Anda di halaman 1dari 4

*Tan Nu’man Bey Qomarullah

Santri kelas III Reguler A

Asal Lubuk Linggau, Sumatera selatan

LINGKARAN MANUSIA
Buat: M. Kemal Rahman

Air titik-titik menetes dari atas sana, bahkan akar-akar sebesar batang pohon nyiur mencuat dari langit-
langit ruangan ini, yang kumuh tak terurus sedikit pun. Semacam dibentuk oleh proses alam.

“hah...duduklah dulu, nanti saja pulangnya!” anak itu kembali duduk dalam nyala lilin yang mengebu di
seberang api lilin tampak yang tidak jauh darinya seorang kakek kurus ceking, tulang-tulang nya pun
agak terbentuk dari luar kulit nya yang sudah lama sekali beradu nasib dengan duniawi.

Lama anak itu tersuntuk di tengah keadaan ini, pertanyaan beribu cabang pasti menggeliat dalam
otaknya—dimana aku, siap kakek ini, dan hal lain yang berbenturan dengan logika akalnya.

“oh...yo wes sana pulang, mungkin dah malem.”ucapnya tertatrih-tatih.

Raut wajah kaget anak itu tampak jelas, ia heran, padahal sudah lama ia termangu di tempat asing ini—
dapat ia menghitung hari berkat jam berwarna hitam hasil ghasab di madrasah dahulu.

“alam di sana sungguhlah beda nak.”

***

Asap putih mengepul di area sempit nan lembab, sesekali tercium bau pesing pekat kemudian hilang.
Asap itu kembali berhembus setelah diluapkan oleh semua emosi dari hari-hari penuh pendapatan
masalah yang mungkin merumitkan diri sendiri, dan akan terus begitu. Atau hanya sesekali mencoba.

Kepala sekaligus kaki tangan lingkaran manusia tersebut berdiri sambil lalu berucap, “hey kawan-kawan
aku telah bosan dengan perkara beginian, marilah cari perkara lain yang lebih seru!” pidato singkatnya
membuat semangat teman-teman lingkaran manusia.

“mulai dari sabu misalnya atau anggur orang tua yang penuh kasih sayang, heh” kawan-kawan itu
terkekeh, ini usulan yang bagus. Sedangkan sang orator pidato singkat tadi tak senang air mukanya,
“bukan itu maksudku kawan yang budiman, kita bisa mulai menghiasi pondok tercinta ini dangan belajar
hal baru berbahasa arab-lah atau yang lain, untuk menjadi insan yang muthi’ di pondok.” Tampak berkas
cahaya keyakinan di matanya, semua terdiam, tanda tak setuju.

“hah apakah kau akan terus memelihara buku-buku tebal yang akan kau bawa kemana-mana, kubur saja
dalam-dalam perkataanmu,” sambung temannya yang berperawakan mantan napi.

“payah banget sih!” celetuk salah satu.


Icok pasrah, ia hanya bisa melenggang keluar lalu pergi ke hammam lainnya, tuk berkumur dari segala
macam aroma dosa. Bau rokok.

Tak lama ia mendengar teriakan keras dari tempat pesta raya, “hem...antum ta’alaww.”

***

Angin bersepoi, menenangkan jiwa yang hampir terjerumus ke luar jalu mainnya, ya mereka, teman
lingkaran manusia ketahuan oleh ustad yang kebetulan ingin berbuang hajat, mereka menggunakan
barang terlarang dan iqab-nya pasti sangat amat berat. Diusir.

Aku hanya bisa bersyukur pada tuhan yang telah mengatur semua ini, ku anggap kejadian itu teguran
dari-Nya.

Sejenak aku berpikir, apa yang patut ku kerjakan setelah ini, menggunakan barang itu, sudahlah aku
sudah jera, aku awali saja kehidupan baru dan kegiatan baru yang lebih menyenangkan, akan ku ikuti
firqah-firqah bahasa atau pencak silat atau sastra mungkin yang bisa dihabiskan untuk kekosongan
waktuku.

Dimulai dari firqah bahasa tak apa bukan—jika memang tak cocok atau membosankan, bisa pula aku
minggat kelompok yang lain—lagi pula aku pernah mendengar dari temanku atau ustad, bahwa pondok
ini dikenal dengan kemahiran bahasanya. Arab maupun inggris.

Seperti kereta api yang melaju kencang, hatiku tak sabaran tuk menuju tempat di mana para santri
belajar bahasa arab dengan para pengurus-pengurus kelompok.

***

“cok, dipanggil ustad di diwan!” seru temanku yang sepertinya habis pergi ke kantin sambil meletakkan
tho’am di atas lemari besarnya. Aku pun bersiap tuk pergi ke sana, ku lirik makanan yang menumpuk di
atas lemarinya—aku jahil, ku copet makanannya itu lalu pergi meninggalkan ia sendiri di kamar.

“syukron ala-l-akhbari wa toa’muhu, na’am!!!”

Kini mungkin aku lebih lancar berbicara bahasa arab, bagi ku hanya berbilang bulan saja tuk bisa lancar
seperti sekarang, itu mudah.

Sembari menggendong buku yang hanya berisi notebook, pena dan kamus yan lumayan besar, tidak
seperti yang dikatakan kawan lingkaran manusia, buku-buku ini tidaklah terlalu berat. Omong kosong
belaka.

Pintu kantor berdenyit pelan, mungkin engselnya yang tua mengakibatkan bunyi, walaupun sebenarnya
pintunya yang mengilap terkena cahaya matahari malam hari itu.

“ohh...selamat cok, kamu menang lomba online kemarin, kau sangat hebat, ka...kau juara pertama!”
teriak ustad itu menyambut senang , kemudian kami tertawa bersama, kala aku memasuki kantor
bahasa.” Alhamdulillah, syukron ustad bairi ini semua berkat didikannya antum.” Akhirny adapat pula
aku memenangkan sebuah lomba, nasional lagi, yang sangat ku impikan. “afwan...” jawabnya sambil lalu
meninggalkan ia sendirian.
Tunggu apa itu, ku dekati lalu amati dengan amat jelas, sontak aku terkejut melihat foto diriku
terpampang gagah di majalah dinding hijau ini, berjubah putih dengan serban hijau menggelantung di
pucuk kepalaku.

‘Pondok Al-Muniir Juara Nasional’

Wajah sumringah menghiasi diriku, embun tak lagi berlama-lama di daun hijau pagi hari, melainkan
menggenang di kantung mata dan kemudian mulai menetes satu-dua. Aku terharu.

***

Tak ada lagi icok yang dulu, yang hanya meminta uang dan disia-siakannya hanya untuk itu, ya itu, kau
pasti paham bukan.

Lantas ia bergegas keluar diwan, karena yang maha kuasa telah mengabulkan doanya, segera ia melesat
ke kamarnya kemudian berusaha mengeluarkan uang dari tempat persembunyian.

Setelah agak lama ia menyusuri lemarinya, sekarang uang itu berada di tanganya—suatu kala Icok
pernah bernazar apabila ia memenangkan pada lomba apapun, pastilah ia akan di sumbangkannya uang
tabungan yang telah ia kumpulkan hampir satu tahun itu—setelah diamsukkan uang itu di kotak amal.
Teringatlah ia kepada orang tuanya yang telah lama tak dikabarinya, segera Icok mendatangi ustadz Bairi
tuk meminjam Handphone guna menelepon.

Sungguh terlalu sangat bahagianya, sampai terlupa sesuatu.

“Assalamu’alaikum Ustadz Bairi...” dari dalam ustadz berbadan gemuk itu, tak terdengar jawaban
apapun.

“Assalamu’alaikum Ustadz Bairi...” Icok coba tuk kedua kalinya, masih tak ada jawaban, ia bernapas lebih
dalam, mungkin tak terdengar suara halusnya itu.

“Assalamu’alaikum Ustadz Bairi...” penuh lantaang ia coba untuk terakhir kalinya.

“la yuujad ya akhi.” Akhirnya dari dalam terdengar jawaban pula.

Namun wajah sumringah seorang pelanggar terdahulu itu mendadak lemas, kata itu sungguh menghisap
oksigen disekitarnya, ia tahu arti kata itu.

‘ Tidak Ada’

Kemudian ingatanya muncul, ketika orang tuanya dibaringkan di liang dengan kedalaman 2 meter.
Tempat pembaringan terakhir.

“Syukron Ustadz”

Profil Penulis:

Penulis lahir di D.I Yogyakarta, 24 maret 2008. Berdomisili di Lubuk linggau, Sumatera selatan. Walau mempunyai darah jawa-
palembang ia harus melewati kepala sampai kaki pulau jawa tuk menuntut ilmu di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan
Sumenep Madura. Alumni SDIT An-nida kota Lubuk Linggau Dan TK R.A Ummi Kota Lubuk Linggau.penulis bisa dihubungi lewat
IG: @numan_wnm188 dan emailnya: numanbeyq@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai