Wajah Ali terlihat sebal. Aku hampir tertawa. Ya ampun! Seli telak
sekali menyindir si biang ribut ini. Aku tidak pernah menduga kami akan
akrab dengan Ali, si genius ini. Dulu, jangankan berteman,
memikirkannya saja sudah amit-amit. Lihatlah sekarang, Seli nyengir
tanpa dosa mengatakan kalimat itu, seolah Ali sahabat lama yang tidak
akan tersinggung.
”Apa? Menghilangkannya?”
Itu tidak masuk akal. Gila. Tadi malam aku sudah menghilangkan
novel, bangku, flashdisk, dan benda-benda lain, tidak satu pun yang
kembali. Kami bisa kehilangan satu-satunya cara untuk memperoleh
penjelasan kalau buku PR ini juga lenyap tak berbekas.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 159
”Ayo, Ra. Lakukanlah. Itulah maksud pesan Miss Selena, apa pun
yang hilang, tidak selalu lenyap seperti yang kita duga,” si genius itu
justru berkata yakin sekali.
Satu detik berlalu. Tidak terjadi apa pun. Dua detik, empat detik,
aku menoleh ke Ali. Bagaimana ini? Ali tetap menunggu dengan yakin.
Delapan detik. Aduh, bagaimana kalau keliru? Seli ikut menatap Ali.
Kenapa pula kami harus percaya pada genius biang kerok ini?
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 160
Tapi itu bukan buku PR-ku. Aku sama sekali tidak mengenalinya
lagi. Ukuran dan bentuknya memang sama persis, seperti buku PR-ku,
tapi hanya itu yang sama. Sisanya berbeda sekali. Tidak ada lagi sampul
Hello Kitty. Sampulnya berwarna gelap terbuat dari kulit, dengan gambar
bulan sabit cetak timbul.
”Ini keren sekali. Kamu yang buka, Ra,” Ali berbisik. Suaranya
terdengar antusias.
”Eh, maksudku, ini jelas bukan buku PR biasa lagi, Ra. Ini benda
dari dunia lain, atau entahlah.” Ali menggaruk kepalanya, berusaha
membela diri. ”Jadi, eh, lebih baik kamu yang menyentuhnya. Kamu
sepertinya yang punya urusan dengan dunia lain itu.”
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 161
Tidak ada yang hilang. Aku menatap sekitar, memeriksa. Juga tidak
ada yang datang. Itu tadi pertanda suara apa? Tetapi tiba-tiba aku
berseru tertahan. Astaga! Lihatlah. Semua di sekitar kami telah berubah.
Ini bukan kamarku, bahkan ini entah ruangan apa. Tempat tidurnya
menggantung di dinding. Lampunya berbentuk aneh sekali, menyala
terang. Meja, kursi, semuanya berbentuk aneh. Lemari, kalau itu bisa
disebut lemari, terbenam di dinding. Seprai dan bantal dipenuhi gambar
yang ganjil. Semua terlihat berbeda.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 162
Kami bertiga saling tatap, jelas sekali suara itu menuju ke tempat
kami.
Ini jelas bukan kamarku, sama sekali bukan. Bahkan aku mulai
ragu, ini bahkan tidak akan pernah ditemukan di kota kami. Semua
terlihat ganjil. Apakah aku berada di dunia mimpi?
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 163
”Maaf, kami tidak salah masuk kamar.” Aku menggeleng. ”Tadi kami
berada di kamarku, di rumahku, lantas tiba-tiba saja kami sudah pindah
ke kamar ini.”
Aku menoleh kepada Ali. ”Eh, Ali, lorong berpindah itu apa? Apakah
itu istilah fisika modern?” Yang kutoleh jangankan menjawab. Ali dan
Seli bahkan bingung melihatku kenapa bisa bicara dengan bahasa aneh
itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 164
”Kamu temani si kecil tidur, Ma. Aku akan membantu tiga anak
malang ini. Tidur bareng Mama, ya? Papa akan menemani tiga kakak-
kakak itu.” Lelaki itu bicara pada istri dan anaknya.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 165
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 166
Senyap sebentar.
”Aku tidak tahu, Sel. Aku tahu begitu saja.” Aku menyeka wajah
yang berdebu. Ada banyak sekali hal yang tidak bisa kujawab sekarang.
”Ini tempat duduk yang aneh sekali.” Ali berdiri, menatap sofa yang
berhenti berputar, kembali ke posisinya semula. Si genius keras kepala itu
mencoba dua kali untuk duduk di sofa bulat, tapi dua kali pula dia
terjatuh.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 167
”Ayo, coba saja, Ra, Seli, ini seru sekali. Kalian tahu, entah
bagaimana mereka melakukannya, sofa ini benar-benar melayang di atas
lantai. Ini hebat sekali. Bahkan kupikir, lembaga paling canggih macam
NASA Amerika sekalipun tidak punya teknologi ini.” Ali mencoba sofa
bulat itu berputar. Dia berhasil membuatnya bergerak mulus. Ali tertawa
senang.
Kami jelas tidak sedang study tour, kami sedang tersesat. Sifat Ali
yang selalu santai kemungkinan bisa berbahaya. Si genius itu sekarang
bahkan asyik mencoba sofa bulat yang dia duduki, bergerak naik-turun.
”Dia bilang, kamu tamu yang sama sekali tidak tahu sopan santun,”
aku menjawab asal.
http://pustaka-indo.blogspot.com