Anda di halaman 1dari 10

TereLiye “Bumi” 68

ramping­nya. Dari jarak sedekat ini pula, aku baru me­nyadari postur
Miss Keriting terlihat ber­beda. Dia tidak seperti wanita usia empat
puluhan kebanyak­an. Dia berbeda sekali. Sepertinya aku—dan teman
sekelas—tidak memperhati­kan Miss Keriting de­ngan baik di kelas, lebih
dulu takut dengan rumus matematika di papan tulis.

Aku membukakan pintu depan. ”Eh, sepatunya boleh dipakai kok,


Bu. Tidak apa-apa.” Di rumah, Papa biasa mengenakan sepatu hingga
ruang depan, Mama juga tidak melarangku.

”Terima kasih, Ra.” Miss Keriting tetap melepas sepatunya, anggun


dan cepat, tanpa sedikit pun membungkuk. ”Orangtuamu ada di rumah?”

”Seli sudah datang, Ra? Kalian mau dibuatkan minum apa sambil
belajar?” Suara Mama lebih dulu terdengar sebelum aku menjawab. Mama
melangkah dari ruang tengah, bergabung, sambil menyeka tangannya
yang basah dengan handuk. ”Eh?” Mama terdiam sejenak, menatap ruang
tamu, menatapku, pindah me­natap Miss Keriting.

”Ini guru Ra, Ma,” aku segera menjelaskan. ”Guru mate­matika.


Nah, ini mama saya, Miss Selena. Kalau Papa masih di kantor, belum
pulang.”

”Saya minta maaf karena tidak memberitahu lebih dulu akan


bertamu.” Miss Keriting maju satu langkah, tangannya terulur,
tersenyum.

Masih separuh bingung, Mama ikut tersenyum, menerima uluran


tangan Miss keriting. ”Eh, tidak apa. Hanya saja, aduh, saya berpakaian
seadanya, kotor pula.” Mama melirik pakaiannya yang basah habis
mengurus dapur. Beberapa bercak minyak dan kotoran terlihat.

”Selena.” Miss Keriting menyebut nama.

”Selena?” Mata Mama membulat, mulai terbiasa. ”Aduh, Selena itu


kan nama yang kami rencanakan untuk Ra sebelum dia lahir. Artinya
bulan. Tapi orangtua kami tidak setuju, me­nyuruh menggantinya
menjadi Raib. Mereka bilang itu nama leluhur yang harus dipakai bayi
kami. Eh, maaf, jadi mem­bahas hal-hal yang tidak perlu.” Mama tertawa,
segera menyebut namanya, balas memperkenalkan diri.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 69

Aku yang berdiri di antara mereka menatap lamat-lamat wajah


Mama—aku tidak tahu cerita itu. Mama dan Papa tidak pernah bercerita
bahwa aku dulu hampir diberi nama Selena.

”Ra tidak membuat masalah di sekolah, bukan?” Mama menoleh


kepadaku, sedikit cemas.

Miss Keriting menggeleng. ”Ra murid yang baik. Kalian akan bangga
memiliki anak dengan bakat hebat seperti dia. Satu-satunya masalah
yang pernah Ra buat hanya lupa membawa buku PR-nya. Tapi siapa pula
yang tidak pernah lupa?”

”Oh, syukurlah.” Mama memeluk bahuku. ”Saya pikir Ra mem­buat


masalah. Oh iya, silakan duduk.” Mama menoleh lagi ke­pada­ku. ”Ra,
tolong bikinkan minum, ya. Biar Mama yang menemani Ibu Selena.”

Aku mengangguk, tapi Miss Keriting menahan gerakan tangan­ku.

”Saya hanya sebentar. Waktu saya amat terbatas, dan tidak leluasa,
karena itulah dari sekolah saya bergegas menemui Ra.” Suara Miss
Keriting terdengar lugas. Dia mengambil sebuah buku dari tas jinjing
berwarna gelapnya. ”Nah, Ra, ini buku PR mate­matika­mu yang kamu
kumpulkan tadi pagi. Sudah Ibu periksa. Meski lebih sering kesulitan,
kamu selalu berusaha me­ngerjakan tugas dengan baik. Saran Ibu, apa
pun yang terlihat, boleh jadi tidak seperti yang kita lihat. Apa pun yang
hilang, tidak selalu lenyap seperti yang kita duga. Ada banyak sekali
jawab­an dari tempat-tempat yang hilang. Kamu akan memper­oleh
semua jawaban. Masa lalu, hari ini, juga masa depan.”

Aku menatap Miss Keriting dengan bingung. Bukan saja bingung


dengan kalimat terakhirnya yang begitu misterius, tapi bingung kenapa
Miss Keriting sendiri yang mengantarkan buku PR matematikaku ke
rumah. Sore ini? Mendadak sekali? Kenapa tidak besok pagi? Di sekolah?

”Saya harus bergegas, Bu. Mengejar waktu dan dikejar waktu.” Miss
Keriting mengulurkan tangan kepada Mama, hendak ber­pamitan. ”Sekali
lagi, saya minta maaf kalau mengganggu. Saya sungguh merasa
tersanjung Ibu dulu hampir memberikan nama itu kepada Ra. Selena. Ibu
benar, itu artinya bulan. Bagi bangsa tertentu, artinya bahkan lebih dari

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 70

sekadar ‘bulan yang indah’, tapi juga pemberi petunjuk, penjaga warisan,
benteng terakhir.”

Eh? Mama menelan ludah, lebih bingung lagi menatap wajah Miss
Keriting yang tersenyum cemerlang. Ragu-ragu, Mama ikut menerima
uluran tangan Miss Keriting.

”Selamat sore, Bu.” Miss Keriting mengangguk, melepas jabat


tangan. ”Dan kamu, Ra, jangan lupa baca buku PR-mu,” ujar Miss
Keriting sambil mengedipkan mata, tersenyum. Sedetik, tubuh tinggi
ramping Miss Keriting sudah melangkah ke pintu, mengenakan sepatu,
tanpa membungkuk sedikit pun.

Aku seketika teringat sesuatu saat melihat gayanya membalik


badan dan memakai sepatunya. Itu kan persis sekali dengan cara pemain
drama Korea dengan latar belakang cerita bangsawan yang sering ditonton
Seli bedanya tentu saja Miss Keriting tidak sedang berakting, dan dia
melakukannya seperti memang dia adalah golongan itu. Terlihat anggun,
cekatan.

Lima detik, Miss Keriting sudah berjalan cepat di sepanjang


halaman rumput. Suara ketukan sepatunya terdengar pelan, ber­irama.
Aku dan Mama ikut mengantar ke depan, masih belum mengerti—dan
tidak sempat bertanya—menatap punggungnya. Miss Keriting menaiki
mobil berwarna gelap yang terparkir rapi di depan gerbang, melambaikan
tangan. Jendela kaca mobil lantas naik menutup. Mobil bergerak maju,
dengan cepat hilang di kelokan jalan.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 71

URUMU berbeda sekali, Ra.” Mama masih berdiri di depan


rumah.

Aku menoleh, melihat Mama yang masih menatap jalanan. ”Beda


apanya, Ma?”

”Zaman Mama dulu sih masih ada guru seperti itu, rajin
mengunjungi rumah muridnya, bertanya ke orangtua, bicara tentang
kemajuan kami. Tetapi sekarang murid kan ribuan, itu tidak mudah
dilakukan. Belum lagi kesibukan-kesibukan lain.”

Aku mengangkat bahu. Sebenarnya, aku belum mengerti kenapa


Miss Keriting sengaja datang mengantarkan buku PR matematika. Aku
balik kanan, masuk ke dalam rumah.

”Seli jadi datang, Ra?” Mama ikut melangkah masuk.

Bel pagar berbunyi nyaring sebelum aku menjawab. Aku dan Mama
menoleh. Panjang umur, teman satu mejaku itu sudah berdiri di gerbang,
melambaikan tangan. Aku tersenyum, yang ditunggu datang juga, berlari-
lari kecil ke pagar.

”Ra...!” Begitu masuk, Seli langsung memegang lenganku. ”Tadi itu


Miss Keriting, kan?” Seli berseru, menatapku pe­nasa­r­an setengah mati.
”Iya, pasti Miss Keriting. Aku melihatnya naik mobil pas aku turun dari
angkot. Sekilas, tapi aku yakin sekali. Miss Keriting, kan?”

Aku mengangguk, berjalan melintasi halaman rumput.

”Aha. Tebakanku tepat. Eh, Ra, kenapa dia ke sini?”

Aku menjawab pendek, ”Mengantarkan buku PR.” Aku mengangkat


buku PR-ku, memperlihatkannya pada Seli.

”Buku PR? Memangnya kenapa dengan buku PR-mu?” Seli tidak


mengerti, menatap buku PR-ku seperti sedang me­natap buku mantra

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 72

sakti atau menatap buku diary penuh rahasia dalam drama Korea yang
sering ditontonnya.

”Tidak tahu.”

”Ini sungguhan buku PR-mu, kan?”

”Ya iyalah.” Aku tertawa. ”Tidak usah di­pelototi. Nanti ter­bakar.”

”Dia tidak bicara sesuatu, kan? Maksudku, kamu tidak kenapa-


kenapa, kan? Seharusnya kan guru BP yang datang kalau kamu kenapa-
napa, kan ya? Eh?”

”Cuma mengantarkan buku PR, Seli.” Aku mengangkat bahu,


mengembuskan napas. ”Tidak ada yang lain. Aku juga tidak tahu kenapa
dia harus mengantarkannya langsung. Jangan-jangan habis dari
rumahku, dia ke rumahmu, mengantarkan buku PR berikutnya.”

”Jangan bergurau, ah.” Seli masih melotot.

”Siapa yang bergurau?” Aku nyengir lebar.

”Aku serius nih, Ra, kenapa Miss Keriting ke sini? Jangan-jangan


kamu merahasiakan sesuatu, ya?” Seli menyelidik, ingin tahu—sudah
mirip kelakuan Ali.

”Kalian mau minum apa?” Suara Mama memotong bisik-bisik Seli.


”Mau Mama buatkan pisang cokelat dan jus buah?”

”Eh, selamat siang, Tante.” Seli menoleh, buru-buru meng­angguk,


lupa belum menyapa tuan rumah, padahal sudah sejak tadi rusuh masuk
ke ruang tamu. ”Apa saja, Tante, asal jangan me­repotkan.”

Mama tersenyum. ”Tidak merepotkan kok.”

”Apa saja, Ma. Asal yang banyak. Soalnya Seli suka makan.” Aku
tertawa, menambahkan.

Seli menyikut lenganku. Sebal.

Mama ikut tertawa. ”Nah, selamat belajar ya. Mama ke bela­kang


dulu.”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 73

Kami berdua mengangguk.

Tetapi lima belas menit berlalu, jangankan mengerjakan PR,


membuka buku bahasa Indonesia pun tidak. Seli lebih tertarik dan
memaksa ingin tahu kenapa Miss Keriting datang ke ru­mahku. Aku mau
jawab apa, coba? Seli bahkan memeriksa buku PR-ku, penasaran, apa
istimewanya buku PR itu hingga diantar lang­sung Miss Keriting. Lima
menit sibuk memeriksa, Seli menyerah­kan lagi buku itu sambil menghela
napas kecewa. ”Tidak ada apa-apanya. Sama saja dengan buku PR-ku,
malah nilainya lebih bagus punyaku. Kenapa sih Miss Keriting ke
rumahmu, Ra?”

”Aku tidak tahu.” Aku melotot, bosan memegang buku bahasa


Indonesia yang sejak tadi tidak kunjung dibuka. ”Atau begini saja, besok
kamu tanyakan ke dia langsung. Kan jadi jelas. Nanti aku temani.”

Seli memajukan bibirnya, lagi-lagi hendak berkomentar sesuatu,


tapi suara bel gerbang depan sudah berbunyi nyaring.

”Biar Mama yang buka, Ra.” Suara Mama terdengar dari dalam.
”Kalian belajar saja.”

Aku tertawa. Apanya yang belajar? Aku beranjak berdiri. Seli juga
ikut berdiri, mengikutiku ke depan hendak membuka gerbang. Dua
karyawan toko elektronik terlihat sedang repot menurunkan boks besar
dari mobil. ”Ma, mesin cucinya datang!” aku berteriak dari halaman.

Sekitar lima belas menit kami menonton Mama mengomeli


karyawan yang sibuk bolak-balik menukar mesin cuci baru, meng­uji
coba mesin cucinya, memastikan kali ini tidak ada masa­lah. Mereka
terlihat serbasalah, mengangguk-angguk mendengar omelan Mama.

”Ternyata mamamu sama seperti mamaku, Ra,” Seli berbisik.


Karyawan toko elektornik itu untuk kesekian kali minta maaf,
membungkuk, hendak berpamitan.

”Apanya yang sama?” Aku menoleh ke Seli. Kami masih berdiri


menonton.

”Galak! Kasihan karyawan tokonya,” Seli bergumam pelan.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 74

Aku tertawa, tidak berkomentar, memperhatikan karyawan toko


yang akhirnya bernapas lega, buru-buru menaiki mobil, lantas cepat
mengemudikan mobil, hilang di kelokan jalan.

Setidaknya, selingan menonton mesin cuci baru ditukar mem­buat


rasa penasaran Seli tentang Miss Keriting berkurang ba­nyak. Kami bisa
mulai mengerjakan PR bahasa Indonesia, mem­buat karangan dengan
jenis persuasif sebanyak dua ribu kata. Apalagi saat minuman dan
makanan diantar Mama, Seli me­mutuskan melupakan Miss Keriting.

Sayangnya, baru pukul setengah empat, kami baru sepertiga jalan


mengerjakan PR, bel gerbang depan berbunyi lagi. Nyaring. Aku
mendongak, mengangkat kepala. Alangkah banyaknya orang yang
bertamu ke rumah kami hari ini. Ini sudah keempat kali­nya. Seli di
sebelahku masih asyik menuliskan karangannya.

”Biar Mama yang buka, Ra.” Mama yang sedang santai me­nonton
di ruang tengah sudah beranjak lebih dulu ke depan. Aku kembali
menatap buku PR-ku. Paling juga tetangga sebelah, perlu sesuatu. Atau
tukang meteran listrik, PAM. Atau pedagang keliling.

”Selamat siang, Tante.”

Eh, aku mendongak lagi. Suara itu khas sekali terdengar—meski


jaraknya masih sepuluh meter dari ruang tamu. Suara yang menyebalkan,
aku kenal. Mama menjawab salam.

”Ra ada, Tante?”

Mama mengangguk, lalu bertanya, ”Ini siapa ya?”

”Saya teman sekelas Ra, mau ikutan mengerjakan PR bahasa


Indonesia.”

Aku langsung meloncat dari posisi nyaman menulis. Seli yang kaget
ikut meloncat, tanpa sengaja mencoret buku PR-nya, me­natapku sebal.
”Ada apa sih, Ra?”

Aku tidak menjawab. Aku sudah bergegas ke depan rumah. Seli


ikutan keluar rumah. Sial! Lihatlah, Mama bersama tamu keempat sore
ini, Ali si biang keerok, berjalan menuju kami.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 75

”Katanya hanya Seli yang datang, Ra?” Mama mengedipkan mata.


”Kamu tidak bilang-bilang akan ada teman sekelas yang lain?”

Aduh. Aku seketika mematung melihat Ali. Lihatlah, si biang kerok


itu bersopan santun sempurna, berpakaian rapi. Ya ampun, rapi sekali
dia. Berkemeja lengan panjang, bercelana kain, berikat pinggang,
bersepatu, bahkan aku lupa kapan terakhir kali melihat rambutnya disisir
rapi, terlihat lurus, hitam legam, dan tersenyum seperti remaja paling
tahu etika sedunia. ”Selamat sore, Ra. Selamat sore, Seli. Maaf aku
terlambat.”

Bahkan Seli, kali ini pun ikut mematung, menatap Ali yang seratus
delapan puluh derajat berubah tampilan, di halaman rumput, di bawah
cahaya matahari sore yang mulai lembut.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 76

NI akan jadi momen paling ganjil sejak aku remaja. Aku melotot,
hendak mengusir Ali dari halaman rumah. Di sam­pingku Seli bengong
melihat penampilan Ali yang berubah, susah membedakannya dengan
pemain drama Korea favoritnya. Sementara Ali tersenyum lebar seolah
tidak ada masalah sama sekali, seolah aku dan Seli memang habis
bercakap sebal karena Ali tidak kunjung datang untuk belajar bareng.

”Ra, Seli, kenapa kalian malah bengong di situ?” Mama yang tidak
memperhatikan, telanjur masuk ke ruang tamu, menoleh, kepalanya
muncul dari bingkai pintu. ”Ayo, ajak temanmu ma­suk. Ayo, Nak Ali,
masuk.”

Sebelum aku bereaksi atas tawaran Mama—misalnya dengan


mencak-mencak mengusir Ali, anak itu mengangguk amat sopan, (pura-
pura) malu melangkah ke teras.

”Anggap saja rumah sendiri, ya.” Mama tersenyum.

”Iya, Tante.” Ali mengangguk lagi.

Aku benar-benar kehabisan kata. Aduh, kenapa Mama ramah sekali


pada si biang kerok itu? Aku menyikut Seli, menyadar­kan ekspresi wajah
Seli yang berlebihan, mengeluh kenapa Seli juga ikut tertipu dengan
tampilan baru Ali. Aku bergegas ikut melangkah masuk ke ruang tamu.

”Nak Ali mau minum apa?”

”Nggak usah, Tante. Nanti merepotkan.”

”Tentu saja tidak. Tunggu sebentar ya, Tante siapkan di dapur.”

Belum sempurna hilang punggung Mama dari bingkai pintu, aku


sudah loncat, mencengkeram lengan baju Ali. ”Kamu, ke­napa kamu
datang, hah? Tidak ada yang mengajakmu belajar bareng?”

Ali hanya nyengir. ”Aku datang baik-baik lho, Ra.”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 77

”Bohong! Kamu pasti ada maunya,” aku berseru ketus.

”Eh, iya dong. Tentu saja ada maunya.” Ali menatapku, ter­senyum.
”Maunya adalah belajar bareng. Minta diajari me­ngarang jenis persuasif.
Kamu kan yang paling pintar soal bahasa Indo­nesia.”

”Bohong! Kamu pasti sedang menyelidiki sesuatu.”

Ali mengangkat bahu, wajahnya seolah bingung. Dia menoleh ke


Seli—yang serius menonton kami bertengkar. Jangan-jangan Seli berpikir
ada adegan drama Korea live di depannya.

Aku menelan ludah. Cengkeraman tanganku mengendur. Aku tidak


mungkin menuduh Ali sengaja datang untuk menyelidiki apakah aku bisa
menghilang atau tidak. Ada Seli di ruang tamu, urusan bisa tambah
kacau.

”Karanganmu sudah berapa kata, Sel?” Mengabaikanku, Ali


beranjak mendekati Seli. ”Boleh aku lihat?” Ali menunjuk buku PR Seli.

”Eh, silakan,” Seli nyengir, ”tapi nggak bagus kok. Baru tiga
paragraf.”

Aku menepuk dahi. Nah, sejak kapan pula Seli jadi ikutan ramah
pada Ali? Bukannya kemarin dia marah-marah karena ditabrak Ali di
anak tangga?

”Wah, ini bagus sekali, Sel.” Ali membaca sejenak.

”Oh ya?”

Aku menyikut lengan Seli, mengingatkan dia sedang ber­cakap-


cakap dengan siapa.

”Sebenarnya bagusan karangan Ra. Tadi aku juga dikasih ide


tulisan sama dia.” Seli tidak merasa aku menyikutnya. Dia malah
menunjuk buku PR milikku di ujung meja.

”Boleh aku lihat karanganmu, Ra?” Ali menoleh padaku.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai