mungkin besok? Atau mungkin lusa? Mungkin tahun depan?”nenek mengedikan bahunya
sambil tersenyum. “Tapi kami yakin kamu bisa mendapatkan keajaiban itu.”

Aku yang murungpun tersenyum, seolah mendapatkan pencerahan bertubi-tubi yang membuatku
bersemangat kembali.

“Baiklah, aku pasti akan mendapatkannya suatu hari nanti.”

Mataku terbuka perlahan, kejadian yang terjadi tiga tahun yang lalu memperingatkanku lewat mimipi.
Aku daapt mendengar jelas suara peluit bising, bunyi melengking dan putaran roda besi. Aku segera
terduduk dan menatap kearah pintu balkon kamarku. Aku tidak perlu lagi menunggu waktu untuk
mengumpulkan kesadaranku. Karena begitu mengingat bahwa kereta itu akan pergi begitu peringatan
berbunyi, semua kesadaranku terkumpul begitu saja. Aku meloncat turun, membuka pintu dengan
cepat.

Aku tidak melihat apapun disana. Tapi suara itu semakin saja terasa dekat denganku. Akupun berjalan
menggenggam pagar besi balkon dengan erat memandang ke bawah untuk mencari keberadaan kereta
api itu.
Dimana kereta api itu?

Kupandangi kembali keberadaan bulan yang sempat kulihat, namun kini keberadaannya masih tertutup
oleh awan malam. Bintang-bintang pun tak tampak juga, membuatku mulai mencari keberadaan bintang
di atasku. Napasku terasa terhenti saat kulihat kereta api itu ada tepat diatas teras balkon kamarku. Aku
dapat melihat asap hitam yang muncul tepat di atasku.

Aku segera berlari keluar kamar, berlari naik ke lantai tiga dimana lantai teras rumahku terletak. Aku
menemukan kereta api itu tangah mendarat di atap rumahku yang biasanya dipakai untuk menjemur
pakaian.

Perlahan namun pasti, aku berjalan mendekati kereta api itu. Memperlihatkan detail kereta api yang
tidak mungkin kulupakan, dan akhirnya aku memberanikan diri untuk menjulurkan tanganku hendak
menyentuh kereta api itu. Dan rasanya, dingan.

Hal pertama yang kurasakan dikulitku adalah dingin. Menurutku wajar saja kereta api sedingin itu, sebab
kereta api itu menelusuri malam yang bersuhu dingin seperti ini. Tapi, hal yang membuatku takjub
bukanlah hal tersebut.

Aku dapat menyentuh kereta api ini, yang mana halnya kereta api selama ini terbang dan dianggap
khayalan belaka, benar-benar ada. Berwujud. Aku menatap jendela kereta api itu dan menemukan
seseoarang yang sama didalam kereta api itu digerbong terakhir, gerbong keempat.

“Erm, a-apa kamu yang bernama rian?” pemuda itu hanya diam. Tidak menggeleng, mengangguk
ataupun membalas ucapanku. Dia hanya membalas tatapan mataku dan tatapannya sama sekali tidak
terbaca olehku.

“Bukan, ya?” aku menghela napas kecewa saat menyadari kebodohanku. Mungkin saja kertas itu
terjatuh dari salah satu jendela kelas yang terbuka saat itu, atau mungkin salah satu puing-puing kertas
yang beterbangan.

Pemuda itu masih menatapku datar, tidak mengiyakan ataupun menyanggahnya. Lama kelamaan, aku
mulai merasa terintimidasi oleh tatapannya itu. Bulu kuduku merinding dan aku makin kedinginan.

“Sudah dulu ya.”

Baru saja hendak pergi, suara peringatan berbunyi keras, membuatku akhirnya memutuskan untuk
menunggu kepergian kereta itu saja. Kereta api itu melayang pada awalnya, lalu terbang mengelilingi
rumahku. Naik lagi sampai tingginya jauh lebih tinggi dari bangunan lantai empat dekat rumahku.

Selanjutnya, aku melihat benda berkilauan jatuh dari kereta api itu. Kali ini, aku yakin bahwa itu benar-
benar jatuh dari kereta itu. Bukan bintang jatuh atau benda beterbangan yang kupikirkan daritadi. Saat
benda itu sampai di lantai atap dan aku memungutnya. Bertepatan dengan itu kembang api diledakkan
di langit malam dari kejauhan.

Bunga api di udara yang selalu kugemari itu berhenti menunjukkan dirinya. Asap tipis masih nampak di
langit, namun tak menutup keberadaan angkasa yang telah kembali jelas terlihat. Rembulan masih
menunjukkan setengan dirinya, seperti tadi.
Kuratapi benda di tanganku, bentuknya menyerupai kunci berwarna putih mengkilap. Aku tidak tahu
jenis apa ini. Besi putih, perak, atau malah emas putih? Aku memperhatikan seluruh bagian benda yang
jatuh itu, namun masih tidak dapat menebak benda apa itu. Tapi itu bukanlah masalah. Aku bisa mencari
tahu apa itu nanti. Yang penting, aku bisa tidur nyenyak setelah ini.

…………………………………………………………….

Suara mobil yang memacu normal, lampu jalanan yang masih menyala meski langit mulai mengangkat
naik dirinya. Matahari belum menampakkan dirinya, namun daapt mebuat sebagian langit mulai jelas.
Awan putih yang tampak dan bintang-bintang yang bersedia menghilang.

Kuperhatikan botol air mineral yang bahkan tidak sampai seperempat itu, tampak bergetar mengikuti
getaran mesin mobil yang menyala dan mamantulkan cahaya lampu jalanan beberapa kali saat lewat.
Tidak ada apapun yang menerangi tempat ini kecuali lampu itu.

Tak lama kemudian, terdengar dering telepon yang membuatku familiar. Lagu base song ponsel mama
yang sejak dulu tidak pernah diganti. Tapi, sudah beberapa tahun ini aku tidak mendengar lagu itu.

“Halo?”suara desas-desis terdengar dari telepon, mungkin hal yang penting. Sebab ekspresi mama
tampak terkejut saat orang itu menjelaskannya.

“Benarkah? Akan keperiksa lagi nanti.”

Beliau mematikan teleponnya, yang membuatku menghela napas lega sejenak. Kukira mama akan
meminta papa untuk memutar balik ke rumah. Kami sudah berada disetengah jalan menuju rumah
kakek dan nenek, sebab saat aku kebetulan tengah libur sekolah, mereka juga tengah menikmati akhir
cuti tahun mereka. Waktu terasa cepat berlalu, bahkan aku telah lupa bahwa waktu telah berputar dua
tahun hingga hari ini.

Aku menguap beberapa kali, lalu memejamkan mataku berusaha untuk tidur, setidaknya untuk
mengistirahatkan mataku dari lelah yang juga kurasakan. Hampir tiga jam perjalanan, kami juga belum
mencapai tempat yang kami tuju, bahkan masih ada dua jam lagi sebelum kami tiba disana.

Alasan kami jam dua pagi tadi, hanya untuk menghindari macet panjang yang biasanya terjadi saat pasar
dibuka nanti. Beberapa saat setelah mataku terpejam, aku mendengar percakapan papa dan mama yang
menyangkut pautkan diriku.

“Sudah kubilang kalau Ayra bukanlah anak yang menyusahkan,”papa membuka suara. “Atau bisa
kukatakan, Ayra hampir tidak pernah menyusakan kita.” Mama terdiam sejenak, lalu menghela napas.

“Dia memang tidak menyusahkan.”

Aku ingin sekali tersenyum mendengar ucapan mama, namun kutahan dengan sekuat tenaga. Apalagi
aku tengah yakin bahwa mama sedang menatapku.

“Tapi dia benar-benar sulit.” Kebahagiaan sang sampet melambung tinggi, langsung terbanting ke bumi
kembali ketika mendengarkan perkataan itu. Aku anak yang sulit? Apa maksudnya?
“Beberapa bulan yang lalu, dia memperlihatkanku sebuah kunci.”Aku terdiam, berusaha menetralkan
napasku agar terdengar normal. Sekat pernapasanku rasanya semakin menyempit.

“Hm, aku tahu.”

“Itu mirip kunci kuno yang sudah lama tak terpakaikan?”

Kini aku merasakan tatapan mereka terhadap sesuatu yang kini kukenakan dileherku. Aku memang
membuat kunci itu menjadi barang bawaan wajib yang dibawa kemana-mana dan kini aku merasa
terpojokkan.

“Entahlah, menurutku itu kunci untuk membuka gembok yang besar.”

Aku mengetahui bahwa benda yang dijatuhkan oleh kereta api itu adalah kunci dari bi Nop. Setelah
kuperlihatkan dengan seksama, barulah aku mempercayainya. Kesahalan memang saat aku kembali
menanyakan hal ini kepada mama. Mama tampaknya rishi terhadap semua topic yang bersangkutan
dengan kunci ini.

“Sudah beberapa kali aku mencoba menjauhkan kunci itu dari Ayra. Tapi kunci itu selalu kambali
padanya keesokan harinya.” Aku tersentak, namun aku berusaha tak memperlihatkannya sejelas itu. Aku
tidak tahu kalau mama segitu risihnya dengan kunci ini. memangnya apa yang salah dengan kunci ini?

“Sudahlah, biarkan saja. Mungkin Ayra memang menginginkan kunci itu.”papa menjawab disela
mengemudi.

“Tapi aku khawatir.”

Apa yang mama pikirkan sampai beliau begitu khawatir denganku?

Selama tiga belas tahun ini, aku tidak pernah sekalipun mendengar mama yang mengatakan bahwa
beliau khawatir denganku. Aku tidak tahu kenyataan ini menyenangkan atau malah menyakitkanku. Aku
tidak tahu.

Pepohonan, rerumputan, semak belukar, bunga, bangunan yang kini telah berdiri berbeda dengan dua
tahun lalu. Tahun lalu, aku memang mengunjungi tempat ini setelah diantar oleh mas Asep, tapi aku
tidak menginap dan langsung memilih pulang kembali begitu aku sampai dipemakaman umum menemui
makan mereka.

Mobil pun berhenti bergetar saat papa mematikan mesinnya. Kami sudah berrada di depan bangunan
kuno yang membuat memoriku berhenti kembali. Sekilas, rumah itu tampak masih baik-baik saja saat
kita melihatnya dari luar pagar besi. Tapi, saat melihat kondisi kebun tidak terawat, hatiku benar-benar
terasa perih.

Kuratapi jendela besar di atas sana dan mengenang kembali saat-saat aku menunggu kepulangan nenek
dan kakek. Saat itu, aku terlalu bodoh untuk mengetahui bahwa mereka tidak akan kembali lagi.

“Ayra, ayo.”

Papa menegurku yang tengah melamun, akupun merasa bersalah saat melihat papa membawa koperku
dan koper miliknya turun dari bagasi sendirian. Sedangkan mama membawa koper miliknya sendiri.
Ketika dia hendak membuka pintu, aku buru-buru mengambil alih koperku, taku menyusahkannya
setelah dia lelah mengemudi.

KREK.

Pintu terbuka, aroma yang hanya biasanya ku rasakan di rumah ini pun menyeruak keluar. Keadaan
dalam rumah masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Benar-benar masih sama. Sofa dan meja
di ruang tengah, rak sepatu, foto papa memakai toga sarjana, dan bungkusan kembang api yang ingin
kunyalakan dua tahun lalu tetapi tidak terwujud. Kukira aka nada seseorang yang membuangnya saat
hari pemakaman mereka saat itu, rupanya aku salah.

“Kamu ke kamar atas saja yah, ra?”

Aku memang selalu mendapat kamar lantai atas karena kamar itu merupakan kamarku, kakek dan
nenek yang mengatakannya. Aku bahkan masih yakin pintu kamar itu masih tergantung namaku disana.
Kamar di bawah adalah kamar tamu, sedangkan kamar kakek dan nenek berada di sebelah kamarku.

“Baiklah.”

Mungkin karena terlalu lama mengenang setiap detik yang kini berjalan, aku sampai tidak sadar bahwa
aku telah berada di depan pintu kamarku. Dugaanku benar, masih tergantung namaku di depan pintu
itu. Agak ragu, kubuka pintu itu dan hal pertama yang menyambutku adalah cahaya matahari yang
memaksa masuk dari balik kaca kendela.

Hatiku sedikit senang saat aku menjatuhkan diriku kekasur, menghirup aroma yang terasa seperti rumah
bagiku. Tak kuperdulikan lagi jika sprei ini telah lama tidak diganti atau debu yang tampak beterbangan
berkat cahaya matahari.

“Aku pulang.”gumamku dengan suara kecil dan senyum tipis.

Makan malan tarasa hangat akhir-akhir ini. Kami berada dikeheningan yang selalu kurasakan setiap
makan. Mungkin karena papa dan mama benar-benar tegas dalam etika dimeja makan. Itulah sebabnya
aku tidak pernah berbicara disela makan, bahkan saat aku sedang tidak makan bertiga dengan mereka.

“Sebentar lagi kamu akan Ujian Nasional dan masuk SMA, kan?”Tanya papa setelah acara makannya
selesai. Aku menelan makananku terlebih dahulu sebelum menjawab. “Iya, pa.”

“Mama tahu sekolah swasta yang bagus. Mungkin nanti mama yang akan mendaftarkanmu langsung
begitu selesai ujian?”

Aku hanya diam dan pasrah mendengarkan. Toh, aku tidak pernah sekalipun berhasil mengubah
keputusan mama berapa kalipun aku mencoba. Lagipula, mama pasti tahu hal yang terbaik untukku.
Usai makan malam, aku naik ke atas kamarku, sementara papa dan mama masuk ke dalam kamar
mereka. Mungkin saja mereka sedang sibuk dengan laptop yang mereka bawa dari rumah.

Sprei milikku sudah diganti tadi siang saat mama dan papa sibuk membersihkan rumah ini. Lelah namun
menyenangkan. Tapi aku melarang keras diriku untuk mengeluh, sebab kini aku tengah berbunga-bunga
karena masih tidak percaya dengan apa yang tengah terjadi saat ini.

Aku berada di ruangan gelap, sangat gelap sampai aku tidak dapat melihat apapun. Sebuah cahaya
datang dari arah berlawanan datang menyapa, membuatku menatap kearah itu dan bertanya-tanya
tentang itu. Saat kuputuskan untuk menghampiri cahaya itu, aku mendengar suara yang membuatku
tersentuh nyaris menangis.

Suara kakek dan nenek.

“Hai, Ayra.” Kudongakkan kepalaku mencari asal suara milik mereka. Aku tidak mungkin salah dengar.
Tiba-tiba kurasakan seseorang menyentuh bahuku.

“Kami akan selalu ada di hatimu.”

Tak terrasa airmata yang kutahan mendesak keluar, mereka jatuh bersamaan. Ini menyakitkan.

“Jangan menangis,”terdengar suara nenek. “Karena kamu akan mendapatkan keajaibanmu sebentar
lagi.”

Aku terbangun, dengan lembab yang kurasakan dikedua mataku dan bantalku yang basah karena
airmata. Kupandangi pemandangan diluar jendela, seperti sedang menunggu sesuatu yang tidak pasti.
Kugenggam kunci di leherku kuat-kuat, seperti menginginkannya hancur dan membangun kekuatan baru
untukku.

Malam tahun baru.

Aku tidak percaya dengan kenyataan yang kudapatkan hari ini. Baru saja kemarin kami sampai di tempat
ini dan menginap sehari, papa dan mama pulang meninggalkanku di dalam rumah ini sendiri. Alasannya
klasik, karena mereka mendapat tugas.

Bayangkan, seorang anak yang berusia tiga belas tahun menuju empat belas tahun nesok ini ditinggalkan
sendiri dalam rumah mendiang kakek dan neneknya sendiri. Mereka memang berjanji akan kembali
sebelum malam tahun baru nanti. Mereka membuktikannya dengan meninggalkan kunci rumah kami
padaku. Sudah dari pagi tadi mereka pergi dan belum juga kembali, membuatku sedikit risau. Aku
membuang jauh-jauh pemikiran tentang segala kemungkinan buruk.

Kulirik sejenak ponsel ditanganku, anatara ragu dan ingin sekali menelepon salah satu dianatar mereka.
Hanya untuk sekedar menanyakan keadaan dan kepastian. Setelah membulatkan tekad, akupun
menekan nomor tujuan kemama. Namun setelah menunggu, mama tidak kunjung menjawab. Kucoba
lagi meskipun tidak dijawabnya. Aku ingin optimis pada diriku sendiri.

“Halo?”

Suara mama dari seberang sana terdengar membuatku menghela napas lega tanpa sadar. Aku meremas
ujung piamaku dan dengan sedikit senyum melomtarkan apa yang ingin kukatakan.

“Halo, ma? Sudah selesai tugasnya?”

“Hm, sudah. Sekitar sejam lagi kami sampai.”suara mama terdengar lelah.

“Uh, baiklah. Hari-hati.”

Aku menutup ponsel ku setelah mendengar bunyi endcall dari seberang saan. Aku menghela napasku,
berjalan kea rah jendela kayu sambil meratapi langit malam. Bintang-bintang terlihat sangat jelas
dengan bulan. Hanya satu hal yang kurang disini, keramaian.
Aku menyukai keramain meski aku akui bahwa aku bisa saja merasa kesepian di tengah keramain.
Karena terkadang, apa yang sebenarnya terlihat berbeda dengan apa yang dirasakan.

Setelah memastikan bahwa semua pintu dan jendela terkunci, aku menaiki tangga menuju lantai atas.
Ponsel ditanganku masih kuperhatikan, berharap seseorang yang kuharapkan menghubungiku. Kulirik
sejenak lemari buku didekat lemari pakaianku. Buku kolesi cerita bergambarku masih tersimpan, terselip
dalam keadaan rapid n tak tersentuh. Kudekati lemari buku dengan sedikit ragu, tak kusadari tanganku
terulur menjangkau salah satu buku bergambar.

“Serigala dan domba.”aku bergumam membaca judul buku dan secara otomatis otakku mengingat cerita
yang ada didalam sana. Aku hapal benar dengan cerita ini dulu, aku sangat menyukai cerita ini, bahkan
aku tak bosan mengulangnya. Baru mengingat setengah dari cerita itu, tiba-tiba terdengar suara kereta
api dari kejauhan, membuatku dengan cepat melempar buku itu diatas matras dan berlari ke jendela
mencari keberadaan kereta itu.

Benar saja, kereta api itu melayang dan melaju menuju arah jendela kamarku, dengan kecepatan tinggi
membuatku reflex menutup mata saat merasa bahwa kereta itu akan menabrak kaca jendela kamarku.
Tapi aku salah. Kereta api itu berputar di atas langit, terus berputar sampai akhirnya menurun dan
memutuskan untuk mendarat.

Inikah keajaiban yang disampaikan kakek dan nenek lewat mimpi?

Aku terus merenung memperhatikan kereta api yang berada tepat di depanku, mengucek mata dan
memastikan bahwa ini bukan mimpi. Aku menghampiri kereta itu dengan agak lambat, memperhatikan
detail kereta api dan juga mencari keberadaan pintu untuk memasukinya. Tapi, sudah memutarinya
nyaris tiga kali, tidak ada atupun pintu yang terpasang di sana kecuali, berbong paling depan, gerbong
yang kuyakini adalah gerbong pengontrol kereta. Aku ragu, aku mencoba menyentuh kereta api itu.

Dingin.

Kulihat sebuah gembok besar terpasang di sana, yang membuatku langsung berinisiatif mengeluarkan
kunci dari leherku. Entah bagaimana bisa, aku merasa sangat yakin. Kumasukkan kunci itu kelubang
gembok dan,

KREK, cocok

Gembok itu terbuka, dan penghalang untuk membuka pintu pun hilang sudah. Kubuka pintu itu dan
tidak ada masinis disini, meskipun ada mesin pengontrolnya. Ada pula dua tempat duduk disana, dan
sebuah pintu untuk ke gerbong lain.

Aku berjalan menggapai pintu itu, dan kubuka tanpa berpikir panjang. Kereta api ini terlihat seperti
kereta api pada umumnya. Kalau saja aku terbangun dan tiba-tiba melihat keadaan ini, aku akan percaya
bahwa aku tengah berada dalam sebuah kereta normal, bukan kereta udara seperti ini.

Tidak ada yang mencolok. Bangku panjang yang saling berhadapan, ring pegangan, rembulan yang
melewati kaca jendela, dan sebuah pintu tepat di depanku yang kuyakini pintu menuju gerbong lain. Aku
tidak akan lupa jumlah gerbong disini. Ada empat ditambah dengan gerbong pengontrol. Aku juga tidak
lupa dimana pemuda itu duduk menaiki kereta api udara. Gerbong terakhir.
Gerbong ketiga masih sama seperti pemandangan sebelumnya, terlihat normal dan kosong. Sebuah
pintu disana terlihat yang entah mengapa membuatku semakin antusias dan bersemangat. Aku
menyentuh pegangan dan meggesernya ke kanan.

Hening, itulah yang kurasakan selama beberpa detik melihat sosok pemuda itu, duduk dibagian bangku
panjang sebelah kanan, memakai pakaian hitam dan berjubah hitam juga. pemuda itu menatap balik
mataku dengan mata birunya. Seperti biasa hanya akan ada tatap-tatapan disini.

Aku yang mematung selama beberapa menit akhirnya memutuskan untuk medekat, berjalan ke arahnya
dan berdiri tepat di depannya. Setelah membulatkan tekad, aku pun mengeluarkan suaraku.

“H-hai.”

Pemuda itu diam, seperti terakhir kali aku melihatnya. Karena ulahnya itu, aku merasa bodoh dan salah
tingkah.

“Kamu, Ri-rian?”

Aku mengulangi pertanyaan yang pernah kutanyakan padanya. Aku meneguk ludahku sendiri, nyaris
tersedak dan aku tidak percaya sekali saat aku melihatnya menganggukan kepalanya dengan pelan

“Aku Ayra.”

Aku pun mengulurkan tanganku, berharap dia menyambutnya dan kami aka berteman. Aku bisa juga
mempertanyakan perihal kereta api ini dan mungkin saja pertanyaan yang selalu menghantuiku dapat
terjawab.

Mengapa hanya aku yang dapat melihat kereta api ini?

Sayangnya, pemikiranku tidak benar. Dia tidak menjawabku atau menyambut uluran tanganku. Dia
hanya diam menatapku dengan tatapan dalam, lagi-lagi sama seperti yang dilakukannya terakhir kali.

“Apa tidak ada penumpang lain disini? Apa tidak ada masinisnya?”

Dan orang yang ditanya malah tidak menjawabnya. Sama sekali.

“Uhm, apa kamu-?”

Banyi keras membuatku menutup telingaku, melindungi gendang telingaku yang mungkin saja bisa
pecah karena suaranya yang melengking tinggi dan terdengar begitu tajam di dalam kereta api ini. bunyi
peringatan telah berbunyi, aku harus segera keluar atau aku juga akan dibawa terbang.

“Aku harus kembali.”

Aku berlari menelusuri gerbong-gerbong dan dengan cepat meninggalkan kereta api itu. Tepat saat aku
keluar dari gerbong pengontrol, gombok itu kembali terkunci. Kereta api itu bergerak horizontal terlebih
dahulu.

Aku hanya diam mematung, memperhatikan gerbong-gerbong kosong yang melewatiku dan dapat
kulihat lewat jendela. sampai akhirnya digerbong terakhir, aku melihat pemuda itu masih menatap
manik mataku begitu dalam.
Aku hanya bisa termenung menatap kepergian kereta api itu.

……………………………………………………………………….

Lagu berjudul Happy Birthday yang dinyanyikan oleh papa dan mama, bersama dengan kue dan lilin
yang berangka empat belas menyala terang. Setelah lagu itu selesai, aku meniup lilin dengan penuh
kebahagiaan.

Aku tidak peduli dengan kenyataan bahwa mereka baru kembali setelah dini hari, dan ulang tahunku
baru saja dirayakan, pukul tujuh pagi.

“Selamat ulang tahun, nak.”

Aku tersenyum menanggapi perkataan ayah. Aku merasa ulang tahunku tidak pantas dirayakan terlebih
dulu daripada hari kepergian kakek dan nenek. Tapi setelah kupikir, mungkin mereka melakukannya
agar rasa bersalah mereka menghilang terhadapku.

“Terima kasih.”

Aku memotong kue setelah mencabut lilin dari kue dan memindahkannya di sebuah piring lain. Aku
tidak pernah lupa bahwa kedua orangtuaku selalu menolak jika memakan cemilan. Padahal, aku
menyukainya. Aku sampai bingung, sebenarnya dari siapa pengaruh itu diturunkan.

Setelah acara itu selesai, mereka berdua kembali ke kamar. Katanya harus menyelesaikan data untuk
presentasi mereka. Aku hanya bisa menurut dan melihat punggung mereka berdua menghilang dibalik
pintu.

Aku menyandari kursi saat tengan menikmati kue. Aku menyukai rasanya, fresh fruit cake emang yang
paling kusikai entah kenapa, rasa kue itu sedikit hambar saat ini. aku merutuk kesal pada diriku yang
begitu egois dan sulit menerima rasa puas.

Kulirik kemasan kembang api yang masih utuh di dekat sudut dapur. Dalam hati aku tersenyum, kalau
saja saat ini sudah gelap, pasti aku akan memainkannya dengan senang hati. Tapi melihat cahaya terang
di luar sana, membuatku lesu. Tentu saja aku tidak bisa bermain kerbang api saat ini.

Setelah kejadian kemarin malam, aku memutuskan untuk berhenti membenci malam. Bukan hanya itu,
aku memutuskan untuk tidak lagi berbalik ke belakang sekedar melihat masa yang sudah lewat. Karena
waktu tidak akn pernah berputar kembali bagaimanapun caranya.

Bunyi notifikasi beruntun membuatku melirik ponselku dengan penuh tanda Tanya. Ternyata itu pesan
dari grup kelasku yang semuanya mengucapkan selamat ulang tahun, ketika Gupi memulainya. Tanpa
sadar ujung bibirku terangkat dengan sendirinya.

Terima kasih, semua.


Kami mengunjungi pemakaman kakek dan nenek pada sore hari. Papa dan mama mengajakku setelah
bahan presentasi mereka selesai. Hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit jika berjalan kaki untuk
mencapai pemakaman umum itu.

Sesampinya disana, kami berjongkok dan diam dalam keheningan yang cukup dalam. Merenungkan
setiap kenangan yang telah lewat. Sedangkan aku fokus pada pot bunga kecil yang kini hanya
menyisakan tanah dan rumput liar.

Sebuah benih dandelion yang ada di dalam sana telah berpencar menciptakan kehidupan baru,
memperbanyak bunga kecil yang rapuh namun begitu dalam maknanya. Sedangkan bunga melati putih
yang dulu sempat kuraro di depan makan nenek, kini telah mengkilang. Entah diambil orang atau
dibuang oleh petugas kebersihan makan. Aku tidak tahu.

Mereka berdua beranjak setelah mencabuti rumput liar yang menumbuhi makan. Sedangkan aku hanya
diam saat melihat mereka mulai naik dan berjalan menuju tempat lain.

“Kami disini dulu, ya. Kami ke makan nenek buyut dulu.”

Aku mengangguk dan akhirnya diam saat mereka meninggalkanku sendiri disini. Suasana hening, sangat
hening sampai aku hanya diam disana, berjongkok dan memeluk lututku sendiri. Menikmati hangatnya
matahari, dan kicauan burung. Momen itu berakhir dengan sekejap. Saat keheningan yang mendominasi
itu ditenggelamkan oleh suara yang melengking.

Ah, kereta itu datang.

Aku langsung bangkit berdiri, menengadahkan kepalaku ke atas mencari kereta api itu. Tapi aku tidak
bisa mencari titik dimana kereta itu berhenti, sebab matahari sore hari ini begitu menyilaukan. Bahkan,
saat aku memicingkan mataku agar dapat melihat sedikit, aku tetap tidak bisa melihat apapun kecuali
terang yang berlebih.

Aku mengucek mataku dan melihat keadaan langit kembali. Cahaya silau masih menguasai penglihatan,
memvuatku sejenak ingin menyerah tetapi disayangkan sekali. Apalagi saat suara itu terdengar semakin
jauh, jauh, jauh.

“Ayra!”

Suara keras dari arag gerbang keluar terdengar. Aku mengenali suara itu sebagai oemilik dari suara
seorang wanita yang terlah melahirkan dan membesarkanku. Saat aku berbalik ke belakang, mama
mengerutkan keningnya bingung.

“Daritadi mama panggil malah melamun. Ayo pulang.”

Aku mengiyakan, melangkah ke arah mama. Saat kupunggungi matahari, aku lihat lagi keadaan di atas
sana. Tidak ada apapun.

Kembali ke sekolah setelah liburan berakhir dan semester genap dimulai. Semua orang mulai fokus pada
Ujian Nasional yang akan diselenggarakan beberapa bulan lagi. Banyak dari orangtua yang meminta
anak-anaknya mengikuti les agar nilai anaknya terselamatkan dan dapat mencapai batas kepuasan yang
diinginkan oleh si orangtua. Salah satunya orangtua yang melakukan itu adalah orangtua Gupi.
Orang tua Gupi menganggap bahwa putri semata wayangnya itu hanya menguasai nilai non akademik
saja. Gupi memang tidak dapat menangkap pelajaran dengan baik, tapi jika itu berhubungan langsung
dengan praktik Gupi pasti lolos.

Berbeda sekali denganku, yang hanya bisa pelajaran akademik dan sama sekali tidak dapat
mendeskripsikan kemampuanku dibidang apapun. Orang tuaku kembali pada masa mereka akan sibuk
berbisnis, menjalani tugas di kantor dan pulang larut malam setelah selesai dengan sempurna.

Jujur, aku sedikit merasa iri dengan Gupi meskipun saat ini tengah mengomel-ngomel soal masalah les
yang menurutnya sedikit boros.

“Menyedihkan,”ungkapnya. “Kamu beruntung, ra. Kamu pintar dan tidak mendapat masalah sepertiku.”

Kamu lebih, Pi. Batinku menjawab.

“Omong-omong, ponselku bakal disita sampai kita selesai UN. Sungguh menyedihkan harus menunggu
lima bulan lagi.”ungkapnya

“Semangat, ya.”

“Hm,”Gupi menopang dagunya dengan kedua tangan. “Kamu tahu? Sebenarnya akhir-akhir ini aku
melihatmu lebih bercahaya.”Aku memicingkan mataku menatapnya ceriga. “Aku tidak ganti merek
sabun.”

“Siapa memangnya yang bilang kamu menggantinya?”cibir Gupi dengan sebelah alis terangkat.

“Ck, terus apa maksudmu?”

“Entahlah, aku melihatmu semakin ceria akhir-akhir ini.”

Aku terdiam sejenak. Aku menunduk dan mengerjapkan mataku, mencoba berpikir apakah yang
dipikirkannya memang benar. Tapi sepertinya, tidak ada hal menarik yang terjadi di dalam diriku
beberapa hari ini.

“Apa ada hal bahus yang terjadi?”

“Mungkin?”

“Aku pernah dengar kalau-“suara Gupi langsung terpendam dan tidak terdengar lagi saat terdengar
suara kereta api yang suaranya sangat keras. Terus berulang kali, sampai kuintip jendela kelas yang
tampak ditutupi oleh asap hitam. Kereta api itu, lewat.

“-Ra?”

“…Eh, apa tadi?”

Wajah Gupi mengerut, lalu dia melipat kedua tangannya di depan dadanya.

“Itu…, aku pernah dengar kalau-“

Aku meringis saat mendengar kembali suara kereta api itu. Sudah dua kali kereta itu lewat dan tidak
berhenti. Hanya mengelurkan asap dari cerobong an suara melengking seperti besi yang kekurangan oli
dan digesekkan sedemikian kerasnya.
“Ugh, maaf pi,”Aku menghentikan Gupi yang gesture mulutnya terus bergerak, namun aku tidak dapat
mendengarkan apapun selain suara kereta itu. “Maaf pi.”

Dari gesture mulutnya, aku dapar membaca bahwa dia tengah mempertanyakn keadaanku. “Kenapa,
ra?”

Aku berjalan keluar meninggalkan kelas, secepat yang kubisa. Suara ini benar-benar keras dan
menganggu pendengaranku. Begitu melihat pintu menuju toilet, aku langsung berlari masuk ke dalam
sana, dan tidak akan keluar sampai suara itu berhenti.

Berkali-kali, kejadian yang sama menimpaku dalam seminggu ini. Aku mencoba untuk tidak
memperdulikan suara dan bentuk kereta api saat aku melihatnya. Bahkan saat siang bolong, saat kereta
api itu melewati atas kepalaku, menciptakan bayangan di bawah, seperti wujudnya memang nyata.

Aku ingin berkonsentrasi pada seseorang, ingin bertanya apa yang harus kulakukan. Tapi, aku tidak yakin
mereka akan percaya dengan perkataanku. Saat malam tiba, suara kereta api itu terdengar lagi,
membuatku menutup telingaku dengan bantal yang sedikit meredam suara melengking itu.

Kereta itu seperti marah kepadaku, ingin membalas dendam padaku dengan menerorku akhir-akhir ini.
Mungkin karena aku masuk ke kereta api itu tanpa izin. Bukan saja kedatangannya yang kini lebih sering
daripada biasanya, suaranya makin keras dan makin bergema dari biasanya.

……………………………………………………………….

Di bawah senja yang hangat, aku menggenggam salah satu buku pemberian mendiang kakekku. Salah
satu buku favoritku saat kecil. Saat aku hendak membukanya, aku mendengar suara derap kaki
mendekat. Bayangan orang itu menutupi matahari sore, menutupi buku yang hendak kubaca.

Aku menatap orang yang datang, seorang pemuda bermata bitu datang mendekat. Matanya indah
meskipun dia tengah memunggungi matahari.

“Ri…?”Aku berdiri, menatapnya bingung. “Mengapa kamu bisa ada di sini?”

Pemuda itu menggeleng, dia memberiku kertas berwarna biru. Aku mengulurkan tanganku, menerima
kertas itu. Baru sedetik aku menunduk menatap kertas itu, sebelum akhirnya aku mengangkat kepalaku
dan mendapati pemuda itu menghilang bersama angin.

“Ri-an?”

Aku menengok kiri kanan, namun tidak daapt menemukan Rian. Segera kulihat kertas biru itu, rupanya
kertas itu memiliki pesan. Tapi, saat hendak membacanya, aku tidak mampu menyuarakan suaraku
dengan lancer seperti biasanya.

“Un-tuk…, ya-ng me-“ Aku panik, mrngapa aku bisa kehilangan kemampuan membaca? Aku melihat
huruf-huruf itu, mencoba menyarakan lagi dan gagal. Apa yang kulafalkan benar-benar sulit, padahal
biasanya aku dapat menyuarakannya dengan cepat.
Bagaimana ini?

Saat itu juga seisi dunia menggelap. Tidak ada lagi langit senja. Detik berikutnya, saat membuka mataku
aku sudah kembali di kamarku.

Ah, rupanya hanya mimpi.

Aku berjalan ke arah meja belajar, membuka salah satu buku pelajaran dan mencoba membacanya.
Syukurlah aku masih bisa membaca. Tapi, aku menyayangkan dalam hati, karena aku sama sekali tidak
mengingat satu hurufpun yang ada dikertas dalam mimipiku meskipun aku telah melotot sedaritadi.

Sebenarnya, tidak ada yang perlu dibingungkan dalam hal ini. Aku pernah membaca buku psikologi saat
hendak memastikan keadaanku jika melihat benda yang hanya bisa dilihat olehku seorang, sayangnya
buku itu mengatakan bahwa aku hanya lelah dan kurang tidur sehingga menyebabkan aku berhalusinasi
berlebihan.

Kuperhatikan jam dan betapa paniknya aku saat mengetahui waktu telah menunjukkan pukul setengah
tujuh pagi. Segera aku berlari ke kamar mandi, setelahnya menyambar tas dan buru-buru ke sekolah
tanpa sarapan.

Kelas tampak gaduh seperti biasanya. Apalagi, saat mereka bernyanyi riang mengingat guru matematika
tidak masuk pagi ini. Hebatnya lagi, taka da guru pengganti. Kelas seperti baru saja merdeka dari sebuah
penjajahan panjang.

“Tapikan…, bentar lagi UN. Masak kita main-main sih, di sini?” Dean selaku ketua kelas mencoba bijak
dengan memperingati kami. Tapi tidak ada yang mendengarkan perkataannya.

Yah, orang dikelasku memang suka lupa diri kalau sudah ada yang namanya jamkos, tidak ada yang tahu
apa yang bisa mengalahkan suara heboh seperti ini. Lihat saja, Puput yang sudah bernyanyi gajelas di
depan bersama Cika. Atau Fendi yang sedang memakan permen sembunyi-sembunyi takut akan
ketahuan guru, tapi ketahuan oleh teman sekelas dan dalam lima detik seisi permen dalam bungkus itu
musnah.

“Ra, kamu tahu nggak sih, mala mini katanya bakal ada banyak bintang jatuh, loh!”Gupi pindah ke
samping mejaku membawa temmpat duduknya. “Mau nonotn bareng cewek-cewek kelas kita nggak?”

Aku tersenyum tipis. ”Kamu aja deh, hari ini aku sibuk, Pi.”Gupi mengmbungkan pipinya, dan menatapku
cemberut. “Sibuk apaan sih, Ra? Kamu udah kayak business woman aja, deh.”

“Sibuk belajar,”aku menjawab dengan sangat datar. “Minggu depan udah UAS.”

“Argh, jangan ingetin aku lagi,”Gupi mendesah frustasi. “Anggao aja refresing sebelum UAS. Kok bisa
yah, kamu kuat belajar mulu kayak gini?”Gupi menangkap kudua pipiku dengan dua tangannya, lalu
memperhatikan sisi pipiku soalah aku adalah benda. “Jangan-jangan kamu robot yah? Ini skrupnya mana
sih?” Aku membalas tanggapannya dengan tatapan datar.

“Yaudah, yaudah,”aku menepis tangannya itu. “Aku usahakan hari ini deh.”jawabku yang akhirnya
membuat Gupi tersenyum senang. Tak kusangka, Gupi berkari kea rah para teman perempuan di
kelasku yang tengah bergosip. Apalagi dia memekik kuat, membuat se isi kelas menoleh ke arahku.

“Ayra ikutan!”
Begitu sampai di depan rumah, aku membuka pintu dan melihat sepasang sepatu disana. Ujung bibirku
terangkat tanpa mampu kutahan. Rupanya, papa pulang hari ini. Dengan setengah berlari, aku mencari
keberadaan papa di lantai dasar. Pintu gesar ke arah ruang keluargapun kugeser, dan terlihat televise
menyala, tapi aku tidak menemukan keberadaan papa.

Sambil menongok setiap ruangan tersisa, aku masih juga tidak bisa menemukannya, bahkan di lantai
atas sekalipun. Kuperiksa kamarku yang masih berantakan karena tadi pagi tak sempat kuberekan.
Setengah kecewa tak menemukan papa disana, aku menutup pintu.

Aku kemabli ke ruang keluarga, saat menutup televise, barulah aku menemukan papa tiduran disofa
panjang. Pantas saja aku tidak melihatnya, sebab sofa itu membelakangi pintu geser. Tak tega
membangunkannya, akhirnya kubiarkan saja beliau tidur disana.

Aku pun tiduran di atas kasurku yang sangat nyaman. Ukurannya juga tergolong kuas untuk satu orang,
jadi terkadang kalau aku tidak bisa tidur setelah kereta api itu datang aku bisa guling-guling seperti
kesetanan. Tapi kuakui, cara tidurku sangat tidak anggun. Kalau iya, tidak mungkin bantal guling dan
selimutku sampai jatuh ke lantai.

Saat aku tiduran aku merasakan benda didekat lenganku, dingin. Akupun bangkit dan menoleh kea rah
dimana lenganku diletakkan tadi. Bola mataku membesar tak percaya, kututup mulutku dengan kedua
tangan, aku menoleh mencari kemungkinan yang ada. Balkon kamarku masih terkunci, bahkan tirai
putihnya saja belum tersingkap sama sekali.

Aku kembali melihat benda itu, dengan tangan gemetar aku meraih kertas bitu itu. Begitu jemariku
menyentuhnya, aku merinding. Bulu kudukku naik. Kertas bitu itu sedikit terlipat, mungkin karena
lenganku menimpanya tadi. Dengan perasaan gugup dan penasaran akhirnya aku melihat apa yang
tergores di atas kertas itu.

Kata-katanya bahkan sama panjang seperti yang kulihat dalam mimpiku. Aku tak bisa menyembunyikan
keterkejutan begitu membaca pesan singkat yang menurutku menakutkan.

Untuk yang melihatku, tolong selamatkan aku.

-R

Membeku.

Sudah kuduga seseorang membutuhkan pertolongan. Akupun mendekatkan kertas itu ke hidungku, bear
saja aku mencium aroma yang sama dengan kertas sebelumnya. Oli. Aku berpikir keras, apa mungkin
pemuda di kereta api itu yang mengirimkannya? Aku terus bergulat dengan pemikiranku sendiri. Aku
hampir dua tahun melihat kereta api itu, meskipun waktunya tidak teratur.

Tapi, dalam penglihatanku aku tahu bahwa pemuda itu tidak pernah keluar dari kereta itu, seperti
menikmati indahnya pemandangan dari atas sana. Dan kalau memang benar pemuda itu butuh
pertolongan apa sebenarnya masalahnya?

“Ayra!”

Suara papa terdengar di telingaku, aku segera berlari menuju lantai dasar. Kulihat papa tengah duduk di
sofa, melempar senyum hangat, membuatku tanpa sadar membalas senyumannya.
“Temani papa makan di café depan, yuk.”

Sejenak aku melupakan perihal kertas biru itu. Apa yang dilakukan papa benar-benar membuatku
bahagia. “Ayo.”

…………………………………………………………………….

Aku merasa canggung. Dengan celana jeans dan kaos oblong bewarna putih dilapisi jaket hitam yang
kukenakan. Sementara semua orang disekitarku termasuk Gupi memakai dress santai. Aku tidak tahu
kalau mereka memilih dress santai sebagai pakaian wajib yang dipakai untuk menonon bintang jatuh.
Sementara aku memakai baju casual yang jauh dari kata mirip.

Aku benar-benar ingin pulang.

Kami berkumpul di rumah Rina dan saat ini berada di teras menikmati makanan yang dibawa,
mungunggu kedatangan bintang jatuh yang akan lewat diperkirakan sekitar setengah jam lagi.
Sebenarnya, mereka ingin bermain kembang api dan menyalakan lampion sisa tahun baru. Tapi, semua
sepakat tidak menyalakannya terlebih dahulu sampai bintang jatuh selesai.

Saat mereka tengah asyik mengobrol tentang kakak kelas kami yang merupakan pemain basket handal
di kota kecil ini, pikiranku melayang memikirkan apa yang harus kulakukan saat melihat kereta api itu
lagi.

Masih kupikir tentang apa yang harus kulakukan untuk menyelamatkannya, membuatku makin tidak
nyaman berada di antara lingkaran obrolan itu. Makin tidak nyaman sampai akhirnya aku memutar
membelakangi mereka, sambil memegang kepalaku dan berpikir keras.

Apa yang harus kulakukan?

“Ra?” Ragaku kembali saat kudengar suara Gupi menegurku. Saat aku berbalik, semua orang melihatku
heran. Detik selanjutnya, mereka tampak semangat kembali.

“”Ayra, kamu lagi mikirin cowok ya?”

Aku tersentak, memang benar aku memikirkan cowok, tapi hal yang kupikitkan tidak seperti yang
mereka kira. Tak merasa kalimat yang ditanyakan oleh mereka bernilai salah, akhirnya aku
menganggukkan kepalaku.

“Serius?! Kok kamu nggak pernah cerita ke aku?”Gupi nampak cemberut.

“Orang kamunya nggak pernah nanya.”jawabku santai.

“Kamunya selalu jawab ‘nggak papa’ kalau ditanya,”cibirnya. “Tapi, sejak kapan, ra?”

Aku berpikir sejenak, mulai menghitung sejak kapan kereta api itu muncul dihadapanku. Saat berhasil
mengingatnya, aku mengulas senyum tipis yang begitu pahit, namun berhasil kusembunyikan, semoga.

“Kelas tujuh semester dua, mungkin?”


Yah, saat dimana kakek dan nenek meninggalkanku. Tidak mungkin aku bisa melupakan saat itu. Terlalu
menyakitkan untukku.

“Wah! Sudah lama juga yah!”Puput nampak serius.

“Apa dia sekelas dengan kita? Apa kami mengenalnya?”

Aku menggelengkan kepala, membuat mereka mendesah kecewa.

Tanpa kami sadari, waktu yang kami tunggu telah tiba. Dimulai dari sebuah bintang jatuh, lalu disusul
oleh beberapa bintang jatuh lainnya. Saat ini, aku sengaja melihat Gupi memejamkan matanya, seperti
tengah berdoa. Sementara, sisanya sibuk menikmati indahnya bintang jatuh dan ada pula beberapa
orang yang merekam momen itu.

Akupun memejamkan mataku, dengan punuh harap, aku melafalkan permohonan dalam hati.

Aku ingin menolong pemuda itu.

Aku ingin menolong Rian.

Aku ingin membantunya.

Beberapa detik kemudian aku membuka mataku perlahan. Bintang jatuh masih terlihat indah. Semua
orang termasuk aku masih memandang kagum benda langit yang lewat itu. Beberapa menit kemudian,
bintang jatuh sudah tak tampak lagi. Semuanya tampak begitu terang.

“Ra, tadi aku lihat kamu make a wish juga yah?”Gupi bertanya.

“Iya, kenapa?”

Gupi tersenyum. “Kamu nggak boleh bocorin permohonanmu sampai permohonan itu terwujud!”

Aku menyerngitkan alis bingung. “Kenapa memangnya?”

“Aku dengar, permohonannya akan lebih mudah terwujud kalau nggak ada yang tahu,”ucapnya senang.
“Aku mndengarnya dari ibuku.”

Aku hanya bisa tersenyum dengan senyuman tipis. “Semoga permohonanmu terwujud.”

“Ya, kamu juga.”

Aku sudah berada diatas tempat tidurku, dalam keadaan berbaring diselimuti selimut tebal dan siap
untuk tidur nyenyak. Tapi, aku kembali teringat keberadaan kertas bitu itu. Aku gundah, gelisah, dan
gugup dalam waktu bersamaan. Posisi tidurku menjadi tidak nyaman, bahkan beberapa kali aku
berguling-guling tidak jelas mencoba mencari posisi nyaman.

Kulirik kedua kertas biru yang tadi sudah kusejajarkan di atas meja. Dari ukuran dan warna, semuanya
sama. Yang membedakan hanya isi dari kertas itu. Makin gelisah dengan isi surat itu, akhirnya aku
memutuskan untuk keluar ke balkon melihat pemandangan.

Piyama lengan panjang dan celana panjang ini lumayan mengurangi dingin yang menggigit. Aku senang,
mama menyempatkan membeli piyama ini sebagai buah tangan bulan lalu. Kuperhatikan bulan sabit
yang ada di atas, ditemani bintang tanpa ada awan hitam yang menutupi. Aku jadi tersenyum sendiri
saat mengingat bintang jatuh tadi.

Tubuhku menegang saat kudengar suara dari atas sana, suara panjang melengking dan gesekan besi
mulai terdengar jelas. Aku segera menerawang langit, melihat cahaya putih dari kejauhan. Kereta api itu
mengeluarkan lampunya, meskipun malam seterang ini.

Aku beranjak meninggalkan kamarku, naik kelantai tiga. Benar saja, saat aku sampai kereta itu sudah
mendarat. Aku mengeluarkan kunci dengan sedikit terburu-buru, membuka gembok dan berlari masuk
mengingat kereta ini tidak berhenti dalam waktu yang lama.

Saat membuka pintu gerbong terakhir, aku melihat pemuda itu masih di sana, menatapku dengan mata
birunya seperti tengah bingung, mungkin karena aku terlalu parah ngos-ngosan untuk menjangkaunya.

“Kau ingat aku kan? Tanyaku cepat. Bahkan sebelum pemuda itu sempat menggeleng atau mengangguk,
aku segera mendekatinya dan berbicara lagi. “namaku Ayra, aku akan menolongmu,”tanganku terulur ke
arahnya, dan saat kulit kami bersentuhan, hal pertama yang kurasakan adalah, dingin.

Sangat dingin.

“Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, tapi bisakah kita keluar dulu?” Aku bertanya sambil berlari
menariknya melewati pintu gerbong ketiga. Sampai saat di pintu penghubung gerbong kedua dan
gerbong pertama tidak berwujud saperti gerbong pengontrol yang kulihat terakhir kali sebelum sampai
kemari.

Aku melihat pintu penghubung lain di depan, dan aku langsung berlari ke sana tanpa basa-basi.
Mungkin, aku salah menghitung. Mungkin, ini masih gerbong kedua. Aku mencoba optimis, sampai
akhirnya aku membuka pintu penghubung itu dan kenyataan mengerikan diperlihatkan disana.

Aku makin gencar menarik lengan tangan Rian dan berlari secepatnya melewati setiap pintu
penghubung yang kami lihat. Aku tidak tahu sudah berapa lama kami berlari melewati pintu
penghubung antar gerbong. Yang pasti, aku dan Rian tidak kunjung sampai di gerbong pertama.

Gerbong pertama, jadi terasa jauh.

Padahal, aku selalu ingat persis kalau kereta api ini hanya mempunyai empat gerbong. Tapi, sepertinya
aku dan Rian sudah nyaris melewati dua puluh gerbong, dan kami tak kunjung sampai. Hal lain yang
kutakuti adalah terjebak di dalam sini dam semuanya akan panik mencari keberadaanku.

Tunggu, apa kalau aku hilang, mereka akan mencariku? Kan belum tentu.

Kurasakan tepukan pelan dari belakang, seperti mencoba menenangkanku. Saat kutengok, rupanya Rian
yang melakukannya. Dia melepaskan tanganku. Usai itu, dia tersenyum tipis sambil melambaikan
tangannya, seperti gerakan mengusur halus.

Kuperhatikan daerah sekitar gerbong, mencoba mencari peluang baginya untuk keluar tanpa melewati
gerbong pengontrol. Jendela yang ditutupi dengan bahan yang sama dengan kaca jendela pesawat,
rupanya menutupi dinginnya suhu luar. Di pintu penghubung, ada celah kecil yang membuatku percaya
disana tempat dia menjatuhkan kertas, tapi celag itu sangatlah kecil.
Tidak ada peluang baginya untuk kelaur. Bunyi peringatan semakin bordering keras, membuatku
tersadar seketika.

“Aku…, akan kembali.”ucapku sebelum berlari menuju pintu penghubung di depanku. Tanpa Rian.

Akupun pelewati dua gerbong sebelum akhirnya sampai di gerbong pengontrol. Saat aku hendak kelaur,
kereta itu sedikit bergerak ke depan, membuatku jatuh dengan kedua lutut mencium keramik atap. Saat
aku berbalik, gembok kereta api terkunci dan bergerak melaju menjauhiku.

Aku meringis, merasakan sakit di lututku. Keduanya tidak berdarah, tetapi sakit. Dan kini, aku tahu apa
hal yang menjadi masalahnya. Aku tahu mengapa surat itu diberikan kepadaku.

……………………………………………………………….

Waktuku akhir-akhir ini dihabiskan untuk belajar, dikarenakan tanggal penetapan Ujian Nasional sudah
berada di depan mata, seminggu lagi. Sebenarnya, aku tidak bisa bilang kalau waktuku hanya dihabiskan
untuk belajar. Nyaris sebulan ini, pikiranku juga melayang pada kejadian sebulan ini. tentang kereta api
itu.

Aku masih bertanya-tanya dalam hati, mengapa Rian bisa terjebak di dalam sana?

Selama sebulan ini aku mencoba untuk peduli, mencari keberadaan kereta api yang sering datang,
namun akhir-akhir ini tidak mendarat seperti hari itu atau saat pertama kali aku menaikinya. Aku selalu
menunggu kesempatan untuk naik di dalam kereta api itu, lagi.

“Meong…,”terdengar suara, yang membuatku tersentak.

Aku yang baru saja hendak melangkah keluar pagar untuk perjalanan ke sekolah terhenti dan terdiam di
sana. Kepalaku menunduk, meratapi seekor kucing yang tengah mengelus kepalanya disepatuku. Setiap
kucing itu bergerak, akan ada suara lonceng yang berasal dari lehernya.

Aneh, apa aku melamun samapi tak mendengar suara lonceng itu? Tapi, untung saja kucing itu tak
terpijak.

“Meong…,”

Aku menaikkan alisku. “Apa kamu lapar?” Selanjutnya aku tersenyum konyol, mana mungkin kicing ini
bisa menjawabku. Memangnya ini dunia dongeng?

Tak mau kehabisan waktu unutk menyempatkan diriku belajar di sekolag nanti meskipun hari masih
pagi, aku pun membuka tas dan mengeluarkan biscuit yang kubawa dari rumah. Aku langsung
membukanya lebar-lebar, lalu meletakkannya di atas tanah. Melihat itu, kucing itu langsung memakan
biskuitnya.

Melihatnya masih menyantap biscuit itu dengan lahap, aku mengulun senyum. Tapi saat aku melihat
jam menunjukkan hampir pukul tujuh, aku langsung berdiri tegak.

“Aku harus pergi, bye meong.”


Akupun berbalik menjauh pergi dan langusng meninggalkan tempat itu.

Aku merik napas dan melepaskannya perlahan, sambil memperhatikan kertas ujian dengan perasaan
berdebar. Mata pelajaran terakhir yang kuhadapi di Ujian Naional, IPA, sudah kujawab dan soal yang
sulit mungkin hanya beberapa saja dimateri biologi.

Aku memeriksa bulatan namaku lagi sebelum mengumpulkan, seperti yang kulakukan ditiga mata
pelajaran lainnya.

Oke, semua beres tinggal mengumpulkan saja.

Aku mengangkat tanganku, membiarkan guru pengawas membawa soal dan lembar jawabanku. Ini
masih mendebarkan seperti sebelumnya. Aku memang bukan pengumpul pertama di kelas, malahan aku
hampir yang terakhir.

Tarik napas-lepaskan.

Aku memperhatikan di meja paling depan. Gupi melambaikan tangannya dengan semangat empatlima.
Wajahnya tampak sangat berseri dan awet, berbeda dengan malam sehari sebelum UN dimulai kemarin.
Bahkan, saking semangatnya, dia tidak sadar guru pengawas sudah berdehem di depannya, memintanya
unutk berbalik ke depan kembali.

Aku meratapi langit senja. Sudah lama kereta itu berhenti mengangguku, maksudku, kereta itu tak lagi
muncul tiba-tiba dihadapanku. Kereta itu hanya lewat dan kadang hanya bisa kulihat dari kejauhan. Itu
terjadi sudah hampir enam minggu, bahkan sebelum UN selesai dilaksanakan.

……………………………………………………………….

Mataku terus bergerak mengikuti kemana kereta api itu bergerak, saat kereta api itu melewati papan
iklan atau saat kereta itu merendah dan berputar mengelilingi tempat penyeberangan jalan. Di dalam
kereta api itu, ada seseorang yang membutuhkan bantuanku.

Lelah hanya berdiri di balkon kamar dan meratapi kereta api yang tak kunjung mendekat, akhirnya aku
turun ke lantai dasar, menemani bi Nop yang memasak seperti biasanya.

“Non Ayra, ujiannya sudah selesai ya? Sudah lega?”

Aku menganggukkan kepalaku. Aku memang sudah lega, tapi perasaanku seperti menjerit ada sesuatu
yang belum diselesaikan dan tak mungkin bisa diselesaikan oleh orang lain.

“Nyonya bilang mala mini mau pulang. Sekarang bibi masakin makanan kesukaaan nyonya.”

Mendengar itu, aku menjadi bersemangat. Ujung bibirku sudah terangkat tanpa kusadari. Akhirnya
mama pulang, setelah ujianku selesai.

“Kapan mama telepon, bi?”

“Tadi siang, non.”


“Kalau papa, gimana bi?”

“Tuan belum mengabari, non?”

Akupun membayangkan kejadian beberapa bulan silam, saat papa mengajakku makan di café depan dan
mempertanyakan kunci yang kupakai ini. Usai kejadian itu, entah mengapa, aku merasa papa semakin
jauh dariku. Beberapa bulan ini aku nyaris tak pernah melihat wajahnya. Beliau selalu meninggalkan
pesan dikertas yang diletakkan di kulkas dan ditimpa magnet.

Apa papa menganggapku aneh?

……………………………………………………………………

Kucing itu mengikutiku kemanapun aku pergi. Bahkan saat hendak ke rumah Gupi. Gupi meneleponku
dan memintaku unutk datang ke rumahnya. Alasannya belum dikatakan. Dia langsung menutup
teleponnya.

“Mengapa kamu mengikutiku terus?”

Kucing itu duduk anggun dan menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.

Mata biru itu menatap ke arahku, bukan, tapi belakangku?

Aku menatap belakangku, tidak ada yang kutemukan selain kekosongan. Sekilas, aku bergidik ngeri saat
mengingat bahwa kucing dapat melihat makhluk gaib semacam itu.

“Apa yang kamu lihat?”tanyaku panik ke arahnya, namun dia masih menatap ke arah yang sama,
membuatku ingin segera melarikan diri saja. Namun langkahku terhenti saat kudengar suara knalpot
melengking di atasku, membuatku mendongak dan menatap kereta yang melaju capat itu.

“Ah, lewat la-“

Aku terdiam saat melihat kucing itu kini menghadap langit, namun hal yang membuatku tertegun
adalah, dia melihat ke arah yang sama dengan di mana kereta api itu berada. Aku mengerjapkan
mataku. Jangan bilang, kucing ini juga bisa melihatnya?

Dan pandangan kucing putih ini, tidak pernah lepas dari kereta api itu, sampai kereta itu mnghilang
dibalik awan.

Acara perpisahan kemarin sore berlangsung khidmat. Acara itu adalah acara yang menandakan bahwa
semua murid angkatan kelas Sembilan tahun ini telah lepas sepenuhnya dari sekolah. Status ‘murid’
berganti menjadi ‘alumni’. Langit cerah, semuanya masih berkumpul dengan sehat, dan semua
kenangan itu disimpan dalam sebuah video yang rencananya akan diputar kembali saat reuni nanti.

Ada susuatu yang membuatku sakit kemarin. Kedua orang tua ku tidak mendatangi ucara perpisahan.
Memang, acara itu bukanlah acara yang wajib dihadiri oleh orangtua. Lucunya,semua orang tua datang,
terkecuali papa dan mama.
Lucu.

Aku berhenti berlari saat berada di depan sebuah toko buku yang mempunyai peneduh, tepatnya
tempat terdekat yang kutemui di hari hujan deras begini. Jujur, aku menyesal tidak memebawa payung
sesuai dengan yang diingatkan oleh Gupi ditelepon tadi. Padahal, langit begitu gelap, awan berwarna
suram dan matahari tak diizinkan untuk bertemu dengan bumi.

“Ayra?”

Aku menoleh, dan mendapati Tina tengah menatapku dengan senyum lebar di wajahnya. Dia membawa
plastic putih yang berisikan buku, tampaknya dia baru saja keluar dari toko buku itu.

“Kamu ngapain disini?”

Aku tersenyum saat dia mendekat. “Numpang teduh,”jawabku.

Tina langsung gelagapan. “Aku Cuma bercanda kok, jangan dibawa serius apalagi ke hati. Nanti kamu
baper loh.”

“Apa-apaan itu?”tanyaku dengan kening berkerut.

“Ais, kamu ini,”Tina pun berdiri di sampingku. “Eh, Ra. Aku dengar kamu dan Iwin baru selesai UN ya?”

Keningku makin berkerut mendengar itu. “Hm, iya.” Hanya aku dan Iwin? Berarti sisanya berbeda?

Seolah mendengar pertanyaan dalam kepalaku, Tina berkata. “Aku, Dinda, sama Megan SMA kelas satu
otw dua!”Aku pun ber-oh ria.

“Ih, bunda bakal marah lagi deh, lihat aku basah kuyup lagi hari ini, huhu.”Tina mengerucutkan bibirnya.

Tina, beruntung yah.

Aku tahu semua orang punya masalah. Tergantung bagaimana mereka menerima dan menghadapi itu.
Bukannya aku ingin mengatakan bahwa Tina tidak punya masalah. Tapi, seandainya dia punya masalah
sekarang, dan dia masih bisa tertawa seperti itu, Tina adalah orang yang hebat menyembunyikannya.

“Tapi…,”Tina menatapku dengan senyum lebar. “Aku sedang pengen hujan-hujanan,”Tina meloncat
keluar ke arah jalan yang tadinya membuatku kemari. “Bye, Ayra!”

Tangisan langit mereda, namun masih mendung dan gelap. Tampaknya langit mengizinkan kami semua
untuk keluar dari perteduhan. Hampir setengah jam aku terjebak di toko buku itu. Selama itu aku masih
memikirkan pandanganku tentang Tina, orang yang kukenal di halte bus saat hujan deras bersama tiga
orang lainnya. Kurang lebih satu setengah tahun yang lalu.

Bukan butuh perjuangan untuk menjangkau rumah Gupi yang meskipun telah dekat, namun masih
belum tampak dimata. Aku harus ekstra hati-hati untuk tidak menginjak genangan air atau itu akan
menyiprat dan membasahi sepatuku.

Begitu sampai di rumah Gupi, aku sudah melihat pintu rumahnya terbuka dan Gupi duduk di kursi
meratapi langit. Wajahnya yang tadinya gelisah pun cerah saat metanya menatapku.
“Ayra. Untunglah,”Gupi menatapku dengan senyum lega. Segera dibukanya pagar dan
mempersilahkanku masuk. “Kukira kamu nggak bakal datang. Oh iya, filmnya belum diputar dan kuenya
masih ada seporsi untukmu.”

“Iya.”

“Kamu lari ya?”Tanya Gupi sambil menatapku yang tengah ngos-ngosan dengan prihatin. “Kayaknya
bakal hujan lagi.”gumamnya.

“Iya, kayaknya.”ujarku menyetujuinya.

Gupi mempersilahkanku masuk duluan, barulah dia menyusul sekaligus menutup pintu. “Yuk,
masuk.”ucapnya.

“Tinggal aku ya?”tanyaku saat melangkah masuk. Gupi mengangguk menatapku.

Dari sini saja, aku dapat mendengar keributan yang terjadi di ruang tamu. Suara para gadis yang
sebenarnya memang adalah acara putri di kelas kami. Kali ini dengan pakaian casual, jadi aku tidak
mungkin slaah kostum lagi.

Baru saja sampai dilorong rumah Gupi, terdengar percakapan dari dalam, yang membuatku dan Gupi
menghentikan langkah kami untuk masuk.

“Tinggal Ayra yang belum hadir?”suara Anggi terdengar.

“Iya, kayaknya dia tidak datang. Tapi Gupi nekat mengundangnya, diluar hujan begini lagi.”entahlah
suara milik siapa itu.

“Dia datang tidak ya?”

Tangan Gupi terylur hendak menjangkauku kenop pintu, namun terhenti diudara begitu suara Puput
terdengar jelas dikeheningan ini.

“Kalian sadar nggak sih, kemaren hanya orangtua Ayra yang nggak datang?”

Terdiam. Baik aku, Gupi maupun semua orang di dalam sana.

“Um. Katanya orang tua Ayra itu business people kan? Ibunya saja wanita karir.”

“Kasihan ya, Ayra.”

Aku tidak nyaman dengan hal yang diungkapkan mereka, namun aku tak kunjung masuk untuk
menghentikan obrolan mereka. Tubuhku mengkhinatiku, seperti memintaku diam mendengarkan
mereka, menunggu saatnya dimana seseorang membelaku dan sependapat denganku.

“Ra….”

“Ini bukan apa-apa kok,”bisikku, tak lupa senyuman andalan yang selalu menutup kenyataan bahwa
tanganku tengah bergetar. Aku tidak tahu, mereka tidak menyakitiku, mengapa aku bisa seperti ini? tapi
aku tetap memutar, dan mendorong pintu itu, membuat dinding yang memisahkan terbuka,
menyatukan dua ruang.
Keadaan di dalam sana langsung hening. Hening sampai aku bahkan bisa mendengar suara jam. Ekspresi
mereka semua bermacam-macam, namun yang paling dominan adalah ekspresi panik seperti tertangkap
basah. Sepertinya mereka sadar aku telah mendengar pembicaraan mereka.

“Maaf ya, aku terlambat. Aku terjebak hujan.”ucapku tersenyum menyesal.

Mereka semua mengerjapkan mata, Gupi menggeleng, detik berikutnya barulah mereka semua
mengangguk.

“Kukira kamu nggak bakal datang, Ra. Untung saja kuenya belum kami habisin.”Cika mengucapkannya
dengan tatapan bersalah.

“…Ra, kamu nggak papa?”Tanya Gupi setengah berbisik.

Aku menggeleng. “Nggak papa, Pi.”

“Ayo kita mulai filmnya.”

Puput memasukkan CD ke dalam DVD, bahkan saat film dimulai, keheningan tetap terasa kental disetiap
detiknya. Hingga akhirnya terkikis sediit demi sedikit, teralihkan oleh film seiring dengan waktu,
dilupakan sepenuhnya, dan tidak akan pernah dibahas sampai kapanpun.

Disekitar waktu magrib, dan hujan telah nerhenti sepenuhnya, menciptakan genangan disetiap sudut
jalan, aku berlari pulang dengan kejadian yang terjadi di rumah Gupi tadi. Satupun scene difilm tadi
sama sekali tidak nyangkut di kepalaku. Bebanku terasa makin banyak saja.

Kurasa sampai di rumah nanti, dengan merenungkan diri dibawa air dingin akam menenangkanku.
Mungkin dengan musik dan the, mungkin juga aku akan membaca buku cerita yang kuambil dari rumah
kakek dan nenek. Tapi, begitu sampai rumah kelihatan pertama sekali adalah mobil silver dan hitam,
milik mama dan papa.

Aku pun masuk ke dalam rumah. “Aku pul-“

“Mengapa kemarin kau tidak cuti?”

Ada apa ini?

“Memangnya kemarin ada apa?”suara mama terdengar jelas, penuh dengan nada menantang.

“Kemarin acara perpisahannya Ayra. Bukannya aku sudah kirim SMS padamu?”

“Aku kan sudah bilang aku tidak bisa.”mama menjawab dengan malas.

“Kau benar-benar tidak punya hati. Bagaimana mungkin kau bisa tidak menghadirinya?!”

“Mengapa tidak kau saja yang pergi?!” mama membalas dengan tajam.

“Tapi Ayra lebih mengharapkanmu!”

“Oh ya? Dari mana kamu tahu?”

Sejujurnya, aku mengharapkan kedua dari mereka. Harus kuakui aku anak yang egois, memaksa kedua
orangtuaku unutk menghadiri acara perpisahan disaat mereka sedang sibuk. Aku tidak bisa menyalahkan
mereka berdua, tapi mama yang menolak datang atau papa yang meminta mama datang. Aku pernah
mendengar pernyataan umum dari orang tentang sosok ayah. Ayah adalah orangtua yang mencintai
puterinya. Memang hal umum bagi anak perempuan untuk menyadari hal itu. Tapi, aku tahu kalau
pernyataan itu hanya diambil dari fakta dominan, bukan keseluruhan.

“Salahmu sejak awal. Bukankah sebelum dia lahir, aku sudah bilang kalau punya anak hanya akan
menyusahkan kita,”

DEG.

“Ucapanku terjadi, Ayra menjadi anak yang tak terurus!”

“Kau tidak boleh berbicara seperti itu!”

Tunggu ini, terlalu capat.

Ini tidak adil. Mengapa aku harus mendengar kalimat itu? Setelah aku mencoba mengabaikan kata
penyesalan, aku tidak mengeluh dan sama sekali tidak meminta banyak.

“N-non,” Terdengar suara bi Nop dari belakang. Dia tampak memegang sebuah keranjang ditangannya,
dengan wajah pucat dan sekujur tubuhnya terlihat membatu.

“Non tidak apa?”

Aku hanya menggelengkan kepalaku dan tersenyum hambar. “Aku naik dulu, bi. Kalau papa dan mama
sudah pergi dan makan malam sudah selesai, tolong panggil aku turun ya?”

Bi Nop mengangguk cepat, namun kekhawatiran dimatanya begitu jelas. Aku marasakan tatapannya
menatap lurus le arah punggungku, bahkan saat matanya tak lagi mampu menangkap sosokku di atas.
Aku masuk ke dalam kamar, menguncinya dengan pelan dan tanpa suara. Kakiku melemas tanpa alas an,
tubuhku meluncur hingga membuatku terduduk di lantai.

Hatiku sakit. Aku menunggu air mataku terjatuh, namun tak kunjung lepas dari mataku. Dadaku sesak
tanpa alas an. Pasokan oksigen di paru-paru terasa habis. Dan aku sangat ingin menangis. Aku buru-buru
menenangkan diri. Aku harus. Buku, mungkin aku butuh buku. Aku segera berlari kerak buku,
membongkar dan mencari buku kesukaanku.

Saat keheningan menguasai kamar, disaat matahari sudah menghilang dari ufuk barat. Terdengar suara
khas kereta api, pikiranku teralihkan. Semua kekhawatiran meluap begitu saja.

Rian.

Kesadaranku perlahan disudutkan oleh rasa kantuk, rasanya tenang. Aku tertidur. Disaat yang sama, aku
merasakan pipiku dialiri oleh cairan hangat. Air itu telah jatuh.

Bunyi ketukan pintu terdengar entah berapa kali dipendengaranku. Ketukan terdengar ragu dan pelan.
Aku yakin itu pasti bi Nop. Kebiasaan baginya untuk mengetuk secara perlahan sedari dulu.

TOK-TOK.

“Non,”bi Nop mengeluarkan suara, hampir menyamai suara bisikan. “Nyonya dan tuan menyuruh non
turun untuk makan malam bersama.”
Mataku terbuka, namun masih menunjukkan kegelapan. Hanya ada segaris cahaya yang terlihat dari
bawah pintu. “Uhm.”

Aku beranjak, mendekati pintu, menarik napas panjang sebelum membuka kunci dan memutar kenop
pintu. Makan malam bersama, hari ini. hak pertama yang kulihat begitu membuka pintu, cahaya yang
begitu terang menyilaukan mata. Beberapa saat setelah makatu dapat menyesuaikan , barulah aku bisa
melihat ekspresi khawatir bi Nop.

Aku menuruni tangga, bi Nop menyusul di belakang dengan ragu di setiap langkahnya. Aku dapat
merasakannya. Di tengah meja, aku memilih duduk yang tidak berhadapan dengan mereka. Aku hanya
berharap mereka tidak menyadari ekspresiku.

“Sudah menentukan SMA tujuanmu?”

Bibirku terkatup rapat, makanan yang ada di dalam mulutku berhasil kukunyah. Tanganku sedari tadi
memotong steak pun terhenti. Rasa makanan yang kukunyah seketika hambar.

“Uhm,”kawabku sambil melanjutkan makan, berusaha menelan makanan yang tengah kukunyah.
“Permata.”

TENG, tiba-tiba sendok dan garpu yang dipegang mama terhempas keras dipiring. Aku sangat terkejut.
Agak ragu, aku meliriknya dari sudut mataku. Amarah.

“Mengapa harus di Permata? Bukankah hari itu mama sudah memberi list?”

Aku melanjutkan makanku dengan buru-buru. Ingin rasanya segera menghabiskan makan malamku dan
kembali ke kamar. Aku tidak pernah berdebat sebwlumnya, apalgi dengan mama. Selama ini aku selalu
mendengarkannya. Aku melirik papa dan melihatku dengan tidak nyaman.

“Ayra.”

“Ayra!” Aku membeku diam. Aku menaikkan kepalaku dan melihat matanya, yang kini penuh emosi.

“Mama akan mengizinkanmu memilih sekali lagi. Pilihanmu harus ada di salah satu list yang sudah
mama berikan!”ucapnya mutlak.

Usai pembicaraan kami di makan malam yang pertama kalinya terasa menyesakkan itu, aku naik ke
kamar dan merenungkan semua perkataannya. Lagi, aku harus merenung diri di kamar. Saat menyalakan
lampu kamar, terlihat jelas kamarku berantakan bagai kapal pecah.

Saat tubuhku mulai relaks dan music klasik pertama hendak masuk kemusik kedua, tiba-tiba cahay
terang dari jendela menylaukan pandanganku. Tirai kamarku lepas, aku dapat melihat jelas cahay itu.
Aku pun mengecilkan volume radio, barulah aku dapat mendengar jelas suara lengkingan dari luar.

Kereta api telah datang.

Setengah berlari, aku menjangkau pintu balkon dan membukanya tanpa ragu. Selain cahaya terang, hal
lain yang menyambutku adalah angina. Teringat dengan ketebatasan waktu setiap memasuki kereta itu,
aku pun segera mengeluarkan kunci yang kukenakan.
Agak takut, aku menatap ke bawah, rerumputan di taman terasa begitu jauh untuk kutapaki, namun aku
memberanikan diri, berdoa terlebih dahulu sebelum memanjat. Sedikit saja kereta api ini bergerak, aku
akan terjatuh.

Aku membuka gembok dengan tangan bergetar. Setelah gembok terbuka, aku membuka pintu gerbong.
Usahaku tidak sia-sia, sebab aku berhasil melakukannya. Aku berlari masuk, melewati gerbong dua dan
tiga. Saat membuka pintu penghubung gerong empat, aku tersenyum lega. Pemuda itu masih di sana.
Aku menghela napas tanpa sadar.

“Maaf lama,”ucapku. “Apa yang harus kulakukan?”tanyaku padanya.

“Bagaimana aku membawamu keluar?” Masih tak menjawab, dirinya hanya tersenyum tipis,
membuatku merasa berbicara dengan patung.

Rian berdiri, saat melangkah sampai ke gerbong tempatku, kukira ini akan berhasil. Tapi, dia tidak bisa
melewati pintu penghubung. Seperti ada sebuah kaca yang menghalangi kami.

“Tidak bisa,”gumamku melangkah masuk.

Ini aneh. Hanya Rian yang tidk bisa melewati pintu penghubung. Oh, jangan-jangan Rian hanya bisa
keluar kalau aku membimbingnya. Saat sedang berpikir, suara peringatan berbunyi lantang. Waktu
habis.

“Aku akan buka dua pintu penghubung lain. Kamu tunggu disini, aku akan kembali.”

Saat kulihat jarak kami dengan gerbong pengontrol semakin dekat. Begitupun bunyi peringatan yang
semakin keras tanda kereta akan segera meluncur pergi. Aku sempat berbalik melihatnya. Matanya
menatap gerbong pengontrol lurus, tangannya yang dingin makin kuat menggemnggam tanganku saat
kami mendekat ke gerbong pengontrol.

“Kita berhasil!”seruku.

Detik itulah, aku melihat hal yang mengerikan diujung gerbong. Gerbong keempat yang berada diujung
sana menghilang bagai butiran debu. Debu itu seperti tangah memakan satu persatu gerbong. Saat debu
itu mulai memakan gerbong ketiga, aku buru-buru menarik Rian menjauh dari pintu penghubung.

Kami berada di gerbong pengemudi, gerbong pertama yang merupakan incaran kami sejak awal. Ideku
habis. Aku ingin menarik Rian keluar dari kereta, tapi aku ragu. Ada firasat aneh yang membuatku
membatalkan niat itu. Mungkin saja Rian juga akan menjadi debu jika keluar dari kereta ini. tapi, aku
lebih yakin dia akan menjadi butiran jika dia masik tetap di dalam sini.

Aku pun mendorongnya. Jantungku terasa berhenti saat kuliha tangan kirinya mulai menghilang dalam
wujud yang sama dengan hilangnya kereta api ini. Menjadi debu. Aku telah slag langkah. Aku salah.
Kulihat mata biru itu membulat saat melihat kondisi di belakangku.

Tangannya terulur mencoba menjangkauku yang masih ada di dalam kereta api. Kereta api itu
menghilang total menjadi partikel debu yang terbang ke langit. Aku berada antara pilihan jatuh atau
bertahan. Debu itu kini memakan Rian hingga menghabiskan lengan kirinya. Aku kembali merasa
bersalag.
Ini salahku. Coba saja aku tidak memikirkan ide bodoh untuk mengeluarkannya.bagaimana kalau dia
menghilang selamanya? Aku akan merasa bersalah seumur hidupku. Aku tak memperdulikan kakiku
yang bergantung di udara, tanganku yang kini digenggam Rian agar tak terjatuh. Perlahan, debu itu
memakan bahunya.

“Apakah kita akan bertemu lagi?”tanyaku. rian menatapku ragu, sedetik kemudian dia mengangguk.

Andai saja aku tidak pernah masuk ke dalam kereta itu, maka semuanya akan baik-baik saja. Andai aku
tidak pernah mendapatkan kunci itu, maak semuanya akan baik-baik saja. Andai aku tidak pernah
melihat kereta api itu.

“Aku tidak bisa menyelamatkanmu dan kamu tidak bisa menyelamatkanku. Bukankah itu
sebanding?”aku tersenyum perih. “Maaf aku tidak bisa menepati janjiku.”

Wajahnya yang pucat makin terlihat pucat. Kulitnya memutih saperti salju dan tangannya yang dingin
terus menggenggamku. Kulihat sudah hampir semua tubuhnya menghilang, menysakan wajahnya dan
tangan kanannya saja.

Aku tak berani menggenggam tangannya kuat, takut membuatnya makin rapuh dan hancur. “Sekali lagi
aku minta maaf.”kini tangannya hanya menyisakan sedikit wujud, sangat sedikit. Saat itu juga aku
melepaskan genggamannya, bersamaan pula aku milihat seluruh tubuh pemuda itu melebur menjadi
seprihan dubu. Semuanya terasa seperti mimpi, sampai akhirnya satu hentakan ketas terasa begitu
menyakitkan, mebuat sekujur tubuhku mati rasa.

Aku hanya tersenyum pedih saat melihat benda berkilauan yang beterbangan di atas langit. Bulan dan
bintang menjadi saksi kejadian barusan. Kesadaranku berangsutr-angsur menghilang. Hal terkahir yang
kulihat adalah debu terang yang berasal dari leherku. Ah, kuncinya juga.

Aku memejamkan mataku, kurasakan cairan hangat yang jatuh dari sana. Lalu smaar-samar, terdengar
teriakan suara menyerukan namaku keras sebelum kesadaranku benar-benar menghilang.

“AYRAA!”

…………………………………………………………………..

Gelap.

“Kepada para penumpang kereta api yang terhormat, saat ini kereta berada di dalam terowongan,
diharapkan unutk tetap duduk dikursi penumpang. Bila anda memerlukan bantuan, harap melapor pada
petugas kami….”

Eh?

“Ujung terowongan ini tidak pernah dapat diperkirakan oleh siapapun. Karena itu, harap tetap duduk di
tempat. Kereta akan melaju cepat unutk mencapai ujung secepat mungkin….”

Aku pun memutuskan untuk duduk dikursi penumpang yang tersedia, memperhatikan kiri kanan. Orang-
orang memakai baju putih dan duduk memegang karcis berwarna emas dengan tulisan perak. Wajah
mereka semua tak menampakkan ekspresi menyenangkan. Semuanya menatap satu arah yang berbeda
dengan pandangan kosong.

Aku sendiri memperhatikan baju putih yang melekat di tubuhku. Saat aku merik lengan bajuku sedikit ke
atas, aku melihat jari-jariku memegang karcis yang sama dengan nomor tujuh.

Aku bingung, darimana aku mendapatkannya?

Rasanya kepalaku berdenyut, kemudian isinya terasa berputar. Kadang pula, keadaannya kembali
semula, membuatku mengingat semua hal dengan begitu jelas. Semua kenangan itu. Kenangan buruk,
mengharukan, indah dan juga menyedihkan. Semua gambaran, suara dan pergerakan terasa lambat,
namun begitu jelas.

Aku menoleh ke depan, tak lagi melihat keluar jendela. Telingaku mengangkap suara tante Nirmala di
depanku. Aku yakin wanita itu benar-benar mengelurkan suara sebab kini semua orang menoleh ke
arahnya. Kini matanya melotot menatapku, lampu-lampu yang ada di atas kepalanya membuatnya
terlihat begitu menakutkan. Bahakn semarah apapun tante Nirmala kepadaku dulu, dia tidak pernah
terlihat begitu menyeramkan seperti ini.

“Kenapa kamu naik kereta api ini?!”tanyanya dengan emosi. Dirinya bangkit dari duduk dan mendekat
ke arahku. Dia berdiri di depanku, sehingga membuatku harus mendongak menatapnya. Nyaliku
semakin menciut. “T-tapi tante juga naik kereta yang sama.”

Aku menebak bahwa tente Nirmala memarahiku karena aku menaiki kereta seorang diri. Beliau pernah
marah karena aku pernah tak sengaja membuat puterinya yang sebaya denganku terjatuh hingga
membuat kepala anaknya berdarah.

“Tapi kamu masih begitu muda!”

Aku menunduk. “Maafkan aku, tante. Aku akan bilang pada mama dan papa kalau aku telah menaiki
kereta api tanpa izin mereka.”gumamku.

“Ayra, lihat tante,”pintasnya tegas. “Kamu tahu caranya kembali ke rumah?”

Aku menggeleng dan berbalik sejenak untuk melihat pemandangan luar. Lampu di atasku masih terang,
namun luar jendela sangat gelap. Kami belum keluar terowongan.

“…Mungkin aku harus menunggu sampai kereta keluar terowongan dulu,”gumamku sedikit gugup.
“Tante, tidak ikut?”

“Tidak. Kalau ada kesempatan, kamu harus memberanikan dirimu untuk turun sendiri.”

“Tapi-“

“Jangan membantah, Ayra!”

“Kamu tahu? Kereta ini mungkin tidak akan-“ Suaranya tak terdengar akibat lengkingan keras entah
darimana, tapi aku berhasil mengngat bahwa suara lengkingan dan memiliki melodi pelan dan lembut
itu, sudah terdengar beberapa kali.

“…Penumpang yang terhormat, harap tetap tenang dalam gerbong…”


Hening.

Tante Nirmala terdiam, begitupun aku, bahkan seluruh penumpang kereta api. Wajah mereka kembali
datar, seolah protes mereka tadi dan kata-kata umpatan mereka tidak pernah terjadi.

“Ayra?”

Kali ini aku lah yang kebingungan. Tante Nirmala menatapku dengan penuh tanda Tanya. Aku pun sama
bingung dengannya saat ini.

“Tadi tante bilang kereta ini tidak akan apa?”

Apa tante lupa?

“Tante, tadi-“ Lagi-lagi suara lengkingan dan melodi itu terdengar di pendengaranku.

……………………………………………………………………

Aku bermimpi melihat sosokku tengah tertidur di ruangan yang sangat terang. Itu hanya mimpi yang
indah, menurutku. Sebab, di sana, mama dan papa menangis untukku. Tapi mimpi itu tak berlangsung
lama. Saat sadar, aku sudah berada di dalam kereta api.

Kereta api itu dipenuhi oleh orang berapakain putih, masing-masing memegang karcis di tangannya. Ada
lampu terang dipasang tepat di atas kepala kami. Aku masih bisa melihat wajah orang-orang itu
meskipun keadaan di luar sangatlah gelap. Semuanya berpandangan kosong.

“Kepada para penumpang kereta api yang terhormat, saat ini kereta berada di dalam terowongan,
diharapkan untuk tetap duduk dikursi penumpang. Bila anda memerlukan bantuan, harap melapor pada
petugas kami….”

Entahlan, rasanya aku sudah mendengar kalimat itu berulang kali. Tapi, kapan?

“Ujung terowongan ini tidak pernah dapat diperkirakan oleh siapapun. Karena itu, harap tetap duduk di
tempat. Kereta akan melaju cepat untuk mencapai ujung secepat mungkin….”

Aku memperhatikan sekelilingku. Di depanku, seeorang memperhatikanku dengan begitu dalamnya. Aku
mengerjapkan mataku saat menyadari wajahnya tak menunjukkan pandangan kosong. Dan dia….

“…Tante Nirmala?”

“Stt,” Dia mengacungkan jari telunjukknya di depan bibir. “Diamlah. Ayra. Aku tidak ingin kejadian ini
terjadi berulang-ulang karena kita ketahuan menyadari ini.”

Maka aku terdiam.

Persepsi mengenai diriku, keponakan yang paling dibenci oleh tante Nirmala pun terbukti begitu saja.
Tante Nirmala masih membenciku hingga saat ini. Ada banyak pertanyaan dalam pikiranku, yang kurasa
tidak akan dijawab jika kami berada dalam situasi ini.
Lengkingan terdengar memekakkan telinga, detik berikutnya melodi itu berputar seolah memutar
pikiranku unutk tenang.

“Kepada penumpang kereta api yang terhormat, petugas kami akan memeriksa karcis, diharapkan
unutk tetap tenang.”

Pintu di ujung sana terbuka. Aku bisa merasakan betapa jauhnya tempatku. Karcis benar-benar
diperiksa, aku bisa melihat beberapa orang berpakaian hitam berdiri di depan orang-orang, benar-benar
memeriksa karcisnya.

Aku memperhatikan karcisku dengan sedikit ragu, ini kercis apa? Karena setahuku dalam waktu dekat
ini, aku tak membeli karcis kereta api ke tujuan manapun. Orang-orang yang berpakaian hitam, yang
kuyakini sebagai petugas terus saja membaca nomor ribuan setelah melihat karcis, lalu
mengembalikannya kepada pemilik karcis dan menggelengkan kepala mereka.

“Lima ribu tiga tarus lima puluh Sembilan.”

“Tujuh tibu sebelas.”

Selanutnya, petugas itu memeriksa karcis tante Nirmala. Hanya butuh dua detik baginya untuk melihat,
sebelum bergumam. “Seratus tigabelas,”dan mengembalikannya kembali ke tante Nirmala sambil
menggelengkan kepala.

Tubuhku menegang saat petugas itu berbalik ke belakang dan mengulurkan tangannya ke arahku, dan
aku secepat kilat memberikan karcisku padanya.

“Sembilan puluh tujuh.”Dia tertegun.

“Hei, aku menemukannya!”seru petugas di depanku sambil melambaikan tangannya kea rah petugas
lain. “Dia ada di sini.”

Aku panic saat mereka semua melangkah ke arahku.

“Ayo ikut kami, pemberhentianmu telah sampai.”

Aku kebingungan, tapi tetap berdiri. “Pemberhentian? Dimana?”

“Pokoknya sudah sampai.”balas mereka dingin.

Aku memperhatikan tante Nirmala, hendak mempertanyakan pertanyaan dalam benakku, belum lagi
membuka mulut, melodi dan lengkingan itu terdengar kembali.

“Cepat!”

Aku menatap tante Nirmala sebelum melangkah mengikuti mereka. Tapi beliau telah berubah lagi. Dia
terlihat bingung.

“Kau akan menyesal kalau tak turun sekarang.”ucap petugas itu dengan garang.

Aku melihatnya. Aku didorong kelaur dari kereta.

Gelap. Semuanya gelap.


Tapi sebelum kesaadaranku habis, pikiran it uterus berputar di kepalaku. Nomor karcis tante Nirmala
berubah menjadi seratus empat belas.

Mataku terbuka perlahan. Pertama yang kulihat saat aku bangun adalah putih. Hal yang sedari tadi
menganggu penciumanku adalah bau obat-obatan. Hal yang menganggu pendengaranku adalah suara
tetesan air yang bertempo dan suara seperti untuk melihat grafik detak jantung.

Aku berbaring di sebuah ruangan bernuansa putih, khas rumah sakit. Pakaianku juga diganti dengan
piyama berwarna putih bergaris merah. Kuperhatikan selang infus yang menyatu dipunggung tanganku,
ada pula selang oksiges di tepi ranjang, namun tak terpasang dihidungku.

Tak lama kemudian, seseorang datang dengan pakaian khas dokter. Ada sebuah steroskop menggantung
di lehernya. Wanita itu memegang map dan beberapa kertas di tangannya.

“Selamat pagi, Ayra,”sapanya. Aku hanya bisa menganggukkan kepala dan tersenyum canggung.
“Bagaimana keadaanmu?”

Aku menusap kepalaku dan meringis. Kepalaku terasa sangat sakit. Sangat. “Kepalaku sedikit sakit.”

“Hm,”wanita itu menuliskan sesuatu dikertas. “Kamu koma selama seminggu.”

Seminggu? Mengapa aku masih hidup?

“Untunglah semua tubuhmu jatuh ke atas tanah dan rumput, bukan keramik atau batu keras lainnya.
Mungkin kepalamu terasa sakit, tapi tidak ada yang fatal. Kepalamu hanya sedikit lecet. Jadi tenanglah,
itu hanya luka kecil yang akan sembuh dalam waktu dekat.”

“Uhm, baiklah, terima kasih, dok.”jawabku.

Pukul delapan pagi. Aku tiduran setengah gelisah, beberapa kali bergerak mencari posisi nyaman. Tapi
tetap saja aku tak menemukan posisi itu. Gerakanku terbatas karena selang infus yang ada di punggung
tanganku. Suara dering alunan piano dari lagu di ponselku membuatku terperanjat. Bukannya aku lupa
tentang diriku yang memasang lagu itu. Tapi, lagu itu sama sekali tidak pernah terputar seperti ini, yang
mana halnya hari ini seseorang meneleponku.

Mama is calling.

Dengan tangan sedikit gemetar, aku mengangkat panggilan ini. sempat ada jeda lima detik karena aku
mencoba menormalkan debaran jantungku. “H-halo?”

“Ayra?”terdengar suara helaan napas lega dari seberang telepon. “Syukurlah kamu sudah bangun, nak.
Bagaimana kabarmu?”

“Baik,”aku melirik ke kuku tanganku yang kini telah memanjang. “Bunga melati sama buahnya, mama
yang bawain ya?”

“Iya,”jeda tiga detik, aku samar-samar dapat mendengar suara dering telepon di seberang sana. “Ah,
Ayra, mama bakal datang saat makan siang nanti, ya?”

“O-oke ma.”
“Untuk sarapan, kamu makan bubur di rumah sakit saja, yah. Makan siang nanti mama bawakan
makanan kesukaanmu.”

“Iya ma.”

Atmosfir dalam ruangan ini terasa begitu berat. Jam dinding menunjukkan pukul duabelas lewat
tigapuluh menit. Di depanku, kotak bekal berisi nasi dan ayam goreng tersaji dengan keadaan masih
hangat dan asap masih mengepul. Seharusnya aku makan dengan lahap, mengingat makan bubur tadi
tidak cukup membuat perutku terisi. Disisi kiri kanan tempat tidurku, ada papa dan mama yang
mengawasiku.

“Makan dulu, Ayra,”ujar papa dengan nada berat yang membutaku segera memakan makanan itu.

Sepanjang makan, masih dalam etika seperti biasa, mereka tidak akan mengajakku bicara. Aku pun tak
berani berkata-kata. Dari tatapan papa saja aku dapat mengartikan kemarahan yang besar dan belum
terlampiaskan.

“Terima kasih makanannya.”gumamku dengan suara kecil.

“Ayra, papa sangat kecewa denganmu,”sahut papa to the point, membuatku tersentak. Keningku
berkerut, aku mencoba mencerna perkataan papa. Aku sama sekali tidak mengerti.

“Kamu berniat bunuh diri, Ra?”

“Setelah mama menemukanmu jatuh dari taman belakang dan kami membawamu ke rumah sakit, kami
mengira bahwa kamu tidak sengaja jatuh dari balkon,”mama menerangkan dengan raut wajah sedikit
lesu. “Saat kami memeriksa kamarmu, kamarmu sangat berantakan. Lalu bi Nop bercerita bahwa kamu
mendengar perbincangan kami di bawah,”lanjut mama dengan bahu bergetar. “Mama tidak bermaksud
mengatakan itu, sungguh.”

“Papa tidak tahu kamu punya sifat tidak terpuji seperti ini.”

Mengapa jadi aku yang disalahkan dalam kasus ini?

“Bukannya bagus? Tidak aka nada yang mengganggu kalian?”aku sudah menitikan air mata, lalu segera
menunduk, tak ingin membiarkan mereka melihatku menangis. “Ayra tahu kalau Ayra itu Cuma-“

PLAK!

Mataku membulat begitu merasakan pedasnya pipiku. Aku menatap tak percaya papa. Papa, baru saja
menamparku?

“Ayra Putri Syah!”papa menyebur namaku dengan nada tegas dan dalam, biasanya mampu membuatku
merinding tetapi tidak dengan hari ini. “Jangan berkata seperti itu lagi.”

“Mama benar-benar menyesal. Mama sungguh tidak bermaksud,”mama sudah menangis, berbeda
dengan papa yang menatapku dalam. “Kamu boleh memilih SMA di Permata, mama tidak akan
melarangmu.”

Sementara aku hanya terdiam, meratapi wajah mereka berdua yang kini terlihat berbeda dari biasanya.
Bukankah lebih baik jika aku tak pernah bangun?
…………………………………………………………….

Hari ini Gupi menjengukku.

Bung yang dibawanya itu tidak bisa kuterima atau kutolak. Karena melihat betapa kecewanya wajah
Gupi, akupun mengatakan bahwa aku akan membawa bunga itu pulang.

"Kamu merasakan mati suri kah?" Gupi bertanya tanpa rasa bersalah, membuatku menatapnya
semberut. "Maaf, maksudku, apa kamu merasakan sesuatu saat koma?"

Aku menggeleng, yang membuat Gupi akhirnya duduk di tepi ranjang sambil menunjukkan ponselnya di
depanku.

"Aku bawa diinternet, katanya orang koma kemungkinan merasakan mati suri dengan menjelajahi
tempat tertentu. Adapula yang sebenarnya sadar, tapi tubuhnya tidak mau bergerak. Aku curiga kamu
sebenarnya merasakannya tapi kamu tidak mau berbagi ilmu."

Aku menghela napas. "Aku serius, Pi. Aku tidak merasakan apapun."

"Bohong."

"Dasar keras kepala," desahku malas. "Lagi pula itu kan kata internet, kamu lebih percaya internet
daripada narasumbernya langsung?"

"Info diinternet diambil dari berbagai sumber." Tambah Gupi cepat.

Aku tak lagi membalas perkataannya, toh apapun yang kukatakan, Gupi tetap akan terus menuntutku
menceritakan tentang apa yang kurasakan. Yang kuingat pasti, Gupi pernah berdebat dengan Rina saat
mereka berkolaborasi membuat cerita tentang petualangan pelaut yang melintasi perairan.

"Ayolah, Ayra. Cerita sedikit."

Aku lagi-lagi menghela napas. "Kamu pemaksa sekali. Sudah kubilang, aku tidak merasakan apa-apa."

Wajah Gupi cemberut, sebelum akhirnya dia termenung meratapi dinding polos di depannya. "Selama
seminggu ini, begitu teman sekelas tahu kamu koma, semua turut mendoakan,"ujarnya lirih. "Apa lagi
mengingat bahwa kejadian itu terjadi malam setelah kamu pulang dari rumahku. Mereka merasa
bersalah dan khawatir."

Aku berdengus. "Tenang, bukan salah mereka kok. Kecerobohanku."ujarku terpaksa berdusta.

Terdengar suara nada dering beberapa kali sebelum akhirnya Gupi menyimpan ponselnya dalam saku.

"Ibuku bilang akan mengantarku tiga puluh menit ke depan. Apa yang akan kita lakukan?"

Aku hanya mengedikkan bahu, aku tidak punya ide. Mau bagaimanapun keadaan kamar di ruang inap
tidak akan bisa membunuh rasa bosan. Bahkan kedatangan Gupi sekalipun. Aku benar-benar bosan
melihat lampu di atasku, dinding polos berwarna putih, tirai berwarna biru, dinding polos putih. Aku
benar-benar bosan.

"Oh! Kamu ingat saat kita menonton bintang jatuh hari itu?"

Aku mengangguk. Siapapun tidak akan lupa indahnya hari itu, sampai sekarangpun. Kepalaku masih di
penuhi dengan rekaman indah itu.

"Ngomong-ngomong, permohonanku sudah terkabul, loh!"

"Permohonan yang mana?"

"Jangan bilang kamu lupa dengan permohonanmu sendiri?!"

Aku ingin menolong pemuda itu.

Aku ingin menolong Rian.

Aku ingin membantunya.

Aku tidak berhasil menolongnya, meskipun aku sudah melakukan permohonan pada bintang jatuh. Apa
itu terlalu mustahil?

"Ra? Halo, Ra!"

Aku mengerjap, sedetik kemudian pandanganku beralih pada Gupi yang menatapku dengan tatapan
menuntut. "Ah, permintaanmu terkabul? Bukankah itu bagus? Ngomong-ngomong karena
permintaanmu sudah terkabul, apa kama boleh mengatakannya?"

Gupi nampak ragu-ragu menceritakannya. "Sebelum aku ceritakan, aku pengen nanya sesuatu,"Gupi
menatapku sendu. "Kamu, percaya dengan keajaiban?"

Napasky tercekat, jantungku seakan keluar dari rongganya, mataku mengerjap menatapnya. Tatapan
kami beradu, sampai aku menganggukkan kepalaku dengan sangat pelan.

"Bagus,"Gupi mengangguk semangat. "Kalau kamu percaya, akan lebih mudah bagiku untuk
menjelaskan,"Gupi termangut-mangut. "Lalu aku melihat transportasi itu, melayang di atas
rumahku!"serunya histeris.

Transportasi melayang?

Apa itu kereta api?

"UFO nya besar banget, Ra! Jari-jarinyaa bahkan lebih besar daripada ruangan ini, Ra!"serunya lagi
membuatku menelan kekecewaan yang dalam. "Kamu percaya?"

Aku mengangguk kecil, yang membuatnya menjadi histeris. Tampaknya Gupi begitu senang.

"Apa aku memelukmu terlalu kuat?" Gupi reflek melepaskan pelukannya. Saat aku menggeleng, dia
menghela napas lega. "kukira kamu tak akan mempercayaiku, karena kamu pernah ngomong realistis
blablabla itu, aku nggak nyangka,"matanya berbinar karena bahagia. "Apa ini efek karena habis koma?
Dan, apa permohonanmu sudah terkabul?"
Tak langsung kujawab dalam kata yang diharapkannya. Aku yakin Gupi menginginkanku menjawab 'Ya'.

"Gupi,"jeda tiga detik sebelum aku melanjutkan. "Apa kamu mau mendengarkan keajaibanku?"

…………………………………………………………………………

Aku tidak mennyangka mama dan papa datang melihatku saat melakukan terapi. Saat itu mama
mendorong kursi rodaku dan papa hanya menatapku datar. Hubunganku dan papa belum begitu baik
semenjak kemarin lusa. Aku berencana meminta maaf pada papa. Kami sudah sampai di depan ruangan
khusus terapi, namun kami tiba-tiba dihalangi oleh seorang suster.

“Maaf Bu, Pak. Ruangannya lagi dipakai, kira-kira sejam lagi baru pasiennya keluar.”

“Loh? Bukannya jam satu giliran putri saya?”Tanya papa sedikit risih.

Suster itu melihat kertas yang dipegang ditangannya. “Maaf pak, rupanya kami salah memberi waktu.
Kami mohon maaf sebesar-besarnya.”ujarnya penuh penyesalan.

“Yasudah, mungkin kami bisa menunggu.”ujar mama duduk dikursi tunggu. Papa nampaknya terganggu
karena kesalahaan jadwal yang diberikan.

“Katanya rumah sakit terbaik, pelayanannya saja buruk begini.”desis papa menahan geram.

“Sudahlah.”mama membalas sambil menghela napas.

“Pa, Ma,”Aku menatap mereka berdua dalam, kukira saatnya aku menceritakan tentang keajaiban yang
kulihat, lagipula kereta itu sudah tidak ada.

“Ayra pengen cerita. Tapi kalau bisa, mama dan papa mendengarkan sampai selesai dulu,”mama dan
papa mengangguk bersamaan, membuatku tersenyum tanpa sadar. “Tapi, mama jangan marah ya?”

Alangkah senangnya aku ketika mama mengangguk menyetujui. “Papa dan mama pasti ingat saat tahun
baru meninggalnya kakek dan nenek, kan? Suara yang kudengar saat…,”

“Ayra, apa ini bersangkutan dengan kereta api itu?”mama memotong, membuatku tanpa sadar
menghela napas. Mama pasti akan marah lagi.

“Iya, ma,”ucapku. “Ayra akan menceritakan apa yang Ayra lihat, bukan yang kalian pikirkan.” Mereka
berdua terdiam menghela napas, mungkin mencoba mengendalikan diri agar mau mendengarkan
perkataanku.

“Baiklah, lanjutkan.”

“Pertama kali Ayra mendengar suara kereta api setelah tahun baru saat kakek dan nenek pergi menuju
kota,”Aku mengucapkannya dengan lirih. “Lalu saat pemakaman hari itu, aku juga mendengarnya pa,
ma.”

Mereka berdua masih terdiam menatapku, menungguku melanjutkan pembicaraan tadi.

“Lalu sampai akhirnya kita hendak pulang ke rumah, aku melihat langsung kereta api itu. Kereta itu
melaju di atas langit, aku melihatnya. Aku sungguh melihatnya. Setelah itu, aku sering mendengar
suaranya, penampakan kereta, dan bahkan saat aku mencoba mengalahkan semua hal yang kulihat itu
dengan logika. Kupikir, otak ku tidaklah secermelang itu untuk berimajinasi dengan sedetail itu, mesin-
mesin rumitnya, suara knalpot nya, dan hal lain.”

Aku menarik napas. “Aku selalu mencoba membuat mama mempercayaiku, tapi sia-sia. Mama ataupun
papa tidak bisa melihatnya atau mendengarkan suara kereta api itu,”

Papa dan mama masih diam mendengarkanku. Aku pun melanjutkan. “Kukira itu keajaiban, seperti yang
kakek dan nenek pernah katakana. Aku tahu, aku terlalu mempercayai itu. Tapi aku melihatnya
langsung.”

“Suatu hari, kereta api itu mendarat di atap rumah kita. Aku naik untuk melihat lebih dekat, dan aku
melihat seorang lelaki di dalam sana,”Aku menceritakan dengan senyum saat mengingat kejadian itu.
“Dia punya mata biru, rambut cokelat dan dia memakai baju putih. Aku menanyakan namanya, dan
sebelum dia menjawab kereta itu sudah melayang kembali,”

“Dipertemuan kedua, aku melihatnya dihari festival, dan kereta itu menjatuhkan kertas biru. Dan
ternyata disana tertulis ‘Rian’. Rupanya itu nama lelaki itu. Pertemuan berikutnya dia menjatuhkan
kunci. Papa dan mama ingat kunci itukan? Kunci hari itu.”Mama nampak melotot, sedangkan papa
mengerjapkan matanya. “Kunci itu berasal dari kereta api it-“

“Cukup, Ayra.”

“A-aku belum selesa-“

“Sedarotadi kami mendengarkan cerita mimpimu yang bahkan sama sekali tidak masuk akal!”Papa
mengerutkan keningnya.

“Itu karena papa tidak mengerti, papa tidak melihatnya langsung seperti yang kulihat! Dan itu bukan
mimipi, pa. Hari itu aku pernah bermimpi Rian memberikanku kertas biru, tapi itu di dalam mimpi, pa,
jadi aku tidak bisa membacanya.”

“Lalu? Kamu mau bilang kalau saat kamu terbangun surat itu sudah ada di sampingmu?”Tanya papa
dengan nada ssedikit menantang.

“Dan memang itu yang terjadi!”pekikku nyaris menjerit. “Aku terlambat bangun pagi, dan aku tidak
sempat memberekan tempat tidurku. Saat pulang aku menemukannya di samping tempat tidurku. Aku
berani bersumpah, itu benar terjadi. Aku bahkan menyimpan surat itu. Tapi aku tidak tahu apakah surat
itu ikut menghilang seperti yang terjadi pada kunci itu. Aku tidak ta-“

“Ayra,”kali ini mama yang memotong pembicaraanku. “Kami minta maaf jika membuatmu terlalu
kesepian, sampai-sampai kamu berhalusinasi seperti itu.”

“Aku tidak berhalusinasi!”bantahku.

Mama melirik pintu yang berada di samping kamar terapi, lalu bangkit dan mendorong kursi rodaku ke
arah pintu itu. “Ayo, kita perlu berkonsultasi dengan dokter. Setelah ini kita langsung ke ruang terapi.”

“Ma!”aku berseru, membuat dorongan mama berhenti. “Bisa tidak, sekali aja mama percaya padaku?”
“Mama bukannya tidak percaya, Ayra. Tapi siapapun yang mendengarkan ceritamu tidak akan
mempercayainya.”

“Gupi mempercayainya, ma!”

“Ayra, kecilkan suaramu. Kami bukan mau membawamu ke rumah sakit jiwa, kami hanya akan
berkonsultasi!”Papa membentak, membuatku terdiam.

Aku hanya terdiam, saat mama mengetuk pintu dan disambut dengan seorang dokter perempuan. Aku
hanya diam saat mereka bercakap-cakap mengenai kerusakan mental di usia muda, yang membuatku
frustasi. Sampai akhirnya kami keluar dari ruangan itu sekitar setengah jam kemudian. Saat kami keluar,
salah seorang suster yang biasanya mengurusiku kebetulan berjumpa dengan kami.

“Dek Ayra sebentar lagi terapi ya, lima menit lagi. Silahkan tunggu di sana.”dia menunjuk kursi yang tadi
kami duduki.

“Itu terjadi padamu, Ra? Aku harap kamu bisa bertemu dengannya lagi.”

Ya, aku juga berharap begitu, Pi.

“Nona Ayra Putri Syah? Silahkan masuk.”

Namaku dipanggil, membuat mama dan papa bangkit. Kali ini papa yang mendorong kursi rodaku masuk
ke dalam ruangan. Ruangan seba putih. Ada ranjang yang berisi peralatan canggih, dan alat-alat yang
tidak kuketahui fungsinya. Aku belum pernah melihat alat ini sebelumnya.

“Kalau anda rajin terapi, saya yakin anda pasti akan bisa berjalan normal kembali.”samar-samar
terdengar suara seseorang berbicara dari balik tirai yang ada di sudut. “Tidak perlu murung begitu.
Bukankah seharusnya anda senang? Perkembangan anda sudah termasuk lumayan kok.”

“Kalau begitu kami izin. Mari.”

Ada tiga orang keluar dari tirau itu, aku bisa melihat seseorang berpakain jas Dokter, jas hitam formal
dan seseorang dikursi roda yang didorong oleh lelaki berjas hitam itu. Bola mataku membulat sempurna.

Biru.

Lelaki berjas hitam mendorong lelaki di kursi roda itu keluar dari ruang terapi, dan mataku tak mampu
berkedip sedikitpun. Terdengar suara langkah, lalu sang dokter terkekeh pelan dan menepuk bahuku
pelan, membuatku tersadar.

“Ah, sepertinya kamu tertarik dengan lelaki tadi.”

Aku menggeleng. “Tidak. Hanya saja, dia punya warna mata yang jarang,”ucapku. Aku bahkan sempat
mendengar helaan napas dari belakang sana, entah papa atau mama yang melakukannya.

“Ya, memang mata biru sangat jarang di Indonesia, benarkan?”sang Dokter terkekeh. “Lelaki tadi baru
bangun dari komanya sekitar seminggu lalu. Mukjizat memang ada, sebab peluang hidupnya sangat
rendah setelah mengalami koma selama dua setengah tahun.”terang sang Dokter.

“Ya, dia memang beruntung.”balas papa.


Aku memberanikan diri bertanya. “Apa namanya, Rian/”

Sang Dokter mengerjap, lntas bertanya. “Darimana anda tahu?”

……………………………………………………………….

Sejak kemarin aku tidak bisa berhenti berpikir. Aku terus saja teringat sosok pemuda yang kulihat di
ruang terapi kemarin. Aku tidak mungkin salah mengenali orang, terlebih orang itu hampir muncul terus
menerus selama ini dalam waktu tertentu.

Kemarin, setelah kejadian di ruangan terapi, papa dan mama tidak berkata apa-apa. Mereka bungkam,
wajah mereka lebih pucat disbanding aku. Itu membuatku merasa lega karena sempat mengungkapkan
apa yang ada dipikiranku sebelum kami bertemu seperti ini. Mungkin dengan begini, mereka akan
percaya.

Tadi aku keliling rumah sakit sendirian, begitu mama dan papa kembali ke kantor. Tapi aku sama sekali
tidak bisa mencari keberadaan Rian, sebab saat ini aku masih menggunakan kursi roda dan aku hanya
bisa mengililingi lantai dasar.

Tadi aku menaiki lift, tapi tidak diperbolehkan oleh seorang suster. Katanya lantai atas hanya unutk
orang-orang tertentu saja. Dan aku tidak bisa membantah. Dengan berat hati, aku mengikuti suster
untuk beristirahat agar terapiku bisa dilanjutkan lagi besok.

“Gupi!”pekikku saat melihat Gupi datang membawa snack, permen dan makanan kecil. “Sini, sini. Aku
mau cerita.”

Gupi terkekeh. “Apaan sih, kok seneng banget kayaknya?”

“Pi, kamu inget nggak tentang pemuda yang kuceritakan kemarin?”

“Tentu saja, kamu baru menceritakannya lusa kemarin. Tidak mungkin aku lupa.”ujarnya. “Kenapa
memangnya?”tanyanya sambil meminum jus yang dibawanya.

“Aku bertemu dengannya kemarin!”

Gupi tersedak, lalu matanya melotot kaget. “Serius?”

“Dua rius, Pi! Wajahnya, warna bola matanya dan bahkan namanya sama percis!”

Gupi mengerjapkan matanya. “Keretanya muncul lagi? Terus, dimana kemarin kamu bertemu
dengannya? Setahuku kamu di rumah sakit terus deh.” Gupi melirik jendela dengan sedikit curiga.

“Di ruang terapi. Dia baru bangun dari komanya selama dua setengah tahun, seminggu yang
lalu,”balasku. “Pertama kalinya aku melihatnya saat malam tahun baru, semester dua kelas satu!
Waktunya juga pas banget, Pi”

“Nah, ini dia jalan-jalan yang kumaksud saat koma itu!”Gupi menjentikkan jarinya semanyat. “Dia pasti
masih di sini, kamarnya dimana, kira-kira?”
Aku mengedikkan bahuku. “Entahlah.”

“Siapa nama pemuda itu?”Tanya Gupi nampak ingin tahu. “Aku akan mencarinya sampai ketemu
meskipun harus keliling rumah sakit ini!”

“Rian.”

“Ra, boleh pinjem laptopmu tidak?”Aku menyerngit bingung, namun kuiyakan juga. entah apa yang
dilakukannya sampai-sampai dia bisa menyambungkan koneksi wi-fi rumah sakit ke laptopku.

“Oh! Pantas saja aku ngerasa familiar dengan namanya,”Gupi memperlihatkan monitor laptop padaku.
“Rian itu anak dari keluarga yang Berjaya banget, kecelakaan yang menimpa Rian sempat heboh.”

“Kecelakaan?”

“Uhm, oh. Kamu tahukan jalur kereta api dekat rumahmu?”

Aku berpikir sejenak. “Aku ingat. Tapi jalut itu ditutup, dan pengangkatan relnya sudah dilakukan karena
sudah lama tidak ada kereta yang lewat,”balasku. “Kenapa emangnya?”

“Rian kecelakaan dijalur yang sama,”Gupi menerangkan sambil menatap monitor laptop. “Tragedi itu
terjadi tanggal 31 desember, ah, benar Ra, malam tahun baru itu.”Gupi menambahkan. “Jadi saat itu dia
dan kelaurganya nyewa selurug gerbong gitu buat acara tahun baru, tapi kereta itu malah dibajak, terus
entah gimana, dia terjatuh dari kereta api.”

Aku menatap Gupi yang tiba-tiba nampak horror menatapku.

“Ra, asli ini ngeri banget,”Gupi ,eremas selimutku. “Pantas aja dia gentayangan bersama kereta
api!”pekiknya

“Pi!tegurku.

“Maaf, maaf. Tapi Ra, aku heran, mengapa kamu bisa sampai naik kereta apinya?”

Aku menatap Gupi melotot. “Kamu nggak percaya sama aku?”

“A-aku percaya kok, aku pernah lihat kunci itu dilehermu.”

Gupi bangkit dari duduknya setelah mematikan laptopku. “Kamu tidur saja di sini, biar aku yang nyari
dimana kamarnya, oke?”

……………………………………………………………….

Gupi mendorong kuris rodaku keluar kamar. Kalau dia tak meminta dengan memelas tadi kepada papa,
mungkin sekarang aku masih tiduran di ranjang dan menebak-nebak apa yang membuat Gupi memekik
senang di telepon tadi.

“Pi, kita mau kemana?”tanyaku saat melihat kami melewati taman rumah sakit. Gupi hanya memasang
senyuma tipis, sebelum akhirnya berbelok ke kiri.
“Taman,”balasnya singkat, dengan senyum misterius di bibirnya.

“Ngapain ke taman malam-malam?”Aku tidak tahu bahwa berada dalam situasi ini bersama Gupi
mebuatku sedikit ngeri juga.

Beberapa orang masih lalu lalang ditemani suster yang membantu mendorong tiang infus. Tiang infusku
sendiri di dorong oleh Gupi tanpa beban.

“Aduh, Ra,”Omongannya membuatku memiringkan setengah kepalaku guna melihat keadaannya. Gupi
meraba jaketnya, dan wajah paniknya secara tak sadar membuatku ikut panik. “Tadi kamu liat
handphoneku?’

Aku mencoba mengingat kejadian sebelum Gupi membantuku naik kersi roda, hingga aku teingat di
mana benda itu berada. “Oh, tadi kamu taro di atas meja dekat televisi. Kukira kamu mau charge
sebelum pulang.”

“Yaudah, aku ambil dulu ya, Ra,”ucapannya itu membuatku melotot. “Tenang dulu, tamannya ramai
kok.”

Gupi tidak berbohong saat mengatakan bahwa taman rumah sakit ramai, bahkan di jam seperti ini.
Masih ada beberapa pasien yang ikut menikmati angin malam. Ada sesuatu aneh yang mengganjal
pikiranku. Setarus persen bukan perasaan kesepian, cemburu atau marah. Malah itu membuatku sangat
bingung.

Ada sesuatu yang membuatku terus meratapi langit. Meski tahu kereta api itu tidak akan datang lagi.
Dan perasaan itu berubah menjadi kepanikan yang luar biasa. Pemuda itu berada di seberangku.

“R-rian!”

Pemuda berjas berhenti mendorong, dan Rian menolehkan kepalanya ke araku. Entah darimana
keberanian itu datang, sebab bukan hanya Rian yang menoleh, pemuda berjas itu juga ikut menoleh ke
arahku.

Pemuda berjas tampak bercakap sebentar dengan Rian, dan kulihat Rian menatapku sejenak sebelum
menggelengkan kepalanya. Baru saja aku berusaha memutar roda dengan salah satu tanganku, seruan
dari Gupi membuat semuanya terhenti begitu saja.

“AYRA!”

“…Ayah dan ibumu menyuruhku membawamu kembali ke kamar.”

“Kenapa?”

Gupi menarik napas sebelum memutusknan unutk menjawab. “Tantemu baru saja meninggal.”

…………………………………………………………
Bersama sekumpulan orang berbaju hitam tanda duka, gerimis menyertai seolah langit turut berduka
meyaksikan hal yang terjadi. Aroma bunga kamboja tercium, gundukan tanah yang masih basah, batu
nisan yang mengikur namanya, menambah kesedihan dan kenyataan bahwa tante Nirmala telah tiada.

Di atas kursi roda, aku yang dipayungi oleh mama, sama sekali tak bisa berkata apapun. Bahkan saat
anak kami melihat anak tante Nirmala menjerit dan menangisi kepergiannya dengan tak rela. Aku
mengerjapkan mataku, entah mengapa mataku terasa panas. Anaknya itu bernama Tiara, umurnya
sama denganku, dan kudengar dia akan bersekolah di SMA Permata, sama sepertiku. Yang kudengar dari
kejadian kemarin, malam saat aku terjatuh di balkon, kondisi tante Nirmala mengalami penurunan
drastic. Aku tidak tahu persis apa penyakitnya, karena baik mama atau papa tidak memberitahuku,
tetapi dari yang kutangkap semua itu berhubungan dengan pemerosotan produksi sel darah merah.

“Pa! Kenapa mama masuk di dalam sana, Pa! Kenapa?”

Paman hanya bisa memeluk putrinya erat, putrinya yang masih memberontak dalam pelukan ayahnya,
membuat paman tak bisa menahan kesedihan yang sama besarnya. “Kita ikhlaskan mama, yah? Biar
mama bahagia di sana.”

Aku menunduk, merenungi setiap hal yang terjadi padaku selama seminggu ini.

“…Ayra, ayo kembali ke rumah sakit,”ajak mama sambil mengelus rambutku lembut. “Tinggal beberapa
hari lagi.”bisik mama dengan pelan.

Aku mengangguk. Sebenarnya aku tak tega meninggalkan paman dan Tiara di sani, memang masih ada
beberapa keluarga lainnya yang masih mencoba menenangkan mereka, tapi tetap saja aku merasa tak
tega.

“Kamu nggak usah mikir, kematian memang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia. Itu hukum alam,
tidak ada yang bisa melawannya,”gumam mama saat membantuku berbaring di ranjangku. “…Ayra
cepat sembuh ya?”

“Mama ada urusan, nanti mama telepon,”ujarnya. “Nanti mas Asep jemput bi Nop biar ada yang
anatarin kamu lauk. Mama pergi sebentar saja.”

Aku mengangguk. “Iya, ma.”

“Kalau Gupi datang bilang ya, biar mama beliin sekalian makan malamnya.”

Lagi-lagi aku mengangguk.

Setelah mama pergi, aku menarik napas panjang dan memutuskan unutk berbaring. Ini sangat tidak
menyenangkan, perasaanku benr-benar tidak enak dan rasanya aku ingin segera keluar dari rumah sakit.

“Ayra,”suara Gupii terdengar dari luar pintu. “Aku masuk ya?”

Aku mendiamkannya, tapi Gupi tetaplah Gupi, dia masuk setelah meminta izin meskipun aku sama sekali
tidak membalas sahutannya.

“Aki turut berduka ya, Ra,”ucapnya penuh penyesalan.


Aku pun bangkit dari posisi tiduran, berusaha duduk dikursi roda yang letaknya di samping ranjangku.
Gupi yang melihat itu pun buru-buru membantuku dengan bingung.

“Ra. Istirahat dulu, kamu kan tidak tidur kemarin.”

Aku memperlihatkan punggung tanganku yang kini terbebas dari jarum infus. “Cepat sebelum tiang infus
itu menganggu lagi.”

“Err, tapi kita mau kemana?”Aku mengedikkan bahu, membuat Gupi menghela napas lelah, namun dia
tetap mendorong kursi rodaku keluar dari kamar.

“Kamu nggak papa, Ra?”

“Aku tidak tahu, Pi. Aku merasa bersalah sebab yang pasti, aku merasa ada sesuatu yang salah.”

“Ini pertama kalinya kamu tidak menjawab dengan kata ‘gakpapa’.”

“Apa anda nona Ayra?”Aku menolehkan kepalaku saat mendengar suara lelaki.

“Kurasa kamu harus jawab ‘iya’, Ra.”balas Gupi gugup.

Aku mengerutkan kening bingung, namun akhirnya aku berbalik ke depan untuk mengangguk. Saai itu
pula pandanganku kembali terang saat melihat seorang pria datang mendorong kursi roda yang diduduki
oleh Rian.

“Nih aku pinjamkan handphone ku, please jaga dia baik-baik. Sandi belum kuganti, kalau udah selesai
telepon aja kenomormu, oke?”bisik Gupi. “Handphone mu ada di kamar kan?”Aku mengangguk kaku.
“Oke. Bye, Ra.”

Hening. Hening sekali di sini.

Ingin menghilngkan kecanggungan ini, mengkin sebaiknya aku berlagak tidak mengenalnya dan meminta
maaf atas kejadian kemarin lusa. Lagipula aku akan segera keluar dari rumah sakit. Tapi aku ingin
berteman dengannya?

Semoga dia ramah. Semoga.

“Uhm, namaku Ayra, dari-“

“Ayra Putri Syah,”potongnya yang membuatku terpaku diam.

Astaga. Aku bukan hanya kaget karena mendengar suaranya, tapi juga kata yang diucapkannya. Dia ingat
aku?!

“Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?”

Kalimat itu cukup membuat segalanya jatuh. Kenyataannya, dia tak mengingatku. Dan lagi, apa yang
harus kujawab? Secara logika, kami tidak pernah bertemu. Secara spiritual-tunggu, dia bukan
bergentayangan dan memangnya siapa yang akan percaya kata-kataku?

“Tidak pernah.”

“Anda yakin? Saya merasa penah bertemu dengan anda.”


“Dalam mimpi anda, mungkin.”Aku mengikuti cara bicaranya yang formal.

“Lalu, darimana anda tahu nama saya?”

Aku mengerutkan keningku. “Apa anda tahu kalau profil anda tersebar luas diinternet?”tanyaku.

“Apa kamu teman adikku?”tanyanya lagi.

Adik? Adik apa?

Melihatku kebingungan, Rian menatapku curiga. “Kamu bilang melihat profilku diinternet? Kok tidak
tahu kalau aku punya adik?”

Aku mengerjap panic, mencoba memikirkan jawaban terbaik untuk menjawab, namun aku tak
menemukannya.

“Aku tidak percaya kalau kamu melihat profilku dari internet, aku yakin kita pernah bertemu
sebelumnya, kan?”

Aku menggigit pipi dalamku. “Di dalam kereta api,”jawabku dengan suara kecil.

Rian mengangkat sebelah alisnya, namun tetap tersenyum. “Pertama kalinya aku naik kereta api, kereta
itu dibajak, dan itu juga menjadi terakhir aku menaikinya. Kamu sedang mengarang?”

“Aku tidak mengarang!”bantahku.

Kami terdiam beberapa saat ssebelum akhirnya pemuda itu mengulurkan tangan kanannya ke arahku,
yangnampak seolah ingin bersalaman membuatku mengangkat alis sambil menyerahkan tanganku ke
arahnya dengan ragu.

“Kalau begitu, salam kenal, Ayra.”

Karena tangan kami bersentuhan, ini memang bukan pertama kalinya. Tapi kali ini, rasanya tas sedingin
hari itu. Itu mebuatku tanpa sadar tersenyum tipis.

Permintaanku terkabul.

“Salam kenal juga, Rian.”


BIOGRAFI PENULIS

Nama : Akbar Rahmat


Tanggal Lahir : 15 Februari 2004
Hobi : Bersih-bersih rumah

Nama : Faiz Athallah Sasono


Tanggal Lahir : 26 juni 2004
Hobi : Jalan-jalan

Nama : Febrio Rama Attala


Tanggal Lahir : 08 Februari 2004
Hobi : Menonton
Nama : Jeffry
Tanggal Lahir : 28 Desember 2003
hobby : berenang

Nama : Luis vigo


Tanggal Lahir : 22 mei 2004
Hobi : memancing

Nama : M Haikal Reynaldi


Tanggal Lahir : 19 Juni 2004
Hobi : Menyapu

Nama : Najwa Dzakiyyah


Tanggal Lahir : 3 April 2004
Hobi: Menonton film
Nama: novita dewi
Tanggal Lahir:TPI, 21 november 2003
hobi : memasak

Nama : Praja Laksamana Bahar


Tanggal lahir : 03 Desember 2004
Hobi : Membaca

Nama : Sarima Rosa


Tanggal lahir : 29 Maret 2004
Hobi : Membaca

Anda mungkin juga menyukai