rampingnya. Dari jarak sedekat ini pula, aku baru menyadari postur
Miss Keriting terlihat berbeda. Dia tidak seperti wanita usia empat
puluhan kebanyakan. Dia berbeda sekali. Sepertinya aku—dan teman
sekelas—tidak memperhatikan Miss Keriting dengan baik di kelas, lebih
dulu takut dengan rumus matematika di papan tulis.
”Seli sudah datang, Ra? Kalian mau dibuatkan minum apa sambil
belajar?” Suara Mama lebih dulu terdengar sebelum aku menjawab. Mama
melangkah dari ruang tengah, bergabung, sambil menyeka tangannya
yang basah dengan handuk. ”Eh?” Mama terdiam sejenak, menatap ruang
tamu, menatapku, pindah menatap Miss Keriting.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 69
Miss Keriting menggeleng. ”Ra murid yang baik. Kalian akan bangga
memiliki anak dengan bakat hebat seperti dia. Satu-satunya masalah
yang pernah Ra buat hanya lupa membawa buku PR-nya. Tapi siapa pula
yang tidak pernah lupa?”
”Saya hanya sebentar. Waktu saya amat terbatas, dan tidak leluasa,
karena itulah dari sekolah saya bergegas menemui Ra.” Suara Miss
Keriting terdengar lugas. Dia mengambil sebuah buku dari tas jinjing
berwarna gelapnya. ”Nah, Ra, ini buku PR matematikamu yang kamu
kumpulkan tadi pagi. Sudah Ibu periksa. Meski lebih sering kesulitan,
kamu selalu berusaha mengerjakan tugas dengan baik. Saran Ibu, apa
pun yang terlihat, boleh jadi tidak seperti yang kita lihat. Apa pun yang
hilang, tidak selalu lenyap seperti yang kita duga. Ada banyak sekali
jawaban dari tempat-tempat yang hilang. Kamu akan memperoleh
semua jawaban. Masa lalu, hari ini, juga masa depan.”
”Saya harus bergegas, Bu. Mengejar waktu dan dikejar waktu.” Miss
Keriting mengulurkan tangan kepada Mama, hendak berpamitan. ”Sekali
lagi, saya minta maaf kalau mengganggu. Saya sungguh merasa
tersanjung Ibu dulu hampir memberikan nama itu kepada Ra. Selena. Ibu
benar, itu artinya bulan. Bagi bangsa tertentu, artinya bahkan lebih dari
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 70
sekadar ‘bulan yang indah’, tapi juga pemberi petunjuk, penjaga warisan,
benteng terakhir.”
Eh? Mama menelan ludah, lebih bingung lagi menatap wajah Miss
Keriting yang tersenyum cemerlang. Ragu-ragu, Mama ikut menerima
uluran tangan Miss Keriting.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 71
”Zaman Mama dulu sih masih ada guru seperti itu, rajin
mengunjungi rumah muridnya, bertanya ke orangtua, bicara tentang
kemajuan kami. Tetapi sekarang murid kan ribuan, itu tidak mudah
dilakukan. Belum lagi kesibukan-kesibukan lain.”
Bel pagar berbunyi nyaring sebelum aku menjawab. Aku dan Mama
menoleh. Panjang umur, teman satu mejaku itu sudah berdiri di gerbang,
melambaikan tangan. Aku tersenyum, yang ditunggu datang juga, berlari-
lari kecil ke pagar.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 72
sakti atau menatap buku diary penuh rahasia dalam drama Korea yang
sering ditontonnya.
”Tidak tahu.”
”Apa saja, Ma. Asal yang banyak. Soalnya Seli suka makan.” Aku
tertawa, menambahkan.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 73
”Biar Mama yang buka, Ra.” Suara Mama terdengar dari dalam.
”Kalian belajar saja.”
Aku tertawa. Apanya yang belajar? Aku beranjak berdiri. Seli juga
ikut berdiri, mengikutiku ke depan hendak membuka gerbang. Dua
karyawan toko elektronik terlihat sedang repot menurunkan boks besar
dari mobil. ”Ma, mesin cucinya datang!” aku berteriak dari halaman.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 74
”Biar Mama yang buka, Ra.” Mama yang sedang santai menonton
di ruang tengah sudah beranjak lebih dulu ke depan. Aku kembali
menatap buku PR-ku. Paling juga tetangga sebelah, perlu sesuatu. Atau
tukang meteran listrik, PAM. Atau pedagang keliling.
Aku langsung meloncat dari posisi nyaman menulis. Seli yang kaget
ikut meloncat, tanpa sengaja mencoret buku PR-nya, menatapku sebal.
”Ada apa sih, Ra?”
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 75
Bahkan Seli, kali ini pun ikut mematung, menatap Ali yang seratus
delapan puluh derajat berubah tampilan, di halaman rumput, di bawah
cahaya matahari sore yang mulai lembut.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 76
NI akan jadi momen paling ganjil sejak aku remaja. Aku melotot,
hendak mengusir Ali dari halaman rumah. Di sampingku Seli bengong
melihat penampilan Ali yang berubah, susah membedakannya dengan
pemain drama Korea favoritnya. Sementara Ali tersenyum lebar seolah
tidak ada masalah sama sekali, seolah aku dan Seli memang habis
bercakap sebal karena Ali tidak kunjung datang untuk belajar bareng.
”Ra, Seli, kenapa kalian malah bengong di situ?” Mama yang tidak
memperhatikan, telanjur masuk ke ruang tamu, menoleh, kepalanya
muncul dari bingkai pintu. ”Ayo, ajak temanmu masuk. Ayo, Nak Ali,
masuk.”
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 77
”Eh, iya dong. Tentu saja ada maunya.” Ali menatapku, tersenyum.
”Maunya adalah belajar bareng. Minta diajari mengarang jenis persuasif.
Kamu kan yang paling pintar soal bahasa Indonesia.”
”Eh, silakan,” Seli nyengir, ”tapi nggak bagus kok. Baru tiga
paragraf.”
Aku menepuk dahi. Nah, sejak kapan pula Seli jadi ikutan ramah
pada Ali? Bukannya kemarin dia marah-marah karena ditabrak Ali di
anak tangga?
”Oh ya?”
http://pustaka-indo.blogspot.com