Anda di halaman 1dari 5

Suasana yang sunyi beserta bau buku-buku tua di sekelilingnya memberikan perasaan

kantuk kepada seorang pemuda berkacamata bulat yang tengah bersiaga di area
pelayanan.

Di atas meja area pelayanan itu, pemuda berambut hitam keriting tersebut melipat
kedua tangannya sebagai bantal untuk menyandarkan wajah.

Ia tidak sedang terlelap, tetapi rasa bosannya membuatnya ingin memejamkan mata dan
tidur di waktu yang kosong ini. Tidak ada siapa pun yang akan mengganggu tidurnya
andai kata ia tertidur, tetapi ia bersikeras untuk tetap terjaga dengan membuat
otaknya banyak berpikir.

Meskipun ia tahu bahwa perpustakaan kini menjadi tempat yang sepi semenjak
teknologi berkembang, ia tidak mau meninggalkan perpustakaan tanpa penjagaan.

Ketika ia yakin bahwa ia akan terlelap meski sudah membuat otaknya sibuk dengan
pemikiran acak, pemuda tersebut bangkit dari tempatnya dan mulai berkeliling di
area perpustakaan.

Rak-rak besar yang dipenuhi dengan buku-buku berjejer tersebar di sekelilingnya,


bagaikan sebuah labirin yang tak memiliki batas. Ia berjalan di antaranya tanpa
kehilangan arah hendak ke mana untuk mencari buku yang dapat menarik minatnya.

Saat mengambil suatu buku, pandangannya tertuju pada dunia luar di balik jendela.
Seekor burung yang sedang hinggap di atas ranting pohon dapat terlihat tidak jauh
dari sana.

Burung lain kemudian sampai ke ranting itu dan mendekatinya. Kedua burung tersebut
tampak seperti sepasang kekasih, dan itu mengingatkan si pemuda tadi dengan
keadaannya sekarang.

“Ini sudah akhir tahun ketigaku, ya ….”

Pemuda itu menjadi sedikit diam dalam pemikirannya. Ia merenung tentang bagaimana
kehidupannya berjalan sejauh ini.

“Rasanya tidak ada kenangan berharga dalam masa sekolahku. Aku selalu berjaga di
perpustakaan ini mulai awal masuk hingga aku tidak memiliki seorang pun teman
selain buku.”

Pandangannya tertuju ke dunia luar di balik jendela. Sepasang burung tadi kini
mengepakkan sayap mereka bersama entah ke mana.

“... Kekasih apalagi. Aku tidak memilikinya. Kalau dipikir-pikir, hidupku benar
hampa.”

Kemudian pandangannya jatuh ke buku yang sebelumnya ia pungut dari rak. Untuk suatu
alasan, ia tiba-tiba tertawa dengan apa yang ia pikirkan sekarang.

“Yah, itu jika di sudut pandang orang normal. Bagiku, kehidupanku ini menyenangkan
dengan menguasai seluruh buku di perpustakaan ini. Temanku adalah buku, kekasihku
juga buku. Aku tidak memerlukan siapa pun selama ada buku di sisiku.”

Beres mengoceh, pemuda tersebut lanjut membawa buku yang ditemukannya itu kembali
ke area pelayanan untuk dibaca.

Di perjalanannya kembali, suara sebuah buku yang tiba-tiba terjatuh dari raknya
terdengar. Hal tersebut lantas menarik perhatiannya untuk memeriksa.
“…?”

Ia berbalik dan memungut buku yang terjatuh itu. Ia sedikit kebingungan bagaimana
buku itu bisa terjatuh dari raknya padahal tidak ada angin atau apa pun.

Saat ia hendak memeriksa judulnya, buku tersebut ternyata tidak memilikinya. Ia


dengan penasaran mencoba melihat isinya, tetapi ia tidak menemukan apa pun selain
kertas tua yang kosong.

“Aneh. Memangnya ada buku seperti ini di perpustakaan, ya?”

Meskipun begitu, ia bertekad untuk mengembalikan buku tersebut ke rak asalnya


karena memang begitulah tugasnya sebagai penjaga perpustakaan.

Ia mengambil tangga pustakawan terdekat lalu menaikinya hingga tiba di susunan rak
paling atas. Pemuda itu mengembalikan buku tersebut ke tempatnya sebelum beranjak
pergi dari sana.

Setelah semua itu, ia sampai di area pelayanan dan mulai membaca buku yang ia ambil
di awal.

***

Sepulang sekolah, pemuda tadi berjalan keluar meninggalkan bangunan sekolah menuju
pagar area sekolahan. Dari kejauhan, ia sudah melihat mobil yang terparkir untuk
mengantarnya pulang.

Pemuda itu kemudian masuk disusul oleh supirnya yang sebelumnya membukakan pintu
untuknya masuk. Mobil itu pun mulai berjalan pulang menuju kediamannya.

“Bagaimana sekolah Anda hari ini, Tuan Taslim?” tanya si supir.

“Seperti biasa, tidak ada hal yang spesial.” Pemuda tadi menjawab dengan jawaban
yang selalu ia gunakan ketika ditanya tentang perihal yang sama.

Taslim adalah anak seorang pengusaha sukses. Meski berpenampilan culun, jika
diperhatikan dengan baik ia akan terlihat mengeluarkan aura layaknya anak orang
kaya lainnya.

Sekolah yang ia tempati juga bukan sekolah main-main. Itu adalah sekolah elit yang
tidak bisa dimasuki sembarang orang kecuali memiliki keistimewaan tertentu,
terserah dalam bidang apa.

Hal tersebut juga bisa menjelaskan mengapa perpustakaan di sana begitu luas dan
memiliki banyak buku-buku terkenal maupun yang jarang diketahui.

“Kalau diingat-ingat, sebentar lagi Anda akan lulus, 'kan?” tanya supir tadi sekali
lagi.

“Ya …, kau benar,” jawab Taslim sambil memandang ke luar jendela dengan pandangan
bosan.

“Apa Anda memiliki rancangan tertentu setelah lulus ini, Tuan Taslim?”

“Maksudmu?” Tidak terlalu mengerti dengan ucapan supirnya, Taslim pun langsung
bertanya agar ia bisa memberikan contoh.

“Maksud saya seperti, kehidupan seperti apa yang ingin Anda lalui, atau siapa
pasangan yang ingin Anda nikahi nanti. Apa Anda sudah menentukan sesuatu semacam
itu?”

“Oh, ternyata itu.” Barulah Taslim memahaminya. “Untuk sekarang, aku hanya ingin
mengambil jurusan sastra dan sejarah di universitas. Terserah mau universitas yang
mana, biar keluargaku saja yang menentukan nanti.”

Mendengar itu, supir tiba-tiba tersenyum seolah-olah menganggap Taslim tidak pernah
berubah. “Anda benar-benar menyukai sesuatu yang semacam itu, ya.”

“Apa kau punya masalah dengan itu?” Taslim menanggapinya dengan suara yang
terdengar sedikit tidak senang.

“T-Tidak ….” Supirnya pun tidak berani lagi membuka percakapan dan mengantarkannya
dalam diam hingga tiba di kediaman.

***

Sesampainya di rumah besarnya, Taslim langsung beranjak ke kamarnya dan menekan


tombol saklar lampu di dekat pintunya.

Kamarnya yang gelap seketika bersinar terang dengan cahaya kuning dari lampu neon.
Kamar itu luas dengan banyak perabotan mewah. Ada beberapa rak buku di sana yang
dipenuhi oleh berbagai buku.

Taslim meletakkan tasnya di tempat, melonggarkan sedikit dasi seragamnya, lalu


menjatuhkan diri di atas pulau kapuk.

Sebuah helaan napas keluar dari mulutnya. Ia memandangi langit-langit dengan


pikiran yang mendalam.

“Rancangan hidup, ya …. Memang benar, aku tidak bisa hidup terus seperti ini.
Sesuatu harus berubah seiring berjalannya waktu.”

Taslim kemudian bangkit dan memandang ke arah kalender. Di situ ada sebuah tanggal
yang terlingkar dengan spidol berwarna merah, menyatakan bahwa tanggal tersebut
adalah waktu ujian semester akhir di sekolahnya.

“Untuk sekarang, aku harus mempersiapkan diri supaya bisa menjadi nomor 1 lagi
tahun ini.”

Dia pun mulai beranjak menuju tasnya untuk mengambil buku catatan. Namun sebelum
itu Taslim mengganti seragamnya dengan pakaian rumahan.

Setelah semua, ia membawa tasnya itu ke atas meja. Ia merogoh ke dalam untuk
mengambil catatan di sana, namun ia juga menemukan sesuatu yang lain.

Saat menariknya keluar, Taslim menemukan sebuah buku yang ia rasa pernah ia lihat
belum lama ini.

“Buku ini, 'kan ….”

Sebuah buku dengan sampul kulit yang tampak cukup tua. Tidak ada judul padanya, dan
saat ia menemukannya di perpustakaan juga buku tersebut tidak memiliki tulisan.

“Mengapa buku ini ada di tasku? Bukankah aku sudah mengembalikannya ke rak? Aku
tidak ingat pernah mengambilnya atau memasukkannya ke dalam tas. Apa seseorang
meletakkannya saat aku tidak melihat?”

Berpikir ada sesuatu yang aneh, Taslim pun membawa buku itu sambil berjalan. Ia
membuka isinya dan melihat daftar halaman yang sebelumnya tidak ada.

“Terserahlah, mari kita lihat. Ada Rapunzel, Pangeran Kodok dan Putri Kerajaan,
Aurora si Putri Tidur …. Huh? Bukankah ini semua cerita dongeng? Apa buku ini
kumpulan cerita-cerita dongeng? Rasanya benar-benar nostalgia ….”

Taslim mulai menelusuri satu persatu daftar halaman di buku itu untuk melihat judul
apa saja yang ada di sana.

“Bawang Putih dan Bawang Merah, Roro Jonggrang - Perintah 1000 Candi Dalam Satu
Malam, Asal-Usul Danau Toba …. Tunggu, apa-apaan ini? Kolaborasi?”

Mengesampingkan hal janggal yang ia lihat, Taslim terus melihat daftar halamannya
dengan rasa penasaran tinggi.

“Ada ratusan dongeng dari berbagai belahan dunia di buku ini. Tidak hanya dongeng,
beberapa juga ada cerita tokoh sejarah kerajaan, kisah mitos, dan semacamnya. Ini
cukup menarik.”

Sambil membawa buku itu di tangannya, Taslim berjalan ke lemari tempat ia menyimpan
cemilan dan membawa keluar beberapa cemilan.

Taslim pergi ke sofa yang ada di pojokan kamarnya dan mulai membaca di sana
ditemani sekumpulan cemilan yang ia bawa.

Satu-persatu halaman ia balik, hingga tanpa sadar, jam sudah menunjukkan pukul
larut malam. Hari sudah menjadi gelap dan Taslim baru menyadarinya setelah perutnya
memberi sinyal bahwa ia sudah sangat kelaparan.

“Ugh …. Terakhir aku makan kalau tidak salah adalah makan siang di kantin tadi.
Dari tadi aku hanya memakan cemilan. Sepertinya aku terlalu fokus membaca sampai
tidak mendengar panggilan para pelayan untuk turun dan makan malam.”

Taslim beranjak dari sofanya dan meninggalkan buku yang ia baca di atas meja bundar
kaca. Ia berjalan menuju pintu kamar dan menemukan ‘jatah makan malam’ yang
disediakan untuknya pada meja sebelah pintu.

Taslim memutuskan menyantap itu dengan beranjak ke balkon. Di bawah langit malam,
ia menikmati makan malamnya yang sudah lama dingin.

“Kupikir aku mengerti kenapa orang-orang membenciku. Aku terlalu fokus ke buku
sampai mengabaikan sekitar bahkan keadaanku sendiri. Yah, memikirkan ini juga tidak
ada gunanya.”

Di bawah langit malam yang sunyi bintang, Taslim menikmati teh dinginnya.

Setelah menghabiskan semuanya, ia kembali ke dalam untuk mengistirahatkan diri.


Taslim membawa buku kumpulan dongeng yang ia baca sebelumnya ke ranjang dan
meletakkan itu di meja samping.

Sambil menyembunyikan dirinya ke dalam selimut, pandangan Taslim mengarah kosong ke


langit-langit.

“Pada akhirnya, aku tidak jadi belajar untuk ujian dan malah keterusan membaca buku
itu.”

Taslim mentertawakan dirinya sendiri yang membaca buku sudah seperti kecanduan
sosial media bagi orang-orang.
Setelah itu ia memejamkan matanya dan membiarkan kesadarannya secara perlahan
tertarik ke dunia mimpi.

Sampai di tahap itu, Taslim sudah tidak bisa menyadari bahwa buku kumpulan dongeng
tadi terbuka dengan sendirinya dan satu-persatu halamannya terbalik dalam kecepatan
yang luar biasa sambil mengeluarkan sinar ungu terang.

Anda mungkin juga menyukai