Anda di halaman 1dari 10

TereLiye “Bumi” 188

”Tidakkah orang di dunia ini tahu bahwa warna makanan memiliki


korelasi dengan selera makan?” Ali berbisik padaku. Tapi dia sendiri yang
justru semangat menghabiskan makanan itu setelah men­coba
mencicipinya sesendok. Sepertinya lezat. Ali nyengir. Cengiran Ali cukup
bagiku dan Seli untuk berani me­raih sendok. Memang sedap.

”Kota ini memang dibangun agar bisa beroperasi secara efi­sien.” Ilo
sudah berganti topik percakapan untuk kesekian kali. Dia persis seperti
Papa di rumah, suka mengobrol saat sarap­an, dan mengambil topik apa
saja sebagai bahan percakapan.

”Kota kami tidak lagi menggunakan air untuk mencuci piring,


pakaian, ataupun mandi. Cukup dengan udara. Itu lebih bersih, higienis,
dan menjaga kelestarian air. Walaupun di kota-kota lain dan daerah
pedalaman masih menggunakan air. Kamu suka kamar mandinya,
bukan?”

Aku mengangguk, menyendok bubur hitam. Aku tidak ba­nyak


bicara, hanya sesekali. Yang sering adalah menjelaskan percakapan
kepada Ali dan Seli mereka berusaha mengikuti.

”Juga pakaian yang kalian kenakan, contoh lainnya. Kami me­miliki


teknologi benang sintetis yang dapat menyesuaikan diri se­cara otomatis
dengan pemakainya. Jadi pakaian bisa awet di­pakai meski pemiliknya
bertambah dewasa, atau sebaliknya, pakaian itu diberikan kepada orang
lain yang lebih kecil. Dan se­patu­nya terasa ringan, bukan? Sepatu itu
memang didesain mem­buat pemakainya lebih ringan sekian persen
sesuai keperlu­an. Memudahkan mobilitas.”

Aku mengangguk lagi.

”Kakak sekolah di mana?” Ou bertanya.

Aku refleks menyebut nama SMA-ku.

Ou terdiam. ”Itu nama akademi, ya?”

Aku menggeleng, menelan ludah. Pasti tidak ada di dunia ini nama
sekolah seperti itu.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 189

”Mereka datang dari jauh, Nak. Kemungkinan dari luar negeri,” Ilo
menjelaskan. ”Kamu lihat, dua kakak yang lain juga tidak bisa bicara
dengan kita. Bahasanya berbeda.”

Ou mengangguk-angguk menggemaskan.

”Sebenarnya masalah teknis lorong berpindah ini tidak sekecil yang


dibicarakan orang-orang kota. Ini masalah serius.” Ilo menghela napas,
sudah lompat lagi ke topik berikutnya. ”Lorong itu tidak hanya mengirim
orang-orang ke tempat yang salah. Ter­sesat. Kacau-balau. Kalian tahu,
beberapa hari lalu, aku bah­kan menemukan banyak benda aneh di
kamar tidur Ou. Aku sama sekali tidak mengenali barang tersebut.”

Aku hampir tersedak. Benda aneh? Tiba-tiba aku memikirkan


sebuah kemungkinan.

”Boleh kami melihatnya?” aku bertanya senormal mungkin.

”Kenapa tidak?” Ilo mengangkat bahu. ”Sebentar, akan


kuambil­­kan.”

Ilo beranjak berdiri, melangkah ke lemari di pojok dapur.

”Dia mau ke mana?” Ali bertanya—seperti biasa ingin tahu dan


mendesak diterjemahkan.

Aku tidak segera menanggapi Ali. Aku menatap Ilo yang kem­bali
membawa sesuatu.

Ya ampun! Aku hampir berseru saat benda-benda itu diletak­kan di


atas meja makan. Naluriku benar. Aku mengenalinya. Itu novel milikku,
flashdisk, peniti, kancing baju, tutup bolpoin, semua benda yang
kuhilangkan malam sebelumnya. Ilo meletak­kannya di atas meja.

”Kalian pernah melihat benda seperti ini?” Ilo menunjuk kancing


baju. ”Entahlah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul begitu saja di
meja belajar Ou. Lihat, yang satu ini sepertinya buku. Tetapi bentuknya
aneh, bukan? Aku juga tidak mengenali tulisan di dalamnya. Huruf-huruf
yang aneh.” Ilo mengangkat novelku, membuka sembarang halamannya,
memperlihatkannya kepada kami.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 190

Seli dan Ali terdiam di sebelahku. Tanpa dijelaskan mereka tahu


apa yang sedang dibicarakan. Mereka juga tahu itu benda-benda milikku.

”Bahkan, yang lebih aneh lagi, kalian lihat,” Ilo melangkah sebentar
ke dekat lemari lainnya, menarik keluar sesuatu, ”ini benda yang besar
untuk bisa lolos ke dalam kesalahan teknis kecil sistem lubang berpindah.
Entahlah ini benda apa. Bentuk­nya seperti kursi, tapi model dan
teknologi kursi ini terlalu primitif. Aku tidak yakin ini datang dari lubang
berpindah, siapa yang hendak mengirimkan kursi? Lebih baik
menggunakan transportasi biasa, bukan?”

Aku menahan napas. Itu kursi belajarku.

”Ayolah, Ilo.” Vey tersenyum simpul. ”Kita sedang sarapan, Sayang.


Kita tidak akan membahas lagi benda-benda itu pada saat sarapan yang
menyenangkan ini, kan? Ayo, anak-anak, habis­kan makanan kalian. Ilo
terlalu sering berpikir yang tidak-tidak. Imajinasinya ke mana-mana. Dia
bahkan sering ber­pikir dunia ini tidak sesederhana seperti yang dilihat.
Kamu mau tambah buburnya, Ra?”

Aku, Seli, dan Ali saling tatap dalam diam.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 191

ESUAI rencana tadi malam, setelah sarapan, Ilo akan


meng­antar kami ke pusat pengawasan lorong berpindah, untuk
me­nemu­kan jalan pulang.

”Ini sepertinya bukan ide yang baik, Ra,” Ali berkata pelan, saat
kami disuruh menunggu di ruang tengah. Ou sedang ber­siap, mengambil
tas sekolahnya. Sang ibu ikut mengantarnya ke sekolah.

”Tidak akan ada yang bisa membantu kita di pusat peng­awasan


lorong itu. Saat mereka bertanya detail, jelas kita tidak bisa menjelaskan
bahwa kita datang dari dunia berbeda. Semaju apa pun teknologi dunia
ini, itu tetap penjelasan tidak masuk akal. Bagaimana kalau mereka
menganggap kita berbahaya? Me­nangkap kita?”

Aku sebenarnya sependapat dengan Ali. Tapi apa yang bisa kami
lakukan?

”Mereka hanya berpikir kita datang dari kota atau tempat lain.
Tersesat. Sesederhana itu,” Ali bergumam.

”Setidaknya keluarga ini baik dan ramah. Aku percaya Ilo tidak
akan mengantar kita ke tempat jahat,” Seli berkata pelan.

Sejak tadi malam, Seli menerima apa pun solusinya, sepanjang bisa
membuat kami pulang layak untuk dicoba. Keberadaan bangku belajar,
novel, flashdisk, dan benda-benda milikku yang ditemukan di kamar Ou
dengan sendirinya memastikan kami berada di dunia lain seperti
penjelasan Ali tadi malam. Tapi Seli juga benar, keluarga ini baik kepada
kami. Ou terlihat lucu, ibu­nya ramah dan cantik—lebih cocok menjadi
model terkenal dan Ilo, selain baik, masih terlihat muda, tam­pan,
sepertinya bukan sekadar desainer pakaian biasa.

Ou bernyanyi-nyanyi riang, keluar dari kamar membawa tas


sekolah.

”Jangan berlari di rumah, Ou!” tegur sang ibu diiringi se­nyum.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 192

”Kalian sudah siap?” tanya Ilo, yang keluar dari ruang kerjanya
de­ngan membawa tas.

Aku mengangguk.

”Baik, mari kita berangkat.” Ilo menekan tombol di pergelangan


tangannya.

Sebuah lubang muncul di depan kami, awalnya kecil, kemudian


membesar setinggi orang dewasa. Pinggirnya berputar-putar seperti
gumpalan awan hitam. Ou lompat lebih dulu masuk, disusul ibunya.
Kami bertiga ikut masuk. Terakhir di belakang, Ilo melangkah. Lubang itu
mengecil, lenyap. Kami berada dalam kegelapan selama beberapa detik,
kemudian muncul titik cahaya kecil, membesar membentuk lubang besar.
Kami bisa melangkah keluar.

”Selamat datang di Stasiun Sentral.” Ilo tertawa melihat wajah


bingung kami.

Aku kira pertama-tama kami akan menuju sekolah Ou. Ternyata


tidak.

Ini bukan sekolah. Ini ruangan besar yang megah, mirip stasiun
kereta, tapi berkali-kali lebih canggih dari­pada stasiun kereta paling
modern di dunia kami berasal. Belasan jalur kereta, puluhan kapsul
berlalu-lalang, seperti me­ng­ambang di rel, datang dan pergi. Jalur-jalur
itu tidak hanya horizontal, tapi juga verti­kal, ke segala arah. Ada yang
masuk ke bawah tanah, menyam­ping, bahkan ke atas, masuk ke dalam
lorong, ada banyak sekali arah jalur. Ruangan megah itu terlihat terang.
Lantainya terbuat dari pualam terbaik. Dindingnya ce­merlang. Di langit-
langit tergantung belasan lampu kristal mewah.

Orang-orang berlalu-lalang, terlihat sibuk, bergegas. Naik-turun,


pindah jalur. Hamparan lantai stasiun dipadati kesibukan pagi hari.

”Kalian sepertinya tidak pernah melihat stasiun kereta.” Ilo


menepuk bahu Ali si genius itu sampai ternganga menyaksikan stasiun.

”Kita tidak lewat lubang berpindah menuju sekolah Ou?” aku


bertanya.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 193

”Di kota ini, lubang berpindah hanya digunakan untuk


trans­portasi di atas. Tidak di bawah. Di dalam tanah, kami
meng­gunakan cara lama yang lebih mengasyikkan. Dengan kapsul
kereta.”

”Ini di dalam tanah?” aku bertanya bingung.

”Seluruh kegiatan kota memang ada di dalam tanah. Kami tidak


mau merusak hutan, sungai, apa pun yang ada di per­muka­an. Itulah
kenapa rumah-rumah dibangun di atas tiang tinggi puluhan meter.
Sedangkan gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan sekolah
diletakkan di dalam tanah. Tenang saja, ini persis seperti di atas
permukaan, sirkulasi udara, cahaya, semuanya sama, bahkan kamu tidak
akan menyadari sedang berada ratusan meter di bawah tanah, di dalam
batuan keras. Satu-satunya perkantoran yang berada di atas tanah
adalah Tower Komite Kota atau di sebut juga Tower Sentral yang ber­ada
di atas, menara dengan banyak cabang bangunan yang kalian lihat tadi
malam.”

Salah satu kapsul merapat di dekat kami.

”Ayo, kita naik. Kapsulnya sudah datang.” Ilo melangkah.

Pintu kapsul terbuka. Ou masuk lebih dulu. Kapsul itu tidak


berbeda dengan satu gerbong kereta berukuran kecil. Ada belasan kursi di
dalamnya, sebagian sudah diisi penumpang lain. Dinding kapsul yang
menjadi layar televisi menampilkan infor­masi perjalanan dan siaran.

Ali menatap sekitar tidak henti-hentinya. Dia tidak peduli orang lain
memperhatikannya. Aku sempat khawatir melihat kelakuan Ali, apalagi
beberapa orang di dekat kami tiba-tiba berdiri. Anak-anak remaja,
me­makai seragam, mereka terlihat berseru-seru antusias. Mereka
mengeluarkan buku, mendekati bangku kami.

Apa yang akan mereka lakukan? Aku menyikut Ali agar ber­tingkah
lebih normal.

”Kalian harus terbiasa dengan hal ini,” justru Vey yang ber­bisik,
menahan tawa.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 194

Anak-anak remaja seumuran kami itu menyapa Ilo—tentu saja


bukan menyapa Ali. Satu-dua berseru-seru senang. Mereka mengulurkan
buku bersampul kulit masing-masing.

Aku segera tahu apa yang sedang terjadi. Di layar televisi terlihat
tayangan, mungkin itu sebuah iklan. Wajah Ilo tampak close up
memenuhi layar, tersenyum memamerkan koleksi pakai­an terbaru.

”Ilo desainer pakaian paling terkemuka. Dia melakukan revo­lusi


besar-besaran dengan teknologi yang ditemukannya. Dia selebritas, tidak
kalah terkenalnya dibanding pesohor lain di kota ini. Tapi begitulah, di
rumah dia tetap ayah yang kadang mem­bosankan bagi Ou.” Vey tertawa
lagi. ”Bahkan kalian ber­tiga tidak kenal Ilo, bukan? Sepertinya dari
tempat kalian datang, Ilo tidak dikenal siapa pun. Padahal Ilo selalu
me­nyombong dirinya terkenal di mana-mana.”

Aku ikut tertawa—lebih karena aduh, lihatlah, anak-anak remaja


itu masih berseru-seru saat buku mereka ditandatangani, saling
menunjukkan buku, wajah seolah histeris, lantas kembali ke bangku
masing-masing. Mereka persis teman remajaku di sekolah setiap melihat
artis idola atau penyanyi boyband dari Korea.

”Apa yang terjadi?” Seli bertanya, di sebelahku.

”Gwi yeo wun,” aku, menjawab sekenanya, teringat beberapa hari


lalu di dunia kami, Seli mengatakan kalimat itu saat Ali tiba-tiba datang
ingin mengerjakan PR mengarang ber­sama.

Ali tidak mendengar kalimatku. Dia masih sibuk memperhati­kan,


terpesona menatap buku-buku yang dibawa penumpang ber­seragam.
Tadi saat menandatangani buku penggemarnya, Ilo hanya mengguratnya
dengan ujung jari. Tulisannya muncul sen­diri di atas kertas. Itu jelas
lebih menarik bagi si genius ini.

Kapsul yang kami naiki terus melesat cepat dalam jalur ke­reta. Di
luar tidak terlihat apa-apa, tapi sepertinya kami masuk semakin dalam.

”Kamu tahu, Ra, aku lebih suka menggunakan kapsul ini


di­bandingkan lorong berpindah.” Ilo yang selesai melayani
peng­gemarnya kembali mengajakku bercakap-cakap. ”Lebih

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 195

konven­sional, seperti desain baju yang kubuat, tapi lebih nyaman dan
aman.

”Sistem lorong berpindah itu menggunakan energi yang terlalu


besar. Boros. Kelak kalau insinyur kami menemukan cara berpindah di
atas dengan teknologi lebih murah, tanpa harus membuat jalan di hutan,
jembatan, dan sebagainya yang bisa merusak, mungkin kami akan
menyingkirkan sistem lorong berpindah.”

Aku hanya diam, mendengarkan.

Setelah beberapa menit melesat, kapsul itu akhirnya berhenti. Ou


dan ibunya berdiri.

”Kita sudah tiba di sekolah Ou,” Ilo menjelaskan.

”Ayo, ucapkan selamat tinggal kepada Ayah dan kakak-kakak.” Vey


tersenyum.

Ou meloncat riang. Dia memeluk Ilo, kemudian me­nyalami kami


bertiga, mengucap salam, lantas turun dari kap­sul.

”Semoga kalian segera bisa pulang ke rumah. Orangtua kalian pasti


sudah cemas sekali.” Vey menyalami kami.

”Terima kasih banyak,” aku berkata sopan.

Kami bertiga ikut berdiri, mengantar hingga ke pintu kap­sul.

”Salam buat orangtua kalian ya, dan jangan sungkan mampir lagi
jika berada di kota ini. Rumah kami selalu terbuka hangat buat kalian.”
Vey memelukku untuk terakhir kali sebelum me­langkah turun menyusul
Ou.

Aku mengangguk.

Aku tidak akan percaya kami berada di dalam tanah jika Ilo tidak
bilang begitu. Dari pintu kapsul yang terbuka, sebuah bangun­an sekolah
terlihat. Beberapa kapsul lain merapat dari banyak jalur, anak-anak
sekolah berlompatan turun, beberapa ditemani orangtua mereka.
Halamannya luas, dengan rumput ter­pangkas rapi. Beberapa pohon

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 196

tumbuh tinggi. Ou sudah ber­lari riang melintasi gerbang menyapa


teman-temannya, me­ninggal­kan ibunya yang masih melambaikan
tangan kepada kami.

Pintu kapsul menutup perlahan. Kapsul kembali melesat.

Masih ada dua pemberhentian berikutnya. Anak-anak remaja


berseragam itu turun, juga penumpang lain, menyisakan kami berempat
ketika layar televisi mendadak berganti siaran. Sepertinya itu sebuah
breaking news. Ilo menatap layar dengan saksama. Seli memegang
tanganku. Ali juga berhenti mem­perhatikan sekitar, ikut menatap
dinding kapsul.

Seli dan Ali boleh jadi tidak tahu apa yang sedang disampai­kan
pembawa acara, tapi mereka dengan segera mengerti berita itu. Sebuah
tiang raksasa terlihat menimpa bagian hutan, lantas di sebelahnya dua
bangunan besar berbentuk balon tergeletak hancur bersama potongan
tiang, menghantam lebih banyak pohon lagi.

”Tidak ada yang bisa memastikan apa dan dari mana benda ini
berasal. Petugas Komite Kota sedang melakukan pemeriksaan tertutup.
Yang bisa dipastikan, belasan pohon rusak, dua rumah roboh saat benda
ini muncul begitu saja. Tidak ada korban jiwa. Dua rumah dilaporkan
dalam keadaan kosong saat kejadian.”

”Ini jelas bukan masalah teknis lorong berpindah lagi.” Ilo di


sebelahku menghela napas. ”Ini sesuatu yang lebih besar.”

Aku, Seli, dan Ali terdiam.

***

Ilo juga hanya diam mematung beberapa saat setelah siaran


ter­sebut. Dia mengusap wajahnya, lantas bangkit berdiri, menekan
tombol-tombol di dinding kapsul.

”Anak-anak, kita tidak jadi menuju Pusat Pengawasan Lubang


Berpindah.” Ilo menggeleng. ”Aku akan memasukkan tujuan baru kita.”

Aku bingung. ”Ke mana?”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 197

”Anak-anak...” Ilo masih berdiri, tidak menjawab pertanyaanku. Dia


menatap kami bergantian dengan tatapan serius, sementara di luar
kapsul melakukan manuver, melengkung, berbelok arah dengan mulus.
”Sebenarnya, dari mana kalian berasal?”

Aku mendongak, menatap wajah Ilo.

”Dia bertanya apa?” Ali berbisik.

Aku menahan napas.

”Kalian tahu, istriku mungkin benar ketika berkali-kali bilang aku


terlalu banyak berimajinasi karena pekerjaan ini. Te­tapi ada banyak hal
yang kita imajinasikan nyata. Seperti pakai­an, sejauh apa pun imajinasi
kita, itu nyata, menjadi sesuatu yang bisa disentuh. Sejak tadi malam aku
memikitkan situasi ini. Buku aneh itu, dengan huruf-huruf yang aneh.
Pakaian yang kalian kenakan saat ditemukan di kamar anak kami.
Bukankah ada tulisan dengan huruf yang sama? Terlalu banyak hal yang
tidak bisa dijelaskan. Kalian tidak tersesat dari tempat biasa. Dari mana
kalian berasal?”

Wajah Ilo terlihat serius sekali, meski ekspresi wajahnya yang baik
tidak hilang.

Aku berhitung, apakah akan menjawab atau tidak.

Aku menoleh ke arah Seli dan Ali—yang tidak mengerti apa yang
kami bicarakan.

Aku menggigit bibir. Baiklah, meski ini boleh jadi tidak masuk akal
dan akan membuat Ilo tertawa, aku akan menjawab. Suaraku bergetar.
”Kami juga tidak tahu. Mungkin saja kami berasal dari dunia yang
berbeda, dunia lain.”

Mengatakan kalimat itu saja sudah terasa aneh, ”dunia lain”,


apalagi berharap reaksi orang saat mendengarnya. Tapi Ilo tidak tertawa,
mengernyit, atau reaksi sejenisnya. Dia hanya terdiam, ikut menahan
napas, berusaha mencerna kalimatku.

”Juga benda raksasa yang menghantam dua tiang rumah itu?”

http://pustaka-indo.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai