Anda di halaman 1dari 10

TereLiye “Bumi” 158

”Memangnya kamu paham, Ali?” celetuk Seli.

Kami menatap Seli. Ali menoleh, konsentrasinya terganggu.


”Maksudmu apa, Sel?”

”Maksudku, bukankah nilai bahasa Indonesia-mu lebih hancur


dibanding nilai matematika Ra? Tugas mengarangmu jauh lebih buruk
dibanding anak kelas empat SD, bukan? Bagaimana kamu akan tahu
maksudnya?” Seli menjawab datar, sambil nyengir lebar.

Wajah Ali terlihat sebal. Aku hampir tertawa. Ya ampun! Seli telak
sekali menyindir si biang ribut ini. Aku tidak pernah men­duga kami akan
akrab dengan Ali, si genius ini. Dulu, jangankan berteman,
memikirkannya saja sudah amit-amit. Lihatlah se­karang, Seli nyengir
tanpa dosa mengatakan kalimat itu, seolah Ali sahabat lama yang tidak
akan tersinggung.

Kami bertiga saling tatap. Wajah kami cemong, rambut awut-


awut­an, seragam berdebu, lengan lecet, badan masih terasa sakit. Aku
akhirnya tertawa pelan. Disusul Seli yang tertawa pelan sambil meringis.
Dan Ali dia batal marah. Kami sejenak tertawa lega. Kejadian barusan,
meski masih gelap penjelasannya, entah akan menuju ke mana
semuanya, telah membuat kami jadi teman baik. Teman yang saling
melindungi dan peduli.

Tiba-tiba Ali mengangkat tangannya.

Tawa kami terhenti.

”Aku tahu apa yang harus dilakukan. Kamu harus menghilang­kan


buku ini, Ra,” Ali berkata serius.

”Apa? Menghilangkannya?”

Itu tidak masuk akal. Gila. Tadi malam aku sudah menghilang­kan
novel, bangku, flashdisk, dan benda-benda lain, tidak satu pun yang
kembali. Kami bisa kehilangan satu-satunya cara untuk mem­peroleh
penjelasan kalau buku PR ini juga lenyap tak ber­bekas.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 159

”Ayo, Ra. Lakukanlah. Itulah maksud pesan Miss Selena, apa pun
yang hilang, tidak selalu lenyap seperti yang kita duga,” si genius itu
justru berkata yakin sekali.

”Bagaimana kalau jadi hilang betulan?” Seli ikut cemas.

”Tidak akan. Si tinggi kurus menyebalkan itu di aula juga bilang, Ra


tidak bisa menghilangkan sesuatu yang sudah hilang di dunia ini.” Dahi
Ali berkerut, dia tampak berpikir. ”Itu pasti ada maksudnya, bukan?
Sesuatu yang sudah hilang…. Kita tidak punya cara lain. Kita harus tahu
segera apa yang sebenarnya terjadi. Miss Selena, apa pun kondisinya, saat
ini butuh bantuan. Buku ini bisa memberikan jalan keluar.”

Aku menelan ludah. Menatap Ali yang sekarang meletakkan buku


PR matematikaku di atas meja belajar, mempersilakanku.

Baiklah, Ali benar. Aku menatap buku PR itu, mengacungkan


jemari, berseru dalam hati. Menghilanglah!

Buku PR itu lenyap.

Aku menahan napas, juga Seli di sebelahku.

Satu detik berlalu. Tidak terjadi apa pun. Dua detik, empat detik,
aku menoleh ke Ali. Bagaimana ini? Ali tetap menunggu dengan yakin.
Delapan detik. Aduh, bagaimana kalau keliru? Seli ikut menatap Ali.
Kenapa pula kami harus percaya pada genius biang kerok ini?

Suara seperti gelembung air meletus terdengar. Buku PR-ku


kembali.

Aku dan Seli berseru tertahan, seruan gembira.

”Apa kubilang.” Ali mengepalkan tangan. ”Buku PR ini pasti muncul


lagi. Miss Selena sudah membuat buku PR-mu menjadi benda dari dunia
lain. Tidak bisa dihilangkan.”

Aku menoleh ke Ali. ”Bagaimana kamu bisa yakin sekali?”

Si genius menyebalkan itu menunjuk kepalanya sambil nyengir


lebar. Maksud dia apa lagi kalau bukan: aku punya otak brilian. Baiklah,

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 160

sepertinya Ali memang pintar. Aku me­langkah men­dekati meja belajar,


menatap buku PR-ku yang kembali muncul.

Tapi itu bukan buku PR-ku. Aku sama sekali tidak mengenali­nya
lagi. Ukuran dan bentuknya memang sama persis, seperti buku PR-ku,
tapi hanya itu yang sama. Sisanya berbeda sekali. Tidak ada lagi sampul
Hello Kitty. Sampulnya berwarna gelap terbuat dari kulit, dengan gambar
bulan sabit cetak timbul.

Seperti ada sesuatu dengan gambar bulan sabit itu, bekerlap-kerlip.

Ali meloncat ke dinding kamar, menutup semua daun jendela,


menarik gorden, mematikan lampu, memastikan tidak ada lagi cahaya
yang masuk. Apa yang sedang dilakukannya?

Ali kembali ke sebelahku, menunjuk ke atas meja belajar. Gambar


bulan sabit di sampul buku PR-ku mengeluarkan sinar, terlihat indah di
kamarku yang remang.

”Ini keren sekali. Kamu yang buka, Ra,” Ali berbisik. Suaranya
terdengar antusias.

”Kenapa harus aku?” aku bertanya.

”Ladies first.” Ali nyengir lebar.

Aku melotot padanya.

”Eh, maksudku, ini jelas bukan buku PR biasa lagi, Ra. Ini benda
dari dunia lain, atau entahlah.” Ali menggaruk kepalanya, berusaha
membela diri. ”Jadi, eh, lebih baik kamu yang me­nyentuhnya. Kamu
sepertinya yang punya urusan dengan dunia lain itu.”

Seli memegang lenganku, menghentikan perdebatan. Seli


me­nunjuk buku di hadapan kami.

Buku itu bersinar semakin terang. Bulan sabitnya seolah ter­lepas


dari sampul buku. Terlihat mengambang indah. Aku me­nelan ludah

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 161

menatapnya. Seperti ada suara yang memanggilku, menyuruhku


menyentuh buku itu.

Tanganku terulur gemetar. Baiklah, aku akan melakukannya. Apa


pun yang terjadi, aku tidak sempat memikirkannya lebih baik.

Sampul buku terasa lembut di jemariku. Tidak ada yang ter­jadi.

Aku menoleh ke arah Ali.

Ali mengangguk. ”Buka saja, Ra.”

Belum sempat aku menggerakkan sampul buku, sinar dari gambar


bulan sabit merambat ke telapak tanganku, terus naik ke pergelangan
tangan, lengan, dan bahu. Aku menahan napas. Sinar itu terasa hangat,
dengan cepat menjalar ke seluruh tubuh­ku, dan terakhir tiba di wajahku.
Seluruh tubuhku terbungkus sinar dari buku. Aku menatap ke cermin
meja belajar. Wajahku terlihat cemerlang, persis seperti wajah Miss Selena
di aula tadi.

Seli yang berdiri di belakangku menahan napas. Ali menatap


semangat, seperti melihat hasil reaksi praktikum fisika yang menarik—si
genius ini benar-benar berbeda dibanding siapa pun. Rasa ingin tahunya
mengalahkan kecemasan atau ketakut­an.

Terdengar suara gelembung air meletus. Sekarang terdengar lebih


kencang dari biasanya.

Tidak ada yang hilang. Aku menatap sekitar, memeriksa. Juga tidak
ada yang datang. Itu tadi pertanda suara apa? Tetapi tiba-tiba aku
berseru tertahan. Astaga! Lihatlah. Semua di sekitar kami telah berubah.
Ini bukan kamarku, bahkan ini entah ruang­an apa. Tempat tidurnya
menggantung di dinding. Lampunya berbentuk aneh sekali, menyala
terang. Meja, kursi, semuanya berbentuk aneh. Lemari, kalau itu bisa
disebut lemari, terbenam di dinding. Seprai dan bantal dipenuhi gambar
yang ganjil. Semua terlihat berbeda.

”Kita ada di mana?” Seli ikut memeriksa sekitar, bertanya ce­mas.

Aku menggeleng tidak tahu. Cahaya yang membalut sekujur


tubuhku hilang. Buku PR di atas meja—kini meja itu terlihat aneh

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 162

se­kali—juga berhenti mengeluarkan sinar, teronggok seperti buku biasa


dengan sampul bulan sabit.

Sebelum kami sempat menyadari apa pun, terdengar suara


bercakap-cakap di luar, dengan bahasa yang tidak kumengerti.

Kami bertiga saling tatap, jelas sekali suara itu menuju ke tempat
kami.

Pintu berbentuk bulat didorong—aku belum pernah melihat pintu


seaneh itu. Tiga orang melangkah masuk ke dalam ruang­an. Dua orang
dewasa setengah baya dan satu anak laki-laki berusia empat tahun.
Mereka mengenakan baju gelap yang ganjil. Si kecil terlihat menguap,
memeluk boneka yang lagi-lagi berbentuk aneh. Ibunya, sepertinya begitu,
tersenyum, menunjuk ke ranjang. Ayahnya, sepertinya juga begitu,
berkata dengan kalimat-kalimat yang tidak kami pahami. Mereka tertawa.
Tampilan mereka bertiga lebih aneh dibanding film-film fantasi mana pun.

Langkah si kecil terhenti. Dia berseru bingung, menunjuk kami.


Orangtuanya lebih kaget lagi. Kami berenam saling tatap. Si kecil
ketakutan, refleks memeluk ibunya.

Ini jelas bukan kamarku, sama sekali bukan. Bahkan aku mulai
ragu, ini bahkan tidak akan pernah ditemukan di kota kami. Semua
terlihat ganjil. Apakah aku berada di dunia mimpi?

Ayah si kecil maju, bicara dengan kalimat aneh. Sepertinya dia


bertanya kepada kami. Wajahnya bingung, me­nyelidik.

Seli merapat kepadaku. Ali tetap mematung di tempat. Dia sempat


memasukkan buku PR matematikaku ke dalam tas ranselnya sebelum
tiga orang tersebut masuk.

Ayah si kecil berseru-seru. Dia tidak terlihat marah. Dia lebih


terlihat kaget. Si kecil masih memeluk erat ibunya. Aku menelan ludah.
Bagaimana ini? Sang ayah melangkah lebih dekat, me­natap kami bertiga
bergantian, menoleh kepada istrinya, berkata-kata dengan kalimat aneh
lagi. Sepertinya dia bilang pada istrinya, ”Lihatlah, pakaian mereka aneh
sekali. Siapakah tiga anak ini? Apakah mereka tersesat? Bagaimana

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 163

mereka masuk ke dalam rumah kita? Apakah kita perlu memanggil


petugas ke­aman­an?”

Sambil masih memeluk si kecil, istrinya ikut maju, menyelidik,


menatap kami bertiga. Wanita itu menggeleng. Dia berkata, ”Sepertinya
tiga anak ini sama bingungnya, kasihan sekali. Tidak ada yang perlu
dicemaskan, mereka sepertinya tidak berbahaya. Apakah mereka dari luar
kota, salah masuk ke dalam rumah karena tidak terbiasa? Atau karena
jaringan trans­por­tasi kembali bermasalah?” Pasangan baya itu masih
berbicara satu sama lain. Si kecil memberanikan diri mengintip kami.

Aku tiba-tiba terdiam. Eh? Aku? Entah bagaimana caranya, aku


sepertinya mengerti kalimat yang mereka katakan. Hei! Aku sepertinya
tahu apa yang sedang mereka diskusikan.

”Maaf,” aku berkata pelan, mengangkat tangan.

Pasangan itu menoleh.

”Maaf, kami tidak salah masuk kamar.” Aku menggeleng. ”Tadi kami
berada di kamarku, di rumahku, lantas tiba-tiba saja kami sudah pindah
ke kamar ini.”

Ayah si kecil mendekat. ”Apakah kalian sebelumnya sedang


menggunakan lorong berpindah?”

Aku menoleh kepada Ali. ”Eh, Ali, lorong berpindah itu apa? Apakah
itu istilah fisika modern?” Yang kutoleh jangan­kan men­jawab. Ali dan
Seli bahkan bingung melihatku kenapa bisa bicara dengan bahasa aneh
itu.

”Kalian sepertinya mengalami kekacauan sistem lorong ber­pindah.”


Ayah si kecil menghela napas prihatin. ”Minggu-minggu ini frekuensinya
semakin sering terjadi. Tapi setidak­nya kalian muncul di kamar anakku,
tidak serius. Tiga hari lalu, istriku yang hendak pergi ke pasar tiba-tiba
muncul di atas wahana kereta luncur. Gila sekali, bukan? Dia tidak
muncul di depan pedagang sayur, tapi di tengah orang-orang yang sedang
menjerit ketakutan.”

Aku menelan ludah, mengangguk, pura-pura mengerti.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 164

”Kamu temani si kecil tidur, Ma. Aku akan membantu tiga anak
malang ini. Tidur bareng Mama, ya? Papa akan menemani tiga kakak-
kakak itu.” Lelaki itu bicara pada istri dan anaknya.

Ibu si kecil menuntun anaknya ke tempat tidur yang meng­gantung


di dinding. Bentuknya sama seperti ranjang umumnya, tetapi berada dua
meter di dinding. Saat si kecil mendekat, tempat tidur itu turun perlahan.
Ibu dan si kecil naik ke atasnya. Ranjang itu kembali naik.

”Ayo, lambaikan tangan ke kakak-kakak. Selamat malam.” Ayah si


kecil tersenyum.

Si kecil beranjak ke pinggir ranjang, melambaikan tangan ke­pada


kami. ”Selamat malam.”

Aku mengangkat tangan, balas melambai. Seli dan Ali, meski


bingung, meniruku segera, ikut melambaikan tangan.

”Ayo, kalian ikuti aku.” Ayah si kecil sudah menepuk pundak­ku,


berkata ramah.

Aku masih bingung dengan ini semua. Susul-menyusul sejak


kejadian meledaknya gardu listrik tadi siang. Sekarang, bahkan kami
berada di mana aku tidak tahu.

”Semua orang sudah membicarakan kekacauan sistem trans­portasi


ini. Tapi tidak ada tanggapan serius dari Komite Kota. Mereka selalu
bilang itu hanya masalah teknis kecil.” Ayah si kecil membuka pintu
bulat, menyilakan kami keluar kamar.

”Kamu mau mendengar dongeng?” Di belakang kami, ibu si kecil


berkata pelan.

”Aku ingin mendengar dongeng tentang Si Burung Siang


Merindukan Matahari, Ma,” si kecil menjawab riang.

”Aduh, dongeng itu lagi, Nak? Sudah seminggu terakhir kamu


mendengarnya, bukan? Tidak bosan?” ibunya bertanya lembut, tertawa.

Aku melangkah menuju pintu bulat.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 165

Seli memegang lenganku, berbisik, ”Kita akan ke mana, Ra?”

”Aku tidak tahu,” aku menjawab pelan.

”Apakah mereka sama jahatnya dengan si tinggi kurus di aula


sekolah tadi?”

Aku menggeleng, selintas lalu mereka hanya keluarga biasa yang


bahagia, dengan anak kecil usia empat tahun. Sang ayah menutup pintu
bulat kamar, melangkah ke lorong remang.

”Coba saja kalau mereka sendiri yang hendak berangkat be­kerja


tiba-tiba muncul di depan seekor binatang buas yang sedang membuka
mulut, pasti baru tahu betapa menyebalkannya masalah teknis kecil ini,”
ayah si kecil masih berseru santai, me­mimpin jalan di depan. Kami
melewati lorong, kemudian mun­cul di ruangan lebih besar.

Sepertinya ini ruang tengah sebuah rumah. Ada sofa-sofa bundar


yang melayang satu jengkal dari lantai. Sebuah meja tampak berbentuk
janggal, jauh sama sekali dari segi empat atau persegi panjang, dan di
atasnya ada sebuah vas bunga. Aku mengembuskan napas, setidaknya
bunga di vas aneh itu bentuknya sama seperti yang kukenali, terlihat
segar. Entah di mana pun kami sekarang berada, itu bunga mawar seperti
pada umumnya.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 166

ILAKAN duduk. Anggap saja rumah sendiri. Jangan sungkan.


Kalian haus? Akan kuambilkan minuman. Kondisi kalian terlihat buruk.
Berdebu, kotor, dan astaga, pakaian kalian aneh sekali. Kalian pasti
datang dari tempat jauh. Tidak akan ada anak remaja kota ini yang mau
berpakaian seperti ini, se­perti model seratus tahun lalu. Sebentar, akan
kuambilkan air minum dan handuk basah.” Ayah si kecil tertawa. Dia
me­langkah menuju pintu bulat lainnya, meninggalkan kami bertiga di
ruang tengah.

Senyap sebentar.

”Kita ada di mana, Ra?” tanya Ali.

”Aku tidak tahu.”

”Apakah orang aneh tadi menyebutkan nama tempat ini?”

Aku menggeleng pelan.

”Bagaimana kamu bisa bicara bahasa mereka?” Seli memegang


lenganku, tampak penasaran.

”Aku tidak tahu, Sel. Aku tahu begitu saja.” Aku menyeka wajah
yang berdebu. Ada banyak sekali hal yang tidak bisa kujawab sekarang.

Ali bergumam sendiri, berhenti menumpahkan pertanyaan. Dia


memilih memperhatikan sekitar, lalu beranjak hendak duduk di sofa bulat
yang melayang di dekat kami. Dia me­loncat. Sofa itu seketika berputar
saat didudukinya. Ali ter­gelincir, tangannya hendak meraih sesuatu, tapi
terlambat. Dia jatuh ke lantai, mengaduh pelan.

”Ini tempat duduk yang aneh sekali.” Ali berdiri, menatap sofa yang
berhenti berputar, kembali ke posisinya semula. Si genius keras kepala itu
mencoba dua kali untuk duduk di sofa bulat, tapi dua kali pula dia
terjatuh.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 167

Aku dan Seli menonton, diam.

”Baiklah. Aku tidak akan menyerah.” Ali bersungut-sungut. Kali ini


dia menatap baik-baik sofa bulat di depannya, me­megang­nya perlahan,
lantas naik perlahan, menjaga keseimbang­an. Ali nyengir lebar. Dia
berhasil.

”Kalian mau mencobanya?” Ali berseru riang. ”Ini persis se­perti


belajar naik sepeda. Sekali kita terbiasa, maka mudah saja.”

Aku dan Seli saling tatap.

”Ayo, coba saja, Ra, Seli, ini seru sekali. Kalian tahu, entah
bagai­mana mereka melakukannya, sofa ini benar-benar melayang di atas
lantai. Ini hebat sekali. Bahkan kupikir, lembaga paling canggih macam
NASA Amerika sekalipun tidak punya teknologi ini.” Ali mencoba sofa
bulat itu berputar. Dia berhasil mem­buatnya bergerak mulus. Ali tertawa
senang.

”Apa yang kamu lakukan?” aku berbisik mengingatkan Ali.

Kami jelas tidak sedang study tour, kami sedang tersesat. Sifat Ali
yang selalu santai kemungkinan bisa berbahaya. Si genius itu se­karang
bahkan asyik mencoba sofa bulat yang dia duduki, bergerak naik-turun.

Ali menatapku dengan wajah tanpa dosa.

”Maaf membuat kalian menunggu.” Ayah si kecil kembali, terlihat


riang, membawa nampan dengan tiga gelas di atasnya, juga tiga handuk
basah.

”Oh, kamu sudah mencobanya? Bagaimana? Itu jenis sofa paling


mutakhir.” Lelaki itu tertawa melihat Ali ber­gegas me­nurunkan sofanya
kembali ke posisi semula—Ali ter­lihat sedikit panik, karena ketahuan
menaik-turunkan sofa ter­sebut tanpa izin pemiliknya.

”Dia bertanya apa?” Ali berbisik kepadaku.

”Dia bilang, kamu tamu yang sama sekali tidak tahu sopan santun,”
aku menjawab asal.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai